Anda di halaman 1dari 17

JOURNAL READING

KELOMPOK 3
Ebill Fuji Edison

1010313004

Munawirah

1010311013

Dicky Zulkarnain

1110313081

Nesha Pratiwi

1210313018

Selvia Emilya

1110312149

Longmai Bunga Persik 1210311016


Sucitra Imanda Putri

1110312113

Putri Ramadhani

1210311001

Firda Razaq

1210313071

Zaki Mahmudi Dasril

1210313068

PEMBIMBING
Prof. dr. H. Basjiruddin Ahmad, Sp.S (K)

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2016

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karuniaNya sehingga

journal reading yang berjudul Hyponatremia in the

Patient with Subarachnoid Hemorrhage ini dapat penulis selesaikan. Makalah ini
merupakan salah satu syarat untuk mengikuti kepaniteraan klinik di bagian
Neurologi RSUP dr. M. Djamil, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.
Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah banyak membantu
journal reading ini, khususnya kepada Prof. dr. H. Basjiruddin Ahmad, Sp.S (K)
selaku pembimbing.
Semoga journal reading ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan
menambah pengetahuan dan pemahaman serta dapat meningkatkan pelayanan,
khususnya untuk pelayanan primer pada masa yang akan datang.

Padang, 22 April 2016

Penulis

ABSTRAK
Hiponatremia biasanya terjadi pada pasien dengan perdaharan aneurisma
subarachnoid. 2 mekanisme yang telah diketahui menyebankan hal ini: SIADH
dan serebral salt wasting. Pemeriksaan fisik dan laboratorium dapat membantu
klinisi dalan mengidentifikasi mekanisme mana yang berperan dan menetukan
terapi yang tepat. Ketika hiponatremia di terapi dengan baik, tingkat sodium
serum pasien kembali normal tanpa efek yang merugikan.
Hiponatremia terjadi pada 10-40% pasuen

dengan

perdarahan

subarachnoid (PSA) yang biasanya dirawat di Neuro Critical Care Unit (NCCU;
Mayberg et al, 1994; Woo & Kale-pradhan, 1997). Kontroversi masih terjadi
tentang penyebab dan terapinya. Meskipun demikian, sangat penting bagi perawat
untuk mengerti penyebab potensial dan terapi efektif. Misdiagnonis atau
pemberian terapi yang tidak benar dapat merugikan psien. Artikel ini meninjau
kembali penyebab, terapi, dan peran perawat dalam mengatasi hiponatremua pada
pasien dengan PSA.
HIPONATREMIA
Hiponatremia adalah keadaan dengan konsentrasi sodium serum kurang
dari 135 mEq/L (<135 mmol/L) minimal dalam 1 hari (Kurokawa et al., 1998).
Nilai yang kurang dari 120 mEq/L ditetapkan sebagai nilai kritis yang
memerlukan intervensisegera (Larsen, Kronenberg, Melmed & Polonsk, 2003;
Nicoll, McPhee, Pignone, Detmer, & Chou, 2001). Gelaja dan tanda yang
berhubungan dengan hiponatremia merupakan akibat sekunder hipoosmolalitas
selular. Demam, sakit kepala, mual, muntah, kelemahan otot, dan kebingunhan
terjadi ketika nilai sodium serum 115-120 mEq/L. Stupor, kejang, dan koma lebih
identik dengan penurunan kadar sodium serum kurang dari 110 mEq/L (Andreoli,

