Anda di halaman 1dari 25

BENTUK IMPLIKATUR

DALAM KEGIATAN TRANSAKSI


DI KOPERASI SISWA SMKN KOTA PASURUAN

Oleh: Imron Rosidi, M.Pd

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tuturan siswa dan petugas Koperasi Siswa (Kopsis) dalam peristiwa tuturan (speech
event) yang terjadi pada saat melakukan transaksi sangatlah menarik untuk dikaji. Hal ini karena
ia merupakan tindak praktek sosio-budaya yang tidak hanya memiliki makna literal, tetapi juga
makna nonliteral, atau yang disebut oleh Grice (1975) sebagai natural meaning dan non-natural
meaning. Untuk memahami non-natural meaning pada tuturan siswa dan petugas Kopsis
cenderung diperlukan penjelasan fungsional, eksplisit, dan kontekstual yang lazimnya tidak
terjangkau oleh penjelasan linguistik formal, seperti yang tampak pada tuturan berikut.

(1) Tidak ada kembalinya.


(2) Tidak ada buku sejarah?

Tuturan (1) di atas memiliki makna literal jika tuturan itu dimaksudkan sebagai ekspresi
bahwa penutur (Pn) menginformasikan kepada siswa bahwa uang siswa tidak ada kembalinya.
Namun lain halnya jika tuturan itu berlatar dan bertujuan tertentu serta digunakan partisipan
tertentu akan dijumpai apa yang dikatakan cenderung berbeda dengan apa yang dimaksudkan.
Tuturan (1), jika dituturkan seorang petugas Kopsis kepada siswa dalam sebuah transaksi,
cenderung memiliki alternasi maksud tuturan, antara lain: (1) menginformasikan kepada siswa
bahwa uangnya terlalu besar, dan (2) meminta siswa untuk mengganti uangnya dengan uang
yang lebih kecil.
Tuturan (2) juga memiliki beberapa alternasi maksud. Apabila tuturan (2) disampaikan
oleh seorang siswa kepada petugas Kopsis dalam sebuah transaksi, tuturan tersebut memiliki
alternasi maksud, antara lain: (1) siswa ingin membeli buku Sejarah, dan (2) siswa tidak melihat
buku Sejarah di Kopsis, dan (3) siswa meminta petugas Kopsis untuk mengambilkan buku
Sejarah yang dijual di Kopsis.
Contoh tuturan (1) dan (2) di atas memiliki makna nonliteral di samping makna literal
sehingga ‘apa yang dikatakan’ dan ‘apa yang dimaksudkan’ cenderung berbeda. Keadaan ini
lazim disebut implikatur percakapan (conversation implicature) (IP). Grice dalam (Gasdar, 1979)
menyatakan bahwa apa yang disampaikan dari suatu tuturan terdiri atas dua bagian, yaitu yang
dituturkan tersurat atau tersirat. Dalam sistem yang dibuat Grice, ada dua jenis implikatur, yaitu
implikatur konvensional dan konversasional.
Implikatur konvensional mengandung implikasi yang diperoleh langsung dari makna
kata (yang didengar) bukan dari prinsip percakapan. Itu artinya bahwa implikatur konvensional
adalah makna harfiah seperti yang dinyatakan oleh elemen kalimat secara formal struktural,
sedangkan implikatur nonkonvensional (konversasi-onal) adalah tindak ilokusi yang implikasi
pragmatiknya diambil dari prinsip-prinsip percakapan. Implikatur nonkonvensional inilah yang
saat ini dikenal dengan sebutan implikatur.
Keragaman bentuk tutur, implikasi tuturan, dan kendala konteks pemakaian tuturan
merupakan masalah bertutur yang cenderung menimbulkan salah maksud tutur, dan bahkan tidak
menutup kemungkinan terjadi konflik antara Pn dengan mitra tutur (Mt). Sebagai contoh,
seorang siswa bermaksud untuk bergurau dengan bertutur ‘kuenya kok mahal-mahal?’ mungkin
akan ditanggapi lain oleh petugas Kopsis sebagai penghinaan. Hal ini diakibatkan adanya
kendala tujuan ketika melakukan interaksi, yaitu Pn memiliki tujuan tutur yang berbeda dengan
Mt serta tidak adanya kerja sama yang baik antara siswa sebagai Pn dengan petugas Kopsis
sebagai Mt. Selain itu, kendala situasi dan kondisi Mt pada saat terjadi interaksi antara siswa
dengan petugas Kopsis juga dapat mempengaruhi perbedaan maksud tersebut.
Interaksi antara siswa dan petugas Kopsis dalam sebuah transaksi hendaknya dapat
berjalan dengan baik. Oleh sebab itu, ada perangkat kompetensi yang dipersyaratkan dalam
berinteraksi. Kompetensi yang dimaksud adalah kompetensi komunikasi (Ibrahim, 1993:31).
Kompetensi komunikasi meliputi: pertama, pengetahuan kebahasaan (language knowledge),
meliputi: (a) elemen-elemen verbal dan nonverbal, (b) pola-pola elemen dalam peristiwa tutur
tertentu, dan (c) makna varian dalam situasi tertentu. Kedua, keterampilan interaksi (interaction
skills) yang meliputi: (a) ciri-ciri penting situasi komunikasi, (b) seleksi dan interpretasi bentuk-
bentuk yang tepat dan sesuai dengan situasi, peran dan hubungan tertentu, (c) norma-norma
interaksi dan interpretasi, dan (d) strategi untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Ketiga,
pengetahuan kebudayaan (cultural knowledge) mencakup: (a) struktur sosial, (b) nilai, (c) sikap,
(d) skema kognitif, dan (e) proses enkulturasi kompetensi Pn yang sama-sama dimiliki kelompok
Pn. Ketiga faktor komunikasi tersebut memiliki arti penting dalam percakapan antara Pn dengan
Mt.
Interaksi antara siswa dan petugas Kopsis sebagai bentuk tuturan tentunya memiliki
komponen tutur, seperti latar tutur (setting), peserta tutur, tujuan tutur, nada tutur, topik tuturan,
norma tutur, sarana tutur, dan jenis tuturan. Dalam penelitian ini tidak semua komponen tutur di
atas menjadi titik tolak kajian. Komponen tutur yang menjadi kajian antara lain latar tutur,
partisipan tutur, dan tujuan tutur. Interaksi antarasiswa dan petugas Kopsis dalam sebuah
transaksi sebagai sebuah tuturan juga memiliki berbagai fungsi komunikasi dan tujuan, misalnya
menyampaikan informasi, meminta informasi, menyuruh, mengajak, memuji, dan menolak.
Implikatur adalah subkajian dalam pragmatik. Berdasarkan kajian kepusta-kaan, ada
sejumlah penelitian yang mengkaji implikatur. Pertama, kajian implikatur yang dilakukan oleh
Wiryotinoyo (1996) dengan judul Implikatur Percakapan Anak Usia Sekolah Dasar. Hasil
temuan penelitian menyebutkan bahwa implikatur percakapan (IP) anak usia SD ternyata sudah
bervariasi dan kompleks, berupa kalimat tunggal dan majemuk, berupa kalimat berita, tanya, dan
perintah. Satuan pragmatis IP ada dua belas macam, yaitu: satuan menginformasikan fakta,
menyatakan kehendak, menyatakan kesenangan, menegaskan, menilai, mengingatkan,
memastikan, meyakin-kan, mengeluh, bertanya, meminta, dan menyuruh. Implikasi pragmatis IP
ada enam macam, yaitu: implikasi menginformasikan fakta, mengingatkan, meminta, mengajak,
menolak dan menyuruh.
Kedua, penelitian IP yang dilakukan oleh Arifin (2000) dengan judul Implikatur
Percakapan Anak usia Prasekolah. Penelitian ini menunjukkan bahwa wujud IP bahasa
Indonesia anak usia prasekolah sudah bervariasi dan kompleks, berwujud kalimat tunggal dan
majemuk, berupa kalimat berita, tanya, dan perintah. Implikasi pragmatis ditemukan enam
macam, yaitu: menginformasikan fakta, mengingatkan, memerintah, mengajak, menolak, dan
menyuruh. Fungsi komunikatif IP bahasa Indonesia anak usia prasekolah berguna untuk
bersosialisasi, menyakinkan atau mempengaruhi, tukar-menukar sikap moral, tukar-menukar
emosi, tukar-menukar informasi intelektual dan tukar-menukar informasi faktual. Strategi yang
digunakan oleh anak usia prasekolah dalam menggunakan bentuk-bentuk IP bahasa Indonesia
adalah strategi pelepasan, pengembangan ilokusi, pembinaan, dan penalaran.
Ketiga, penelitian IP yang dilakukan oleh Purnomo CX (2002) dengan judul Implikatur
Percakapan dalam MOP (Masyarakat Tutur Jayapura). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
ada enam katagori makna implikasi pragmatis, yaitu: menginformasikan fakta, mengingatkan,
meminta, menyuruh, mengajak, dan berjanji. Pola tuturan masyarakat Jayapura tidak menganut
sistem kelas atau tingkatan kelas pemakai bahasa, seperti yang terjadi pada masyarakat Jawa.
Berdasarkan ketiga penelitian tersebut tampaknya bentuk implikatur dalam kegiatan
transaksi antara siswa dan petugas Kopsis belum tergarap. Selain itu, tuturan yang disampaikan
siswa dan petugas Kopsis dalam sebuah transaksi ada yang dapat langsung dimengerti, ada juga
yang tidak langsung dapat dimengerti sehingga perlu daya interpretasi dari Mt, seperti yang
tampak pada contoh di awal uraian ini. Hal ini disebabkan tuturan yang disampaikan siswa
maupun petugas Kopsis pada contoh tersebut memiliki makna nonliteral di samping makna
literal, yang biasa disebut dengan implikatur. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk mengkaji
bentuk implikatur dalam kegiatan transaksi antara siswa dan petugas Kopsis di SMKN kota
Pasuruan.

