Anda di halaman 1dari 136

PROBLEMATIKA DERMATITIS ATOPIK

A. Pendahuluan
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit inflamasi yang
khas, bersifat kronis dan sering terjadi kekambuhan (eksaserbasi)
terutama mengenai bayi dan anak, dapat pula pada dewasa.
Penyakit ini biasanya disertai dengan peningkatan kadar IgE
dalam serum serta adanya riwayat rinitis alergika dan atau asma
pada keluarga maupun penderita (1). Menurut definisi Rajka
dermatitis atopik adalah suatu inflamasi yang spesifik pada
kompartemen dermo-epidermal, terjadi pada kulit atopik yang
bereaksi abnormal; dengan manifestasi klinis timbulnya gatal dan
lesi kulit inflamasi bersifat eczematous (2). Istilah dermatitis banyak
digunakan oleh para dermatologist yang berorientasi pada sumber
ilmu dari Amerika, digunakan untuk mengganti kata eksema
yang banyak dipakai di benua Eropa (3). Kata eksema sendiri telah
lama dikenal sejak dahulu yaitu pada zaman sebelum masehi (543
AD), berasal dari bahasa Yunani ekzein yang berarti mendidih
atau berbuih (4, 5, 6). Istilah eksema ini barangkali digunakan
untuk menggambarkan penyakit kulit yang beragam ujud
kelainan kulitnya, seperti air mendidih.
Pada tahun 1933 Wise dan Silzberger menyebut penyakit
kulit dengan gejala seperti tersebut di atas sebagai dermatitis
atopik, istilah yang untuk selanjutnya dapat diterima sampai saat
ini (5, 7) dan penyakit kulit ini harus dibedakan dengan dermatitis
eksematosa tipe kontak (8). Konsep atopi diperkenalkan pertama
kali oleh Coca dan Cooke pada tahun 1923, sebagai suatu istilah
yang dipakai secara spontan pada individu yang mempunyai
riwayat keluarga terhadap kepekaan tersebut (1, 5, 6, 9). Kata atopi
diambil dari bahasa Yunani atopia yang berarti sesuatu yang
tidak lazim, different atau out of place, dan istilah ini untuk menggambarkan suatu reaksi yang tidak biasanya, berlebihan (hipersensitivitas) dan disebabkan oleh paparan benda asing yang
terdapat di dalam lingkungan kehidupan manusia.
1

B. Gejala klinis
Gejala klinis DA secara umum adalah gatal, kulit kering dan
timbulnya eksim (eksematous inflammation) yang berjalan kronik
dan residiv. Rasa gatal yang hebat menyebabkan garukan siang
dan malam sehingga memberikan tanda bekas garukan (scratch
mark) yang akan diikuti oleh kelainan-kelainan sekunder berupa
papula, erosi atau ekskoriasi dan selanjutnya akan terjadi likenifikasi bila proses menjadi kronis (5).
Papula dapat terasa sangat gatal (prurigo papules) bersamaan
dengan timbulnya vesikel (papulovesikel) dan eritema, merupakan gambaran lesi eksematous. Prurigo papules, lesi eksematous
dan likenifikasi dapat menjadi erosif bila terkena garukan dan
terjadi eksudasi yang berakhir dengan lesi berkrustae. Lesi kulit
yang sangat basah (weeping) dan berkrusta sering didapatkan pada
kelainan yang lanjut (1, 5, 6, 7).
Awitan timbulnya DA berdasar usia dapat terjadi pada masa
bayi, anak dan dewasa. Gejala pada bayi biasanya mulai pada
wajah kemudian menyebar terutama ke daerah ekstensor dan lesi
biasanya basah, eksudativ, berkrustae dan sering terjadi infeksi
sekunder. Pada kurang dari setengah kasus kelainan kulit akan
menyembuh pada usia 18 bulan, dan sisanya akan berlanjut menjadi bentuk anak (1, 6). Lesi DA pada anak berjalan kronis akan
berlanjut sampai usia sekolah dan predileksi biasanya terdapat
pada lipat siku, lipat lutut, leher dan pergelangan tangan. Jari-jari
tangan sering terkena dengan lesi eksudativ dan kadang-kadang
terjadi kelainan kuku. Pada umumnya kelainan pada kulit DA
anak tampak kering, dibanding usia bayi dan sering terjadi likenifikasi. Perubahan pigmen kulit bisa terjadi dengan berlanjutnya
lesi, menjadi hiperpigmentasi atau kadang hipopigmentasi bahkan
depigmentasi (1, 4, 5).
Pada DA bentuk dewasa lesi mirip dengan lesi pada anakanak usia lanjut (8-12 tahun) dengan didapatkan likenifikasi
terutama pada daerah lipatan-lipatan dan tangan. Selain gejala
utama yang telah diterangkan, juga ada gejala lain yang tidak
selalu terdapat, yang dikenal dengan kriteria minor seperti pada
kriteria diagnosis dari Hanifin-Rajka (tabel 1).

Gambar 1 : Dermatitis atopik tipe infan

Gambar 2: Dermatitis atopik tipe


anak atopik pe anak adult

Gambar 3: Dermatitis atopik


tipe adult adult

C. Diagnosis
Pada awalnya diagnosis dermatitis atopik didasarkan atas
berbagai fenomena klinis yang tampak menonjol, terutama gejala
gatal. George Rajka menyatakan bahwa diagnosis dermatitis
atopik tidak dapat dibuat tanpa adanya riwayat gatal (7). Dalam
perkembangan selanjutnya seiring dengan kemajuan di bidang
3

imunologi maka untuk diagnosis DA mulai dimasukkan uji alergi


sebagai kriteria diagnosis. Pemeriksaan/uji alergik tersebut adalah
uji tusuk (=skin pricktest) terhadap bahan alergen inhalan dan
pemeriksaan kadar IgE total di dalam serum penderita DA (Rajka,
1989).
Pada tahun 1980 Hanifin dan Rajka mengusulkan suatu
kriteria diagnosis DA yang sampai sekarang masih banyak
digunakan (1, 5, 10, 11). Kriteria tersebut dapat dilihat pada tabel
(tabel 1). Beberapa kriteria diagnosis lain kemudian menyusul,
seperti kriteria dari Svenssons (tabel 2) dan yang terbaru adalah
kriteria berdasarkan manifestasi klinis oleh William dkk. th. 1994,
yang sangat sederhana dan dengan cepat dapat dikerjakan (tabel
3) (11,12). The Europian Task Force on Atopic Dermatitis membuat
suatu indek untuk menstandardisasi diagnosis DA, dikenal
dengan istilah SCORAD (Score of atopic dermatitis) (10, 13).
Tabel 1.1. Hanifin and Rajkas diagnostic criteria for atopic dermatitis *
Major criteria
Pruritus
Typical mprphology and distribution
Adults : Flexural lichenification or linearity
Children and infants : Facial, extensor
Chronic or relapsing dermatitis
Personal or family history of atopy
Minor criteria
Xerosis
Ichthyosis/keratosis pilaris/palmar hyperlinearity
Type I skin test reactivity
Orbital darkening
Elevated serum IgE
Keratoconus
Early age at onset
Anterior subcapsular cataracts
Tendency to skin infection (Staphylococcus, Facial pallor/erythema
aureus herpes simplex)/ impaired cellPityriasis alba
mediated immunity
Hand/foot dermatitis
Anterior neck folds
Nipple eczema
Itch when sweating
Conjunctivitis
Intolerance to wool and lipid
solvents
Dennie-Morgan fold
Perifolliculer accentuation
Food intolerance
Course influenced by enviromental/emotional factors
White dermatographism/delayed blanch
* Must have 3 major crietria and 3 minor criteria

dikutip sesuai dengan aslinya dari Atopic Dermatitis: An update (Rothe


and Grant-Kels, 1996).

Tabel 1.2. Kriteria diagnosis Dermatitis Atopik dari Svensson *


Kelompok kesatu (p<0.001, bernilai 3) :
1. Perjalanan penyakitnya dipengaruhi musim
2. Xerosis
3. Diperburuk dengan tegangan jiwa
4. Kulit kering secara berlebihan atau terus menerus
5. Gatal pada kulit yang sehat apabila berkeringat
6. Serum IgE 80 IU/ml
7. Menderita rinitis alergika
8. Riwayat rinitis alergika pada keluarga
9. Iritasi dengan tekstil
10. Hand eczema pada waktu anak-anak
11. Riwayat dermatitis atopik pada keluarga
Kelompok kedua (p<0.001, bernilai 2)
1. Kulit muka yang pucat/kemerahan
2. Knucle dermatitis (dermatitis dengan likenifikasi pada jari-jari)
3. Penderita menderita asma
4. Keratosis pilaris
5. Alergi terhadap makanan
6. Dermatitis numularis
7. Nipple eczema
Kelompok ketiga (p<0.05, bernilai1)
1. Pomfolik
2. Ikhtiosis
3. Dennie-Morgan fold
* Dikutip dari A Diagnostic Tool for Atopic Dermatitis based on Clinical Criteria
(A. Svensson, B. Edman dan H. Moller, 1985).
* Diagnosis DA ditegakkan apabila jumlah nilai sama dengan atau lebih dari 15.

Tabel 1.3. Diagnostic Guideline of Atopic Dermatitis *


Must have
An itchy skin condition (or parenteral report scratching or
rubbing in a child)
Plus three or more :

1. History of involvement of skin creases such as folds of elbows,


behind the knees, fronts of ankles or around the neck
(including cheeks in children under 10)
2. A personal history of asthma or hay fever (or history of atopic
disease in a first degree relative in children under 4
3. A history of a general dry skin in the last year
4. Visible flexual aczema (or eczema involving the cheeks/
forehead and outer limbs in children undere 4)
5. Onset under the age of 2 (not used if child under 4)
* Dikutip dari Siti Aisah Boediardja, 1997 dari kepustakaan : William HC et al.
Working Party Report. The UK Working Partys Diagnostic Criteria for Atopic
Dermatitis II. Observer variation of clinical diagnosis and sign of atopic
dermatitis, British J Dermatol. 1994, 131;397-405.

D. Imunopatogenesis Dermatitis Atopik


Etiologi dermatitis atopik masih belum diketahui dan patogenesisnya sangat kompleks serta melibatkan banyak faktor,
sehingga menggambarkan suatu penyakit yang multifaktorial (14,
15). Salah satu teori yang banyak dipakai untuk menjelaskan
patogenesis DA adalah teori imunologik. Konsep imunopatologi
ini berdasarkan bahwa pada pengamatan 75% penderita DA
mempunyai riwayat penyakit atopi lain pada keluarga atau pada
dirinya (1, 5, 6, 7). Selain itu beberapa parameter imunologi dapat
diketemukan pada DA, seperti peningkatan kadar IgE dalam
serum pada 60-80% kasus (3, 14, 15), adanya IgE spesifik terhadap
bermacam aerolergen dan eosinofilia darah (14) serta diketemukannya molekul IgE pada permukaan sel Langerhans epidermal
(3,14). Pada DA didapatkan pula abnormalitas imunitas seluler,
dengan manifestasi klinisnya antara lain penderita lebih rentan
terhadap infeksi virus seperti herpes simpleks virus, vaccinia,
coxsackie A16 dan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi
kronis dermatofita serta menurunnya kepekaan pada alergen
kontak yang spesifik (1, 15).
Peranan reaksi alergi pada etiologi DA masih kontroversi dan
menjadi bahan perdebatan di antara para ahli. Istilah alergi dipakai untuk merujuk pada setiap bentuk reaksi hipersensitivitas
yang melibatkan IgE sebagai antibodi yang terjadi akibat paparan
alergen. Beberapa peneliti menyebutkan alergen yang umum
antara lain, sebagai berikut (9, 10) :
6

1. Aeroalergen atau alergen inhalant : tungau debu rumah (house


dust mite), serbuk sari buah (polen), bulu binatang (animal
dander), jamur (molds) dan kecoa
2. Makanan : susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut dan
gandum
3. Mikroorganisme : bakteri seperti staphylococcus aureus, streptococcus species, dan ragi (yeast) seperti pityrosporum ovale,
candida albicans dan trichophyton species.
4. Bahan iritan atau alergen : wool, desinfektans, nikel, Peru
balsam dan sebagainya.
Imunopatogenesis DA dimulai dengan paparan imunogen
atau alergen dari luar yang mencapai kulit, dapat melalui sirkulasi
setelah inhalasi atau secara langsung melalui kontak dengan kulit
(14, 15). Pada pemaparan pertama terjadi sensitisasi, dimana
alergen akan ditangkap oleh sel penyaji antigen (antigen presenting cell = APC) untuk kemudian diproses dan disajikan kepada
sel limfosit T dengan bantuan molekul MHC klas II. Hal ini
menyebabkan sel T menjadi aktif dan mengenali alergen tersebut
melalui reseptor (T cell receptor = TCR). Setelah paparan, sel T akan
berdeferensiasi menjadi subpopulasi sel Th2 karena mensekresi
IL-4 dan sitokin ini merangsang aktivitas sel B untuk menjadi sel
plasma dan memproduksi IgE (yang spesifik terhadap alergen).
Begitu ada di dalam sirkulasi IgE segera berikatan dengan sel mast
(=MC) dan basofil. Pada paparan alergen berikutnya, IgE telah
tersedia pada permukaan sel mast, sehingga terjadi ikatan antara
alergen dengan IgE. Ikatan Ini akan menyebabkan degranulasi
MC. Degranulasi MC akan mengeluarkan mediator baik yang
telah tersedia (preformed mediators) seperti histamin yang akan
menyebabkan reaksi segera, ataupun mediator yang baru dibentuk (newly synthesiized mediators) seperti leukotrien C4 (LTC4),
prostaglandin D2 (PGD2) dan lain sebagainya (14, 15).
Sel Langerhans epidermal (LC) berperan penting pula di
dalam patogenesis DA oleh karena mengekpresikan reseptor pada
permukaan membrannya yang dapat mengikat molekul IgE
(=FcRI) (3, 14) serta menseksresi berbagai sitokin. Apabila ada
alergen masuk akan diikat dan disajikan pada sel T dengan bantuan molekul MHC klas II dan sel T akan mensekresi limfokin
dengan profil Th2 yaitu IL-4. IL-5, IL-6 dan IL-10 (1, 15). IL-5
secara fungsional bekerja mirip ECF-A sehingga sel eosinofil
7

ditarik dan berkumpul di tempat lesi, menjadi aktif dan akan


mengeluarkan granula protein yang akan membuat kerusakan
jaringan. Terjadinya lesi DA pada keadaan ini didasari oleh
mekanisme reaksi fase lambat atau late phase reaction (=LPR).
Respon imun pada DA terjadi mirip respon tipe lambat atau reaksi
tipe IV karena melibatkan sel limfosit T dan oleh karena diperantarai oleh IgE maka dikenal sebagai IgE-mediated delayed type
hypersensitivity (16).
E. Penatalaksanaan Dermatitis Atopik (17)
Berdasarkan konsep imunologik DA merupakan kelainan
kulit inflamasi yang terjadi oleh karena gangguan fungsi pengaturan sel imun (dysfunction in the cellular immunoregulation). Hal ini
terlihat di dalam merespon paparan alergen, sel T akan berdeferensiasi menjadi sel T helper dengan profil Th2 yang mengeluarkan
sitokin IL-4, IL-5. Sitokin ini selanjutnya akan memacu proses
inflamasi untuk terjadinya DA. Oleh karena itu penatalaksanaan
DA harus mengacu pada kelainan dasar tersebut, selain mengobati gejala utama gatal untuk meringankan penderitaan penderita.
Protab pelayanan profesi untuk pengobatan DA di SMF Kulit
& Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta bertujuan untuk: menghilangkan ujud kelainan kulit dan rasa gatal, mengobati lesi kulit,
mencari faktor pencetus dan mengurangi kekambuhan. Pengobatan masa depan tentunya akan berdasarkan terjadinya proses inflamasi alergi pada dermatitis atopik.
Secara konvensional pengobatan DA kronik pada prinsipnya
adalah sbb. (Boguniewicz & Leung 1996):
1. menghindari bahan iritan
5. kortikosteroid topical
2. mengeliminasi alergen yang
6. pemberian antibiotic
telah terbukti
7. pemberian antihistamin
3. menghilangkan pengeringan 8. mengurangi stress dan
kulit (hidrasi)
9. memberikan edukasi pada
4. pemberian pelembab kulit
penderita maupun keluarga(moisturizing)
nya
Selain itu harus dijelaskan pula bahwa pengobatan tidak bersifat currative (menghilangkan penyakit) tetapi untuk mengurangi
gejala dan mencegah kekambuhan.

Ad 1

Ad 2

Ad 3

Ad 4

Ad 5

Ad 6

: Menghindari bahan iritan


Bahan-bahan seperti sabun, detergen, bahan kimiawi,
rokok, pakaian kasar, suhu yang ekstrem dan lembab
harus dihindari karena penderita DA mempunyai nilai
ambang rendah dalam merespon berbagai iritan. Penggunaan sabun mandi harus yang mild dan dengan pH
netral. Pemakaian krim tabir surya perlu untik mencegah
paparan sinar matahari yang berlebihan.
: Mengeliminasi allergen yang telah terbukti
Alergen yang telah terbukti sebagai pemicu kekambuhan
harus dihindari, seperti makanan, debu rumah, bulu
binatang, serbuk sari tanaman dan sebagainya.
: Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)
Kulit penderita atopik menunjukkan adanya transepidermal water loss yang meningkat. Oleh karena itu hidrasi
penting dalam berhasilnya terapi, misalnya pada kulit
penderita atopik diberikan suatu bebat basah selama 1520 menit agar terjadi penyerapan air atau mandi dengan
air hangat.
: Pemberian pelembab kulit (moisturizing)
Pelembab bisa berbentuk cairan, krim atau salep. Pemakaian pelembab dapat memperbaiki fungsi barier stratum
korneum dan mengurangi kebutuhan steroid topikal.
: Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal dipakai sebagai anti inflamasi dan
anti pruritus dan berguna pada saat eksserbasi akut.
Selain itu berkhasiat pula sebagai anti mitotik. Berdasar
potensi kedua khasiat tadi steroid digolongkan menjadi
steroid dengan potensi lemah, sedang, kuat dan sangat
kuat.
Pada prinsipnya penggunaan steroid topikal dipilih yang
paling lemah potensinya yang masih efektif .Oleh karena
makin kuat potensi makin banyak efek samping seperti
atrofi kulit, hipopigmentasi, erupsi akneformis, infeksi
sekunder dan terjadinya striae
: Pemberian antibiotik
Penderita DA mempunyai kepekaan yang meningkat
terhadap berbagai agen mikrobial, seperti virus jamur
maupun bakteri. Lebih dari 90% kulit penderita DA dapat
ditemukan S. aureus di dalam lesi kulit. S. aereus ini
9

Ad 7

Ad 8

10

kadang-kadang dapat sebagai pemicu kekambuhan, melalui produksi toksin yang dapat bersifat sebagai superantigen.
Penggunaan antibiotik terutama ditujukan pada lesi DA
dengan infeksi sekunder (oleh S. aureus). Sebagai obat
pilihan adalah eritromisin; dan bila ada gangguan
gastroiintestinal atau telah resistan, maka obat alternatif
adalah sefalasporin generasi pertama atau kedua.
Mupirocin sebagai anti-staphylococcal topikal dapat
mencegah meluasnya lesi kulit.
: Pemberian antihistamin
Antihistamin digunakan sebagai antipruritus yang cukup
memuaskan untuk terapi simptomatis pada DA. Klasifikasi antihistamin berdasarkan ada tidaknya efek sedasi
adalah:
- antihistamin generasi pertama atau generasi lama
- antihistamin generasi kedua atau non sedatif antihistamine
Generasi pertama dapat menembus sewar darah otak
sehingga mempunyai efek sedasi sebagai contoh : klorfeneramin, difenhidramin, hidroksizin, prometazin, pirilamin dan tripolidin.
Sedangkan generasi kedua termasuk antara lain: astemizol, loratadin, citirisin, terfenadin dan fexofenadin.
Loratadine 10 mg ataupun citirisin 5-10 mg dosis tanggal
dikatakan dapat mengurangi gejala secara cepat. Selain
itu citirisin atau fexofenadine mempunyai efek antiinflamasi pula yaitu dengan menghambat ekspresi
molekul adesi sehingga mengurangi migrasi sel-sel
radang menuju ketempat inflamasi.
Apabila rasa gatal pada malam hari masih mengganggu
dapat diberikan antihistamin generasi pertama, seperti
hidroksizin atau doxepin agar penderita dapat tidur
nyenyak. Pemberian antihistamin lokal tidak dianjurkan
oleh karena mempunyai potensi sensitisasi, sehingga
dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas.
: Mengurangi stress
Stres emosi pada penderita DA merupakan pemicu kekambuhan, bukan sebagai penyebab. Di dalam merespon
stress, rasa frustasi atau kekecewaan sering kali dengan

Ad 9

timbul gatal dan garukan maka terjadi lingkaran setan:


stres-gatal-garukan. Garukan pada kulit merupakan
trauma pada keratinosit yang dapat merangsang keluarnya sitokin IL-1 dan TNF- dan sitokin ini akan meningkatkan ekspresi molekul adesi yang pada akhirnya akan
lebih memudahkan terjadinya inflamasi.
Usaha-usaha mengurangi stres adalah dengan melakukan
konseling pada penderita DA, terutama yang mempunyai
kebiasaan menggaruk. Pendekatan psiko-terapi perlu
pula dilaksanakan untuk mengurangi stress kejiwaan
penderita.
: Memberikan edukasi pada penderita maupun keluarganya
Unsur pendidikan mengenai penyakitnya, faktor-faktor
pemicu kekambuhan, kebiasaan hidup dansebagainya
perlu diberikan pada penderita untuk memperoleh hasil
pengobatan yang optimal.

1. Pengobatan untuk kasus-kasus sulit


DA yang sulit disembuhkan (recalcitrant disease) perlu perhatian khusus dan bila mulai didapatkan tanda-tanda eritrodermik
atau toxik harus dirujuk ke rumah sakit dimana ada pelayanan
spesialis seperti RSUD Dr. Moewardi Solo. Hospitalisasi juga
dipertimbangkan untuk kasus-kasus dengan lesi meluas, derajat
berat dan resisten terhadap pengobatan.
2. Pengobatan (masa depan) dengan Imunomodulator
DA merupakan kelainan yang disertai gangguan respon
imunatau kelainan regulasi sistem imun. Maka pengobatan ideal
harus ditujukan adalah memperbaiki gangguan tersebut. Kortikosteroid sebagai anti inflamasi mempunyai efek imunomodulator
juga yaitu dengan cara menghambat proliferasi sel T dan produksi
sitokin secara invitro. Beberapa obat yang (kelak) dipakai sebagai
imunomodulator adalah sebagai berikut:
a. Interferon:
- telah terbukti bahwa IFN- dapat menekan sintesis IgE dan
menghambat fungsi dan proliferasi sel Th2. Beberapa percobaan menunjukkan terapi IFN- dapat menurunkan
derajat penyakit dan jumlah eosinofil dalam darah.
11

b. Siklosporin A (CsA)/ Fk 506:


- obat imunosupresi yang potent, bekerja langsung pada sel
T dengan menekan transkripsi sitokin. Secara in vitro CsA
dapat menekan produksi IL-5 dan menurunkan jumlah
eosinofil.
FK 506 merupakan imunosupresi dengan spektrum
aktivitas sama dengan CsA dalam bentuk oinment
(tacrolimus). Pada percobaan awal obat ini dapat
mengurangi gatal dalam waktu 3 hari dan pada biopsi
infiltrasi sel T dan eosinofil pada dermis berkurang secara
nyata.
c. Anti-sitokin:
- anti IL-5 antibodi, pada percobaan binatang dapat mencegah infiltrasi sel eosinofil sehingga akumulasi sel ini terhambat sampai 3 bulan. Obat ini berperan penting pada
DA kronik karena pada inflamasi kronik didominasi ekspresi IL-5 dan infiltrasi eosinofil.
- reseptor IL-4 yang larut (soluble IL-4 receptor), 0bat ini efektif mengikat IL-4 sehingga menekan IL-4 sehingga menekan fungsi sel T dan sel B yang diperantarai IL-4. sIL-4R
juga menghambat produksi IgE spesifik (terhadap paparan
alergen).

12

ATOPI DAN CUTANEOUS LATE PHASE


REACTION
A. Pendahuluan
Istilah atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca dan
Cooke pada tahun 1923, menerangkan suatu bentuk reaksi hipersensitivitas pada manusia terhadap alergen lingkungan dengan
manifestasi sebagai asma dan hay fever, cenderung diturunkan
atau familiar (18). Kata atopi berasal dari bahasa Yunani untuk
menjelaskan suatu keadaan atau penyakit yang aneh. Atopi berbeda dengan anafilaksis yang berarti tidak ada perlindungan,
maupun berbeda dengan alergi, yang berarti suatu reaksi berlebihan atau hipersensitiv (4,6,9,19). Kemajuan di bidang biologi
molekuler dan imunologi mendorong untuk lebih memahami
patogenesis atopi sehingga pemahaman tentang atopi saat ini
perlu diperbaiki. Konsep yang dianut sekarang, atopi meliputi
gejala pada saluran nafas seperti asma dan rinitis serta manifestasi
pada kulit sebagai dermatitis atopik yang memunjukkan respons
imun Th2 dengan predisposisi genetik dengan didapatkan hiperreaktivitas organ (sasaran) terhadap agen farmakologi atau iritan
disertai produksi IgE spesifik yang fakultatif dan aktivitas eosinofil (19).
Late phase reaction (LPR) adalah reaksi inflamasi lokal, yang
merupakan bentuk kaskade alergi, terjadi setelah atau mengikuti
reaksi tipe cepat (early phase) pada orang atopi. Reaksi ini dimulai
2 jam setelah kontak dengan alergen dan mencapai puncak pada
jam ke 6 sampai 12 (20,21,22). LPR pada kulit dapat dipakai
sebagai model adanya reaksi inflamasi alergi pada kulit dan
saluran nafas (pada orang atopi), yang terjadi setelah pemberian
alergen intra kutan (21). Pada patogenesis penyakit alergi yang
diperantarai IgE, LPR memberi kontribusi penting dan beberapa
sitokin pro-inflamasi berperan pada kejadian LPR (20,21). Secara
mikroskopis pada LPR terlihat akumulasi sel radang terutama
13

eosinofil sebagai petanda bahwa eosinofil merupakan komponen


selular yang penting.
Pada makalah ini dibahas konsep tentang atopi dan respons
imun Th2 pada dermatitis atopik (DA) sebagai manifestasi reaksi
atopi di kulit serta mekanisme serta peran sitokin pada terjadinya
LPR.
B. Konsep Atopi
Konsep awal Atopi seperti dikemukakan oleh Coca dan
Cooke adalah : 1. bersifat herediter, 2. terbatas pada sebagian kecil
manusia, 3. berbeda dengan anafilaksis ataupun alergi, 4. terjadi
pada beberapa orang (atopik) tertentu, 5. klinis berupa hay fever
dan asma bronkial, dan 6. dapat disertai reaksi kulit segera berupa
kemerahan dan bentol (19). Pada awal konsep tersebut DA masih
belum dikenal sebagai salah satu manifestasi klinis atopi. Baru
pada tahun 1933, Wise dan Sulzberger melaporkan suatu penyakit
kulit, yang sebelumnya dikenal sebagai neurodermatitis disseminata,
yang mempunyai sifat sifat seperti eksema dengan likenifikasi,
kumat-kumatan, cenderung familiar dan berhubungan erat dengan penyakit atopi lainnya. Penyakit tersebut diusulkan dengan
nama dermatitis atopik, dan selanjutnya dikenal sebagai salah satu
manifestasi klinis atopi (8).
Pada kondisi atopi terjadi keadaan hipersensitivitas terhadap
faktor eksternal dan telah dibuktikan adanya zat yang bereaksi di
dalam serum, yang dikenal sebagai atopic reagin. Setelah kurang
lebih 30 tahun kemudian zat ini diidentifikasi oleh Ishzaka dkk
(1967), sebagai imunoglobulin yang berbeda dengan imunoglobulin lain dengan sifat sitotrofik, dan diberi nama sebagai
imunoglobulin-E (IgE) (23). Peningkatan kadar IgE dalam serum
penderita bukanlah persaratan yang esensial bagi terjadinya kondisi atopi, oleh karena itu pada beberapa kasus kadar IgE tetap
normal dan tidak didapatkan IgE spesifik terhadap alergen.
Keadaan ini dikenal sebagai bentuk intrinsik atau non-IgE mediated
dari sindroma atopi. Jadi peningkatan IgE pada penderita atopi,
belum memberikan kontribusi pada patogenesis DA secara jelas,
oleh karena itu Wuthrich (1999) menyatakan bahwa atopi lebih
merupakan suatu kondisi dari pada suatu penyakit atau sindroma
(19).

14

Diagnosis DA merupakan hal yang mudah apabila bersandar


pada keadaan kliniko-morfologik, namun belum mencerminkan
hubungan kausalitas antara penyakit dengan kondisi atopik. Berdasar studi keluarga didapatkan bahwa faktor genetik menentukan seseorang akan mendapatkan kondisi atopi atau tidak
(24,25,26) sedangkan faktor non-genetik berperan mempengaruhi
ekspresi penyakit (24) atau menentukan spesifitas terhadap jenis
alergen. Pada mulanya sebagai penyakit genetik atopi diturunkan
dengan model simple autosomal dominant inheritance, namun
banyak yang tidak sependapat karena ada interaksi kompleks di
antara multigena yang menyebabkan manifestasi penyakit atopi
(7,10). Penelitian lebih mendalam mendapatkan beberapa lokus
genetik pada kromosom tertentu mengandung gen atau candidat
gen yang produknya berperan pada patogenesis penyakit atopik
(21,27). Dengan demikian penyakit penyakit yang tergolong
sindroma atopi merupakan penyakit polygenic inheritance yang
berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe ektrinsik atau IgE mediated dan tipe
intrinsik atau non-IgE mediated (gambar 2.1).

