Anda di halaman 1dari 16

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Semen
Semen adalah suatu campuran senyawa kimia yang bersifat
hidrolisis, artinya jika di campur dengan air dalam jumlah tertentu akan
mengikat bahan-bahan lain menjadi satu kesatuan masa yang dapat
memadat dan mengeras.
Secara umum semen dapat didefinisikan sebagai bahan perekat
yang dapat merekatkan bagian-bagian benda padat menjadi bentuk kuat,
kompak dan keras.
Semen disebut dalam keadaan baik apabilah semen tersebut
berbutir halus dan tidak terdapat gumpalan-gumpalan. Jenis semen yang
paling banyak diproduksi di Indonesia adalah semen dengan tipe I (OPC)
karena konsumen paling banyak atau besar menggunakan tipe semen
tersebut dibanding dengan tipe yang lain.
Usaha untuk membuat semen pertama kali dilakukan dengan
cara membakar batu kapur dan tanah liat. Joseph Aspadain yang
merupakan orang inggris, pada tahun 1824 mencoba membuat semen
dari kalsinasi campuran batu kapur dengan tanah liat yang telah
dihaluskan, digiling, dan dibakar menjadi lelehan dalam tungku, sehingga
terjadi penguraian batu kapur (CaCO 3) menjadi batu tohor (CaO) dan

II-1

karbon dioksida(CO2). Batu kapur tohor (CaO) bereaksi dengan senyawasenyawa lain membentuk klinker kemudian digiling sampai menjadi
tepung yang kemudian dikenal dengan Portland.
2.1.2 Bahan baku semen
Semen terdiri dari dua jenis, yaitu semen Portland dan semen
pusolan. Semen Portland (natural cement) adalah campuran antara
batugamping, lempung dan silika, setelah digerus dan dicampur dengan
air menghasilkan semen Yang bersifat keras. Sedangkan semen pusolan
(pozzolan cement), yaitu campuran gamping halus dan batuan gunung api
(tufa silikaan dan abu gunung api) atau bahan lain yang kemudian
dicampur dengan air menjadi bahan keras.
Semen Portland adalah perekat hidrolis yang dihasilkan dari
penggilingan klinker dengan bahan utamanya yaitu kalsium silikat
(CaSiO2), dan satu atau dua bahan kalsium sulfat (CaSO 4) sebagai bahan
tambahan. Sesuai dengan fungsinya, bahan mentah dalam industri semen
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :
1) Bahan mentah utama (Raw materials)
Bahan mentah ini merupakan bahan yang tidak bisa diganti
kedudukannya dengan bahan lain, karena semen sebagaian besar
tersusun dari bahan ini, yaitu batugamping dan lempung. Kedua bahan ini
memegang peranan yang sangat penting karena pada bahan ini mineral
calcareous (CaCO3 75 %) dan mineral argillaceaus (CaCO3 75 %)
terdapatnya atau berupa CaO. Pada adonan semen batugamping
mempunyai komposisi 70% - 75 % dan batu lempung 15 % - 20 %.
2) Bahan korektif (corrective materials)

II-2

Bahan korektif untuk pembuatan semen yaitu pasirbesi (Fe 2O3) dan
pasirkuarsa (SiO2). Komposisi untuk adonan semen dari kedua bahan ini
termasuk unsur minor karena berjumlah paling kecil. Pasirkuarsa
mempunyai komposisi 0,5% - 1,0% sedangkan pasirbesi 0,0% - 0,5% dari
keseluruhan adonan semen. Bahan ini dipakai apabilah kekurangan salah
satu komponen pada pencampuran bahan bahan mentah utama,
misalnya kekurangan unsur CaO, SiO2 atau Al2O3 dalam adonan.
Sedangkan pasir besi kadang kadang dapat diganti atau bahkan tidak
digunakan sama sekali apabila unsur yang terkandung didalamnya telah
tersedia.
3) Bahan tambahan (additive materials)
Bahan tambahan yaitu gipsum, yang ditambahkan pada saat
pembuatan semen sedang berlangsung, dicampurkan pada klinker atau
ditambahkan pada raw-mix. Komposisi gipsum dalam semen yaitu sekitar
4% - 6% dari keseluruhan bahan semen dan bahan ini dapat mengandung
sulfat (SO4).
Bahan bahan mentah untuk semen tersebut mempunyai
komposisi berbeda untuk pembuatan semen Portland, begitu pula
kandungan unsur tiap bahan bakunya berbeda pula satu sama lain, dan
pada umumnya komposisi bahan bentuk semen adalah sebagai berikut :
1) Batu gamping
= 70% - 75%
2) Batu Lempung
= 15% - 20%
3) Gipsum
= 4% - 6%
4) Pasir kuarsa
= 0,5% - 1%
5) Pasir besi
= 0,0% - 0,5%
2.1.3 Komposisi bahan baku semen
1) Batu gamping

