DISUSUN OLEH :
Dr. AKHMAD AHDINUR FAZAR
Keterampilan
Penyegaran
Manajemen
Masalah
Tinjauan
Pustaka
Istimewa
Bayi
Anak
Remaja
Dewasa
Lansia
Bumil
Pria, 71tahun, dengan keluhan: kembung, tidak nafsu makan, batuk
Penegakkan diagnosa dan pengobatan yang tepat dan tuntas.
Tinjauan Pustaka
Diskusi
Riset
Kasus
Telp :
Audit
Pos
2016
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1 Diagnosis / Gambaran Klinis : pasien pria 78 tahun datang dengan keluhan nyeri dada
sejak 2 jam smrs, nyeri dada tidak dapat di tunjuk dalam satu titik, nyeri dada di
rasakan seperti tertimpa benda berat dan menjalar sampai punggung dan bahu kiri,
nyeri dada tidak di pengaruhi oleh istirahat dan tidak berkurang saat aktivitas sesak
juga di rasakan dan perih pada ulu hati, mual, muntah, keringat dingin di sertai
2
3
Keterangan Umum :
Nama
: Tn. M
Usia
: 78 th
Alamat
: DSN Seketi
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Warga Negara
Bahasa Ibu
: Jawa, Indonesia
Pekerjaan
: Tidak Bekerja
Status pernikahan
A.
: Menikah
ANAMNESIS
SUBJEKTIF
Keluhan Utama
: Nyeri dada
Riwayat alergi :
Bahan injektan
: disangkal
Bahan kontaktan
: disangkal
Bahan ingestan
: disangkal
Bahan inhalan
: disangkal
OBJECTIVE
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum: lemas
Vital sign
o Nadi: 82x/menit
o TD : 111/ 66
o RR: 22x/menit
o Temp: 36,5 C
Kepala leher:
o AICD -/-/-/o pembesaran KGB (-)
Thorax:
o Pulmo:
Inspeksi : simetris
Perkusi : son/son
o Cor:
Palpasi: fremisment
Auskultasi: s1 s2 tunggal m- g-
Abdomen:
o Inspeksi: flat
o Auskultasi: Bu + normal
o Palpasi: soefl, H/L/R ttb, Turgor normal
o Perkusi: tympani, shifting dullness
12,3
13.030
35,8
335.000
88,8
30,5
34,4
4,03
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit
GDA
OT/PT
0,0
0,1
96,1
2,7
1,1
-
. EKG
Irama: sinus Ryhtem, frekuensi 82 kali/menit, gelombang P normal, interval PR normal,
gelombang QRS normal, elevasi segmen ST pada lead V2-V4, gelombang T normal.
C. DIAGNOSIS KLINIS
Sindroma Koroner Akut DD/ -
STEMI
NSTEMI
UAP
E. DIAGNOSIS KERJA
Sindroma Koroner Akut : STEMI dinding anterior septal
F. PENATALAKSANAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
O2 lembab
4-6 liter/menit
IVFD RL
14 tpm
ISDN sublingual
3x10mg (diulang setiap 15 menit apabila masih ada nyeri dada)
aspilet
1 x 80mg
Ranitidine
2x1 amp iv
Urine Catheter
Konsul SpJP
Rencana Reperfusi dan Rencana Rawat ICCU
H. PROGNOSIS
Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad functionam
: dubia ad malam
lingkungan belum diketahui. Komponen genetik dapat dikaitkan pada beberapa bentuk
aterosklerosis yang nyata, atau yang cepat perkembangannya, seperti pada gangguan lipid
familial. Tetapi riwayat keluarga dapat pula mencerminkan komponen lingkungan yang
kuat, seperti gaya hidup yang menimbulkan stres atau obesitas.
Faktor Risiko yang dapat Dimodifikasi
1. Merokok
Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek langsung terhadap dinding
arteri. Karbon monoksida (CO) dapat menyebabkan hipoksia jaringan arteri, nikotin
menyebakan mobilisasi katekolamin yang dapat menambahkan reaksi trombosit dan
menyebabkan kerusakan pada dinding arteri, sedangkan glikoprotein tembakau dapat
mengakibatkan reaksi hipersensitif dinding arteri.
2. Dislipidemia
Lipid plasma (kolesterol, trigliserida, fosfolipida, dan asam lemak bebas) berasal dari
makanan (eksogen) dan sintesis lemak endogen. Kolesterol dan trigliserida adalah dua
jenis lipid yang relatif mempunyai makna klinis yang penting sehubungan dengan
aterogenesis. Lipid terikat pada protein, karena lipid tidak larut dalam plasma. Ikatan ini
menghasilkan empat kelas utama lipoprotein, yaitu; kilomikron, VLDL, LDL dan HDL.
LDL paling tinggi kadar kolesterolnya, sedangkan kilomikron dan VLDL kaya akan
trigliserida. Kadar protein tertinggi terdapat pada HDL. Peningkatan kolesterol LDL
dihubungkan dengan meningkatnya risiko penyakit jantung koroner, sementara kadar
HDL yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung penyakit jantung koroner, sebaliknya
kadar HDL yang rendah ternyata bersifat aterogenik. Rasio kadar LDL dan HDL dalam
darah mempunyai makna klinis untuk terjadinya aterosklerosis.
3. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus menyebabkan gangguan lipoprotein. LDL dari sirkulasi akan di bawa
ke hepar. Pada penderita diabetes mellitus, degradasi LDL di hepar menurun, dan gikolasi
kolagen meningkat. Hal ini mengakibatkan meningkatnya LDL yang berikatan dengan
dinding vaskuler.
4. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompaan darah
dari ventrikel kiri, akibatnya beban kerja jantung bertambah. Sebagai akibatnya terjadi
hipertrofi ventrikel untuk menguatkan kontraksi. Akan tetapi kemampuan ventrikel untuk
mempertahankan curah jantung dengan hipertropi kompensasi akhirnya terlampaui ,
terjadi dilatasi dan payah jantung. Jantung jadi semakin terancam dengan adanya
aterosklerosis koroner. Kebutuhan oksigen miokardium meningkat sedangkan suplai
oksigen tidak mencukupi, akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa
menjadi infark. Disamping itu, hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel
pembuluh darah akibat tekana tinggi yang lama (endothelial injury).
5. Obesitas
Kegemukan mungkin bukan faktor risiko yang berdiri sendiri, karena pada umumnya
selalu diikuti oleh faktor risiko lainnya.
FAKTOR PENCETUS
1. Hipertensi
Hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh darah akibat tekanan tinggi
yang lama dan kemungkinan terjadinya rupturnya plak pada pembuluh darah.
2. Anemia
Anemia mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke jaringan, termasuk ke jaringan
jantung. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen, jantung dipacu untuk meningkatkan
cardiac ouput. Hal ini mengakibatkan kebutuhan oksigen di jantung meningkat.
Ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai oksigen mengakibatkan gangguan pada
jantung.
3. Kerja fisik/olahraga
Pada aktivitas fisik yang meningkat, kebutuhan oksigen terhadap jaringan dan
miokardium meningkat. Adanya aterosklerosis mengakibatkan suplai oksigen tidak
mencukupi, akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa terjadi infark.
4. Stres emosional
CARDIOVASCULAR CONTINUUM
PATOGENESIS
Sebagian besar SKA terjadi akibat ruptur plak aterosklerosis sehingga terbentuk thrombus
di atas ateroma. Thrombus tersebut secara akut menyumbat lumen arteri koroner.
Ateroskerosis adalah bentuk arteriosklerosis dimana terjadi penebalan dan pengerasan
dari dinding pembuluh darah yang disebabkan oleh akumulasi makrofag yang berisi lemak
sehingga menyebabkan terbentuknya lesi yang disebut plak. Aterosklerosis bukan merupakan
kelainan tunggal namun merupakan proses patologi yang dapat mempengaruhi system vaskuler
seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan sindroma iskemik yang bervariasi dalam manifestasi
klinis dari tingkat keparahan. Hal tersebut merupakan penyebab utama penyakit arteri koroner.
Aterosklerosis merupakan proses inflamasi. Secara patologis lesi berasal dari disfungsi
dan jejas endotel yang berkembang menjadi fatty streak kemudian menjadi plak fibrosis dan
akhirnya terbentuk lesi yang kompleks. Aterosklerosis dimulai dengan jejas terhadap sel endotel
yang melapisi dinding arteri. Penyebab yang mungkin dari jejas endotel tersebut adalah tersebut
adalah faktor risiko yaitu merokok, hipertensi, diabetes mellitus, peningkatan LDL, HDL yang
kurang, dan hiperhomosisteinemia. Penyebab lain dapat berupa peningkatan C-reactive protein,
peningkatan fibrinogen serum, resistensi insulin, stress oksidatif, infeksi dan penyakit
periodontal. Ketika jejas terjadi, mengakibatkan disfungsi endotel dan peradangan yang diikuti
proses patofisiologi sebagai berikut :
1. Sel endotel yang mengalami jejas terjadi peradangan dan tidak dapat mensintesis jumlah
normal dari antitrombokin dan sitokin vasodilatasi.
2. Terlepasnya berbagai sitokin proinflamasi termasuk TNF alfa dan interferon gamma, IL-1,
oksigen radikal dan heat shock protein.
3. Terlepasnya angiotensisn II, fibroblast growth factor, dan PDGF yang merangsang proliferasi
sel otot polos pada dinding pembuluh darah.
4. Perlekatan makrofag pada endotel yang mengalami jejas dengan bantuan molekul adhesi,
misalnya VCAM-1.
5. Makrofag tersebut kemudian melepas enzim dan radikal bebas dan menyebabkan stress
oksidatif, LDL teroksidasi, juga jejas lebih lanjut pada dinding pembuluh darah.