Carpenter, Griggs & Loscalzo, 2001; Diringer,2001). Penurunan sodium serum


tiba-tiba lebih cenderung mengakibatkan gelaja berat dibandingkan dengan
penurunan sodium perlahan yang berlangsung berhari-hari atau dalam hitungan
minggu. Jika ditemukan PSA, hiponatremia dapat sangat berbahaya karena nilai
sodium yang rendah berhubhngan dengan penurunan volume intravaskular dan
vasospasme, yang merupakan penybab morbiditas dan mortalitas pada PSA
(Suarez, 2004; Wihdicks, Ropper, Hunnicut, Richardson& Nathanson, 1991).
Hiponatremia biasanya terjadi beberapa hari post hemoragik (Mayberg et
al., 1994). Insidennya meningkat pada pasien dengan klinis PSA yang buruk
(contoh pada Hunt-Hess grade 3 atau lebih, mengindikasikan gejala neurologis
berat pada onset PSA) dan hidrosepalus (Mayberg, et al). Etiologi PSA yang
berhubungan dengan hiponatremia masih kontroversi selama beberapa dekade ini.
Dua penyebab utama yang dihipotesiskan adalah Cerebral Salt Wasting (CSW)
dan syndrome inappropriate anti-diuretic hormone (SIADH).
Syndrome of Inapporiate Antidiuretik Hormone (SIADH)
Menurut Palmer (2000) perluasan volume cairan ekstraseluler yang
dihasilkan dari pelepesan yang berlebihan dari antidiuretic hormone (ADH), atau
terjadi sensitivitas ginjal yang meningkat terhadap ADH.SIDADH ditandai
dengan peningkatan osmolalitas yang tidak sesuai dengan konsentrasi yang ada di
urin (Larsen,2013). ADH bekerja di tubulus distal mengabsorbsi air dan
meningm.katkan volume intravaskuler (Albance , Hindamarsh, & Stanhopr,2001 :
Andreoli et al, 2001). Respon terhadap peningkatan volume cairan intravaskuler
adalah peningkatan glomerular filtration rate (GFR) dan peningkatan aliran
plasma ke ginjal dan penurunan reabsorpsi Natrium pada pasien SIADH, hasilnya

peningkatan ekskresi natrium di urin, sehingga natrium di dalam darah berkurang


(Palmer, 2000).
Kejadian SIADH pada orang yang mengalami perdarahan subarachnoid
banyak teori yang menjelaskan. Keduanya perdarahan intrakranial dan bedah saraf
untuk perbaikan anurisma dan meganggu hubungan neuron dan mekanisme
fedback hormonal (albalance et al,2001). Pelepasan ADH bisa mencetuskan nyeri,
stres, peningkatan itrakranial, dan keadaan hipovolemia. (Dringer, 2001). Obatobatan seperti carbamazepine (tegretol) dan lamotrigine (lamictal) dapat
menigkatkan kerja dari ADH (albance et al). Meskipun pasien yang dirawat
NCCU mempunyai rangsangan untuk melepaskan ADH , pemeriksaan fisik, dan
keadaan elektrolit pada beberapa pasien dengan penurunan kadar natrium tidak
selalu sama dengan apa yang diharapakan pada pasien SIADH (dringer, Palmer
2000). Dengan demikian, dokter da peneliti ingin mencari tahu dan penjelasannya.
Cerebral salt wasting diduga sebagai penyebab hiponatremia pada pasien
perdarahan subarachnoid.
Cerebral Salt Wasting
Cerebral Salt Wasting adalah fenomena sementara, dimana ginjal tidak
dapat mempertahankan natrium. CSW penyebab utama hiponatremia dan
hipovolemia pada pasein perdarahan subarachoid atau penyakit intraknranial yang
lainnya. CSW pertama kali dijelaskan pada tahun 1950, setelah gejala dari
kontraksi volume dan penurunan Natrium pada pasien saraf (peters, Welt, Sims,
Orlof, dan Neddham,1950). Sejak awal pengamatan klinis dan eksperimental data
yang mendukung pada pasien perdarahan subarachnoid dan penyakit intrakranial
lainnya lebih sering terjadi hipovolemia daripada euvolemia, hipeervolemia atau
SIADH. Kekacauan sistem saraf simpatis merangsang ginjal, untuk menghasilka