II-3

Batu gamping dengan kadar CaCO3 antara 80 % - 85 % sangat


baik sebagai bahan baku semen karena lebih mudah digiling untuk
menjadi homogen. Batu gamping sebagai bahan baku utama semen
harus memenuhi syarat kimiawi tertentu:
CaO
= 49 % - 55 %
Al2O3 + Fe2O3
= 5 % - 12 %
SiO2
= 1 % - 15 %
MgO
=<5%
Faktor kejenuhan batugamping yang baik yaitu lebih dari 1,02
dan tidak boleh kurang dari 0,66. Faktor kejenuhan (Fk) dihitung dengan
memakai persamaan sebagai berikut :
(% CaO) + 0,7 (% SiO2)
Fk =

(2.1.3.-1)
2,8 (% SiO2) + 1,2 (% Al2O3) + 0,65 (% Fe2O3)

2) Batu Lempung
Batu Lempung yang akan dipakai sebagai bahan baku semen
sebaiknya mempunyai kadar SiO2 lebih besar dari 70 % dan Al 2O3 lebih
kecil dari 10 %. Kedua unsur pembentuk batu lempung ini berfungsi
sebagai bahan pengoreksi. Jika kadar Fe 2O3 dalam batu lempung lebih
kecil dari 10 % maka perlu memakai bahan pengoreksi yaitu berupa pasir
besi.
3) Gipsum
Gipsum (CaSO4.2H2O) dipergunakan sebagai bahan tambahan
(additive material) pada pembuatan semen Portland dengan jumlah antara
4% - 6%. Fungsi gypsum disini adalah sebagai bahan yang dapat

II-4

mengendalikan waktu pengerasan semen dan juga untuk menentukan


kualitas semen.
Komposisi kimia gypsum untuk bahan baku semen Portland
disyaratkan sebagai berikut:
CaO
= 30 % - 35 %
(sekitar 2/3 dari berat minimum SO3)
SO3
= 40 % - 45 %
H2O
= 15% - 25%
Garam Mg dan Na
= 0,1%
Hilang pijar
= 9%
Ukuran partikel
= 95% (-14 mesh)
4) Pasir kuarsa
Dalam industri semen pasir kuarsa dipakai sebagai bahan
koreksi bersama pasir besi, pirit, bauksit, laterit atau kaolin. Komposisi
kimia yang disyaratkan adalah sebagai berikut :
Kadar SiO2
= 95 % - 99 %
Kadar Al2O3
=3%-4%
Kadar Fe2O3
=0%-1%
5) Pasir Besi
Pasir besi termasuk pada bahan korektif bersama pasir kuarsa.
Untuk bahan semen Portland komposisi pasir besi harus memenuhi
kriteria sebagai berikut :
SiO2
Fe2O3
TiO2
CaO
H2O

= 30 % - 45 %
= 20 % - 35 %
=1%-3%
= 7 % - 10 %
=0%-1%

2.1.4 Proses pengolahan


Inti pengolahan semen adalah mengambil oksida-oksida yang ada
atau terkandung dari empat bahan baku utama yang pada akhirnya
membentuk mineral-mineral baru yang membentuk komposisi semen.
II-5