1.2 Masalah Penelitian


Adapun yang menjadi permasalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana bentuk
implikatur dalam transaksi antara siswa dan petugas Kopsis di SMK Negeri kota Pasuruan?”
Masalah ini dirinci menjadi submasalah sebagai berikut.
1) Bagaimanakah wujud tutur bentuk implikatur dalam transaksi antara siswa dan petugas
Kopsis di SMKN kota Pasuruan?
2) Bagaimanakah implikasi pragmatis wujud tuturan bentuk implikatur dalam transaksi antara
siswa dan petugas Kopsis di SMKN kota Pasuruan?
3) Bagaimanakah kendala penggunaan bentuk implikatur dalam transaksi antara siswa dan
petugas Kopsis di SMKN kota Pasuruan?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan latar belakang masalah, maka ada tiga tujuan khusus dalam penelitian ini.
Ketiga tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Memerikan wujud tuturan bentuk implikatur dalam transaksi antara siswa dengan petugas
Kopsis di SMKN kota Pasuruan.
2) Memerikan implikasi pragmatis wujud tuturan bentuk implikatur dalam kegiatan transaksi
antara siswa dan petugas Kopsis di SMKN kota Pasuruan.
3) Memerikan kendala dalam penggunaan bentuk implikatur dalam kegiatan transaksi antara
siswa dan petugas Kopsis di SMKN kota Pasuruan.

1.4 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoritis maupun praktis. Manfaat
teoritis yang diharapkan adalah sebagai bahan pertimbangan dalam kajian pragmatik, khususnya
yang berkaitan dengan implikatur. Manfaat praktisnya antara lain sebagai berikut.
(a) Bagi guru bahasa Indonesia
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan guru bahasa Indonesia sebagai salah
satu alternasi bahan pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya dalam pembelajaran memahami
maksud sebuah tuturan.
(b) Bagi penyusunan bahan ajar bahasa Indonesia
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu alternasi bahan acuan
dalam penyusunan bahan ajar. Materi bahan ajar dapat menggunakan rekaman peristiwa
komunikasi yang sebenarnya dan bersifat alamiah, misalnya tuturan siswa dan petugas Kopsis
dalam sebuah transaksi.
(c) Bagi penelitian selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternasi bahan informasi bagi
penelitian-penelitian selanjutnya di bidang pragmatik, khususnya dalam kajian implikatur.

1.5 Asumsi
Penelitian “Bentuk Implikatur dalam kegiatan transaksi antara siswa dan petugas
Kopsis di SMKN kota Pasuruan” ini memiliki asumsi sebagai berikut.
(1) Bentuk implikatur merupakan produk sosiobudaya Pn-nya. Oleh sebab itu, ia memiliki
kekhasan tersendiri yang menuntut penjelasan fungsional, eksplisit, dan kontekstual.
(2) Bentuk implikatur merupakan bagian dari tindak tutur dalam sebuah peristiwa tutur
tertentu.
(3) Bentuk implikatur memiliki keragaman fungsi dalam berbagai konteks.
(4) Bentuk implikatur dalam penggunaan tutur sehari-hari sering mengalami kendala
memahami maksud tutur, terutama kendala nonbahasa, misalnya latar tutur (setting),
partisipan tutur, dan tujuan tutur.

1.6 Relevansi dan Kebermaknaan Masalah


Dalam konteks makro, penelitian ini termasuk penelitian sosiolinguistik, sedangkan
dalam konteks mikro, penelitian ini termasuk dalam penelitian pragmatik. Dikatakan demikian
karena penelitian ini lebih memfokuskan makna tutur secara nonliteral dan terikat konteks
interaksi antara siswa dan petugas Kopsis dalam sebuah transaksi. Makna nonliteral tersebut
selalu berbeda dengan makna yang membangun sebuah tuturan yang dilakukan siswa dan
petugas Kopsis atau sebaliknya.
Dari segi sosiolinguistik, penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memahami
makna tuturan yang disampaikansiswa dan petugas Kopsis dalam sebuah transaksi atau
sebaliknya, yang dihubungkan dengan variabel-variabel sosial, seperti: (a) strata sosial penutur,
(b) hubungan sosial antarpatisipan dalam berinteraksi berbahasa, (c) perbedaan latar sosial, dan
(d) perbedaan topik.
Dari segi kajian pragmatik, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan deskripsi
tentang bentuk implikatur dalam transaksi antara siswa dan petugas Kopsis, memerikan wujud
tuturan bentuk implikatur dalam transaksi antara siswa dan petugas Kopsis, memerikan implikasi
pragmatis wujud tuturan bentuk implikatur dalam transaksi antara siswa dan petugas Kopsis, dan
memerikan kendala penggunaan bentuk implikatur dalam kegiatan transaksi di Koperasi Siswa
SMKN Pasuruan.
Dari segi pengajaran bahasa Indonesia, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai bahan ajar dalam pengajaran bahasa Indonesia, khususnya dalam pembelajaran yang
berhubungan dengan pragmatik di SLTP maupun di SMU.

1.8 Landasan Teori


Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan
kenyataan di lapangan. Selain itu, landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran
umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Ia harus mampu
digunakan untuk deskripsi dan eksplanasi bentuk implikatur dalam transaksi antara siswa dengan
petugas Kopsis di SMKN kota Pasuruan.
Sehubungan dengan itu, ada dua teori yang relevan dalam kajian ini. Kedua teori itu
adalah teori tindak tutur yang dikemukakan oleh (Searle, 1969; Austin, 1962; dan Leech, 1983)
dan teori pragmatik yang dikemukakan oleh (Austin, 1962; Searle, 1973; Leech, 1989; dan
Grice, 1991). Teori tindak tutur diharapkan dapat mendes-kripsikan dan mengeksplanasikan
keberadaan implikatur sebagai bagian tindak tutur dalam peristiwa tutur antarasiswa dan petugas
Kopsis dalam kegiatan transaksi. Teori pragmatik diharapkan dapat mendeskripsikan dan
mengeksplanasikan: (a) bentuk tutur dan fungsinya dalam tuturan siswa dan petugas Kopsis, dan
(b) kendala penggunaan bentuk tutur implikatur dalam sebuah kegiatan transaksi di Koperasi
Siswa SMK Negeri kota Pasuruan.

1.9 Definisi Operasional


Beberapa istilah dalam penelitian ini yang perlu didefinisikan, yaitu: (1) im-plikatur
percakapan, (2) bentuk implikatur, (3) wujud tuturan, (4) implikasi pragmatis, (5) transaksi
antara siswa dan petugas Kopsis, (6) bentuk lingual, (7) wujud implikatur, (8) kendala
penggunaan implikatur, dan (9) situasi tutur. Pendefinisian ini perlu dilakukan untuk memberi
pemahaman kepada pembaca terhadap istilah-istilah tersebut. Definisi istilah-istilah tersebut
adalah sebagai berikut.
(1) Implikatur percakapan adalah makna tuturan yang secara tidak langsung terkan-dung
dalam tuturan yang dituturkan oleh Pn kepada Mt dalam bentuk percakapan verbal.
(2) Bentuk implikatur adalah wujud dari tindak tutur dalam sebuah peristiwa tutur tertentu
yang memiliki makna literal dan nonliteral sehingga dituntut adanya penjelasan fungsional,
eksplisit, dan kontekstual.
(3) Wujud tuturan adalah bentuk tuturan yang digunakan Pn (siswa/petugas Kopsis) untuk
menyampaikan pesan kepada Mt (siswa/petugas Kopsis) secara verbal dalam sebuah
transaksi di Kopsis SMKN kota Pasuruan.
(4) Implikasi pragmatis adalah satuan pragmatis yang tersirat atau terimplikasi dalam satuan
pragmatis yang secara tidak langsung diimplikasikan dengan bentuk lingual oleh Pn dalam
situasi tutur.
(5) Transaksi antarasiswa dan petugas Kopsis adalah kegiatan tawar-menawar barang antara
Pn dengan Mt secara verbal maupun nonverbal dalam sebuah transaksi di Kopsis SMKN kota
Pasuruan.
(6) Bentuk lingual adalah satuan kebahasaan dari suatu tuturan yang berfungsi menyajikan
satuan pragmatis. Bentuk lingual dapat berupa morfem, kata, frasa, klausa, atau kalimat.
(7) Wujud implikatur adalah sejumlah wujud tuturan yang realisasinya berdasarkan makna
diluar bentuk linguistik. Wujud konkretnya berupa tuturan kalimat berita, kalimat tanya,
kalimat perintah, dan kalimat seru.
(8) Kendala penggunaan implikatur adalah hambatan-hambatan yang dialami peserta tutur
dalam menggunakan tuturan yang memiliki implikatur, yang meliputi latar tutur (setting),
partisipan tutur, dan tujuan tutur.
(9) Situasi tutur adalah keadaan yang menjiwai tuturan dalam suatu percakapan yang terdiri
atas aspek Pn, Mt, konteks, waktu, dan tempat. Situasi tutur ini dapat membantu Mt dalam
menginterpretasikan implikasi pragmatis suatu tuturan.

