Anda di halaman 1dari 9

BAGIAN I Niat merupakan bentuk ibadah qalbiyyah yang sangat penting.

Sehingga niat mempunyai peringkat pertama sebelum melakukan aktivitas ibadah. Benar dan tidak sebuah ibadah atau perbuatan ditentukan oleh niat. Karena niat mempunyai dua kecenderungan: ikhlas atau syirik. Pengertian Niat Secara bahasa, orang Arab menggunakan kata-kata niat dalam arti sengaja. Terkadang niat juga digunakan dalam pengertian sesuatu yang dimaksudkan. Sedangkan secara istilah, tidak terdapat definisi khusus untuk niat. Maka dari itu, barangsiapa yang menetapkan suatu definisi khusus yang berbeda dengan makna niat secara bahasa, maka orang tersebut sebenarnya tidak memiliki alasan kuat yang bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini dijelaskan oleh Dr. Umar al-Asyqar dalam buku Maqashidu alMukallifin, halaman 34. Karena itu banyak ulama yang memberikan makna niat secara bahasa, semisal Nawawi. Beliau mengatakan niat adalah bermaksud untuk melakukan sesuatu dan bertekad bulat untuk mengerjakannya. (Mawahidu al-Jalil, 2/230 dan Faidhu al-Qodir, 1/30) Al-Qarafi mengatakan, Niat adalah maksud yang terdapat dalam hati seseorang untuk melakukan sesuatu yang ingin dilakukan. (Mawahid al-Jalil 2/230). al-Khathabi mengatakan, Niat adalah bermaksud untuk mengerjakan sesuatu dengan hati dan menjatuhkan pilihan untuk melakukan hal tersebut. Namun ada juga yang berpendapat bahwa niat adalah tekad bulat hati. (Syarah al-Aini untuk shahih Bukhari) Dr. Umar al-Asyqar mengatakan, Mendefinisikan dengan niat dan maksud yang tekad bulat adalah pendapat yang kuat. Definisi tersebut mengacu kepada makna kata niat dalam bahasa Arab. Ada juga ulama yang mendefinisikan niat dengan ikhlash. Hal ini bisa diterima karena terkadang makna niat adalah bermaksud untuk melakukan suatu ibadah. Dan terkadang pula maknanya adalah ikhlash dalam menjalankan suatu ibadah. Melafadzkan Niat Syaikh Salim al-Hilali mengatakan, Letak niat adalah hati bukan lisan dan hal ini merupakan kesepakatan seluruh ulama serta berlaku untuk seluruh ibadah baik bersuci, shalat, zakat, puasa, haji memerdekakan budak, berjihad dan lain-lain. (Bahjatun Nadzirin, 1/32). Jika demikian, lalu bagaimanakah hukum melafadzkan niat semacam mengucapkan, semisal, Ushalli Fardhal Magribi Tsalatsa Rakaatin Fardhan Lillahi Taala? Dalam hal ini perlu ada rincian: a). Mengucapkan niat dengan bersuara keras Dalam Qaul Mubin fi Akhta al-Mushallin halaman 95 disebutkan, Mengucapkan niat dengan suara keras hukumnya tidaklah wajib tidak pula dianjurkan berdasarkan kesepakatan seluruh ulama. Bahkan orang yang melakukannya dinilai sebagai orang yang membuat kreasi dalam agama yang menyelisihi syariat. Jika ada orang yang melakukan hal demikian karena berkeyakinan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari syariat Islam maka orang tersebut adalah orang yang tidak paham tentang agama dan tersesat dari jalan yang benar. Bahkan orang tersebut berhak untuk mendapatkan hukuman dari penguasa jika dia terus-menerus melakukan hal tersebut setelah diberikan penjelasan. Terlebih lagi jika orang tersebut mengganggu orang yang berada di sampingnya disebabkan bersuara keras atau mengulang-ulangi bacaan niat berkali-kali. Nadzim Muhammad Sulthan mengatakan, Mengucapkan niat dengan suara keras adalah kreasi dalam agama dan satu perbuatan yang dinilai munkar karena hal tersebut tidak terdapat dalam al-Quran dan hadits Nabi satupun dalil yang menunjukkan disyariatkannya hal diatas. Padahal kita semua mengetahui bahwa hukum asal ibadah adalah haram dan ibadah tidak boleh ditetapkan kecuali berdasarkan dalil. (Qawaid wa Fawaid min al-Arbain anNawawiyah, halaaman 31) Jamaluddin Abu Rabi Sulaiman bin Umar yang bermadzhab Syafii mengatakan, Mengucapkan niat dengan suara keras dan juga membaca al-fatihah atau surat dengan suara keras dibelakang Imam bukanlah termasuk sunnah Nabi bahkan hukumnya makruh. Jika dengan perbuatan tersebut jamaah shalat yang lain terganggu maka hukumnya berubah menjadi haram. Barang siapa yang menyatakan bahwa mengucapkan niat dengan bersuara keras adalah dianjurkan maka orang tersebut sudah keliru karena siapapun dilarang untuk berkata-kata tentang agama Allah ini tanpa ilmu. (al-Alam, 3/194)

