Anda di halaman 1dari 5

TASMIYAH

Assalamu'alaikum wr. wb. Apakah TASMIYAH (pemberian nama terhadap anak)


hukumnya WAJIB? Anak saya telah lahir dan akan di-aqikah-kan pada umur 45 hari
(beberapa hari setelah lebaran). Tanya Jawab [445] Tentang Tasmiyah ----- Tanya ----Assalamu'alaikum wr. wb. Apakah TASMIYAH (pemberian nama terhadap anak)
hukumnya WAJIB? Anak saya telah lahir dan akan di-aqikah-kan pada umur 45 hari
(beberapa hari setelah lebaran). Wassalam suriani Wa'alaikumussalam wr wb Bapak
Suriani, Nama acapkali merupakan kebanggaan bagi seseorang. Namun ironis,
nama tak pernah menjadi pilihannya. Kedua orangtuanya-lah yang memilihkan
untuknya. Oleh karena itu, dalam Islam, nama yang baik adalah hak anak atas
kedua orang tuanya. Kata Nabi Muhammad saw: "Sesungguhkan kalian akan
dipanggil kelak di hari kiamat, dengan nama-nama kalian, dan nama-nama bapak
kalian. Maka perbaikilah nama-nama kalian." Berkenaan dengan pemberian nama
ini, ada perbedaan pendapat diantara ulama. Sebagian mensunahkan pemberian
nama di hari kelahiran, dan sebagian lainnya mensunahkannya di hari ke tujuh dari
kelahiran anak. Pendapat pertama bersandar kepada praktik Nabi Muhammad saw.,
ketika beliau memberi nama putra Abu Thalhah, putra Abu Musa, dan putra Abu
Usayd. Di mana Nabi malakukannya di hari kelahiran. Selain itu, Nabi Muhammad
saw, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim, mengatakan: "Dilahirkan
untukku, pada malam ini, seorang putra, lalu saya memberikan nama baginya,
nama ayahku, Ibrahim." Adapun pendapat ke dua bersandar kepada praktik Nabi
Muhammad saw. dalam memberi nama kedua cucu beliau, Hasan dan Husain.
Ibunda 'Aisyah ra mengatakan: "RasululLah saw. melaksanakan akekah untuk Hasan
dan Husain di hari ketujuh, dan Nabi memberikan nama bagi keduanya." Menurut
Imam Bukhari, dan disetujui oleh Imam Ibn Hajar, pemberian nama di hari kelahiran
disunnahkan bagi mereka yang tidak hendak menyembelih akekah. Sementara bagi
mereka yang hendak berakekah, maka pemberian nama bagi anak disunnahakan di
hari ke tujuh. Dengan demikian, sebaiknya Bapak memberi nama anak dahulu, lalu
di hari akikah, yang rencananya akan dilaksanakan setelah lebaran, cukup
diumumkan bahwa sang anak telah diberi nama fulan bin fulan. Demikian, semoga
membantu. Abdul Ghofur Maimoen

MENGUBAH NAMA ANAK

Alhamdulillah pada saat anak kami lahir, kami langsung memberikan nama dan sesudah
beberapa hari kemudian juga dikekahkan, namun belakangan saya baru merasa kalau nama yg
diberikan itu kurang baik/ kurang sreg, dlm arti kurang berbau islami ( Queen Latifa Angel ) utk
itu kami telah menggantinya dgn nama Latifa Humaira Pak Ustadz,nah yg saya ingin sekali
tanyakan: Apa saya telah menyalahi aturan secara islami dgn mengganti nama anak saya?
Tanya Jawab [446]:

