Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM TEKNOLOGI BAHAN ALAM

PERCOBAAN V
BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT)

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK : D2.4

ANGGOTA:
JULI JAYANTI (2007210102)
JULITA NURHAYATI S (2007210104)
LUSIANA ARIANI (2007210118)
MANGGALA PUTRA (2007210121)
MARIA NOVENA (2007210123)
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2009

BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT)

I.

TUJUAN
-

Untuk menguji senyawa bioaktif dari bahan alam dengan menggunakan larva
udang Artemia salina Leach

Uji untuk senyawa sebagai penenang, toksisitas, insektisida, dan uji awal untuk
senyawa sitotoksis atau anti tumor

II.

DASAR PENETAPAN
Suatu ekstrak dibuat menjadi beberapa seri larutan ekstrak : 1000, 100 dan 10 bpj
setiap kelompok konsentrasi terdiri dari 3 anggota , lalu masukkan sejumlah larva
udang Artemia salina Leach, tentukan berapa jumlah larva udang Artemia salina
Leach yang mati, lalu hitung nilai Lc 50 ekstrak tersebut dengan cara non-probit dan
probit.

III.

ALAT DAN BAHAN


-

Alat:

- vial
- lampu
- pipet mikroliter
- hairdryer
- pipet tetes
- kaca pembesar
Bahan: - Simplisia Cengkeh ( Caryophilli Flos )
- alkohol
- Aquadest
- larva udang Artemia salina Leach
- air laut

IV. TEORI DASAR


A. Teori Simplisia

Bunga Cengkeh adalah kuncup bunga Syzygium aromadicum (L.) Merr. & Perry, Sinonim
Eugenia caryophyllus (Spreng) Bullock et Harison, Eugenia caryophyllata Thunb.,
Eugenia aromatica (L.) Labill., suku Myrtaceae.
1. Pemerian. Warna coklat; bau aromatik kuat, rasa agak pedas.
2. Makroskopik. Bunga panjangnya 10 mm sampai 17,5 mm; dasar bunga (hipatium)
berisi 4, agak pipih, bagian atas meliputi bakal buah yang tenggelam, berongga 2 berisi
banyak bakal buah melekat pada sumbu plasenta. Daun kelopak 4 helai tebal bentuk
bundar telur atau segitiga, runcing, lepas. Daun mahkota 4 helai warna lebih muda dari
warna kelopak, tidak mekar tipis seperti selaput, saling menutup seperti susunan
genting. Benang sari banyak berbentuk melengkung kedalam; tangki agak silinder atau
segi empat panjangnya 2,5 mm sampai 4 mm.
3. Mikroskopik. Pada penampang melintang bunga di bawah bakal buah tampak sel
epidermis bentuk empat persegi panjang terdiri dari 1 lapis sel dengan kutikula tebal;
pada pengamatan paradermal tampak sel epidermis bentuk poligonal atau hampir
bundar, kelenjar minyak skizolisigen bentuk bundar atau bundar telur terbalik. Pada
bagian dalam terdapat berkas pembuluh tipe bikolateral, serabut sklerenkim dan sel
batu. Kristal kalsium oksalat bentuk roset terdapat di semua bagian. Parenkim pusat
terdiri dari beberapa lapis sel kecil membentuk cincin dengan ruang antar sel yang
besar. Pada daun mahkota dan daun kelopak tampak sel epidermis atas dan bawah
bentuk empat persegi panjang bila tampak paradermal berbentuk poligonal, di
antaranya terdapat parenkim bentuk poligonal, kelenjar minyak skizolisigen, kristal
kalsium oksalat bentuk roset dan berkas pembuluh.
4. Serbuk. Warna coklat. Fragmen pengenal adalah fragmen dasar bunga ( hipantium ),
sel epidermis dengan kutikula tebal, stomata tipe anomositik, kelenjar minyak
skizolisigen lepas atau dalam sel; fragmen epidermis daun mahkota dan epidermis daun
kelopak tampak tangensial; fragmen parenkim pusat dengan ruang antar sel besar;
fragmen tangkai sari, kepala sari dan serbuk sari berkelompok atau lepas bentuk
segitiga dengan garis tengah 15 m sampai 20 m; fragmen berkas pembuluh dengan
penebalan tangga dan spiral, fragmen serabut sklerenkim dan kristal kalsium oksalat
bentuk roset; fragmen sel batu.