Ditinjau dari kadar air umpan, maka teknologi pembuatan semen


dibagi menjadi 4 yaitu:
1) Proses basah (Wet Process)
Pada proses ini bahan baku dihancurkan dalam raw mill
kemudian digiling dengan ditambah air dalam jumlah tertentu. Hasilnya
berupa slurry / buburan, kemudian dikeringkan dalam rotary dryer
sehingga terbentuk umpan tanur berupa slurry dengan kadar air 2540 %.
Pada umumnya menggunakan Long Rotary Kiln untuk menghasilkan
terak. Terak tersebut kemudian didinginkan dan dicampur dengan gypsum
untuk selanjutnya digiling dalam finish mill hingga terbentuk semen.
2) Proses semi basah (Semi Wet Process)
Pada proses semi basah, bahan baku (batu kapur, pasir besi,
pasir silika ) dipecah. Kemudian pada unit homogenisasi ditambahkan air
dalam jumlah tertentu serta dicampur dengan luluhan tanah liat, sehingga
terbentuk bubur halus dengan kadar air 15-25 % (slurry) proses
selanjutnya, umpan tanur disaring terlebih dahulu dengan filter press.
Filter cake yang berbentuk pellet kemudian mengalami kalsinasi dalam
tungku putar panjang (Long Rotary Kiln). Perpindahan panas awal terjadi
pada rantai (chain section), sehingga terbentuk klinker sebagai hasil
proses kalsinasi.
3) Proses semi kering (Semi Dry Process)
Proses semi kering dikenal sebagai grate process, dimana
merupakan transisi dari proses basah dan proses kering dalam
pembuatan semen. Umpan tanur pada proses ini berupa tepung baku
kering, lalu dengan alat granulator (pelletizer) umpan disemprot dengan
air untuk dibentuk menjadi granular dengan kadar air 10 12 % dan

II-6

ukuran yang seragam (10 12 mm). Kemudian kiln feed dikalsinasi


dengan menggunakan tungku tegak (shaft kiln) atau long rotary
kiln sehingga terbentuk klinker sebagai hasil akhir proses kalsinasi.
4) Proses kering (Dry Process)
Pada proses ini bahan baku dipecah dan digiling disertai
pengeringan dengan jalan mengalirkan udara panas ke dalam raw mill
sampai diperoleh tepung baku dengan kadar air 0,5-1 %. Selanjutnya
tepung

baku

yang

telah

homogen

ini

diumpankan

ke

dalam

suspension preheater sebagai pemanasan awal, disini terjadi perpindahan


panas melalui kontak langsung antara gas panas dengan material dengan
arah berlawanan (Counter Current). Adanya sistem suspension preheater
akan menghilangkan kadar air dan mengurangi beban panas pada kiln.
Material yang telah keluar dari suspension preheater siap
menjadi umpan kiln dan diproses untuk mendapatkan terak. Terak tersebut
kemudian didinginkan secara mendadak agar terbentuk kristal yang
bentuknya tidak beraturan agar mudah digiling. Selanjutnya dilakukan
penggilingan di dalam finish mill dan dicampur dengan gypsum dengan
perbandingan 96 : 4 sehingga menjadi semen.
Dari proses pembuatan semen di atas semen yang dihasilkan
pun beragam jenisnya dan tiap-tiap dari jenis semen tersebut memiliki
karakter masing-masing dan penggunaan yang berbeda pula dalam
konstruksi, jenis-jenis tersebut antara lain :
1) Semen portland
Merupakan semen yang dihasilkan dari penghalusan klinker yang
memiliki sifat hidraulis karena terdiri atas silikat-silikat dengan sifat

II-7

hidraulis dengan tambahan gypsum. Semen Portland pun terbagi menjadi


beberapa tipe yaitu :
a) Tipe I (Ordinary Portland Cement)
Merupakan tipe semen yang dipakai untuk segala macam
konstruksi yang tidak memerlukan sifat-sifat yang khusus seperti
ketahanan

terhadap

serangan

sulfat,

panas

hidrasi

dan

lainya.

Mengandung 5% MgO dan 2,5-3% SO3.


b) Tipe II (Moderate Heat Portland Cement)
Merupakan jenis semen yang dipakai untuk konstruksi yang
memerlukan kekuatan untuk menahan serangan sulfat dan panas hidrasi
pada tingkat sedang. Biasanya digunakan pada bangunan pelabuhan dan
sekitar pantai. Mengandung 20% SiO 2, 6% Al2O3, 6% Fe2O3, 6% MgO dan
8% C3A.
c) Tipe III (High Early Strength Portland Cement)
Merupakan tipe semen yang memiliki kemampuan untuk mengeras
dengan cepat dan memiliki kekuatan awal yang tinggi karena kandungan
C3S yang sangat tinggi dibanding dengan tipe semen lain sehingga sangat
cocok digunakan pada konstruksi gedung-gedung besar, pekerjaan yang
berbahaya, pondasi, pembetonan pada udara dingin, bangunan dengan
keadaan darurat dan konstruksi pada musim dingin. Terdiri atas 6% MgO,
3,5-4,5% Al2O3, 35% C3S, 40% C2S dan 15% C3A.
d) Tipe IV (Low Heat Portland Cement)
Merupakan jenis semen portland yang memiliki panas hidrasi yang
rendah karena kandungan C3S dan C3A yang lebih rendah sehingga
memungkinkan pengeluaran kalor yang lebih rendah. Biasa digunakan

