Anda di halaman 1dari 8

Dalam melakukan identifikasi formalin pada makanan ada beberapa metode yang dapat

digunakan untuk mengidentifikasi formalin pada bahan makanan. Identifikasi formalin pada
bahan makanan dilakukan secara kualitatif yaitu dengan tujuan untuk mengetahui ada tidaknya
formalin pada bahan makanan tidak sampai dengan menentukan kadar formalin tersebut karena
formalin bukan merupakan bahan tambahan makanan. Oleh karena itu formalin diisyaratkan
tidak boleh ada pada makanan. Metode yang dapat digunakan dalam identifikasi formalin
adalah : 1) Deteksi formalin, menggunakan Kit Test, 2) Test KMnO 4, 3) Tes Fehling, 4)
Menggunakan larutan FeCl3, 5) Test dengan asam Kromatopat, 6) dengan Kalium Permanganat.
Menurut BBPOM (2008), hasil deteksi formalin menggunakan asam kromatofat jelas
terlihat pada penentuan warna setelah dipanaskan. Warna yang terlihat adalah ungu yang
menandakan sampel tersebut positif mengandung formalin. Asam kromatofat dapat memberi
warna merah keunguan karena asam kromatofat digunakan untuk mengikat formalin agar
terlepas dari bahan. Formalin juga bereaksi dengan asam kromatopik menghasilkan senyawa
kompleks yang berwarna merah keunguan. Reaksinya dapat dipercepat dengan cara
menambahkan asam sulfat, asam fosfat dan hidrogen peroksida (Ramadhan, 2008).
Formalin dengan adanya asam kromatropat dalam asam sulfat disertai pemanasan beberapa
menit akan terjadi pewarnaan violet (Herlich, 1990). Reaksi asam kromatropat mengikuti prinsip
kondensasi senyawa fenol dengan formaldehida membentuk senyawa berwarna (3,4,5,6dibenzoxanthylium). Pewarnaan disebabkan terbentuknya ion karbenium- oksonium yang stabil
karena mesomeri (Schunack, Mayer & Haake, 1990).
Di Bawah ini reaksi Formalin dengan Asam Kromatropat :

Senyawa Fluoral P juga dapat digunakan untuk menguji adanya formalin dengan menetesi bahan
yang diduga mengandung formalin yang akan menghasilkan suatu senyawa kompleks yang
berwarna ungu.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui atau mengidentifikasi makanan
seperti bahan pangan yang mengandung formalin. Cara yang paling mudah adalah melalui
pengamatan ciri-ciri fisik. Adapun cara yang lebih meyakinkan dan akurat yaitu melalui
pengujian laboratorium baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Anonim, 2010).
Identifikasi ciri fisik merupakan cara yang paling mudah dilakukan untuk menentukan
apakah bahan pangan mengandung formalin atau tidak. Identifikasi ciri fisik dapat dilakukan
melalui pengamatan terhadap parameter-parameter seperti tekstur, warna dan daya simpan
makanan (Winarno ,1994). Menurut Winarno dan Rahayu (1994) bahan pangan berformalin
mempunyai ciri-ciri yaitu teksturnya lebih halus , warna lebih terang dan mempunyai daya
simpan selama 3 hari.
Pada praktikum kali ini, hanya dilakukan Analisis kualitatif formalin untuk menyatakan ada
tidaknya formalin dalam suatu bahan yang diuji dengan cara menambahkan pereaksi kimia
(reagen) tertentu pada bahan yang diduga mengandung formalin sehingga dihasilkan suatu
perubahan warna yang khas (Widyaningsih dan Murtini, 2006). Analisis ini dilakukan dalam
beberapa bahan pangan diantaranya adalah bihun rebus dari pedagang bakso, tahu Lombok,

lontong, mie basah berwarna kuning, cilok dan siomay. Sampel-sampel tersebut digunakan
karena umumnya bahan pangan tersebut memiliki daya awet atau masa simpan satu hari pada
suhu kamar sehingga tidak dapat bertahan lama dan rentan terhadap kerusakan (Widyaningsih
dan Murtini, 2006).