5. Identifikasi.
A. Pada 2 mg serbuk bunga ditambahkan 5 tetes asam sulfat P; terjadi warna merah
hati.
B. Pada 2 mg serbuk bunga ditambahkan 5 tetes asam nitrat P; terjadi warna jingga.
C. Pada 2 mg serbuk bunga ditambahkan 5 tetes asam sulfat P 25% v/v; terjadi warna
jingga.
D. Pada 2 mg serbuk bunga ditambahkan 5 tetes larutan besi ( III ) klorida P; terjadi
warna hijau tua.
E. Timbang 500 mg serbuk bunga, maserasi dengan 10 ml eter selama 2 jam, saring.
Uapkan filtrat dalam cawan penguap, pada residu tambahkan 2 tetes asam asetat
anhidrat P dan 1 tetes asam sulfat P; terjadi warna ungu hijau.
6. Persyaratan
-

Kadar abu. Tidak lebih dari 6%.

Kadar abu yang tidak larut dalam asam. Tidak lebih dari 0,5%.

Kadar sari yang larut dalam air. Tidak kurang dari 5,5%.

Kadar sari yang larut dalam etanol. Tidak kurang dari 3%.

7. Penyimpanan. Dalam wadah tertutup baik.


8. Isi. Sterol/terpen, flavonoid, asam gallotanin, kariofilen, vanilin, eugenin, gum, resin
dan minyak atsiri yang mengandung senyawa fenol yang sebagian besar terdiri dari
eugenol bebas dan sedikit eugenol asetat, seskuiterpena, sejumlah kecil ester keton dan
alkohol.
9. Penggunaan. Anestetika gigi, karminatifa, zat tambahan dan aromatika.

10. Nama daerah. Sumatera: Bungeu lawang, bunga lawang, singke, bunga insang, sake,
kembang lawang, cengkeh, bunga cengkeh, cangkih. Kalimantan: Sangke, seram,
poriawane. Jawa: Cengkeh, cengke. Nusatenggara: Cengkeh, wunga lawang, cangke,
singke, palasenge, sengke. Sulawesi: Bunga rawan, senghe, bunga lawang, hungho

lawa, cangke, cengke. Maluku: Poriawane, peela ano, pualawane, perawano, bunglawa,
gomode, bululawa, buwalawa, gomede.

B. Artemia salina, Leach


1. Klasifikasi
Artemia salina Leach adalah udang tingkat rendah yang hidup sebagai zooplankton.
Artemia pada tahun 1778 diber i nama cancer salinus,yang kemudian diubah menjadi
Artemia salina pada tahun 1819 oleh Leach
Klasifikasi Artemia pada dunia hewan adalah sebagai berikut :
-

Divisi

: Animal

Phylum

: Arthropoda

Kelas

: Crustaceae

Subkelas

: Branchiopoda

Ordo

: Anostraca

Familia

: Arthemidae

Genus

: Artemia

Species

: Artemia salina Leach (Mudjiman, 1995)

