Anda di halaman 1dari 13

BAB I PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Tanah masam (acid soils) adalah tanah-tanah yang memiliki pH rendah (agak masam hingga sangat masam atau < 6,5), baik berupa lahan kering (up land) maupun lahan basah (wet land) . Umumnya tanah tanah masam tersebar di kawasan tropika basah seperti : Negara Indonesia, Malaysia, Thailand, Brasil, Afrika tengah, Banglades dan Papua. Indonesia memiliki tanah masam cukup luas yang sebagian besar di berbagai pulau, seperti jenis tanah Aluvial, Latosol, Organosol, dan PMK. Potensi tanah masam dapat berupa : (1) Lahan kering (up land), dan (2) Lahan basah (wet land). Penyebab lahan masam adalah : (1) Tanah Mineral: disebabkan curah hujan sehingga terjadi pencucian basa-basa (CaO, MgO, Na2O, K2O, Dll), dan terjadi pemekatan unsur Aluminium (Al2O3) dan besi/Fe (Fe2O3) Dll. (2) Tanah organik (Non mineral): disebabkan asam-asam yang berasal dari dekomposisi BO, Oksidasi mineral pirit, dan Reaksi dari pupuk yang diberikan. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana Pengendalian Keasaman Tanah?

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Kemasaman Tanah Pada daerah iklim Tropis Basah, pengasaman tanah adalah proses alamiah (natural). Kemasaman tanah merupakan salah satu masalah utama bagi pertumbuhan tanaman. Pada tanah bereaksi atau pH sangat masam, yaitu pH lebih rendah dari 4,5, maka dalam sistem tanah akan terjadi perubahan kimia sebagai berikut: Aluminium menjadi lebih larut dan beracun untuk tanaman. Sebagian besar hara tanaman menjadi kurang tersedia bagi tanaman, sedangkan beberapa hara mikro menjadi lebih larut dan beracun. Masalah-masalah ini tersebar luas di daerah tropis basah yang telah mengalami pelapukan lanjut. Menurut Sanchez dan Logan (1992), bahwa sepertiga dari daerah tropis, atau 1,7miliar hektar, adalah tanah bereaksi asam dengan tingkat kelarutan aluminium cukup tinggi sehingga menjadi racun bagi tanaman. Pengaruh Negatif dari Kemasaman Tanah terhadap Tanaman Kemasaman tanah dapat menyebabkan permasalahan sebagai berikut: Penurunan ketersediaan unsur hara bagi tanaman; Meningkatkan dampak unsur beracun; Penurunan hasil tanaman; Mempengaruhi fungsi penting biota tanah yang bersimbiosis dengan tanaman seperti fiksasi nitrogen oleh Rhizobium. Kriteria Kemasaman Tanah (pH) Pengelompokan kemasaman tanah berbeda dengan pengelompokkan terhadap sifat kimia tanah lain, karena untuk kemasaman tanah (pH) dikelompokkan dalam enam kategori berikut: Sangat Masam untuk pH tanah lebih rendah dari 4,5 Masam untuk pH tanah berkisar antara 4,5 s/d 5,5 2

Agak Masam untuk pH tanah berkisar antara 5,6 s/d 6,5 Netral untuk pH tanah berkisar antara 6,6 s/d 7,5 Agak Alkalis untuk pH tanah berkisar antara 7,6 s/d 8,5 Alkalis untuk pH tanah lebih besar dari 8,5.