Oksidasi LDL merupakan langkah terpenting pada atherogenesis. Inflamasi dengan
stress oksidatif dan aktivasi makrofag adalah mekanisme primer. Diabetes mellitus, merokok,
dan hipertensi dihubungkan dengan peningkatan oksidasi LDL yang dipengaruhi oleh
peningkatan kadar angiotensin II melalui stimulasi reseptor AT-I. LDL teroksidasi bersifat toksik
terhadap sel endotel dan menyebabkan proliferasi sel otot polos, aktivasi respon imun dan
inflamasi. LDL teroksidasi mauk ke dalam tunika intima dinding arteri kemudian difagosit oleh
makrofag. Makrofag yang mengandung oksi-LDL disebut foam cell berakumulasi dalam jumlah
yang signifikan maka akan membentuk jejas fatty streak. Pembentukan lesi tersebut dapat
ditemukan pada dinding pembuluh darah sebagian orang termasuk anak-anak. Ketika terbentuk,
fatty streak memproduksi radikal oksigen toksik yang lebih banyak dan mengakibatkan
perubahan inflamasi dan imunologis sehingga terjadi kerusakan yang lebih ptogresif. Kemudian
terjadi proliferasi sel otot polos, pembentukan kolagen dan pembentukan plak fibrosa di atas sel
otot polos tersebut. Proses tersebut diperantarai berbagai macam sitokin inflamasi termasuk
growth factor (TGF beta). Plak fibrosa akan menonjol ke lumen pembuluh darah dan
menyumbataliran darah ysng lebih distal, terutama pada saat olahraga, sehingga timbul gejala
klinis (angina atau claudication intermitten).
Banyak plak yang unstable (cenderung menjadi ruptur) tidak menimbulkan gejala klinis
sampai plak tersebut mengalami ruptur. Ruptur plak terjadi akibat aktivasi reaksi inflamasi dari
proteinase seperti metalloproteinase matriks dan cathepsin sehingga menyebabkan perdarahan
pada lesi. Plak atherosklerosis dapat diklasifikasikan berdasarkan strukturnya yang
memperlihatkan stabilitas dan kerentanan terhadap ruptur. Plak yang menjadi ruptur merupakan
plak kompleks. Plak yang unstable dan cenderung menjadi rupture adalah plak yang intinya
banyak mengandung deposit LDL teroksidasi dan yang diliputi oleh fibrous caps yang tipis. Plak
yang robek (ulserasi atau rupture) terjadi karena shear forces, inflamasi dengan pelepasan
mediator inflamasi yang multiple, sekresi macrophage-derived degradative enzyme dan apotosis
sel pada tepi lesi. Ketika rupture, terjadi adhesi platelet terhadap jaringan yang terpajan, inisiasi
kaskade pembekuan darah, dan pembentukan thrombus yang sangat cepat. Thrombus tersebut
dapat langsung menyumbat pembuluh darah sehingga terjadi iskemia dan infark.
Rupture of plaque
of multiple cytokines, platelet activation and adherence, production of thrombin and vasoconstrictors
Stable angina
Trancient ischemia
Unstable angina
Sustained ischemia
Myocardial infarction
Stunned myocytes
Hibernating myocytes Myocardial inflammation and necrosis
Myocardial remodeling
ii.
iii.
iv.
Lebih dari satu proses di atas terjadi pada pasien unstable angina.
2. Infark Miokardium
Ketika aliran darah koroner terganggu pada waktu tertentu, dapat terjadi nekrosis
sel miosit. Hal tersebut disebut infark miokard. Gangguan, progresivitas plak, dan
pembentukan klot lebih lanjut yang terjadi pada MI sama halnya seperti yang terjadi pada
sindrom koroner akut yang lainnya. Namun, pada MI trombusnya lebih labil dan dapat
menyumbat pembuluh darah dalam waktu yang lebih lama, sehingga iskemia miokardial
dapat berkembang menjadi nekrosis dan kematian miosit. Jika thrombus lisis sebelum
terjadinya nekrosis jaringan distal yang komplet, infark yang terjadi hanya melibatkan
miokardium yang berada langsung di bawah endokardium (subendocardial MI).
Jika thrombus menyumbat pembuluh darah secara permanent, maka infarknya dapat
memanjang hingga epikardium sehingga menyebabkan disfungsi jantung yang parah
(transmural MI). Secara klinis, MI transmural harus diidentifikasi, karena dapat
menyebabkan komplikasi yang serius dan harus mendapat terapi yang segera.
Jejas Selular. Sel jantung dapat bertahan terhadap iskemi hanya dalam waktu 20 menit
sebelum mengalami kematian. Perubahan EKG hanya terlihat pada 30-60 detik setelah
hipoksia. Bahkan jika telah terjadi perubahan metabolisme yang non fungsional, sel
miosit tetap viable jika darah kembali dalam 20 menit. Penelitian menunjukkan bawa sel
miosit dapat beradaptasi terhadap perubahan suplai oksigen. Proses tersebut dinamakan
ischemic preconditioning. Setelah 8-10 detik penurunan aliran darah, miokardium yang
terlibat menjadi sianotik dan lebih dingin. Glikolisis anaerob yang terjadi hanya dapat
mensuplai 65-70% dari kebutuhan energi, karena diproduksi ATP yang lebih sedikit
daripada metabolisme aerob. Ion hydrogen dan asam laktat kemudian berakumulasi
sehingga terjadi asidosis, dimana sel miokardium sangat sensitif pada pH yang rendah
dan memiliki sistem buffer yang lemah. Asidosis menyebabkan miokardium menjadi
rentan terhadap kerusakan lisosom yang mengakibatkan terganggunya fungsi
kontraktilitas dan fungsi konduksi jantung sehingga terjadi gagal jantung. Kekurangan
oksigen juga disertai gangguan elektrolit Na, K, dan Mg. secara normal miokardium
berespon terhadap kadar katekolamin (epinefrin dan norepinefrin/NE) yang bervariasi.