II. KAJIAN PUSTAKA DAN MODEL TEORI


2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Hakikat Implikatur
Implikatur adalah makna yang tersirat melalui ujaran sebuah kalimat dalam sebuah
konteks, meskipun makna itu bukan merupakan suatu bagian atau pemenuhan dari apa yang
dituturkan. Implikatur dapat pula diartikan sebagai implikasi makna berupa satuan pragmatis dari
suatu tuturan, baik lisan maupun tulisan. Implikatur merupakan kegiatan menganalisis makna
terselubung dari sebuah tuturan yang disampaikan oleh Pn.
Grice menyatakan bahwa ada dua jenis implikatur, yaitu impikatur konvensio-nal dan
konversasional, atau performatif langsung dan performatif tidak langsung dalam tindak tutur.
Fraser (1974) menamakannya dengan sebutan ceremonial dan vercular. Bach dan Hanish (1979)
menyebutkannya sebagai tindak tutur konvensional dan nonkonvensional.
Implikatur dapat menjembatani antara apa yang dituturkan oleh Pn dengan apa yang
menjadi makna sebuah tuturan, dengan mengacu pada asumsi kedua prinsip bertutur yang
dipakainya. Konsep implikatur yang pertama kali dikemukakan oleh Grice pada ceramah Wiliam
James di Universitas Harvard pada tahun 1967 sebagai solusi untuk menanggulangi persoalan
makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan dengan teori semantik.
Lebih lanjut, Grice (1975) mengemukakan bahwa pada dasarnya implikatur berkaitan
dengan prinsip umum dalam pragmatik. Prinsip-prinsip umum tersebut adalah adanya kerja sama
yang konstributif antara Pn dengan Mt dalam suatu percakapan. Kerjasama yang dimaksud
adalah bahwa antara Pn dan Mt mengharapkan sumbangan sesuai yang diperlukan dan tingkat
penerimaan yang sesuai dengan makna yang dapat diterima dan disepakati sehingga sejumlah
implikasi makna tuturan dapat dipahami oleh Mt. Implikatur yang dikemukakan oleh Grice
dimaksudkan sebagai tuturan yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan atau tindak tutur
tidak langsung. Seorang petugas Kopsis yang ingin menunjukkan barang yang tersedia di Kopsis
kepada siswa cukup mengimplikasikan dengan tuturan seba-gai berikut.

(3) petugas Kopsis : Bisa saya bantu?


siswa : ada buku Sejarah?

Dengan memperhatikan kebiasaan petugas Kopsis yang selalu bertutur Bisa saya bantu
ketika ada siswa yang sedang kebingungan, siswa langsung dapat memahami makna tuturan
tersebut. Mengacu pada prinsip kerjasama seperti yang dikemukakan oleh Grice dan pengalaman
sebelumnya, siswa langsung bertanya balik tentang ada tidaknya buku Sejarah, tidak menolak,
misalnya dengan tuturan, saya tidak sedang meminta bantuan. Jadi, implikatur akan dengan
mudah dipahami oleh Pn dan Mt jika keduanya telah berbagi pengalaman dan pengetahuannya.
Implikatur dapat memberikan penjelasan secara fungsional mengenai sejum-lah fakta
kebahasaan yang berkaitan dengan konteks tuturan yang mengikatnya, ditambah prinsip-prinsip
bertutur seperti Prinsip Kerjasama (PK) dan Prinsip Sopan Santun (PS). Implikatur mampu
menghadirkan sejumlah makna tuturan selain yang terungkap secara lingual (berwujud
tanda/lambang) atau secara struktural.
Implikatur sangat penting dalam suatu tindak tutur karena implikatur mampu
memberikan beberapa konstribusi, yakni: (1) menawarkan sejumlah penjelasan fung-sional
fakta-fakta linguistik yang signifikan, (2) implikatur memberi sejumlah pertim-bangan eksplisit
mengenai seberapa besar kebermaknaannya, lebih dari apa yang sebenarnya ‘dikatakan’, (3)
cenderung mempengaruhi simplikasi pokok, baik pada struktur maupun isi uraian semantik, (4)
sekurang-kurangnya sejumlah konsep yang berkaitan erat agaknya cukup penting jika berbagai
macam fakta pokok mengenai bahasa dipertimbangkan secara tepat, (5) prinsip-prinsip yang
melahirkan implikatur memiliki suatu daya penjelasan yang sangat umum, beberapa prinsip
dasar memberi-kan penjelasan panjang lebar tentang fakta-fakta nyata (Levinson, 1985: 97-100).

2.1.1.1 Konsep Implikatur dan Implikatur Percakapan


Implikatur adalah implikasi makna berupa satuan pragmatis dari suatu tuturan baik lisan
ataupun tulisan, sedangkan implikatur percakapan adalah implikasi pragmatik yang terkandung
dalam bentuk ligual yang dituturkan oleh Pn kepada Mt dalam percakapan. Dalam implikatur
maupun implikatur percakapan dapat saja ber-muatan implikasi pragmatik atau implikasi
sosiokultural, artinya bahwa dalam satu tuturan dalam percakapan bisa saja memiliki kedua
implikasi pragmatik dan implikasi sosiokultural.
Realita yang kita lihat bahwa ternyata pengungkapan bahasa tidak dapat dilepaskan dari
konteks sosiokultural pemakaian bahasa itu sendiri. Implikatur konversasional (percakapan)
merupakan salah satu gagasan terpenting dalam pragmatik. Sifat menonjol dalam konsep tersebut
dalam karya mutakhir pragmatik disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, implikatur berdiri sebagai sebuah contoh paradigmatik fenomena liguistik.
Sumber-sumber rumpun kesimpulan pragmatis dapat diperlihatkan berada di luar
pengorganisasian bahasa, pada sejumlah prinsip umum untuk interaksi koope-ratif, dan sekalipun
terhadap struktur bahasa.
Kedua, kontribusi penting yang diberikan oleh implikatur adalah bahwa gagasan
tersebut memberikan sejumlah pertimbangan implisit mengenai seberapa mungkin ia bermakna
(dalam pengertian umum) lebih dari sekadar apa yang sebenar-nya dikatakan (konvensional
liguistik).
Ketiga, gagasan implikatur agaknya cenderung mempengaruhi simplikasi pokok baik
dalam struktur dan isi uraian semantik. Keempat, implikatur atau seku-rang-kurangnya sejumlah
konsep yang berkaitan erat, agaknya cukup penting jika berbagai macam fakta pokok mengenai
bahasa dipertimbangkan secara tepat, dan kelima, prinsip-prinsip yang melahirkan implikatur
memiliki daya penjelas yang sangat umum (Levinson, 1985).

2.1.1.2 Ragam Implikatur


Menurut Grice (dalam Gasdar, 1979) bahwa implikatur terbagi menjadi dua jenis yakni
implikatur konvensional dan implikatur nonkonvensional. Implikatur kon-vensional mengandung
implikasi yang diperoleh langsung dari makna kata (yang didengar) bukan dari prinsip
percakapan. Implikatur konvensional dapat dianggap memiliki kandungan atau makna yang
relatif tetap, dan dianggap tidak memiliki tendensi universal dalam kaitannya dengan kondisi
kebenaran.
Berbeda dengan implikatur konvensional, implikatur nonkonvensional (kon-versasional)
adalah tindak ilokosi yang implikasi pragmatiknya diambil dari prinsip-prinsip percakapan.
Implikatur nonkonvensional inilah yang saat ini dikenal dengan sebutan implikatur.
Grice (dalam Wiryotinoyo, 1996:40-41) menyampaikan bahwa ada lima ciri implikatur
konversasional (percakapan). Pertama, dalam keadaan tertentu implikatur percakapan dapat
dibatalkan, baik dengan cara eksplisit atau pun dengan cara kon-tekstual (cancellable). Kedua,
ketidakterpisahan dengan cara mengatakan sesuatu itu sehingga orang memakai tuturan
bermuatan implikatur percakapan untuk menyam-paikannya (nondetachable). Ketiga, implikatur
percakapan mempersyaratkan makna konvensional dari kalimat yang dipakai, tetapi isi
implikatur percakapan tidak masuk dalam makna konvensional tuturan tersebut
(nonconventional). Keempat, kebenaran isi implikatur percakapan tidak tergantung pada apa
yang dikatakan (calculable). Kelima, implikatur percakapan tidak dapat diberi penjelasan
spesifik yang pasti sifatnya (indeterminate).

2.1.1.3 Implikatur sebagai Subkajian Pragmatis


Implikatur sebagai wujud tuturan yang bermakna terselubung dalam perca-kapan secara
bilateral, merupakan bentuk kajian pragmatik. Dikatakan demikian karena dalam suatu tindak
tutur yang melibatkan Pn dan Mt, khususnya dalam produksi tuturan, pemaknaannya dilakukan
secara dikotomis. Pertama, pemahaman makna tuturan secara linguistik sebagaimana yang tejadi
pada aliran stukturalis atau aliran tradisional Chomsky, oleh Grice dinamakan pemahaman
konvensional. Kedua, pemahaman makna tuturan secara fungsional, artinya bahwa tuturan
dipahami melalui unsur-unsur nonlinguistik termasuk konteks tutur yang mengikat tuturan itu
yang disebut pemahaman makna tuturan secara konversasional atau percakapan.
Dari definisi kedua dapat disimpulkan bahwa pemahaman makna tuturan secara
konversasional yang bersifat nonlinguistik itu secara fungsional masuk dalam kajian pragmatik.
Pengertiannya bahwa suatu tuturan yang dituturkan Pn kepada Mt secara lingual dalam
komunikasi verbal harus dilihat secara kontekstual sehingga maksud tuturan yang dituturkan
dapat dipahami, atau paling tidak Mt memahami untuk apa suatu tuturan dibuat atau dilakukan
oleh Pn. Pemahaman maksud tuturan nonkonvensional itu disebut implikatur.
Keberadaan implikatur dalam suatu percakapan secara fungsional dapat menjawab
keterbatasan pemahaman bahasa secara struktural. Mt harus memahami fungsi-fungsi tuturan
yang disampaikan Pn secara komprehensif dan utuh. Implikatur adalah wujud produk tutur
secara fungsional yang mengimplikasikan makna yang berupa satuan pragmatis dalam
percakapan itu dapat dikategorikan ke dalam bidang kajian pragmatik.