Sindroma Atopi
(polygenic inheritance)

Produksi IgE
spesifik allergen
(fakultatif)

Tes kulit positf, uji


RAST positif, kadar IgE
total sedang atau tinggi

Faktor lingkungan

Dermatitis atopik (eczema)


Asma bronkhiale
Rinitis

extrinsic type,
Ig-E mediated

Tes kulit negative, uji


RAST negative, kadar
IgE total rendah

intrinsic type,
non-IgE mediated

Gambar 2.1 : Klasifikasi penyakit atopi (Wutrich, 1999)


15

C. Imunopatogenesis Dermatitis Atopik


Kajian dan penemuan di bidang imunologi membuktikan
penyakit berdasar atopik dapat diterangkan dengan menggunakan berbagai fakta imunologik. Teori yang menjelaskan patogenesis penyakit atopi pada kulit (DA) didukung oleh beberapa
bukti adanya perubahan variabel imunitas humoral, seperti
kenaikkan kadar IgE pada sekitar 80% kasus DA (15,28), uji kulit
positif pada lebih dari 85% kasus terhadap berbagai alergen
(14,16), sering disertai dengan penyakit atopi lain seperti asma dan
rinitis (1,4,6,18,) dan pada pemeriksaan imunopatologi ditemukan
pada permukaan membrana sel Langerhans didapatkan IgE spesifik (1,21). Demikian pula perubahan variabel imunologik seluler
seperti meningkatnya kerentanan terhadap infeksi virus maupun
dermatofita, menurunnya kepekaan terhadap alergen kontak,
menurunnya transformasi limfosit dengan rangsangan mitogen
dan sebagainaya (1,3).
Wollenberg dkk (2000) menyimpulkan beberapa aspek patogenesis DA, seperti respon imun Th1/Th2 yang imbalans, defek
intrinsik fungsi keratinosit (KC), apoptosis eosinofil tertunda,
presentasi antigen oleh sel dendritik epidermal melalui IgE dan
efek superantigen dari Stafilokokus (29). Keseimbangan respons
Th1/Th2 abnormal terlihat pada DA stadium akut yang menunjukkan respons Th2 sedang pada stadium kronis beralih ke
respons Th1, dikenal sebagai biphasic response (30,31). Teori ini
dibuktikan dengan paparan alergen tungau debu rumah pada
kultur limfosit penderita DA dapat menyebabkan peningkatan
IL-4 yang menunjukkan respons imun Th2 dominan (32). Defek
fungsi KC terjadi akibat disregulasi aktivitas transkripsi AP-1
(activator protein-1) transcription factors sehingga ekspresi GM-CSF
dan sitokin lain meningkat, menyebabkan amplifikasi dan
dipertahankannya inflamasi pada kulit (33). Apoptosis eosinofil
yang tertunda dipengaruhi IL-5 dan IL-3 yang menyebabkan masa
hidup eosinofil lebih panjang dan lebih aktif (34,35). Penyajian
antigen oleh sel Langerhan (LC) yang merupakan keluarga sel
berdendrit epidermal dapat terjadi karena pada permukaan LC
terdapat molekul IgE yang berfungsi menangkap alergen (1).
Imunoglobulin-E pada permukaan LC ini sangat efisien dalam
menyajikan alergen pada sel T, sehingga sel T berproliferasi serta
berdeferensiasi menjadi sel Th2 yang aktif. Sel Th2 aktif mengeluarkan sitokin IL-4, IL-13 yang akan memacu sel B untuk mem16

produksi IgE dan IL-5 yang akan mengaktifkan eosinofil. Kolonisasi Staphylococcus aureus meningkat pada kulit penderita dermatitis ataupun kulit yang nampak normal pada penderita DA dibanding kontrol orang normal (6,7,9). Kuman ini melepas eksotoksin
sebagai superantigen yang terlibat dalam patogenesis DA melalui
peningkatan frekuensi migrasi dan aktivasi sel T memori.
Dengan konsep imunopatogenesis DA, menunjukkan bahwa
respon imun berperanan penting pada terjadinya lesi kulit pada
penyakit tersebut. Namun spektrum kelainan imunologik DA
sangat lebar sehingga tidak mudah untuk diklasifikasikan secara
tegas sebagai hipersensitifitas tipe cepat dengan perantaraan IgE
atau merupakan kelainan berdasar respon imun seluler (hipersensitifitas tipe lambat). Maka secara tepat Tanaka dkk (1989)
menyebut DA sebagai IgE mediated delayed type of hypersensitivity
(16).
D. Paradigma Th2-Th1 pada penyakit atopik
Peran sel T helper sangat penting dalam proses inflamasi pada
penyakit atopi, oleh karena sel ini memegang kendali terjadinya
respon imun (36). Ada tiga sub-populasi sel Thelper yaitu Th-1,
Th-2 dan Th-0. Ketiga subset ini dibedakan atas dasar sekresi
sitokin yang diproduksinya pada saat ia menerima paparan antigen dari sel penyaji antigen.
Tahun 1997 Romagnani menulis tentang polarisasi sel Th1/
Th2 dalam konteks yang berhubungan dengan patofisiologi penyakit. Penyakit atopik menunjukkan fenomena hipersensitif yang
ditandai dengan respons imun Th2 lebih dominan terhadap satu
atau beberapa alergen lingkungan, oleh karean itu disebut Th2
disease, artinya produksi sitokin Th2 berlebihan (Th2 excess).
Beberapa penemuan yang mendukung konsep ini antara lain (37):
1. Sel Th2 terakumulasi pada organ target penderita alergi
2. Rangsangan alergen dapat menyebabkan aktivitasi dan
rekrutmen sel Th2 spesifik
3. Th2 dengan marka CD 30+ yang reaktif terhadap alergen
berada dalam sirkulasi darah penderita atopi selama
paparan alergan musiman
4. Sel TCD4+ darah umbilukus (cord blood lymphocytes) dari
neonatus dengan orang tua atopi memproduksi IL-4 lebih
tinggi dari orang tua non atopi.
17

Pada penderita atopi termasuk DA, terjadi respon imun Th2


terhadap rangsangan alergen lingkungan, oleh karena adanya
perubahan genetik yang menyebabkan produksi IL-4 berlebihan,
atau berkurangnya regulasi sitokin yang menghambat produksinya yaitu IL-12 dan IFN- atau keduanya. Diferensiasi sel Thelper
menjadi sel Th1 atau Th2 ditentukan oleh fakor genetik dan
kondisi lingkungan, terutama sitokin tipe apa yang
mempengaruhi mikroenvironment di dalam sel Th nave. Perubahan
Th nave menjadi Th2 dirangsang IL-4, yang sejak awal telah
diproduksi oleh sel Th nave sendiri dalam jumlah kecil, beraksi
otokrin. Interleukin (IL)-6 yang diproduksi sel penyaji antigen
diduga juga dapat mendorong polarisasi ke arah Th2, sedangkan
pengaruh IL-12 dan IFN- lebih sesuai untuk diferensiasi ke Th1
(37), namun penelitian Harijono (2003) mendapatkan bahwa IL-12
tidak berperan pada pengalihan ke respons imun Th1 pada
penderita DA(32). Pengaruh IL-10 dan prostaglandine E2 (PGE2)
yang dikeluarkan monosit penderita DA mendorong ke Th2 (38)
dan PGE2 ini diduga bekerja menghambat produksi IL-12 oleh
dendritic cells dan IFN- oleh sel T.
Dengan pemahaman paradigma Th1 dan Th2 di bidang
penyakit alergi ataupun infeksi, akan dapat lebih memberikan
penjelasan patogenesis penyakit. Kemajuan di dalam penelitian
yang dilakukan, akan memberikan prospek untuk strategi tatalaksana, misalnya dapat digunakan sebagai dasar imunoterapi
pada penyakit atopik derajat berat atau recalcitrant. Sel Th2 mempunyai peran sentral pada patogenesis DA maupun asma atopik,
di dalam menginduksi respon IgE dan rekrutmen eosinofil terutama pada DA atau asma ekstrinsik, hal ini dapat dilihat seperti
pada gambar 2.2. (19)

18

IL-4/IL-13
B

Th2

IgE

MC

(EA,EAD)
(EA,EAD
& IA,IAD)
ECF-A

Histamin
Leukotriene

IL-5

Sitokin proinflamatorik lain?

Reaksi alergi
segera
Eo

MBP
ECP
EPO

Reaksi alergi fase lambat


(Late phase reaction)
Inflamasi
Gambar 2.2 : Model patogenesis pada asma dan dermatitis atopik
(Wuthrich,. 1999)
Keterangan:
- EA
- EAD
- IA
- IAD
- ECF-A
- MBP
- ECP

Extrinsic asthma
Extrinsic atopic dermatitis
Intrinsic asthma
Intrinsic atopic dermatitis
eosinophil chemotactic factor of
anaphylaxis
= major basic protein
= eosinophil cationic protein
=
=
=
=
=

-EPO = Eosinophilperoxides
- MC = mast cell
- Eo
= eosinophils
-B
= B cells

E. Redefinisi atopik
Dari penelitian di bidang imunologi molecular, pengertian
atopi dewasa ini telah banyak berbeda dengan konsep awal.
Berdasar hal tersebut maka Lowell (1979), yang kemudian disem19

purnakan oleh Wuthrich (1999) mengajukan definisi baru atopi,


atopi meliputi sindroma respirasi asma dan rinitis serta manifestai pada
kulit (dermatitis atopik) adalah suatu hipersensitivitas dari organ
(sasaran) terhadap agen farmakologis atau iritan, dan merupakan suatu
respons imun Th2 terhadap alergen dengan produksi IgE spesifik yang
fakultatif, disertai aktivitas eosinofil, dan mempunyai predisposisi genetic
(19). Dengan demikian dapat diterangkan respons imun pada
penyakit atopi saat kambuh adalah respons Th2. Khusus pada DA
pada stadium kronis respons imun beralih menjadi respons Th1
yang lebih prominen, suatu keadaan yang dikenal dengan biphasic
response (31,32).
F. Late phase reaction
Penderita dengan kondisi atopi yang telah sensitif terhadap
alergen spesifik, apabila terpapar ulang akan memberikan reaksi,
mula mula terjadi respons fase dini (early phase) kemudian diikuti
respons fase lambat (LPR). Respons fase lambat terjadi 26 jam
setelah paparan alergen, dengan puncak pada jam ke 6-12 dan
akan tetap ada sampai 2448 jam (20,21,22). Penelitian Wildschut
dkk (1996) pada penderita DA, setelah pemberian alergen Dermatophagoides pteronyssinus intrakutan terjadi reaksi alergi mulai jam
ke 2 sampai maksimum 6-10 jam dan berakhir setelah 24 jam (21).
Gambaran makroskopis cutaneous LPR yang terlihat adalah edema
difus, eritema, sedikit indurasi, gatal dan pada perabaan kenyal
(tenderness). Ini berbeda dengan hasil tes tempel (atopic patch test=
APT) 24 sampai 48 jam setelah aplikasi epikutan alergen Der p
terlihat eritema, indurasi, papel dan atau vesikel pada tempat
penempelan. Dengan teknik imunositokimia terlihat perbedaan
antara lesi LPR dibanding APT maupun dibanding lesi DA(L) dan
non-lesi (NL). Pada LPR tanda khas adalah rekrutmen bermacam
macam sel radang terutama eosinifil dan neutrofil pada tempat
inflamasi disertai edema dan degranulasi sel mast. Tidak didapatkan spongiosis dan akantosis seperti pada lesi DA. Pada hasil
APT tampak spongiosis, akantosis dan infiltrasi sel pada dermis
yang didominasi CD1+, CD4+ sel T dan eosinofil aktif, gambaran
ini sesuai dengan lesi DA.
Komponen selular pada APT dan LPR yang diperiksa dengan
imunositokimia pada jam ke 2 dan 24, dibandingkan dengan lesi
DA dan non-Lesi, didapatkan hasil seperti pada tabel di bawah
(21):
20

Tabel Komponen selular pada LPR, APT dan Lesi DA (L).

Neurotrofil
Eosinofil
Sel mast
Sel T (CD3+)
Ekspresi
mol.adesi
Lokasi
neutrofil
pada dermis

NL
+
+/-

LPR
jam ke2 jam ke24
+++
++
++
+++
+/+/+
++

+/-

++

ekstra vaskular

Keterangan:
NL : non lesi
LPR : late phase reaction
APT : atopic patch test
L
: lesi DA

+ /+
++
+++

APT
jam ke 2 jam ke24
+/+
+
++
+
+
+
++
+/-

intra vaskular

:
:
:
:

L
+/+/+
+++
+
Intra
vaskular

sedikit sekali (very small)


sedikit (small)
banyak
banyak sekali (extensive)

Infiltrasi neutrofil pada cutaneous LPR terlihat prominen


sedang pada lesi DA maupun APT minim atau sedikit sekali.
Eosinofil pada jam ke 2 setelah paparan alergen telah banyak
terkumpul, berarti ada faktor yang mempengaruhi tertariknya sel
ini pada fase awal lesi LPR. Sel mast (MC) terdapat dalam jumlah
lebih sedikit dibanding pada lesi maupun non-lesi (p<0.05), hal ini
disebabkan pada LPR terjadi degranulasi MC, sedang pada APT
jumlah MC tidak berbeda dengan lesi maupun non-lesi. Jumlah
sel T CD3+ lebih banyak pada LPR dibanding non-lesi (p<0.02),
tetapi kurang dibanding lesi DA (p<0.02). Ekspresi E-selectin pada
sel endotel minimal pada non-lesi, sedangkan pada LPR jam ke 2
terjadi peningkatan ekspresi dibanding non lesi (p<0.02) namun
tidak terjadi pada APT. Setelah 24 jam terlihat ekspresi E-selectin
lebih meningkat pada LPR dibanding APT (p<0.02).
Penelitian Okado dkk. mendapatkan pada penderita DA,
setelah paparan alergen terjadi inflamasi lokal yang mirip gambaran LPR (LPR positiv) maupun tidak mirip (LPR negativ) (39).
Perbedaan reaktivitas kulit ini terlihat dari produksi IL-5 in vitro
oleh sel mononuklear darah tepi (PBMC) yang dipapar Der.farinae.
Penderita DA dengan LPR positif ternyata produksi IL-5 lebih
21

tinggi secara signifikan (p<0.05) dari pada DA dengan LPR


negatip (gambar 2.3), sedang tak ada beda signifikan pada
produksi IL-4.

Gambar 2.3. Kadar IL-5 lebih tinggi pada LPR (+) penderita DA
daripada LPR (-)
(Dikutip dari : Okada et al, 2002)

Penelitian ini juga memperlihatkan profil sitokin Th2 (IL-4,


IL-5) dan Th1 (IL-2,IFN-gamma) yang diproduksi PBMC pada
kultur baik yang dipapar Der.far maupun C.albicans, Alternaria
maupun tanpa paparan, sebagai berikut:
- penderita DA maupun kontrol orang sehat, paparan C. alb
menyebabkan respons imun Th1, dengan produksi IFN-gamma
dan IL-2 meningkat dibanding dengan paparan alergen lain
(Der. far dan Alternaria) maupun tanpa paparan, dengan p<0.05
(gambar 2.4 & 2.5).
22

- penderita DA yang dipapar Der.far menunjukkan respons Th2,


dengan peningkatan IL-4 dan IL-5 yang signifikan dibanding
tanpa paparan maupun paparan alternaria (gambar 2.6 & 2.7).
Ini sesuai dengan penelitian Harijono (2003), menggunakan
tungau debu rumah sebagai alergen, terjadi peningkatan kadar
IL-4 dibanding tanpa paparan Dibanding kontrol orang sehat,
penderita DA yang dipapar Der far, kadar IL-4 meningkat
namun tidak signifikan, sedang IL-5 meningkat signifikan (39).
Pada penderita DA paparan Der far tidak terjadi peningkatan
IL-2 dan IFN-gamma yang signifikan dibanding kontrol, dan
kadar IFN-gamma sendiri lebih rendah pada DA dibanding
kontrol (gambar 2.4 & 2.5), berarti paparan alergen pada DA tidak
menyebabkan respons Th1, hal ini juga sesuai dengan penelitian
Harijono (32).

Gambar 2.4. Produksi IL-2 akibat stimulasi alergen pada penderita DA


dan kontrol. Terdapat peningkatan kadar IL-2 sebagai respon paparan
C. albicans dibanding paparan alergen yang lain. , DA (n=29);
o, kontrol (n=13). (Dikutip dari : Okada et al, 2002).

23

Gambar 2.5. Produksi IFN- setelah stimulasi alergen pada penderita DA dan
kontrol. Terdapat kenaikan produksi IFN- sebagai respon paparan C. albican
dibanding allergen yang lain atau tanpa paparan. , DA (n=29); o, kontrol
(n=13). (Dikutip dari : Okada et al, 2002).

Gambar 2.6. Produksi IL-4 setelah stimulasi alergen pada penderita DA dan
kontrol. Terdapat kenaikan produksi IL-4 sebagai respon paparan C. albican dan
D. farinae dibanding paparan Alternaria atau tanpa paparan. , DA (n=29);
o, kontrol (n=13). (Dikutip dari : Okada et al, 2002)

24

Gambar 2.7. Produksi IL-5 setelah stimulasi alergen pada penderita DA dan
kontrol. Terdapat kenaikan produksi IL-5 sebagai respon paparan C. albican dan
D. farinae dibanding paparan Alternaria atau tanpa paparan. Produksi IL-5
setelah paparan D. farinae lebih tinggi pada DA dibanding kontrol. , DA
(n=29); o, kontrol (n=13). (Dikutip dari : Okada et al, 2002).

G. Peran sitokin dan kemokin pada LPR


Kejadian LPR tidak terlepas dari peran berbagai sitokin terutama berasal dari sel T aktif dan lain, serta beberapa kemokin
dan molekul adesi, yang semuanya memberi kontribusi terkumpulnya sel inflamasi pada tempat peradangan (21,22). Akumulasi
eosinofil sejak awal LPR disebabkan karena alergen masuk ke
dermis dan akan berinteraksi dengan IgE spesifik dipermukaan sel
mast melalui reseptor FcRI, dan mengakibatkan degranulasi MC.
Hal ini akan menyebabkan keluarnya mediator inflamasi seperti
histamin, proteoglikans, triptase, prostaglandins, leukotriene,
platelet activating factor (PAF) dan sebagainya. Leukotiene B4 dan
PAF merupakan kemotaktik faktor bagi tertariknya eosinofil dan
neutrofil sehinggga kedua sel ini banyak didapatkan pada fase
awal LPR. Selain itu MC juga memproduksi sitokin IL-4, IL-5, IL-6,
25

IFN-gamma dan TNF- (21) yang terlibat dalam respons inflamasi


dengan merangsang ekspresi molekul adesi seperti ICAM-1, Eselectin pada sel endotel (SE) sehinggga terjadi migrasi neutrofil
ke jaringan. Penelitian Zweiman dkk (1998) menunjukkan didapatkan kadar IL-8 yang lebih tinggi pada LPR dibanding pada
reaksi hipersensitivitas lambat (DH= delayed hypersentivity) yang
diduga menyebabkan eksudasi neutrofil (40).
Migrasi eosinofil melalui sel endotel vaskuler (trans endothel
migration) tidak lepas dari peran molekul adesi yang di ekspresikan oleh SE. Induksi oleh IL-1 dan TNF-, juga IL-4 dan IL-5
menyebabkan SE mengekspresikan VCAM-1 yang secara selektif
akan berikatan dengan eosinofil, sehingga terjadi migrasi. Ekspresi
VCAM-1 dapat ditunjukkan pada LPR yang terjadi di kulit,
hidung dan paru (22). Sitokin lain yang berperan adalah IL-3, GMCSF, RANTES dan Eotaxin yang diproduksi sel epitel, penting
dalam migrasi leukosit terutama eosinofil. Eosinofil di jaringan
dermis akan mengalami degranulasi yang akan mengeluarkan
granula proteinnya seperti MBP, ECP EDN dsb yang dapat
bersifat toksik pada jaringan.
Mekanisme terjadinya inflamasi pada LPR, disebabkan oleh
karena pengaruh atau induksi sitokin yang menyebabkan ekspresi
molekul adesi pada SE sehingga terjadi infiltrasi sel ke tempat
peradangan. Sebagai pemicu LPR adalah MC yang mengeluarkan
TNF-, IL-5, GM-CSF dan MIP-1, sedangkan sel Th2 yang
memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan RANTES akan mempertahankan inflamasi sampai 24-48 jam (22). Berdasar mekanisme
tersebut Ebisawa membagi LPR menjadi dua sub fase yaitu late
phase dan very late phase (gambar 2.8).

26

Gambar 2.8. Mekanisme LPR. Sel Th2, sel mast, eosinofil, basofil, sel
endotel, dan sel epitel memberi kontribusi pada terjadinya LPR melalui
ekspresi dan produksi sitokin dan kemokin. Sitokin dari mast sel dan Th2
mungkin berfungsi sebagai trigger terjadinya LPR yang klasik. (Dikutip
dari : Ebiwasa, M et al, 1997).
Kesimpulan
Atopi adalah suatu kondisi yang meliputi sindroma respirasi
seperti asma dan rinitis serta manifestasi pada kulit, merupakan
reaksi hipersensitivitas terhadap allergen lingkungan yang menunjukkan respons imun Th2 dengan produksi IgE spesifik fakultatif disertai aktivitas eosinofil dan mempunyai predisposisi
genetic. Manifestasi atopi pada kulit sebagai dermatitis atopik,
berupa inflamasi kronis spesifik disebabkan reaksi hipersensitivitas terhadap alergen dengan respons imun Th2 dominan pada
stadium akut dan Th1 pada stadium kronis.
Reaksi atopi dapat didahului oleh suatu inflamasi lokal yang
terjadi 2-6 jam setelah paparan alergen, disebut late phase reaction
(LPR). LPR diawali dengan infiltrasi eosinofil dan neutrofil ke
tempat peradangan oleh karena pengaruh sitokin dan kemokin
yang dikeluarkan MC yang mengalami degranulasi dan pada fase
selanjutnya dipertahankan oleh sitokin Th2. Pengamatan terjadinya LPR sebelum reaksi atopi penting, memungkinkan kita dapat
melakukan pengobatan berdasar mekanisme terjadinya LPR,
antara lain terapi antagonis terhadap IL-5 atau sitokin lain yang
27

berperan pada LPR, atau terhadap eosinofil, agar tidak berlanjut


menjadi inflamasi kronis seperti pada DA.

28

EOSINOFIL
PERAN DAN FUNGSINYA PADA
DERMATITIS ATOPIK
A. Pendahuluan
Eosinofil adalah salah satu granulosit polimorfonuklear (PMN),
yang berasal dari sumsum tulang, pada keadaan normal berada
dalam darah tepi dan jaringan dalam jumlah tidak prominen (34).
Dalam sirkulasi jumlah eosinofil hanya 13% dari seluruh darah
perifer dan sangat kecil dibandingkan yang ada di sumsum tulang
(1:200) serta di dalam jaringan, yaitu 1:500 (41). Sebagian besar
eosinofil tinggal di jaringan terutama pada epitel mukosa yang
berhubungan dengan dunia luar seperti pada traktus respirasi,
gastrointestinal, saluran urogenital bawah (42). Pada keadaan
tertentu seperti alergi, infeksi parasit atau beberapa penyakit
idiofati lain, jumlahnya dalam darah meningkat (eosinofilia) (34, 41,
43).
Pertama kali eosinofil dapat diidentifikasi oleh Paul Ehrlich
pada tahun 1879 dari lekosit yang mempunyai afinitas kuat terhadap zat warna asam oleh karena adanya granul granul di dalam
sitoplasma (44). Korelasi antara peningkatan jumlah eosinofil
yang menyertai adanya infeksi parasit dan alergi telah diketahui
sejak lebih dari seratus tahun yang lalu, namun peranannya
sebagai sel efektor proinflamasi, saat itu masih belum jelas. Baru
pada dekade 1970an diketahui bahwa eosinofil mengandung granula spesifik yang bersifat sangat toksik dan mampu membangkitkan reaksi inflamasi serta dapat menyebabkan kerusakan jaringan
(34, 43, 44). Peran eosinofil pada penyakit alergi, terutama karena
terdapat bemacam-macam reseptor pada membrana sel, seperti
reseptor untuk imunoglobulin, integrin, komplemen dan sitokin,
yang memungkinkan sel ini dapat berinteraksi dengan komponen
respon imun lainnya (34, 41, 45).
29

Pertumbuhan dan diferensisasi eosinofil dalam sumsum


tulang dipengaruhi oleh sitokin IL-3, IL-5 dan GM-CSF (Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor), terutama IL-5 yang
dapat secara akut menyebabkan keluarnya sekelompok eosinofil
matang ke dalam sirkulasi (34, 41, 43, 46). Aktivasi, rekrutmen dan
akumulasi eosinofil pada tempat peradangan merupakan proses
yang kompleks, meliputi peristiwa marginasi baik melalui selectin
mediated maupun integrin mediated margination dan dilanjutkan
dengan migrasi transendotel sampai terkumpul dilokasi inflamasi
dan diakhiri dengan keluarnya granul-granul yang menyebabkan
terjadinya inflamasi (44, 47, 50).
Dermatitis atopik (DA) adalah peradangan kulit yang kronis
residif disertai dengan kenaikkan kadar IgE dalam serum dan
adanya riwayat asma, rinitis alergika dan atau dermatitis (atopi)
pada penderita ataupun keluarganya (1, 6, 17). Etio-patogenesis
nya sampai sekarang belum jelas, banyak faktor yang ikut terlibat
dan berperan di dalam terjadinya penyakit ini (multifaktorial
disease). Magnerin dkk (1995) menyimpulkan bahwa eosinofil
berperan dalam patogenesis terjadinya lesi kulit pada DA dengan
food sensitivity (49). Leiferman dan Gleich (1996) menyatakan
adanya kenaikan IgE dan hipereosinofilia dalam darah tepi
penderita DA serta deposisi granul protein pada kulit yang
mengalami inflamasi menunjukkan keterlibatan dan aktivitas
eosinofil (46). Bruinjzeel PL dkk (1993) melakukan uji tempel pada
penderita DA dan dari hasil biopsi setelah 24 & 48 jam, ternyata
eosinofil dalam keadaan aktif dengan mengeluarkan eosinophil
cationic protein (ECP) serta menginfiltrasi dermis dan epidermis.
Uji tempel ini dikenal dengan APT (Atopic Patch Test) yang dapat
dipakai sebagai model (in vivo) untuk mempelajari patogenesis
DA (50).
B. Struktur Dan Aktivitas Biologi Eosinofil
Eosinofil dikenal sebagai sel yang mempunyai inti dua lobi,
dengan diameter berukuran 12-17 milimikron, sedikit lebih besar
dari pada neutrofil dan ditandai dengan adanya granula protein di
dalam sitoplasma yang berbentuk kurang lebih bulat dengan
ukuran 0.5 mili mikron(34,41). Terdapat sejumlah kurang lebih 200
granul dalam satu sel dan setiap granul mengandung crystaloid
core di tengah yang padat elektron, dikenal sebagai major basic
protein (MBP). Di sekelilingnya terdapat non-core granule matrix
30

yang radiolusen berisi eosinophil cationic protein (ECP), eosinophil derivat neurotoxin (EDN) dan eosinophil peroxydase (EPO)
(34, 41, 44). Eosinofil yang aktif menunjukkan kepadatan granul
yang kurang (hypodense eosinophils).
Selain granul spesifik tersebut didapatkan pula dalam sitoplasma, protein Chargot-Leyden crystal atau lipofosfolipase, berupa
kristal kristal bipiramidal heksagonal yang merupakan tanda adanya eosinofil dalam jaringan dan cairan ubuh (34, 51). Eosinofil
aktif juga dapat mengeluarkan mediator lipid yang dihasilkan
oleh lipid bodies dan lipid membrane antara lain: PAF (platelet
activating factor), LTC4 (leukotrien C4), dan PGE2 (prostaglandin E2)
(34, 46).
Pada beberapa tahun terakhir ini diketahui bahwa eosinofil
merupakan sumber sitokin dan disimpan juga di dalam granula
spesifik (34, 43, 46). Sitokoin yang diproduksi eosinofil adalah:
IL-3, IL-5, GM-CSF dan faktor pertumbuhan seperti: TGF-alfa,
TGF-beta, PDGF-beta (platelet-derived growth fator), VEGF(vascular
endothelial growth factor) dan HB-EGF(heparin-binding epidermal
growth factor), sitokin imunoregulator seperti IL-2, IL-4, IL-10 dan
IFN-gamma, sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-8 dan TNFalfa dan kemokin seperti RANTES, MIP-1 alfa dan eotaxin (34, 42).
Pada dua dekade terakhir, penelitian menunjukkan bahwa
granul protein eosinofil mempunyai aktivitas proinflamasi yang
poten, dan berikut ini adalah beberapa sifat dari granula protein
eosinifil (34, 42, 43, 45):
1. Major bacic protein (MBP), mempunyai sifat sangat toksik dan
mampu membunuh parasit, cacing ataupun protozoa, bakteri
dan sel-sel mamalia. Selain itu dapat menyebabkan pelepasan
histamin dari basofil dan mastosit, menetralisir heparin dan
mengaktifkan neutrofil dan platelet.
2. Eosinophil cationic protein (ECP), bersifat helmintotoksin dan
neurotoksin yang poten, dapat menghambat proliferasi limfosit serta mempunyai aktivitas ribonuklease lemah.
3. Eosinophil derivat neurotoxin (EDN), aktivitas neurotoksin dan
ribonuklease sangat kuat dan seperti ECP dapat menghambat
proliferasi limfosit dalam kultur.
4. Eosinophil Per-oxydase (EPO), merupakan golongan peroksidase
yang bila berikatan dengan H2O2 dan Halida seperti Br. akan
menjadi oksidan yang poten, dapat membunuh mikroorga31

nisme dan sel sel tumor serta menyebabkan pelepasan histamin dan degranulasi mastosit.
Selain sifat merusak jaringan (sitotoksin) seperti tersebut di
atas MBP, ECP, EDN dan EPO dapat pula mempengaruhi langsung pembuluh darah sehingga terjadi peningkatan permeabilitas
yang menyebabkan terjadinya reaksi radang dan urtika (34, 43,
44).
Aktivitas mediator lipid yang dikeluarkan eosinofil terutama
LTC4 (Leukotrien C4), semula dikenal dengan SRS-A, menyebabkan kontraksi otot polos, sekresi mukus dan sebagai mediator
vasoaktif (34, 46). Sedangkan PAF mempunyai fungsi menarik dan
mengaktifkan lekosit ke area terjadinya inflamasi (34, 41, 46). Eosinofil dapat berperan pula sebagai sel penyaji antigen yang khusus
(specialized APC) melalui ekspresi molekul MHC klas II dan produksi IL-1 alfa (3, 7). Demikian pula eosinofil mungkin dapat berperan dalam penyembuhan jaringan dengan cara mendorong
sintesa kolagen dan DNA fibroblas serta memproduksi protein
matriks ekstrasel (42, 46).
Reseptor membran
Fungsi efektor eosinofil terutama dalam hubungan dengan
penyakit alergi dan infeksi parasit banyak ditentukan oleh bermacam-macam reseptor pada membran sel. Studi tentang efek
sitokin dari eosinofil terhadap larva parasit telah banyak dilakukan (45). Mekanisme efektor eosinofil sangat dipengaruhi oleh
antibodi dan atau komplemen yang berinteraksi dengan reseptor
spesifik pada membrane eosinofil.
Beberapa reseptor membran beserta ligand dan fungsinya adalah
sebagai berikut:
1. Reseptor imunoglobulin untuk IgA, IgG dan IgE, dapat berfungsi memacu proses degranulasi eosinofil, fagositosis dan
respiratory burst activation (45, 56). Peranan reseptor ini di
dalam mengikat antigen untuk dipresentasikan atau sebagai
sel penyaji antigen (SPA) masih diselidiki (34).
2. Reseptor adesi eosinofil dengan ligandnya pada sel endotel
(E-selectin), yaitu : selectin, integrin dan Ig-like structures (56).
3. Reseptor untuk komplemen seperti C3a, C5a, C3b berfungsi
sebagai aktivasi eosinofil. C3a dan C5a terlibat pula dalam
proses kemotaksis (34, 56).

32

4. Reseptor untuk sitokin dan kemokine seperti IL-3, IL-5 dan


GM-CSF berfungsi sebagai growth factor, dan meningkatkan
respon eosinofil serta memperpanjang masa hidupnya (34, 56).
Selain itu ada reseptor untuk IL-1, IL-2, IL-4, TNF-, Eotaxin,
RANTES dan sebagainya.
5. Reseptor lain adalah untuk MHC Klas I dan Klas II, kususnya
HLA-DR berfungsi membantu eosinofil sebagai SPA yang
lemah (55).
C. Kelainan Imunologi Pada Dermatitis Atopi (Da)
Salah satu teori yang menerangkan terjadinya DA adalah
teori imunologi, yang menunjukkan variabel imunologik dapat
dipakai untuk menerangkan timbulnya lesi kulit Gejala yang
menonjol pada DA adalah rasa gatal dengan lesi kulit khas dan
pada riwayat keluarga didapatkan ada faktor herediter (17, 43,
46,). Beberapa kelainan imunologik pada DA antara lain menurunnya imunitas seluler dan meningkatnya produksi IgE. Gambaran
klinis, laboratorium dan patologis yang menunjukkan infiltrasi
jaringan yang berhubungan dengan kelainan imunologik pada DA
terlihat pada tabel 3.1 (46).
TABEL 3.1. KELAINAN IMUNOLOGIK PADA DERMATITIS ATOPI (*)
KLINIS:
- Meningkatnya infeksi kulit karena virus, seperti HSV, vaccinia, veruka,
moluskum kontagiosum
- Meningkatnya infeksi jamur superfisial
- Sering terkena super infeksi bakteri
- Menurunnya dermatitis kontak oleh karena golongan Rhus
- Menurunnya sensitivitas terhadap DNCB
LABORATORIUM:
Seluler: Respon limfosit terhadap PHA mengalami penurunan
Inhibisi migrasi lekosit berkurang
ADCC berkurang
Jumlah total sel T dalam srkulasi menurun:
-jumlah CD8+ T celll dan H2 receptor-bearing T cell menurun
Kemotaksis monosit dan neutrofil menurun
Meningkatnya reseptor IL-2 dalam serum
Peningkatan PGE2 dan IL-10 yang diproduksi monosit
Humoral:
Level IgE sering meningkat
Level IgM dan IgG meningkat dan menurunnya level IgD pada anak
Frekuensi defisiensi IgA meningkat

33

INFILTRASI JARINGAN:
-Peningkatan CD4+T cell :
ekspresi reseptor IL-2 dan
ekspresi HLA-DR meningkat
-Peningkatan sel mas dan sel Langerhans
-IgE terikat pada permukaan sel Langerhans dan makrofag.
(*) dikutip dari Leifermann & Gleich, 1996.