2.2 Sumber Kemasaman Tanah 1. Hujan asam karena adanya CO2, SO2, SO3 diudara terlarut dalam air dan beraksi menjadi asam karbonat, asam sulfit dan asam sulfat. Asam-asam ini akan menyebar kesegala penjuru lewat selokan, anak sungai sungai, kembali lagi naik ke waduk, dam kembali ke persawahan. Sumber gas-gas tersebut bisa karena letusan gunug api, asap pembakaran hutan, pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor, dan pembakran-pembakaran lain yang sebagian besar mengahsilkan gas CO2 (misalnya pembakaran sampah yang terjadi dimana-mana). 2. Proses pembusukan bahan organik dalam tanah, karena dalam tanah terjadi dekomposisi bahan organik oleh bakteri dan menghasilkan asam. 3. 4. Jenis batuan yang memang bersifat asam misalnya batuan sedimen yang berasal dari gunung berapi. Penggunaan pupuk ZA (Zwaqavelzuur Amonia) yang rumus kimianya (NH4)2 SO4, ini adalah sebenarnya garm yang berasal dar basa lemah NH4OH dengan asam kua H2SO4, makan hasilnya H2O dan pupuk tadi. 5. Mineral-mineral memiliki kecenderungan untuk menyerap ion OH- dari air dan melepaskan H+ (asam). Hal ini dijelaskan dengan berbagai teori, antara lain hidrolisis.. 6. Hasil dekomposisi oleh bakteri adalah asam. Bakteri juga menghasilkan asam untuk membantu menghancurkan materi yang akan didekomposisi. 7. Jenis perairan wilayah. Contohnya pada daerah Kalimantan, perairan masih bersifat asam (sudah diuji dengan berbagai

indikator), tidak heran sifat tanah di sana juga bersifat asam. Misalnya tanah gambut dan sebagainya. 2.3. Faktor Penyebab Terjadinya Kemasaman Tanah 1. Air Hujan Ada kekhawatiran tentang hujan asam, tetapi hampir semua hujan adalah ber pH rendah (asam). Air Hujan murni yang tidak mengandung bahan pencemar pada dasarnya adalah air distilasi. Air hujan ini yang dalam kesetimbangan dengan atmosfer akan memiliki pH sekitar 5,6 karena pelarutan karbon dioksida di dalam air. Ketika air hujan murni berada dalam kesetimbangan dengan karbon dioksida, maka konsentrasi ion hidrogen yang dihasilkan menyebabkan pH 5,6. 2. Respirasi Akar Tanaman juga menghasilkan karbon dioksida karena proses respirasi akar, dan selama periode pertumbuhan aktif akar dapat menyebabkan karbon dioksida di tanah yang konsentrasinya lebih tinggi beberapa kali dari di atmosfer, sehingga terjadi peningkatan jumlah karbon dioksida terlarut dalam air tanah dan menyebabkan peningkatan keasaman tanah atau pH menjadi lebih rendah. 3. Pupuk Karbon dioksida bukan satu-satunya sumber ion hidrogen dalam tanah, namun. Pada tanah yang dikelola, pupuk dapat menjadi sumber utama ion hidrogen. a. Faktor Pupuk (Pupuk Amonium dan Pupuk Mono Kalsium Fosfat). Pupuk Amonium Pupuk modern biasanya menggunakan amonium sebagai sumber nitrogen, akan tetapi oksidasi ammonium dihasilkan ion nitrat dan ion hidrogen sehingga menyebabkan pengasaman tanah. b. Pupuk Mono Kalsium Fosfat Monocalcium fosfat yang sering digunakan sebagai salah satu komponen pupuk juga menjadi faktor penyebab terjadinya proses pengasaman tanah