II-8

pada keperluan hydraulic engineering yang memerlukan panas hidrasi


yang rendah. Tersusun atas 6,5% MgO, 2,3% SO3 dan 7% C3A.
e) Tipe V (Shulpato Resistance Portland Cement)
Merupakan tipe semen portland yang memiliki ketahanan pada
serangan sulfat yang sangat tinggi dan memiliki kandungan C 3A yang lebih
rendah dibanding tipe lainnya sehingga penggunaannya sangat cocok
dengan daerah yang memiliki kadar sulfat yang sangat tinggi seperti
terowongan, pelabuhan, pengeboran di laut, jembatan antar pulau dan
sebagainya. Tersusun atas 6% MgO, 2,3% SO 3 dan 5% C3A.
f) Semen Putih
Merupakan semen yang dibuat menggunakan bahan dasar batu
kapur yang mengandung oksida besi dan oksida magnesia yang rendah.
Biasa digunakan pada bangunan arsitektur dan dekorasi.
g) Semen Sumur Minyak
Adalah tipe semen yang dicampur dengan bahan khusus seperti
asam borat, lignin, kasein, gula atau organic hydroxid acid. Fungsi bahanbahan

tersebut adalah

sebagai

retarder

atau

penghambat yang

mengurangi kecepatan pengerasan semen sehingga adukan dapat


dipompakan ke dalam sumur minyak atau gas. Semen sumur minyak atau
gas sendiri berfungsi untuk melindungi kerangka sumur minyak dari tanah
di sekitarnya.
2) Semen non Portland
a) Semen alam (Natural Cement)
Semen alam merupakan semen yang dihasilkan dari proses
pembakaran batu kapur dan tanah liat pada suhu 850 1000 C kemudian
tanah yang dihasilkan digiling menjadi semen yang halus.
b) Semen aluminium tinggi (high aluminium cement)
Semen aluminium tinggi pada dasarnya adalah semen kalsium
aluminiat yang dibuat dengan meleburkan campuran batu gamping,

II-9

bauksit, dan bauksit ini biasanya mengandung oksida besi, silica,


magnesia, dan ketidak murnian lainnya. Cirinya ialah bahwa kekuatan
semen ini berkembang dengan cepat, dan ketahanannya terhadap air laut
dan air yang mengandung sulfat lebih baik.
c) Semen sorel
Semen sorel adalah semen yang dibuat melalui reaksi eksotermik
larutan magnesium klorida 20% terhadap suatu ramuan magnesia yang
didapatkan dari kalsinasi magnesit dan magnesia yang didapatkan dari
larutan garam. Semen sorel mempunyai sifat keras dan kuat, mudah
terserang air dan korosif. Penggunaannya terutama adalah semen lantai,
dan sebagai dasar pelantai dasar seperti ubin dan terazu
2.1.5 Sifat sifat semen portland
1) Hiderasi semen
Hiderasi semen adalah reaksi antara komponen komponen
semen dengan air.
Untuk mengetahui hiderasi semen, maka harus mengenal
hiderasi dari senyawa senyawa yang terkandung dalam semen (C 2S,
C3S, C3A dan C4AF).
a) Hiderasi kalsium silikat ( C2S dan C3S )
Kalsium silikat dalam air akan terhidrolisa menjadi kalsium
hidroksida Ca (OH)2 dan kalsium silikat hidrat (3CaO.2SiO 2.3H2O) pada
suhu 30 C.
2 (3CaO.SiO2) + 6 H2O