D. Degranulasi Eosinofil Pada Dermatitis Atopik


Pada dermatitis atopik (DA) eosinofil mengalami degranulasi
sehingga mengeluarkan granul toksiknya antara lain MBP. Sebagai petanda adanya degranulasi eosinofil terlihat deposisi MBP
dalam jaringan, yang dapat di deteksi setelah biopsi dengan
menggunakan metode imunofluoresen tidak langsung (46). Eosinofil juga memberi kontribusi pada terjadinya reaksi alergi fase
lambat (late phase reaction = LPR), dengan mengeluarkan produk
granula protein 68 jam setelah paparan alegen (57), dan pengeluaran granul granul protein ini melalui proses sitolisis (51).
Bruinjzeel, PL dkk. melakukan APT (atopic patch test) dengan
menggunakan alergen inhalan; setelah paparan antigen 26 jam,
pada biopsi didapatkan infiltrasi limfosit dan eosinofil di dalam
dermis, dan 2448 jam setelah paparan didapatkan eosinofil
dalam bentuk aktif (49). Reaksi eksematous berkurang serta tidak
didapatkan lagi eosinofil dalam dermis dan epidermis pada 4872
jam seteleh aplikasi alergen (49).
Parameter adanya degranulasi eosinofil pada DA selain dapat
dilihat dari deposisi granul granul protein dalam jaringan dapat
pula dengan mengukur kadar MBP, ECP, EDN yang larut dalam
serum atau urine dengan metode immunoassay, serta jumlah
eosinofil dalam darah tepi (46). Kadar ECP dalam serum dapat
menggambarkan atau adanya korelasi dengan aktivitas penyakit
DA, tetapi huhungannya dengan jumlah eosinofil darah bervariasi
dan tidak ada hubungan dengan kadar IgE (46, 52). Di dalam
darah tepi eosinofil meningkat jumlahnya pada DA berat dan
menurun kadarnya setelah pengobatan sedangkan eosinofil
hipodensa berkorelasi dengan aktivitas penyakit (48). Beberapa
penelitian menunjukkan serum ECP pada DA meningkat dan
berkorelasi dengan berat ringan penyakit. Kadar ECP dalam
serum, juga soluble ICAM-1 dan soluble reseptor IL-2 dalam serum
34

dapat dipakai sebagai petanda untuk monitoring gejala klinis


dermatitis atopi (46,52,53). Peranan eosinofil pada dermatitis
atopik secara umum dapat dilihat pada tabel 3.2.

TABEL 3.2. EOSINOFIL PADA DERMATITIS ATOPI. (*)


- Granul protein eosinofil tersimpan secara ektensif di dalam
jaringan/lesi
- Eosinofil dalam darah tepi meningkat pada DA yang berat,
menurun setelah terapi dan eosinofil aktif (hypodense eosinophils) berkorelasi dengan aktivitas penyakit
- Granul protein eosinofil yang larut meningkat dalam darah
tepi dan berkorelasi dengan aktivitas penyakit
- Pada atopic patch test eosinofil menginfiltrasi jaringan dan
didapatkan deposisi protein ekstrasel.
(*) dikutip dari Leifermann & Gleich, 1996.

E. Peran Molekul Adesi Dan Sitokin Di Dalam Rekrutmen


Eosinofil
Eosinofil dalam jumlah besar dapat ditemukan pada tempat
terjadinya reaksi alergi pada penyakit alergi termasuk DA. Sel ini
juga memberi kontribusi pada kerusakan jaringan saluran nafas
pada penderita asma. Di dalam cairan bronkus (bronchoalveolar
lavage=BAL) pada paru yang terpapar alergen dari penderita
alergi, 60% atau lebih sel2 radang yang ada adalah eosinofil (55).
Eosinofil berperan penting dalam imunopatogenesis terjadinya
inflamasi alergi melalui proses pengerahan (rekrutmen) eosinofil
dan mengeluarkan protein kationik yang menyebabkan kerusakan
dan disfungsi sel di tempat inflamasi. Pada percobaan binatang
dengan menghambat rekrutmen dan adesi eosinofil akan menurunkan derajad inflamasi dan sequele yang diakibatkannya (34).
Pada dermatitis atopik, faktor kemotaktik seperti FMLP
(formyl methionyl-leucyl-phenylalanine), PAF, dan platelet faktor-4
menyebabkan tertariknya eosinofil ketempat inflamasi. RANTES
(Regulated upon Activation, Novel Tcell Expressed, and presumably
Secreted) merupakan sitokin yang bersifat chemoattractant, dikenal
sebagai kemokin dan berfungsi kusus menarik monosit, limfosit T
dan eosinofil (56). RANTES dapat berfungsi sebagai kemotaksis
35

yang poten terhadap eosinofil dan mempunyai efek pula mengaktifkan fungsi eosinofil (17). Eosinofil sendiri dapat pula memproduksi beberapa kemokin, antara lain RANTES, MIP-1 alfa dan
IL-8 (34).
Mekanisme paparan alergen dapat menyebabkan infiltrasi
yang ekstensif dari eosinofil ke tempat peradangan tidak lepas
dari peran molekul adesi dan pengaruh sitokin pada interaksi
antara eosinofil dan sel endotel pembuluh darah. Secara garis
besar mekanismenya adalah sebagai berikut (lihat gambar) (55):
Paparan antigen pertama kali akan menyebabkan makrofag
dan sel mast mengeluarkan sitokin IL-1 dan TNF-alfa. Keduanya
akan mempengaruhi sel endotel pembuluh darah untuk mengekspresikan molekul adesi yakni ICAM-1, E-Selectin (ELAM-1) dan
VCAM1. Peningkatan ekspresi molekul adesi akan menyebabkan
terjadinya proses marginasi, adesi dan migrasi transendotel dari sel
sel lekosit seperti eosinofil, basofil, neutrofil, dan limfosit. Limfosit
selanjutnya memproduksi IL-4 (mungkin juga oleh sel mas) secara
sendiri atau bersama dengan IL-2 dan TNF-alfa dan menyebabkan
ekspresi molekul adesi kususnya VCAM-1. Rekrutmen eosinofil
akan meningkat oleh karena VCAM-1 merupakan ligand dari
molekul VLA (very late antigen) yang diekspresikan oleh eosinofil
(46). Interaksi eosinofil dengan IL-3, IL-5 dan GM-CSF yang diproduksi oleh sel T ataupun eosinofil sendiri akan menyebabkan
eosinofil menjadi lebih aktif dengan masa hidup lebih lama.

Gambar 3.1 : Peranan molekul adesi dan sitokin pada kejadian inflamasi
alergi

36

Keterangan: -

MC = sel mast
M O = makrofag
ICAM-1= intercellular adhesion molecule-1
VCAM-1= vascular cell adhesion molecule-1
ELAM-1 = endothelial leukocyte adhesion molecule-1

F. Ringkasan dan Kesimpulan


Eosinofil merupakan granulosit PMN yang berperan penting
pada penyakit alergi, infeksi parasit cacing dan beberapa penyakit
idiopati. Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit inflamasi yang sampai sekarang belum diketahui etio-patogenesisnya.
Banyak factor yang ikut terlibat dalam kejadian DA, seperti eosinofil, molekul adesi dan sitokin. Eosinofil dalam keadaan aktif didapatkan pada daerah inflamasi, mengalami degranulasi sehingga
mengeluarkan granul granul protein yang bersifat toksik seperti
MBP, ECP dan EDN. Eosinofil juga mempunyai banyak reseptor
membran pada permukaan selnya yang memungkinkan mampu
berinteraksi dengan komponen respon imun lain pada proses
inflamasi Rekrutmen eosinofil ke daerah peradangan dipengaruhi
oleh beberapa kemoatraktan yang menarik eosinofil seperti FMLP,
PAF, RANTES. Beberapa sitokin (IL-1, TNF, IL-4) dan molekul
adesi (VCAM-1) berperan dalam proses marginasi, adesi dan
migrasi transendotel eosinofil sehingga sampai pada tempat peradangan.

37

38

HUBUNGAN KADAR IgE


DALAM SERUM DENGAN EOSINOFIL DARAH
DAN DERAJAT PENYAKIT PADA PENDERITA
DERMATITIS ATOPIK
A. Pendahuluan
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit inflamasi kronis
dengan gejala utama gatal, biasanya disertai peninggian kadar IgE
dalam serum dan eosinofilia serta adanya riwayat asma dan atau
rinitis pada diri atau keluarga. Penyakit ini merupakan manifesttasi atopi pada kulit yang biasanya diderita sejak umur kurang
dari 1 tahun, yaitu pada 60% kasus dan 30% timbul pada usia 1-5
tahun (Leung dkk. 1992); namun dapat pula timbul pada saat
dewasa bahkan di usia 50 tahun (Champion dan Parish 1992).
Penderita DA banyak dijumpai di masyarakat, prevalensinya saat
ini di negara-negara barat cenderung meningkat dibanding dua
decade yang lalu yakni 10-20% (58), sedang di Indonesia belum
ada laporan yang resmi. Perjalanan penyakit yang kronis dan
sering kambuh terutama pada DA berat (severe) dapat menyebabkan penderitaan bagi penderita bahkan kecacatan fisik sehingga
dapat menghambat komunikasi sosial yang akhirnya dapat mengurangi kualitas hidup (5, 59).
Etiologi DA sampai sekarang masih belum jelas dan patogenesis-nya sangat komplek, melibatkan banyak faktor sehingga
DA digambarkan sebagai penyakit multifaktorial (9, 14). Konsep
yang banyak diterima sekarang adalah DA merupakan penyakit
alergi yang paralel dengan asma dan rinitis alergik berdasarkan
kurang lebih 80% kasus didapatkan kadar IgE tinggi serta hasil uji
kulit positif terhadap berbagai alergen hirup (aeroallergen) dan
makanan (15). DA dengan kadar IgE yang meninggi dikategorikan
sebagai bentuk ekstrinsik (extrinsic atopic dermatitis), di samping
ada pula bentuk intrinsik (intrinsic atopic dermatitis) (60, 61).
39

Terjadinya inflamasi pada DA tidak lepas dari keterlibatan


factor seluler dan molekuler yang ada di dalam sirkulasi darah
maupun pada kulit (14, 31, 62). Dalam sirkulasi terjadi perubahan
fungsi limposit T, kadar IgE spesifk meninggi, peningkatan
keluarnya histamin secara spontan oleh basofil serta eosinofilia.
Walaupun jumlah eosinopil dalam darah meningkat namun sulit
melihat aktivitas sel ini secara kualitatif. Pada DA yang berat
jumlah eosinofil meningkat dan setelah pengobatan kembali
menurun (48).
Penilaian aktivitas penyakit pada DA ditentukan dengan berbagai cara seperti melihat gejala klinik (berat ringan penyakit),
perjalanan penyakit (akut dan kronis) atau pemeriksaan laboratorium. Rajka & Langeland menilai gradasi klinik DA berdasar tiga
parameter yaitu intensitas gejala (gatal), perjalanan klinis dan luas
lesi (63). Dengan scoring dikategorikan ke dalam 3 kategori yakni
DA ringan (mild), sedang (moderate) dan DA berat (severe). Beberapa peneliti telah melaporkan adanya peningkatan kadar IgE
pada DA dan kaitannya dengan berat ringan gejala klinik atau
dengan adanya penyakit atopi yang lain (64, 65), namun setahu
penulis jarang yang menghubungkan kadar IgE total dengan
jumlah eosinofil darah dan derajat penyakit berdasar kriteria
Rajka & Langeland.
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui
tinggi rendah kadar IgE total dalam serum penderita DA dan
untuk mengetahui apakah ada korelasinya dengan jumlah eosinofil darah dan derajat penyakit berdasar kriteria Rajka &
Langeland.
B. Subjek Penelitian dan Cara Kerja
Subjek penelitian adalah penderita dermatitis atopik (DA)
yang datang berobat ke poliklinik penyakit kulit dan kelamin RSU
Dr. Moewardi Solo, bersedia mengikuti penelitian menandatangani formulir kesediaan secara sukarela (informed consent).
Pemilihan sampel penelitian dilakukan secara urutan dan dipilih
secara acak sesuai dengan kriteria inklusi.
Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai Juni 1999
dengan disain penelitian cross sectional. Sampel diperiksa secara
klinis sekali pada saat kunjungan dan pada saat itu diperiksa laboratorium untuk melihat kadar IgE total dalam serum. Dilakukan

40

pula pemeriksaan tapisan (screening) untuk menyingkirkan penyakit sistemik dan infestasi parasit.
Diagnosis DA ditegakkan berdasar kriteria Hanifin dan Rajka
(1985) dan penilaian derajat penyakit menurut kriteria Rajka &
Langerland (1989) (tabel 1) sebagai berikut:
DA ringan: apabila luas lesi kurang dari 9% luas permukaan
tubuh (dengan menggunakan rule of mine), mengalami remisi lebih
dari 3 bulan dalam satu tahun dan intensitas gejala gatal ringan,
kadang kadang saja mengganggu tidur malam. Skor total = 34.5.
DA sedang: bila luas lesi berkisar 9-36%, periode remisi
kurang dari 3 bulan dalam satu tahun dan keluhan gatal cukup
sampai mengganggu tidur malam lebih dari biasanya. Skor total =
4.57.5.
DA berat: luas lesi > 36%, mengalami kekambuhan terus
menerus dan mengeluh gatal yang sangat sehingga selalu mengganggu tidur malam. Skor total = 8-9.
Penentuan jumlah eosinofil : bahan diambil dari darah tepi,
dihitung dengan metoda Dunger, dan untuk ketelitian menghitung
dapat dipertinggi dengan menggunakan kamar hitung, misalnya :
Fuschs- Rosental, sebagaimana prosedur rutin pemeriksaan untuk
leukosit. Angka normal jumlah eosinofil absolut = 0.08 0.360 10
3/ ul.
Kadar IgE total dalam serum diukur dengan metoda microparticle enzyme immunoassay (MEIA), menggunakan kit IMX system
dari Abbot. Kadar dinyatakan dalam ukuran International Unit
(IU). Angka normal kadar IgE total dalam serum = < 120 IU.
C. Hasil Penelitian
1. Subjek penelitian
Selama waktu penelitian 4 bulan, diperoleh sejumlah subjek
yang memenuhi kriteria dan diikut sertakan dalam penelitian
sebanyak 15 kasus DA, terdiri 7 laki-laki dan 8 wanita. Usia
berkisar antara 1-41 tahun dengan usia rata-rata = 21,06. 13
penderita di antaranya (86.6%) mempunyai riwayat atopi pada
diri atau keluarganya. Penyakit atopik yang lain menyertai
adalah asma pada 4 kasus, rinitis pada 7 dan urtikaria atopi
pada 2 kasus (tabel 4.2). Distribusi usia yang mencerminkan
bentuk klinis DA terdiri dari seorang kasus dengan tipe infant,
4 kasus tipe anak dan 10 kasus tipe dewasa (tabel 4.3).
41

2. Pengukuran jumlah eosinofil :


Jumlah eosinofil darah di antara 15 subjek penelitian didapatkan hasil 5 kasus di atas normal (>0.360) dan 10 kasus yang
lain dalam batas normal (tabel 4.4).
3. Hasil penentuan kadar IgE :
Pemeriksaan kadar IgE total dalam serum di laboratorium
klinik Prodia didapat hasil (tabel 4.5):
- 4 kasus : dalam batas normal (26-107 IU)
- 4 kasus : di atas normal (231 383.6 IU)
- 7 kasus : kadar IgE tinggi > 450 IU (461-6702 )
4. Penilaian derajat penyakit
Berdasar kriteria gradasi klinik Rajka & Langeland, dari 15
penderita dA, ternyata sebagian besar adalah DA sedang yaitu
pada 11 kasus (73.3%) dan 4 kasus sisanya DA derajat ringan
(lihat tabel 4.6). Tidak ada yang menderita DA berat.
5. Hubungan antara kadar IgE dengan jumlah eosinofil darah dan
derajat penyakit
Tabel 4.7 memperlihatkan daftar urutan penderita berdasar
usia, jenis kelamin, jumlah eosinofil darah, kadar IgE total dan
derajat penyakit. Tabel 4.8 memperlihatkan hubungan antara
kadar IgE total dengan jumlah eosinofil dan derajat penyakit.
Uji statistik menggunakan uji korelasi peringkat Spearman
menunjukkan tak ada korelasi positif antara kadar IgE total
dengan jumlah eosinofil darah (p>0.05, dB =1, = 0.05). uji
statistik hubungan antara kadar igE total dengan derajat
penyakit dengan menggunakan uji chi-Square menunjukkan
tidak ada korelasi yang bermakna (p>0.005).
D. Pembahasan
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik residif, biasanya dijumpai dengan prevalensi paling tinggi pada bayi dan anak
(52). Pada penelitian ini dijumpai hanya satu kasus bentuk infant
(6.6%) dan 4 kasus bentuk anak (26.6%). Hal ini mungkin oleh
karena DA bentuk anak dan terutama infant lebih banyak datang
ke poli anak. Untuk itu di masa datang kiranya di pusat-pusatt
pendidikan Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin, adanya sub bagian
Dermatologi Anak perlu lebih disosialisasi agar dapat diperoleh
data penyakit kulit anak yang lebih akurat.

42

Penemuan antibodi reagin pada penderita atopik yang diidentifikasikan sebagai antibody klas tersendiri yaitu IgE oleh
Ishizaka dkk pada tahun 1968 merupakan sumbangan yang berarti
bagi penelitian selanjutnya. (23). Namun peninggian kadar IgE
dalam serum bukan merupakan sarat mutlak untuk DA; hanya
60-80% kasus DA yang disertai IgE yang meningkat (60), ini sesuai
dengan hasil penelitian ini yaitu 11 kasus (73.3%). Dengan kadar
IgE meninggi, > 120 IU sedang 4 kasus lain dalam batas normal.
Tingginya kadar IgE total pada DA tidak berkaitan dengan gejala
klinik atau riwayat penyakit atopi lain yang menyertai (Juhlin dkk
1969), namun beberapa peneliti yang lain menyatakan DA yang
disertai penyakit atopi saluran napas (atopic respiratory disease=
ARD) kadar IgE totalnya jauh di atas normal dibanding bila hanya
menderita DA (1, 6). Penelitian Jones dkk menyatakan tingginya
kadar IgE pada AD+ARD bukan disebabkan oleh aktivitas penyakit saluran napas atau luas lesi dermatitis, tetapi mungkin ada
hubungan dengan bentuk AD disertai ARD adalah highly atopic
(66)
Pada penelitian ini subjek penelitian yang disertai asma dan
rinitis kadar IgE bervariasi dari normal (=107 IU, pada kasus 1)
sampai tinggi (=3833 IU, kasus no 9). Produksi IgE pada manusia
diinduksi oleh sitokin IL-4 dan dihambat oleh interferon gamma
(IFN-). Peninggian produksi IgE (dan IgG4) menggambarkan
abnormalitas ekspresi IL-4 sehingga menyebabkan polarisasi
sitokin ke arah profil Th2. sebagaimana diketahui DA merupakan
penyakit dengan kelainan fungsi limfosit T (14, 30, 67).
Jumlah eosinofil pada keadaan normal dalam darah tepi tidak
terlalu banyak, hanya 1-3% dari seluruh leukosit. Ini merupakan
sebagian kecil dari seluruh populasi eosinofil; diperkirakan setiap
eosinofil darah terdapat 200 eosinofil matang dalam sumsum
tulang dan 500 di dalam jaringan ikat di seluruh tubuh (28). Pada
keadaan tertentu seperti penyakit alergi termasuk DA, infeksi
parasit dan beberapa penyakit idiopati dapat menyebabkan peninggian eosinofil darah. Pertumbuhan dan deferensiasi eosinofil
dalam sumsum tulang dipengaruhi oleh sitokin IL-3, IL-5 dan
GM-CSF, terutama IL-5 yang dapat dengan segera mengeluarkan
sel ini keadaan sirkulasi dan mengaktifkannya serta memperlama
daya hidup (28, 34, 46). Dalam darah tepi eosinofil aktif terlihat
sebagai sel dengan densitasnya berkurang (Light density eosinofil =
LDEs) oleh karena mengalami degranulasi sehingga mengeluar43

kan granula protein seperti mayor basic protein (MBP), eosinofil


cationic protein (=ECP), dan sebagainya. Dengan menggunakan
teknik pemeriksaan indirect immunofluorensence atau imunositokimiawi dapat dilihat adanya granula protein eosinofil tersebut
tertimbun dalam jaringan (Leiferman & Gleich 1996). Untuk
mengetahui aktivitas penyakit DA dapat pula diukur korelasinya
dengan kadar ECP dalam plasma atau serum (53).
Pada penelitian ini dari 15 penderita DA hanya 5 kasus yang
didapatkan eosinofilia sedang yang 10 yang lain jumlah eosinofil
normal. Untuk melihat peranan eosinofil di dalam patogenesis DA
mungkin diperlukan penelitian lebih lanjut misalnya dengan
pemeriksaan imunoflurresence atau imunositokimia pada jaringan
kulit guna melihat timbunan produk produk eosinofil.
Dalam menilai keparahan penyakit (disease severity), The
European Task Force on Atopic Dermatitis pada tahun 1993 membuat suatu system yang disebut Scorad Index. Dengan menggunakan system ini keparahan penyakit DA dinilai berdasar 3 parameter yaitu luas penyakit (A), Intensitas (B) dan gejala subjektif
(C). Masing-masing diberi skor dan akhirnya ditotal dengan
rumus SCORAD, yaitu = A/5 + 7 B/2 + C (13). Pada penelitian ini
digunakan criteria gradasi klinis dari Rajka & Langeland untuk
menilai derajat penyakit oleh karena lebih praktis, dapat ditentukan dengan sekali konsultasi.
Dari 15 subjek penelitian tidak didapatkan bentuk DA yang
berat dengan skor 8-9; hal ini mungkin waktu penelitian terlalu
pendek sehingga belum menemukan kasus DA berat, yang
memang jarang ditemukan.
E. Kesimpulan dan Saran
Telah dilakukan penelitian terhadap penderita dermatitis
atopik (DA) yang datang berobat ke Poli Kulit & Kelamin FK
UNS/RSUD Dr. Moewardi Solo. Dari 15 penderita terdiri dari
11 kasus DA derajat sedang dan 4 kasus yang lain adalah DA
ringan. Data yang diperoleh adalah didapatkan eosinofilia pada 5
(33.3%) kasus sedang 10 yang lain jumlah eosinofil darah dalam
batas normal. Pada 11 (73.4%) kasus kadar IgE total dalam serum
meninggi. Tidak didapatkan korelasi positif antara kadar IgE total
dengan jumlah eosinofil darah (p>0.05) maupun derajat penyakit
(p>0.05).

44

Untuk memperoleh hasil yang lebih valid kiranya diperlukan


penelitian lebih lanjut dengan jumlah kasus yang lebih besar dan
untuk mengetahui peranan eosinofil di dalam patogenesis dermatitis atopik perlu penelitian dengan metoda pemeriksaan seperti
imunofluoresen atau imunohistokimia.
Tabel 4.1. Grading the Severity of Atopic Dermatitis
Criteria
Score
1. Extent
a. Childhood and adult phase
less than approximately 9% of body area
=1
More than 9% but less that 36% of body area
=2
More than approximately 36% of body area
=3
b. Infantile phase
Less than approximately 18% of body area
=1
More than 18% but less that 54% of body area
=2
More than 54% of body area
=3
2. Course
More than 3 months remission per year*
=1
Less than 3 months remission per year*
=2
Continous course
=3
3. Intensity
Mild itch, only occasionally disturbing night
sleep
=1
Moderate itch, disturbing night sleep more than
occasionally but not continually
=2
Severe itching, continually disturbing night sleep = 3
Score Summation
Total score :
3 4
4.5 7.5
8 - 9

Disease severity :
Mild
Moderate
Severe

May be adjusted in infants or if onset was < 1 year before grading if necessary
scores of 1.5 or 2.5 may also be used
SOURCE : Adapted from reference Rajka & Langeland (1989)

45

Tabel 4.2. Subjek Penelitian


T
Jumlah (N)

= 15

Laki-laki = 7 Wanita = 8.

Rata-rata usia (rentang) = 21.06 (1 - 41) tahun

abel 2. Subjek Penelllitian

Riwayat atopi (+)

= 13 (86.6%) pada penderita dan atau keluarga

Riwayat Atopi yang menyertai :

4. Intensity
- Asma = 5
Rinitis = 7
- Urtika = 3

Tabel 4.3. Distribusi penderita berdasar usia


Usia
(Tahun)
<2
2 11
>11

Bentuk klinis DA

Tipe Bayi
Tipe Anak
Tipe Dewasa

1
4
10
15

6.6
26.7
66.7
100

Tabel 4.4. Penghitungan jumlah eosinofil darah


Jumlah
(103, ul)
Normal (0.08 0.360)
> 0.360

10
5
15

66.7
33.3
100

Tabel 4.5. Kadar IgE Total dalam serum


Kadar Ig E
(UI/ml)
80
81 120
121 400
> 400

46

2
2
4
7
15

13.3
13.3
26.7
46.7
100

Tabel 4.6. Derajat Penyakit (Rajka & Langeland, 1989)


Derajat
Penyakit
Ringan
Sedang
Berat

skor

3 4.5
57
7.5 - 9

4
11
0
15

26.7
73.3
0
100

Tabel 4.7. Daftar penderita Dermatitis Atopi


Pend.
No

Usia
(Tahun)

Jenis
Kelamin

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

11
35
6
22
11
41
27
3.5
36
1
14
25

Laki-laki
Wanita
Wanita
Wanita
Wanita
Wanita
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
Wanita

Eosinofil
Darah
(103, ul)
0.88
0.20
0.28
0.33
0.68
0.89
0.34
0.14
0.09
0.89
0.42
0.12

13.
14.
15.

12
18
22

Laki-laki
Wanita
Wanita

0.36
0.106
0.10

Kadar Ig E
Serum
(IU/ml)
107
221
868
383.6
30
26
1045.2
2706.6
3833
81.2
6702
282.4

Skor

Derajat
penyakit

Penyakit
Atopi lain

3.5
4
6
4
5
5
5.5
6
7
5
7
6.5

Ringan
Ringan
Sedang
Ringan
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang

1425.2
461.6
245.4

5.5
5.5
5

Sedang
Sedang
Sedang

Asm, Rin
Rin, Urt
Asm
Rin
Rin, urt
Rinitis
Rin, Asm,
Urt
Asm
Rin, Asm

Keterangan:
Asm = asma
Rin = rinitis
Urt = urtikaria.