Pada sumbatan arteri yang signifikan, sel miokardium melepaskan katekolamin sehingga
terjadi ketidakseimbangan fungsi simpatis dan parasimpatis, disritmia dan gagal jantung.
Katekolamin merupakan mediator pelepasan dari glikogen, glukosa dan cadangan lemak
dari sel tubuh. Oleh karena itu terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas dan gliserol
plasma dalam satu jam setelah timbulnya miokard akut. Kadar FFA (Free Fatty Acid)
yang berlebih memiliki efek penyabunan terhadap membran sel. NE meningkatkan kadar
glukosa darah melalui perangsangan terhadap sel hepar dan sel otot. NE juga
menghambat aktivitas sel beta pankreas sehingga produksi insulin berkurang dan terjadi
keadaan hiperglikemia. Hiperglikemia terjadi setelah 72 jam onset serangan.
Angiotensin II yang dilepaskan selama iskemia miokard berkontribusi dalam patogenesis
MI, dengan cara yaitu:
1. Efek sistemik dari vasokonstriksi perifer dan retensi cairan sehingga
meningkatkan beban jantung, akibatnya memperparah penurunan kemampuan
kontraktilitas jantung
2. Angiotensin II mempunyai efek lokal yaitu sebagai growth factor sel otot polos
pembuluh darah, miosit dan fibroblast jantung, sehingga merangsang peningkatan
kadar katekolamin dan memperparah vasospasme koroner.
Kematian selular. Iskemia miokard yang berlangsung lebih dari 20 menit merupakan
jejas hipoksia irreversible yang dapat menyebabkan kematian sel dan nekrosis jaringan.
Nekrosis jaringan miokardium dapat menyebabkan pelepasan beberapa enzim intraseluler
tertentu melalui membrane sel yang rusak ke dalam ruang intersisisal. Enzim yang
terlepas kemudian diangkut melalui pembuluh darah limfe ke pembuluh darah. Sehingga
dapat terdeteksi oleh tes serologis.
Perubahan fungsional dan struktural. Infark miokardial menyebabkan perubahan
fungsional dan struktural jantung. Perubahan tersebut dapat dilihat pada table di bawah
ini.
Waktu
Perubahan Jaringan
setelah MI
6-12 jam
Tidak ada perubahan
2-4 hari
Respon inflamasi;
slight pallor
pelepasan enzim
intraseluler
Tampak nekrosis; kuning-coklat di Enzim proteolitik
tengah dan hiperemis di sekitar
tepi
meningkatkan glukosa
plasma dan FFA untuk
membantu miokard keluar
4-10 hari
10-14 hari
6 minggu
Penyembuhan berlanjut
awal revaskularisasi
komplit
Perubahan makroskopis pada daerah infark tidak akan terlihat dalam beberapa
jam. Walaupun dalam 30-60 detik terjadi perubahan EKG. Miokardium yang infark
dikelilingi oleh zona jejas hiposia yang dapat berkembang menjadi nekrosis, kemudian
terjadi remodeling atau menjadi normal kembali. Jaringan jantung yang dikelilingi daerah
infark juga mengalami perubahan yang dapat dikategorikan ke dalam:
1. Myocardial stunning, yaitu kehilangan sementara fungsi kontraktilitas yang
berlangsung selama beberapa jam beberapa hari setelah perfusi kembali normal.
2. Hibernating myocardium, yaitu jaringan yang mengalami iskemi persisten dan telah
mengalami adaptasi metabolic.
3. Myocardial remodeling, adalah suatu proses yang diperantarai Angiotensin II,
aldosteron, katekolamin, adenosine dan sitokin inflamasi yang menyebabkan
hipertrofi miositdan penurunan fungsi kontraktilitas pada daerah jantung yang jauh
dari lokasi infark
Semua perubahan di atas dapat dibatasi melalui restorasi yang cepat dari aliran
koronerdan penggunaan ACE-inhibitor dan beta blocker setelah MI. Tingkat
keparahan gangguan fungsi tersebut dipengaruhi oleh ukuran dan lokasi infark.
Perubahan fungsional termasuk: (1). Penurunan kontraktilitas jantung dengan gerak
dinding jantung abnormal, (2). Perubahan compliance dari ventrikel kiri, (3).
Penurunan stroke volume, (4). Penurunan fraksi ejeksi, (5). Peningkatan tekanan
akhir diastolik ventrikel kiri, (6). Malfungsi dari SA node, (7). Disritmia yang
mengancam jiwa dan gagal jantung sering menyertai MI.
Fase Perbaikan. Infark miokard menyebabkan respon inflamasi yang parah yang
diakhiri dengan perbaikan luka. Perbaikan terdiri dari degradasi sel yang rusak,
proliferasi fibroblast dan sintesis jaringan parut. Banyak tipe sel, hormone, dan
substrat nutrisi harus tersedia agar proses penyembuhan dapat berlangsung optimal.