2.1.2 Prinsip Kerjasama (PK)


Melalui teori implikatur, Grice mengemukakan dua macam teori. Dalam teori yang
pertama, Grice membedakan adanya dua macam makna di dalam komunkasi, makna alamiah
(natural meaning), dan makna non-alamiah (nonnatural meaning).
Teori Grice yang kedua membimbing orang agar dapat memakai bahasa secara efektif
dan efisien dalam melakukan percakapan untuk mentransaksikan berbagai jenis isi komunikasi.
Menurut Grice (1991:309), percakapan akan mengarah pada usaha penyamaan unsur-unsur pada
transasksi kerja sama yang semula berbeda dengan jalan: (1) menyamakan tujuan jangka pendek,
meskipun tujuan akhirnya berbeda atau bahkan bertentangan, (2) menyatukan sumbangan
partisipan sehingga Pn dan Mt saling membutuhkan, dan (3) mengusahakan agar Pn dan Mt
mempunyai pengertian bahwa transaksi berlangsung dengan suatu pola tertentu yang cocok,
kecuali bila bermaksud hendak mengakhiri kerja sama.
Untuk keperluan tersebut, Grice mengemukakan PK yang berbunyi “Buatlah
sumbangan percakapan Anda seperti yang diinginkan pada saat berbicara berdasarkan tujuan
percakapan yang disepakati atau arah percakapan yang sedang Anda ikuti.” Prinsip yang
digunakan dalam melakukan percakapan terdiri atas empat maksim. Keempat maksim beserta
submaksimnya menurut Grice (1991:307), Levinson (1987: 101) adalah sebagai berikut.
1) Maksim Kuantitas
a. Buatlah sumbangan Anda seinformatif yang diperlukan.
b. Jangan membuat sumbangan Anda lebih informatif dari yang diper-lukan.

2) Maksim Kualitas
a. Jangan mengatakan apa yang Anda yakini salah.
b. Jangan mengatakan sesuatu yang Anda tidak mempunyai buktinya.

3) Maksim Hubungan
Bicaralah yang relevan.

4) Maksim Cara
a. Hindarilah ungkapan yang membingungkan.
b. Hindarilah ambiguitas.
c. Bicaralah secara singkat.
d. Bicaralah secara teratur.

Leech (1989:8) mengomentari maksim itu sebagai kendala di dalam berbaha-sa.


Maksim-maksim itu berlaku secara berbeda dalam konteks-konteks penggunaan bahasa yang
berbeda. Maksim berlaku dalam tingkatan berbeda dan tidak ada prinsip yang berlaku secara
mutlak, atau sebaliknya tidak berlaku sama sekali. Maksim dapat berlawanan satu sama lain dan
dapat dilanggar tanpa meniadakan jenis tindakan yang dikendalikan. Leech (1989:80)
berkomentar bahwa justru karena hal itulah diperlukan adanya sosiopragmatik untuk
menjelaskan bagaimana masyarakat yang berbeda menggunakan maksim tersebut.
Leech (1989:80) berpendapat bahwa PK dibutuhkan untuk memudahkan pen-jelasan
hubungan antara makna dan daya. Penjelasan demikian sangat memadai, khususnya untuk
memecahkan masalah yang timbul di dalam semantik yang menggu-nakan pendekatan
berdasarkan kebenaran. Akan tetapi, PK itu sendiri tidak mampu menjelaskan mengapa
seseorang sering menggunakan cara yang tidak langsung di dalam menyampaikan maksud. PK
juga tidak dapat menjelaskan hubungan antara makna dan daya dalam kalimat nondeklaratif.
Untuk mengatasi kelemahan itu, Leech mengajukan prinsip lain di luar PK, yang dikenal dengan
Prinsip Sopan Santun (PS).

2.1.3 Prinsip Sopan Santun (PS


Setelah mengemukakan keempat maksim kerjasama, Grice (1991:308) juga
menyebutkan adanya aturan lain yang bersifat sosial, estetis, dan moral yang biasanya diikuti
orang dalam melakukan percakapan. Misalnya, ‘Anda harus sopan’ yang kemudian juga dapat
melahirkan IP. Aturan kesopanan itu oleh Leech dinilai tidak setingkat dengan maksim PK dan
dapat ditambahkan saja ke dalam empat maksim Grice. Aturan itu merupakan dasar pemakaian
bahasa tersendiri, yang disebut prinsip Sopan Santun (PS).
Leech (1989:132) selanjutnya mengemukakan selengkapnya PS yang meliputi enam
maksim. Keenam maksim beserta submaksimnya adalah sebagai berikut.
1) Maksim Kearifan (tact maxim)
a. Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin.
b. Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.

2) Maksim Kedermawanan (generosity maxim)


a. Buatlah keuntungan sendiri sekecil mungkin.
b. Buatlah kerugian sendiri sebesar mungkin.

3) Maksim Pujian (approbation maxim)


a. Kecamlah orang lain sedikit mungkin.
b. Pujilah orang lain sebanyak mungkin.
4) Maksim Kerendahan Hati (modesty maxim)
a. Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin.
b. Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.
5) Maksim Kesepakatan (agreement maxim)
a. Usahakan agar ketidaksepakatan antara diri dan orang lain terjadi sedikit
mungkin.
b. Usahakan agar kesepakatan antara diri dan orang lain terjadi sebanyak
mungkin.

6) Maksim Simpati (sympathy maxim)


a. Kurangilah rasa antipati antara diri dan orang lain sebanyak mungkin.
b. Tingkatkan rasa simpati diri terhadap orang lain setinggi mungkin.

Terhadap setiap maksim, Leech memberikan keterangan bagaimana hubungan antara


maksim dan ilokusi. Maksim kearifan dan kedermawanan berlaku dalam ilokusi impositif dan
komisif, maksim pujian dan kerendahan hati dalam ilokusi ekspresif dan asertif, dan maksim
kesepakatan dan simpati hanya dalam ilokusi asertif.
PS tidak hanya dianggap sebagai prinsip yang sekadar ditambahkan saja pada PK, tetapi
lebih jauh dari itu, PS diperlukan untuk melengkapi PK dalam mengatasi kesulitan. PS
diperlukan karena PK tidak dapat menerangkan mengapa orang sering berbicara tidak langsung
di dalam menyampaikan pesan. Selain itu, PK tidak dapat menerangkan bagaimana hubungan
antara makna dan daya dalam kalimat-kalimat yang bukan pernyataan.
Tentang PK dan PS, Nababan (1987:34) mengemukakan bahwa kedua prinsip yang
menghasilkan IP itu dalam pergaulan sosial sama-sama bekerja. Dalam suatu situasi, PS lebih
dominan, tetapi dalam situasi lain, PK lebih dominan untuk menen-tukan apa yang sewajarnya
diucapkan oleh Pn dan mengarahkan bagaimana seharus-nya Mt menginterpretasikan suatu
tuturan yang diucapkan oleh Pn.

2.1.4 Hakikat Ilokusi


Austin (1962:10) mengatakan bahwa ilokusi adalah ujaran yang mempunyai kekuatan
tertentu (konvensional), seperti: menginformasikan, memberi perintah, mengingatkan, dan
sebagainya. Dengan kata lain, tindak ilokusi adalah tindak dalam menyatakan sesuatu. Searle
(1969:24) mengatakan bahwa tindak ilokusi adalah melakukan tindak itu sendiri, seperti:
menyatakan, bertanya, memberi perintah, dan memberi janji.
Uraian di atas mengandung makna bahwa yang dipentingkan dalam tindak ilokusi
adalah tanggung jawab Pn untuk melakukan suatu tindakan sesuai dengan isi tuturan. Dalam
tindak tutur ilokusi didapatkan daya atau kekuatan (force) yang diwajibkan Pn melakukan suatu
tindakan tertentu. Dengan kata lain, mengujarkan kalimat apa saja, Pn dapat dipandang telah
melakukan suatu tindakan ilokusioner (Brown dan Yule, 1983). Secara konvensional yang
berhubungan dengan ilokusioner adalah kekuatan yang dapat diungkapkan, seperti berjanji,
meminta maaf, memperi-ngati, menasihati, dan mengagumi, seperti tampak pada tuturan berikut.
(4) Saya tidak membawa uang.
Tuturan (4) selain menginformasikan sesuatu, juga terkandung suatu per-mintaan maaf.
Tuturan tersebut bersifat informasi apabila disampaikan oleh seorang siswa kepada petugas
Kopsis yang menawarkan jajanan yang harganya cukup mahal. Siswa tersebut tidak dapat
membeli karena tidak membawa uang. Akan tetapi, tuturan tersebut mengandung makna
permintaan maaf dari seorang siswa kepada petugas Kopsis karena dia tidak membawa uang
yang cukup untuk membeli jajan tersebut.
Uraian di atas dapatlah ditafsirkan bahwa tindak ilokusi sukar diidentifikasi terlebih
dahulu sebab harus memperhatikan siapa Pn dan siapa Mt, kapan, di mana tuturan terjadi, yang
semuanya ini juga menentukan strategi atau cara menutur-kannya, baik secara verbal maupun
nonverbal.