(meskipun lebih rendah daripada amonium). Senyawa ini akan terhidrolisis dalam air membentuk fosfat bikalsium dan Asam fosfat. Asam fosfat terdisosiasi sangat cepat seiring dengan peningkatan pH dari 3,0 menjadi lebih dari 7.0. Secara umum ion hidrogen (H+) ketiga tersebut akan terlarut pada pH di atas netral, sehingga tidak termasuk faktor penyebab pengasaman tanah. Akan tetapi, kedua ion hidrogen ( H+) yang sudah terlarut dalam kisaran pH tanah asam, termasuk faktor penyebab kemasaman tanah. Ketika pupuk fosfor diberikan dalam lubang tugal, maka H3PO4 terdisosiasi dalam tanah sehingga terjadi nilai pH yang sangat rendah didekat pupuk tersebut. Tingkat keasaman ini akan secara bertahap menyebar ke dalam tanah sekitar lokasi pupuk. Menurut Lindsay dan Stephenson (1959), nilai pH 1,5 dapat ditemukan segera di zona sekitar pupuk tersebut. Faktor Reaksi Oksidasi yang Menghasilkan Ion Hidrogen Semua reaksi oksidasi dalam tanah yang menghasilkan ion hidrogen dapat menyebabkan terjadinya pengasaman tanah. Salah satu reaksi pengasaman paling efektif adalah oksidasi sulfur anorganik. Belerang biasanya digunakan jika tanah memiliki pH lebih tinggi dari yang diinginkan, sehingga diperlukan upaya penurunan pH tanah. Misalnya, Reaksi oksidasi pirit yang terjadi pada tanah rawa yang diangkat sehingga terjadi reaksi oksidasi dari pirit tanah tersebut. Setiap ion S dihasilkan 2 ion Hidrogen. 4. Bahan Organik Berbagai macam Bahan Organik juga dapat menyebabkan pengasamkan tanah. Kemampuan pengasamannya tergantung pada jenis tanaman sebagai sumber bahan organik tersebut. Beberapa tanaman mengandung asam organik dalam jumlah yang sangat berbeda dengan tanaman lainnya. Asam organik hasil dekomposisi bahan organik menyebabkan pengasaman tanah. Bahan organik yang berasal dari tanaman dengan kandungan basa-basa rendah juga menyebabkan terjadinya sedikit pengasaman tanah. Bahan organik yang berasal dari tanaman dengan kandungan basa-basa kurang mencukupi kebutuhan mikrobia pendekomposernya, menyebabkan mikrobia tersebut 5

menyerap basa-basa keperluannya dari sistem tanah, sehingga basabasa tanah seperti kalsium dan magnesium terkuras dari tanah maka menyebabkan terjadinya pengasaman tanah. 5. Tanaman Pertumbuhan tanaman juga berkontribusi dalam pengasaman tanah, proses penyerapan hara utama (kalium, kalsium dan magnesium) disertai pertukaran dengan ion hidrogen sehingga menyebabkan terjadinya pengasaman tanah. Jenis Tanaman tertentu adalah juga mempengaruhi pengasaman tanah. Contohnya tanaman

Legumninosa. Selama masa pertumbuhan tanaman Leguminosa terjadi penyerapan anion dan kation dengan perbandingan yang tidak seimbang, sehingga lebih mengasamkan tanah. Tanaman leguminosa menyerap hara nitrogen dari hasil fiksasi mikrobia yang bersimbiosis dengannya. Tanaman non-leguminosa menyerap nitrogen dari sistem tanah dan penyerapan ini dalam kondisi yang seimbang dengan penyerapan kation-kation basa, sehingga lebih sedikit pertukaran dengan ion hidrogen, maka sedikit menyebabkan pengasaman tanah. 6. Hujan Asam Hujan asam juga memberikan kontribusi dalam proses pengasaman tanah. Dalam sistem tanah kontribusi dari hujan asam relatif rendah dibandingkan dengan pengaruh dari pasir sesquioxida yang bersifat sangat asam yang kapasitas tukar kation sangat rendah. Akan tetapi banyak tanaman sangat peka terhadap pengaruh dari hujan asam.

2.4 Masalah Dan Pengelolaan Tanah Masam Dengan Pengapuran a. Potensi Tanah Masam Potensi tanah masam di Indonesia sangatlah besar. Pada umumnya tanah di Indonesia didominasi oleh ordo tanah Ultisol (Podsolik Merah Kuning) dengan pH 4 5. Tanah ultisol merupakan tanah yang umumnya diusahan sebagai lahan pertanian baik itu pertanian lahan basah maupun pertanian lahan kering. Tanah ultisol sendiri mempunyai luas hingga 38,437 juta Ha di Indonesia. Sehingga pada umumnya tanah masam merupakan tanah yang tersedia untuk lahan pertanian di Indonesia. 6

b. Masalah Tanah Masam Masalah tanah masam sangat kompleks. Mulai dari kandungan hara hingga mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Masalah yang umumnya terjadi pada tanah masam antara lain : 1. Terakumulasinya ion H+ pada tanah sehingga menghambat