Dalam 24 jam terjadi infiltrasi lekosit dalam jaringan nekrotik dan degradasi jaringan
nekrotik oleh enzim proteolisis dari neutrofil scavenger. Fase pseudodiabetik sering
timbul oleh karena lepasnya katekolamin dari sel yang rusak yang dapat menstimulasi
lepasnya glukosa dan asam lemak bebas. Pada minggu kedua, terjadi sekresi insulin
yang meningkatkan pergerakan glukosa dan menurunkan kadar gula darah. Pada 1014 hari setelah infark terbentuk matriks kolagen yang lemah dan rentan terhadap jejas
yang berulang. Pada masa itu, biasanya individu merasa sehat dan meningkatkan
aktivitasnya kembali sehingga proses penyembuhan terganggu. Setelah 6 minggu,
area nekrosis secara utuh diganti oleh jaringan parut yang kuat namun tidak dapat
berkontraksi seperti jaringan miokardium yang sehat.
MANIFESTASI KLINIS
Sindrom koroner akut terbagi lagi berdasarkan gambaran EKG yaitu dengan ST-elevasi
(STEMI), dan tanpa ST-elevasi. Pasien tanpa ST elevasi dapat berupa angina tak stabil (unstable
angina) atau infark miokard akut tanpa ST-elevasi (NSTEMI). Mayoritas apsien NSTEMI akan
menjadi infark miokard tanpa gelombang Q (non-Q wave MI). Sedangkan sebagian besar pasien
dengan ST elevasi (STEMI) akan mengalami evolusi menjadi gelombang Q dan kemudian
akhirnya didiagnosis IM gelombang Q (QwMI).
Penderita yang datang dengan keluhan utama nyeri dada atau nyeri ulu hati yang hebat,
bukan disebabkan oleh trauma, yang mengarah pada iskemia miokardium, pada laki-laki
terutama berusia > 35 tahun atau wanita terutama berusia > 40tahun, memerlukan perhatian
khusus dan evaluasi lebih lanjut tentang sifat, onset, lamanya, perubahan dengan posisi,
penekanan, pengaruh makanan, reaksi terhadap obat-obatan, dan adanya faktor risiko.
Nyeri pada SKA bersifat seperti dihimpit benda berat, tercekik, ditekan, diremas, ditikam,
ditinju, dan rasa terbakar. Nyeri biasanya berlokasi di belakang sternum, dibagian tengah atau
dada kiri dan dapat menyebar keseluruh dada, tidak dapat ditunjuk dengan satu jari. Nyeri dapat
menjalar ke tengkuk, rahang, bahu, punggung, lengan kiri atau kedua lengan. Lama nyeri >
10menit, tidak hilang setelah 5 menit istirahat atau pemberian nitrat.
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang
bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama,
mungkin timbul pada waktu istirahat, atau karena aktivitas yang minimal. Keluhan SKA dapat
berupa rasa tidak enak atau nyeri di daerah epigastrium yang tidak dapat dijelaskan sebabnya dan
dapat disertai gejala otonom sesak napas, mual sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat
dingin. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan diaforesis, kulit yang dingin dan pucat, sinus
takikardia, suara jantung ketiga, S3 atau keempat (S4), basilar rales, dan terkadang hipotensi,
menyerupai hal-hal yang dapat ditemukan pada pemeriksaan pasien dengan NSTEMI yang luas.
Braunswald menganjurkan klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik.
Beratnya angina :
Kelas I. Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya nyeri
dada.
Kelas II. Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi tak ada
serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.
Klas III. Adanya serangan angina dalam waktu istirahat dan terjadinya secara akut baik
sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.
Keadaan Klinis:
Kelas A. Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, ineksi lain atau febris.
Kelas B. Angina tak stabil yang primer, tak ada faktor extra cardiac.
Evaluasi Diagnosis
Panduan ACC/AHA 2002 menyebutkan di antara beberapa faktor yang berhubungan
dengan sesuatu yang mungkin merupakan SKA meliputi riwayat klinis yang khas dengan adanya
tidak kenyamanan karena iskemik, riwayat adanya penyakit arteri koroner yang di tetapkan
dengan angiography, MI sebelumnya, congestive heart failure, perubahan EKG yang baru
terjadi, atau peningkatan penanda biologis jantung. Empat hal yang menjadi major diagnostic
tools untuk mendiagnosa STEMI adalah- riwayat klinis, EKG, marker jantung dan stress test.
Pemeriksaan Penunjang
i) Elektrokardiografi (ECG)
Pemeriksaan ECG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko pasien
angina tak stabil. Pada UA, depresi segmen ST, elevasi segmen ST yang sementara, dan atau
inversi gelombang T yang terjadi pada 30-50% pasien tergantung pada tingkat keparahan
manifestasi klinisnya. Pada pasien dengan gejala klinis UA, adanya deviasi segmen ST yang
baru, bahkan jika hanya 0.05mV, merupakan alat untuk memprediksi yang penting tentang
adanya adverse outcome. Pada Thrombolysis in Myocardial Ischemia Trial (TIMI) III Registry,
adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0.05mV merupakan predictor outcome yang buruk.