digoxin like peptide, dan kelebihan faktor natriuretik, hal ini terlibat dalam
cerebral salt wasting.
Lonjakan hormon saraf simpatis noreepinefrin, epinefrin, dapat
mengakibatkan eksresi natrum melalui ginjal, dpengaruhi oleh stress karena
respon terhadap kerusakan otak, sistem saraf simpatis mengakibatkan kontraksi
dari sistem vena dan arteri, peningkatan preload, inotrpoik, dan tekanan darah.
Ginjal dapat mengkompensasi dari perubahan sistem kardovaskular dengan
pressure-induced natriuresis (singh, et al ,2003). Mekanisme neural terhadap
hiponatremia ini jarang terjadi, meskipun mekanisme neural berperan terhadap
serebral salt wasting. Meskipun natriuresis berhubungan dengan respon terhadap
mekanisme ini, selama ekskresi natrium berlangsung cenderung distimulasi dari
sistem saraf simpatis menghasilkan hipovolemia kecuali kalau ginjal vasodilatasi
terus menerus. Ini dapat terjadi awal kerusakan otak dan respon simpatis. Hal ini
memberikan dan perkembangan terhadap CSW.
Dua tambahan faktor molekuler terlibat dalam onset hiponatremia. Salah
satu factor potensial yang menyebabkan CSW adalah digoxin-like peptida yang
ditemukan dalam plasma pasien SAH. Bagaimana peptide ini menyebabkan
ekskresi sodium telah dapat diuraikan, dan telah ditetapkan bahwa menginfus
digoxin spesifik antibody langsung menuju ventrikel pada otak tikus dapat
menghalangi respon system saraf pusat terhadap natriuresis. (Wijdicks,
Vermulean, van Brummelen, den Boer, & van Gijn, 1987).
Faktor molekuler kedua adalah endogen natriuretic. Faktor natriuretic
yang terdiri dari atrial dan otak berhubungan dengan CSW. Kedua factor ini
menyebabkan natriuresis atau ekskresi sodium dan berlanjut kepada kondisi
hiponatremia.

ANP merupakan natriuresis yang diduga kuat berpotensi menyebabkan


hiponatremia pada pasien SAH. Benda ini merupakan polipeptida yang diproduksi
di atrium jantung dan aktif ketika reseptor dilatasi atrium testimulasi pada kondisi
hipervolemia, meningkatkan sodium dan meningkatkan preload. Natriuretik
peptida atrium banyak dihasilkan pada ekskresicairan. Peningkatan ekskresi urin
terjadi seiring dengan terinhibisinya reabsorpsi sodium di duktus kolektikus .
Tiga penilitian mendukung teori ANP di CSW pada pasien SAH.
Kurokawa menghitung sodium harian dan keseimbangan cairan dan konsentrasi
ANP, ADH, dan PRA pada 31 pasien dengaan eurisma SAH. Pasien dengan gagal
jantung dan gagal ginjal kronik di eksklus ikan pada penelitian ini. Hasil
menunjukkan abnormalitas ANP meningkat sampai 14 hari setelah kejadian SAH,
hiponatremia terjadi pada 9 pasien. ADH level juga meningkat pada beberapa hari
awal namun peningkatan hanya terjadi sesaat.
Widjick et al (1991) juga menemukan peningkatan kadar ANP dalam
studi yang dilakukan pada 14 pasien yang mengalami PSA. Lebih dari 50% dari
pasien-pasien ini, terdapat peningkatan mendadak dalam tingkat ANP yang diikuti
oleh natriuresis yang disertai dengan kehilangan natrium bersih. Terdapat juga
kenaikan ANP dalam beberapa hari pertama rawat inap. Para peneliti beralasan
bahwa kehilangan cairan tidak terjadi karena ada kenaikan pada vasopresin.
Selama periode natriuretik, tingkat vasopressin rendah. Isotani et al (1994)
menemukan hasil yang sama. Meskipun korelasi yang ditemukan antara tingkat
ANP dan Hiponatremia, tidak ada penjelasan tentang meningkatnya kadar ANP
yang jelas.
Dua studi tambahan tidak menunjukkan korelasi yang signifikan antara
penurunan kadar natrium dan peningkatan konsentrasi ANP Plasma, yang
mengarah ke anjuran dari kontributor alternatif untuk CSW.