Mengubah Nama Anak


Assalamualaikum pak ustadz...
Pak ustadz, saya masih ingin bertanya seputar tasmiyah, Alhamdulillah pada saat anak kami
lahir, kami langsung memberikan nama dan sesudah beberapa hari kemudian juga dikekahkan,
namun belakangan saya baru merasa kalau nama yg diberikan itu kurang baik/ kurang sreg, dlm
arti kurang berbau islami ( Queen Latifa Angel ) utk itu kami telah menggantinya dgn nama
Latifa Humaira Pak Ustadz,nah yg saya ingin sekali tanyakan:
1. apa saya telah menyalahi aturan secara islami dgn mengganti nama anak saya?
2. bagaimana tentang tanggapan sebagian orang yg mengatakan bahwa anak yg sering kali
dirawat atau sakit-sakitan bisa terjadi karena salah pemberian nama atau keberatan nama?
krn sejujurnya saya jadi takut kalau2 apa yg dikatakan mereka itu bisa saja betul,wallahualam
krn sbg seorang ibu jelas-jelas saya ingin yg terbaik buat anak saya Pak Ustadz, mengingat
dalam setahun anak saya sudah dirawat 5x, padahal pertumbuhan anak saya selalu diatas ratarata baik dlm tumbuh kembang fisiknya, tingkat kecerdasan, dsbnya.
Dan bagaimana dgn pernyataan mereka bahwa setelah nama anak diganti, si anak tdk pernah
sakit-sakitan lagi? Demikian pak ustadz pertanyaan saya, Besar harapan saya pak ustadz
berkenan menjawabnya atas perhatian dan jawaban pak ustadz, saya sangat berterima kasih
sekali.
Wassalamualaikum wr.wb
Henie
Wa'alaikumussalam wr. wb.
Yth Ibu Henie, Saya tidak melihat nama "Queen Latifa Angel" sebagai sebuah nama yang bukan
Islami, walau barangkali tidak kental nuansa Islaminya. Lain misalnya dengan "Latifa Humaira"
misalnya, yang teramat kental Isalmi-nya. Namun, Baiklah, saya akan mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan Ibu:
1. Mengganti nama bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Islam, kecuali, tentu saja, mengganti
nama yang baik dengan nama yang buruk. Bahkan sebaliknya, ada perintah atau anjuran agar
nama-nama yang tidak atau kurang sesuai dengan ajaran Islam diganti dengan nama yang baik.
Nama yang tidak Islami bisa dicontohkan dengan nama 'Abdul Hajar' [hamba batu], 'Abdul
'Uzza' [hamba berhala "Uzza"], dan lain sebagainya. Nama-nama yang tidak Islami seperti ini
harus diganti dengan nama-nama yang baik.

Diriwayatkan oleh Sahabat Hani': Datang satu delegasi kepada Nabi Muhammad saw., lalu Nabi
Muhammad mendengarkan mereka menyebut sebuah nama: Abdul Hajar. Maka berkata
kepadanya: "Siapa Namu kamu?", lalu ia menjawab: Abdul Hajar. Maka kemudian RasululLah
saw berkata: "Sesungguhnya kamu adalah Abdullah." Adapun nama-nama yang kurang sesuai
dengan ajaran Islam bisa dicontohkan dengan nama "Harb" [perang], atau "Hazin" [yang susah].
Nama-nama seperti ini sebaiknya diganti dengan nama yang labih baik, seperti pernah diajarkan
oleh RasululLah saw.
Diriwayatkan oleh Said bin al-Musayyab, dari ayahnya, dari kekeknya, ia mengatakan: "Saya
datang kepada Nabi Muhammad saw., lalu beliau berkata: "Siapa Namamu?" Saya menjawab:
"Hazin.", lalu RasululLah berkata: "Kamu Sahl [mudah].". Ia berkata: "Saya tidak akan
mengganti nama yang diberikan oleh Bapakku.". Berkata Sa' id bin Musayyab: "Maka kesusahan
itu selalu (menyertai) kita setelah itu."
Dengan demikian, mengganti nama yang seperti yang Ibu lakukan tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Demikian semoga membantu,
Abdul Ghofur Maimoen

NASAB ANAK YANG DINIKAHI WAKTU HAMIL


Ditulis oleh Dewan Asatidz
Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina baik oleh pria yang
menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu merupakan dosa besar. Persoalannya adalah
bolehkah menikahkan wanita yang hamil karena zina?
Yth. Pengasuh Rubrik Tanya Jawab
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Sungguh, saya mengucapkan banyak terima kasih atas kesediaan Bapak untuk menjawab
pertanyaan saya beberapa waktu yang lalu. Sekarang, ada satu persoalan yang membuat saya
bingung: Saat ini, barangkali sudah tidak begitu asing dengan adanya perempuan yang hamil di
luar nikah (meski jelas ini adalah perbuatan zina). Dan sebagai tindak lanjut dari keadaan yang
sudah terlanjur tersebut orang biasanya melakukan aborsi (saya sudah tahu bahwa yang semacam
ini adalah termasuk pembunuhan) atau melakukan pernikahan.
Pertanyaan saya, apakah pernikahannya ini sah? sebab, ada ustadz yang bilang bahwa
pernikahannya ini tidak sah sebab harus menunggu bayi itu lahir dan baru menikah. tapi, yang
seperti ini sepertinya tidak lazim dan malah membuat malu (aib) di kalangan masyarakat kita.
Bagaimana ini Bapak? sebab, kasus ini memang terjadi di tetangga saya, dan sebagian orang
yang percaya terhadap ungkapan ustadz tersebut (barangkali didukung dengan hadits Nabis

SAW) menganggap bahwa pernikahan tetangga saya tersebut tidak sah. katanya, ketika anaknya
sudah lahir kelak, ia harus menikah ulang lagi.
lho, pertanyaan saya, berarti pernikahaan kemarin hanya main-main dong, apakah boleh mainmain dengan agama? berarti hubungan yang dijalin selama belum nikah ulang berarti zina dong
(karena belum sah) Sungguh, atas jawabannya (bagaimana dengan pada zaman Nabi SAW)
dihaturkan banyak terima kasih. Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Harianto Widodo
Jawaban:
Assalamualaikum Wr.Wb,
Saudara Harianto yang baik,
Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina baik oleh pria yang
menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu merupakan dosa besar. Persoalannya adalah
bolehkah menikahkan wanita yang hamil karena zina? Para ulama berbeda pendapat dalam
masalah ini, ada yang secara ketat tidak memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada
penyelesaian masalah tanpa mengurangi kehati-hatian mereka. Sejalan dengan sikap para ulama
itu, ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan dan
memberikan ketenangan dan rasa aman. Patuh terhadap ketentuan hukum Islam, insya Allah
akan mewujudkan kemaslahatan dalam masyarakat.
Dalam Impres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam(KHI), Bab
VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut
berisi tiga(3) ayat , yaitu :
1. Seorang wanita hamil di laur nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa
menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang
setelah anak yang dikandung lahir.
Persoalan menikahkan wanita hamil apabila dilihat dari KHI, penyelesaiaanya jelas dan
sederhana cukup dengan satu pasal dan tiga ayat. Yang menikahi wanita hamil adalah pria yang
menghamilinya, hal ini termasuk penangkalan terhadap terjadinya pergaulan bebas, juga dalam
pertunangan. Asas pembolehan pernikahan wanita hamil ini dimaksudkan untuk memberi
perlindungan kepastian hukum kepada anak yang ada dalam kandungan, dan logikanya untuk
mengakhiri status anak zina.
Dalam kasus wanita hamil yang akan menikah dengan laki-laki lain yang tidak menghamilinya,
ada dua pendapat yaitu :

pertama, harus menunggu sampai kelahiran anak yang dikandung wanita tersebut. Dan status
anak yang dilahirkan kelak, dapat dianggap sebagai anak laki-laki yang mengawini wanita
tersebut dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Kedua, siapapun pria yang mengawini dianggap benar sebagai pria yang menghamili, kecuali
wanita tersebut menyanggahnya. Ini pendapat ulama Hanafi yang menyatakan bahwa
menetapkan adanya nasab (keturunan) terhadap seorang anak adalah lebih baik dibanding
dengan menganggap seorang anak tanpa keturunan alias anak haram.
Perkawinan dalam kasus ini dapat dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran bayi, dan anak yang
dikandung dianggap mempunyai hubungan darah dan hukum yang sah dengan pria yang
mengawini wanita tersebut. Di sinilah letak kompromistis antara hukum Islam dan hukum adat
dengan menimbang pada kemaslahatan, aspek sosiologis dan psikologis.
Sebagai akhir dari penjelasan ini adalah pembolehan Jumhur ulama berdasar pada hadis 'Aisyah
dari Ath-Thobary dan ad-Daruquthny, sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya tentang seorang
laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan dan ia mau mengawininya. Beliau
berkata:"Awalnya zina akhirnya nikah, dan yang haram itu tidak mengharamkan yang
halal."Sahabat yang mebolehkan nikah wanita berzina adalah Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas
yang disebut madzab Jumhur. (Ali Assobuny/I/hlm49-50).
Demikian penjelasan saya, semoga Allah menjauhkan kita dan saudara-saudara kita dari
perbuatan dosa, Amien.
Wassalamulaikum ,
Kuni Khairunnisa

Anda mungkin juga menyukai