Perubahan gelombang T sensitif untuk iskemik tetapi kurang spesifik,adalh berupa inversi
gelombang T yang dalam ( 0.3mV) jika tidak baru muncul.
ii) Exercise Test
Pemeriksaan EKG tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak stabil secara
lansung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya mitral insuffisiensi dan
abnormalitas gerakan dinding reginal jantung, menandakan prognosis kurang baik. Stress
ekokardiografi juga dapat membantu menegakkan adanya iskemi miokardium.
iii) Pemeriksaan Laboratorium
Biomarker kerusakan miokard
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima sebagai petanda
paling penting dalam diagnosis SKA. Menurut European Society of Cardiology (ESC) dan ACC
dianggap adanya mionekrosis bila troponin T atau I positif dalam 24 jam. Troponin tetap positif
sampai 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan tingkat kenaikan troponin. Troponin T atau
troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih disukai, karena lebih spesifik
berbanding enzim jantung seperti CK dan CKMB. Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal
troponin pada darah perifer setelah 3-4jam dan dapat menetap sampai 3-4minggu.
CKMB kurang spesifik karena juga ditemukan di otot skeletal, tapi berguna untuk
diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam 48jam.
Stratifikasi Risiko
Penilaian klinis dan EKG merupakan pusat utama dalam pengenalan dan penilaian risiko
STEMI. Jika ditemukan risiko tinggi, maka keadaan ini memerlukan terapi awal yang segera.
Beberapa pendekatan untuk stratifikasi telah tersedia.
Skor TIMI
Skor risiko merupakan suatu metoda sederhana dan sesuai untuk stratifikasi risiko, dan
angka faktor risiko bebas pada presentasi kemudian ditetapkan. Skor risiko ini berasal dari
analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI 11B dan telah divalidasi pada empat penelitian dan
satu registry. Dengan meningkatnya skor risiko, telah terobservasi manfaat yang lebih besar
secara progresif pada terapi dengan low molecular weight heparin (LMWH) versus
unfractionated heparin (UFH), dengan platelet GP IIb/IIIa receptor blocker tirofiban versus
placebo, dan strategi nivasif versus konservatif.
Pada pasien untuk semua level skor risiko TIMI, penggunaan klopidogrel menunjukkan
penurunan keluaran yang buruk relatif sama. Skor risiko juga efektif dalam memprediksi
keluaran yang buruk pada pasien yang pulang.
Skor risiko TIMI untuk UA/NSTEMI
Usia 65 tahun
3 faktor risiko PJK
Stenosis sebelumnya 50%
Deviasi ST
2 kejadian angina 24 jam
Aspirin dalam 7 hari terakhir
Peningkatan petanda jantung
Tabel 1: Skor risiko TIMI untuk UA/NSTEMI
pasien yang tidak pernah memiliki angina sebelumnya, dan sudah tidak ada
serangan
Enzim jantung tidak meningkat termaasuk troponin dan biasanya usia lebih muda.
Bila ada angina baru dan makin berat, didapatkan angina pada waktu istirahat
Angina berlansung lama atau angina pasca infark; sebelumnya mendapat terapi
yang intensif
Ditemukan hipotensi, diaforesis, edema paru atau rales pada pemeriksaan fisik
Bila manifestasi iskemia kembali secara spontan atau pada waktu pemeriksaan, maka
pasien sebaiknya dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil dan termasuk risiko rendah maka
terapi medikamentosa sudah mencukupi. Hanya pasien dengan risiko tinggi yang membutuhkan
tindakan invasif segera, dengan kemungkinan tindakan revaskularisasi.
Manifestasi Klinis dan Diagnosis Untuk Infark Miokard Dengan ST Elevasi
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesa nyeri dada yang
khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang
berdampingan atau 1mm pada dua sadapan ektremitas. Pmeriksaan enzim jantung, terutama
troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi
revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, dalam mengingat tatalaksana
IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah time is muscle.
Anamnesis
Anamnesis yang cermat perlu dilakukan apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau
diluar jantung. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta
faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta
riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti
aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang
hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun
tidur.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Harus mampu
mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena gejala
ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :
Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, sperti ditusuk,
rasa diperas, dan dipelintir.
Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung
interskapular, perut dan dapat juga ke lengan kanan.
Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
Gejala yang menyertai: mual muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas.
midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup
mitral dan pericardial friction rub. Pulsasi karotis sering ditemukan menurun. Ini
menggambarkan terjadinya penurunan stroke volume.
Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau
keluhan yang dicurigai STEMI dan harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di
UGD. Pemeiksaan EKG menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran
elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi
reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap
simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10menit atau
pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinu harus dilakukan unutk mendeteksi potensi
perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus
diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosa infark miokard gelombang Q,
sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak
total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan
elevasi segmen ST dan biasanya megalami UA atau NSTEMI. Pada sebagian pasien tanpa
elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya
istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau
menghilangnya gelombang R dan infark miokard nontransmural jika EKG hanya menunjukkan
perubahan sementara segmen ST atau gelombang T. Namun tidak selalu ada korelasi gambaran
patologis EKG dengan lokasi infark (mural atau transmural) sehingga terminologi IMA
gelombang Q atau non Q menggantikan infark mural atau nontransmural.
Laboratorium
Petanda Kerusakan Jantung (Biomarkers)
Pemeiksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CKMB) dan Cardiac Specific
Troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga
akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi
diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya
nekrosis jantung (infark miokard)
CKMB: menigkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 1024 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. CKMB turut meningkat pada operasi jantung,
miokarditis dan kardioversi elektrik.
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah
5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Mioglobinv: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam.