Brain natriuretic peptide (BNP), polipeptida yang terdiri dari 32 asam


amino, mirip dengan ANP dalam banyak hal (Tomida, Muraki, Uemura Dan
Yamasaki). Selain produk yang ditemukan di atrium jantung dan disimpan dalam
miokardium ventrikel hati, itu juga disimpan di hipotalamus otak. Aksinya mirip
dengan ANP; itu adalah vasodilator kuat, menyebabkan natrium dan ekskresi
cairan dan menyebabkan penurunan tingkat sirkulasi renin dan aldosteron.
Sementara itu diketahui bahwa peningkatan beban pada ventrikel dapat
mengakibatkan hasil pelepasan BNP, tidak ada penjelasan defenitive untuk
aktivasi setelah PSA. Palmer (2000) menyarankan bahwa mungkin akan
dihasilkan sebagai pelindung untuk peningkatan tekanan intrakranial, sedangkan
Tomida et al berteori bahwa mungkin diaktifkan sebagai respon stres operasi atau
pengaturan perawatan intensif atau sebagai akibat dari kerusakan di wilayah
hipotalamus. Sviri et al melaporkan bahwa tidak seperti menganalisis temuan
variable hubungan ANP untuk hypontremia, penelitian menujukkan tingkat dari
BNP telah menunjukkan hasil yang lebih konsisten.
Tomida et al (1998) mempelajari 18 pasien dengan aneurisma PSA dan
menemukan bahwa hiponatremia terjadi pada 11 pasien dengan sesuai kenaikan
tingkat BNP. Kenaikan yang terjadi antara hari tujuh dan sembilan yang
mengakibatkan tidak natriuresis, namun secara statistik lebih tinggi dari pada
pasien dengan kadar natrium normal. Meskipun begitu, dapat disimpulkan bahwa
BNP lebih berperan dalam menyebabkan hiponatremia yang dihasilkan dari
natriuresis dan diuresis setelah PSA.
Sviri et al., (2000) juga menemukan peningkatan level BNP setelah SAH
dengan peningkatan paling besar pada hari pertama dan ketiga serta hari ketujuh
dan kesembilan. Meski studi difokuskan pada hubungan level BNP dengan

vasospasme otak, mereka juga menemukan peningkatakan level BNP yang


disebabkan oleh induksi SAH berhubungan dengan hyponatremia. Penelitian lain
dengan sampel yang lebih kecil mendukung temuan ini (Berendes et al., 1997;
Nelson, Seif, Maroon, & Robinson, 1981). Suatu studi dengan hasil yang
bertentangan menunjukan tidak ada perbedaan antara level BNP pada 20 orang
pasien dengan SAH dibandingkan dengan lima subjek normal. Namun, perbedaan
hasil ini disebabkan oleh prosedur dan kondisi klinik pasien

dibandingkan

penelitian lain (Tomida et al., 1998)


Dengan demikian, tiga mekanisme humoral dan satu neural ditengarai
sebagai kemungkinan penyebab CSW. Data mendukung mengenai faktor
natriuretic, terutama BNP, sebagai mekanisme SCW; penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk mengetahui peran digoksin peptide dan stimulasi saraf simpatik
serta interaksi diantara keempat kerusakan. Penentuan mekanisme CSW dapat
menentukan

penatalaksanaan

target.

Untuk

mengeksplorasi

pendekatan

pengobatan saat ini, disajikan studi kasus.


Contoh Kasus
C.L adalah seorang wanita 37 tahun dirawat di NCCU dengan SAH
akibat rupture aneurisma arteri anterior, grade 2. Dalam perawatan ia diberi
fenitoin (Dilantin) dan nimodipin (Nimotop) dan asam aminokaproat (Amicar).
Diberikan profilaksis ulser gastrointestinal dan thrombosis vena dalam. Pada hari
kedua rawatan, ia menjalani operasi klipin aneurisma tanpa masalah. Post operasi
ia dirawat dengan pemberian cairan dalam jumlah yang banyak untuk menjaga
tekanan darahnya dan untuk terapeutik hyponatremia untuk mencegah dan
meminimalisir vasospasme otak.
Pengobatannya dalam tujuh hari post operasi:

Vital sign pagi: suhu 37,2 C, nadi 112 kali/menit, pernapasan 24


kali/menit, tekanan darah 115/56 mmHg dengan saturasi oksigen perifer
99%. Tekanan vena sentral

terukur 3 mmHg. Berat badan 56,3 kg

(sebelumnya 57,1 kg). Intake dan output untuk 24 jam sebelumnya, 6200

ml dan 4300 ml.


Nilai laboratorium: glukosa 113 mg/dl, Natrium 126 mEq/L, Kalium 4,8
mEq/L, Klorida 100 mEq/L, BUN 21 mg/dL, kreatinin 1 mg/dL, asam urat

3 mg/dL, hitung leukosit 7,3, hematocrit 48%


Pemeriksaan fisik dasar: neurologi intak, denyut jantung cepat tapi regular,
denyut lemah, nafas abnormal, perut supel dan bising usus positif, feses
normal, urin dan kulit intak tapi kering.