Syaikh Alauddin al-Athar berkata, Mengucapkan niat dengan suara keras yang mengganggu jamaah shalat yang lain hukumnya adalah haram dengan kesepakatan ulama. Jika tidak menggangu yang lain maka hukumnya adalah kreasi dalam agama (baca: bidah) yang jelek. Jika ada orang yang melakukan hal tersebut bermaksud riya dengan lafadz niat yang dia ucapkan maka hukumnya haram. Karena dua alas an: riya dan pengucapan niat itu sendiri. Orang yang mengingkari pendapat bahwa mengucapkan niat itu dianjurkan adalah orang yang benar. Sedangkan orang yang membenarkannya adalah orang yang keliru. Meyakini hal tersebut bagian dari agama Allah merupakan sebuah kekufuran. Sedangkan apabila tidak diyakini sebagai bagian dari agama Allah maka bernilai kemaksiatan. Setiap orang yang memiliki kemampuan untuk mencegah perbuatan ini memiliki kewajiban untuk mencegah dan melarangnya. Mengucapkan niat tidaklah diajarkan oleh Rasulullah shahabat, dan tidak pula seorangpun ulama yang menjadi panutan umat. (Majmuah ar-Rasail al-Kubra 1/254) Abu Abdillah Muhammad bin al-Qasim al-Thunisi yang mermadzhab Maliki mengatakan, Niat merupakan perbuatan hati. Mengucapkan niat dengan suara keras adalah bidah di samping mengganggu orang lain. (Lihat Majmuah ar-Rasail al-Kubra hal 1/254-157) b). Mengucapkan Niat dengan Suara Pelan Syaikh Masyhur al-Salman mengatakan, Demikian pula mengucapkan niat dengan suara pelan tidaklah diwajibkan Menurut Imam Madzhab yang empat dan para ulama yang lainnya. Tidak ada seorang ulama pun yang mewajibkan hal tersebut, baik dalam berwudhu, shalat atau pun berpuasa. (al-Qoul al-Mubin halaman 96) Abu Dawud pernah bertanya kepada Imam Ahmad, Apakah diperbolehkan mengucapkan sesuatu sebelum membaca takbiratul ihram? Tidak boleh, jawab Imam Ahmad. (Majmu Fatawa XII/28) Dalam al-Amru bil Ittiba, halaman 28, Suyuthi yang bermadzhab Syafii mengatakan, Di antara perbuatan bidah adalah was-was berkenaan dengan niat shalat. Hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabat. Mereka tidak pernah mengucapkan niat shalat. Mereka hanya memulai shalat dengan Takbiratul Ihram padahal Allah berfirman, yang artinya, Sungguh, pada diri Nabi telah ada suri tauladan yang baik. (QS al-Ahzab: 21) Imam Syafii sendiri menyatakan, Bahwa was-was berkenaan dengan niat shalat dan berwudhu merupakan dampak dari ketidakpahaman dari aturan syariat. Dan akal pikiran yang sudah tidak waras lagi. Mengucapkan niat memiliki dampak negatif yang sangat banyak sekali. Kita lihat ada seorang yang mengucapkan niat shalat secara jelas dan terang kemudian dia berkeinginan untuk mengucapkan takbiratul ihram. Orang tersebut lantas mengulangi lagi ucapan niatnya karena menganggap dia belum berniat dengan benar. Ibn Abi al-Iz yang bermadzhab Hanafi mengatakan, Tidak ada seorang pun di antara Imam Madzhab yang empat baik Imam syafii atau yang lainnya yang mewajibkan ucapan niat sebelum beribadah. Tempat niat adalah hati dengan kesepakatan para Ulama. Tetapi ada sebagian ulama mutaakhirin (belakangan) yang mewajibkan mengucapkan niat dan dinyatakan sebagai salah satu pendapat dari Imam syafii. Ini adalah sebuah kesalahan! Di samping itu, pendapat tersebut melanggar kesepakatan para ulama yang sudah ada sebelumnya. Demikian komentar Nawawi. (al-Ittiba halaman 62) Intinya: Keterangan berbagai ulama di atas menunjukkan bahwa mengucapkan niat dengan bersuara keras hukumnya adalah bidah. Sedangkan orang yang menganjurkan hal tersebut maka orang tersebut salah paham dengan perkataan Imam Syafi BAGIAN 2 Sesungguhnya amal ibadah hamba akan bernilai disisi Allah lantaran niat yang benar, dan betapa besar amal seseorang tidak bernilai disisi Nya dikarenakan niat yang salah. Maka setiap amalan hamba akan ditentukan oleh niatnya. Hal ini sebagaimana disebutkan Rasulullah shalallahu wa sallam dalam haditsnya yang telah masyhur dikalangan kaum muslimin yaitu hadits yang diriwayatkan dari Umar bin Khotob radiyallahu anhu ia berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda, Hanyasannya amal adalah dengan niat, dan hanyasannya setiap seseorang tergantung pada niatnya (Muttafaqun Alaih). Para ulama mengambil istinbat (kesimpulan) dari hadits ini dengan membuat tiga kaidah yang banyak dipakai dan dibutuhkan dikalangan para mujtahidin. Adapun kaidah yang bisa diambil oleh para ulama dari hadits ini adalah: La tsawaba illa binniyah, Al-Umuuru bimaqosidiha, dan Al-Ibrotu fil uquudi lil maqosid wal maani, la lil alfaadhi wal mabaani. Sungguh sangat penting keberadaan niat dalam ibadah hamba, maka seyogyanya bagi kita untuk lebih memperhatikan masalah ini, baik dari kaifiyahnya (caranya), kesalahan-kesalahan yang ada padanya atau ikhtilaf ulama