Hal tersebut yang membuat beberapa pedagang nakal menambahkan

pengawet formalin pada bahan pangan. Penggunaan formalin biasanya dilakukan setelah
panagan direbus sudah matang kemudian ditambahkan formalin melalui metode pencelupan
(dipping). Selain itu penambahan formalin biasa juga dilakukan pada akhir perebusan selama 15
menit (Wibowo, 2005).
Uji kualitatif formalin pada praktikum kali ini dilakukan dengan metode asam kromatofat,
dimana tentunya menggunakan larutan jenuh asam kromatofat. Asam kromatropat memiliki
nama IUPAC asam 1,8-dihidroksinaftalen-3,6-diosulfat dibuat dengan melarutkan asam
kromatropat 0,5 gr dalam HSO 60%. Sampel yang digunakan dihancurkan dengan mortar dan
pestle kemudian dilarutkan dalam aquadest dengan labu ukur 100 ml, kemudian disaring dan
diambil filtratnya, namun karena keterbatasan bahan, maka sampel disentrifuge dengan
kecepatan 3000 rpm selama 5 menit, lalu diambil filtrat sampel. Seharusnya sampel yang akan
digunakan didestilasi dengan menambahkan 5 ml asam fosfat 10% untuk mempercepat reaksi,
karena keterbatasan alat tidak dilakukan destilasi pada sampel.
Pada analisis secara kualitatif adanya formalin dilakukan dengan memasukkan 1 ml filtrate
sampel kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 5 tetes asam kromatrofat selanjutnya
dipanaskan dalam penangas air selama 15 menit, diamati perubahan warna yang terjadi. Selain
menguji sampel dilakukan juga pengujian control positif dan control negative yang digunakan
sebagai pembanding hasil positif dan negative, memastikan aquades yang digunakan tidak
terkontaminasi formalin, serta memastikan asam kromatropat yang kita gunakan masih dalam
keadaan baik sehingga hasil yang didapatkan valid. Pengujian control postif dilakukan dengan
membuat pengenceran 10x dari larutan formalin 37% dengan memipet 0,5 ml ditambahkan
dengan 1,25 asam kromatropat lalu dipanaskan dalam penangas air selama 15 menit didapatkan
hasil positif yaitu terjadinya perubahan warna menjadi ungu kehitaman. Pada pengujian control
negative dilakukan dengan memipet 1 ml air mineral ditambahkan dengan 5 tetes asam
kromatropat didapatkan hasil negatif yaitu perubahan warna menjadi cokelat. Pengujian control
positif dan negative telah sesuai sehingga dapat dilanjutkan ke pengujian sampel.
Hasil dari uji kualitatif dari sampel bihun didapatkan hasil positif (+) ditandai dengan
perubahan warna menjadi ungu tua. Pada sampel lontong, tahu, cilok, siomay, mie kuning tidak

terjadi perubahan warna menjadi ungu tua melainkan warna yang terbentuk sama dengan warna
sebelumnya yakni warna cokelat, maka hasilnya adalah negative (-). Untuk sampel bihun rebus
yang positif mengandung formalin diperoleh dari salah satu pedagang bakso keliling didaerah
Padangsambian kelod, hasil kualitatif ini sesuai dengan identifikasi fisik bihun dengan tekstur
sangat kenyal sehingga sulit dihancurkan. Uji kualitatif ini dapat digunakan sebagai dasar
pengujian secara kuantitatif.
Dalam praktikum kali ini, analisis kadar formalin hanya sampai uji kualitatif. Apabila ingin
mengetahui kadar formalin dalam sampel dilakukan uji kuantitatif lebih lanjut sehingga kadarnya
dapat dibandingkan dengan ambang batas aman formalin. ACGIH (American Conference of
Governmental and Industrial Hygienists) menetapkan ambang batas aman formalin dalam tubuh
adalah 0,4 ppm (Alsuhendra dan Ridawati,2013). Sedangkan menurut IPCS ( International
Programme on Chemical Safety ), lembaga khusus dari tiga organisasi PBB yaitu ILO, UNEP
dan WHO yang peduli pada keselamatan penggunaan bahan-bahan kimia, bahwa secara umum
ambang batas aman formalin dalam makanan yang masih bisa ditolerir dalam tubuh orang
dewasa adalah 1,5 mg hingga 14 mg per hari sedangkan formalin dalam bentuk air minum yang
masih bisa ditolerir dalam tubuh yaitu 0,1 ppm (Singgih, 2013).
Menurut Alsuhendra dan Ridawati (2013) beberapa efek negatif yang ditimbulkan dari
keracunan formalin jika masuk ke dalam tubuh manusia yaitu:
(1). Keracunan yang bersifat akut merupakan efek yang langsung terlihat akibat jangka
pendek, dan gejala yang ditimbulkan yaitu hilangnya kesadaran, anuria, muntah, edema laring,
ulserasi pada mukosa gastrointestinal,diare, gagal ginjal dan ulserasi pada mulut dan esophagus.
Dalam konsentrasi tinggi, formalin dapat menyebabkan diare berdarah, kencing darah, muntah
darah, iritasi lambung dan akhirnya menyebabkan kematian,
(2). Keracunan yang bersifat kronis merupakan 8 efek yang terlihat setelah terkena dalam
jangka waktu yang lama dan berulang, dan gejala yang ditimbulkan yaitu iritasi gastrointestinal,
muntah, pusing, sakit perut, nyeri usus dan gangguan peredaran darah. Dalam jangka panjang,
keracunan formalin yang bersifat kronis juga dapat menimbulkan gangguan menstruasi,
infertilisasi, kerusakan pada hati, otak, limpa, pankreas, system syaraf pusat dan ginjal. Dampak
yang mungkin terjadi jika kadar formalin yang terakumulasi di dalam tubuh melebihi batas
adalah mulai dari terganggunya fungsi sel hingga kematian sel yang selanjutnya menyebabkan
kerusakan pada jaringan dan organ tubuh. Pada tahap selanjutnya dapat pula terjadi