Membedakan Antara CSW dan SIADH


Ketika semua penyebab potensial lain dari hiponatremia telah
dikeluarkan (Tabel 1), perbedaan antara CSW dan SIADH terjadi pada pasien
dengan SAH. Hiponatremia saja bukan merupakan indikator diagnostik terpercaya
baik untuk SIADH atau CSW. Tabel 2 merangkum diagnostik kriteria untuk
SIADH dan CSW.
Salah satu langkah yang paling dasar dan paling penting dalam
membedakan SIADH dari CSW adalah pemeriksaan fisik. CSW dikaitkan dengan
penurunan volume cairan dengan gejala hipovolemia. Sebaliknya, hiponatremia
pada SIADH berhubungan dengan baik euvolemia atau hipervolemia. Dalam studi
kasus ini, ada banyak "petunjuk" hipovolemia: C.L. adalah takikardi dengan
frekuensi pernapasan meningkat, denyut perifer lemah, kulit kering, dan berat

badan menurun dari masuk. Sementara penurunan berat badan C.L. ini tidak
besar, dengan jumlah cairan yang biasanya diberikan pasca operasi, kerugian
dalam tubuh berat badan tidak diharapkan. Temuan lain adalah CVP sebuah
pembacaan 3 mm Hg. Pembacaan CVP dan kapiler paru tekanan baji (PCWP)
pembacaan diyakini menjadi penting dalam membedakan antara CSW dan
SIADH (Suarez, 2004). Dalam studi kasus ini, nilai ini adalah dalam yang normal
batas. Namun, dengan jumlah besar cairan menerima, pembacaan yang lebih
tinggi akan diantisipasi. Tidak hanya itu diharapkan, tapi yang diinginkan sebagai
tindakan pencegahan terhadap vasospasme yang mana tingkat CVP sering
dipertahankan di atas 8 mm Hg (Suarez, 2004).
Pemeriksaan fisik dasar saja mengarah ke diagnosis CSW daripada
SIADH. Tambahan langkah konfirmasi termasuk memeriksa perubahan tekanan
darah ortostatik dan denyut jantung jika kondisi pasien mengizinkan (Palmer,
2000). Temuan C.L. ini dari pemeriksaan fisik adalah indikasi kuat CSW. Data
laboratorium adalah konfirmasi. Sementara perawat tidak dapat meminta
laboratorium tanpa penyedia, mereka dapat memanfaatkan pengetahuan mereka
dengan menganalisis laboratorium yang telah diminta. Osmolalitas serum,
elektrolit, dan asam urat, bersama dengan osmolalitas urin dan elektrolit, berguna
dalam membedakan CSW dari SIADH. Hematokrit serum, asam urat, dan asam
urat urin mungkin juga membantu. Dalam skenario ini, hematokrit C.L. dan
nitrogen urea darah (BUN), pada tingkat kreatinin normal, keduanya meningkat.
Hal ini mengindikasikan hipovolemia dan dengan demikian CSW (Palmer, 2000).
kalium pada tinggi akhir normal juga konsisten dengan diagnosis CSW; dengan
SIADH tingkat kalium tinggi tidak diharapkan (Harrigan, 2001). Plasma asam
urat adalah jarak rendah sampai normal. Pada pasien yang mengalami CSW, kadar

asam urat plasma biasanya normal atau rendah. Ini penting untuk diketahui bahwa
kadar

asam

urat

plasma

juga

menurun

pada

SIADH (Palmer, 2000). Pasien dengan hipovolemia dari menyebabkan selain


daripada CSW lebih mungkin untuk menunjukkan peningkatan asam urat serum
(Milionis, Liamis, & Elisaf, 2002).

Tabel 1. Penyebab Potensial Hiponatremia (Andreoli,


Carpenter, Griggs, dan Loscalz, 2001; Braunwald et al., 2001)
Kehilangan lewat gastrointestinal
Luka bakar
Obstruksi
Diuretik
Hiperaldosteronisme
Diuresis osmotik
Nekrosis tubular akut nonoligurik
Insufisiensi ginjal kronik
Sindrom nefrotik
Polidipsi primer
Overload cairan intravena
Intake cairan kurang
Defisiensi glukokortikoid
Hipotiroidisme
Gagal jantung
Sirosis hepatis
Peritonitis
Pankreatitis
Perdarahan internal
Ventilasi tekanan positif
Cedera otak
Beberapa nilai laboratorium yang akan memandu dokter untuk mencurigai
SIADH daripada CSW adalah serum yang encer dengan osmolalitas kurang dari
280 mOsm / L, hiponatremia dan BUN yang rendah dengan urine terkonsentrasi