Tabel. 4.8. Hubungan kadar Ig E total dengan jumlah eosinofil


dan derajat penyakit
Kadar Ig E
(UI/ml)
80
81 120
121 400
> 400

Eosinofil (103, ul)


Normal
> Normal
2
2
4
6
1
10
5
P > 0.05
Uji korelasi Spearman

Derajat Penyakit (Rajka &


Langeland)
Ringan
Sedang
Berat
1
2
2
1
2
7
3
12
P > 0.05
Chi square, n.s

47

48

HUBUNGAN REAKTIVITAS UJI TUSUK


DENGAN KADAR IMUNOGLOBULIN (Ig)E
DALAM SERUM PENDERITA
DERMATITIS ATOPIK
A. Pendahuluan
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit inflamasi kulit kronis
yang sering kambuh, dengan etiologi masih belum diketahui dan
umumnya pertama kali terjadi pada masa bayi atau anak, namun
dapat pula pada dewasa (1, 5). Sering disertai dengan peningkatan
kadar IgE dan riwayat diri atau keluarga yang menderita penyakit
yang sama (DA), rinitis alergik dan atau asma (1, 6). Diagnosis DA
dibuat berdasarkan kumpulan gejala klinis (signs and symptoms)
karena tidak ada satu petanda yang patognomonik (68). Untuk
menunjang diagnosis diperlukan pemeriksaan laboratorium kadar
IgE maupun tes atau uji kulit. Uji tusuk atau skin prick test adalah
tes yang dilakukan terhadap kulit penderita yang diduga alergi
terhadap satu/beberapa alergen tertentu (69). Tes ini digunakan
sebagai prosedur rutin untuk dignosis penyakit atopik dan anafilaksis (28). Meskipun peningkatan kadar IgE total dalam serum
bukan merupakan prasarat mutlak untuk DA (60, 65) namun
majoritas penderita atopi disertai dengan kadar IgE yang lebih
tinggi dari 450 IU/ml atau jauh di atas normal (100120 IU/ml)
(70). Demikian pula relevansi dari reaktivitas uji kulit pada penderita DA masih kontroversial (5), namun tes ini terbukti mempunyai korelasi yang positif dengan bahan yang diduga sebagai
penyebab alergi (69). Penelitian Jones et al (1975) menunjukkan
tidak ada korelasi antara kadar IgE dalam serum dengan frekuensi
hasil positif uji kulit pada penderita DA (66). Berdasarkan masih
ada kontroversi tentang hasil uji tusuk dan hubungannya dengan
kadar IgE, maka dilakukan penelitian untuk mencari hubungan
antara reaktivitas uji tusuk dengan kadar IgE baik total maupun
49

IgE spesifik pada penderita DA yang berobat di Rumah Sakit


Umum Daerah (RSUD) Dr. Moewardi Surakarta.
B. Bahan dan Cara Pemeriksaan
Subjek penelitian adalah penderita dermatitis atopik, laki-laki
dan perempuan dengan usia antara 6 sampai 40 tahun, yang berobat di poliklinik kulit & kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Penelitian dilakukan selama periode Februari sampai Nopember
2001, melibatkan 18 penderita DA dan 12 orang kelompok kontrol
terdiri dari 8 orang mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS yang
sehat dan 4 orang penderita penyakit kulit non atopik, semuanya
tidak mempunyai riwayat atopik (tabel 5.1).
Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan kriteria Hanifin &
Rajka, 1980 (10), penderita bersedia mengikuti penelitian dengan
mengisi dan menandatangani formulir kesediaan (informed
consent). Kelompok DA maupun kelompok kontrol tidak mendapat pengobatan kortikosteroid dan atau antihistamin sebelum
penelitian, kurang dari atau maksimal satu minggu. Ethical
clearance penelitian diperoleh dari Komisi Etik RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
Diagnosis klinis dibuat apabila didapatkan paling sedikit tiga
kriteria major dan tiga atau lebih kriteria minor dari Hanifin &
Rajka (Rothe & Grant-Kels, 1996). Pada semua subjek penelitian
dilakukan uji kulit secara uji tusuk (skin prick test) dan alergen
yang digunakan adalah ekstrak tungau debu rumah (mite) dengan
konsentrasi 0.20 mg/ml, didapat dari instalasi Farmasi RSUD
Dr. Soetomo Surabaya (no.197/01, exp. date: 4-1-02). Larutan histamin 1 mg/ml digunakan sebagai kontrol positif dan larutan coca
sebagai kontrol negatip. Uji tusuk dilakukan pada lengan bawah
bagian volar kanan atau kiri dibersihkan lebih dahulu dengan
cairan alkohol 70%, kemudian ditetesi cairan alergen ekstrak
tungau debu rumah (house dust mite), larutan histamin dan larutan
coca. Kemudian dilakukan penusukan ringan pada kulit yang ada
tetesan alergen, menggunakan jarum nomor 26G hanya di epidermis, dan ditunggu selama kurang lebih 20 menit. Apabila pada
tempat tusukan terjadi kemerahan disertai edema atau urtika
(bentol), seperti yang terjadi pada tempat yang ditetesi larutan
histamin maka uji dikatakan positif. Diameter bentol diukur dan
apabila eritema disertai edem ukuran kurang dari 2 mm hasil

50

positif satu (+), bila ukuran 2-4 mm, positif dua (++) dan ukuran
lebih dari 4 mm, hasil positif tiga (+++).
Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan mengambil
darah perifer atau darah vena kelompok kasus dan kelompok
kontrol sebanyak 5 cc dengan vacutainer tanpa antikoagulan untuk
diambil serum guna pemeriksaan IgE total dan IgE spesifik.
Pemeriksaan IgE total menggunakan metode microparticle enzyme
immunoassay (MEIA), dikerjakan di laboratorium klinik Prodia
Surakarta dan pemeriksaan IgE spesifik terhadap tungau debu
rumah (Dermatophagoides pteronyssimus) dengan metode RAST
(Radio Allergo Sorbent Test), dikerjakan di Laboratorium Biolisa
Jakarta.
Analisa statistik menggunakan anova (analysis of variance) satu
arah untuk mencari korelasi antara reaktivitas uji tusuk pada
kelompok DA dan kelompok kontrol dengan variabel IgE. Perbedaan bermakna secara statistik diambil pada nilai p<0.05.
C. Hasil Penelitian
Sebaran kelompok penderita dan kontrol (NDA) berdasar
jenis kelamin, dari 18 penderita DA terdiri 5 laki laki dan 13
perempuan sedangkan 12 kelompok kontrol terdiri 5 laki laki dan
7 perempuan (tabel 5.2). Berdasar usia, kelompok kasus mempunyai rentang usia 6 sampai 38 tahun (rerata 20.33 thn.) dan
kelompok kontrol, 8 sampai 30 tahun (rerata 21.33 tahun) (tabel
5.3). Uji homogenitas variabel umur menggunakan Anova, tidak
ada perbedaan usia (p > 0.05) di antara kelompok DA dan NDA.
Gambar grafik diagram balok rerata DA dan NDA pada variabel
umur terlihat pada gambar 5.1.
Hasil pemeriksaan kadar IgE total pada kelompok kasus bervariasi antara 16.2 sampai 6702 IU/ml., dengan rerata 1231.64
IU/ml, sedang pada kontrol 61836.6 IU/ml, rerata 216.14 IU/ml.
Uji statistik menggunakan Anova satu arah, tidak ada beda
(p=0.120) kadar IgE total pada kelompok DA dan NDA (tabel 5.4).
Gambar 5.2 menunjukkan grafik diagram balok rerata kadar IgE
total pada kelompok kasus DA dan kelompok komtrol (NDA).
Pengelompokan kadar IgE total berdasar nilai rujukan normal
(kadar normal adalah < =120 IU/ml) mendapatkan hasil, kadar
IgE total penderita DA yang di atas angka normal sebesar 83.32%,
sedang pada kelompok kontrol 33.3% di atas normal (tabel 5.5).
51

Pemeriksaan IgE spesifik terhadap Dermatophagoides pteronyssimus


(Der pter) atau tungau debu rumah, didapatkan 8 penderita dari
kelompok DA (44.44%) menunjukkan reaktivitas dengan berbagai
tingkat alergi, dan pada NDA hanya seorang (8.33%) yang berreaksi positif. Tabel 5.6 menunjukkan hasil pemeriksaan IgE total,
IgE Spesifik dan uji tusuk pada kelompok DA dan NDA. Tingkat
alergi terhadap TDR ini dibagi atas 7 kelas, kelas 0 tidak terdeksi,
kelas 1 lemah, kelas 2 sedang, kelas 3 kuat dan kelas 4 sampai 6
sangat kuat terdeteksi. Kadar IgE spesifik terhadap Der pter pada
kelompok kasus DA dan kontrol NDA dengan analisis statistik
Anova didapatkan tidak ada perbedaan bermakna pada kadar IgE
spesifik (p>0.05) pada kelompok kasus dan kelompok kontrol
(tabel 5.7). Pada gambar 5.3 memperlihatkan grafik diagram balok
rerata IgE spesifik (RAST) pada DA dan NDA.
Hasil uji kulit, 16 penderita pada kelompok kasus memberi
reaksi positif (88.8%) dengan berbagai tingkat positif yaitu 8 kasus
dengan hasil positif satu (+), 5 dengan positif dua (++), dan 3
kasus positif 3 (+++). Hasil negatip didapatkan pada 2 penderita.
Pada kelompok kontrol (NDA) hanya 2 orang (16.66%) yang
memberi reaksi positif satu (+) (tabel 5.8).
Hubungan tingkat reaktivitas uji tusuk dengan kadar IgE
total dan IgE spesifik terhadap TDR (IgE-rast) dapat dilihat pada
tabel 5.9. Analisis univariat (anova) mendapatkan hasil ada perbedaan variabel IgE total (p=0.000) dan IgE Rast (p=0.000). Gambar
5.4 menunjukkan grafik diagram balok rerata variabel imunoglobulin dengan gradasi uji tusuk.
D. Pembahasan
Masalah penyakit kulit di masyarakat, khususnya yang bersifat kronis dan kambuhan seperti DA, bukan merupakan masalah
kesehatan semata tetapi dapat berimbas pada kondisi sosial
ekonomi dan kualitas hidup penderita (59, 71). Sebagai sumber
daya manusia, penderita yang sering kambuh akan terganggu
aktivitasnya sehingga tidak dapat atau kurang berproduksi
dengan baik. Mereka yang sering kambuh, sulit bekerja baik oleh
karena faktor kondisi penyakitnya yang sangat gatal, sehingga
sering menggaruk, maupun secara psikologis merasa malu. Resiko
tejadinya iritasi kulit pada penderita DA ini akan meningkat (72).
Penderita DA mendapat kesulitan bila terpapar bahan yang basah,
terlalu kering atau bersifat kaustik karena mudah terjadi iritasi
52

kulit. Kekambuhan yang berulang dan terus menerus akan menyebabkan penyakitnya lebih berat, sehingga mungkin dapat terjadi cacat fisik. Menurut American Medical Association, di Amerika,
DA dapat menyebabkan 15% kecacatan (impairment) dari semua
penderita (73).
Kekambuhan DA sulit dicegah karena banyak faktor yang
dapat mempengaruhinya, antara lain berbagai macam alergen,
yang banyak ditemukan di lingkungan hidup. Salah satu alergen
penting dan banyak diketemukan di negara dengan iklim tropis
dengan kelembaban tinggi seperti Indonesia adalah tungau debu
rumah (TDR). Peran TDR pada patogenesis DA sampai sekarang
masih kontroversi, namun berbagai penelitian menunjukkan bukti
adanya hubungan TDR dengan kekambuhan DA (74, 75, 76, 77).
Aplikasi ekstrak TDR sebagai alergen epikutan dapat menyebabkan terjadinya dermatitis atau lesi eksematosa (76, 78). Demikian
pula uji tempel dengan menggunakan alergen TDR pada penderita DA, dapat menimbulkan lesi mirip gambaran klinis DA (3, 25).
Keadaan ini menunjukkan pentingnya peran TDR pada kejadian
DA, dan atas dasar itu maka penggunaan TDR dalam penelitian
ini sangat beralasan.
Kadar IgE Total dalam serum penderita DA dan kelompok
kontrol terlihat pada table 4. Sebagai perbandingan hasil penelitian Juhlin dan kawan-kawan (1967) mendapatkan rerata harga
IgE total dalam serum penderita DA yang diambil dari Upsala Swedia, sebesar 2733 ng/ml atau setara 1138.75 IU/ml. (64). Harga
ini tidak jauh berbeda dengan rerata IgE total pada penelitian ini
pada penderita DA yang berasal dari kota Surakarta-Indonesia
dan sekitarnya, yakni 1231.64 IU/ml. Peningkatan kadar IgE Total
dalam serum dapat disebabkan oleh beberapa keadaan seperti
infeksi parasit, penderita penyakit alergi, penyakit atopi lain dan
sebagainya (28, 70). Penderita DA disertai sindrom atopik lain
seperti asma atau rinitis alergik, peningkatan kadar IgE total biasanya lebih tinggi dari penderita DA saja (18). Tingginya kadar IgE
total dalam serum tidak berhubungan secara bermakna dengan
eosinofil darah maupun derajat keparahan penyakit pada penderita dermatitis atopik (79).
Kelompok kasus yang bereaksi positif terhadap TDR dengan
pemeriksaan IgE spesifik terhadap Der pter sebanyak 8 penderita
(44,44%) dengan berbagai tingkat alergi. Artinya terdapat variasi
kadar IgE spesifik sebagai antibodi monoclonal terhadap Der pter
53

yang terdeteksi secara kuantitatif. Pada kelompok kontrol, satu


orang (8.33%) yang termasuk orang sehat mempunyai IgE spesifik
dengan kadar dalam serum 7,45 Pru/ml, berarti terdeteksi kuat
(kelas 3). Kemungkinan yang terjadi adalah pada orang sehat tersebut tidak mempunyai predileksi alergi yang spesifik, ia menderita alergi terhadap TDR tetapi tidak ada manifestasi pada kulit
ataupun pada saluran nafas.
Uji kulit sering digunakan untuk mengetahui reaksi hipersensitifitas tipe I (69). Pada penelitian ini hasil uji tusuk kelompok
kasus 88.8% menunjukkan reaktivitas dengan alergen TDR dan
11.2% nonreaktif, sedang pada kelompok kontrol 16.66% bereaksi
positif dan 83.34% memberikan reaksi negatip. Dari hasil tersebut
penderita DA cenderung menunjukkan uji tusuk yang lebih reaktif
dibanding kontrol, namun penilaian hasil uji tusuk pada kondisi
alergi secara umum masih merupakan perdebatan (5).
Pada awalnya DA dianggap sebagai manifestasi reaksi hipersensitivitas cepat (immediate hypersensitivity), yang dibuktikan dengan kadar IgE meningkat pada kebanyakan kasus. Hal ini ditunjukkan pula pada 20-60% penderita DA mempunyai sensitifitas
terhadap mite (TDR) dengan menggunakan uji tusuk. Ternyata
delayed hypersensitivity yang merupakan respons seluler berperan
penting juga, terlihat dengan hasil uji tes tempel dengan antigen
TDR menunjukkan sensitifitas sebesar 30-50% pada penderita DA
(80). Hal ini diperkuat pada lesi DA secara klinis dan histologis
mirip dan tidak dapat dibedakan dengan lesi dermatitis kontak
alergik, yang merupakan penyakit kulit berdasar reaksi akergi
lambat (DTH) (Grewe dkk., 1998). Atas dasar tersebut DA dapat
dianggap sebagai IgE mediated delayed type hypersensitivity (16).
E. Ringkasan
Telah dilakukan penelitian pada penderita DA, dengan dilakukan uji tusuk dan pemeriksaan kadar IgE total maupun IgE
spesifik terhadap TDR serta kontrol pada kelompok NDA. Hasil
yang didapat ada perbedaan bermakna antara reaktivitas uji tusuk
dengan kadar Ig E total maupun IgE spesifik, berarti ada korelasi
antara reaktivitas uji tusuk dengan kadar IgE, baik total maupun
spesifik. Semakin tinggi kadar IgE total atau semakin kuat
reaktivitas IgE spesifik, uji tusuk akan memberikan hasil semakin
kuat. Berdasar hasil penelitian, pelaksanaan uji tusuk pada pen-

54

derita DA masih diperlukan, selain untuk menunjukkan sensitifitas terhadap alergen tertentu juga untuk mengetahui gambaran
peningkatan kadar IgE dalam serum.
Tabel 5.1. Komposisi subjek penelitian (kasus dan kelompok
kontrol).
Diagnosis

Kelompok
kasus

Dermatitis atopik (DA)


Kelompok kontrol :
Akne vulgaris
Tinea kruris
Kandidiasis
Orang sehat

18

Jumlah

18

Kelompok
kontrol

2
1
1
8
12

Tabel 5.2. Sebaran subjek penelitian berdasar jenis kelamin.


Jenis
kelamin
Laki laki
Perempuan
Jumlah

DA (%)
5
(27,78)
13
(72.22)
18 (100)

NDA (%)

Jumlah

5 (41.66)

10

7 (58.33)

20

12 (100)

30

Tabel 5.3. Perbandingan usia pada kelompok kasus dan kontrol


Nilai
Rentang
Rerata (mean)
Simpang baku

DA
(thn)
6 38
20.33
8.77

NDA (thn)

Uji Statistik

8 30
21.33
5.79

p= 0.731
(Anova satu
arah)

55

21.5
21
DA
NDA

20.5
20
19.5
DA

NDA

Gambar 5.1 : Grafik diagram balok variabel umur pada DA dan NDA
Tabel 5.4. Perbandingan kadar IgE Total dalam serum pada DA
dan NDA
Kadar IgE Total (IU/ml)
Nilai
Rentang
Rerata
Std. Dev
Std.error

DA

NDA

16.2 - 6702
1231.64
2169.322
511.314

61 - 836.6
216.14
253.429
73.158

Uji Stastistik

p= 0.120
(anova satu
arah)

IgE total

1500
1000

DA
NDA

500
0
DA

NDA

Gambar 5.2 : Grafik diagram balok rerata Ig E total pada DA & NDA

56

Tabel 5.5. Sebaran kasus dan kontrol berdasar pengelompokan


kadar IgE total
Kadar IgE total
(IU/ml)
<120
121 220
221 320
320
Jumlah

Jumlah (%)
DA
3 (16.66)
3 (16.66)
12 (66.66)
18 (100)

NDA
8 (66.66)
2 (16.66)
2 (16.66)
12 (100)

Tabel 5.6. Hasil pemeriksaan IgE total dan IgE spesifik pada
kelompok DA dan NDA
KELOMPOK PENDERITA : DA

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Usi
a
(th)
25
24
38
19
14
32
30
21
18
24
10

12

22

13
14
15
16

6
29
16
13

P
P
L
P

17

19

18
Rata2

No

L/P

Diagnosis

P
P
P
P
L
P
L
L
P
L
L

DA
DA +RA
DA
DA
DA
DA + RA
DA
DA + RA
DA
DA
DA +
Asm
DA +RA
+Asm
DA
DA
DA
DA +RA+
Asm
DA +
Asm
DA

Uji Tusuk dg
alergen.TDR

IgE total
(IU/ml)

IgE Spes.thd
TDR (Pru/ml)

+
+
++
+++
++
++
++
+
+
+++

129
1396
1284
16.2
6702
209
514
738.4
29
175
499.6

581

Kls 0 ( - )

+
+
+++

386
80.2
1425
1035

Kls 1 (0.37)
Kls 0 ( - )
Kls 0 ( - )
Kls 4 (26.4)

++

742.8

ls 3 (10.7)

249.8
1231.64

Kls 0 ( - )
5.3128

Kls 0 ( - )
Kls 0 ( - )
Kls 0 ( - )
Kls 0 ( - )
Kls 4 (18.75)
Kls 0 ( - )
Kls 3 (4.36)
Kls 3 (5.49)
Kls 1 (0.66)
Kls 0 ( - )
Kls 4 (2.99)

Keterangan:
DA : Dermatitis atopik
RA : Rinitis alergik
Asm : Asma atopik

57

KELOMPOK KONTROL : NDA


No

Usia
L /P
(th)

Diagnosis

1
2

24
25

P
L

Sehat
Sehat

3
4
5

23
24
15

L
L
P

6
7
8
9

8
19
20
19

P
P
P
P

10
11
12
Rata2

27
30
22

L
P
L

Sehat
Sehat
Akne
Vulgaris
Kandidiasis
Sehat
Tinea Kruris
Akne
Vulgaris
Sehat
Sehat
Sehat

Uji Tusuk
dg.allergen
TDR
+

IgE total
TDR
(IU/ml)
206.2
94.8

113.2
87.4
71.4

IgE Spes
thd. TDR
(Pru/ml)
0(-)
Kelas 3
(7.45)
0(-)
0(-)
0(-)

84.6
207.8
99.8
836.6

0(-)
0(-)
0(-)
0(-)

647.4
61
834
216.14

0(-)
0(-)
0(-)
0.6208

Tabel 5.7. Perbandingan kadar IgE Spesifik thd. Der pter pada DA
& NDA.
Nilai
Rentang
Rerata (mean)
Std.Dev
Std.Error

Kadar IgE Spesifik (Pru//ml)


DA
NDA
0.0 26.4
0.0 7.45
5.3128
0.6208
9.6671
2.1506
2.27686
0.6298

Uji Statistik
p = 0.111
(Anova satu
arah)

Ig E Spesifik

6
4

DA
NDA

2
0
DA

NDA

Gambar 5.3: grafik diagram rerata Ig E spesifik pada DA & NDA


58

Tabel 5.8. Reaktivitas uji tusuk menggunakan alergen TDR


Reaktivitas
Uji tusuk
Positif:
+
++
+++
Negatip
Jumlah

Jumlah
DA (%)
16 (88.8)
8
4
2
2 (11.2)
18 (100)

NDA (%)
2 (16.66)
2
10 (83.34)
12 (100)

Tabel 5.9. Hubungan variabel imunoglobulin dan reaktivitas uji


tusuk
Pos.3
(n=4)

Tingkat reaktivitas uji tusuk


Pos.2
Pos.1
Neg.
Uji statistik
(n=4)
(n=10) (n=12)

IgE total

3905.2

423.90

514.9

191.50

p= 0.00

IgE-RAST

19.885

2.675

1.247

0.031

p= 0.00

Variabel
imunologi

4000
3500
3000
2500
2000 Pos 3
1500 Pos 2
1000 Pos 1
500

Negatif

IgE-Rast

IgE Total

0
Pos 3

Pos 2

Pos 1

Negatif

Gambar 5.4 : Grafik diagram balok reaktivitas uji tusuk terhadap


variabel Ig.
59

60

THE ROLE OF HOUSE DUST MITE (HDM) IN


ATOPIC DERMATITIS
A Preliminary Report : Effect of HDM Exposure on Lymphocyte
Culture from Atopic dermatitis (AD) Patients

A. Introduction
The role of house dust mite (HDM) in pathogenesis of atopic
dermatitis (AD) is still controversial (74, 77). Some studies indicated that the application of HDM extract as epicutaneous allergen
on to the skin may induce dermatitis or eczematous lesion (76, 78,
81). Similarly, HDM challenge through inhalation had been
proved that it may cause bronchial reaction suspected as the cause
of inducing skin reaction (77). The manifestation of allergy from
HDM is variabel, usually causing respiratory symptom, such as
allergic rhinitis, bronchial asthma, and evenmore, watering eyes
and eczema or atopic dermatitis (82, 83, 84).
From the immunological point of view, external factors play a
role in the recurrence of atopy including extrinsic type AD. The
role of HDM as the important external factor and allergen in AD
had been investigated for a long time (74, 75, 77, 78, 81). The effect
of HDM challenge epicutaneously on the immune system modulation in atopic people had also ever been been studied (85, 86, 87,
88). The stimulation of D.pteronyssimus to the lymphocyte culture
from patients with allergy to HDM showed the proliferation of
lymphocytes if compared to the healthy control subjects; and the
results also showed that the expression of IL-4 mRNA increased
signifycantly and the production of IL-4 and IFN- cytokin also
increased (87).
In Indonesia, some studies on HDM has been present (3, 89),
but how is the effect to the lymphocyte culture has not been
reported. This preliminary report is to review the role of HDM on
the AD pathogenesis and to know the altered immune response
appeared after HDM stimulation. For this reason, the author
61

observed lymphocyte culture of AD that was stimulated with


HDM and phytohaemaglutination (PHA) as common mitogen, and
then on the basis of comparison to the controls, we measured the
IL-4 and IFN- level produced.
B. Epidemiology
Mite is an organism that is easily found in house dust worldwide, particularly in hot tropical zone and high humidity like in
Indonesia (82, 83, 89). Dust is one of materials that is very
allergenic within house, frequently contaminated by various
contaminants such as mites, fungal spores, animal skin flakes
particularly cat dander, pollen, etc. (82, 83). The mites in the house
dust (HDM) are classified into phylum Arthropoda, class Arachinida,
family Pyroglypidae (fig 6.1). The most frequent found species and
the most potent are Dermatophagoides pteronyssimus and D. farinae
(76, 82, 83). Aulung et al. in their study (1987) found that Glyciphagus destructor and D. Pteronissimus were HDM that dominated
the house dust in a part of Jakarta city (90).
Phyllum

Class

Subclass

Ordo

Familiy

arthropoda

Crustacea

Chelicerata

insecta

Arachnida

Araneae

Ixodes

Sarcoptidae
(scabies)

Acari

Astigmata

Tarsonemidae

Pyroglipidae :

Scorpiones

Prostigmata

Storage mites

- Dermatophagoides
- Euroglyphus

Fig. 6.1 : The Classification of Phyllum Arthropoda


62

C. Identification and detection of HDM (83, 89)


HDM has very small size (250-300 mikrons in length) and
tranlucent body that can not easily seen with naked eyes. The
dorsal mite skin layer can be differentiated from the ventral one.
The ventral portion shows long setae protunding from lateral body
and short setae from other body parts. The typical shape of mites is
sac-like consisting of head, thorax, and abdomen that unite into a
body wihout segmentation. There seem no eyes, nor antenna, but
has 8 haired legs. Detection of mites can be performed with
microscope using samples from cover bed, rug, or any sites of the
mites inhabiting (fig. 6.2). Another diagnostic test can be done
using Acarex, a dipstick-type that manufactured by Fision (USA),
that can detect the mite faeces.

Fig. 6.2 : Dermatophagoides pteronyssimus


D. Role of HDM in AD Pathogenesis
Until now, AD is still considered as a chronic recurrent skin
disease with the etiology has not been definitely known yet and
their pathogenesis is unclear. The factors involved are very
complicated, including genetic, environmental, pharmacologic,
stress factors, etc (6, 91). There are many evidence that the
mechanism of immune response underlies the occurrence of AD
recurrence. The role of T lymphocytes (T-cells) in AD pathogenesis
is very important so that Bruijnzeel PLB et al (1993) called AD as
T-cell mediated disease (49). AD as an atopy disease develops
hypersensitivity characterized by the immune response of Th2
against one or more environmental allergens, indicating the
excessive production of cytokine such as IL-4, IL-5, and IL-13 (86,
87, 88).
63

The role of allergens in AD is very important and significant


to develop lesion (49, 59, 91, 92). A variety of allergens are able to
enter the body through various ways, including inhalation, food,
or bacterial (Staphylococcus aureus) and yeast infections. HDM as
component of house dust are considered as the most potent
allergen (82, 83, 84) often found in the bed being warm and damp,
for example, bed-cover, rug, household, clothes, and soft child toy
(74). The experiments to isolate the allergens from the house dust
had been undertaken for a long time, but only in the early of 1970
Bencards Limited had just found the technique to grow D.pteronyssimus in large quantity (cited from 74). As the main allergen were
fecall pellets and shredding skin flakes (74, 82, 83, 84). The first
report about the role of HDM on AD was described by Rost (1932)
in eczematous patients that recovered after living in the freehouse-dust environment. Then, Tuft (1949) described that most of
the patients with AD underwent improvement after moving away
from former residence (cited from 92). A double-blinded, controled study using allergen D.pteronyssimus indicated a markedly
moderate delayed local reaction after HDM exposure by attaching
it onto the skin od AD patient (76). Tan et al. (1996) by using
double blind placebo challenge (DBPC) for 6 months had proved
their hypothesis that AD would improve when the number of
HDM in the house allergen reduced (59).
The role of inhalant allergens in the recurrence and pathophysiology of AD are clearly seen in patch test model using Der.p
as an allergen (85, 88). From the skin lesion positive after patch
test, it was proven that there was infiltration of specific-allergen Tcells besides IL-4 production that can enhance IgE synthesis (88).
Moreover, there appeared the infiltration of eosinophil, mononuclear cells, and basophil (Mitchele et al, 1982, cited from 92). The
frequency of Der.p-specific T-cells was 0.0020.7%, conclusively
that, there would be likely the existence of non-specific inflamematory cells in AD lesion (88, 96). The finding of epidermal
Langerhans cells that expressed IgE receptor with high affinity to
cell surface (FcRI) and able to catch and present allergens to Tcell efficiently is a very important invention to clarify the AD
pathogenesis (3, 96).

64

E. Preliminary Study
A clinico-laboratory study had been performed from
February 2001 to August 2001 designed as case-study using groupcomparative method. The study subjects were 6 AD patients
consisting of 2 males and 4 females, aged 1330 years, and 4
healthy people consisting of 2 males and 2 females, age 14-24 years
as control. Diagnosis of AD was established based on Hanifin &
Rajka criteria
Subsequently, peripheral blood samples were taken as many
as 5 cc using heparinised vacutainer for lymphocyte culture. The
diagnostic examination was provided with examinations of total
IgE level, specific IgE, and prick-test using HDM allergen. Total
IgE level was measured with ELISA and specific IgE level against
D.pteronyssimus was measured using RAST method. Prick-test
used HDM 0.01% solution in coca made by Pharmacy Installation
of DR.Soetomo Regional General Hospital, Surabaya. The lymphocyte isolation was conducted at The Biological Laboratory of Gajah
Mada University, Yogyakarta. The lymphocytes were cultured
using standardized method with RPMI 1640 solution as media.
The stimulation to lymphocytes in culture was done using phytohemaglutinin (PHA) as common mitogen and HDM extract as
specific allergens. The cells to stimulate by mitogen was incubated
for 2 days and those by HDM for 5 days in incubator having 370C
and CO2 5%. ELISA method was used to measure IL-4 and IFN-
from culture supernatan after stimulated with PHA or HDM, or
without stimulation.
The measurement of IL-4 and IFN- was conducted after 2day incubation for the PHA-stimulated group and after 5-day
incubation for HDM-stimulated group.The results of the study can
be noted here in the following tables.
Table 6.1. The Profiles of AD Patient
No.

Name

Age
(yr)

1
2
3
4
5
6

Ar
Sit
Mrs.Di
Har
Ich
An

19
25
18
14
30
13

Male/ Skin Test


Female (HDM)
P
P
P
L
L
P

+
+
+++
+
+

Total IgE
(IU/ml)
16.2
129
29
6702
514
1035

Specific
IgE(Pru/ml
)
0
0
0.66
18.75
4.36
26.4

Abs.
Eosin.
0.19
0.08
0.27
0.42
0.23
0.28

65

Table 6.2. The Profiles of Control


No.

Name

1
2
3
4

Al
Aif
Dia
Bb.E

Age
(yr)
24
24
15
23

Male/ Skin Test


Female (HDM)
L
P
P
L
-

Total IgE
(IU/ml)
87.4
206.2
71.4
113.2

Specific IgE
(Pru/ml)
0
0
0
0

Abs.
Eosin.
0.11
0.16
0.2
0.17

Table 6.3. Mean IL-4 and IFN- in AD Group and Controll Group
Mean Level
(pg/ml)
AD
Controll

WS
19.6
18.92

IL-4
PHA
37.61
38.62

HDM
40.9
32.42

WS
10.84
12.17

IFN-
PHA
15.2
19.88

HDM
10.19
12.89

Notes : WS = Without Stimulation


PHA = stimulation of phytohaemaglutinin
HDM = stimulation of House Dust Mites

Overviewing the preliminary study, Table 6.3 showed that the


IL-4 level in lymphocyte cultures of AD patients stimulated with
HDM were higher (p< 0.05) than the IL-4 level AD patients
without stimulation. This increase was not followed by the IFN-
level in culture stimulated with HDM. Comparing to control
group (Non-AD), IL-4 levels of AD patients both non-stimulated
or stimulated with HDM were higher. Interferon (IFN)- levels
from AD patients stimulated with HDM were lower than those
stimulated with PHA (p<0.05) or without stimulation but the
decrease was not significant. Similarly, IFN- levels from AD
patients stimulated with PHA or HDM or without stimulation
were lower comparing to the control.
F. Discussion
In this preliminary study, it is noted that HDM stimulation in
lymphocyte cultures of AD patients may result in the alteration or
modulation of immune system. This can be indicated by the
increase of IL-4 and the decrease of IFN- after the stimulation
lymphocyte culture of AD patients with HDM. If compared to the
controls (NDA), it also showed the increase of IL-4 but controversary there was slight lower IFN- after stimulate with HDM.

66

However, the further studies need larger size sample in order to be


able to analyze statistically the significance of differences.
The study of Kimura et al proved that the stimulation of
HDM on the lymphocyte culture of AD children enhanced IL-4
without the increase of IFN- (86) and Matsuyama et al indicated
that there had been defect on T-memory cell CD4+(CD+CD45RO+)
of AD patients compared to the control; resulting in the reduced
T-cells producing IFN- (Th1-cells), in consequence, IFN- production decreased (93). Another study had proven that the
stimulation of HDM on lymphocyte of AD patients caused
lowering of IFN- level if compared to those before stimulation
(94, 95). In contrast, Werfel et al indicated that in chronic eczematous lesion, beside Th2 cytokine the majority of T-cells infiltrating skin after patch-test with HDM also produced IFN- (96). It
could be indicated that in the chronic phase of AD the immune
respons is Th1.
In conclusion, the stimulation of HDM to lymphocyte culture
of AD patients may modulate the immune system, shown by the
increase of IL-4 level and the decrease of IFN- level, thus, contributing to the theory suggesting that AD is a disease that can be
affected by external factors and is a disease that of T helper-2
lymphocytes (Th2 disease).