2. Morfologi Artemia salina, Leach


Artemia salina, Leach diperdagangkan dalam bentuk telur istirahat yang dinamakan kista.
Kista ini bentuk bulatan-bulatan kecil berwarna kelabu kecoklatan dengan diameter
berkisar 200-300 m (Mudjiman,1995). Kista berkualitas baik, apabila diinkubasi dalam air
berkadar garam 5-70 permil akan menetas sekitar 18-24 jam. Artemia yang baru menetas
disebut nauplius, berwarna orange, berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400
mikron, lebar 170 mikron dan berat 0,002 mg. Nauplius berangsur angsur mengalami
perkembangan dan perubahan morfologis dengan 15 kali pergantian kulit hingga menjadi
dewasa. Pada setiap pergantian kulit dis ebut instar (Mujiman, 1995). Ada beberapa tahap

penetasan Artemia yaitu tahap hidrasi, tahap pecah cangkang, dan tahap payung atau tahap
pengeluaran. Tahap hidrasi terjadi penyerapan air sehingga kista yang diawetkan dalam
bentuk kering tersebut akan menjadi bulat dan aktif bermetabolisme. Tahap selanjutnya
adalah tahap pecah cangkang dan disusul dengan tahap payung yang terjadi beberapa saat
sebelum nauplius keluar dari cangkang (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Tahap
penetasan Artemia seperti pada gamb ar 1.

Gambar 1. Tahap penetasan telur Artemia


Artemia dewasa biasanya berukuran panjang 1-2 cm yang ditandai adanya tangkai mata
yang jelas terlihat pada kedua sisi bagian kepala, antena sebagai alat sensori, saluran
pencernaan yang terlihat jelas, dan 11 pasang thorakopoda. Pada Artemia jantan, antena
berubah menjadi alat penjepit, sepasang penis terdapat dibagian belakang tubuh, sedangkan
pada Artemia betina antena mengalami penyusutan. Sepasang indung telur atau ovarium
terdapat di kedua sisi saluran pencernaan, dibelakang thorakopoda (Mujiman,1995).

Gambar 2 merupakan gambar morfologi nauplius Artemia salina Leach.

Gambar 2. Morfologi nauplius Artemia salina (Mujiman, 1995)

3. Lingkungan hidup
Artemia salina hidup planktonik di perairan berkadar garam tinggi antara 15-30 permil,
suhu yang dikehendaki berkisar antara 25C-30C, oksigen terlarut sekitar 3 mg/L dan pH
antara 7,3-8,4. Artemia salina, Leach tidak dapat mempertahankan diri dari pemangsa
musuh- musuhnya karena tidak mempunyai alat atau cara untuk membela diri, salah satu
cara untuk menghindarkan diri dari pemangsa hewan lain dengan berpindah kekondisi alam
berupa lingkungan hidup berkadar garam tinggi. Pada umumnya pemangsa tidak dapat
hidup lagi pada kondisi itu (Mudjiman,1995). Makanan Artemia salina terdiri atas
ganggang renik, bakteri dan cendawan. Dalam pemeliharaan makanan yang diberikan
adalah katul padi, tepung terigu, tepung kedelai, dan ragi (Mudjiman,1995).

4. Perkembangbiakan dan siklus hidup


Perkembangbiakannya yaitu jenis biseksual dan jenis partenogenenetik Keduanya dapat
terjadi ovovivipar atau ovipar. Pada ovovivipar keluar dari induknya sudah berupa anak
yang dinamakan nauplius, sedangkan pada ovipar anak keluar dari induknya berupa telur,
bercangkang tebal yang dinamakan siste. Perkembangbiakan jenis biseksual harus melalui
proses perkawinan antara induk jantan dengan induk betina. Pada jenis parthenogenesis
tidak ada perkawinan karena memang tidak pernah ada jantannya. Jadi, betina akan
beranak dengan sendirinya tanpa perkawinan (Mudjiman,1995). Siklus hidup Artemia
salina seperti pada gambar 3.