bersamaan, dan urine dengan natrium tinggi yang lebih besar dari 25 mEq / L
(Palmer, 2000; Woo & Kale-Pradhan, 1997). hematokrit serum, konsentrasi
albumin, dan kalium tingkat tetap normal (Palmer, 2000). CVP dan PCWP
menunjukkan hypervolemia. Namun, sementara SIADH tidak mengakibatkan
status cairan meningkat, pasien secara otomatis tidak akan memiliki edema perifer
pada pemeriksaan fisik. Penjelasannya adalah bahwa air berlebihan secara merata
dan keadaan hipoosmolar menyebabkan pembengkakan pada sel (Albanese et al.,
2001) mencegah suatu overekspansi dari ruang interstitial (Palmer).
Terapi
Setelah diagnosis ditegakkan, pengobatan dapat dimulai. Sementara
mungkin banyak yang percaya itu adalah tanggung jawab dari dokter atau APN
untuk mendiagnosa pasien hiponatremia, penting bagi perawat untuk memahami
dan mengenali kapan diagnosis tidak sesuai dengan gambaran klinis. Meskipun
perawat mungkin tidak bertanggung jawab untuk melakukan pengobatan, namun
mereka bertanggung jawab untuk melaksanakan perintah. Kegagalan untuk
mengenali diagnosis yang tepat dan perawatan yang tidak sesuai bisa memiliki
hasil yang buruk.
Dalam skenario ini C.L. mengalami CSW. Menggunakan langkah-langkah
pembatasan cairan, seperti yang kadang-kadang digunakan pada pasien SIADH,
tidak hanya bisa memperburuk gejala hipovolemia, tetapi juga bisa meningkatkan
risiko vasospasme serebral (Palmer, 2000; Suarez, 2003). Sebaliknya, mengobati
seseorang dengan SIADH dengan saline normal bisa membuat gejala penurunan
konsentrasi serum natrium (Palmer, 2000).
Secara keseluruhan, pengobatan untuk hiponatremia setelah SAH
ditujukan untuk memulihkan menjadi normovolemia dengan tingkat serum
natrium normal. Seringkali jika pasien tanpa gejala, pengobatan tidak perlu

agresif, dan jika digunakan, bisa memiliki hasil yang merugikan (Mayberg et al,
1994;. Suarez, 2004). Jika pengobatan diperlukan, tingkat konsentrasi serum
sodium dan durasi waktu yang diperlukan untuk penurunan yang aman akan
menentukan langkah-langkah yang dilakukan. Kurokawa et al. (1996)
dimanfaatkan pendekatan pengobatan berdasarkan cairan harian dan natrium dan
menemukan bahwa dengan melakukan hal ini, ada sangat sedikit defisit
neurologis yang berhubungan dengan iskemia.
Secara umum, pasien dengan cerebral salt wasting (CSW) akan
menerima pesanan untuk salin normal intravena. Tergantung pada natrium dan
keseimbangan cairan dan gejala-gejala pasien, saline hipertonik 3% dengan dosis
awal 25-50 ml/jam, 325 mg tablet garam, dan/atau 1-2 mg sehari fludrocortisone
oral (Florinef) mungkin juga dapat digunakan (Palmer, 2000). Pengobatan
Fludrocortison (Florinef Asetat) kadang-kadang sulit untuk digunakan karena
onsetnya lambat dan durasi kerjanya yang panjang (Diringer, 2001). Namun, jika
pilihan pengobatan ini yang dipilih, maka penting dilakukan pemantauan hati
karena pengobatan ini telah dihubungkan dengan penurunan tingkat serum
potassium, hipertensi, dan edema paru (Suarez, 2004).
Pada SIADH, restriksi cairan merupakan pengobatan pilihan pada
populasi umum (Palmer, 2000). Namun, pada pasien dengan SAH aneurisma,
maka harus sangat berhati-hati karena risiko vasospasme pada pasien ini. Sebuah
studi menemukan peningkatan insiden infark pada pasien yang dirawat karena
dugaan SIADH dengan restriksi cairan (Widjicks, Vermulean, Hijdra, dan van
Gijn, 1985). Tipe pengobatan lainnya adalah infus salin hipertonik bersama
dengan diuretik loop.