pertumbuhan tanaman. 2. Tingginya kandungan Al3+ sehingga mearcun bagi tanaman. 3. Kekurangan unsur hara Ca dan Mg 4. Kekurangan unsur hara P karena terikat oleh Al3+ 5. Berkurangnya unsur Mo sehingga proses fotosintesis terganggu, dan 6. Keracunan unsur mikro yang memiliki kelarutan yang tinggi pada ranah masam. c. Tujuan, Cara dan Manfaat Pengapuran Tujuan dari pengapuran pada intinya dalah bagaimana supaya tanah memiliki pH yang sesuai dengan kebutuhan tanaman dan kelarutan Al dalam tanah dapat ditekan. Cara pengapuran sendiri yang sesuai dengan rekomendasi pengapuran adalah : 1. Tanah diolah baik itu dicangkul atau dibajak. 2. Kapur ditabur merata diatas permukaan tanah, dengan dosis kapur sesuia dengan kebutuhan tanaman dan tingkal kejenuhan Al. 3. Tanah diaduk hingga kedalaman 20 cm 4. Dibiarkan selama 2 minggu baru kemudian ditanami. Manfaat kapur yang diberikan kedalam tanah adalah : 1. Menurunkan pH tanah 2. Menurunkan kelarutan Al 3. Meningkatkan kandungan unsur hara Ca dan Mg. 4. Memperbaiki tekstur, struktur dan memantapka agregat tanah 5. Menurunkan tingkat bahaya erosi karena agregat tanh yang mantap 6. Memperbaiki sifat biologi tanah seperti aktivitas mikro organism.

Cara

untuk

menghitung

kebutuhan

kapur

biasanya

dengan

mengkalibrasikan dengan kandungan Al-dd. Yaitu dengan cara : Jika diketahui kebutuhan kapur = 1 x Al-dd artinya 1 me Ca/100g tanah untuk menetralkan 1 me Al/100 g tanah. 1 me Ca/100 gr tanah = Berat Atom Ca/Valensi x me Ca/100 g tanah 1 me Ca/100 gr tanah = 40/2 x 1 me Ca/100 g tanah = 20 mg Ca/100 g tanah = 200 mg Ca/1 kg tanah x 2 x 106 (asumsi kedalaman tanah 20 cm, BV = 1 gr/cm3) = 400 kg Ca/ha Untuk mengitung kebutuhan kapur pertanian : = Berat Atom Total/Berat Atom Ca x Kebutuhan Ca Untuk menghitung kebutuhan CaCO3 (1 x Al-dd): = 100/40 x 400 Kg Ca/ha = 1 ton CaCO3/ha Untuk CaO (1 x Al-dd): = 56/40 x 400 Kg Ca/ha = 0.56 ton CaO/ha Untuk Ca(OH)2 (1 x Al-dd): = 74/40 x 400 Kg Ca/ha = 0,74 ton Ca(OH)2/ha 2.5 Pengelolaan Lahan Masam Melalui Kontrol Aktivitas Mikroorganisma Adanya proses oksidasi senyawa pirit dan proses reduksi dari hasil oksidasi tersebut membawa berbagai dampak negatif bagi pertumbuhan tanaman dan lingkungan sekitarnya. Karena itu perlu dilakukan upaya penanggulangan agar dampak negatif tersebut dapat ditekan seminimal mungkin tanpa banyak mengurangi tingkat produksi padi. Dalam proses oksidasi-reduksi pada tanah sulfat masam, terlihat betapa besarnya peran dari mikroorganisma, karena itu pendekatan pengelolaan tanah sulfat masam melalui mikroorganisma dapat didekati melalui: 1. Mencegah atau memperlambat terjadi proses oksidasi, yaitu mencegah kerja dari bakteri pengoksidasi tersebut, melalui:

a. Pemberian bakterisida. Aktivitas bakteri pengoksidasi dapat ditekan melalui pemberian bakterisida yang spesifik. Hasil pengujian Polford et al. (1988) mendapatkan bahwa bakterisida seperti Panasida (2,2 dyhydrpxy 5,5 dichlorophenylmethane) dan deterjen efektif mencegah kerja bakteri pengoksidasi Thiobacillus ferrooxidans. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Arkesteyn (1980), pemberian NaN3 dan N-ethylmaleimide (NEM) mampu menghambat oksidasi Fe2+ dan So. b. Mengurangi suplai oksigen melalui penggenangan, sehingga kerja bakteri pengoksidasi terhambat. Menurut Anonim (2002b), adanya udara mempercepat oksidasi S yang menyebabkan pH turun kurang dari 1. Kemasaman ini menyebabkan masalah pada organisme lain dan melarutkan logam-logam berat, sehingga lahan tidak layak digunakan untuk pertanian, tetapi berguna untuk menghambat Streptomyces scabies penyebab penyakit pada kentang. Wako et al. (1984) dan Jaynes et al. (1984 diacu dalam Mensvoort dan Dent 1998) menyebutkan bahwa kondisi optimum untuk oksidasi pirit sama dengan kondisi optimum untuk oksidasi besi oleh Thiobacillus ferrooxidans yaitu konsentrasi oksigen > 0,01 Mole fraksi (1%), temperatur 5-55oC (optimal 30oC), pH 1.5-5.0 (optimal 3.3). Menurut Anonim (2002b), bakteri tersebut adaptif pada pH rendah (optimum untuk pertumbuhannya 2-3) dengan konsentrasi besi ferro yang tinggi, besi tersebut digunakan sebagai donor elektron, dimana pengaruh pH pada konsentrasi besi direpleksikan dengan energi yang dihasilkan. c. Pemberian kapur, sehingga pH meningkat diatas 5,0 akibatnya aktivitas bakteri pengoksidasi terhambat, karena meningkatnya populasi bakteri lainnya yang dapat menyaingi dalam pengambilan berbagai kebutuhan hidupnya seperti oksigen dan lainnya. Menurut Mills (2002), terjadi suksesi bakteri dengan perubahan pH tanah. pH yang cocok untuk habitat Thiobacillus ferrooxidans adalah 1,5-3,5, dengan suhu optimal 30-35oC. Pada pH 3,5-4,5 didominasi oleh bakteri metalogenium, sedangkan pada pH netral didominasi oleh bakteri Thiobacillus thioparus. Selain itu, adanya ion Ca yang berasal dari kapur akan menetralkan ion sulfat membentuk gipsum (CaSO4) sehingga menurunkan aktivitas ion sulfat. Hasil penelitian Arkesteyn (1980) menunjukkan bahwa adanya penambahan kapur mencegah pemasaman, dimana pada pH dibawah 4,0, oksidasi kimia (tanpa bakteri) 9

lebih rendah dibanding tanah yang diberi bakteri Thiobacillus ferrooxidans (oksidasi biologi). Ini artinya pada pH diatas 4,0, kemampuan oksidasi secara biologi tidak berbeda dengan secara kimia, yaitu berjalan sangat lambat. Pada percobaan tersebut, bakteri pengoksidasi pirit lainnya seperti Leptospirillum ferrooxidans atau genus Metallogenium gagal diisolat. 2. Mempercepat proses reduksi sulfat dan besi, dengan menciptakan kondisi lingkungan yang diperlukan oleh bakteri tersebut. Hasil reduksi tersebut dikeluarkan dari lahan melalui air drainase saat air surut. Menurut Anonim (2002b), reduksi sulfat tersebut dimedia oleh organisme yang diketahui secara kolektif sebagai bakteri pereduksi sulfur (SRB). SRB merupakan bakteri obligat anaerob yang menggunakan H2 atau organik sebagai donor elektron (chemolithotrophic). Kelompok organisme pereduksi sulfat ini secara generik diberi nama awal dengan desulfo, dimana SO42- sebagai aseptor elektron. Menurut Mills (2002) bakteri tersebut berasal dari genus Desulfovibrio dan Desulfotomaculum yang merupakan organisme heterotrophic, yang menggunakan sulfate, thiosulphate (S2O3) dan sulfide (SO3-) atau ion yang mengandung sulfur tereduksi sebagai terminal aseptor elektron dalam proses metabolisme. Bakteri tersebut memerlukan subtrat organik yang berasal dari asam organik berantai pendek seperti asam laktat atau asam piruvat. Dalam kondisi alamiah, asam tersebut dihasilkan oleh aktivitas fermentasi dari bakteri anaerob lainnya. Laktat digunakan oleh SRB selama respirasi anaerobik untuk menghasilkan acetat dengan reaksi berikut: 2 CH3CHOHCOO- + SO4 2CH3COO- + 2HCO3- + H2S