berkenaan dengannya. Maka pada makalah ini sedikit kita membahas perbedaan ulama dalam masalah at-Talafudz Binniyah (Melafadzkan Niat). II. Hakikat dan Hukum Niat Niat menurut bahasa adalah al-Qosdu (menyengaja) terhadap sesuatu dan kemauan hati kepadanya. Sedangkan menurut istilah syari adalah kemauan hati atas suatu perbuatan, baik perbuatan fardhu maupun selainnya. Adapu niat adalah wajib menurut pendapat jumhur. Dan niat merupakan syarat dalam ibadah. Firman Allah Qs: alBayyinah Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (al-Bayyinah: 5) Dan juga sebuah hadits Rasulullah shalallahu wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, yaitu: , Hanyasannya amal adalah dengan niat, dan hanyasannya setiap seseorang tergantung pada niatnya. (Muttafaqun Alaih). III. Mahalu Niat (Tempat Niat) Para ulama telah sepakat bahwa tempat Niat adalah di dalam hati dalam semua ibadah. Seperti shalat, bersuci, zakat, haji, puasa, jihad, dan lain-lain. Dan tidak di syaratkan di dalam ibada-ibadah tersebut untuk melafadzkan dengan lisan. Imam Syafiiv mengatakan bahwa dalam niat shalat tidak disyaratkan untuk menggerakkan lisan. Melafadzkan niat dengan jahr (keras) tidaklah di wajibkan dan tidak pula di sunahkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Bahkan jahr dalam niat adalah bidah yang menyelisihi syariah, maka jika ia melakukan perbuatan tersebut dan berkeyakinan bahwasannya itu dari syariat maka dia adalah orang yang jahil dan tersesat, bahkan menurut Syaikh Islam Ibnu Taimiyah dia berhak mendapatkan tazir atau sanksi. Sedangkan yang menjadi permasalahan adalah melafadzkan niat dengan sir (pelan). Apakah termasuk amalan sunnah ataukah tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat yang telah diketahui di kalangan para fukoha, yaitu: 1. Pendapat yang menyatakan bahwa mengucapkan niat dengan lisan adalah sunnah. Seperti mengatakanUsholli fardhu dhuhri (saya niat sholat fardhu duhur), di karenakan yang demikian itu sebagai penginggat terhadap hati. Jika kita berniat sholat dhuhur akan tetapi lisan mengatakan sholat asar maka tidak mengapa, karena niat adalah didalam hati. Sedangkan mengucapkan dengan lisan hanya sebagai pembantu untuk menginggatkan hati saja. Pendapat ini yang dipegang oleh Madzhab Syafiiyah dan Hanabilah. 2. Pendapat yang menyatakan bahwa melafadzkan niat dalam sholat bukanlah hal yang di syariatkan. Hanafiyah mengatakan, melafadzkan niat dengan lisan adalah bidah, dan di sunnahkan untuk mencegah rasa was-was. Sedangkan Malikiyah mengatakan sesungguhnya melafadzkan niat adalah menyelisihi yang utama (lebih utama ditinggalkan). Dan di sunnahkan bagi yang terganggu (rasa was-was).[5] Dari pendapat para fukoha tidak di dapatkan satu pendapat pun yang mewajibkan untuk melafadzkan niat. Meskipun sebagian dari pengikut Imam Syafii mewajibkan mengucapkan niat dengan bardalih perkatan Imam Syafiiv. Beliau Imam Syafii mengatakan Harus mengucapkan dalam permulaan shalat. Mereka memahami bahwa yang di maksud oleh Imam Syafii adalah niat. Padahal yang di kehendaki oleh beliau adalah Takbiratul Ihrom, hal ini sebagaiman yang di jelaskan oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyahrahimahullahu taala dalam Majmu Fatawanya. Dan juga penjelasan dari Ibnu Qoyyim rahimahullahu taala, beliau menambahkan dengan mengatakan, bagaimana mungkin Imam Syafii menganggap sunnah perkara yang tidak dilaksanakan oleh Rasulullah shalallahu wa sallam dalam satu sholat pun, dan juga tidak pernah dilaksanakan oleh para sahabat beliau. Al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitabnya Jamiul Ulum Wal Hikam menyebutkan bahwa niat adalah di dalam hati dan tidak diwajibkan untuk melafadzkanya. Dalam hal melafadzkan niat tidak di dapatkan periwayatan yang khusus mengenai hal ini dari para salaf maupun dari para Aimmatul muslimin kecuali hanya dalam masalah Haji. Mujahid pernah berkata: jika ingin melaksanakan haji hendaklah menyebut apa yang terlihat baginya. V. Fatwa-Fatwa Para Ulama Berkenaan Dengan Melafadzkan Niat 1. Fatwa Lajnah Daimah Lembaga Lajnah Daimah ketika ditanya mengenai hukum melafadzkan niat dalam ibadah sholat seperti mengatakan (Nawaitu an usholli lillahi rokataini ..) maka pertanyaan tersebut dijawab bahwa sholat adalah ibadah, dan ibadah adalah tauqifi. Sholat tidak disyariatkan kecuali dengan apa yang ditunjukkan oleh al-Quran dan as-Sunnah. Tidak di dapatkan dari Nabi shalallahu wa sallam untuk melafadzkan niat dalam sholat, baik sholat fardhu maupun nafilah.