Gambar 3. Siklus Hidup Artemia salina Leach (Mudjiman,1995)

5. Penetasan telur Artemia salina Leach


Telur yang siap menetas berwarna coklat keabu-abuan. Untuk media penetasan dapat
digunakan air laut biasa (kadar garam 30 permil). Tapi untuk mencapai hasil penetasan
yang lebih baik, kita perlu menggunakan air berkadar garam 5 permil. Ini dapat dibuat
dengan mengencerkan air laut dengan air tawar. Sebelum ditetaskan telur-telur tersebut
perlu dicuci terlebih dahulu, yakni dengan direndam di dalam air tawar selama 1 jam, baru
kemudian dimasukan.

6. Penetasan telur Artemia salina Leach


Telur yang siap menetas berwarna coklat keabu-abuan. Untuk media penetasan dapat
digunakan air laut biasa (kadar garam 30 permil). Tapi untuk mencapai hasil penetasan
yang lebih baik, kita perlu menggunakan air berkadar garam 5 permil. Ini dapat dibuat
dengan mengencerkan air laut dengan air tawar. Sebelum ditetaskan telur-telur tersebut
perlu dicuci terlebih dahulu, yakni dengan direndam di dalam air tawar selama 1 jam, baru
kemudian dimasukan dalam wadah penetasan. Suhu air yang baik selama proses penetasan
adalah antara 25-30 C. Sedangkan kadar oksigennya harus lebih dari 2 mg/L. Untuk
merangsang proses penetasannya media penetasan tersebut perlu disinari dengan lampu
yang dipasang di samping wadah. Dalam waktu 24-36 jam setelah pemasukan telur,
biasanya telur-telur itu sudah menetas menjadi anak Artemia yang dinamakan nauplius
(Mudjiman,1995).

7. Penggunaan Artemia salina Leach dalam penelitian


Suatu metode uji hayati yang tepat dan murah untuk skrining dalam menentukan
toksisitas suatu ekstrak tanaman aktif dengan menggunakan hewan uji Artemia salina
Leach. Artemia sebe lumnya telah digunakan dalam bermacammacam uji hayati seperti uji
pestisida, polutan, mikotoksin, anestetik, komponen seperti morfin, kekarsinogenikan dan
toksikan dalam air laut. Uji dengan organisme ini sesuai untuk aktifitas farmakologi dalam
ekstrak tanaman yang bersifat toksik. Penelitian menggunakan Artemia salina memiliki
beberapa keuntungan antara lain cepat, mudah, murah dan sederhana. Penelitian dengan
larva Artemia salina Leach telah digunakan oleh Pusat Kanker Purdue, Universitas Purdue
di Lafayette untuk senyawa aktif tanaman secara umum dan tidak spesifik untuk zat anti
kanker. Namun demikian hubungan yang signifikan dari sampel yang bersifat toksik
terhadap larva Artemia salina Leach ternyata juga mempunyai aktifitas sitotoksik.
Berdasarkan hal tersebut maka larva Artemia salina Leach dapat digunakan untuk uji
toksisitas (Meyer et al., cit Wahyuni,S.,2002).

C. Teori Dasar Percobaan BSLT


Metode Brine Srimp Lethality Test ( selanjutnya disingkat BSLT) merupakan metode
paling sederjana dan mudah untuk menguji senyawa bioaktif dari bahan alam dengan
menggunakan larva udang Artemia salina Leach. Menurut Meyer et al, uji bioaktivitas
dengan menggunakan larva udang Artemia salina Leach memiliki spektrum aktivitas
farmakologi, mudah dilakukan,sederhana cepat dan tidak memerlukan biaya besar dengan
tingkat kepercayaan 95%.
Suatu ekstrak disebut toksik apabila memiliki nilai LC50 < 1000 bpj, yaitu konsentrasi
yang dapat mematikan 50% dari total populasi larva udang Artemia salina Leach.
Pneghitungan LC50 dapat dilakukan dengan non-probit maupun cara probit.
Senyawa yang diduga memiliki aktifitas anti kanker, harus di ujikan terlebih dahulu pada
hewan percobaan. Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan menggunakan larva
udang Artemia salina Leach sebagai hewan uji merupakan salah satu metode yang banyak
digunakan untuk pencarian senyawa antikanker baru yang berasal dari tanaman. Hasil uji