2.1.4.1 Konsep Ilokusi


Austin dan Searle (1962) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidaknya ada tiga
jenis tindakan yang mungkin diwujudkan Pn di dalam berbahasa, yaitu: (1) tindak
mengungkapkan sesuatu (lokusioner/lokusi), (2) tindak melakukan sesuatu (ilokusioner/ilokusi),
dan (3) tindak mempengaruhi lawan bicara (perlokusioner/ perlokusi).
Pertama, tindak tutur lokusi (loccutionary act). Tindak tutur ini semata-mata hanyalah
tindak bicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan makna kata atau makna kalimat sesuai
dengan makna kata itu (kamus) atau makna kalimat sesuai dengan kaidah sintaksis. Dalam
tataran ini, makna kata atau kalimat yang ada tidak mempedulikan maksud dan fungsi tuturan
yang merupakan perpanjangan atau perluasan makna kata itu secara harfiah. Tindak tutur lokusi
merupakan aktivitas bertutur tanpa disertai tanggung jawab Pn untuk melakukan suatu tindakan
tertentu. Tuturan ”saya haus” dalam cakupan lokusi dipahami secara struktural artinya bahwa
Saya sebagai subjek yang merupakan kata ganti orang pertama tunggal (Pn), dan haus mengacu
pada keadaan tenggorokan yang kering dan harus dibasahi, tanpa bermaksud untuk meminta
minum. (Wijana, 1996) mengatagorikan tindak tutur loku-si sebagai tindak tutur langsung.
Kedua adalah tindak tutur ilokusioner atau ilokusi (iloccutionary act). Tindak tutur ini
adalah tindak melakukan sesuatu, pada tataran ilokusi membicarakan mak-sud, fungsi, atau daya
tutur yang dituturkan. Tuturan “Saya haus” yang dituturkan Pn mengacu pada makna yang lebih
luas di luar yang diucapkan, yaitu penyampaian tuturan itu dimaksudkan untuk meminta minum
kepada Mt atau pendengar.
Ketiga, Perlokusioner atau pelokusi, menurut Austin mengacu ke efek yang dihasilkan
Pn dengan mengatakan sesuatu. Tuturan ”Saya haus” yang diucapkan oleh seorang penculik
anak, tentunya tidak sama maknanya dengan yang dimaksudkan pada lokusi dan ilokusi. Pada
tataran perlokusi, tuturan “saya haus” itu diucapkan oleh penculik atau penyamun dapat
berimplikasi mempengaruhi, menakuti korban, karena besar kemungkinannya bahwa
sebelumnya korban telah diberitahu bahwa si penculik suka minum darah, yang menyebabkan
anak (korban) takut.
Austin (1962:10) mengatakan bahwa tindak ilokusi adalah ujaran yang mempunyai
kekuatan tertentu (konvensional), seperti: menginformasikan, memberi perintah, mengingatkan,
dan sebagainya. Tindak tutur ilokusi menuntut pihak Pn untuk melakukan suatu tindakan tertentu
atas tuturan yang dituturkan sendiri. Dalam tindak tutur ini, Pn memiliki tanggung jawab untuk
melakukan suatu tindakan terten-tu atas tuturan yang dituturkannya.
Tindak ilokusi adalah makna tuturan yang melalui pemahaman konteksnya dipahami
berbeda oleh Mt, artinya bahwa ilokusi sangat terkait dengan apa yang dilakukan Mt dari tindak
mengatakan sesuatu yang dituturkan oleh Pn. Tindak ilokusi dapat digolongkan ke dalam tindak
menyatakan sesuatu (of saying) yang berbeda dengan tindak mengatakan sesuatu (in saying).
Ilokusi sebagai suatu tindak ujar melahirkan sejumlah makna tuturan yang erat
kaitannya dengan konteks yang mengikat tuturan dalam bertutur (percakapan). Kedudukan
ilokusi di dalam percakapan sangat penting karena di samping tuturan itu dituturkan, juga
diperlukan sejumlah unsur yang mendukung sebuah percakapan untuk melakukan sesuatu
tindakan. Makna tuturan dalam percakapan yang sangat ditentukan oleh konteks itu disebut
implikatur.

2.1.4.2 Jenis-jenis Ilokusi


Ilokusi dapat digolong-golongkan berdasarkan isi dan fungsinya. Dari segi isi, Searle
(1975) mengklasifikasikan ilokusi ke dalam lima kategori, yaitu ilokusi asertif, ilokusi direktif,
ilokusi komisif, ilokusi ekspresif, dan ilokusi deklaratif.
Pertama, ilokusi asertif (assertive), yaitu tindak tutur yang mengikat Pn pada kebenaran
proposisi yang diungkapkan. Ilokusi asertif juga sering disebut represen-tatif. Contoh ilokusi ini
misalnya: menyatakan, mengusulkan, mengeluh, mengemu-kakan pendapat, melaporkan, dan
membual. Umumnya ilokusi jenis ini termasuk kategori bekerja sama sehingga bersifat netral,
kecuali membual yang biasanya diang-gap tidak santun. Ilokusi asertif bersifat proporsional,
yaitu maknanya berada dalam proposisi makna tekstual.
Kedua, ilokusi direktif (directive), yaitu tindak tutur yang bertujuan menghasilkan suatu
efek berupa tindakan yang dikeluarkan oleh Mt. Menurut Leech (1983), meskipun ilokusi
direktif menghasilkan efek menggiring Mt untuk melakukan suatu tindakan, namun tidak semua
direktif bermakna kompetitif. Ada sebagian direk-tif yang secara intrinsik cukup santun,
misalnya mengundang, tetapi ada pula seba-gian direktif yang secara intrinsik kurang santun,
misalnya memerintah. Ilokusi direktif yang mempunyai potensi mengancam muka, oleh Leech
digolongkan sebagai impositif (impositive). Impositif ialah wujud ilokusi kompetitif yang
termasuk dalam kategori direktif, yakni ilokusi yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa
tindakan yang dilakukan Mt. Yang termasuk dalam jenis ilokusi ini, misalnya: memesan,
memerintah, mengkritik, memohon, menuntut, dan menasihati. Ilokusi jenis ini bersifat
kompetitif karena itu membutuhkan kesantunan negatif.
Ketiga, ilokusi komisif (commisives), yaitu tindak tutur yang sedikit banyak mengikat
Pn dengan suatu tindakan masa depan. Contoh ilokusi ini misalnya menjanjikan, menawarkan,
dan berkaul. Ilokusi ini cenderung bersifat menyenangkan daripada bersifat kompetitif karena
tidak mengacu pada kepentingan Pn, tetapi pada kepentingan Mt.
Keempat, ilokusi ekspresif (expressives), yaitu tindak tutur yang berisi ung-kapan sikap
psikologis Pn terhadap situasi yang tersirat dalam ilokusi. Contoh ilokusi ini, misalnya
mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji,
menuduh, dan mengucapkan bela sungkawa. Sama halnya de-ngan komisif, ilokusi ekspresif
juga cenderung bersifat menyenangkan. Berdasarkan sifatnya tersebut, secara intrinsik ilokusi ini
umumnya termasuk santun, kecuali mengecam dan menuduh.
Kelima, ilokusi deklaratif (declarations), yaitu tindak tutur yang memberi akibat
tertentu pada Mt berdasarkan kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas. Termasuk ilokusi
ini misalnya pernyataan memecat, memberi nama, membaptis, mengundurkan diri, menjatuhkan
hukuman, dan mengangkat pegawai. Ilokusi ini biasanya dihubungkan dengan lembaga dan
wewenang atau otoritas yang dimiliki Pn. Oleh karena tidak menyangkut individu-individu,
ilokusi ini hampir sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesantunan.

2.1.4.3 Fungsi Ilokusi


Searle membuat lima kategori mengenai tindak ilokusi, yaitu: (1) asertif (assertive), (2)
direktif (directive), (3) komisif (comisive), (4) ekspresif (expressive), dan deklaratif
(declaration). Pertama, tindak ilokusi asertif yaitu tindak tutur yang berkaitan dengan tindak
mempercayakan Mt terhadap kebenaran proposisi yang dituturkan Pn. Ilokusi asertif juga sering
disebut representatif. Kedua, tindak tutur ilokusi direktif dimaksudkan untuk menghasilkan
tindakan Pn terhadap pendengar. Ketiga, tindak ilokusi komisif, yaitu tindak tutur yang
melibatkan Pn pada beberapa tingkatan tindakan. Keempat, tindak ilokusi ekspresif, yaitu tindak
tutur yang berfungsi mengungkapkan atau menuturkan sikap Pn menuju keadaan yang
diprediksikan. Kelima, tindak ilokusi deklaratif, yaitu tindak tutur yang biasa menyatakan isi
proposisi dengan realitas.
Suatu hal yang penting berkaitan dengan tindak ilokusi adalah tindak ilokusi itu
berkenaan dengan pencapaian tujuan melalui pengutaraan tuturan. Tujuan yang dimaksud adalah
tujuan Pn terhadap Mt. Tujuan tersebut dapat berkaitan dengan pemeliharaan hubungan sosial
antara Pn dan Mt, dan dapat juga berkenaan dengan tujuan informatif, yaitu berkaitan dengan
penyampaian informasi kepada Mt.
Sejalan dengan hal tersebut, Leech (1989:104) membedakan fungsi ilokusi menjadi
empat macam, yaitu fungsi kompetitif (competitive), fungsi menyenangkan (convival), fungsi
bekerjasama (collaborative), dan fungsi bertentangan (conflictive). Pada ilokusi kompetitif,
tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial, misalnya: memerintah, meminta, menuntut, dan
memohon. Pada ilokusi menyenangkan, tujuan ilokusi sejalan dengan tujuan sosial, misalnya:
menawarkan, mengajak, mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih, dan mengucapkan
selamat. Pada ilokusi beker-jasama, tujuan ilokusi tidak menghiraukan tujuan sosial, misalnya:
menyatakan, melapor, mengumumkan, dan mengajarkan. Pada ilokusi bertentangan, tujuan
ilokusi bertentangan dengan tujuan sosial, misalnya: mengancam, menuduh, menyumpahi, dan
memarahi.