Kalaupun itu terjadi pasti para sahabat akan melakukannya, maka melafazkan niat dalam sholat adalah bidah secara muthlaq.[11] 2. Fatwa Syaikh Utsaimin Menrut Syaik Utsaimin bahwa melafadzkan niat tidak dikenal di zaman Nabi n atau dari para Salafus Solih, ia merupakan perkara yang diada-adakan manusia. Sesungguhnya niat adalah didalam hati, Allah maha mengetahuai apa yang ada pada hati-hati hamba-Nya. Kalaupun melafadzkan niat adalah perkara yang baik pasti para Salafu Sholih akan mendahului kita dalam mengamalkannya. Tidak mungkin bagi orang yang berakal melaksanakan suatu perbuatan tanpa dia berniat, maka dari ini sebagian ahli ilmu mengatakan Kalau Allah membebankan suatu amalan tanpa niat maka sungguh amalan itu dari perkara yang tidak bisa dilaksanakan. Maka tidak seharusnya bagi manusia untuk mengucapkan niatnya baik dalam sholat maupu ibadah-ibadah lainnya. Baik secara sir (perlahan) maupun jahr (suara keras).[12] 3. Fatawa al-Azhar Sesungguhnya niat adalah menyengaja dan ia merupakan amalan hati, tidak wajib melafadzkan niat dalam sholat. Sah dan tidaknya sholat tidak bisa ditentukan dengan ia melafadzkan niat atau tidak, baik sir maupun jahr. Syafiiyah menyebutkan bahwa melafadzkan niat adalah sunnah, dikarenakan dapat membantu hati. Malikiyah mengatakan bahwa melafadzkan niat menyelisihi yang utama, kecuali bagi orang yang was-was, dan hanafiyah menyebutkan ia merupakan amalan bidah, dan disunnahkan menurut mereka bagi yang was-was. Sedangkan Ibnu Qoyyim menyebutkan bahwa melafadzkan niat adalah bidah yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah n maupun para saabai-sahabat beliau. Pendapat yang menyatakan bahwa melafadzkan niat adalah bidah tidak bisa diterima selamanya dalam penulisan bahwa ia adalah dholalah (sesat). Para ulama yang mulia berpendapat bahwa mereka menjadaikan melafadzkan niat sebagai amalan sunnah atau mandzub dalam keadaan tertentu, seperti rasa was-was, dan lainnya, dengan mengetahui bahwa melafadzkan niat tidak membahayakan. Dan terkadang bermanfaat. BAGIAN 3 Ulama dan Kitab Syafiiyyah & ulama lainnya yang mensunnahkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) adalah sebagai berikut ; 1. Al-Allamah asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab Syafiiiyah), dalam kitab Fathul Muin ...bi syarkhi Qurratul 'Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 ; . ( . ) ( ) 2. Al-Imam Muhammad bin Abi al-'Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan "Syafi'i Kecil" [ : 734 : I zuj ,( ) jathuM lutayahiN batik malad [ 3. Asy-Syaikhul Islam al-Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy (Ulama Bermadzhab Syafi'iyah) dalam kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Ath-Thullab ([ ) I/38] : ( ) ( ) 4. Diperjelas (dilanjutkan) kembali dalam Kitab Syarah Fathul Wahab yaitu Hasyiyah Jamal Ala Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, karangan Al-'Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal ; 6. Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbainiy, didalam kitab Mughniy Al Muhtaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj (1/150) ; ( ) ( ) 7. Al-'Allamah Asy-Syaikh Al-Imam Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj ( ; talahS gnatnet nasahabmep adap ( 8. Al-Allamah Al-Imam Syayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab Ianatut Thalibin ([ ) I/153] ; (. ) : ) : ( . :

9. Al-Allamah Asy-Syaikh Al-Imam Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin ( : (361) I zuJ ( ( ( ) ( 10. Didalam Kitab Matan Al-Minhaj lisyaikhil Islam Zakariyya Al-Anshariy fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i : "(disunnahkan) melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram)" 11. Kitab Safinatun Naja, Asy-Syaikh Al-Alim Al-Fadlil Salim bin Samiyr Al-Hadlramiy alaa Madzhab Al-Imam Asy-Syafii ;

12. Didalam kitab Niyatuz Zain Syarh Qarratu 'Ain, Al-'Allamah Al-'Alim Al-Fadil Asy-Syekh An-Nawawi Ats-Tsaniy (Sayyid ; )Ulama Hijaz ( ; 13. Kitab Faidlul Haja 'alaa Nailur Roja, Al-'Alim Ahmad Sahal bin Abi Hasyim Muhammad Mahfudz Salam Al-Hajiniy ,14. Kitab Minhajut Thullab ,15. Kitab Minhaj Ath-Thalibin wa Umdat Al-Muftin ) ( ) ; )191/1( 16. Al-'Allamah Asy-Syaikh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam kitab Minhajul Qawim ( ) (

17. Al-'Allamah Asy-Syaikh Al-Imam Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairamiy Asy-Syafi'i, Tuhfatul habib ala ; syarhil khotib(1/192), Darul Kutub Ilmiyah, Beirut - Lebanon : ) ( 18. Al-'Allamah Al-Imam Muhammad Asy-Syarbiniy Al-Khatib, didalam kitab Al-Iqna' Fiy Alfaadh Abi Syuja', pada ; "pembahasan "Arkanush shalah 19. Didalam kitab Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, Asy-Syekh Musthafa Al-Bugha & Asy-Syekh Muhyiddin Misthu, telah ,1.menjelaskan tentang hadits No 20. Didalam kitab Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah (Syarah) 'alaa Al-Adzkar An-Nawawiyah (1/54), Asy-Syekh Muhammad Ibnu ,'Alan Ash-Shadiqiy mengatakan : 21. Di riwayatkan dari Al-Hafidz Al-Imam Ibnu Muqri' didalam kitab Mu'jam beliau (336) tentang Imam Syafii : ; )042/1( 22. Kitab Hawasyi Asy-Syarwaniy : ) ,23. Kitab Kasyfu As-Saja (: ....) ( ( ,) ( 24. Kitab Al-Muhadzab ..... (

25. Kitab Mukhtashar Ar-Risalatul Wahbiyyah fiy Sunanish Shalaati Ar-Raba'iyyah, ta'lif Al-'Allamah Asy-Syarif Hamid bin , Abdullah Al-Husainiy Al-A'rajiy Al-Maradiniy ,26. Al-Fiqhu 'alaa Madzahibil Arba'ah : :

) : :

Diantara Ulama Hanafiyah memang ada yang mengatakan bahwa melafadzkan niat adalah bidah namun disunnahkan untuk menghilangkan was-was, dengan demikian maka maksud bidah tersebut adalah bidah yang baik sebab ulama .Hanafiyah mensunnahkannya jika untuk menghilangkan was-was ,Dan masih banyak lagi hal yang serupa Tujuan dari melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagaimana dijelaskan diatas adalah agar lisan dapat membantu hati yaitu membantu kekhusuan hati, menjauhkan dari was-was (gangguan hati), serta untuk menghindari perselisihan dengan

ulama ...yang mewajibkannya. Selain itu lafadz niat adalah hanya demi takid yaitu penguat apa yang diniatkan. Berkata shohibul Mughniy : Lafdh bimaa nawaahu kaana takiidan (Lafadz dari apa apa yg diniatkan itu adalah demi penguat niat saja) (Al Mughniy Juz 1 hal 278), demikian pula dijelaskan pd Syarh Imam Al Baijuri Juz 1 hal 217 bahwa lafadh niat bukan wajib, ia hanyalah untuk membantu saja. Al-Imam Al-Bahuuti (Ulama Hanabilah) berkata dalam Syarah Muntaha Al-Iradat ; . : : :

".. dan melafadzkannya dengan apa yang diniatkan adalah penguat (ta'kid)" Dan sungguh begitu indahnya kata-kata ulama, mereka sebisa mungkin menghindari perselisihan bahkan dalam perkara yang seperti ini, tidak seperti saat ini, sebagian kelompok kecil ada yang beramal ASBED (asal beda), selalu mengangkat perkara khilafiyah dan begitu mudah mulut mereka membuat tuduhan bidah terhadap pendapat yang lainnya. Padahal dengan kata lain, tuduhan bidah yang mereka lontarkan, hakikatnya telah menghujat ulama dan menuduh ulama-ulama Madzhab yang telah mensunnahkannya. Kesunnahan melafadzkan niat dari ulama Syafiiiyah juga dapat dirujuk pada pendapat dalam kitab ulama syafiiiyah lainnya maupun kitab-kitab ulama madzhab yang lainnya. Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) juga merupakan ucapan yang baik, bukan ucapan yang buruk, kotor maupun tercela. Sebagai sebuah perkataan yang baik maka tentunya diridhoi oleh Allah Subhanahu wa taalaa dan Allah senang dengan perkataan yang baik. Dengan demikian ucapan yang terlontar dari lisan seorang hamba akan dicatat oleh malaikat sebagai amal bagi hamba tersebut. Allah berfirman ; Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir (QS. alQaaf 50 : 18) Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataanperkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS. al-Fathir 35 : 10) Dengan demikian, melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagai sebuah ucapan yang baik, juga memiliki nilai pahala sendiri disisi Allah berdasarkan ayat al-Quran diatas yaitu masih berada dibawah nas-nash yang umum. Didalam madzhab lainnya selain madzhab Syafiiiyah juga mensunnahkan melafadzkan niat, misalnya diterangkan dalam kitab Fiqh alaa Madzahibil Arbaah bahwa Ulama Syafiiyyah dan Hanabilah telah sepakat hukum melafadzkan niat adalah sunnah s...edangkan ulama Hanafiyah dan Malikiyah sunnah bagi orang yang was-was, : )

Misal pendapat dari Kalangan Malikiyah, 27. Al-Imam Al-'Allamah Ad-Dardir rahimahullah ta'alaa didalam Syarh Al-Kabir, ) ( ) (

..dan melafadzkan niat yaitu seorang mushalli melafadzkan niat dimana dia mengatakan seumpama ( ..aluA lufalihk ankamib ( ) helob aynduskam saul/'isaw halada ( 28. Ulama Maliki lainnya, Al-Imam Ad-Dasuqiy Al-Maliki rahimahullah didalam kitab Hasyiyahnya 'alaa Syarh Al-Kabir berkata,

dan tetapi dikecualikan bagi orang yang was-was maka sesungguhnya baginya di sunnahkan melafadzkan niat.. Dan berikut adalah keterangan dari Asy-Syaikh Wahbah Az-Zuhailiy, 29. Al-Allamah Asy-Syaikh Wahbah Az-Zuhailiy, didalam Kitab Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu (1/137-138 dan 182), : : )2 ) : .,,,,,,,,,,,,. . : : . : { ][ :

: { . :

: : .,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,.

: : Berdasarkan kesepakatan para Fuqaha tempatnya niat dalam hal apa saja adalah didalam hati, melafadzkan niat saja tidak cukup dan tidak disyaratkan melafadzkan niat. Tetapi bagi Jumhur selain Ulama Malikiyyyah melafadzkan niat adalah sunnah agar lisan dapat membantu hati dalam hal menghadirkan niat, agar dengan mengucapkannya bisa membantu dalam hal berdzikir (mengingat-ingat). Dan yang lebih utama pada Ulama Malikiyyah meninggalkan melafadzkan niat karena tidak pernah diucapkan oleh Nabi shallallahu alayhi wa sallam dan shahabatnya. Dan Demikian juga tidak dilafadzkan oleh Imam yang empat, dan karena tempatnya niat adalah didalam hati pada seluruh Ibadah. Sesungguhnya niat itu ikhlas dan tidak akan pernah ikhlas kecuali dengan hati atau hakikatnya niat adlah menyengaja secara mutlak. Apabila berniat dengan hatinya dan melafadzkannya dengan lisan, menurut Jumhur itu lebih sempurna. Namun, bila melafadzka dengan lisan tanpa berniat dalam hatinya maka itu tidaklah mencukupi. Adapun jika berniat didalam hati dan tidak melafadzkan dengan lisannya maka itu sudah mencukupi. .. Sesungguhnga tidak cukup hanya melafadzkan niat dengan lisan tanpa dengan hati, berdasarkan firman Allah Mereka tidak diperintah kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus dan ikhlas itu bukan dengan lisan, , dan tidak sah ber-Ihram kecuali dengan niat berdasarkan sabda Nabi, bahwa sesungguhnya perkerjaan dengan niat dan oleh karena Haji dan Umrah merupakan ibadah mahdlah maka tidak sah tanpa niat, seperti puasa dan shalat (yang juga ibadah mahdlah). Tempatnya niat sudah kita pahami bahwa tempatnya adalah didalam hati. Dan Ihram ; niatnya didalam hati, adapun yang lebih utama menurut sebagian besar Ulama adalah melafadzkan niatnya, sebagaimana riwayat Imam Muslim dari Anas radliyallahu anh.. Pada halaman lainnya, (1/682), : :

tempatnya niat yaitu tempat menentukan niat adalah hati berdasarkan kesepakatan, dan disunnahkan melafadzkan niatmenurut Jumhur selain ulama Malikiyyah. Ulama Malikiyyah mengatakan, boleh melafadzkan niat dan yang lebih utama meninggalkannya didalam shalat atau lainnya. HAL-HAL YANG BERKAITAN : A. Perihal Hadits ( ,) Sesungguhnya amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat, dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan [Arbain an-Nawawi, ha...dits pertama (]) Hadits ini sama sekali tidak berbicara bahwa melafadzkan niat adalah bidah, namun mengenai niat sebagai syarat sahnya sebuah amal, atau niat sebagai penyempurna sebuah amalan. Sebagaimana shalat juga tidak sah jika tidak disertai dengan niat, sebab niat dalam shalat merupakan bagian dari rukun sholat yang aktifitasnya didalam hati. Berbeda dengan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) dimana aktifitasnya adalah lisan dan bukan merupakan rukun shalat, namun sunnah. Kesunnanan ini (Talaffudz binniyah) baik dikerjakan atau tidak, tidak merusak pada sahnya shalat dan tidak juga menjadikan shalat batal.