Creatinine Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai punak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
Lactic Dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
Berat molekul
Rentang waktu
Rerata waktu
Waktu kembali
(Da)
untuk
evaluasi
ke rentang
meningkat
puncak
normal
(nonreperfusi)
Sering di praktek klinik
CKMB
86000
3-12jam
24jam
48-72jam
cTnI
23500
3-12jam
24jam
5-10hari
cTnT
33000
3-12jam
12jam-2hari
5-14hari
17800
1-4jam
6-7jam
24hari
86000
2-6jam
18jam
tidak diketahui
86000
1-6jam
12jam
3jam
Myoglobin
CKMB Tissue
Isoform
CKMM Tissue
Isoform
PENATALAKSANAAN
1. Angina Pektoris Tidak Stabil (unstable angina) dan NSTEMI
a. Tindakan umum
Pasien perlu perawatan rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner, dan diistirahatkan
(bed rest), diberi obat penenang dan oksigen. Pemberian morfin atau petidin perlu ada pada
pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin. Empat
komponen utama terapi yang harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu:
Terapi antiiskemia
Terapi antiplatelet/antikoagulan
b. Terapi Medikamentosa
Nitrat
Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer, dengan efek
mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen.
Nitrat juga menambah oksigen suplai dengan vasodilatasi pembuluh koroner dan memperbaiki
aliran darah kolateral. Yang ada di Indonesia terutama Isosorbit dinitrat, yang dapat diberikan
secara intravena dengan dosis 1-4mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali infus dapat diganti
isosorbid dinitrat per oral. Nitrat pertama kali diberikan sublingual atau spray bukal jika pasien
mengalami nyeri dada iskemia. Jika nyeri menetap stelah diberikan nitat sublingual 3 kali dengan
interval 5 menit, direkomendasi pemberian nitrogliserin intravena (mulai 5-10ug/menit).
Penyekat Beta
Beta-blocker menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek penurunan denyut
jantung dan daya kontraksi miokardium. Semua pasien UA harus diberi penyekat beta kecuali
ada kontraindikasi seperti asam bronkiale dan pasien dengan bradiaritmia. Beta-bloker seperti
propanolol, metoprolol, atenolol, telah diteliti pada pasien UA, yang menunjukkan effektivitas
yang serupa. Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60kali/menit.
Antagonis Kalsium
Glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GR Iib/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir pada
proses agregasi platelet. Karena GPIIb/IIIa inhibitor menduduki reseptor tadi maka ikatan
platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi.3 macam obat
golongan ini yaitu: absiksimab, suatu antibodi monoklonal; eptifibatid, suatu siklik heptapeptid;
dan tirofiban, suatu nonpeptid mimetik. Tirofiban dan eptifibatid harus diberikan bersama aspirin
dan heparin pada pasien dengan iskemi terus-menerus atau pasien risiko tinggi dan pasien yang
direncanakan untuk tindakan PCI. Abciximab disetujui untuk pasien dengan UA dan NSTEMI
yang direncanakan untuk tindakan invasif di mana PCI direncanakan dalam 12 jam.
Terapi antikoagulan
1. UFH (Unfractionated heparin)
2. LMWH (Low Molecular Weight Heparin)
Heparin adalah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagai rantai polisakarida yang
berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagualn yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila
terikat dengan heparin, akan bekerja menghambat trombin dan faktor Xa.
Tatalaksana Predischarge dan Pencegahan Sekunder
Tatalaksana terhadap faktor risiko antara lain mencapai berat badan yang optimal, nasihat
diet, penghentian merokok, olahraga, pengontrolan hipertensi dan tatalaksana intensif diabetes
melitus dan deteksi adanya diabetes yang tidak dikenali sebelumnya.
2. Tatalaksana Infark Miokard Dengan Elevasi ST
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik
dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Pedoman
(guideline) yang digunakan dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST adalah dari ACC/AHA
2004. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di tempat masingmasing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang kardiologi intervensi).
A. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu:
aritmia dan pump failure. Sebagian besar kematian di luar rumah sakit pada STEMI disebabkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset
gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Elemen utama tatalaksana pra
hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain:
Segera memanggil tim medis emergensi ytang dapat melakukan tindakan resusitasi.
Transportasi pasien ke RS yang mempunyai fasilitas ICU serta staf medis dokter dan
perawat yang terlatih.
C. Tatalaksana Umum
1.
Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%. Pada
semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
2.
Nitrogliserin (NTG)
NTG sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0.4mg dan dapat diberikan
samapai 3 dosis dngan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat
menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh
darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada terus
berlansung dapat diberikan NTG intravena (IV). NTG juga diberikan untuk mengendalikan
hipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg atau
pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan. Pasien yang menggunakan
phosphodiesterase-3 inhibitor sildanefil dalam 24 jam karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.
3.
Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4mg dan dapat
diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20mg. Efek samping yang perlu
diwaspadai adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga
terjadi pooling venayang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek ini
dapat diatasi dngan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan
cairan IV dengan NaCl 0.9%.
Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada
spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit A2 dicapai
dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325mg di ruangan EMG. Selanjutnya
aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162mg.
Penyekat Beta
Diberikan jika morfin tidak efekif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5mg
setiap 2-5menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60x/menit,
tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR<0.24 detik dan ronki tidak lebih dari
10cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan
metoprolol oral dengan dosis 50mg tiap 6 jam selama 48jam, dan dilanjutkan 100mg
setiap 12 jam.
Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi
dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi
pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna.
a. Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
Biasanya angioplasty dan atau stenting (CABG) tanpa didahului fibrinolisis
disebut PCI primer. Akan efektif pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa
jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif bila dibandingkan fibrinolisis
dalam membuka arteri koroner yang teroklusi dan dikaitkan dengan outcome
klinis jangka pendek dan panjang yang lebih baik.
b. Fibrinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30
menit sejak masuk. Tujuan utama adalah restorasi cepat patensi arteri koroner.
Antara obat fibrinolitik yang digunakan yaitu:
Streptokinase (SK)
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfractinated
heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik
spesifik fibrin relatif (tPA, rPA atau TNK) membantu trombolisis dan memantapkan dan
mempertahankan patensi arteri yang terkait infark.
2. Penyekat beta
Manfaat penyekat beta pada STEMI dapat dibagi menjadi : yang terjadi segera jika obat
diberikan secara akut dan yang diberkan jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan
sekunder setelah infark. Pemberian secara IV membaiki hubungan serta kebutuhan oksigen
miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia
ventrikel yang serius.
3. ACE inhibitor
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas
bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Inhibitor ACE harus diberikan dalam
24 jam pertama pada pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACharus dilanjutkan tanpa batas pada
pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan imaging menunjukkan penurunan
fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global atau pasien
hipertensif.
KOMPLIKASI
1. Disfungsi ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodelling
ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam
hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark, ventrikel kiri mengalami dilatasi.
Secara akut hasil ini berasal dari ekspansi infark. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen
non infark, mengakibatan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran
ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark dengan
dilatasi pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik
yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dengan prognosis yang teruk.
2. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit karena STEMI.
Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan
mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai
adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada roentgen sering dijumpai
kongesti paru.
3. Syok kardiogenik
Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan saat masuk, sedangkan 90% ditemukan
selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai
penyakit arteri koroner multivessel.
4. Infark ventrikel kanan
Sekitar sepertiga pasien dengan infark posteroposterior menunjukkan sekurangkurangnya nekrosis ventrikel kanan derajat ringan. Jarang pasien dengan infark terbatas primer
pada ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan secara klinis menyebabkan tanda gagal ventrikel
kanan yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmauls, hepatomegali) dengan atau tanpa
hipotensi. Elevasi segmen ST pada sadapan EKG sisi kanan, terutama sadapan V4R sering
dijumpai pada 24 jam pertama pasien infark ventrikel kanan. Terapi terdiri dari ekspansi volume
untuk mempertahankan preload ventrikel kanan yang adekuat dan upaya untuk meningkatkan
tampilan dengan reduksi takanan arteri pulmonalis.
5. Aritmia pasien pasca STEMI
Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset gejala.
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom, gangguan
elektrolit, iskemia dan penghambatan konduksi di zona iskemia miokard.
6. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadik yang tidak sering terjadi pada hampir semua
pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Penyekat beta efektif dalam mencegah aktifitas
ektopik ventrikel pada pasien STEMI dan pencegahan fibrilasi ventrikel, dan harus diberikan
rutin kecuali terdapat kontraindikasi. Hipokalemia dan hipomagnesemia merupakan faktor risiko
fibrilasi ventrikel pada pasien STEMI, konsentrasi kalium serum diupayan mencapai 4,5
mmol/liter dan magnesium 2 mmol/liter.
7. Takikardi dan Fibrilasi Ventrikel.
Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardidan fibrilasi ventrikular dapat terjadi tanpa tanda
bahaya aritmia sebelumnya.
8. Komplikasi mekanik
- Ruptur muskularpapilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventikel.
- Penatalaksaan : operasi
PROGNOSIS
Terdapat beberapa sistem yang ada dalam menentukan pronosis pasien pasca IMA:
Klas
I
II
III
IV
Definisi
Tidak ada tanda gagal jantung kongestif
+ S3 dan / atau ronkhi basah
Edema paru
Syok kardiogenik
Tabel 4: Klasifikasi Killip pada IMA
Mortalitas (%)
6
17
30-40
60-80
FOLLOW UP
Tangg
al
Subyektif
Obyektif
Temp 36,5 RR 28 HR
81 TD 100/70
KU lemas
Assesmen
t
Planning
18
maret
Nyeri dada
berkurang,
sesak + ,
Batuk (+)
Inf RL 20tpm
Inj Ranitidin 2x1
Inj Ceftriaxon
Isdn 3x 5mg
Aspilet 1x1
Cpg 0-1-0
Simvastatin 0-01
SKA
Temp 36,5 RR 28 HR
84 TD 120/80
KU lemas
K/L: AICD -/-/-/- pKGB
Nyeri dada
berkurang,
sesak +
SKA
Lanjut
SKA
Lanjut
Sesak +,
lain lain
baik
21
maret
Sesak
berkurang
(+)
Lanjut
detik
Temp 36,5 RR 24 HR
84 TD 100/70
KU lemas
K/L: AICD -/-/-/- pKGB
Sesak
menghilan
g
SKA
BPL
Ceftriaxone 2x1
Ranitidine 2x1
Isdn 5mg 3x1
Aspilet 1x1
CPG 0-1-0
Simvastatin 0-01