2.1.4.4 Ilokusi sebagai Objek Kajian Implikatur Percakapan


Tuturan dalam percakapan menghasilkan sejumlah makna tutur, baik secara
konvensional maupun secara konversasional. Tuturan konvensional adalah tuturan yang makna
tuturannya dapat dipahami secara lahiriah, sesuai makna tersurat pada tuturan yang dituturkan.
Tuturan konversasional adalah tuturan tersirat yang makna tuturannya dipahami melalui konteks
dan kekuatan-kekuatan yang berhubungan dengan tuturan yang dituturkan. Kekuatan yang
dimaksud adalah kemampuan tuturan tersebut untuk melakukan tindakan sesuatu, seperti
‘meminta, berjanji, tawaran, dsb.’ Kekuatan atau daya tutur itu disebut ilokusi yang sekaligus
mengubah status tuturan konversasional yang berwujud implikatur.
2.1.5 Penafsiran dan Kendala Pemakaian Bentuk Implikatur
Dalam subbab ini akan diuraikan tentang: (1) Penafsiran wujud tutur, maksud, dan
konteks; dan (2) Kendala sosiopragmatik pemakaian bentuk implikatur. Kedua hal tersebut
diuraikan sebagai berikut.

2.1.5.1 Penafsiran Wujud Tutur, Maksud, dan Konteks


Tuturan selalu diwujudkan dalam konteks tertentu. Konteks memegang peran-an
penting dalam menafsirkan makna tuturan karena makna tuturan dapat berbeda-beda dalam
konteks yang berbeda. Atau dengan kata lain, suatu tuturan dapat bermakna lain sama sekali dari
yang dimaksudkan oleh Pn karena perbedaan konteks tuturan berlangsung. Kemampuan
menafsirkan makna tuturan itu dalam banyak hal bergantung kepada kemampuan Mt
menghubungkan tuturan itu dengan konteks yang melingkupinya.
Konteks tutur dibentuk oleh berbagai unsur, seperti: penutur, mitra tutur, waktu, tempat,
adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan saluran. Unsur-unsur itu berhubungan pula
dengan unsur-unsur yang terdapat dalam setiap komunikasi bahasa, antara lain dikemukakan
oleh Hymes (1972) yang tercakup dalam akronim SPEAKING. Kepanjangan SPEAKING adalah
setting atau scene (latar), participants (peserta tutur), ends (hasil), act sequences (urutan tindak),
key (cara), Instrumentalities (sarana), norms (norma), dan genre (jenis).
Unsur-unsur Pn, Mt, dan benda atau situasi (keadaan, peristiwa, dan proses) yang
menjadi acuan di dalam konteks tuturan dapat dirinci. Rincian dapat memberi keterangan bagi
eksistensi dan hubungannya dengan Pn yang memperkenalkannya pada percakapan. Rincian
dalam konteks yang perlu diketahui antara lain sebagai berikut.
Pertama, konteks linguistik atau ko-teks (Brown dan Yule, 1996:99). Ko-teks suatu kata
merupakan sekelompok kata lain yang digunakan dalam frase atau kalimat yang sama. Ko-teks
mempunyai pengaruh kuat pada penafsiran makna kata yang dituturkan. Sebagai contoh, kata
‘bisa’ sebagai homonim, dalam kalimat ‘Ular itu memiliki bisa’ dan ‘Anak itu bisa mengerjakan
soal itu’ memiliki makna yang bebeda. Bagaimana cara mengetahui makna yang terkandung di
dalamnya? Biasanya untuk mengetahuinya berdasarkan konteks linguistik.
Kedua, konteks fisik yang melibatkan ciri-ciri yang dimiliki oleh manusia, benda,
binatang secara fisik atau ciri luar yang menyangkut milik. Apabila ada seorang pawang ular
sedang memegang ular dan mengeluarkan sesuatu dari mulut ular itu sambil berkata '‘Bisanya
sudah tidak berbahaya lagi”, makna kata ‘bisa’ dapat ditafsirkan dari konteksnya.
Ketiga, yang juga berhubungan dengan konteks ialah situasi tutur (speech situation) dan
peristiwa tutur (speech event). Situasi tutur meliputi siapa Pn dan Mt, konteks tuturan, dan tujuan
tuturan. (Suparno, 1998:12) menyebutkan bahwa peris-tiwa tutur meliputi: percakapan, pidato,
surat, doa, dan sebagainya. Dalam peristiwa tutur terdapat tindak berbahasa, yaitu apa yang
sedang dilakukan Pn ketika dia berbahasa dalam peristiwa berbahasa tertentu.
Peranan konteks dalam penafsiran menurut Hymes adalah untuk membatasi jarak
perbedaan tafsiran tuturan yang mungkin terjadi antara Pn dan Mt. Mengenai ciri-ciri konteks
yang dimungkinkan relevan dengan identifikasi tipe peristiwa tutur. Untuk lebih jelasnya, ciri-
ciri konteks menurut Firth dan Hymes tampak pada bagan berikut.
Bagan 2.1 Perbandingan Konteks menurut Firth dan Hymes

Ciri-ciri konteks yang disampaikan Firth dan Hymes tersebut selanjutnya dilengkapi
oleh Lewis, bahwa dengan pemahaman konteks pada peristiwa percakap-an, Mt dapat
meramalkan apa yang mungkin akan dituturkan oleh Pn. Hal ini menurut Halliday disebut
dengan ko-teks.

2.1.5.2 Kendala Sosio-Pragmatik Pemakaian Bentuk Implikatur


Seperti yang telah diuraikan di atas, pemaknaan tuturan selalu dipengaruhi oleh konteks
yang menyertai terjadinya sebuah tuturan. Konteks tuturan yang berbeda dapat menimbulkan
makna yang berbeda-beda pula. Dengan kata lain, suatu tuturan dapat bermakna lain sama sekali
dari yang dimaksudkan oleh Pn karena perbedaan konteks tuturan berlangsung.
Konteks yang dimaksud di atas meliputi penutur, mitra tutur, waktu, tempat, adegan,
topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan saluran. Unsur-unsur itu berhu-bungan pula dengan
unsur-unsur yang terdapat dalam setiap komunikasi bahasa, antara lain dikemukakan oleh Hymes
(1972) yang tercakup dalam akronim SPEAKING. Kepanjangan SPEAKING adalah setting atau
scene (latar), participants (peserta tutur), ends (hasil), act sequences (urutan tindak), key (cara),
Instrumen-talities (sarana), norms (norma), dan genre (jenis). Hal-hal inilah yang juga dapat
menjadi kendala penggunaan implikatur dalam transaksi antara siswa dan petugas Kopsis Kopsis
Kopsis mebel.
Konteks yang pertama adalah setting atau scene (latar). Latar yang dimaksud di sini
berhubungan dengan tempat dan waktu. Konteks berikutnya adalah participants (peserta tutur).
Peserta tutur dalam sebuah interaksi terdiri atas Pn, Mt, dan pendengar. Ketiga peserta tutur
tersebut memegang peranan penting, termasuk status sosial mereka, hubungan mereka secara
pribadi maupun secara dinas. Dengan pengalaman peserta tutur dapat dipahami tuturan berikut.
(5) Mas, ada ulangan.
(6) Kopi dua, pisang goreng tiga. Berapa?

Tuturan (5) disampaikan oleh seorang guru kepada sekelompok siswa yang sedang
bercakap-cakap di depan kelas yang di dalamnya terdapat siswa yang sedang menjalani ulangan.
Tuturan (6) merupakan transaksi yang terjadi di warung kopi. Bentuk bahasa, cara
penyampaiannya dan makna yang tersurat maupun tersirat dapat dipahami sesuai dengan siapa
partisipannya dan bagaimana hubungan mereka.
Konteks berikutnya adalah topik. Dengan menggunakan topik tertentu, suatu interaksi
dapat berjalan dengan lancar. Namun dalam kehidupan sehari-hari, apa yang disebut dengan
topik sangatlah kompleks sehingga para ahli wacana menamainya dengan kerangka topik. Di
dalam suatu kerangka topik masing-masing partisipan dapat menyampaikan sesuatu yang
menjadi perhatiannya. Menurut Grice (1975), mereka masing-masing menyampaikan
konstribusinya yang masih relevan dengan kerangka topik di dalam interaksi yang bersangkutan.
Berbicara tentang pembangun-an di sebuah sekolah misalnya, partisipan A berbicara tentang
pendirian Musalah, partisipan B berkomentar tentang lapangan olah raga, partisipan C
mengemukakan penyesalannya akibat tidak dapat ikut berpartisipasi dalam pembangunan
tersebut.
Konteks berikutnya adalah saluran yang dipergunakan, misalnya: tulisan, lisan, isyarat,
kentongan, peluit, dan sebagainya. Interaksi dengan menggunakan saluran tulisan dengan lisan
tentunya berbeda, terutama dari segi kalimat yang digunakan. Pada saluran tulis, kalimat yang
digunakan lebih teratur dan resmi, sesuai dengan kaidah ketatabahasaan, sedangkan dalam
bahasa lisan lebih santai.
Konteks berikutnya adalah kode yang digunakan. Seseorang yang mengung-kapkan isi
hatinya dalam bahasa daerah kepada temannya akan merasa lebih bebas, akrab, dan mudah
berkembang ke arah hubungan pribadi. Di beberapa daerah, termasuk Jawa Timur, seseorang
yang sudah akrab lebih suka menggunakan bahasa daerah dibanding dengan bahasa Indonesia,
kecuali dalam situasi resmi.
Konteks berikutnya adalah bentuk pesan. Ada seseorang dalam menyampai-kan pesan
lewat parikan, lewat khotbah, lewat puisi, drama, dan sebagainya. Lewat surat, seseorang juga
dapat menyampaikan pesan yang ingin disampaikan dalam bentuk tertentu.
Konteks selanjutnya adalah peristiwa dengan sifat-sifatnya yang khusus. Suatu pengajian
misalnya, dapat berisi ajaran-ajaran yang diselingi dengan anekdot-anekdot. Kegiatan kelompok
belajar siswa dapat diisi dengan cerita-cerita teman akrabnya, atau sepedanya yang baru.
Kegiatan arisan ibu-ibu yang terhormat dapat diisi dengan pameran kekayaan, atau transaksi
tertentu.
Konteks selanjutnya adalah ends (hasil atau tujuan). Tuturan selalu memuat tujuan yang
hendak dicapai oleh Pn. Tujuan dapat berupa tujuan personal, seperti yang dicerminkan oleh
proposisi pada tuturan dan dapat berupa tujuan sosial seperti menaati prinsip pragmatik yang
berupa PK dan PS. Tujuan personal lazimnya dicapai melalui tujuan-tujuan sosial.
Konteks berikutnya adalah nada pembicaraan, yang dapat dilakukan dengan serius,
sinis, sarkastik, rayuan, dan sebagainya. Dalam perkembangan selanjutnya, Hymes juga
memasukkan genre, suatu kategori komunikasi yang dapat berupa puisi, umpatan, doa, lelucon,
ungkapan, iklan, dan berbagai macam surat, yang merupakan huruf pertamanya “G” dari huruf
terakhir akronim SPEAKING.