Tabel 2. Perbedaan CSW dan SIADH (Harrigan, 2001; Palmer, 2003; Woo dan KalePradhan, 1997)
Cerebral Salt Wasting
Natrium serum <135 mEq/L
Penurunan volume cairan ekstraselular
Penurunan hematokrit
Peningkatan konsentrasi albumin plasma
Kalium serum normal atau meningkat
Kreatinin atau nitrogen urea darah
meningkat
Tanda dehidrasi

Perubahan orthostatik
Vena leher datar
Membran mukosa kering
Turgor kulit buruk
Takikardia
Penurunan berat badan
Keseimbangan cairan negatif
Tekanan vena sentral <6 mmHg atau
tekanan baji kapiler pulmonal < 8
mmHg

Syndrome of inappropriate Antidiuretic


Hormone
Natrium serum <135 mEq/L
Peningkatan volume cairan ekstraseluler
Hematokrit normal
Konsentrasi albumin plasma normal
Kalium serum normal
Penurunan asam urat plasma
Natrium urin >25 mEq/L
Osmolalitas serum <280 mOsm/kg
Osmolalitas urin lebih besar dari
osmolalitas serum
Penurunan output urin (400-500 ml/24
jam)
Tanda hipervolemia

Peningkatan berat badan


Peningkatan pembacaan tekanan
vena sentral dan tekanan baji
kapiler pulmonal

Disamping gangguan natrium dan terapinya, tingkat sodium serum harus


dikoreksi perlahan-lahan. Jika koreksi dilakukan terlalu cepat pasien akan
beresiko untuk menderita cental pontine myelinolysis (Braunwald et al., 2001,
Suarez, 2004). cental pontine myelinolysis merupakan gangguan yang
menyebabkan konfusi, disartria, gangguan penglihatan (gaze), tetraplegia, dan
pseudobulbar palsy karena demielinisasi pada basis pontin (Braunwald et al.,
2001). Untuk mencegah komplikasi ini, konsentrasi sodium serum dikoreksi

dengan kecepatan tidak melebihi 1,3 mEq/L/jam dengan kecepatan total tidak
lebih dari 10 mEq/L dalam 24 jam, dan tingkat sodium harus diperiksa berkala
selama masa terapi. Pada skenario ini, CL diterapi awal dengan saline hipertonik
3% dengan kecepatan 30 ml/jam selama 12 jam dan kemudian dengan saline
normal 125ml/jam.

Karena CL tidak menyebabkan defisit neurologis yang

berhubungan dengan defisit sodium, penilaian tidak terlalu bermanfat dalam


menentukan perbaikan. Dan juga, bahaya dari cental pontine myelinolysis,
pendekatan terapi ini menjadi tidak aman. Sehingga tingkat sodium serum dinilai
setiap 6 jam dalam 24 jam pertama dan setiap 24 jam sampai kadarnya normal di
serum. Untuk pasien ini, nilai sodium meningkat secara perlahan dalam waktu 48
jam. Pasien tidak merasakan efek samping apapun dari terapi yang diberikan.
Sodium memang menurun sedikit sebelum perbaikan; meskipun demikian pasien
masih tidak memiliki defisit neurologis. Jika CL bersifat simptomatik, frekuensi
pemeriksaan laboratorium harus dikerjakan setiap 4 jam dalam 24 jam sampai
gejala membaik. Kemudian lakukan monitoring setiap 6 jam untuk hari
selanjutnya dan kemudian setiap 12 jam sampai sodium normal.
Kesimpulan
Hiponatremia merupakan fenomena pada pasien setelah anurisma SAH.
Meskipun tidak ada penyebab definitif kematian, sering kali disimpulkan sebagai
akibat dari SIADH, CSW, atau kombinasi keduanya. Sementara mekanisme
karena SIADH dimengerti, namun mekanisme karena CSW masih menjadi
kontroversi, kemungkinan besar karena peptida natriuretik berperan dominan
dalam proses tersebut. Pemahaman adekuat tentang patofisiologi hiponatremia
pada SAH merupakan kunci untuk membedakan antara SIADH dan CSW.
Terapinya

hiponatremia

akan

berbeda

berdasarkan

hipovolemia

atau

hipervolemia. Perawat merupakan tim yang membantu dalam mencari tau


penemuan berbeda dan menerapkan terapi yangsesuai, sehingga outcome pasien
dengan SAH dapat dioptimalkan dan komplikasi bisa dihindari.

Anda mungkin juga menyukai