Sebagian ulama menjadikan hadits tersebut sebagai dalil bahwa niat adalah termasuk syarat shalat dan sebagian yang lainnya berpendapat bahwa niat adalah termasuk rukun shalat. Didalam kitab syarahnya yaitu dalam kitab Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, telah dijelaskan tentang hadits No.1,

"dan tempat niat didalam hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, dan tetapi disunnahkan (melafadzkan) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkan niat". B. Perihal Jawaban Imam Ahmad : Abu Dawud As-Sijistany , penulis kitab As-Sunan pernah bertanya kepada Imam Ahmad, "Apakah seorang yang mau melaksanakan Sholat mengucapkan sesuatu sebelum takbir?" Jawab beliau, " tidak usah". [Lihat Masa'il Abi Dawud (hal.31)] Dalam Masail Abi Daud diatas, Imam Ahmad tidak membidahkan, beliau hanya mengatakan tidak usah. Sedangkan kalangan Madzhab Hanabilah sendiri mensunnahkan melafadzkan niat. C. Perihal Ulama Yang Mewajibkan (Melafadzkan niat). Ini kami anggap penting untuk dijelaskan, agar tidak terjadi salah paham atau disalah pahami untuk menyalah pahamkan pendapat lainnya. Sebagaimana sudah disebutkan diatas, oleh Imam Ibnu H...ajar Al-Haitami (Tuhfatul Muhtaj), Imam Ramli (Nihayatul Muhtaj), Al-'Allamah Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz (Fathul Mu'in) dan yang lainnya, bahwa penetapan hukum sunnah terhadap melafadzkan niat (talaffudz binniyah) juga bermaksud menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. Perlu diketahui bahwa ulama yang mewajibkan (talaffudz binniyah) juga dinisbatkan kepada madzhab Syafi'iyyah sebab memang masih bermadzhab Syafi'i. Beliau adalah Imam Abu Abdillah az-Zubairiy ( .) Beliau mewajibkan melafadzkan niat berdasarkan pemahamannya terhadap perkataan Imam Syafi'i tentang "an-Nuthq (.) Menurut pemahaman beliau apa yang dimaksud oleh Imam Syafi'i dengan "an-nuthq ( ")adalah melafadzkan niat. Padahal yang dimaksud oleh Imam Syafi'i dengan an-Nuthq ( )adalah Takbir (Takbiratul Ihram), menurut Al-Imam Nawawi. Hal ini dijelaskan dalam Kitab Al-Majmu' (II/43) ; :

"Karena sesungguhnya Al-Imam asy-Syafi'i berkata didalam (Bab) Haji : "apabila seseorang berniat menunaikan ibadah haji atau umrah dianggap cukup sekalipun tidak dilafadzkan. Tidak seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan melafadzkannya (an-Nuthq)" Jadi, beliau (Abu Abdillah az-Zubairiy ) mengira bahwa Imam Syafi'i memasukkan talaffudz binniyah menjadi bagian dari syarat sahnya shalat, padahal tidak demikian. Maka, itu sebabnya pendapat yang mewajibkan ini dikatakan syad (menyimpang) oleh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy didalam Tuhfatul Muhtaj (II/12) : menyimpang)" Al-Imam an-Nawawi didalam kitab Al-Majmu' (II/43) juga menjelaskan kekeliruan tersebut. :

" dan (juga) untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syad (

"beberapa shahabat kami berkata : "Orang yang mengatakan hal itu telah keliru. Bukan itu yang dikehendaki oleh Al-Imam Asy-Syafi'i dengan kata "an-Nuthq (melafadzkan)" di dalam shalat, tetapi yang dikehendaki adalah Takbir (Takbiraul Ihram)" Sementara lihatlah begitu indah menyebut Syekh Abu Abdillah az-Zubairy dengan sebutan "Ashabinaa", walaupun tidak

menyetujui pendapatnya. Tauladan yang sangat terpuji dalam menyikapi khilafiyah. Disebutkan juga dalam Al-Hawi fiy Fiqh Asy-Syafi'i, Al-Imam Al-Mawardiy Asy-Syafi'i, Darul Kutub Ilmiyyah, Beirut Lebanon ; : : . . dan didalam kitab Hilyatul Ulama fiy Ma'rifati Madzahib Al-Fuqaha (2/70), Al-Imam Saifuddin Abu Bakar Muhammad bin Ahmad Asy-Syasyi Al-Qaffal,

Jadi, pendapat yang dianggap menyimpang/keliru adalah jika melafadzkan niat (talaffudz binniyah) dimasukkan sebagai bagian dari fardhu shalat atau shalat dianggap tidak cukup jika tanpa melafadzkan niat. Sebab mewajibkan talaffudz binniyah sama saja telah masukkannya sebagai bagian dari shalat. Maka yang sebenarnya tidak dikehendaki adalah dalam hal mewajibkannya bukan kesunnahan melafadzkan niat.

Anda mungkin juga menyukai