toksisitas dengan metode ini telah terbukti memiliki korelasi dengan daya sitotoksis
senyawa anti kanker. Selain itu, metode ini juga mudah dikerjakan, murah, cepat dan cukup
akurat (Meyer, 1982). Lebih dari itu uji larva udang ini juga digunakan untuk praskrining
terhadap senyawa-senyawa yang diduga berkhasiat sebagai antitumor. Dengan kata lain, uji
ini mempunyai korelasi yang positif dengan potensinya sebagai antikanker (Anderson,
1991).
Artemia salina Leach merupakan komponen dari invertebrata dari fauna pada ekosistem
perairan laut. Udang renik ini mempunyai peranan yang penting dalam aliran energi dan
rantai makanan. Spesies invertebrata ini umumnya digunakan sebagai organisme sentinel
sejati berdasarkan pada penyebaran, fasilitas sampling, dan luasnya karakteristik ekologi
dan sensifitasnya terhadap bahan kimia (Calleja M.C, Persoone G, 1992).
Pengujian Lethalitas telah digunakan dengan sukses untuk isolasi biomonitor dari
cytotoxic (Siqueira, M. J et. al., 1998), antimalaria (Perez, H, et.al., 1997), insektisida
(Oberlies, N. H.,et.al., 1998), dan antifeedent (Labbe, C., et.al., 1993) campuran dari ektrak
tumbuhan. Hasil dari skrening dari air, hydroalcoholic dan ekstrak alkohol dari beberapa
tumbuhan obat penting yang digunakan dalam pengobatan tradisional untuk lethalitas
merujuk pada larva Artemia salina yangdiperkenalkan.
Suatu konsentrasi mematikan (Lethal Concentration) adalah analisa secara statistik yang
menggunakan uji Whole Effluent Toxicity (WET) untuk menaksir lethalitas sampel effluen.
Test akut digunakan di Wisconsin untuk menaksir kondisi "akhir dari pipa" (yaitu, effluent
yang

tidak

dilemahkan,

sebagai

adanya

dibebaskan

pada

lingkungan).

Konsentrasi effluen dimana 50% dari organisme mati selama test (LC50) digunakan
sebagai pemenuhan titik akhir (endpoint) untuk Test Whole Effluent Toxicity (WET) akut.
Dalam rangka mengkalkulasi LC50, salah satu dari konsentrasi test harus menyebabkan >
50% kematian. LC50, yang lebih rendah berarti semakin beracun effluent tersebut. Sebagai
contoh, LC50 > 100% berarti kekuatan penuh effluent tersebut tidak membunuh lebih dari
separuh organisme. LC50 sama dengan 50% berarti separuh effluent mempunyai kekuatan
membunuh 50% dari organisme tersebut.
Uji toksisitas dimaksudkan untuk memaparkan adanya efek toksik dan atau menilai batas
keamanan dalam kaitannya dengan penggunaan suatu senyawa. Pengukuran toksisitas

dapat

ditentukan secara kuantitatif yang menyatakan tingkat keamanan dan tingkat

berbahaya zat tersebut (Cassaret dan Doulls, 1975). Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
merupakan salah satu metode skrining untuk menentukan ketoksikan suatu ekstrak ataupun
senyawa. Kematian Artemiasalina Leach digunakan sebaga i parameter untuk
menunjukkan adanya kandunganzat aktif tanaman yang bersifat sitotoksik. Apabila harga
LC50 _ 1000 g/mL ekstrak tersebut dapat dikatakan toksik. Bila kematian sebagai
responnya, maka dosis penimbul kematian pada 50% populasi dengan spesies yang sama
dalam waktu spesifik dan kondisi percobaan sesuai diistilahkan sebagai median lethal dose
atau LD50. Obat yang diberikan sebagai konsentrasi diistilahkan sebagai Median Lethal
Concetration

atau

LC50

(Cassaret

dan

Doulls,

1975).