67

68

HUBUNGAN DERAJAT PENYAKIT


BERDASAR SCORAD INDEX DENGAN
RESPONS IMUN AKIBAT PAJANAN ANTIGEN
TUNGAU DEBU RUMAH (TDR) PADA KULTUR
LIMFOSIT PENDERITA DERMATITIS
ATOPIK (DA)
A. Pendahuluan
Dermatitis Atopik (DA) merupakan inflamasi spesifik pada
kulit orang atopi yang bereakasi abnormal terhadap alergen
lingkungan dan diikuti timbulnya lesi eksematous2. Diagnosis ditegakkan berdasar kombinasi berbagai gejala klinis karena belum
ada satupun tanda yang patognomonik68. Tanda utama dari
penyakit ini adalah rasa gatal, serta predileksi lesi yang sangat
khas tergantung periode umur penderita. Gejala klinis DA biasanya tampak ringan sampai sedang namun pada beberapa kasus
dapat menjadi berat yaitu pada bentuk severe refractory atopic
dermatitis1,97. Derajat keparahan atau berat ringan penyakit DA
dapat dinilai dengan menggunakan parameter yang menggambarkan proses inflamasi alergi yang terjadi pada DA. Parameter
tersebut dilihat secara klinis, oleh karena sampai saat ini belum
ada parameter laboratorium yang dapat disepakati para ahli sebagai indikasi derajat penyakit. Rajka dan Langeland pada tahun
1989 telah mengusulkan kriteria derajat keparahan penyakit DA
yang sampai sekarang masih banyak digunakan karena praktis
dan dapat ditentukan dengan sekali konsultasi63. The European
Task Force on Atopic Dermatitis (1993) menggunakan system scoring
untuk menentukan derajat penyakit keparahan penyakit DA berdasarkan tiga parameter yaitu luas lesi/penyakit (extent), intensitas dan gejala subjektif. Index ini dikenal dengan istilah
SCORAD (score of atopic dermatitis) Index 13.
69

Sampai sekarang DA merupakan penyakit kulit inflamasi


yang belum diketahui etiologinya dan patogenesis DA belum
jelas. Faktor yang terlibat di dalam patogenesis sangat komplek
seperti factor genetik, farmakologik, lingkungan dan psikis. Walau
demikian sudah sejak lama para ahli memusatkan perhatian pada
gangguan fisiologi dan imunologi. Berbagai bukti menunjukkan
mekanisme imunologi atau respon imun memberi kontribusi pada
terjadinya lesi DA. Hasil pemeriksaan imunologik menunjukkan
DA juga konsisten sebagai penyakit alergi98, terbukti dengan
meningkatnya produksi IL-5, dan menurunnya sintesis IL-2 dari
sel mononuclear darah perifer anak menderita DA. Respons imun
pada DA bersifat bifasik, pada stadium akut memberi gambaran
respon Th2, seperti peningkatan kadar IL-4, IgE meningkat serta
eosinofilia. Sedang pada stadium kronis beralih menjadi respons
Th1 yang menonjol dengan peningkatan sekresi IFN- oleh sel Th1
dan gejala klinis terjadi penebalan kulit (likenifikasi) dan hiperpigmentasi30,31,36.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adakah hubungan
antara parameter klinis yang dilihat dari derajat keparahan penyakit DA dengan parameter imunologik berdasar kadar sitokin
yang disekresi limfosit penderita DA, yang menggambarkan
respons imun akibat pajanan allergen.
B. Bahan dan Cara Pemeriksaan
Penelitian ini adalah penelitian eksprimental in vitro, menggunakan kultur limfosit penderita dermatitis atopik (DA) dengan
perlakuan tanpa paparan (TP) dan dengan paparan tungau debu
rumah atau TDR (TD) dibandingkan kultur limfosit kelompok
kontrol yang diperlukan sama. Rancangan penelitian adalah post
test only control group design99.
Bahan penelitian adalah penderita dermatitis atopik, laki-laki
dan perempuan usia antara 6 sampai 40 tahun, berobat di poliklinik kulit & kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian
dilakukan selama periode Februari sampai Nopember 2001. Diagnosis DA ditegakkan berdasar kriteria Hanifin & Rajka (1980),
apabila didapatkan paling sedikit tiga kriteria major dan tiga atau
lebih kriteria minor10. Kelompok penderita maupun kontrol bersedia mengikuti penelitian dengan mengisi dan menandatangani
formulir kesediaan (informed consent) dan tidak mendapat pengo-

70

batan kortikosteroid dan atau antihistamin sebelum penelitian,


dalam waktu satu minggu atau kurang. Ethical clearance penelitian
diperoleh dari komisi Etik RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Derajat penyakit pada kelompok kasus ditentukan dengan
menggunakan SCORAD Index13. Sistem skoring dengan cara ini
berdasarkan 3 parameter yaitu A) luas lesi/penyakit (extent) yang
dihitung berdasar rule of nine, B) intensitas, dinilai pada lesi yang
representatif dan C) gejala subjektif, diukur dengan adanya gejala
gatal dan gangguan tidur selama 3 hari terakhir setiap malam. Lesi
yang representatif diukur dengan melihat bentuk wujud kelainan
kulit yaitu eritema, edema/papel, oozing, krustasi, likenifikasi dan
xerosis di luar lesi. Skor diperoleh dengan rumus = A/5+7B/2+C.
Pada semua subjek penelitian dilakukan uji kulit secara uji
tusuk (Skin prick test) dan allergen yang digunakan adalah ekstrak
tungau debu rumah (mite) dengan konsentrasi 0.20 mg/ml, didapat dari instalasi Farmasi RSUD Dr. Soetomo Surabaya (no.
197/01, exp.date; 4-1-02). Pemeriksaan laboratorium dilakukan
dengan mengambil darah perifer kelompok kasus dan kontrol
sebanyak 5 cc dengan vaccutainer tanpa antikoagulan untuk diambil serum guna pemeriksaan IgE total dan IgE Spesifik. Pemeriksaan IgE total menggunakan metode microparticle enzyme immunoassay (MEIA), dikerjakan di laboratorium klinik Prodia Surakarta dan pemeriksaan IgE spesifik terhadap tungau debu rumah
(Dermatophagoides pteronyssimus) dengan metode RAST (Radio
Allergo Sorbent Test), dikerjakan di Laboratorium Biolisa Jakarta.
Selain itu sebanyak 5 cc juga dimasukkan dalam vaccutainer ber
heparin dan secepatnya (paling lambat 12 jam) dikirim ke laboratorium Ilmu Hayati Universitas Gajah Mada Yogyakarta, menggunakan box berisi es sebagai tempat penyimpanan selama
perjalanan. Setelah sampai di laboratorium Ilmu Hayati Universitas Gajah Mada Yogyakarta dilakukan isolasi limfosit, dengan
metoda Ficoll gradient sentrifugasi. Teknik atau prosedur laboratorium untuk isolasi limfosit ini sesuai dengan protokol untuk
melakukan isolasi limfosit. Isolasi limfosit yang diperoleh dipergunakan untuk keperluan kultur. Kultur limfosit dikerjakan
dengan mengeramkan selama 5 hari untuk tanpa pajanan maupun
dengan pajanan allergen TDR. Pada hari ke 6 kultur dipanen
dengan mengambil supernatan dari kultur dan dilakukan pengukuran kadar IL-4 dan IFN- dengan metode ELISA, menggunakan
Elisa kit dari Quantikine Human IFN-gamma (R&D System/UK).
71

Prosedur laboratorium untuk pengukuran IFN- dan IL-4 sesuai


dengan protokol untuk pengukuran kadar sitokin.
Analisa statistik menggunakan anova (analysis of variance) satu
arah untuk mencari korelasi antara derajat penyakit berdasar
SCORAD Index dengan respons imun limfosit setelah pajanan
antigen TDR, yang dilihat dari pengukuran kadar IFN- dan IL-4.
Perbedaan bermakna secara statistik diambil pada nilai p<0.005.
C. Hasil Penelitian
Penelitian melibatkan 18 penderita DA dan 12 orang kelompok kontrol terdiri 8 orang mahasiswa FK UNS yang sehat dan 4
orang penderita penyakit kulit non atopik (NDA), tidak mempunyai riwayat atopi (Tabel 7.1). Sebaran penderita dan kelompok
kontrol berdasar jenis kelamin adalah sebagai berikut, dari 18
penderita DA terdiri 5 laki-laki dan 13 perempuan sedang 12
kelompok kontrol terdiri 5 laki-laki dan 7 perempuan (tabel 7.2).
Berdasar usia, kelompok kasus mempunyai rentang usia 6
sampai 38 tahun (rerata 20.33 thn). Dan kelompok kontrol, 8
sampai 30 tahun (rerata 21.33 tahun) (tabel 7.3). Uji homogenitas
variabel umur menggunakan Anova, tidak ada perbedaan usia
(p>0.05) di antara kelompok DA dan NDA. Gambar grafik diagram balok rerata DA dan NDA pada variabel umur terlihat pada
gambar 7.1.
Tabel 7.1. Komposisi subjek penelitian (kasus dan kelompok
control)
Diagnosis
Dermatitis atopik (DA)
Kelompok kontrol
Akne vulgaris
Tinea kruris
Kandidiasis
Orang sehat
Jumlah

72

Kelmpok kasus

Kelompok
kontrol

18

18

12
1
1
8
12

Tabel 7.2. Sebaran subjek penelitian berdasar jenis kelamin


Jenis
kelamin
Laki-laki
Perempuan
Jumlah

DA (%)

NDA (%)

Jumlah

5 (27.78)
13 (72.22)
18 (100)

5 (41.66)
7 (58.33)
12 (100)

10
20
30

Tabel 7.3. Perbedaan usia pada kelompok kasus dan kontrol


Nilai
Rentang
Rerata (Mean)
Simpang baku

DA(thn)
6-38
20.33
8.77

NDA(thn)
8-30
21.33
5.79

Uji statistik
P=0.731
(Anova satu
arah)

21,5
21
DA

20,5

NDA

20
19,5
DA

NDA

Gambar 7.1 : Grafik diagram balok variabel umur pada


DA dan NDA
Hasil uji tusuk, pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik
terhadap D pter pada kelompok kasus maupun kontrol, terlihat
pada tabel 7.4.

73

Tabel 7.4. Hasil pemeriksaan IgE total dan IgE spesifik pada
kelompok DA dan NDA.
Kelompok penderita : DA
Usia
(th)
1
25
2
24
3
38
4
19
5
14
6
32
7
30
8
21
9
18
10
24
11
10
12
22
13
6
14
29
15
16
16
13
17
19
18
6
Rata2: 20.33
No

L/
P
P
P
P
P
L
P
L
L
P
L
L
P
P
P
L
P
P
P

Diagnosis
(DA/NDA)
DA
DA +RA
DA
DA
DA
DA + RA
DA
DA + RA
DA
DA
DA + Asm
DA +RA +Asm
DA
DA
DA
DA +RA+ Asm
DA + Asm
DA

Uji Tusuk dg IgE total


alergen.TDR (IU/ml)
+
129
+
1396
++
1284
16.2
+++
6702
++
209
++
514
++
738.4
+
29
+
175
+++
499.6
+
581
386
+
80.2
+
1425
+++
1035
++
742.8
249.8
1231.64

IgE Spes.thd
TDR(Pru/ml)
Kls 0 ( - )
Kls 0 ( - )
Kls 0 ( - )
Kls 0 ( - )
Kls 4 (18.75)
Kls 0 ( - )
Kls 3 (4.36)
Kls 3 (5.49)
Kls 1 (0.66)
Kls 0 ( - )
Kls 4 (2.99)
Kls 0 ( - )
Kls 1 (0.37)
Kls 0 ( - )
Kls 0 ( - )
Kls 4 (26.4)
ls 3 (10.7)
Kls 0 ( - )
5.3128

Uji Tusuk IgE total


dg.allergen TDR
TDR
(IU/ml)
206.2
+
94.8
113.2
87.4
71.4
84.6
207.8
99.8
836.6
647.4
61
834
216.14

IgE Spes thd.


TDR (Pru/ml)

Kelompok control : NDA


No

Usia
(th)

L
/P

Diagnosis
(DA/NDA)

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Rata2:

24
25
23
24
15
8
19
20
19
27
30
22
21,33

P
L
L
L
P
P
P
P
P
L
P
L

Sehat
Sehat
Sehat
Sehat
Akne Vulgaris
Kandidiasis
Sehat
Tinea Kruris
Akne Vulgaris
Sehat
Sehat
Sehat

0(-)
Kelas 3 (7.45)
0(-)
0(-)
0(-)
0(-)
0(-)
0(-)
0(-)
0(-)
0(-)
0(-)
0.6208

Keterangan : DA= Dermatitis Atopik, RA = Rinitis alergik, Asm = Asma


atopik

74

Hasil pemeriksaan kadar IgE total pada kelompok kasus bervariasi antara 16.2 sampai 6702 IU/ml, dengan rerata 1231.64
IU/ml, sedang pada kontrol 61-836.6 IU/ml, rerata 216.14 IU/ml.
(tabel 7.5). Menggunakan Anova satu arah, tidak ada beda
(p=0.120) kadar IgE total pada kelompok DA dan NDA. Gambar
7.2 menunjukkan grafik diagram balok rerata kadar IgE total pada
kelompok kasus (DA) dan kelompok kontrol (NDA).
Tabel 7.5. Perbandingan kadar IgE Total dalam serum pada DA
dan NDA.
Nilai
Kadar IgE Total (IU/ml)
Uji Statistik
DA
NDA
Rentang
16.2 6702
61 836.6
P=0.120
Rerata
1231.64
216.14
(anova satu arah)
Std. Dev
2169.322
253.429
Std. Error
511.314
73.158

IgE total

1500
1000

DA
NDA

500
0
DA

NDA

Gambar 7.2 : Grafik diagram balok rerata IgE total pada DA & NDA

Sebaran penderita DA berdasar derajat penyakit menunjukkan sebagian besar kelompok kasus, yaitu 13 penderita (72.22%)
menderita DA derajat sedang, selebihnya 3 orang dengan derajat
berat dan 2 penderita lagi menderita derajat ringan (tabel 7.6).

75

Tabel 7.6. Sebaran penderita DA berdasar derajat penyakit.


Derajat
penyakit
Ringan
Sedang
Berat
Jumlah

Scored-INDEX
(skor rata2)
18 26 (22.5)
31 40 (35)
48 58.5 (50.5)

Jumlah (%)
2 (11.1)
13 (72.2)
3 (16.6)
18 (100)

Keterangan : Derajat penyakit berdasar SCORAD INDEX


Skor = < 30
: DA derajat ringan (R)
30-40 : DA derajat sedang (S) dan
> 40
: DA derajat berat (B)
Pengukuran kadar IL-4 dan IFN- memperoleh hasil rerata
kadar baik pada keadaan tanpa maupun dengan pajanan terlihat
pada tabel 7.7. Pembacaan hasil pengukuran kadar sitokin
memakai Elisa reader dengan satuan OD (optical density).
Gambar grafik rerata IFN- dan IL-4 pada kelompok DA dan NDA
terlihat pada gambar 7.3.
Tabel 7.7. Rerata kadar IFN- dan IL-4 pada kelompok DA dan
NDA.

IFN-
IL-4

Rerata kadar sitokin


(OD) pada DA,
dengan perlakuan
TP
TD
0.2253
0.2452
0.1193
0.2168

Rerata kadar sitokin


(OD) pada NDA,
dengan perlakuan
TP
TD
0.1791
0.2628
0.1299
0.2050

Keterangan :
- OD = optical density
- TP = tanpa pajanan
- TD = pajanan dengan tungau debu rumah

76

0.3

0.25

0.2

0.15

IFN-
IL-4

0.1

0.05

TP

TDR

TDR+I
L-12

Kasus

TP

IL-4
IFN-
TDR

TDR+I
L-12

Kontrol

Gambar 7.3 : Grafik rerata kadar IFN- dan IL-4 pada kelompok
kasus dan kontrol
Hubungan respons imun (diukur dari kadar IFN- dan IL-4)
dengan derajat penyakit terlihat pada tabel 7.8. Analisis dengan
anova memperlihatkan tidak ada beda baik pada TP. IFN-
(p=0.160) maupun TP.IL-4(p=0.533) dengan derajat penyakit yang
diukur dengan SCORAD Index, menunjukkan gradasi keparahan
penyakit secara klinis.
Tabel 7.8. Hubungan respons imun dengan derajat penyakit berdasar SCORAD Index
NDA (n=12)
Variabel
TP.IFN-
TP.IL-4

Catatan :

Rerata
0.1797
0.1292

SD
0.089
0.029

Kriteria klinis dan derajat penyakit


DA Ringan
DA
(n=2)
Sedang(n=13)
Rerata
SD Rerata
SD
0.3215 0.026
0.2120
0.071
0.1240 0.011
0.1196
0.099

DA Berat(n=3)
Rerata
0.2193
0.1150

SD
0.084
0.010

dengan uji anova didapatkan TP.IFN- (p=0.160) dan TP.IL-4


(p=0.533)

77

D. Pembahasan
The European Task Force on Atopic Dermatitis (1993) menggunakan system scoring untuk menentukan berat ringan DA, berdasarkan 3 parameter yaitu: luas lesi/penyakit (extent), intensitas dan
gejala subjektif. Index ini dikenal dengan istilah SCORAD Index13.
Luas lesi (A) dihitung berdasar rule of nine, intensitas (B) dinilai
pada lesi yang representatif dan gejala subjektif (C) diukur dengan
VAS (visual analog scale). Lesi yang representatif diukur dengan
melihat bentuk ujud kelainan kulit yaitu eritema, edema/papel,
oozing/krustasi, ekskoriasi, likenifikasi dan xerosis kutis di luar
lesi. VAS dihitung rerata selama 3 hari setiap malam adakah gejala
gatal dan gangguan tidur dengan angka dari 0 (tidak ada gejala
dan gangguan tidur) sampai 10 (gejala gatal sangat dan terjadi
gangguan tidur selama 3 hari/malam) SCORAD didapat dengan
memakai rumus =A/5+7B/2+C.
Beberapa peneliti melaporkan hasil penelitian laboratorium
yang masih kontroversi yaitu hubungan kadar molekul adesi
dengan aktivitas penyakit DA. Penelitian Kowalzick (1995) menyatakan bahwa kadar inter cellular adhesion molekul 1 (ICAM-1)
dan endothelial leucocyte adhesion molecule-1 (ELAM-1) dalam serum
meningkat pada DA derajat berat, namun tidak dapat dipakai
sebagai petanda yang aktual untuk aktivitas penyakit pada
eksema atopik yang berat100. Koide dkk (1997) menyimpulkan
adanya korelasi positif antara aktivitas klinis penyakit dengan
perubahan kadar ELAM-1 dan vascular cell adhesions molecule1(VCAM-1)101. Kadar molekul adesi, terutama ELAM-1 merupakan
parameter klinik yang sensitive dalam monitor perjalanan atau
aktivitas penyakit DA101,102. Ekpresi VCAM-1 dan ICAM-1 pada
kulit non lesi penderita dermatitis atopik dengan pemeriksaan
immunostaining, menunjukkan peningkatan yang signifikan dari
pada orang normal103. Penelitian lain menunjukkan, pengukuran
kadar reseptor IL-2 (IL-2R), ICAM-1 dan ECP (eosinophil cationic
protein) dalam serum sebagai marka inflamasi berguna untuk
monitoring aktivitas penyakit DA terutama pada anak53,103.
Walaupun banyak laporan yang menghubungkan derajat
keparahan dengan parameter laboratorium, namun sampai saat
ini belum ada yang dapat diterima secara menyeluruh oleh
kalangan pakar dermatologi.

78

Respons imun pada penderita DA dapat dilihat dengan


mengukur kadar sitokin IL-4 dan IFN- dari kultur limfosit yang
diisolasi dari darah tepi, baik keadaan tanpa pajanan atau dengan
pajanan. Paparan atau pajanan alergen TDR pada saat klinis
mengalami kekambuhan, menyebabkan perubahan respons imun
pada penderita DA. Kadar sitokin IL-4 meningkat memberi
petunjuk bahwa limfosit yang memproduksinya adalah subset
Th2, berarti terjadi respons imun Th2 yang dominan37. Sedangkan
kadar IFN- dari kultur limfosit, yang meningkat berarti terjadi
respons imun ke arah Th1. Pengukuran kadar sitokin dengan
teknik pengukuran seperti prosedur pemeriksaan sitokin dari
supernatan. Pembacaan kadar IL-4 dan IFN- dalam satuan OD
(optical density) dengan Elisa reader, dan nilai rerata kadar terlihat
pada tabel 7.7. Dari data pada tabel didapatkan bahwa kadar IL-4
kelompok DA tanpa paparan sedikit lebih rendah dibandingkan
kelompok kontrol walaupun perbedaan tak bermakna (p>0.05)
dan sebaliknya IFN- cenderung lebih tinggi namun tidak berbeda
secara bermakna juga, maka kelompok kasus DA pada penelitian
ini lebih menunjukkan sebagai DA stadium kronis, dengan kadar
IFN- yang cenderung lebih tinggi.
Data hasil pemeriksaan kadar IgE total dalam serum penderita DA dan kontrol menunjukkan, rerata kadar IgE total =
1231.64 IU/ml. Harga ini tidak jauh berbeda dengan penelitian
Juhlin dan kawan-kawan (1967) yang mendapatkan harga IgE
total dalam serum penderita DA, diambil dari Upsala-Swedia,
sebesar 2733 ng/ml atau setara 1138.75 IU/ml64. Pada penelitian
ini, penderita DA berasal dari kota Surakarta-Indonesia dan
sekitarnya.
Kelompok kasus yang bereaksi positif terhadap TDR dengan
pemeriksaan IgE spesifik menggunakan metode RAST sebanyak
7 penderita (43,75%) dengan berbagai tingkat alergi, sedangkan
pada kelompok kontrol satu orang (8.33%). Seorang dari kelompok kontrol yang termasuk orang sehat mempunyai IgE spesifik
terhadap TDR dengan kadar dalam serum, 7,45 Pru/ml. Hal ini
dapat terjadi karena pada orang sehat tersebut tidak mempunyai
predileksi spesifik, artinya menderita alergi TDR tetapi tidak ada
menifestasi pada kulit ataupun pada saluran nafas105.
Gambaran klinis DA bervariasi dan sampai saat ini diagnosis
DA dapat ditegakkan berdasar kumpulan gejala klinis karena
79

belum ada satupun tanda yang patognomonik68. Dilihat dari sudut


pandang patofisiologik penyakit, gejala (klinis) dan tanda khas DA
dipakai sebagai dasar diagnosis dan untuk membedakan dengan
penyakit kulit lain. Paradigma patofisiologik adalah model berpikir yang berdasar pada timbulnya gejala dan tanda khas (sign
and symptom) yang terlihat dan dapat diukur, sebagai akibat suatu
penyimpangan106, namun sign and symptom ini tidak selalu sesuai
dengan perubahan respons imun. Membedakan respons imun
akibat pajanan alergen yang terjadi pada DA dan non-DA, tidak
selalu dapat menggunakan perbedaan gejala klinis yang tampak32.
Pada tabel 7.7 memperlihatkan hubungan respons imun (diukur dari kadar IFN- dan IL-4) dengan derajat penyakit DA berdasar SCORAD Index yang merupakan ukuran dari gradasi
keparahan penyakit secara klinis. Dengan analisis multivariate
(=Anova), ternyata tidak ada perbedaan bermakna (p=0.160) baik
kadar IFN- tanpa pajanan (TP.IFN-) maupun TP.IL-4 (p=0.533).
Maka dapat disimpulkan bahwa derajat keparahan penyakit pada
DA tidak selalu sesuai dengan respons imun yang terjadi akibat
pajanan alergen.

E. Ringkasan
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan
antara derajat penyakit berdasar Scorad Index pada penderita DA
dengan respons imun yang terjadi akibat pajanan antigen tungau
debu rumah. Respons imun diukur dari kadar sekresi IL-4 dan
IFN- oleh limfosit dalam kultur dari penderita DA. Hasil yang
diperoleh tidak ada perbedaan bermakna antara derajat penyakit
dengan respons imun (p>0.05). Dari hasil penelitian disimpulkan
tidak ada hubungan bermakna antara derajat penyakit secara
klinis dengan respons imun akibat pajanan antigen yang diukur
dari kadar sitokin pada supernatan kultur limfosit penderita DA.

80

SITOKIN DAN PERANANNYA PADA


DERMATITIS ATOPIK
A. Pendahuluan
Beberapa dekade terakhir, kemajuan di bidang alergi-imunologi telah demikian pesat sehingga mampu membuka tabir ketidak jelasan berbagai penyakit yang berlatar belakang kelainan
respon imun. Kemajuan tersebut dikembangkan untuk dapat menjelaskan bagaimana patogenesis berbagai penyakit yang sebelumnya masih kabur dan untuk penegakan diagnosis. Selain itu
sebagai dasar penatalaksanaan yang rasional, telah dikembangkan
obat dan vaksin yang dipakai memperbaiki fungsi imun dalam
melawan infeksi dan keganasan, serta menekan inflamasi dan
fungsi imun yang berlebihan seperti pada reaksi hipersensitivitas.
Penemuan sitokin, suatu molekul yang berperan penting sebagai
mediator pada interaksi antar sel dalam sistem imun dan berfungsi mengatur atau mengontrol respon imun, pertama kali diilhami oleh penelitian Rich & Lewis (1932). Namun yang dianggap
sebagai studi pertama kali tentang limfokin adalah percobaan
David dkk. bersamaan dengan penelitian Bloom & Bennet (1965)
yang menunjukkan bahwa antigen dapat merangsang limfosit
dalam kultur untuk memproduksi zat yang menghambat migrasi
neutrofil dan makrofag disebut macrophage migration inhibitory
factors (MIF) (dikutip dari 107). Selain sebagai perantara pada
imunitas natural dan adaptif, sitokin juga berpengaruh pada
proses penyembuhan luka (wound healing), haematopoeisis dan
berbagai proses biologis lain (108).
Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit yang telah lama
dikenal, dengan berbagai sinonim seperti atopic eczema, neurodermatitis diseminata, prurigo diathesique dan sebagainya. (4,70).
Sampai sekarang etiologi maupun patogenesisnya masih belum
jelas, diduga adanya faktor atopi, sebagaimana asma dan rinitis
atopi (28,70). Gatal merupakan gejala utama DA yang sering
81

menyebabkan frustasi bagi penderita oleh karena sering muncul


tanpa sebab yang tidak diketahui, dan merupakan tantangan
dalam piatalaksanaan DA. Atopi merupakan fenomena hipersensitif yang diperantarai IgE (IgE mediated) dan dengan respon
imun Th2 yang dominan (Th2 disease) oleh karena produksi sitokin
Th2 yang berlebihan (Th2 excess) sehingga menyebabkan terjadinya gejala khas atopi (25).
Makalah ini dimaksudkan untuk memberi tinjauan tentang
sitokin dan patogenesis DA berdasar konsep imunologik, serta
bagaimana peranan sitokin pada terjadinya inflamasi alergi pada
DA.
B. Sitokin
Sitokin secara umum didefinisikan sebagai protein yang
disekresi oleh sel darah putih dan berbagai macam sel lain dari
tubuh; mempunyai aksi pleiotrofik yang meliputi efek pada sel sel
sistem imun dan dapat memodulasi respon inflamasi (109). Produksi sitokin bersifat temporer dalam waktu pendek, beberapa
jam sampai hari, terjadi oleh karena induksi suatu stimulus dan
radius aksinya biasanya pendek, pada sel itu sendiri (autokrin)
atau pada sel sel yang dekat (parakrin). Sebagian besar merupakan
molekul polipeptida atau glikoprotein dengan berat molekul rendah
antara 600060.000, bersifat sangat poten, dapat beraksi pada konsentrasi 1010 - 10-15 (8). Ciri-ciri umum sitokin adalah sebagai
berikut (108, 109):
1. pleiotrofisme, diproduksi oleh berbagai sel yang berbeda dan
berefek pada bermacam macam sel
2. sinergi atau antagonis, sitokin mempengaruhi sintesis sitokin
lain (memacu atau menekan) dan mempengaruhi pula aksi
dari sitokin lain
3. inisiasi kerja sitokin melalui pengikatan dengan reseptor
spesifik pada permukaan sel target
4. redundant, efek berbeda beda yang berasal dari satu jenis
sitokin dimiliki pula oleh sitokin sitokin lain
5. reseptor sitokin memiliki afinitas sangat tinggi terhadap ligannya, oleh karena itu dalam kadar yang sangat kecil sudah
mampu memberikan efek biologis.
Sitokin memiliki bermacam nama seperti interleukin (IL),
interferon (IFN), colony stimulating factor (CSF), tumor necrosis factor

82

(TNF), growth factor dan chemokines (chemotactic cytokines). Sitokin


diproduksi terutama oleh sel T, namun sel lain seperti makrofag,
monosit, eosinofil, sel endotel, keratinosit dan beberapa sel lain
seperti fibroblas, astrosit dan sebagainya. dapat pula menghasilkannya (111). Beberapa sitokin dikelompokkan dalam efek
biologisnya sebagai berikut (108):
1. sebagai mediator imunitas selular, termasuk disini adalah
sitokin pro-inflamasi yang melindungi tubuh terhadap infeksi
virus dan bakteri, seperti IFN tipe I, TNF, IL-1, IL-6 dan IL-8
2. sebagai regulator aktivasi, pertumbuhan dan diferensiasi limfosit, seperti IL-2, IL-4 dan TGF. Juga termasuk IL-3, GM-CSF,
IL-7
3. aktivator sel sel radang, antara lain IFN-gamma atau IFN tipe
II, IL-5 dan lymphotoxin.
Selain itu beberapa sitokin berperan dalam proses kemotaksis
sel radang disebut chemotactic factors atau chemokine antara lain
IL-8, macrophage inflammatory protein-1 (MIP-1; MIP-1),
RANTES (regulated on activation norrmal T expressed and secreted),
eotaxin dan sebagainya.
C. Dermatitis Atopik: Gambaran Klinis
Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit kronis yang
sering kambuh, terjadi umumnya pada masa infan, anak-anak
ataupun dewasa dan biasanya disertai peninggian kadar IgE serta
adanya riwayat penyakit atopi (eksema, rinitis alergik dan atau
asma) pada diri atau keluarganya (1). Distribusi kelainan kulit DA
khas dan gambaran klinisnya sangat bervariasi (68). Prevalensinya
selama dekade terakhir ini meningkat dari angka 3-5% menjadi
hampir 10-20% dan penyebab kenaikan tersebut belum jelas (58).
Polutan dari lingkungan seperti paparan aeroalergen, antara lain
debu, asap rokok, begitu pula alergen makanan dan seringnya
pemakaian sabun diduga menyebabkan terjadinya kekeringan
kulit.
Diagnosis DA ditegakkan menggunakan kombinasi berbagai
gejala kliniis karena belum ada satupun tanda yang patognomonik. Sampai saat ini kriteria menurut Hanifin & Rajka (1980)
masih banyak digunakan (dikutip dari 10). Gejala menonjol pada
DA adalah rasa gatal, diikuti oleh timbulnya lesi kulit yang dimulai dengan adanya tanda bekas garukan (scratch mark) kemu83

dian timbul eritem, papula, vesikula, erosi atau ekskoriasi. Lesi


tampak basah (eksudatif) pada stadium akut dan bila kronik terjadi
likenifikasi. Secara klinis berdasar usia ada 3 kelompok atau tipe
DA:
1. tipe bayi, timbul mulai pada usia dini (2 bulan) dan sering
mengalami remisi setelah 2 tahun. Lesi mulai pada wajah,
menjalar ke badan dan daerah ekstensor, sering tampak
eksudatif.
2. tipe anak, usia 311 tahun dengan predileksi terutama pada
daerah lipatan (fleksural), lesi kulit dapat eksudatif sampai
likenifikasi
3. tipe dewasa, terjadi setelah usia 12 tahun dengan gejala menonjol lesi kulit menebal (likenifikasi) terutama pada daerah
fleksural dan dorsum pedis.
D. Imunopatogenesis DA
Sampai sekarang DA merupakan penyakit kulit inflamasi
yang belum diketahui jelas etiologi maupun patogenesisnya.
Faktor yang terlibat di dalam patogenesis DA sangat komplek
seperti faktor genetik, farmakologik, lingkungan dan psikis. Berbagai teori dikemukakan seperti teori defek kelenjar lemak permukaan kulit yang menyebabkan kulit menjadi kering, xerosis dan
gatal, teori blokade reseptor -adrenergik, (112) dan peranan neuropeptida yang akhir akhir ini banyak mendapat perhatian (113).
Namun yang banyak diterima adalah DA merupakan penyakit
berdasarkan mekanisme atopi, paralel dengan asma dan rinitis atopi
(28, 70). Pengertian atopi adalah suatu fenomena yang terjadi
berdasar respons imun berlebihan (hipersensitfvitas) tipe I dengan
perantaraan IgE. Ini dibuktikan pada kenyataan kurang lebih 80%
kasus DA menunjukkan kadar IgE tinggi disertai adanya IgE
spesifik terhadap alergen lingkungan. Lebih dari 85% penderita
DA menunjukkan hasil tes kulit positif terhadap berbagai alergen
termasuk aeroalergen dan makanan (114). Bentuk ini dikenal
sebagai DA tipe ekstrinsik atau DA imunologik(15). DA juga
mempunyai profil imunologis yang konsisten sebagai penyakit
alergi terlihat dari meningkatnya produksi IL-5 dan menurunnya
sintesis IL-2 dari sel mononuklear darah perifer anak menderita
DA, yang mencerminkan adanya aktivasi eosinofill dan IgE dalam
serum yang tinggi (98).