2.2 Kerangka Teori


Secara pragmatik, kajian tentang bentuk implikatur dalam interaksi guru dengan siswa
mengutamakan fungsi dan makna tuturan. Untuk itu, pemanfaatan model teoritik ini didasarkan
kepada makna tuturansiswa dan petugas Kopsis Kopsisketika vbertransaksi secara fungsional,
seperti yang tampak pada kerangka teoritis di bawah ini.

Bagan 2.2 Kerangka Teoritis Bentuk Implikatur dalam Kegiatan transaksi di Kopsis SMKN
kota Pasuruan

Data dalam penelitian ini bersumber pada tuturan di Kopsis SMKN kota Pasuruan
dalam sebuah transaksi. Data tersebut bisa diambil dari tuturan siswa dan petugas Kopsis syang
di dalamnya mengandung implikatur. Data yang berupa tuturansiswa dan petugas Kopsis yang
berupa implikatur dipahami secara pragmatis, sedangkan tuturansiswa dan petugas Kopsis yang
maknanya bersifat literal dipahami secara semantik.

III. METODE PENELITIAN


3.1 Pendekatan dan Ancangan Penelitian
Penelitian ini mengkaji bentuk implikatur dalam transaksi di Kopsis SMKN kota
Pasuruan, yang meliputi: (a) wujud tutur implikatur, (b) implikasi pragmatis wujud tutur
implikatur, dan (c) kendala penggunaan implikatur. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan dua ancangan, yaitu (1) ancangan pragmatik dan
(2) etnografi komunikasi. Penggunaan kedua ancangan ini didasarkan pada alasan bahwa
deskripsi bentuk implikatur tuturan siswa dan petugas Kopsis tidak dapat dilepaskan dari unit-
unit komunikasi yang oleh Hymes (1972) disebut dengan hierarki lingkar. Unit-unit komunikasi
tersebut adalah situasi tutur, peristiwa tutu), dan tindak tutur.
Pendekatan kualitatif memiliki ciri-ciri (a) berlatar alamiah, (b) bersifat deskriptif, (c)
lebih mengutamakan proses daripada hasil, dan (d) analisis data bersifat induktif (Bogdan dan
Biklen, 1982; Djaya Sudarma,1993).
Berlatar alamiah, maksudnya data penelitian bersumber dari peristiwa-peristiwa
komunikasi dan situasi alamiah yang berlangsung di Koperasi Sekolah. Tidak ada upaya dari
peneliti untuk mengendalikan subjek, baik di dalam maupun di luar kelas. Karena itu, strategi
pengumpulan data diusahakan tidak mencolok dan tidak diketahui siswa dan petugas Kopsis.
Bersifat deskriptif, maksudnya data dikumpulkan berbentuk deskripsi wacana dalam
transaksi antara siswa dan petugas Kopsis. Data dilengkapi dengan konteks terjadinya interaksi.
Pendeskripsian konteks diupayakan hingga menyentuh hal-hal kecil, seperti waktu, tempat, dan
kedudukan partisipan. Hasil analisis data dilaporkan dalam bentuk deskripsi fenomenologis,
artinya hasil analisis dipaparkan sesuai dengan temuan di lapangan tanpa dihubungkan dengan
variabel-variabel tertentu.
Lebih mengutamakan proses daripada hasil, maksudnya dalam pelaksanaan penelitian
ini, khususnya kegiatan pengumpulan lebih diorientasikan pada proses. Pengorientasian tersebut,
misalnya pengupayaan waktu pelaksanaan pengumpulan data yang bersifat fleksibel. Karena itu,
jadwal tidak dijadikan target. Demikian hal-nya dengan perolehan data, baik jenis maupun
jumlahnya tidak didasarkan pada perencanaan atau target tertentu.
Analisis data bersifat induktif, maksudnya penelitian ini tidak diarahkan untuk
memperkuat atau menolak hipotesis tertentu. Karena itu, paparan hasil analisis penelitian yang
berkaitan dengan bentuk implikatur dalam transaksi di Kopsis SMKN kota Pasuruan lebih
didasarkan pada data alamiah yang terkumpul di lapangan, sedangkan keberadaan kerangka teori
lebih banyak difungsikan sebagai acuan dalam mengidentifikasi bentuk implikatur bahasa
Indonesia dalam interaksi guru dan siswa, baik di dalam maupun di luar kelas.

3.2 Data dan Sumber Data


Data dalam penelitian ini berupa data verbal. Data verbal tersebut berupa (1) wujud
tuturan implikatur, (2) fungsi tuturan implikatur, dan (3) kendala penggunaan implikatur dalam
transaksi di Kopsis SMKN kota Pasuruan.
Sumber data dalam penelitian ini adalah (1) percakapan dalam sebuah transaksi antara
siswa dengan petugas Kopsis, (2) konteks tuturan yang diperoleh melalui pengamatan dan
pencatatan lapangan secara langsung.
Konteks tuturan juga merupakan sumber data. Konteks tuturan diperoleh peneliti
dengan mengadakan pencatatan lapangan setiap mengadakan perekaman. Konteks ini
dimasukkan dalam sumber data karena konteks tuturan berpengaruh ter-hadap pemaknaan
sebuah tuturan.
Subjek penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah seluruh siswa dan petugas
Kopsis ketika melakukan transaksi di Kopsis SMKN kota Pasuruan. Semua siswa dianggap
memiliki kedudukan yang sama sebagai subjek penelitian. Hubungan antara data, sumber data,
dan subjek penelitian tampak pada bagan berikut.

Bagan 3.1 Hubungan Data, Sumber Data, dan Subjek Penelitian

Data dianalisis selama dan setelah pengumpulan data. Maksudnya, selama pengumpulan
data, data ditranskripsikan (dari pita rekaman ke data tulisan) dan disesuaikan dengan catatan
peneliti. Apabila terdapat penyimpangan, pada observasi berikutnya dapat dilakukan perekaman
atau pencatatan data dengan lebih cermat untuk menghidari kesalahan.
Data dianalisis dengan memperhatikan konteks tuturan dengan menggunakan teknik
analisis wacana. Pemanfaatan teknik analisis wacana dalam penelitian ini karena untuk
mengetahui bentuk-bentuk implikatur dalam transaksi antara siswa dan petugas Kopsis tidak
dapat dilepaskan dengan konteks tuturan. Dari analisis ini diharapkan ditemukan (a) wujud tutur
implikatur, (b) implikasi pragmatis wujud tutur implikatur, dan (c) kendala penggunaan
implikatur.

3.3 Prosedur Pengumpulan Data


3.3.1 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, para ahli mengemukakan pendapatnya bahwa yang menjadi
instrumen penelitian adalah peneliti itu sendiri, atau dengan bantuan orang lain yang merupakan
alat pengumpul data utama (Guba dan Lincoln, 1981; Moleong, 1995; Dimyati, 1989; dan
Furchan, 1992). Hal ini dikarenakan peneliti dalam penelitian kualitatif dipandang sebagai
pencari tahu alami dalam pengumpulan data.
Peneliti sebagai instrumen, ada beberapa prasyarat yang harus diperhatikan, yaitu: (1)
peneliti ada jarak dengan objek terteliti, (2) tetap objektif, (3) berorientasi pada tujuan penelitian,
(4) tetap setia pada data penelitian, dan (5) menyelesaikan sesuai dengan disiplin ilmu serta
paradigma.
Selain peneliti sebagai instrumen utama, penelitian ini menggunakan instrumen Bantu,
yaitu tape recorder dan catatan lapangan. Tape recorder digunakan untuk merekam tuturan siswa
dan petugas Kopsis, sedangkan catatan lapangan digunakan untuk mencatat konteks tuturan.