3 CaO.2SiO2.3H2O + 3CaO (OH)2

2 (2CaO.SiO2) + 4 H2O

3 CaO.2SiO2.2H2O + Ca (OH)2
II-10

Kalsium silikat hidrat (CSH) adalah silikat didalam kristal yang


tidak sempurna, bentuknya padatan berongga yang sering disebut
Tobermorite Gel.
Adanya kalsium hidroksida akan membuat pasta semen bersifat
basa kuat (pH = 12,5) hal ini dapat menyebabkan pasta semen bersifat
sensitive terhadap asam kuat tetapi dapat mencegah baja mengalami
korosi.
b) Hiderasi C3A
Hiderasi C3A dengan air yang berlebih pada suhu +30 C akan
menghasilkan kalsium alumina hidrat (3CaO.Al 2O3.3H2O) kristalnya
berbentuk kubus, didalam semen karena adanya gipsum maka hasil
hiderasi C3A sedikit berbeda. Mula mula C 3A akan bereaksi dengan
gipsum menghasilkan sulfo aluminate yang kristalnya berbentuk jarum
dan biasa disebut ettringite namun pada akhirnya gipsum bereaksi
semua , setelah itu terbentuk kalsium aluminate hidrat (CAH).
Hiderasi C3A tanpa gipsum (+30 C) :
3CaO.Al2O3 + 6 H2O

3CaO.Al2O3.6H2O

Hiderasi C3A dengan gipsum (+30 C) :


3CaO.Al2O3 + 3CaSO4 + 32 H2O

3CaO.Al2O3.3CaSO4.32 H2O

Penambahan gipsum pada semen dimaksudkan untuk menunda


pengikatan, hal ini disebabkan karena terbentuknya lapisan ettringite pada

II-11

permukaan permukaan Kristal C 3A sehingga dapat menunda hiderasi


C3A.
c) Hiderasi C4AF (+ 30 H2O C) :
4CaO.Al2O3.Fe2O3 + 2Ca(OH)2 + 10 H2O

3CaO.Al2O3.6H2O+
3CaO.Fe2O3.6H2O

2) Setting dan hardening


Setting dan hardening adalah pengikat dan pengerasan semen
setelah terjadi reaksi hiderasi. Semen apabilah dicampur dengan air akan
menghasilkan pasta yang plastis dan dapat dibentuk (workable) sampai
beberapa waktu karakteristik dari pasta tidak berubah dan periode ini
sering disebut periode tidur (dorman period).
Pada tahapan berikutnya pasta mulai kaku walaupun masih ada
yang lemah, namun sudah tidak dapat dibentuk (unworkable). Kondisi ini
disebut initial setting time (waktu pengikatan awal). Tahapan berikutnya
pasta melanjutkan kekuatannya sehinggah didapat padatan yang utuh dan
biasa disebut hardened cement pasta. Kondisi ini disebut final set.
Sedangkan waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi ini disebut
final setting time (waktu pengikat akhir). Proses pengerasan berjalan terus
menerus seiring dengan waktu akan diperoleh kekuatan, proses ini
disebut hardening.
Waktu pengikat awal dan akhir dari semen dalam prakteknya
sangat penting, sebab waktu pengikat awal akan menentukan panjangnya
waktu campuran semen masih bersifat plastik. Waktu pengikat awal
minimum 45 menit sedangkan waktu pengikat akhir maksimum 8 jam.
Reaksi pengerasan :

II-12

C2S + 5H2O

C2S.5H2O

6C3S + 18H2O

C5S6.5H2O + 13Ca(OH)2

C3A + 3CS + 32H2O

C3A.3CS.32H2O

C4AF + 7H2O

C3A.6H2O + CF.H2O

MgO + H2O

Mg(OH)2

3) Panas hiderasi
Panas hiderasi adalah panas yang dilepaskan selama semen
mengalami proses hiderasi. Jumlah panas hiderasi yang terjadi tergantung
tipe semen, kehalusan semen, dan perbandingan antara air dengan
semen.
Kekerasan awal semen yang tinggi dan panas hiderasi yang
besar kemungkinan terjadi retak retak pada beton, hal ini disebabkan
oleh phosphor yang timbul sukar dihilangkan sehingga terjadi pemuaian
pada proses pendinginan.
4) Penyusutan
Ada tiga macam penyusutan yang terjadi dalam semen :
a) Penyusutan karena pengeringan (drying shringkage)
b) Penyusutan karena hiderasi (hideration shringkage)
c) Penyusutan karena karbonasi (carbonation shringkage)
Yang paling berpengaruh terhadap permukaan beton adalah
drying shringkage, penyusutan ini terjadi karena penguapan selama
proses setting dan hardening. Bila besaran kelembapannya dapat dijaga,
maka keretakan beton dapat dihindari. Penyusutan ini dipengaruhi juga
kadar C3A yang terlalu tinggi.
5) Kelembaban
Kelembaban timbul karena semen menyerap uap air dan CO 2
dalam jumlah yang cukup banyak sehingga terjadi penggumpalan. Semen
II-13

yang menggumpal kualitasnya akan menurun karena bertambahnya loss


on ignition (LOI) dan menurunnya specific gravity sehinggah kekuatan
semen menurun, waktu pengikat dan pengerasan semakin lama, dan
terjadi false set.
a) Loss on ignation (LOI)
Loss on ignation dipersyaratkan untuk mencega adanya mineral
mineral yang terurai pada saat pemijaran, dimana proses ini dapat
menimbulkan kerusakan pada batu setelah beberapa tahun kemudian.
b) Specific gravity
Specific gravity dari semen merupakan informasi yang sangat
penting dalam perancangan beton. Didalam pengontrolan kualitas Specific
gravity digunakan untuk mengetahui seberapa jauh kesempurnaan
pembakaran klinker, juga apakah klinker tercampur dengan pengotor.
c) False set
Proses yang terjadi bila adonan mengeras dalam waktu singkat.
False set dapat dihindari dengan melindungi semen dari pengaruh udara
luar, sehingga alkali karbonat tidak terbentuk didalam semen.

2.1.6 Proses penambangan


Bahan baku yang digunakan pada pembuatan semen ditambang
dengan metode quarry yaitu dengan tahapan sebagai berikut:
1)

Pengupasan tanah penutup ( Stripping )

2) Pemboran dan peledakan ( Drilling and Blasting )


3) Pemuatan ( Loading )
4) Pengangkutan ( hauling )

II-14

5) Pemecahan ( crushing )

2.2 Tinjauan Pustaka


Terkait penelitian tentang semen, sudah sering kali dilakukan dan
sudah banyak hasil penelitian yang dipublikasikan. Menurut PUBI, 1982.
Semen Portland adalah semen hidrolis yang dihasilkan dengan cara
menghasilkan klinker yang terdiri dari silikat-silikat kalsium yang bersifat
hidrolis dengan gips sebagai tambahan.
Menurut Yuanda Y, 2011. Semen dalam keadaan baik yaitu semen
yang berbutir halus dan tidak terdapat gumpalan- gumpalan.
Menurut Fatoni Z dan Oloan T.P, 2015. Tipe semen yang paling
banyak diproduksi di Indonesia adalah tipe I karena konsumen lebih
banyak menggunakan tipe tersebut dibanding tipe lainnya (II IV).
Menurut Walter J. D, 1976. Ditinjau dari kadar air umpan, maka
teknologi pengolahan semen dibagi menjadi 4 yaitu proses basah, semi
basah, semi kering dan proses kering.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh James P. 1797.
Semen hidrolik pertama kali dibuat dengan membakar batu kapur.
Penelitian yang dilakukan Joseph A. 1824. Yang mencoba
membuat semen dari kalsinasi campuran batu kapur dengan tanah liat
yang telah dihaluskan, digiling, dan dibakar menjadi lelehan dalam tungku,
sehingga terjadi penguraian batu kapur (CaCO 3) menjadi batu tohor (CaO)
dan karbon dioksida(CO2). Batu kapur
II-15

tohor (CaO) bereaksi dengan

senyawa-senyawa lain membemtuk klinker kemudian digiling sampai


menjadi tepung yang kemudian dikenal dengan Portland.
Menurut Firdaus A. 2007. Perusahaan pembuat semen salah satu
diantaranya PT. Holcim Indonesia menggunakan proses kering dalam
pengolahan . Proses kering memiliki banyak keuntungan dibanding proses
pengolahan lain yaitu; produksi lebih besar, hemat biaya dan kiln yang
digunakan pendek.

2.3 Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang dapat dibangun
adalah pada proses basah, jika kadar air slurry tidak mencapai 20-40 %
maka terak semen tidak akan terbentuk dengan baik dan tingkat
kehomogenannya kurang.
Pada proses kering, jika tepung baku tidak mencapai atau memiliki
air 0,5-1 %, maka proses pembakaran tidak mencapai maksimal standar
pengolahan kering.

II-16

Anda mungkin juga menyukai