penyimpangan dari pertumbuhan sel. Sel-sel tersebut akhirnya berkembang menjadi sel kanker
(Gosselin, 1976).
Berdasarkan penelitian sebelumnya formalin pada hewan percobaan positif menyebabkan
kanker sehingga diduga formalin kemungkinan dapat menyebabkan kanker pada manusia
(Sihombing, 1996). Kanker dapat terjadi karena formalin yang bereaksi dengan sel dalam
tubuhakan mengacaukan susunan protein atau RNA sebagai pembentukan DNA di dalam tubuh.
Apabila susunan DNA kacau, maka sel-sel akan mengalami pertumbuhan yang menyimpang
sehingga terjadilah kanker (Alsuhendra dan Ridawati, 2013).

Beberapa survei menunjukkan, alasan para produsen menggunakan bahan pengawet seperti
formalin karena daya awet dan mutu yang dihasilkan menjadi lebih bagus, serta murah harganya
tanpa peduli bahaya yang dapat ditimbulkan. Tuntutan itu melahirkan konsekuensi yang bisa saja
membahayakan, karena bahan kimia semakin lazim digunakan untuk mengawetkan makanan
termasuk juga formalin yang dikenal menjadi bahan pengawet mayat. Hal tersebut ditunjang oleh
perilaku konsumen yang cenderung untuk membeli makanan yang harganya lebih murah, tanpa
memperhatikan kualitas makanan. Bihun yang diuji merupakan salah bahan makanan yang
sangat mungkin ditambahkan dengan formalin karena bihun untuk bakso dalam rombong
biasanya dibiarkan dalam beberapa hari, agar pedagang tidak rugi apabila dagangannya sepi.
Dengan demikian, penggunaan formalin pada makanan seperti mie, bakso, bihun, kerupuk dan
makanan lainnya dianggap suatu hal yang biasa. Sulitnya membedakan makanan seperti bihun
biasa dan bihun yang dibuat dengan penambahan formalin juga menjadi salah satu faktor
pendorong perilaku konsumen itu sendiri.
Formalin sebenarnya bukan merupakan bahan tambahan makanan bahkan merupakan zat
yang tidak boleh ditambahkan pada makanan. Memang orang yang mengkonsumsi bahan pangan

( makanan) sepeti tahu, mie, bakso, ayam, ikan dan bahkan permen. Efek dari bahan makanan
berformalin baru bisa terasa beberapa tahun kemudian. Formalin dapat bereaksi cepat dengan
lapisan lendir saluran pencernaan. Di dalam tubuh cepat teroksidasi membenuk asam format
terutama dihati dan sel darah merah. Pemakaian pada makanan dapat mengakibatkan keracunan
pada tubuh manusa, yaitu rasa sakit perut yang akut disertai muntah- muntah timbulnya depresi
susunan atau kegagalan peredaran darah.
Penggunaan formalin dalam bahan pangan sangat diperhatikan karena akan berdampak
buruk bagi kesehatan, dalam jangka waktu lama dan akan terkumulasi dalam tubuh, yang
menyebabkan keluarnya air mata, pusing, teggorokan serasa terbakar, serta kegerahan. Jika
terpapar formaldehid dalam jumlah banyak, misalnya terminum, bisa menyebabkan kematian.
Dalam tubuh manusia, formaldehid dikonversi menjadi asam format yang meningkatkan
keasaman darah, tarikan nafas menjadi pendek dan sering, hipotermia, juga koma, atau sampai
kepada

kematiannya.