Menurut Meyer dkk. (1982) tingkat toksisitas dari ekstrak tanaman dapat ditentukan
dengan melihat harga LC50-nya. Apabila harga LC50 lebih kecil dari 1000 g/ml dikatakan
toksik, sebaliknya apabila harga LC50 lebih besar dari 1000 g/ml dikatakan tidak toksik.
Tingkat toksisitas tersebut akan memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai
antitumor. Semakin kecil harga LC50 semakin toksik suatu senyawa.

I. CARA KERJA
1. Persiapan larva udang
Siapkan air laut sintetik dengan melarutkan 38 g garam laut buatan dalam 1 L air
suling. Bejana penetas disekat sehingga memiliki dua sisi ruang, yaitu sisi terbuka
dan tertutup. Telur udang laut artemia salina leach ditaburkan dalam bejana
penetas yang berisi air laut sintetik dan disimpan dibawah lampu dengan sisi
terbuka mengahadap lampu. Setelah 24 jam, telur yang sudah menetas menjadi
nauplii dipindahkan ke tempat lain, 24 jam setelah itu nauplii terssebut sudah
dapat digunakan sebagai hewan uji.
2. Uji BSLT Tahap I
Siapkan 12 vial untuk potensi masing-masing 3 konsentrasi dilakukan triplo,
adapun tingkatan potensi toksisitas rendah (1000,100,10) dan 3 vial untuk kontrol.
3 vial Larutan kontrol. Larutan stok dibuat, kemudian dimasukkan kedalam vial
yang telah disiapkan untuk masing-masing

konsentrasi tersebut, kemudian

diuapkan dengan sempurna. Setiap konsentrasi dibuat dalam 3 vial. Kemudian


kedalam masing2 vial dimasukkan air laut sintetik kira-kira 3 ml dan 10 ekor
nauplii udang laut, selanjutnya ditambahkan air laut sintetik sampai diperoleh 5
ml. Vial tersebut diletakkan dibawah lampu, setelah 24 jam dihitung jumlah larva
yang mati.
3. Uji BSLT Tahap II
Hal yang diamati dalam uji ini adalah jumlah mortalitas udang yang disebabkan
oleh ekstrak tanaman. Senyawa aktif akan menghasilkan jumlah mortalitas yang
tinggi. Data yang diperoleh akan diolah untuk mendapatkan nilai LC50 (Lethal
concentration 50 %) dengan tingkat kepercayaan 95% menggunakan metode
analisis probit. LC50 merupakan besarnya konsentrasi (ppm) ekstrak uji untuk
dapat mematikan 50% dari hewan uji. Komponen yang diuji bioaktivitasnya
dengan metode BSLT dinyatakan sangat toksik. Apabila memiliki LC 50 < 30 ppm,
apabila memiliki LC50 > 1000 ppm
Nilai LC50 yang diperoleh dari uji bioaktivitas akan dibandingkan dengan kalium
bikromat yang digunakan sebagai standard toksisitas. Kalium bikromat larut
dalam air dan praktis tidak larut dalam alkohol, tidak higroskopis, berbentuk
granul dengan kristal prisma merah jinggga.
4. Analisa Data
Nilai LC50 diperoleh dengan regresi log probit

IV.

Hasil Pengamatan, Perhitungan, dan Pembahasan

Hasil Pengamatan

A. cara non probit

Dosis

Log

Mati

Hidup

(bpj)

D (x)

1000

30

Blangko

10

100

26

Blangko

10

10

22

Blangko

10

AM

AH

M/T

%KEMATIAN
(Y)

78

78/78

100%

48

48/52

92,31%

22

12

22/34

64,71%

%kematian

a= 50,3833
b= 17,6450
r= 09508

B. cara probit

Konsentrasi

log

Jumlah yang mati

total

total

(bpj)

(x)

tabung ke-

mati

jumlah

(y)

1000

10

10

10

30

30

100

8,00

100

22

30

73.33

5.61

10

19

30

63.33

5.33

a=3,64
b=1,335
r= 0,9098
Perhitungan

1.