H2S tersebut berguna untuk mengendapkan Cu, Zn, Cd sebagai metal sulfide. Menurut Anonim (2002a) dan Gadd (1999), bakteri pereduksi sulfat dapat mereduksi sulfat pada kondisi anaerob menjadi sulfida, selanjutnya dapat mengendapkan logam-logam toksik sebagai logam sulfida. Menurut Saida (2002), pada percobaan lab dengan media agar, bakteri tersebut dapat tumbuh sampai pH 2 dan meningkatkan pH media menjadi 6,4. Menurut Beckett et. al. (diacu dalam Sullivan et al. 2002), reduksi sulfat ke sulfide dalam lingkungan anarobik dilakukan oleh bakteri dan fungi. Beberapa gas

10

dihasilkan dalam oksidasi-reduksi sulfur tersebut dan tervolatilisasi ke atmosfer dengan jumlah kurang dari 5% dari total residu sulfur. Dua gas terpenting adalah SO2 dan H2S. SO2 dari lahan basah bergabung dengan yang berasal dari industri dapat membentuk formasi hujan asam. Pada kondisi aerobik, H2S mungkin dikonsumsi oleh pengoksidasi S, dimana SO2 diserap secara kimia.

11

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Tanah masam (acid soils) adalah tanah-tanah yang memiliki pH rendah (agak masam hingga sangat masam atau < 6,5), baik berupa lahan kering (up land) maupun lahan basah (wet land). Tujuan dari pengapuran pada intinya dalah bagaimana supaya tanah memiliki pH yang sesuai dengan kebutuhan tanaman dan kelarutan Al dalam tanah dapat ditekan. Pengelolaan tanah sulfat masam dapat dilakukan melalui pengendalian aktivitas mikroorganisma yaitu menghambat aktivitas bakteri pengoksidasi melalaui pemberian bakterisida, pemutusan suplai oksigen melalui penggenangan dan pemberian kapur agar terjadi suksesi bakteri. Sedangkan pada proses reduksi, perlu dirangsang dengan pemberian bahan organik sebagai sumber elektron dan energi serta penggenangan untuk memutus suplai oksigen sebagai aseptor elektron.

12

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Sifat Kimia Tanah. [on line] http://boymarpaung.wordpress.com/2009/02/19/sifat-kimia-tanah/. Rabu 21 -11-2012 Barchia, Faiz. 2009. Agroekosistem Tanah Mineral Masam. [on line] http://faizbarchia.blogspot.com/2009/05/agroekosistem-tanah-mineralmasam.html. Munir, Mohammad. 1996. Tanah-Tanah Utama Indonesia. Jakarta; PT DUNIA PUSTAKA JAYA. Pemerintah Kabupaten Garut. 2011. Kondisi Tanah [on line] http://www.garutkab.go.id/pub/static_menu/detail/sekilas_geografi_kondisi_ta nah Utami, S.N., dan Handayani, S. 2003. Sifat Kimia Entisol pada Sistem Pertanian Organik.Ilmu Pertanian Vol. 10 No. 2, 2003 : 63-69 Winarso. 2005. Pengertian dan Sifak Kimia Tanah.. Yogyakarta; GAJAH MADA UNIVERSITY PRESS. Yunan, dkk. 2006. Karakteristik Tanah Yang Berkembang Dari Batuan Diorit Dan Andesit Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol 6 (2) p: 109-115

13

Anda mungkin juga menyukai