3.3.2 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah (1) observasi partisipasi dan
pencatatan lapangan, dan (2) perekaman. observasi partisipan digunakan untuk mengetahui
masalah yang berhubungan langsung dengan bentuk implikatur pada sebuah kegiatan transaksi di
Kopsis SMKN kota Pasuruan.
Sesuai dengan fokus penelitian tersebut, kegiatan penelitian ini berfokus pada proses
penggunaan implikatur dalam transaksi yang terjadi di Kopsis SMKN kota Pasuruan. Teknik
observasi partisipan dilakukan dengan mengamati perilaku subjek ketika melakukan transaksi.
Dengan menggunakan teknik observasi partisipasi, peneliti lebih leluasa bergaul dengan subjek
penelitian dengan latar alami.
Teknik pencatatan lapangan digunakan untuk mencatat konteks tuturan yang berguna
untuk memaknai data yang diperoleh, sedangkan teknik perekaman dalam penelitian ini
dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data yang sebenarnya, berupa bentuk implikatur
dalam transaksi antara siswa dan petugas Kopsis. Perekaman dilakukan dengan menggunakan
alat perekam tape recorder Sony tipe M 505 berukuran 11,5 cm x 5,5 cm x 2,4 cm. Alat perekam
ini cukup peka sehingga mampu merekam data secara memadai dan memenuhi syarat.

3.4 Teknik Analisis Data


Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis pragmatik dengan didukung
analisis struktur dan analisis semantik. Analisis struktur digunakan untuk mencari wujud tutur
implikatur dalam interaksi antara siswa dan petugas Kopsis. Dalam analisis tersebut, data disorot
dari segi sintaksis, sedangkan analisis semantik digunakan untuk mengetahui makna tuturan yang
disampaikan siswa dan petugas Kopsis ketika bertransaksi, dalam rangka menjawab implikasi
pragmatik tuturan tersebut. Analisis Pragmatik digunakan untuk menjawab masalah implikasi
pragmatik wujud tutur implikatur dalam transaksi antara siswa dan petugas Kopsis, serta kendala
penggunaan implikatur dalam tuturan tersebut.
Teknik analisis data ini didasarkan pada teknik yang dikemukakan oleh Miles dan
Huberman (1992: 15-20). Teknik analisis yang dimaksud meliputi: (a) reduksi data, (b)
penyajian data, dan (c) penyimpulan. Ketiga langkah tersebut merupakan satu siklus yang saling
terkait dan dilaksanakan secara serentak selama dan setelah pengumpulan data. Ketiga langkah
itu secara memadai dipaparkan di bawah ini.
Reduksi data adalah kegiatan analisis yang meliputi (a) identifikasi, (b) klasifikasi, dan
(c) kodefikasi data. Identifikasi data adalah kegiatan menyeleksi kelayakan data, misalnya dari
segi kejelasan dan ada tidaknya bentuk implikatur di dalam tuturan siswa dan petugas Kopsis.
Klasifikasi data adalah kegiatan memilah dan mengelompokkan data atas konteks tuturan,
misalnya latar terjadinya transaksi dan topik transaksi. Kodefikasi data adalah kegiatan memberi
identitas data sesuai dengan konteks tuturan dan wujud implikatur, misalnya KT, KM, Bt, Tn, Pr,
dan Sr.
Penyajian data adalah kegiatan mengelompokkan data yang telah direduksi.
Pengelompokan data dilakukan dengan menggunakan tabel, yang meliputi tabel wu-jud
implikatur, tabel implikasi pragmatis, dan tabel transkrip data rekaman. Dengan penyajian data
ini diharapkan penarikan kesimpulan menjadi lancar dan terarah.
Penarikan simpulan adalah kegiatan analisis yang lebih dikhususkan pada penafsiran
data yang telah disajikan. Penafsiran dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip analisis
pragmatik. Prinsip analisis pragmatik lebih terkait pada konteks komunikasi. Untuk memperjelas
teknik dan proses analisis data digambarkan dalam bagan berikut.
Bagan 3.2 Proses dan Teknik Pengumpulan dan Analisis Data (Adaptasi dari Miles dan
Huberman, 1992:20)

3.5 Pengecekan Keabsahan Data


Konsekuensi bagi peneliti yang melakukan penelitian kualitatif adalah sering dijumpai
data kasus negatif dan data bervariasi. Dalam kegiatan penelitian diperlukan kriteria tertentu
yang dapat memenuhi nilai kebenaran (keabsahan) terhadap data informasi yang dikumpulkan
peneliti dari lapangan, untuk mengantisipasi kemung-kinan-kemungkinan terjadi kesalahan,
kekurangan atau bias terhadap data yang dianalisis. Kekhawatiran ini dapat dihindari dengan
melakukan trianggulasi sebagai salah satu teknik pemeriksaan data (Moleong, 1994).
Pengecekan keabsahan data menurut Moleong (1995:175) ada sembilan tek-nik, yaitu:
(1) perpanjangan keikutsertaan, (2) ketekunan pengamatan, (3) triang-gulasi, (4) pemeriksaan
sejawat melalui diskusi, (5) analisis kasus negatif, (6) kecu-kupan referensi, (7) pengecekan
keanggotaan, (8) uraian rinci, dan (9) auditing. Dalam penelitian ini, pemeriksaan keabsahan data
hanya difokuskan pada ketekunan pengamatan, trianggulasi, dan kecukupan referensial.
Ketekunan pengamatan dimaksudkan untuk mengadakan pengamatan secara terus-
menerus dan berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol berupa wujud implikatur
dalam transaksi antara siswa dan petugas Kopsis di SMKN kota Pasuruan.
Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain di luar data itu (Maleong, 1995:178). Teknik trianggulasi paling banyak digunakan
ialah pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, meto-de penyidik dan teori (Denzin
dan Moleong, 1995). Perlunya diadakan trianggulasi adalah untuk memeriksa kepercayaan dan
validasi dari hasil-hasil temuan penelitian. Trianggulasi sebagai salah satu alat yang tepat untuk
mengatasi terjadinya perbedaan-perbedaan sumber dalam temuan penelitian. Beberapa ahli
mengatakan bahwa triang-gulasi dilakukan untuk pengecekan data agar penelitian memiliki taraf
kepercayaan yang tinggi (Miles dan Huberman, 1984; dan Mathison, 1988). Dalam penelitian
ini, trianggulasi digunakan untuk memeriksa keabsahan dan kesalahan data sebagai strategi yang
dapat meningkatkan kredibitas penelitian ini.
Kecukupan referensi dapat digunakan sebagai batas/patokan untuk menguji sewaktu-
waktu analisis dan penafsiran data. Penelitian tentang bentuk implikatur dalam transaksi antara
siswa dan petugas Kopsis ini dipandang memiliki kecukupan referensi apabila ditemukan hasil
penelitian yang memfokus pada wujud tu

ur implikatur, implikasi pragmatis wujud tutur implikatur, dan kendala penggunaan implikatur
dalam kegiatan transaksi di Kopsis kota Pasuruan.

DAFTAR RUJUKAN

Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. Cambridge: Harvard University Press.
Bogdan, R.C. dan Biklen, S.K.1982. Riset Kualitatif untuk Pendidikan. Terjemahan oleh
Munandir. Jakarta: Depdikbud.
Brown, G dan Yule, G. 1996. Analisis Wacana. Terjemahan oleh I. Soetikno. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Djajasudarma, T. F. 1994. Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung:
Eresco.
Furchan, A. 1992. Pengantar metode Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.
Gazdar, G. 1979. Pragmatics: Implikature, Presupposition, and Logical Form. New Yo

rk: Akademic Press.


Grice, H.P. 1975. Futher notes on logic and conversation. Dalam P. Cole (Ed.), Syntax
and semantics (hlm. 113-128). New York: Horcourt Brace Jovanovich Publisher.
Grice, H.P. 1991. Logic and Conversation. Dalam Davis, S. (Ed.), Pragmatics: A Reader
(hlm. 305-315). New York: Oxford University Press.
Hymes, D. 1972. Models of the Interactions of Language and Social Life. Dalam Jhon J.
G. dan Dell Hymes (Ed.), Direction in Sociolinguitics (hlm. 35-71). New York: Holt,
Ricehart and Winstton Inc.
Ibrahim, A. S. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional.
Kartomihardjo, S. 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Depdikbud.
Kartomihardjo, S. 1992. Analisis Wacana dan Penerapannya. Pidato Ilmiah dalam rangka
Pengukuhan Guru Besar. Malang: IKIP Malang.
Kartomihardjo, S. 1993. Analisis Wacana dengan Penerapannya pada Beberapa Wacana.
Forum Penelitian. 5 (1): 31-51.
Leech. G. 1974. Semantics. Harmondsworth: Penguin Books.
Leech. G. 1983. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan oleh M.D.D Oka. 1993. Jakaria :
Penerbit UI.
Leech, G. 1989. Principles of Pragmatics. London: Logman.
Levinson. S. C. 1985. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Miles. M. B. dan Huberman. A. M. 1984. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan Tjetjep
Rohendi. 1992. Jakarta Universitas Indonesia (UI) Press.
Moleong, L. J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Nababan, P. W. J. 1987. Ilmu Pragmatik: (Teori dan Pengajarannya). Jakarta:
Depdikbud.
Rahardi, R.K. 2000. Imperatif dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
Searle, J. R. 1969. Speech acts: An Essay in the Philosophy of Language. Cambridge:
Cambridge U.P.
Searle, J. R. (Ed). 1973. Speech Act Theory And Pragmatics. London: D. Reidel
Publishing Company.
Spradley, J. P. Tanpa tahun. Metode Etnografi. Terjemahan oleh Misbah Zulfa Elizabeth.
1997. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Suparno. 1998. Analisis Wacana, Bahan Ajar Kapita Selekta Bidang Studi. Tidak
diterbitkan. Malang: IKIP Malang.
Wijana, D. P. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogjakarta: Anda.

Anda mungkin juga menyukai