Di

dalam

tubuh,

formaldehid

bisa

menimbulkan

terikatnya DNA oleh protein, sehingga mengganggu ekspresi genetik yang normal (Fahruddin,
2007).
Menurut Dr. Purnama dari Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gajah Mada
(Kompas, 9 Januari 2006) pengawet alami yang dapat menggantikan formalin walaupun tidak
sehebat dan selama formalin adalah :

Menurut Dra. Sukesi M.Si, seorang Dosen Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam ITS, untuk mengurangi kandungan formalin dalam makanan yang telah
diawetkan dengan formalin, ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengurangi
kandungan formalin tersebut dalam makanan yang bersangkutan dengan tidak mengeluarkan
biaya , hanya dengan bagaimana cara memperlakukan bahan makanan itu sebelum dikonsumsi.
Formalin dalam makanan tidak dapat dihilangkan, namun dapat diminimalisir. Deformalinisasi
dapat dilakukan untuk mengurangi kadar formalin pada makanan, yaitu dengan melakukan
perendaman bahan makanan ke dalam tiga macam larutan yaitu: air, air garam dan air leri.
Perendaman yang dilakukan dalam air selama 60 menit mampu menurunkan kadar formalin
sampai 61,25%. Dengan air leri mampu menurunkan kadar formalin sampai 66,03%, sedangkan
pada air garam dapat mengurangi kadar formalin hingga 89,53%. Deformalisasi pada mi baiknya
dilakukan dengan perendaman air panas selama 30 menit
Pengawasan oleh instansi berwenang yang lemah dan rendahnya intensitas penyuluhan
kepada masyarakat tentang bahaya keberadaan bahan toksik seperti formalin di dalam produk
pangan khususnya pangan asal hewan juga merupakan aspek yang dapat menciptakan potensi

munculnya kasus-kasus penggunaan formalin pada produk yang diproduksi atau diperdagangkan
oleh masyarakat. Hal ini sesuai pendapat Alsuhendra dan Ridawati (2013) yang menyatakan
bahwa masih banyaknya produk makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya dan
beracun yang beredar di masyarakat disebabkan oleh berbagai faktor baik karena masih
lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap peredaran makanan yang tidak aman
maupun karena masih rendahnya kesadaran dan tanggung jawab masyarakat terhadap aspek
keamanan pangan
Faktor-faktor kesalahan pada analisis formalin dalam makanan, yaitu :
1. Preparasi sampel tidak menggunakan destilasi dan tidak menambahakn asam fosfat
sehingga reaksi yang terjadi tidak terlalu kuat warna ungu yang timbul adalah ungu
muda.
2. Pemanasan pada penangas air yang kurang dari 15 menit sehingga reaksi yang terbentuk
kurang sempurna.
3. Asam kromatofat tidak hanya digunakan untuk menentukan kadar formalin melainkan
dapat digunakan untuk menentukan kadar fenol, etanol, alcohol tingkat tinggi, olefin,
hidrokarbon aromatic, dan sikloheksanon.
DAFPUS
Alsuhendra dan Ridawati.2013 . Bahan Toksik dalam Makanan. Rosda.Jakarta.
[Depkes R.I, dan Dirjen POM] Depertemen Kesehatan R.I. dan Direktorat
Jenderal POM. 2003. Formalin. Jakarta

Wibowo, S. 2000. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging.Jakarta: Penebar


Swadaya.
Wibowo, S. 2005. Pembuatan Bakso ikan dan Bakso daging. Jakarta:Penebar
Swadaya.
Widyaningsih, T.D. dan Murtini, ES. 2006. Alternatif Pengganti Formalin
PadaProduk Pangan. Jakarta: Trubus Agrisarana.
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi.Jakarta :Gramedia Pustaka Utama
Winarno, F. G. dan T. S. Rahayu. 1994. Bahan Tambahan Untuk Makanan dan
Kontaminan. Jakarta:Pustaka Sinar Harapan.

Anda mungkin juga menyukai