Probit

CARA NON PROBIT

Log konsentrasi 50 =

y= a + bx
50 = 40,24 + 20,59. log LC 50
LC 50 = 2,9786 ppm

2.

CARA PROBIT
Log konsentrasi 50 =

y= a + bx
5 = 3,64 + 1,335. log LC 50
LC 50 = 10.4406 ppm

Pembahasan

1. Dengan menggunakan metode BSLT. Kita dapat mengetahui apakah suatu ekstrak
berkhasiat sebagai obat atau tidak. Apabila suatu ekstrak bersifat toksik terhadap larva
udang Artemia salina Leach, maka diperkirakan ekstrak yang diuji tersebut berkhasiat
sebagai obat.
2. Metode BSLT lebih murah dan cepat daripada metode bila menggunakan hewan coba,
misalnya anjing. Tikus atau kelinci.
3. Pada blangko hanya digunakan pelarut/pengencer dari estrak untuk melihat pengaruh
pelarut terhadap larva udang. Seharusnya pada blangko tidak ada larva udang yang mati
namun pada percobaan terdapat beberapa larva udang yang mati ini kemungkinan
disebabkan pelaut (etanol) yang tidak menguap seluruhnya setelah dikeringkan.
4. Pada pengujian BSLT dibuat larutan dengan konsentrsi yang berbeda-beda mulau dari
1000,100,dan 10g/ml. Ini bertujuan untuk melihat pengaruh konsentrasi dari ektrak
terhadap aktivitasnya(Lc50)
5. Pada percobaan dibuat triplo agar didapat data statistik yang dapat baik sehingga dapt
dihitung secara statistik dari data yang didapat. Jika dilakukan simplo mungkin bisa
terjadi kesalahan dan tidak ada data lain yang dapat dipakai.
6. Pada pecobaan dilakukan pengeringan untuk mengeringkan pelarur yang digunakan agar
tidak mengaburkan data yang didapat. Apakah larva udang yang mati karena aktivitas
dari ekstrak atau palarutnya.

7. Pada hasil percobaan didapat Lc50 sebesar 10g/ml (cara 1) dan 13,825g/ml (cara2).
Dapat diketahui bahwa ektrak dari kunyit memilki akvitas yang toksik(persyaratan
toksik 30g/ml). Dan dalam percobaan yang dilakukan mayer bila hasil Lc5030g/ml
diperkiraakan bahwa ektrak tersebut dapat berguna sebagai anti kanker.
8. Pada percobaan dilakukan perhitungan jumlah larva udang yang mati dengan menghitung
larva udang yang hidup. Karena sulit untuk menghitung larva udang yang mati sehigga
dihitung dengan mengamati yang hidup.
9. Pada percobaan larva udang yang digunakan ditempatkan dekat cahaya agar larva udamg
dapat hidup dengan suhu yang sesuai. Dan didapat data larva udang yang tidak
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dari tempat hidup larva udang.
10. Penghitungan konsentrasi yang dapat mematikan 50 % populasi larva udang dapat
dihitung baik dengan cara probit maupun non probit dengan hasil perhitungan yang
seharusnya tidak berbeda jauh
11. Uji BSLT digunakan sebagai uji permulaan untuk mengetahui aktivitas dari suatu zat atau
senyawa yang terkandung dalam suatu ekstrak atau suatu isolat murni.
12. Pada perbenihan larva udang Artemia salina digunakan air laut buatan yang dibuat
dengan menggunakan garam yang tidak mengandung iodium karena bila menggunakan
garam yang mengandung iodium maka larva udang akan tumbuh lebih besar dan akan
mengaburkan data dari BSLT yang didapat.
13. Pada uji BSLT digunakan larva udang Artemia salina yang telah berumur 48 jam. Pada
saat penetasan setelah 24 jam larva udang yang telah menetas di pindahkan ketempat lain
hal ini bertujuan agar umur dari larva udang yang digunakan sama. Ditakutkan bila tidak
dipindahkan ada larva udang yang baru menetas setelah 24 jam. Dan terbawa dalam
percobaan sehingga usia dari larva udang tidak seragam.
14. dari hasil penghitungan dengan cara probit dan cara non probit diperoleh hasil
konsentrasi lethal 50 yang berbeda, namun penafsiran yang sama yaitu bahwa ekstrak
dari CARYOPHILLY FLOS bersifat toksik, karena ekstrak CARYOPHILLY FLOS dapat
mematikan 50 % populasi uji dengan konsentrasi dibawah 1000 ppm
15. diperkirakan ekstrak CARYOPHILLY FLOS dapat berkhasiat sebagai obat.