84

E. Paradigma Th1 dan Th2 pada Penyakit Atopi


Peranan sel T pada patogenesis DA sangat penting sehingga
Bruijnzeel PL menyebut DA sebagai kelainan kulit dengan
perantaraan sel T (T-cell mediated disease) (49). Sel T penolong (Th)
dalam memproduksi sitokin, berdeferensiasi menjadi dua subset
berdasar profil sitokin yang dikeluarkan, yaitu Th1 dan Th2.
Dikenal pula akhir-akhir ini adanya subset Th3. Sel Th disebut
Th1 bila memproduksi sitokin IFN-, IL-2, TNF- dan Th2 bila
mengeluarkan IL-4, IL-5, IL-10 dan IL-13. Sedangkan sel T yang
memproduksi dalam jumlah banyak transforming growth faktor-
(TGF-) disebut sel Th3 (115). Perbedaan pola sitokin ini berhubungan dengan fungsi spesifik yaitu sel Th1 terlibat di dalam
reaksi hipersensitivitas lambat (DTH) atau imunitas seluler
sedangkan Th2 penting untuk terjadinya respon antibodi atau
imunitas humoral, terutama dalam sintesis IgE (37).
Tahun 1997 Romagnani mengadakan kajian tentang polarisasi
sel Th1/Th2 dalam konteks yang berhubungan dengan patofisiologi penyakit. Penyakit atopi ditandai dengan respon imun Th2
lebih dominan, oleh karena itu disebut Th2 disease dan disertai
produksi sitokin Th2 yang berlebihan (Th2 excess) (25). Beberapa
penemuan yang mendukung konsep tersebut antara lain (37):
1. Sel Th2 terakumulasi pada organ target pada penderita alergi
2. Tantangan alergen menyebabkan aktivitasi dan rekrutmen sel
Th2 spesifik
3. Th2 dengan marka CD 30+ yang reaktif terhadap alergen
berada dalam sirkulasi darah penderita atopi selama paparan
alergan musiman
4. Sel T CD4+ darah umbilukus (cord blood lymphocytes) dari neonatus dengan orang tua atopi memproduksi IL-4 lebih tinggi
dari orang tua non atopi.
Diferensiasi sel Thelper menjadi sel Th1 atau Th2 ditentukan
oleh fakor genetik dan kondisi lingkungan, terutama sitokin tipe
apa yang mempengaruhi mikroenvironment dalam sel Th nave.
Perubahan Th nave menjadi Th2 dirangsang oleh adanya IL-4
yang mungkin sejak awal diproduksi oleh sel CD4+NK1.1+ atau
oleh sel Th nave sendiri dalam jumlah kecil. Selain itu diduga IL-6
yang diproduksi sel penyaji antigen dapat mendorong polarisasi
ke arah Th2, sedangkan pengaruh sitokin IL-12 dan IFN- lebih
sesuai untuk diferensiasi ke Th1 (37) (lihat gambar 8.1). Pada pen85

derita atopi termasuk DA, terjadi respon imun dengan profil Th2
terhadap rangsangan alergen lingkungan oleh karena perubahan
genetik yang menjadi produksi IL-4 atau berkurangnya regulasi
sitokin yang menghambat produksi sitokin Th2 (IL-4) yaitu IL-12
dan IFN- atau keduanya

Gambar 8.1: Paradigma Thi/Th2 pada penyakit


(dikutip sesuai dengan aslinya dari ref. Romagnani, 1997)

Suatu studi epidemologi di Jepang menunjukkan bahwa pada


dekade terakhir, di negara maju menurunnya infeksi tbc dan
penyakit infeksi lain pada anak, memberi kontribusi meningkatnya prevalensi dan derajat keparahan penyakit atopi. Berkurangnya produksi sitokin yang menghambat respon Th2 (sitokin yang
berperan dalam penyakit infeksi) menyebabkan terjadinya keadaan tersebut (25, 37).

86

Dengan menggunakan paradigma Th1 dan Th2 di bidang


penyakit alergi ataupun infeksi, maka dapat memberikan penjelasan patogenesis suatu penyakit. Pada atopi termasuk DA dengan
memahami hal tersebut telah banyak dicapai kemajuan walaupun
belum jelas benar hubungan kausalistik terjadinya penyakit
dengan faktor atopi. Dengan penelitian lebih lanjut, akan dapat
memberikan prospek di masa datang dalam strategi tatalaksana,
misalnya pemakaian sitokin sebagai dasar imunomodulator pada
penyakit atopik terutama pada derajat keparahan yang berat atau
bentuk recalcitrant.
F. Peran sitokin pada dermatitis atopik
Th2 pada patogenesis DA maupun asma atopik mempunyai
peran sentral di dalam menginduksi respon IgE dan rekrutmen
eosinofil terutama pada DA atau asma ekstrinsik, hal ini dapat
dilihat seperti pada gambar di bawah ini.
IL-4/IL-13
B

Th2

IgE

MC

(EA,EAD)
(EA,EAD
& IA,IAD)

ECF-A

Histamin
Leukotriene

IL-5
Sitokin proinflamasi lain?

Reaksi alergi
segera
Eo

ECP
MBP
EPO
Reaksi alergi fase lambat
(Late phase reaction
Inflamasi

Gambar 8.2: Model patogenesis pada asma dan dermatitis atopik: *


Keterangan gambar:
Peran Th2 di dalam sintesis IgE oleh sel B dipengaruhi IL-4 & IL-13
terlihat jelas pada DA atau asma bentuk ekstrinsik. Pengaruh IL-5 untuk
aktivasi eosinofil terlihat pada DA bentuk ekstrinsik maupun intrinsik.
(EA= extrinsic asma, EAD= extrinsic atopic dermatitis,
IA= intrinsic asthma, IAD= intrinsic atopic dermatitis)
* dikutip dari ref. Wuthrich B (ed). 1999

87

Beberapa sitokin yang banyak terlibat dan berperan di dalam


terjadinya inflamasi pada patogenesis DA akan dibahas secara
singkat, antara lain IL-4, IL-5, IL-13 dan IFN-.
G. Interleukin (IL)-4
IL-4 dipoduksi oleh sel T aktif, sel mast dan basofil dan pertama kali diidentifikasi pada tahun 1982 dalam hubungan dengan
kemampuannya menginduksi sel B mencit yang aktif berproliferasi dan mensekresi IgG1 (116). Mempunyai fungsi memacu
petumbuhan dan diferensiasi sel B, sel T, sel mast, selain itu juga
berefek pada makrofag, sel NK, eosinofil, basofil, fibroblas, sel
endotel dan berbagai tumor pada manusia (117). Beberapa studi in
vivo pada binatang menunjukkan efek anti tumor, sehingga IL-4
mempunyai harapan untuk digunakan sebagai pengobatan tumor
di masa depan. Demikian pula pada beberapa penyakit inflamasi
dengan profil Th1 excess mengalami perbaikan dengan pemberian
IL-4 (116).
Pada DA, IL-4 berperan sebagai switch factor produksi IgE
oleh sel B dan dapat menghambat produksi IFN- oleh sel T aktif
sehingga menyebabkan respon imun Th2 lebih dominan. Kimura
dkk. (1998) membuktikan bahwa pada DA bayi dan anak produksi
IL-4 pada kultur sel mononuklear darah tepi (peripheral blood
mononuclear cells=PBMC) lebih tinggi dari pada kontrol subjek
non-atopi yang di stimulasi dengan alergen tungau debu rumah
(TDR) (117). Sel T yang diisolasi dari kulit penderita DA ternyata
lebih berpolarisasi ke arah Th2 dengan sekresi IL-4, IL-5 dan IL-10
lebih banyak dari sel T yang diisolasi dari darah penderita yang
sama setelah dipapar alergen TDR (86). Ini menunjukkan bahwa
kulit penderita DA merupakan lingkungan unik dan sesuai untuk
terjadinya respon imun profil Th2. Begitu pula sebagai respon dari
rangsangan S.aureus, PBMC dari penderita DA anak secara signifikan lebih banyak memproduksi IL-4, menunjukkan secara in
vitro terjadi respon imun selular terhadap S.aureus sebagai alergen
yang poten untuk terjadinya inflamasi (118).
Pada inflamasi alergi, efek IL-4 terhadap sel mast bersama
IL-3. IL-5, GM-CSF terhadap eosinofil dan basofil merupakan
bagian yang penting selain melakukan rekrutmen sel radang, juga
dapat meningkatkan pelepasan mediator dalam merespon papar-

88

an alergen sehingga terjadi reaksi inflamasi (lihat gambar 8.3)


(119).

Gambar 8.3: Peran sentral IL-4 dalam patogenesis inflamasi alergi


(dikutip dari ref. Bischoff, 2000).
H. Interleukin (IL)- 5
Diproduksi oleh sel T dan pada percobaan in vitro mencit,
semula IL-5 bersama dengan IL-4, dinyatakan sebagai faktor pertumbuhan sel B (29, 30). Pada tahun 1983 Metcalfe dkk. Menunjukkan bahwa IL-5 merupakan satu satunya eosinophile haemopoietic
growth factors pada manusia yang bereaksi silang dengan mencit
(dikutip dari 120). Selain diproduksi sel T, juga disekresi oleh
eosinofil yang secara autokrin mempunyai efek aktivasi, diferensiasi dan memperpanjang masa hidup eosinofil pada kejadian
inflamasi (122).
Pada DA terjadi infiltrasi eosinofil dan sel radang lain dalam
dermis dan epidermis lesi kulit, menunjukkan peran IL-5 sebagai
penyebab aktivasi eosinofil. Eosinofil aktif akan mengalami degranulasi dan mengeluarkan granula protein eosinofil seperti MBP=
major basic protein, ECP=eosinophil cationic protein, EDN=eosinophil
derivat neurotoxin dan EPO=eosinophil peroxidase yang menyebabkan
kerusakan jaringan (34, 49). Hal Ini memberi harapan di masa
depan untuk penyakit alergi kronis, penggunaan obat antialergi
generasi baru dengan IL-5 sebagai target (120). Interleukin-5 juga
89

dapat berefek pada basofil sehingga menyebabkan pelepasan


histamin dan leukotrien, serta menginduksi sel B, untuk memproduksi antibodi IgA dan IgM (120, 121).
I. Interleukin (IL) 13
Merupakan sitokin dengan aktivitas imunomodulator yang
penting, terutama efeknya pada sel B dalam memproduksi IgE
dan peranannya pada respon alergi (124). Selain itu IL-13 yang di
sekresi sel T aktif, dapat menghambat produksi sitokin pro-inflamasi seperti IL-1, IL-6, TNF- dan IL-8 oleh monosit (125). Efek
IL-13 pada sel B sedikit kurang poten, tidak bersifat sinergistik
dan tumpang tindih dengan IL-4, namun IL-13 lebih awal dan
lebih banyak diproduksi oleh sel Tnaive. Oleh karena itu berperan
dalam mengawali produksi IgE. Berbeda dengan IL-4, IL-13 tidak
mendorong diferensiasi ke respon imun (124). Selain diproduksi
oleh sel Th2 CD4+, juga Th0 dan sel T CD8+, dan dalam jumlah
sedikit diproduksi oleh sel T nave dan Th1.
J. Interferon (IFN) -
Sitokin yang terlibat di dalam regulasi respon imun dan inflamasi, antara lain dapat menyebabkan aktivasi, pertumbuhan dan
diferensiasi dari sel T, sel B, makrofag, sel NK dan lain lain seperti
sel endotel serta fibroblas (125). Selain itu mempunyai efek antiviral dan antiproliferatif lemah yang dapat berpotensiasi dengan
efek antiviral dan anti-tumor dari IFN /. Disekresi oleh sel T
CD4+, CD8+ dan sel NK, IFN- disebut juga interferon-tipe II atau
Tcell interferon (34). Sifat penting dari IFN- adalah (108) :
1. aktivator potensial dari fagosite mononuclear cells, sebagai
MAF (macrophages activating factors),
2. meningkatkan ekspresi molekul MHC kelas I & II,
3. memacu langsung diferensiasi sel T dan sel B, dan
4. mengaktifkan sel NK, neutrofil dan sel endotel vaskular
sehingga daya adesi terhadap sel T CD4+ meningkat.
Pada DA produksi IFN- oleh sel Thelper sedikit, oleh karena
respon imun Th1 berkurang pada tingkat sel T prekursor (95) dan
tampaknya defisiensi IFN- ini bergantung pada aktivitas penyakit
(126). Selain itu produksi IgE yang distimulasi oleh IL-4 dapat
disupresi oleh IFN- dan oleh beberapa peneliti dipakai sebagai
dasar pengobatan DA menggunakan IFN- rekombinan yang ber90

asal dari manusia dengan hasil cukup aman untuk pemakaian


jangka lama dan cukup efektif (127, 128). Dari data data yang
diperoleh, efek IFN- pada DA berdasar dua cara yaitu: 1) melalui
mekanisme yang menyebabkan normalisasi kelainan imunologik
pada DA, dan 2) melalui mekanisme yang menyebabkan berkurangnya sel sel radang dalam sirkulasi.
K. Ringkasan
Sitokin merupakan mediator larut yang berperan penting
dalam interaksi sel-sel pada respon imun, termasuk pada dermatitis atopik sebagai penyakit yang berlatar belakang kelainan
imun. Peranan sitokin di dalam imunopatogenesis DA penting
pada terjadinya inflamasi alergi.
Telah dibahas mengenai sitokin secara umum, paradigma
Th1/Th2 pada penyakit dan beberapa sitokin yang berperan pada
DA seperti IL-4,IL-5,IL-13 dan IFN -. Penggunaan sitokin di masa
datang sebagai imunomodulator pada DA perlu dipertimbangkan
seperti interferon gamma rekombinan atau anti IL-5.

91

PERAN INTERLEUKIN (IL)-12 PADA SEKRESI


INTERFERON-GAMMA LIMFOSIT PENDERITA
DERMATITIS ATOPIK
Studi in-vitro paparan tungau debu rumah (TDR) dan IL-12 pada
kultur limfosit penderita dermatitis atopik (DA)

A. Pendahuluan
Dermatitis Atopik (DA) adalah penyakit inflamasi kulit spesifik, dengan perjalanan penyakit yang kronis dan sering kambuh,
terjadi pada orang atopi yang bereaksi abnormal terhadap alergen
lingkungan dan diikuti timbulnya lesi eksematosa (2). Pada penyakit ini terjadi gangguan regulasi sistem imun yang bersifat genetik
berupa ketidakseimbangan respons Th2/Th1, yaitu pada stadium
akut terlihat respons Th2 dominan sedang stadium kronis respons
Th1 lebih menonjol. Keadaan ini dikenal dengan biphasic response
(30, 31, 129, 130). Sampai sekarang penyebab DA belum diketahui
dan patogenesisnya pun belum terungkap jelas terutama faktor
apa yang berperan pada stadium penyakit. Demikian pula pengobatan DA masih belum memuaskan, obat-obat yang sering digunakan dalam jangka lama dapat menimbulkan efek samping
yang merugikan penderita.
Interleukin (IL)-12 merupakan sitokin yang penting dalam
mekanisme pertahanan tubuh terhadap patogen intrasel, terutama
dapat meningkatkan respons imun Th1 dengan menginduksi produksi IFN-gamma (124). Penggunaan IL-12 pada DA telah diteliti
pada binatang coba, untuk mengalihkan (switching) respons Th2
ke Th1, namun hasilnya masih kontroversi (131, 132). Sitokin lain
yang penting pada DA yaitu interferon gamma diproduksi oleh
sel TCD4+, CD8+ dan sel NK, merupakan sitokin yang terlibat
pada regulasi respon imun dan inflamasi, antara lain menyebabkan deferensiasi sel T (dan sel B) serta fungsi lain seperti menyebabkan aktivasi makrofag, mengaktifkan sel NK dan meningkatkan ekspresi molekul MHC I dan II (108, 124). Produksi IFN-
92

pada DA menurun oleh karena respons imun Th1 berkurang pada


tingkat sel T precursor (95) sehingga supresi terhadap efek IL-4
untuk produksi IgE berkurang yang menyebabkan kadar IgE
meningkat.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
peran IL-12 pada produksi IFN- oleh limfosit penderita DA. Efek
IL-12, yang pada keadaan imunofisiologi dapat meningkatkan
produksi IFN-, diharapkan dapat memperbaiki kondisi akut yang
mengalami eksaserbasi.

B. Bahan Dan Cara Kerja


Penelitian ini adalah eksperimental in vitro, dengan menggunakan kultur limfosit penderita DA pada medium standart
RPMI 1640 dengan dilakukan tiga macam perlakuan yaitu tanpa
paparan (TP), paparan TDR (TD) dan paparan TDR ditambah
IL-12 (TI).
1. Populasi dan sampel
Populasi penelitian adalah penderita DA yang datang berobat
di poliklinik Kulit & Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret (FK UNS)/RSU Daerah Dr. Moewardi (RSUD DM)
Surakarta. Sampel diambil dari populasi secara convinience
sampling (133). Diagnosis DA ditegakkan berdasar kriteria Hanifin
& Rajka dan penderita yang memenuhi criteria inklusi ditetapkan
sebagai kelompok kasus (DA). Dilakukan uji tusuk dan uji tempel
dengan alergen tungau debu rumah untuk membantu diagnosis
DA.
Kriteria inklusi untuk kelompok kasus adalah: penderita DA,
laki-laki atau perempuan, usia 6 sampai 40 tahun, bersedia mengikuti penelitian dengan mengisi informed consent dan tidak mendapat pengobatan sistemik atau lokal dengan steroid 1 minggu
sebelumnya atau kurang serta tidak mempunyai penyakit atau
gangguan sistem imun lain. Kelompok kontrol adalah mahasiswa
FK UNS yang sehat ditambah beberapa penderita penyakit kulit
non dermatitis atopik (NDA) yang tidak mempunyai riwayat atopi
pada diri atau keluarganya.

93

2. Bahan penelitian
Bahan penelitian adalah darah prefier dan serum darah yang
diperoleh dari sampel, baik kelompok kasus maupun kontrol.
3. Prosedur pengumpulan dan pengukuran data
Pengambilan darah perifier sebanyak 5 cc dilakukan pada
semua sampel, darah dimasukkan dalam vaccutainer ber heparin
dan secepatnya (paling lambat 12 jam) dikirim ke Lab. Ilmu Hayati
Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Selain itu 5cc darah perifer
dimasukan ke dalam vaccutainer tanpa antikoagulan, diambil
serumnya guna pemeriksaan IgE total dan IgE spesifik. Setelah
sampai di lab Ilmu Hayati Universitas Gajah Mada Yogyakarta
dilakukan isolasi limfosit menggunakan metoda ficoll gradient
centrifugation. Isolat limfosit yang diperoleh digunakan untuk
kultur. Pada kultur limfosit dilakukan perlakuan tanpa paparan
(TP), dengan paparan TD dan paparan TI. Kultur dieramkan
selama 5 hari dan pada hari ke 6 dipanen dengan mangambil
supernatan kultur limfosit untuk dilakukan pengukuran kadar
IL-4 dan IFN-gamma. Pengukuran kadar sitokin ini menggunakan
Elisa Kit dari Quantikine Human IL-4 dan IFN- (R&D System/UK)
4. Analisa Data
Data yang diperoleh dilakukan uji beda kadar IL-4 dan IFN-
antara kelompok kasus dan kontrol menggunakan analisis multivariate (Manova). Perbedaan signifikan diambil pada nilai p< 0.05.
C. Hasil Penelitian
1. Subjek Penelitian
Selama periode Februari sampai Nopember 2001 telah dilakukan penelitian melibatkan 30 subjek penelitian, terdiri 18 kelompok kasus (DA) dan 12 kelompok kontrol (NDA) yang terdiri 8
orang sehat dan 4 penderita penyakit penyakit kulit selain DA
yang semuanya tidak mempunyai riwayat atopi (tabel 9.1). Distribusi usia pada kelompok kasus adalah 6 sampai 38 tahun (rerata
30.33 th) dan pada kontrol 8 sampai 30 tahun (rerata 21.33 thn)
(tabel 9.2). Uji anova menunjukkan tak ada beda pada variabel
usia (p=0.731) di antara kelompok kasus DA dan NDA. Distribusi
subjek penelitian berdasar jenis kelamin pada tabel 9.3, terlihat
pada 18 kelompok DA terdiri 5 laki-laki dan 13 perempuan,

94

sedang pada kontrol 5 laki-laki dan 7 perempuan (tabel 9.3). Uji


homogenitas jenis kelamin di antara DA dan NDA terhadap variabel yang diperiksa (kadar sitokin) dengan uji manova tidak ada
perbedaan (p>0.05) (tabel 9.4).
Kadar IgE total pada kelompok kasus bervariasi antara 16.2
sampai 6702 IU/ml, dengan rerata 1231.64 IU/ml, sedang pada
kontrol 61 836.6 IU/ml, rerata 216.14 IU/ml. (tabel 9.5). Dengan
uji multivariate, tidak ada beda pada kadar IgE total (p=0.273)
terhadap kelompok DA dan NDA. Pemeriksaan IgE spesifik
dengan metode Radio Allergo Sorbent Test (RAST) terhadap Dermatophagoides pteronyssimus atau tungau didapatkan 8 penderita dari
kelompok kasus (44.4%) menunjukkan reaktivitas dengan
berbagai tingkat alergi, dan pada NDA hanya seorang (8.33%)
yang berreaksi positif. Perbandingan kadar IgE spesifik terhadap
Der pter pada kelompok kasus DA dan kontrol NDA dengan
analisis statistik manova didapatkan tidak ada perbedaan
bermakna kadar IgE spesifik (p>0.05) pada kelompok kasus dan
kelompok kontrol (tabel 9.6).
2. Data respons imun dari kultur limfosit
Hasil pengukuran kadar IL-4 dan IFN- dari supernatan
kultur limfosit menggambarkan terjadinya respons imun limfosit,
baik tanpa maupun dengan paparan. Paparan TI pada kultur
limfosit untuk mengetahui respons imun penderita DA pada saat
kambuh yang diberi IL-12. Rerata kadar IL-4 dan IFN- dari
kelompok kasus DA terlihat pada tabel 9.7, sedang pada kelompok NDA pada tabel 9.8. Rerata kadar IL-4 dan IFN- pada kelompok tersebut apabila dibandingkan, tampak pada tabel 9.9.
Tabel 9.1. Karakteristik subjek penelitian (kasus dan kontrol)
Diagnosis
Dermatitis atopik (DA)
Kontrol (NDA) :
Akne vulgaris
Tinea kruris
Kandidiasis
Orang sehat
Jumlah

Kelompok kasus

Kelompok
kontrol

18

18

2
1
1
8
12

95

Tabel 9.2. Perbandingan usia pada kelompok kasus dan kontrol


Nilai
Rentang
Rerata (mean)
Simpang baku

DA (th)

NDA (thn)

6 38
20.33
8.77

8-30
21 .33
5.79

Uji
Statistik
p=0.731
(anova
satu arah)

Tabel 9.3. Distribusi subjek penelitian berdasar jenis kelamin


Jenis
kelamin
Laki-laki
Perempuan
Jumlah

DA (%)

NDA (%)

Jumlah

5 (27.78)
13 (72.22)
18 (100)

5 (41.66)
7 (58.33)
12 (100)

10
20
30

Tabel 9.4. Rerata kadar IL-4 dan IFN- terhadap jenis kelamin
Variabel
TP. IFN _G

TP. IL_4

Jenis kelamin

Rerata (OD)

Perempuan
Laki-laki
Total
Perempuan
Laki-laki
Total

0.2082
0.2043
0.2069
0.1212
0.1283
0.1235

Simpang
baku
0.0882
0.0794
0.0840
0.0082
0.0330
0.0198

N
20
10
30
20
10
30

(manova : p>0.05)
Tabel 9.5. Perbandingan kadar IgE Total pada DA dan NDA
Nilai
Rentang
Rerata
Std. Dev
Std. error

Kadar IgE Total (IU/ml)


DA
NDA
16.2 6702
61 836.6
1231.64
216.14
2169.322
253.429
511.314
73.158

Uji Statistik
P = 0.120
(manova)

Tabel 9.6. Perbandingan kadar IgE Spesifik thd. Der pter


pada DA & NDA
Nilai
Rentang
Rerata (mean)
Std. Dev
Std. Error

96

Kadar IgE Spsifik (Pru/ml)


DA
NDA
0.0 26.4
0.0 7.45
5.3128
1.0 0.6208
9.6671
2.0 2.1506
2.27686
3.0 0.6298

Uji Statistik

P = 0.076
(manova)

Tabel 9.7. Rerata kadar IFN- dan IL-4 pada kelompok kasus (DA)
pada berbagai perlakuan
TP
Variabel
IFN-
IL-4

Rerata
(OD)
0.2253
0.1186

TD
SD

0.0772
0.0097

Rerata
(OD)
0.2452
0.2127

TI
SD

0.0401
0.0347

Rerata
(OD)
0.2580
0.2133

SD
0.0551
0.0382

Keterangan :
- TP = tanpa paparan
-OD = optical density
- TD = paparan dengan tungau debu rumah
- TI = paparan dengan TDR+IL-12

0.3
0.25
0.2
0.15

IFN-

0.1

IL-4

0.05
IL-4
0
IFN-

TP

TD

DA

TI

Gambar 9.1 : Grafik variabel IFN- dan IL-4 pada kelompok DA tanpa
dan dengan berbagai paparan
Tabel 9.8. Rerata IFN- dan IL-4 pada kelompok kontrol (NDA)
pada berbagai perlakuan
Variabel
IFN-
IL-4

TP
Rerata (OD) SD
0.1791
0.0894
0.1299
0.0286

TDR
Rerata (OD) SD
0.2628
0.0945
0.2050
0.0231

TDR+ IL-12
Rerata (OD) SD
0.2820
0.1063
0.2008
0.0115

Keterangan :
- TP = tanpa paparan
-OD = optical density
- TDR = paparan dengan tungau debu rumah
- TDR+IL-12 = paparan dengan TDR+IL-12
97

0.3
0.25
0.2
0.15
IFN

0.1

IL-4
0.05
IL-4
0
IFN

TP

TDR
TDR+ IL-12

NDA
Gambar 9.2 : Grafik variabel IFN- dan IL-4 pada NDA tanpa dan
dengan berbagai paparan
Tabel 9.9. Rerata kadar IFN- dan IL-4 pada DA dan NDA

IFN-
IL-4

Rerata kadar pada DA (OD)


dengan perlakuan
Cont.
TDR TDR+IL12
(TP)
0.2253 0.2452 0.2580
0.1193 0.2168 0.2142

Rerata kadar pada NDA (OD)


dengan perlakuan
Cont.
TDR
TDR+IL12
(TP)
0.1791
0.2628 0.2820
0.1299
0.2050 0.2008

Keterangan :
- OD = optical density
- Cont.(TP) = control atau tanpa
paparan
- TDR = paparan dengan tungau debu rumah
- TDR+IL-12 = paparan dengan TDR=IL-12

98

0.3

0.25

0.2

IFNIL-4

0.15

0.1

0.05

TP

TDR

TDR+IL12

TP

IFNTDR

TDR+IL12

Gambar 9.3 : Grafik rerata kadar IFN- dan IL-4 pada kelompok
kasus dan kontrol
Uji Multivariat dengan metoda Wilks Lambda, pada kelompok
kasus, menunjukkan ada perbedaan (p=0.00) pada variabel TP.IL-4
(kadar IL-4 pada keadaan tanpa paparan) dibanding dengan
paparan (TD.IL4 danTI.IL-4), sedangkan tak ada beda (p=0.261)
pada TP.IFN- dibanding TD.IFN- maupun TI.IFN- (gambar 9.1).
Pada kelompok kontrol dengan uji yang sama terdapat perbedaan
baik pada variabel IL-4 (p=0.000) maupun IFN- (p=0.032) antara
kultur tanpa paparan dibanding dengan paparan (gambar 9.2).
Manova dengan metoda Wilks Lambda antara kelompok
kasus DA disbanding kontrol NDA, ternyata tidak ada perbadaan
(p>0.05) pada variabel TP.IL-4 dan TP. IFN-, maupunTD.IL-4 dan
TD IFN- serta TI.IL-4 dan TI IFN- (gambar 9.3). Selanjutnya
dilakukan analisis delta untuk mengetahui perubahan respons
imun akibat pemberian paparan. Nilai delta adalah selisih kadar
IL-4 atau IFN- antara tanpa paparan dengan paparan. Tabel 10
memperlihatkan rerata delta kadar IL-4 atau IFN- pada paparan
TDR maupun TDR + IL-12.

99

Tabel 9.10. Rerata delta kadar IFN- dan IL-4 (OD)


pada berbagai paparan
Variabel DA dengan paparan
NDA dengan paparan
TDR
TDR+IL-12
TDR
TDR+IL(DTD)
(DTI)
(DTD)
12
(DTI)
0.0198
0.0327
0.0837
0.1029
D.IFN-
D.IL-4
0.0975
0.0949
0.0751
0.0709
Keterangan
D.IFN-
D.IL-4
DTD
DTI

:
= rerata delta kadar IFN-
= rerata delta kadar IL-4
= rerata delta antara TP dengan paparan TDR
= rerata delta antara TP dengan paparan TDR+IL-12

Uji Multivariate variabel delta IFN- dan delta IL-4 mendapatkan hasil, tidak terdapat perbedaan delta yang berarti tak ada
beda perubahan respons imun akibat paparan TD (p=0.105)
maupun TI (p=0.085) antara kelompok kasus DA dibanding
kontrol.
Dari hasil uji Manova seperti di atas tidak dapat membedakan
perbedaan nilai delta (perubahan respons imun) antara kelompok
kasus dibanding kontrol maka dilakukan analisis klaster untuk
membuat pengelompokan baru. Tujuan dari clustering agar dapat
dilakukan analisis statistik selanjutnya pada kelompok hasil
clustering. Analisis cluster berdasar kadar IL-4 dan IFN- pada
kelompok kasus dan kontrol, didapatkan pengelompokan baru,
sebagai berikut :
- Klaster 1 (n=11), terdiri 5 kasus DA dan 6 kontrol NDA
- Klaster 2 (n=7), terdiri 3 kasus DA dan 4 kontrol NDA
- Klaster 3 (n=12), terdiri 10 orang DA dan 2 kontrol NDA.
Pada pengelompokan baru hasil clustering, terlihat kelompok
klaster 3 terdiri 10 orang (83.3%) kasus yang secara klinis diagnosis adalah DA dan 2 orang dari kelompok kontrol, sehingga dapat
dianggap klaster 3 adalah kelompok DA berdasar kadar sitokin,
sedangkan klaster 1 dan klaster 2, sebagian besar (54.4% dan
57.1%) adalah kelompok kontrol NDA, sehingga klaster 1 dan 2
dapat dianggap NDA berdasar kadar sitokin. Uji Manova
selanjutnya pada ketiga kelompok klaster mendapatkan ada beda
100

pada variabel TP. IFN- (p=0.000,), sedang tak ada beda pada
TP.IL-4 maupun TD IL-4 dan TI IL-4 (p>0.05).
Analisis delta pada kelompok klaster mendapatkan ada perbedaan delta IFN- pada ketiga kelompok klaster (gambar 9.4).
Tabel 9.11 menunjukkan rerata delta IFN- dan IL-4 pada
kelompok klaster dengan paparan, terlihat pada klaster 3 delta TD.
IFN- nilainya minus 0.043 OD berarti paparan TD menyebabkan
penurunan kadar IFN-. Demikian pula pada delta TI. IFN-,
menunjukkan nilai 0.022 OD, sedangkan paparan TD maupun TI
tidak menyebabkan perbedaan perbedaan rerata delta IL-4 (tabel
9.11/gambar 9.5).
Tabel 9.11. Rerata delta IFN- dan IL-4 pada klaster dengan perlakuan
Var.
Kel.
TDR
TDR + IL-12
Klaster rerata
Std.dev rerata
Std.dev
1
0.1341 0.0940
0.1710
0.1120
Delta IFN-
2
0.0581 0.0380
0.0297
0.0155
(D>IFN-G)
3
-0.043
0.0744
-0.022
0.0648
Delta IL-4
1
0.0839 0.0309
0.821
0.0243
(D>IL-4)
2
0.0916 0.0505
0.0767
0.0432
3
0.0910 0.0380
0.0933
0.0457
Keterangan :
DTD.IFN-G
DTD.IL-4
DTI.IFN-G
DTI.IL-4
DTI.IL-4

= delta kadar IFN- dengan paparan TDR (p=0.000)


= delta kadar IL-4 dengan paparan TDR (p=0.884)
= delta kadar IFN- dengan paparan TDR+IL-12 (p=0.000)
= delta kadar IL-4 dengan paparan TDR+IL-12 (p=0.631)
= delta kadar IL-4 dengan paparan TDR+IL-12 (p=0.631)

0.2

TDR

0.15
0.1
0.05
0
-0.05

TDR+ IL-12

kl.1

kl.2

kl.3

TDR+ IL-12
TDR
Perlakuan

Klaster

Gambar 9.4 : Grafik rerata perubahan (delta) IFN- pada klaster setelah paparan
Catatan : ada perbedan delta IFN- pada paparan TDR maupun TDR+
IL-12 (p<0.05).

101

0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0

TDR
TDR+ IL-12

Kl.1

TDR+ IL-12
TDR
Kl.2

Perlakuan

Kl.3

Klaster

Gambar 9.5 : Grafik rerata perubahan IL-4 pada klaster setelah paparan
Catatan : tak ada beda perbedaan delta IL-4 pada paparan TD maupun TI
(p>0.05)

D. Pembahasan
Kekambuhan DA sulit dicegah karena banyak faktor yang
dapat mempengaruhi, antara lain berbagai macam allergen yang
banyak ditemukan di lingkungan hidup kita. Salah satu alergen
penting dan banyak ditemukan di negara dengan iklim tropis
dengan kelembaban tinggi seperti Indonesia adalah tungau debu
rumah (TDR). Peran TDR pada patogenesis DA sampai sekarang
masih kontroversi, namun berbagai penelitian menunjukkan bukti
adanya hubungan TDR dengan kekambuhan DA (74,75,76,77).
Aplikasi ekstrak TDR sebagai alergen epikutan dapat menyebabkan terjadinya dermatitis atau lesi eksematosa (76,78). Uji tempel
menggunakan alergen TDR pada penderita DA juga dapat menimbulkan lesi yang mirip gambaran klinis DA (3,25). Oleh karena itu
atas dasar penelitian terdahulu, penggunaan TDR dalam penelitian ini sangat beralasan.
Pada penderita DA yang kambuh akibat paparan alergen,
terjadi respons imun limfosit abnormal, yang berbeda dengan
respons penderita DA dalam keadaan tidak ada paparan atau
pada orang sehat. Perbedaan respons imun antara DA tanpa
paparan, dibanding respons pada saat paparan serta dibanding
kontrol inilah yang diteliti pada penelitian ini. Paparan allergen
TDR (TD) memberi gambaran respons imun penderita DA pada
saat klinis mengalami kekambuhan. Paparan TDR ditambah

102

dengan IL-12 (TI) dilakukan dengan tujuan untuk melihat


pengaruh IL-12 pada penderita kambuh oleh karena paparan
TDR. Peningkatan kadar sitokin IL-4, menunjukkan aktivitas Th-2,
atau terjadi respons imun Th2 yang lebih dominan dibandingkan
aktivitas Th-1 (37). Peningkatan kadar IFN- dari kultur berarti
terjadi respons imun Th1 yang dominan.
Hasil penelitian di atas menunjukkan pada kelompok kasus,
paparan TD maupun TI menyebabkan peningkatan kadar IL-4
yang signifikan, sedang kadar IFN- tak berbeda dibanding pada
TP. Hal ini menyokong bahwa DA dengan paparan TD menunjukkan respons imun Th2 dominan, yaitu pada stadium kekambuhan
akut ditandai dengan peningkatan kadar IL-4 (30,31,128,129).
Paparan TI pada kelompok kasus tidak menyebabkan peningkatan
bermakna kadar IFN-. Hasil ini mendukung pendapat bahwa ada
defect produksi IFN- pada DA, sesuai dengan penelitian terdahulu (94,95). Berkurangnya produksi IFN- diduga pula oleh
karena imunitas seluler terhadap S. aureus pada DA menurun
sehingga terjadi kegagalan dalam eradikasi kuman, berakibat
kuman menetap di kulit. Kolonisasi kuman di kulit akan menginduksi sel T mengeluarkan mediator pro-inflamasi (108). Respon
dari meningkatnya kadar IL-4 dan IL-10 pada DA dapat juga
berakibat berkurangnya kadar IFN- (134).
Pada kelompok kontrol paparan TD maupun TI menunjukkan ada beda baik variabel IL-4 maupun IFN- dibanding kultur
TP. Penambahan IL-12 menyebabkan peningkatan signifikan
kadar IFN-, menunjukkan pada kondisi NDA atau orang normal
(imunofisiologi), IL-12 mampu mendorong respons imun ke
respons Th1.
Uji beda kelompok kasus dibanding kontrol baik TP, dengan
paparan, maupun delta, menunjukkan tak ada perbedaan kadar
IFN- dan IL-4 sehingga dapat dikatakan pembagian kelompok
DA dan NDA yang dilakukuan sejak awal pada penelitian berdasar kriteria klinis patofisiologis (Hanifin & Rajka), tidak dapat
membedakan perbedaan respons imun antara DA dan NDA.
Untuk dapat membedakan perbedaan respons imun dan
perubahan respons imu akibat paparan (delta) pada kasus DA dan
NDA, maka kadar IL-4 dan IFN- dipakai sebagai dasar pengelompokan. Untuk itu dilakukan pengelompokan baru dengan cara
klustering (analisis cluster) berdasar respons imun yaitu kadar
103

IFN- dan IL-4 tanpa paparan, pada semua sampel yaitu kelompok kasus dan kontrol. Dengan menggunakan uji manova didapatkan ada perbedaan (p=0.000) pada IFN- tanpa paparan
namun tak ada beda pada paparan, artinya setelah dilakukan
klaster. Hal ini membuktikan dengan pengelompokan berdasar
kadar sitokin sebagai produk respons imun, dapat membedakan
perbedaan respons imun secara bermakna, sedangkan klasifikasi
berdasar klinis atau patofisiologi penyakit belum dapat menggambarkan perbedaan respons imun antara DA dan kontrol.
Paparan TDR sebagai alergen yang umum pada DA menyebabkan kekambuhan akut, dengan respons imun Th2 lebih
dominant. Bila penyakit menjadi kronis, respons imun yang
menonjol adalah respons Th1 (31). Paparan TDR ditambah IL-12
pada klaster 3, yang dianggap DA, menyebabkan perubahan
respons imun yaitu penurunan kadar IFN- dilihat dari rerata DTI.
IFNG (tabel 9.9, gambar 9.5). Jadi penambahan IL-12 pada DA
tidak cukup kuat meningkatkan kadar IFN-, malah terjadi
penurunan produksi. Ini sesuai dengan penelitian Kondo dkk.
(135) yang menyatakan bahwa terjadi penurunan produksi IFN-
setelah pemberian IL-12 oleh karena terjadi mutasi pada reseptor
IL-12 rantai-rantai 2 (IL-12R2) sehingga paparan IL-12 tidak
mampu meningkatkan produksi IFN- seperti pada keadaan
imunofisiologi. Apakah hal ini terjadi pada kasus yang diteliti ini,
masih perlu penelitian lanjutan yang secara khusus meneliti
mutasi reseptor tersebut.
Perbedaan respons imun akibat penambahan IL-12, dapat
diketahui dengan melakukan uji beda pada masing-masing kelompok klaster. Menggunakan manova pada kelompok klaster 3 yang
dianggap kelompok kasdus (DA) ternyata ada beda antara tanpa
paparan dibanding dengan paparan, namun dilihat secara sendiri
(post hoc test) perbedaan pada variabel IL-4, yaitu antara TP.IL-4
dibanding TD, dan TP. IL-4 dibanding TI (p=0.000), dan ada
perbedaan TP.IFN- dibanding paparan TD (p=0.036), namun tak
ada beda dibanding paparan TI (p=0.272), maupun paparan TD
dibanding TI (p=0.292). Jadi penambahan IL-12 pada DA kambuh
oleh karena paparan TDR tidak menyebabkan perbedaan respons
imun.

104

E. Kesimpulan
1. Pemberian IL-12 pada DA yang kambuh tidak mampu
berperan pada pengalihan respons imun Th2 ke respons
Th1.
2. Klasifikasi atau pengelompokan subjek penelitian berdasar
kadar sitokin IL-4 dan IFN-, lebih sensitife dari pada
klasifikasi berdasar klinik-patofisiologi oleh karena dapat
menggambarkan perbedaan respons imun pada keadaan
tanpa paparan, dengan paparan maupun delta akibat
paparan.
3. Analisa cluster, yaitu pengelompokan baru berdasar kadar
IFN- dan IL-4 perlu dilakukan untuk dapat melihat
perbedaan respons imun DA dibanding NDA.

105

PERAN KORTIKOSTEROID PADA


INFLAMASI IMUNOLOGIK
A. Pendahuluan
Inflamasi adalah mekanisme penting berupa respons protektif
dan diperlukan untuk mempertahankan homeostasis tubuh terhadap bahaya seperti invasi mikroorganisme, trauma mekanis,
alergen, toksin dan neoplasma, sekaligus dapat memperbaiki
struktur dan fungsi jaringan yang terganggu akibat bahaya
tersebut (136). Tanda tanda klinis inflamasi berupa panas (calor),
kemerahan (rubor), bengkak (tumor), dan nyeri (dolor) pertama kali
di perkenalkan oleh Celcus pada abad abad pertama sebagai
kondisi yang menyertai suatu penyakit, termasuk infeksi (137,
138). Para peneliti awalnya menduga inflamasi merupakan bagian
dari sistem pertahanan tubuh (host defence), namun kenyataan
lebih dari itu karena inflamasi dapat berakhir fatal seperti pada
anafilaktik shock atau menjadi penyakit kronis dan parah seperti
pada artritis dan gout.
Constantinides memberikan definisi inflamasi sebagai reaksi
pertahanan dari pembuluh darah dan komponen darah terhadap
injuri lokal pada sel dengan jalan memberikan pertolongan pada
daerah yang terkena (139). Akibat injuri terjadi vasodilatasi
pembuluh darah yang diikuti perubahan permeabilitas kapiler,
disusul edema jaringan karena pengumpulan cairan dan terjadi
migrasi berbagai macam sel radang pada daerah terkena, yang
dapat diamati secara mikroskopis sebagai cellular infiltrate.
Demikian pula invasi benda asing ke dalam tubuh akan menyebabkan interaksi pertahanan tubuh yang tidak hanya melibatkan
sel imunokomponen tapi juga berbagai sel lain dan protein
ekstrasel serta kadang kadang sistem organ lain sebagai mediator
(41). Sebagai contoh, bila suatu imunogen disuntikkan di dalam
kulit, maka akan terjadi gejala eritema, meningkatnya temperatur
dan pembengkakan. Ini menunjukkan adanya interaksi sistem

106

imunitas dan sistem vaskular di jaringan sekitar penyuntikkan.


Paparan imunogen tersebut menyebabkan respons yang multifaset, dikenal sebagai respons inflamasi atau inflamasi imunologik
(140).
Dengan diketahuinya proses inflamasi secara detail dapat di
tunjukkan adanya hububugan erat antara inflamasi dan respons
imun (137). Ternyata pada setiap respons inflamasi dapat di
sistematisasi untuk mempelajari patogenesisnya dan pada setiap
faset atau tahap inflamasi dikontrol oleh suatu molekul regulator
yang dikenal sebagai mediator inflamasi. Berdasar waktu
terjadinya inflamasi dibagi menjadi inflamasi akut dan kronis.
Inflamasi akut berlangsung singkat mulai beberapa menit sampai
hari, sedangkan inflamasi kronis berlangsung lebih lama (137,
141). Kortikosteroid merupakan obat yang banyak digunakan di
dalam pengobatan penyakit yang disertai inflamasi imunologik,
karena mempunyai khasiat sebagai imunosupresi dan antiinflamasi yang kuat. Tulisan ini bertujuan untuk membantu lebih
memahami berbagai aspek dalam proses inflamasi imunologik,
dan bagaimana peran kortikosteroid pada proses inflamasi.
B. Proses inflamasi
Inflamasi merupakan suatu reaksi jaringan terhadap jejas dari
luar seperti invasi mikroba, benda asing atau antigen, yang
bertujuan sebagai mekanisme pertahanan, namun juga penting
untuk memperbaiki jaringan yang rusak (142). Reaksi jaringan
diawali dengan pelepasan sel radang sepertri netrofil, monosit,
eosinofil dari tempat penyimpanannya, diikuti dengan proses
interaksi antar sel beserta komponen dalam jaringan, pembuluh
darah, sel darah dan plasma. Inflamasi akut ditandai dengan
vasodilatasi pembuluh darah, peningkatan permeabilitas kapiler
dan migrasi lekosit (137, 142). Pada proses inflamasi akut, adanya
trauma atau jejas akan menyebabkan kerusakan membran sel yang
akan mengaktifkan enzim fosfolipase A2. Enzim ini akan mengubah fosfolipid dalam membran sel menjadi asam arakhidonat
dan lyso platelet activating factor (PAF). Selanjutnya asam arakhidonat dengan bantuan enzim siklooksigenase dan lipooksinase
terbentuk prostaglandin dan leukotrien, sedangkan lyso PAF
dengan bantuan asetiltransferase akan menjadi PAF (gambar 10.1).

107

FOSFOLIPID MEMBRAN SEL

INJURI

ASAM ARACHIDONAT

FOSFOLIPASE A2

LYSO
ASETIL
TRANSFERASE

LEKOTRIEN

PROSTAGLANDIN

PAF

Gambar 10.1. Skema metabolisme asam arakhidonat


Proses inflamasi menyebabkan pula kerusakan pembuluh
darah dan keadaan ini dapat mengaktifkan sistem koagulasi.
Dimulai dengan faktor XII atau Hageman factor menjadi faktor XII
aktif yang akan merubah prekallikrein menjadi kallikrein, suatu
enzim proteolitik, selanjutnya kallikrein akan merubah 2-globulin
menjadi bradikinin (139). Selain itu Hageman factor aktif akan
merangsang koagulasi sehingga terbentuk clotting dan melalui
clotting cascade akan menghasilkan pembentukan fibrin. Kallikrein
juga mengaktivasi pembentukan plasmin yang berasal dari
plasminogen, kemudian plasmin akan memecah fibrin yang baru
terbentuk menjadi fibrinopeptida (gambar 10.2). Bradikinin dan
fibrinopeptida akan menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah dan fibrinopeptida juga bersifat kemotaktik
untuk lekosit.

108

FAKTOR XII (Hageman factor)

FAKTOR XII AKTIF

PREKALLIKREIN

Clotting cascade

KALLIKREIN

PLASMINOGEN
2-globulin
PLASMIN

BRADIKININ

Fibrin

Fibrinopeptides

Gambar 10.2. Skema sekresi mediator inflamasi


Perubahan yang pertama pada proses inflamasi adalah
perubahan pada pembuluh darah berupa vasokonstriksi arteriole
selama beberapa detik akibat pengaruh leukotrien, diikuti vasodilatasi oleh karena pengaruh prostaglandin, PAF, histamin,
serotonin, bradikinin, C3a dan C5a. Vasodilatasi akan menyebabkan peningkatan aliran darah yang klinis tampak sebagai eritema.
Proses tersebut disertai peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi perpindahan cairan intra vaskuler ke ekstra
vaskuler yang tampak secara klinis sebagai edema. Perpindahan
cairan menyebabkan penigkatan viskositas sehingga terjadi stasis
dan berakibat leukosit akan menepi (marginasi) mendekati endotel. Selanjutnya leukosit akan mengadakan rolling dan menempel
pada endotel, untuk kemudian memasukkan pseudopodinya ke
celah di antara sel endotel dan mengadakan diapedesis. Proses ini,
terutama penempelan leukosit dengan sel endotel, dapat terjadi
karena adanya molekul adesi (140, 141). Setelah ekstravasasi dan
diapedesis, terjadi migrasi leukosit ke jaringan melalui proses
kemotaksis yang dipengaruhi chemoattractants seperti LTB4, IL-8
dan komplemen C5a. Pengaruh kemoatraktan terhadap pergerak109

kan leukosit belum diketahui dengan pasti. Inflamasi akut dapat


menjadi kronis, bila eliminasi penyebab inflamasi tidak berhasil
dan keadaan tersebut ditandai dengan infiltrasi makrofag dan
limfosit.
Proses inflamasi yang disebabkan antigen mulai dengan
pengenalan antigen kepada sel T (antigen recognation). Populasi sel
T ditandai pada permukaannya ada molekul reseptor (TCR=T cell
receptor) . Sel T tidak dapat langsung mengenali antigen, sehingga
membutuhkn sel penyaji yang akan menyajikan antigen melalui
TCR. Sel penyaji antigen (SPA) dilengkapi dengan molekul MHC
kelas I yang akan mengikat antigen endogen, maupun molekul
MHC kelas II yang mengikat antigen eksogen. Untuk membantu
proses presentasi antigen, pada permukaan sel T dilengkapi
dengan molekul lymphocyte function associated antigen-1 (LFA-1)
dan mol. CD2 sebagai molekul asesori. LFA-1 akan berikatan
dengan ICAM-1, sedangkan CD2 dengan LFA-3.
Antigen eksogen seperti protein, mula mula akan di endositosis oleh sel penyaji antigen , kemudian protein akan dipecah
oleh protease dalam liposom menjadi fragmen fragmen peptida,
selanjutnya akan ditempelkan pada molekul MHC kelas II dan
dibawa ke permukaan untuk dipresentasikan ke sel T. Antigen
endogen melalui proses yang berbeda juga akan di ekspresikan ke
permukaan sel (gambar 10.3).

110

Gambar 10.3: Proses penangkapan antigen sampai dipresentasikan

C. Klasifikasi inflamasi imunologik


Inflamasi yang terjadi dengan perantara sisten imun (inflamasi imunologik) dapat diklasifikasi menjadi empat kategori
(137), yaitu acute inflammatioon allergic (reagenic), cytotoxic antibody,
immune complex dan chronic inflammation delayed hypersnsitivity.
Klasifikasi inflamasi imunologik ini sesuai dengan klasifikasi
reaksi hipersensitivitas oleh Coomb dan Gell (gambar 10.5).

111

Tabel 10.1. Klasifikasi inflamasi imunologik


Category
Acute inflammation
Allergic
(reaginic)

Immune
recognation
component
IgE

Cytotoxic
antibody

IgG,IgM

Immune
complex

IgG,IgM

Chronic
imflammation
delayed
hypersensitivity

T cells

Soluble
Mediators

Time
course

Second to
MC/basoph minutes
il
Product

Cellular
respons

Clinical
examples

Neutrophiles,
eosinophiles;
smooth muscle
constriction

Atopy,
urticaria,
anaphylaxis,
astha,seasona
l rhinitis
Acute inflam- Autoimmune
complement Hours to mation(neutro- hemolytic
1 day
philes); lysis or anaemia,
phagocytosis of thrombocyto
antigens
penia
associated
w/systemic
lupus erythemathous
Accumulation
Rheumatoid
complement Hours to of neutrophiles, arthritis,
1 day
eosinophiles
Systemic
and
lupus erythemacrophages
mathous
GranulomaLymphokine 2 3 days Lymphocytes,
tous
smonokines
macrophages
disease,tuber
culosis,
leprocy,
sarcoidosis

1. Inflamasi akut sebagai manifestasi reaksi alergi (137,140)


Pada individu tertentu paparan suatu antigen akan mampu
perangsang produksi antibodi IgE terhadap antigen tersebut. Sel
mast pada permukaan membran nya mempunyai reseptor IgE
(FcRI) sehingga dapat menangkap IgE. Selanjutnya secara
alamiah bila paparan lagi, mastosit yang sudah ada IgE pada
permukaannya, dapat menangkap antigen yang spesifik pada
bagian Fab, dan ini akan menimbulkan proses biokimiawi di
dalam sel. Diawali ikatan IgE pada permukaan membran sel mast
dengan antigen spesifik, terjadi sekresi mediator tipe cepat yang
telah ada (preformed mediators) di dalam granula sel, seperti
histamin, bradykinin, serotonin dan zat kemoatraktan yaitu ECFA
(eosinophilic chemotactic factor A). Kerusakan jaringan yang timbul
pada reaksi ini terjadi segera setelah paparan antigen berkisar 5-15
menit. Selanjutnya terjadi juga keluarnya mediator yang berasal

112

dari degradasi dinding sel mast yang berasal dari lipida dan akan
dipecah menjadi asam arakhidonat yang akan dimetabolisir
menjadi prostaglandin dan leukotrien (newly synthisis mediators).
Selain itu ECFA akan memanggil sel radang jenis eosinofil yang
akan ikut berperan pada proses inflamasi dengan sekresi granula
produknya seperti MBP (major basic protein), ECP (eosinophilic
cationic protein), EPO (eosinophilic peroxydase) dan sebagainya.
Respons yang ditimbulkan oleh produk eosinifil, bekerja sama
dengan mediator lipid akan menyebabkan kerusakan jaringan
atau inflamasi yang terjadi 6-8 jam setelah paparan antigen dan
dikenal sebagai late phase reaction (LPR). Pada cutaneous LPR
infiltrasi neutrofil dan eosinofil terlihat lebih prominen dibanding
lesi kulit dermatitis atopik maupun pada lesi hasil tes tempel
(143). Proses sekresi mediator dan akibatnya pada reaksi inflamasi
tipe I ini, dapat dilihat pada skema gambar 3 (dikutip dari 140).
Reaksi inflamasi dengan perantara antibodi reagin ini bertanggung jawab atas terjadinya urtikaria akut, asma, rinitis. Apabila antigen yang masuk tubuh berlebihan serta melalui serum
atau intra vena dapat merangsang timbulnya reaksi anafilaksis.
2. Inflamasi akut sebagai manifestasi reaksi sitotoksik
Reaksi inflamasi ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan
berat yang diakibatkan oleh ikatan antibodi (IgG atau IgM) dan
komplemen pada permukaan sel.

113

Antigen

IgE
Fc-



Reaksi allergi klasik
(segera)
berlangsung menitan

Reaksi fase lambat


berlangsung 2-8 jam

-Kontraksi otot polos bronkus asma


-Vasodilatasi perifer
Permeabilitas kapiler meningkat Infiltrasi eosinofil dan netrofil

Eritema, transudasi cairan


Menetap dalam 1 2 hari
Urtikaria , Pruritus
Sekresi mukus menigkat
Hipovolemik relatif

Infiltrasi sel mononukleus


(makrofag, fibroblas)
kerusakan jaringan

Syok

Gambar 10.4. Respons inflamasi alergik akut dan reaksi alergik fase
lambat (LPR)

114

Pengenalan oleh antibodi terhadap antigen pada permukaan


sel seperti eritrosit, trombosit atau lekosit dapat mengaktifkan
fragmen komplemen dan diikuti penumpukan fragmen komplemen (misalnya C3b=opsonin) pada dinding sel. Sel yang ditempeli
antibody fixing complement akan mengalami opsonisasi dan akan
dihampiri fagosit yang mempunyai reseptor untuk fragmen komplemen atau antibodi yang sudah melekat, selanjutnya terjadi
fagositosis sel (137). Penempelan antibody fixing complement dapat
pula terjadi pada membrana basalis kulit, seperti pada sindroma
Steven Johnson, atau pada glomerulonephritis ginjal, yang akan
mengaktifkan komplemen dan memancing makrofag melakukan
eliminasi dan mensekresi mediator inflamasi. Salah satu yang
penting adalah fraksi komplemen C-3a dan C-5a, yang mempunyai efek vasodilator dan kemoatraktan.
3. Inflamasi akut melalui mekanisme kompleks imun
Pertama kali padsa tahun 1903 Arthus melakukan injeksi
antigen berulang pada kulit binatang percobaan dan terjadi reaksi
inflamasi lokal dalam hitungan jam yang kelak dikenal dengan
Arthus reaction (137). Fenomena Arthus ini dikenal serbagai contoh
reaksi inflamasi lokal yang disebabkan oleh adanya kompleks
imun. Penumpukan kompleks imun yaitu ikatan antibodi IgG atau
IgM dengan antigen pada jaringan lokal akan menimbulkan reaksi
inflamasi. Komplek imun akan mengaktifkan kaskade komplemen
dan melalui C-5a yang aktif, menyebabkan dilatasi kapiler,
peningkatan permeabilitas, konstraksi otot polos dan menarik
fagosit. Pada pembuluh darah kecil respons inflamasi tersebut
akan menyebabkan inflamasi lokal dan vaskulitis.
Ikatan komplek imun dengan makrofag dan neutrofil pada
saluran nafas akan menyebabkan respiratory burst yang menghasilkan produk toksik seperti peroxida hidrogen, radikal
hidroksi, asam hipoklorous dan khoramin. Bersama ensim proteolitik lisosom yang di sekresi fagosit, produk oksigen toksik akan
menyebabkan kerusakan sistem protein yang poten sehingga
terjadi kerusakan dinding pembuluh darah dengan nekrosis dan
destruksi lokal. Apabila antigen yang masuk dalam jumlah besar
melalui pembuluh darah, seperti pada pemberian serum, menyebar secara sistemik maka fenomena yang mirip terjadi pula,
dikenal sebagai serum sickness.
115

Fagositosis komplek imun oleh makrofag menyebabkan


sekresi sitokin IL-1, dan tumor necrosis factor (TNF)- yang berakibat timbulnya febris. Beberapa penyakit dengan deposisi
kompleks imun adalah glomerulo nefritis, artritis, dan lupus
eritematosus sitemik merupakan gambaran klinik dari serum
sickness. Penyakit kulit vesiko bulosa seperti pemfigus vulgaris
dan eritema nodusum leprosum juga terjadi berdasar mekanisme
timbunan komplek imun pada jaringan kulit.
4. Inflamasi kronik sebagai manifestasi reaksi delayed type
hypersensitivity (DTH)
Respons inflamasi yang terjadi akibat interaksi antigen
dengan limfosit T akan menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat (DTH) yang terjadi 2-3 hari setelah paparan (137) atau
setelah 4 minggu (tipe granulomatous). Terdapat 4 tipe dari DTH
yaitu tipe tuberkulin, tipe Jones-Mote, tipe kontak dan granulomatous (144). Kerusakan jaringan yang terjadi disebabkan oleh
karena aktivasi sel radang oleh sitokin yang dihasilkan sel T.
Secara imunologik respons inflamasi terjadi apabila antigen ditangkap dan diproses oleh sel penyaji antigen (SPA) untuk disajikan pada sel T melalui kerjasama dengan molekul MHC kelas II
dan molekul asesori yang lain. Selanjutnya sel T akan memproduksi sitokin IL-2 yang akan memperkuat ekspresi IL-2 Reseptor
dan juga sebagai T-cell growrh factor, sehingga terjadi proliferasi sel
T menjadi sel T-DTH.
Pada tiga tipe yang pertama, peristiwa ini dapat diamati
secara klinis 24 jam pertama setelah pajanan antigen, dan pada
pajanan kedua respons imun akan bersifat lebih cepat dan lebih
kuat dan terjadi aktivasi sel T dengan memproduksi sitokin Th1
seperti IFN- dan IL-2 yang akan memanggil makrofag untuk
melakukan fagositosis dan eliminasi antigen. Terjadinya dermatitis kontak alergi, berdasar reaksi DTH atau reaksi alergi tipe IV
tipe kontak. Pada tipe granulomatous, monosit dan makrofag
tinggal pada tempat akumulasi antigen dan membentuk granuloma. Reaksi ini penting pada pertahanan tubuh terhadap infeksi
parasit intrasel seperti infeksi M. tuberculosa, M.leprae, Listeria,
Schistosoma dan Blastomyces.

116

The four types of hypersensitivity reaction

Gambar10. 5: 4 tipe reaksi hipersensitivitas


D. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah hormon yang disintesis dari kolesterol
oleh korteks adrenal (145) dan berdasar efeknya digolongkan
menjadi glukokortikoid dan mineralokortikoid. Kortisol atau
hidrokortison adalah contoh glukokortikoid endogen sedangkan
aldosteron merupakan mineralokortikoid yang paling penting
(146). Sekresi glukokortikoid diatur dengan kontrol dari hipotalamus dan pituitari melalui mekanisme balik oleh hormon
corticorelin dan ACTH dan sekresi aldosteron dikontrol melalui
renin angiotensin system. Kortikosteroid banyak digunakan dalam
pengobatan penyakit inflamasi imunologik karena mempunyai
efek anti inflamasi dan imunosupresi kuat. Semua steroid yang
digunakan dalam pengobatan berasal dari derivat hormon
hidrokortison endogen (kortisol). Steroid sintetik dibuat pertama
kali pada tahun 1937 dan setelah itu banyak dan bermacam steroid
sintetik yang diproduksi dan ditawarkan kepada para klinisi.
Sekresi kortisol setiap hari bervariasi antara 10 dan 20 mg dengan
puncaknya pada jam 08 pagi hari (diurnal peak). Mempunyai
117

waktu paruh (plasma half-life) pada 90 menit, kortisol dimetabolisir


primer di liver dan ekskresinya melalui ginjal dan liver (145). Efek
glukokortikoid dapat sangat bervariasi, antara lain sebagai anti
inflamasi, menekan sistem imun (imunosupresi), efek terhadap
metabolisme seperti peningkatan glukoneogenesis dan kadar gula
dalam darah, lipolisis meningkat, protein breakdown, penimbunan
kalsium dalam tubuh menurun sehingga terjadi osteoporosis, efek
pada fungsi ginjal,muskuloskeleton, sistem saraf pusat dan
sebagainya (146).
E. Mekanisme kerja kortikosteroid (141)
Kortikosteroid bekerja dengan cara mempengaruhi sintesis
protein, mulai dari proses transkripsi DNA dalam inti sel, translasi
mRNA di sitoplasma, sampai dengan pelepasan protein. Kortikosteroid masuk ke dalam sel melalui membran sel secara difusi
pasif, kemudian berikatan denga reseptor spesifiknya dalam
sitoplasma membentuk komplek reseptor kortikosteroid (KRK).
Reseptor kortikosteroid ada pada hampir semua sel, termasuk
netrofil, limfosit, monosit dan eosinofil, terdiri dari 3 bagian yaitu
gugus terminal karboksil tempat menempelnya kortikosteroid,
bagian tengah yang akan menempel pada padsa rangkaian DNA
dan gugus terminal amin yang akan mengaktifkan transkripsi.
Bagian tengah reseptor terikat dengan protein yang disebut heat
shock protein 90 (Hsp 90), namun setelah kortikosteroid menempel,
Hsp 90 akan terlepas. Selanjutnya KRK akan bergerak menuju inti
dan bagian tengahnya akan berikatan dengan rangkaian DNA
yang disebut glucocorticosteroid response element (GRE) yang
terletak pada enhancer yang berdekatan dengan gena yang sensitif
terhadap kortikosteroid (gambar 10.6). Ikatan KRK dengan positiv
GRE akan menyebabkan peningkatan transkripsi sedangkan
ikatan denga negativ GRE menyebabkan penurunan transkripsi.
KRK dapat pula menghalangi sintesis protein lain melalui peningkatan traskripsi ribonuklease yang akan memecah mRNA
sehingga rusak dan tidak terjadi sintesis protein atau menekan
transkripsi mRNA pada beberapa sel (147) (gambar 10.7).

118

Gambar 10.6: Reseptor Kortikosteroid.

Gambar 10.7: Mekanisme kerja Kortikosteroid.

119

F. Efek anti inflamasi steroid


Efek anti inflamasi kortikosteroid melalui beberapa cara,
antara lain:
1. menurunkan atau mencegah respons jaringan terhadap terjadinya proses inflamasi sehingga mengurangi timbulnya gejala
tanpa mempengaruhi penyebab inflamasi.
2. menghambat akumulasi sel sel inflamasi, termasuk makrofag
dan leukosit pada tempat peradangan, menghambat fagositosis, pelepasan enzim lisosom dan beberapa mediator inflamasi dengan cara blokade efek macrophage inhibitory factor
(MIF) sehingga penempatan makrofag pada area inflamasi
terhambat
3. mengurangi dilatasi dan permeabilitas kapiler dengan peningkatan sintesis vasokortin, serta adesi leukosit dengan sel
endotel berkurang sehingga terjadi hambatan pada migrasi
leukosit dan pembentukan edema
4. peningkatan sintesis lipokortin-1 (lipomodulin) yang akan
menghambat kerja enzim fosfolipase A2 (FLA-2) sehingga
tidak terbentuk mediator lipid seperti prostaglandin, leukotrien dan PAF (141, 148).
G. Efek imunosupresi kortikosteroid
Mekanisme imunosupresi steroid belum jelas benar, diduga
dengan cara mencegah dan menekan respons imun seluler atau
delayed hypersensitivity (149) melalui :
1. efek pada proses transkripsi sehingga menurunkan sintesis
sejumlah molekul proinflamasi seperti interleuklin (IL)-1, IL-2,
IL-6 dan TNF- serta protease, dan sintesis beberapa mediator
inflamasi seperti siklooksigenase-2
2. menekan replikasi dan pergerakan sel sehingga konsentrasi
limfosit T, monosit dan eosinofil menurun sehingga terjadi
monositopenia, eosinopenia dan limfositopenia.
3. Apoptosis limfosit dipercepat, sedangkan apoptosis neutrofil
dihambat sehingga PMN dalam sirkulasi meningkat. Aktivasi,
proliferasi dan diferensiasi sel yang berperan dalam sistem
imun terjadi secara langsung dengan menekan fungsi sel atau
tidak langsung melalui perubahan produksi mediator (148).
4. Selain itu kortikosteroid dapat menurunkan ikatan imunoglobulin dengan reseptor nya pada permukaan sel dan penurunan aliran kompleks imun pada membran basalis serta
120

konsentrasi
menurun.

komponen

komplemen

dan

imunoglobulin

H. Kesimpulan
Inflamasi imunologik adalah respons sistem imun tubuh
terhadap invasi alergen yang menyebabkan reaksi dari pembuluh
darah dan komponen darah untuk mempertahankan homeostasis
tubuh serta memperbaiki struktur dan fungsi jaringan yang terganggu akibat benda asing tersebut, walaupun pada proses
inflamasi yang berlebihan dapat terjadi gejala klinis yang mengganggu. Didapatkan empat macam inflamasi imunologik yaitu
inflamasi akut alergi, inflamasi oleh karena antibodi sitotoksik,
inflamasi disebabkan imun kompleks dan inflamasi kronik hipersensitivitas lambat. Peran kortikosteroid pada inflamasi imunologik adalah sebagai anti inflamasi dan imunosupresi, mencegah
respons jaringan terhadap terjadinya proses inflamasi sehingga
mengurangi timbulnya gejala tanpa mempengaruhi penyebab
inflamasi serta mempengaruhi proses transkripsi berbagai
mediator inflamasi. Kortikosteroid tidak menghambat ikatan
antigen dengan limfosit yang telah tersensitisasi dan juga tidak
mempengaruhi pelepasan histamin dan sistem kinin.

121

PERAN KORTIKOSTEROID PADA


PENATALAKSANAAN
DERMATITIS ATOPIK
A. Pendahuluan
Dermatitis atopik (DA) adalah inflamasi kulit dengan etiologi
yang belum diketahui, timbul biasanya pada masa bayi atau anak,
selanjutnya dapat terjadi pada usia dewasa dan berhubungan
dengan keadaan atopi (5). Gejala atau tanda utama adalah rasa
gatal, serta predileksi lesi yang sangat khas tergantung umur
penderita. Terminologi DA berasal dari kata dermatitis yang
artinya inflamasi kulit dan atopi, yang berarti satu penyakit aneh
(a strange disease). Istilah Atopi pertama kali diperkenalkan oleh
Coca dan Cooke (1923), yang menerangkan suatu respons menyimpang atau abnormal, bersifat herediter, dan terjadi pada
sebagian kecil kelompok manusia. Konsep awal tersebut mengandung arti, atopi adalah kondisi yang cenderung untuk timbul
alergi terhadap makanan atau bahan iritan, dengan manifestasi
klinis berupa eksema, asma atopi atau hay fever, serta didasari oleh
pola pewarisan atau herediter (4,5,9).
Etiologi dan patogenesis DA sampai sekarang belum jelas
benar sehingga pengobatannya masih bersifat simptomatis.
Kortikosteroid merupakan obat yang banyak digunakan dalam
penatalaksaan DA, baik pemakaian topikal maupun sistemik
(148). Semua steroid yang digunakan dalam pengobatan berasal
dari derivat hormon hidrokortison endogen (kortisol). Steroid
sintetik dibuat pertama kali pada tahun 1937 dan setelah itu
banyak macam steroid sintetik yang diproduksi dan ditawarkan
kepada para klinisi. Salah satu kostikosteroid yang banyak
digunakan adalah methylprednisolone, oleh karena merupakan
steroid yang mempunyai efek mineralokortikoid paling minimal
(150).

122

Tulisan ini membahas gejala klinis, diagnosis serta piatalaksanaan DA. Dalam tatalaksana, pemakaian kortikosteroid terutama untuk pemakaian topikal, namun pada DA berat dan
refractory, kortikosteroid sistemik juga dianjurkan. Dibahas pula
mekanisme kerja kortikosteroid dan penggunaan metilprednisolon
pada pengobatan penyakit alergi, serta perbandingan efektivitas
dan efek samping.

Frekuensi

B. Diagnosis Dermatitis Atopik


Dermatitis atopik sebenarnya merupakan penyakit kulit yang
telah lama dikenal, dengan berbagai sinonim seperti eczema, atopic
eczema, allergic eczema, disseminated neurodermatitis, Besniers prurigo
diathesique, lichen Vidal dan sebagainya (1, 4, 15). Perjalanan alami
penyakit atopik umumnya diawali pada usia dini (masa bayi) dan
berlanjut ke masa anak sampai dewasa, dengan di antaranya ada
periode remisi. Pada usia tahun pertama manifestasi atopik tersering adalah dermatitis atopik disertai atau tanpa alergi makanan, yang menetap sampai usia 34 tahun (25). Usia lebih dari enam
tahun biasanya timbul asma dan saat usia lebih dari 15 tahun
umumnya akan menderita rinitis (lihat gambar 11.1). Sensitisasi
alergi pada anak di bawah 4 tahun terutama karena alergen
makanan sedang pada usia lebih dari enam umumnya alergen
hirupan. Makanan yang paling sering adalah kacang, susu sapi
dan telur; sedang alergen hirupan yang utama adalah tungau
debu rumah dan polen (serbuk sari bunga).

Gambar 11.1: Perjalanan Alami Penyakit Atopi pada Anak


(dari ref. Laan, 1999)

123

Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan kombinasi berbagai


gejala klinis karena belum ada satupun tanda yang patognomonik
untuk DA (68). Hanifin dan Rajka (1980) mengajukan kriteria
diagnosis untuk DA yang sampai sekarang masih banyak digunakan (1, 6).
Wujud kelainan kulit atau efloresensi pada DA berupa
eritema, papel-papel berskuama yang terasa gatal sangat dan
vesikel, bila pecah menyebabkan lesi menjadi eksudatif (basah).
Sering didapatkan ekskoriasi akibat garukan, dan serum dari lesi
basah bila mengering akan terjadi krusta. Papula disebut prurigo
papules, dan bersama dengan vesikel (papulovesikel) serta
eritema, merupakan gambaran lesi eksematous yang khas DA.
Lesi kulit yang sangat basah (weeping) dan berkrusta sering
didapatkan pada kelainan yang lanjut (1). Likenifikasi merupakan
kelainan kulit berupa plakat berbatas kurang jelas dengan gambaran galur kulit yang tampak menonjol, biasanya berwarna keabuan
atau kecoklatan dan kulit terlihat menebal (2). Kulit yang makin
tebal di daerah likenifikasi, akan semakin terasa gatal (7). Pada
setiap penyakit kulit kronis biasanya didapatkan gambaran
likenifikasi, hal ini terjadi pula pada DA. Likenifikasi merupakan
respon dermo-epidermal terhadap garukan yang persisten (2),
menyebabkan keratinosit mengalami injury sehingga mengeluarkan sitokin antara lain GM-CSF yang akan merangsang kulit
sehingga terjadi penebalan (151).
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis adalah uji alergi
pada kulit (skin test) dan pemeriksaan laboratorium. Skin test yang
sering dilakukan adalah uji tusuk (skin prick test), untuk melihat
respons humoral yang merupakan reaksi tipe I sedangkan uji
tempel (patch test) untuk melihat respons tipe IV atau respons
seluler pada penderita DA (3, 16). Uji tusuk dilakukan dengan
menggunakan alergen inhalan maupun alergen makanan guna
menentukan kemungkinan jenis alergen lingkungan sebagai
penyebab. Pemeriksaan laboratorium yang penting adalah
penentuan kadar IgE total di dalam serum penderita DA (2) dan
IgE spesifik dengan metode RAST (radioallergosorbent test) untuk
mengetahui antibodi IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu
dalam serum (3).

124

C. Patogenesis DA
Pendapat yang banyak diterima saat ini, DA merupakan
penyakit inflamasi kulit yang berdasarkan mekanisme atopi,
paralel dengan asma dan rinitis atopi (7, 28, 70). Teori imunologik
untuk menjelaskan patogenesis DA berdasarkan kulit merupakan
organ yang tidak saja sebagai sasaran atau target tetapi juga
mampu mengawali (inisiasi) respon imun, sesuai dengan konsep
sistem imun pada kulit (152). Berbagai bukti dan hasil penelitian
menunjukkan respon imun memberi kontribusi pada terjadinya
lesi DA, antara lain meningkatnya produksi IL-5, dan menurunnya sintesis IL-2 dari sel mononuklear darah perifer anak yang
menderita DA. Keadaan ini mencerminkan aktivasi eosinofil dan
IgE dalam serum yang tinggi pada DA (98).
Ganguan respon imun baik humoral maupun selular pada
penderita DA telah dibuktikan dengan percobaan uji tusuk yang
memberikan reaksi segera (76) ataupun uji tempel menggunakan
alergen tungau debu rumah (14, 88). Penelitian dengan uji tempel
dapat dijelaskan timbulnya lesi kulit pada DA yang menyerupai
lesi dermatitis kontak alergi yang merupakan hasil interaksi antara
berbagai sel imunokompeten di jaringan kulit. Teori imunologis
yang menjelaskan patogenesis DA didukung oleh beberapa bukti
antara lain perubahan pada variabel imunitas humoral dan
seluler.
Perubahan variabel imunitas humoral, antara lain :
1. kenaikan kadar IgE didapatkan pada sekitar 80% kasus DA
(15, 28)
2. uji kulit positif lebih dari 85% terhadap berbagai alergen
(14, 16)
3. sering disertai dengan penyakit atopi yang lain seperti asma
dan rinitis (1).
4. pemeriksaan imunopatologi ditemukan pada membran sel
Langerhans sebagai penyaji antigen, didapatkan IgE spesifik
(3, 14) .
Perubahan variabel imunologik seluler, antara lain:
1. meningkatnya kerentanan terhadap infeksi virus maupun
dermatofita,
2. menurunnya kepekaan terhadap alergen kontak,
3. menurunnya transformasi limfosit dengan rangsangan
mitogen, dan
125

4. menurunnya aktivitas fungsi sel sitotoksik monosit dan


kemotaksis dari neutrofil juga menurun (46).
Peran sel T pada mekanisme terjadinya inflamasi alergi pada
DA sangat penting sehingga DA dapat disebut sebagai kelainan
kulit dengan perantaraan sel T (T-cell mediated disease)(14). Sebagai
bukti, transplantasi sumsum tulang dari donor atopik ke resipien
non-atopi dapat menyebabkan gejala atopik dan uji kulit positif
(91). Presentasi antigen ke sel T, memicu terjadinya siklus imunokimiawi dalam jaringan, antara lain sekresi mediator, yang
menimbulkan peradangan dan secara klinis sebagai lesi DA yang
kambuh. Penyajian antigen oleh sel Langerhan (LC) dapat terjadi
karena pada permukaan LC terdapat molekul IgE yang berfungsi
menangkap alergen. Imunoglobulin E (IgE ) pada permukaan LC
ini ternyata sangat efisien dalam penyajian alergen dan sel T akan
berproliferasi serta berdeferensiasi menjadi sel Th2 aktif yang akan
mensekresi IL-4, IL-13 dan IL-5. Sitokin IL-4 dan IL-13 akan
memacu sel B untuk memproduksi IgE, sedangkan IL-5 akan
mengaktifkan eosinofil. Pada fase akut paparan alergen yang sama
menyebabkan degranulasi sel mast oleh karena interaksi alergen
dengan IgE yang ada dipermukaan sel mast, sehingga keluar
mediator seperti histamin, prostaglandin E dan sebagainya. Histamin dan mediator inflamasi lain akan menyebabkan rasa gatal dan
bila terjadi kronis, gatal akan diikuti garukan terus menerus
menyebabkan keratinosit, LC mengalami injury sehingga mengeluarkan sitokin IL-1, IL-6 dan TNF yang berfungsi menarik limfosit aktif ketempat peradangan dan mengatur ekspresi E-selectin
dan VCAM-1 pada endotel vaskuler. Ekspresi molekul adesi
tersebut memegang peran penting pada pengaturan sel T CD4+
untuk bermigrasi ke kulit (skin homing cells), sel ini dikenal dengan
petanda permukaan molekul CLA=cutaneous lymphocyte antigen
(153) (gambar 11.2).
Pada stadium kronis DA, terjadi pengalihan respons imun
menjadi respons Th1 dengan ekspresi sitokin IFN- yang lebih
dominan dibanding fenotipe Th2, kondisi ini dikenal dengan
biphasic response (30, 31). Pengalihan respons ini disebabkan
pengaruh IL-12 yang diproduksi sel makrofag, namun pada DA
peran IL-12 pada pengalihan tersebut tidak signifikan (32), diduga
disebabkan oleh karena terjadi mutasi pada reseptor IL-12 (135).

126

Gambar 11.2 : Imuno-patogenesis DA (dari ref. Spergel &


Sneider, ,1997).

D. Penatalaksanaan Dermatitis Atopik (97)


Sampai saat ini pengobatan DA bersifat simptomatik, oleh
karena etiologi belum diketahui dan pemahaman patogenesis
belum terungkap secara tuntas. Pada prinsipnya pengobatan DA
ditujukan untuk mengobati gejala, eliminasi faktor kekambuhan
dan mempertahankan kelembaban kulit. Penderita DA biasanya
berharap sembuh sempurna, namun hal ini jarang terjadi, oleh
karena itu perlu ditekankan bahwa tujuan pengobatan adalah
mengontrol penyakit bukan menyembuhkan atau menghilangkan
penyakit sama sekali. Pengobatan DA dapat dibagi berdasar kondisi penyakit, yaitu pengobatan pada kekambuhan akut, pengobatan untuk maintanance dan pengobatan pada DA berat dan sulit
diobati (severe & refractory). Pada setiap pengobatan perlu dilakukan secara komprehensif baik non-pharmacological maupun pharmacological-treatment (dengan obat).

127

1. Pengobatan DA Akut (acut flare treatment):


Setelah diagnosis DA ditegakkan diberikan pengobatan nonpharmacological lebih dahulu, yaitu :
a. penderita diberi edukasi tentang penyakitnya, antara lain
pengertian atau sifat dasar DA, berbagai faktor penyebab
kekambuhan, harapan hasil pengobatan yang realistik,
perawatan kulit yang diperlukan seperti menjaga kelembaban, cara mandi yang benar, kuku selalu dipotong dan
sebagainya.
b. pemakaian moisturizers: digunakan pada seluruh tubuh
dua kali sehari kecuali pada lesi akut, dipilih bentuk water
in oil, hindari produk dengan bahan pengawet dan parfum.
c. Mencegah faktor pemicu: identifikasi alergen dengan
anamnesis yang cermat dan tes alergi (skin prick test) kemudian nasehat untuk menghindari alergen makanan dengan
diit, hindari tungau debu rumah dengan mencuci sprei
seminggu sekali dengan air panas, tidak menggunakan
karpet di dalam ruang tidur, menurunkan kelembaban
dalam ruangan dan faktor pemicu lain seperti wool, rokok,
stress, keringat, serpihan kulit binatang dan sebagainya.
Kemudian diberikan pengobatan dengan obat obat (pharmacological-treatment), antara lain :
a. Topikal kortikosteroid digunakan oleh karena dapat
mengurangi inflamasi dan pruritus, dan dapat digunakan
untuk fase akut maupun kronis, selain itu mempunyai efek
antimitotik (91). Berdasar potensi antiinflamasi dan antimitotik, digolongkan menjadi steroid potensi lemah,
sedang, kuat dan sangat kuat.
Pemakaian steroid topikal jangka waktu lama dan pada
area tertentu seperti wajah, leher dan lipatan kulit, harus
hati hati karena dapat meninbulkan efek samping, terutama steroid potensi kuat. Rebound flaring dapat terjadi bila
steroid kuat dihentikan mendadak. Dianjurkan penggunaan secara selang seling dan dengan kombinasi moisturizers.
b. Calcineurin inhibitor (topikal): efek kerjanya menghambat
transkripsi sitokin pro inflamasi yang mengaktifkan sel T
dan sel radang lain melalui hambatan calcineurin. Cukup
aman untuk pemakaian jangka lama baik untuk dewasa
maupun anak dan perbaikan gejala terjadi 3-7 hari.

128

Preparat yang sudah beredar adalah Tacrolimus


(R/Protopic) dan Pimecrolimus (R/Elidel).
c. Antibiotika oral atau topikal, bila disertai sekunder infeksi
bakteri terutama infeksi Staph. aureus; antiviral (asiklovir
sistemik) bila ada infeksi virus (eczema herpeticum) dan anti
fungal (topikal) bila disertai infeksi jamur.
d. Antihistamin (oral) digunakan sebagai antipruritus yang
cukup memuaskan untuk terapi simptomatis DA. Bekerja
sebagai antagonis terhadap reseptor histamin baik H1, H2
maupun reseptor H3. Berdasar efek sedasinya, diklasifikasi
sebagai generasi pertama, generasi kedua atau non-sedative
antihistamin dan generasi ketiga. (148). Generasi pertama
dapat menembus sawar darah otak sehingga mempunyai
efek sedasi, contoh adalah klorfeneramin, difenhidramin,
hidroksizin, prometasin, perilamin dan tripolidin. Generasi
kedua seperti akrivastin, azelastin, loratadin, ketotifen,
oksatomid dan terfenadin. Antihistamin ini memiliki afinitas
dan selektivitas pada reseptor H1 lebih tinggi daripada
generasi sebelumnya. Generasi ketiga adalah antagonis
terhadap reseptor H1 dan ada dua preparat yang merupakan parameter kelompok ini yaitu setirizin dan fexofenadin.
Keduanya dikatakan mempunyai efek antiinflamasi,
dengan menghambat ekspresi molekul adesi pada sel
endotel pembuluh darah sehingga mengurangi migrasi sel
radang menuju ketempat inflamasi.
2. Pengobatan maintanance, pada penderita yang penyakitnya
terus menerus atau sering kambuh:
a. Non-pharmacological treatment (seperti di atas) dilanjutkan
b. Pharmacotherapy :
- topikal calcineurin inhibitor, dimulai bila ada tanda dini
kekambuhan atau
- kortikosteroid topikal untuk pemakaian jangka panjang, dapat dikombinasi secara selang seling (intermittent) dengan calcineurin
- antihistamin, terutama bila ada gangguan tidur
- bila ada infeksi sekunder diberikan antibiotik, antivirus
atau antifungal.

129

3. Pengobatan DA bentuk berat dan refractory: dianjurkan


untuk dirujuk dan dipertimbangkan untuk psikoterapi atau
psychopharmacological di samping pengobatan sebagai berikut:
a. Non-pharmacological treatment (seperti di atas) dilanjutkan
dan bila perlu diberikan fototerapi.
b. Pharmacotherapy :
- kortikosteroid topikal golongan kuat (poten)
- kortikosteroid oral: bekerja cepat memperbaiki lesi
kulit tetapi rebound flare up biasanya terjadi setelah
pengobatan dihentikan. Penggunaan sebaiknya jangka
pendek dan di tapering secara pelan, sementara penggunaan steroid topikal ditingkatkan dan kulit dijaga
tetap lembab. Ber-efek pada proses transkripsi sehingga menurunkan sintesis sejumlah molekul proinflamasi seperti interleuklin (IL)-1, IL-2, IL-6 dan
TNF- serta protease, dan sintesis beberapa mediator
inflamasi seperti siklooksigenase-2. Selain itu menekan
replikasi dan pergerakan sel sehingga konsentrasi
limfosit T, monosit dan eosinofil menurun, menyebabkan terjadi monositopenia, eosinopenia dan limfositopenia (148).
- immunosupressents (oral) :
1) Ciclosporin, efektif untuk penggunaan jangka
pendek dan tidak dianjurkan pemakaian dalam
waktu panjang oleh karena resiko hipertensi dan
disfungsi ginjal
2) Azathioprine, lebih aman dari ciclosporin dan dapat
dipakai untuk jangka panjang.
E. Kortikosteroid sistemik untuk pengobatan DA
Kortikosteroid adalah hormon yang disintesis oleh korteks
adrenal (145), berdasar efek kerja digolongkan menjadi glukokortikoid dan mineralokortikoid. Kortisol atau hidrokortison
adalah contoh glukokortikoid endogen sedangkan aldosteron
merupakan mineralokortikoid yang paling penting (146). Sekresi
glukokortikoid diatur dengan kontrol dari hipotalamus dan
pituitari melalui mekanisme balik oleh hormon corticorelin dan
ACTH, sedangkan sekresi aldosteron dikontrol melalui renin
angiotensin system. Semua steroid yang digunakan dalam
pengobatan berasal dari derivat hormon hidrokortison endogen
130

(kortisol) dan steroid sintetik ini dibuat pertama kali pada tahun
1937; setelah itu banyak dan bermacam steroid yang diproduksi
dan ditawarkan kepada para klinisi. Sekresi kortisol setiap hari
bervariasi antara 10 dan 20 mg dengan puncaknya pada jam 08
pagi hari (diurnal peak). Mempunyai waktu paruh (plasma half-life)
pada 90 menit, kortisol dimetabolisir primer di liver dan ekskresinya melalui ginjal dan liver (145). Efek glukokortikoid sangat bervariasi, selain sebagai anti inflamasi dan menekan sistem imun,
juga berefek pada metabolisme seperti peningkatan glukoneogenesis dan kadar gula dalam darah, lipolisis meningkat, protein
breakdown, penimbunan kalsium dalam tubuh menurun sehingga
terjadi osteoporosis, efek pada fungsi ginjal, muskuloskeleton,
sistem saraf pusat dan sebagainya (146).
Berdasar waktu kerjanya (duration of act) steroid dibedakan
short acting, intermediate dan long acting. Perbandingan potensi
glikokortokoid dan mineralokortikoid macam macam steroid,
dapat dilihat pada tabel 11.1 (145).
Tabel 11.1: Perbandingan potensi glikokortokoid dan mineralokortikoid macam macam steroid

Short-acting
Hydrosortison
(Cortisol)
Cortisone
Intermediate-acting
Prednisone
Prednisolone
Methylprednisolone
Triamcinolone
Long-acting
Dexamethasone

Equivalent
Glucocorticoid
Potency (mg)

MineraloCorticoid
potency

Plasma
Half-life
(min)

Duration
of Action
(h)

20

0.8

90

8-12

25

30

8-12

5
5
4
4

0.25
0.25
0
0

60
200
180
300

24-36
24-36
24-36
24-36

0.75

200

36-54

a. Mekanisme kerja kortikosteroid (141).


Kortikosteroid bekerja dengan cara mempengaruhi sintesis
protein, mulai dari proses transkripsi DNA dalam inti sel, translasi
mRNA di sitoplasma, sampai dengan pelepasan protein. Kortikosteroid masuk ke dalam sel melalui membran sel secara difusi
pasif, kemudian berikatan dengan reseptor spesifiknya dalam
sitoplasma membentuk komplek reseptor kortikosteroid (KRK).
131

Reseptor kortikosteroid ada pada hampir semua sel, termasuk


netrofil, limfosit, monosit dan eosinofil. Terdiri dari 3 bagian yaitu
gugus terminal karboksil tempat menempelnya kortikosteroid,
bagian tengah yang akan menempel pada pada rangkaian DNA
dan gugus terminal amin yang akan mengaktifkan transkripsi
(gambar 11.3). Bagian tengah reseptor terikat dengan protein yang
disebut heat shock protein 90 (Hsp 90), namun setelah kortikosteroid
menempel, Hsp 90 akan terlepas. Selanjutnya KRK akan bergerak
menuju inti dan bagian tengah akan berikatan dengan rangkaian
DNA yang disebut glucocorticosteroid response element (GRE) yang
terletak pada enhancer yang berdekatan dengan gena yang sensitif
terhadap kortikosteroid. Ikatan KRK dengan positiv GRE akan
menyebabkan peningkatan transkripsi sedangkan ikatan dengan
negativ GRE menyebabkan penurunan transkripsi. Kompleks
reseptor kortikosteroid dapat pula menghalangi sintesis protein
lain melalui peningkatan traskripsi ribonuklease yang akan
memecah mRNA sehingga rusak dan tidak terjadi sintesis protein
atau dengan menekan transkripsi mRNA pada beberapa sel (147)
(gambar 11.4).

Gambar 11.3: Reseptor Kortikosteroid

132

Gambar 11.4: Mekanisme kerja kortikosteroid.


b. Metilprednisolon (150).
Metilprednisolon atau 6-Methylprednisolone merupakan
glukokortikoid sintetik, digunakan sebagai agen antiinflamasi atau
imunosupresan oleh karena efek mineralokortikoid minimal
sekali. Penggunaan pada insufisiensi korteks adrenal kurang
adekuat sehingga perlu dikombinasi dengan mineralokortikoid.
Cara pemberian dan dosis metil prednisolon dan derivatnya
tergantung kondisi penyakit dan respons penderita terhadap
pengobatan. Biasanya diberikan peroral namun pada keadaan
emergensi atau penderita tidak dapat menelan dapat secara
intramuskular atau intravenous. Setelah dosis awal memberikan
respons yang baik, dosis diturunkan sampai pada level paling
rendah yang dapat mempertahankan respons klinik. Pemberian
jangka panjang perlu dipertimbangkan dosis regimen secara
alternate day dan secara gradual diturunkan.
Metil prednisolon untuk pengobatan beberapa penyakit alergi
tertentu seperti dermatitis kontak alergi, dermatitis atopik dan
133

sebagainya diberikan per oral, dalam jangka pendek, dengan dosis


= 2-60 mg, tergantung berat ringan penyakit dan biasanya teribagi
dalam 4 dosis. Sebagai contoh sebagai berikut:
- dosis awal (hari pertama) = 24 mg (6 tablet @ 4mg), dengan
cara= 2 - 1 - 1 -2 tablet, masing masing sebelum makan
pagi, setelah makan siang, setelah makan malam dan
sebelum tidur.
- hari kedua = 1 1 - 1 - dan 2 tab.(=20 mg); -hari ketiga
= 1111 tablet (=16 mg );
- hari keempat = 1 1 0 - 1 (= 12 mg); hari kelima
= 1 0 0 - 1 tablet (= 8 mg) dan
- hari ke enam = 1 0 0 - 0 (pagi hari saja = 4 mg) (AHFSDrug Information, 2002).
Beberapa klinikus menganjurkan tappering dilakukan dalam
jangka agak panjang yaitu dalam waktu 12 hari, untuk mengurangi kemungkinan flare up. Untuk penyakit yang berat seperti
Pemfigus vulgaris, SLE dan sebagainya dosis awal dapat
ditingkatkan sampai 100 mg atau lebih per hari.
Beberapa derivat metilprednisolon yang lain adalah :
1) Metil prednisolon asetat
- pemberian secara intra muskuler, intra artikular, intra lesi
atau pada injeksi jaringan lunak. Pada pemberian IM, metil
prednisolon asetat diabsorbsi lambat sehingga tidak diindikasikan bila ingin efek segera atau waktu cepat.
- dosis untuk IM= 10-80 mg sehari sekali, sesuai dengan
dosis oral yang digantikan. Bila diinginkan efek yang lama
dosis dapat 7 X dosis oral diberikan seminggu sekali.
2) Metil prednisolon sodium suksinat
- dapat diberikan secara suntikan IM, IV atau melalui infus
(IV). Pemberian secara IM absorbsinya cepat dan pada
suntikan IV harus dilakukan pelan pelan, paling tidak 1
menit.
- dosis bervariasi, biasanya antara 10-250 mg IM atau IV,
dapat diulang sampai 6 kali sehari. Pada keadaan mengatasi life-threatening shock dosis dapat ditingkatkan sampai
1.5 gram per hari. Efek yang tidak diinginkan adalah dapat
terjadi kolaps kardiovaskular terutama pada pemberian IV
yang cepat.

134

dosis anak = 0.03 0.2 mg/kg BB atau 1 6.25 mg/m2 IM,


1 2 kali sehari.

Interaksi Obat.
Pemberian metilprednisolon bersama obat obat barbiturat,
karbamazepin, fenitoin, primidon atau rifampisin dapat meningkatkan metabolisme dan menurunkan efek kortikosteroid. Bersama diuretik seperti furosemid dapat menyebabkan pengeluaran
kalium berlebihan. Perdarahan saluran gastrointestinal dan
ulserasi meningkat bila kortikostreroid diberikan bersama NSAID.
Ketokonasol dapat meningkatkan konsentrasi metilprednisolon
dalam serum.
F. Efek samping Kortikosteroid
Efek samping yang merupakan efek sekunder dari beberapa
kortikosetroid dan perbandingan aktivitas kortikosteroid, dapat
dilihat pada tabel 2 di bawah. Terlihat bahwa metilprednisolon
memberikan efek sekunder yang minimal dibanding kortikosteroid yang lain..
Tabel 11.2. Perbandingan aktivitas dan efek sekunder kortikosteroid
Kortikosteroid
Dosis ekuivalen
Aktivitas
glukokortikoid
Penghambatan
Kel.Pituitary
Penambahan
Berat badan
Atrofi otot
Penurunan fung
---si neutrofil
Ekimosis
Akne
hipertrikosis
Efek
samping
gastrointestinal
Moon
face
(Cushings
syndrome)
Efek
samping
psikis

Kortison Prednison
20
0.8

5
4

Triamsinolon
4
5

Metil
Dexapredisolon metason
4
0.75
5
25

Betmetason
0.80
25

40-50

40-50

++++

++

0
++++

0
-

++++
-

0
+

+
++

0
-

+++
+++

++
++

++
+

+
0

++++
+++

++
++

++++

++

++++

++

++++

+++

++++

+++

++++

+++

+++

+++

++

135

G. Kesimpulan
Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit inflamasi kulit
yang kronis dan kambuhan, cenderung diturunkan (herediter) dan
terjadi disebabkan disregulasi respons imun. Dalam piatalaksanaan DA kortikosteroid terutama digunakan secara topikal
namun pada bentuk yang berat dan refractory pemakaian kortikosteroid sistemik dapat diberikan. Metilprednisolin merupakan
kortikosteroid dengan efek mineralokortikoid yang minimal,
sehingga banyak digunakan secara sistemik peroral dan parenteral
pada penyakit dengan dasar alergi dan kelainan imunologi
maupun pada keadaan emergensi. Efek samping metilprednisolon
dibanding kortikosteroid yang lain minimal.

136

Anda mungkin juga menyukai