II.

KESIMPULAN

III.DAFTAR PUSTAKA
1. Soedibyo, Mooryati. 1998. Alam Sumber Kesehatan Manfaat dan Kegunaan. Jakarta.
Balai Pustaka
2. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 1978. Materia Medika Indonesia II.
Jakarta. Departemen Kesehatan
3. World Health Organization. 1998. Quality Control Method for Medicinal Plant Materials.
Geneva
4. Hariana H. Arief, Drs. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya ed. III. Jakarta
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta.
6. Petunjuk Praktikum Teknologi Bahan Alam. 2010
7. Anonimous. 1994. Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati.
Prosiding Seminar di Bogor 1 2 Desember 1993. Balai Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat. Bogor.
8. Anonimous. 1989. Vademekum Bahan Obat Alam. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.
9. Darwis SN. 1991. Tumbuhan obat famili Zingiberaceae. Bogor, Puslitbang Tanaman
Industri: 39-61.
10. Kartasapoetra, G. 1992. Budidaya tanaman berkhasiat obat: kunyit (kunir). Jakarta, PT.
Rineka Cipta: 60.
11. Kloppenburg-Versteegh, J. 1988. Petunjuk lengkap mengenai tanamantanaman di
Indonesia dan khasiatnya sebagai obat-obatan tradisional (kunir atau kunyit-Curcuma
domestica Val.). Jilid 1: bagian Botani. Yogyakarta, CD.RS. Bethesda: 102-103.
12. Moko, Hidayat; Mulyoto; Ismiyatiningsih. 1993. Pengaruh beberapa zat pengatur tumbuh
dan mulsa terhadap pertumbuhan tanaman kunyit. Buletin Pertanian Tanaman Rempah
dan Obat, 8 (1) 1993: 30-38.
13. Muhlisah, Fauziah. 1996. Tanaman obat keluarga (toga): kunyit. Cet.2. Jakarta, Penebar
Swadaya: 40-41.
14. Nugroho, Nurfina A. 1998. Manfaat dan prospek pengembangan kunyit. Ungaran,Trubus
Agriwidya. 86 hal.

15. Soedibyo, BRA Mooryati. 1998. Alam sumber kesehatan, manfaat dan kegunaan: kunyit.
Cet.1. Jakarta, Balai Pustaka: 230-231.
16. Wijayakusuma, H.M. Hembing; Dalimartha, Setiawan; Wirian, A.S. 1992. Tanaman
berkhasiat obat di Indonesia: kunyit; Curcuma longa Linn (Jiang Huang). Jilid 4. Jakarta,
Pustaka Kartini: 93-94.
17. Departemen Kesehatan R.I., 1976, Materia Medika Indonesia, Jilid I, Dirjen Pengawasan
Obat dan Makanan, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai