Anda di halaman 1dari 45

PORTOFOLIO

SINDROMA KORONER AKUT

RSM AHMAD DAHLAN


KOTA KEDIRI

DISUSUN OLEH :
Dr. AKHMAD AHDINUR FAZAR

Dokter Intersnsip RSM Ahmad Dahlan


Kota Kediri
Periode Maret 2016 Maret 2017

BORANG PORTOFOLIO KASUS MEDIK


Topik :
Sindrom Koroner Akut
Tanggal MRS :
17 Maret 2016
Presenter :
Tanggal Periksa :
18 Maret 2016
Tanggal Presentasi :
08 April 2016
Pendamping :
Tempat Presentasi :
Ruang rapat Mekah lt. 3
Objektif Presentasi :
Keilmuan
Diagnostik
Neonatus
Deskripsi :
Tujuan :
Bahan
Bahasan :
Cara
Membahas :
Data Pasien :

Keterampilan

Penyegaran

Manajemen

Masalah

dr. Akhmad Fazar

Tinjauan

Pustaka
Istimewa

Bayi
Anak
Remaja
Dewasa
Lansia
Bumil
Pria, 71tahun, dengan keluhan: kembung, tidak nafsu makan, batuk
Penegakkan diagnosa dan pengobatan yang tepat dan tuntas.
Tinjauan Pustaka
Diskusi

Riset

Kasus

Presentasi dan Diskusi

Nama : Tn. M 78th

Nama RS : RSM Ahmad Dahlan Kediri

Telp :

E-mail

Audit
Pos

No. Registrasi : 0647xx


Terdaftar sejak :17 maret

2016
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1 Diagnosis / Gambaran Klinis : pasien pria 78 tahun datang dengan keluhan nyeri dada
sejak 2 jam smrs, nyeri dada tidak dapat di tunjuk dalam satu titik, nyeri dada di
rasakan seperti tertimpa benda berat dan menjalar sampai punggung dan bahu kiri,
nyeri dada tidak di pengaruhi oleh istirahat dan tidak berkurang saat aktivitas sesak
juga di rasakan dan perih pada ulu hati, mual, muntah, keringat dingin di sertai
2
3

dengan batuk berdahak berwarna putih selama 1 minggu.


Riwayat Pengobatan : Ambroxol, cortidex, Lasix
Riwayat Kesehatan/Penyakit: Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini

sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat alergi sebelumnya.


4 Riwayat Keluarga : 5 Riwayat Pekerjaan : Pasien sudah tidak bekerja
6 Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Rumah pasien tertutup
7 Riwayat Imunisasi : 8 Lain-lain : Hasil EKG menunjukan STEMI di lead v2 v4
Daftar Pustaka :

1. Price, Silvia A. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, edisi 4. 1995.


Jakarta: EGC
2. McPhee, Sthepen J. Pathophysiology of Disease, A Introduction to Clinical Medicine.
2003. United States: McGraw Hill
3. Rilantono, Lily Ismudiati, dkk. Buku Ajar Kardiologi. 2004. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
4. Kasper, D.L., Braunswald E., Fauci A.S., Hauser S.L., Longo D.L., Jameson J.L.
Harrisons Principles of Internal Medicine, 16th edition, New Tork: Mc Graw Hill;
2005
5. Hanafi b. Trisnohadi, Idrus Alwi, S. Harun. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2006.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI
6. Brashers L. Valentina. Chapter 30 : Alterations of Cardiovaskular Function in
Pathofisiology the Biologic basis for disease in Adults and Children 5th edition.
McCance L. Kathryn, Huether E. Sue,. 2006. Philadelphia: Elsevier Mosby
7. Antman Elliot M., Braunwald Eugene. Chapter 227: Unstable Angina and non-STElevation Myocardial Infarction in Harrisons Principles of Internal Medicine 16th
edition. Braunwald, Fauci,Hauser, Jameson, Longo, Kasper. 2005. USA: McGraw
Hill
Hasil Pembelajaran :
1 Sindrom Koroner Akut
2 Penegakan diagnosis SKA
3 Tatalaksana SKA

Keterangan Umum :
Nama

: Tn. M

Usia

: 78 th

Alamat

: DSN Seketi

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Warga Negara

: Warga Negara Indonesia (WNI)

Bahasa Ibu

: Jawa, Indonesia

Pekerjaan

: Tidak Bekerja

Status pernikahan
A.

: Menikah

ANAMNESIS

SUBJEKTIF
Keluhan Utama

: Nyeri dada

Anamnesis Khusus (Auto dan Alloanamnesis)


Keluhan nyeri dada dirasakan sangat berat sejak lebih kurang 2 jam sebelum masuk
rumah sakit disertai nyeri pada dada yang terasa seperti tertindih benda berat. Nyeri dada tidak
dapat dilokalisasi pada satu titik. Nyeri dirasakan menjalar ke punggung dan bahu kiri.pasien
juga mengelukan sesak nafas, Keluhan sesak juga disertai rasa perih pada ulu hati, mual, dan
berkeringat dingin. Nyeri dada tidak berhubungan dengan aktivitas dan tidak hilang dengan
istirahat.
Nyeri dada pernah dirasakan sebelumnya sejak lebih kurang 6 bulan sebelum masuk
rumah sakit, namun tidak pernah seberat ini. Nyeri dada sebelumnya dirasakan hanya sebentar
dan terjadi setelah beraktivitas seperti jalan jauh yang kemudian hilang dengan istirahat. Keluhan
disertai dengan adanya batuk, batuk berdahak berwarna putih. Keluhan nyeri dada disertai rasa
sesak, tanpa mengi, maupun demam. Pasien tidur menggunakan 1sampai 2 bantal dan tidak
pernah terbangun pada malam hari karena sesak. Bengkak pada tungkai tidak pernah dirasakan.
Pasien memiliki riwayat merokok lama, tapi sekarang sudah berhenti.
Pasien belum mengonsumsi obat-obatan apapun untuk keluhan yang dirasakan saat ini.

Riwayat alergi :
Bahan injektan

: disangkal

Bahan kontaktan

: disangkal

Bahan ingestan

: disangkal

Bahan inhalan

: disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Imunisasi: tidak tahu
B. PEMERIKSAAN FISIK

: riwayat sakit seperti ini (-)

OBJECTIVE
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum: lemas

Status gizi: kesan gizi kurang

Vital sign
o Nadi: 82x/menit
o TD : 111/ 66
o RR: 22x/menit
o Temp: 36,5 C

Kepala leher:
o AICD -/-/-/o pembesaran KGB (-)

Thorax:
o Pulmo:

Inspeksi : simetris

Palpasi : ekspansi dinding dada simetris, fremitus normal

Perkusi : son/son

Auskultasi: ves +/+, rh -/-, wh-/-

o Cor:

Inspeksi: hemithorax bulging

Palpasi: fremisment

Perkusi: ukuran jantung normal

Auskultasi: s1 s2 tunggal m- g-

Abdomen:
o Inspeksi: flat
o Auskultasi: Bu + normal
o Palpasi: soefl, H/L/R ttb, Turgor normal
o Perkusi: tympani, shifting dullness

Ekstrimitas : hangat kering merah, CRT<2 detik


PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap
Hb
Leukosit
PCV
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
Eritrosit

12,3
13.030
35,8
335.000
88,8
30,5
34,4
4,03

Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit
GDA
OT/PT

0,0
0,1
96,1
2,7
1,1
-

. EKG
Irama: sinus Ryhtem, frekuensi 82 kali/menit, gelombang P normal, interval PR normal,
gelombang QRS normal, elevasi segmen ST pada lead V2-V4, gelombang T normal.
C. DIAGNOSIS KLINIS
Sindroma Koroner Akut DD/ -

STEMI

NSTEMI

UAP

E. DIAGNOSIS KERJA
Sindroma Koroner Akut : STEMI dinding anterior septal
F. PENATALAKSANAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

O2 lembab
4-6 liter/menit
IVFD RL
14 tpm
ISDN sublingual
3x10mg (diulang setiap 15 menit apabila masih ada nyeri dada)
aspilet
1 x 80mg
Ranitidine
2x1 amp iv
Urine Catheter
Konsul SpJP
Rencana Reperfusi dan Rencana Rawat ICCU

H. PROGNOSIS
Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam

: dubia ad malam

ANATOMI PEMBULUH DARAH KORONER

FISIOLOGI ALIRAN DARAH KORONER


Faktor yang mempengaruhi aliran koroner :
1. Keadaan anatomis dan mekanis
Arteri koroner bermuara di pangkal aorta pada sinus valsava, yang berada di belakang
katup aorta. Arus darah yang keluar dari ventrikel kiri bersifat turbulen yang
meneyebabkan terhambatnya aliran koroner.
2. Faktor mekanis akibat tekanan pada arteri koroner
Arteri koroner tidak seluruhnya berada di permukaan jantung, tetapi sebagian besar
berada di miokard, sehingga waktu jantung berkontraksi (sistol) tekanan intra miokard
meningkat, hal ini akan menghambat aliran darah koroner. Karena itu dapat dipahami
aliaran darah koroner 80% terjadi saat diastol dan 20% saat sistol.
3. Sistem otoregulasi
Otot polos arteriol mampu melakukan adaptasi, berkontraksi (vasokontriksi) maupun
berdilatasi (vasodilatasi) baik oleh rangsangan metabolis maupun adanya zat-zat lain
seperti adenin ino K+, prostaglandin dan kinin. Demikian pula oleh karena adanya
regulasi syaraf, baik yang bersifat alfa dan beta adrenergik, maupun yang bersifat tekanan
(baroreseptor).
4. Tekanan perfusi
Meskipun aliran darah ke dalam arteri koroner dapat terjadi, tetapi perfusi ke dalam
jaringan membutuhkan tekanan tertentu, yang disebut tekanan perfusi. Tekanan perfusi
dipengaruhi oleh tekanan cairan di dalam rongga jantung, khususnya tekanan ventrikel
kiri, yang secara umum diketahui melalui pengukuran tekanan darah. Tekanan perfusi
normal antara 70 mmHg sampai 130 mmHg.
Pada tekanan perfusi normal tersebut sistem otoregulasi berjalan dengan baik. Bila
tekanan perfusi menurun dibawah 60 mmHg, maka sistem regulasi aliran darah koroner
tidak bekerja, sehingga aliran darah koroner hanya ditentukan oleh tekanan perfusi itu
sendiri. Hal itu menyebabkan kebutuhan jaringan tidak tercukupi. Dalam klinis keadaan
ini menunjukkan suatu fase hipotensif yang mengarah ke gagal jantung. Artinya kerja
jantung tidak mencukupi kebutuhan dirinya sendiri, karena sistim otoregulasi lumpuh.

SINDROMA KORONER AKUT


DEFINISI
Sindroma koroner akut adalah gabungan gejala klinik yang menandakan iskemia miokard
akut, yang terdiri dari infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST segment elevation
myocardial infarction = STEMI), infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (non ST segment
elevation myocardial infarction = NSTEMI), dan angina pektoris tidak stabil (unstable angina
pectoris = UAP). Ketiga kondisi tersebut berkaitan erat, hanya berbeda dalam derajat beratnya
iskemia dan luasnya jaringan miokardium yang mengalami nekrosis.
FAKTOR RISIKO
Faktor risiko terjadinya SKA dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok yaitu fakor
risiko yang dapat di modifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang
tidak dapat dimodifikasi yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Sedangkan faktor
risiko yang dapat dimodifikasi yaitu merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, hipertensi, dan
obesitas.
Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi
1. Usia
Kerentanan yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Tetapi hubungan antara usia
dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan lama paparan yang lebih panjang
terhadap faktor-faktor aterogenik.
2. Jenis Kelamin
Kejadian penyakit koroner relatif lebih rendah pada wanita sampai menopause, setelah
menopause kerentanannya menjadi sama dengan pria. Efek perlindungan estrogen
dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita sebelum menopause.
3. Ras
Orang Amerika-Afrika lebih rentan tehadap aterosklerosis daripada orang kulit putih.
4. Riwayat Keluarga dengan Penyakit Jantung Koroner
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (yaitu saudara atau
orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan
kemungkinan timbulnya aterosklerosis prematur. Besarnya pengaruh genetik dan

lingkungan belum diketahui. Komponen genetik dapat dikaitkan pada beberapa bentuk
aterosklerosis yang nyata, atau yang cepat perkembangannya, seperti pada gangguan lipid
familial. Tetapi riwayat keluarga dapat pula mencerminkan komponen lingkungan yang
kuat, seperti gaya hidup yang menimbulkan stres atau obesitas.
Faktor Risiko yang dapat Dimodifikasi
1. Merokok
Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek langsung terhadap dinding
arteri. Karbon monoksida (CO) dapat menyebabkan hipoksia jaringan arteri, nikotin
menyebakan mobilisasi katekolamin yang dapat menambahkan reaksi trombosit dan
menyebabkan kerusakan pada dinding arteri, sedangkan glikoprotein tembakau dapat
mengakibatkan reaksi hipersensitif dinding arteri.
2. Dislipidemia
Lipid plasma (kolesterol, trigliserida, fosfolipida, dan asam lemak bebas) berasal dari
makanan (eksogen) dan sintesis lemak endogen. Kolesterol dan trigliserida adalah dua
jenis lipid yang relatif mempunyai makna klinis yang penting sehubungan dengan
aterogenesis. Lipid terikat pada protein, karena lipid tidak larut dalam plasma. Ikatan ini
menghasilkan empat kelas utama lipoprotein, yaitu; kilomikron, VLDL, LDL dan HDL.
LDL paling tinggi kadar kolesterolnya, sedangkan kilomikron dan VLDL kaya akan
trigliserida. Kadar protein tertinggi terdapat pada HDL. Peningkatan kolesterol LDL
dihubungkan dengan meningkatnya risiko penyakit jantung koroner, sementara kadar
HDL yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung penyakit jantung koroner, sebaliknya
kadar HDL yang rendah ternyata bersifat aterogenik. Rasio kadar LDL dan HDL dalam
darah mempunyai makna klinis untuk terjadinya aterosklerosis.
3. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus menyebabkan gangguan lipoprotein. LDL dari sirkulasi akan di bawa
ke hepar. Pada penderita diabetes mellitus, degradasi LDL di hepar menurun, dan gikolasi
kolagen meningkat. Hal ini mengakibatkan meningkatnya LDL yang berikatan dengan
dinding vaskuler.
4. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompaan darah
dari ventrikel kiri, akibatnya beban kerja jantung bertambah. Sebagai akibatnya terjadi

hipertrofi ventrikel untuk menguatkan kontraksi. Akan tetapi kemampuan ventrikel untuk
mempertahankan curah jantung dengan hipertropi kompensasi akhirnya terlampaui ,
terjadi dilatasi dan payah jantung. Jantung jadi semakin terancam dengan adanya
aterosklerosis koroner. Kebutuhan oksigen miokardium meningkat sedangkan suplai
oksigen tidak mencukupi, akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa
menjadi infark. Disamping itu, hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel
pembuluh darah akibat tekana tinggi yang lama (endothelial injury).
5. Obesitas
Kegemukan mungkin bukan faktor risiko yang berdiri sendiri, karena pada umumnya
selalu diikuti oleh faktor risiko lainnya.
FAKTOR PENCETUS
1. Hipertensi
Hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh darah akibat tekanan tinggi
yang lama dan kemungkinan terjadinya rupturnya plak pada pembuluh darah.
2. Anemia
Anemia mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke jaringan, termasuk ke jaringan
jantung. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen, jantung dipacu untuk meningkatkan
cardiac ouput. Hal ini mengakibatkan kebutuhan oksigen di jantung meningkat.
Ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai oksigen mengakibatkan gangguan pada
jantung.
3. Kerja fisik/olahraga
Pada aktivitas fisik yang meningkat, kebutuhan oksigen terhadap jaringan dan
miokardium meningkat. Adanya aterosklerosis mengakibatkan suplai oksigen tidak
mencukupi, akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa terjadi infark.
4. Stres emosional

CARDIOVASCULAR CONTINUUM

PATOGENESIS
Sebagian besar SKA terjadi akibat ruptur plak aterosklerosis sehingga terbentuk thrombus
di atas ateroma. Thrombus tersebut secara akut menyumbat lumen arteri koroner.
Ateroskerosis adalah bentuk arteriosklerosis dimana terjadi penebalan dan pengerasan
dari dinding pembuluh darah yang disebabkan oleh akumulasi makrofag yang berisi lemak
sehingga menyebabkan terbentuknya lesi yang disebut plak. Aterosklerosis bukan merupakan
kelainan tunggal namun merupakan proses patologi yang dapat mempengaruhi system vaskuler
seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan sindroma iskemik yang bervariasi dalam manifestasi
klinis dari tingkat keparahan. Hal tersebut merupakan penyebab utama penyakit arteri koroner.
Aterosklerosis merupakan proses inflamasi. Secara patologis lesi berasal dari disfungsi
dan jejas endotel yang berkembang menjadi fatty streak kemudian menjadi plak fibrosis dan
akhirnya terbentuk lesi yang kompleks. Aterosklerosis dimulai dengan jejas terhadap sel endotel
yang melapisi dinding arteri. Penyebab yang mungkin dari jejas endotel tersebut adalah tersebut
adalah faktor risiko yaitu merokok, hipertensi, diabetes mellitus, peningkatan LDL, HDL yang
kurang, dan hiperhomosisteinemia. Penyebab lain dapat berupa peningkatan C-reactive protein,
peningkatan fibrinogen serum, resistensi insulin, stress oksidatif, infeksi dan penyakit
periodontal. Ketika jejas terjadi, mengakibatkan disfungsi endotel dan peradangan yang diikuti
proses patofisiologi sebagai berikut :
1. Sel endotel yang mengalami jejas terjadi peradangan dan tidak dapat mensintesis jumlah
normal dari antitrombokin dan sitokin vasodilatasi.
2. Terlepasnya berbagai sitokin proinflamasi termasuk TNF alfa dan interferon gamma, IL-1,
oksigen radikal dan heat shock protein.
3. Terlepasnya angiotensisn II, fibroblast growth factor, dan PDGF yang merangsang proliferasi
sel otot polos pada dinding pembuluh darah.
4. Perlekatan makrofag pada endotel yang mengalami jejas dengan bantuan molekul adhesi,
misalnya VCAM-1.
5. Makrofag tersebut kemudian melepas enzim dan radikal bebas dan menyebabkan stress
oksidatif, LDL teroksidasi, juga jejas lebih lanjut pada dinding pembuluh darah.
Oksidasi LDL merupakan langkah terpenting pada atherogenesis. Inflamasi dengan
stress oksidatif dan aktivasi makrofag adalah mekanisme primer. Diabetes mellitus, merokok,
dan hipertensi dihubungkan dengan peningkatan oksidasi LDL yang dipengaruhi oleh

peningkatan kadar angiotensin II melalui stimulasi reseptor AT-I. LDL teroksidasi bersifat toksik
terhadap sel endotel dan menyebabkan proliferasi sel otot polos, aktivasi respon imun dan
inflamasi. LDL teroksidasi mauk ke dalam tunika intima dinding arteri kemudian difagosit oleh
makrofag. Makrofag yang mengandung oksi-LDL disebut foam cell berakumulasi dalam jumlah
yang signifikan maka akan membentuk jejas fatty streak. Pembentukan lesi tersebut dapat
ditemukan pada dinding pembuluh darah sebagian orang termasuk anak-anak. Ketika terbentuk,
fatty streak memproduksi radikal oksigen toksik yang lebih banyak dan mengakibatkan
perubahan inflamasi dan imunologis sehingga terjadi kerusakan yang lebih ptogresif. Kemudian
terjadi proliferasi sel otot polos, pembentukan kolagen dan pembentukan plak fibrosa di atas sel
otot polos tersebut. Proses tersebut diperantarai berbagai macam sitokin inflamasi termasuk
growth factor (TGF beta). Plak fibrosa akan menonjol ke lumen pembuluh darah dan
menyumbataliran darah ysng lebih distal, terutama pada saat olahraga, sehingga timbul gejala
klinis (angina atau claudication intermitten).
Banyak plak yang unstable (cenderung menjadi ruptur) tidak menimbulkan gejala klinis
sampai plak tersebut mengalami ruptur. Ruptur plak terjadi akibat aktivasi reaksi inflamasi dari
proteinase seperti metalloproteinase matriks dan cathepsin sehingga menyebabkan perdarahan
pada lesi. Plak atherosklerosis dapat diklasifikasikan berdasarkan strukturnya yang
memperlihatkan stabilitas dan kerentanan terhadap ruptur. Plak yang menjadi ruptur merupakan
plak kompleks. Plak yang unstable dan cenderung menjadi rupture adalah plak yang intinya
banyak mengandung deposit LDL teroksidasi dan yang diliputi oleh fibrous caps yang tipis. Plak
yang robek (ulserasi atau rupture) terjadi karena shear forces, inflamasi dengan pelepasan
mediator inflamasi yang multiple, sekresi macrophage-derived degradative enzyme dan apotosis
sel pada tepi lesi. Ketika rupture, terjadi adhesi platelet terhadap jaringan yang terpajan, inisiasi
kaskade pembekuan darah, dan pembentukan thrombus yang sangat cepat. Thrombus tersebut
dapat langsung menyumbat pembuluh darah sehingga terjadi iskemia dan infark.

Atherosclerotic plaque with a lipid-rich core and thin fibrous cap

rces, inflammation, apoptosis, macrophage-derived degradative enzymes

Rupture of plaque
of multiple cytokines, platelet activation and adherence, production of thrombin and vasoconstrictors

Thrombus formation over lesion plus vasoconstriction of vessel

Acute decrease in coronary blood flow

Unstable angina or myocardial infarction

Gambar 1: Patogenesis Tidak Stabil dan Pembentukan Trombus


PATOFISIOLOGI
Proses progresifitas dari plak atherosklerotik dapat terjadi perlahan-lahan. Namun,
apabila terjadi obstruksi koroner tiba-tiba karena pembentukan thrombus akibat plak
aterosklerotik yang rupture atau mengalami ulserasi, maka terjadi sindrom koroner akut.
1. Unstable angina : adalah akibat dari iskemi miokard reversibel dan dapat mencetuskan
terjadinya infark.
2. Myocardial infarct : terjadi apabila iskemia yang berkepanjangan menyebabkan kerusakan
ireversibel dari otot jantung.

Atherosclerotic plaque partially obstructs coronary blood flow

Stable plaqueUnstable plaque with ulceration or rupture and thrombosis

Stable angina

Acute coronary syndromes

Trancient ischemia

Unstable angina

Sustained ischemia

Myocardial infarction

Stunned myocytes
Hibernating myocytes Myocardial inflammation and necrosis
Myocardial remodeling

Gambar 2 : Patofisiologi Sindrom Koroner Akut


1. Unstable Angina
Muncul akibat berkurangnya suplai oksigen dan/atau peningkatan kebutuhan
oksigen jantung (contoh karena takikardi atau hipertensi). Berkurangnya suplai oksigen
terjadi karena adanya pengurangan diameter lumen pembuluh darah yang dipengaruhi
oleh vasokonstriktor dan/atau thrombus. Pada banyak pasien unstable angina, mekanisme
berkurangnya suplai oksigen lebih banyak terjadi dibandingkan peningkatan oksigen
demand. Tetapi pada beberapa kasus, keduanya dapat terjadi secara bersamaan.
Mekanisme pengurangan suplai oksigen dipengaruhi oleh agregasi trombosit,
thrombosis, dan vasokonstriksi koroner.

Agregasi platelet. Beberapa penelitian menyatakan bahwa agregasi platelet memainkan


peranan penting sebagai faktor presipitasi terjadinya episode iskemik seperti yang terjadi
pada infark miokard akut. Platelet dan sel endotel koroner berinteraksi dalam satu
kesatuan. Platelet menghasilakn tromboxan A2 yang merupakan proagregatory dan
vasokonstriktor, sedangkan sel endotel normal menghasilkan antiagregatory vasodilator
protasiklin (prostaglandin I2) maupun tissue plasminogen activator (t-PA) dan
endothelium-derived relaxing factor. Proses iskemia terjadi akibat vasokonstriksi koroner
yang disebabkan karena akumulasi tromboxan A2. serotonin serta pengurangan jumlah
prostaglandin I2 dan inhibitor agregasi plateat.
Thrombosis. Proses aktif thrombus juga terjadi pada pasien unstable angina. Thrombus
intrakoroner muncul karena hiperkoagulabilitas akibat proses fibrinolisis yang terganggu.
Vasokonstriksi Koroner. Disfungsi endotel mengakibatkan keluarnya mediator
endothelin I yang berefek vasokonstriksi dan berkurangnya mediator vasodilator seperti
protasiklin dan endothelium-derived relaxing factor. Vasokonstriksi ini menyebabkan
sempitnya lumen dan meningkatkan resistensi vaskuler. Disfungsi endotel juga
mengakibatkan proses fibrinolisis terganggu.
Dalam proses atherosklerosis, agregasi trombosit, pembentukan thrombus, dan
vasokonstriksi koroner dapat terjadi sendiri-sendiri atau bersamaan dalam waktu yang
berbeda sehingga terjadi unstable angina.
Empat proses patofisiologi pada unstable angina, adalah:
i.

Ruptur atau erosi plak ditambah adanya thrombus non-oklusif

ii.

Obstruksi dinamik (cth. Spasme koroner pada Prinzmetals variant angina)

iii.

Obstruksi mekanik yang progresif (cth. Atherosclerosis coroner atau restenosis


setelah PCI (percutaneus coronary intervention)).

iv.

Unstable angina sekunder akibat meningkatnya oksigen demand dan/atau kurangnya


suplai oksigen (cth. anemia).

Lebih dari satu proses di atas terjadi pada pasien unstable angina.
2. Infark Miokardium
Ketika aliran darah koroner terganggu pada waktu tertentu, dapat terjadi nekrosis
sel miosit. Hal tersebut disebut infark miokard. Gangguan, progresivitas plak, dan

pembentukan klot lebih lanjut yang terjadi pada MI sama halnya seperti yang terjadi pada
sindrom koroner akut yang lainnya. Namun, pada MI trombusnya lebih labil dan dapat
menyumbat pembuluh darah dalam waktu yang lebih lama, sehingga iskemia miokardial
dapat berkembang menjadi nekrosis dan kematian miosit. Jika thrombus lisis sebelum
terjadinya nekrosis jaringan distal yang komplet, infark yang terjadi hanya melibatkan
miokardium yang berada langsung di bawah endokardium (subendocardial MI).
Jika thrombus menyumbat pembuluh darah secara permanent, maka infarknya dapat
memanjang hingga epikardium sehingga menyebabkan disfungsi jantung yang parah
(transmural MI). Secara klinis, MI transmural harus diidentifikasi, karena dapat
menyebabkan komplikasi yang serius dan harus mendapat terapi yang segera.
Jejas Selular. Sel jantung dapat bertahan terhadap iskemi hanya dalam waktu 20 menit
sebelum mengalami kematian. Perubahan EKG hanya terlihat pada 30-60 detik setelah
hipoksia. Bahkan jika telah terjadi perubahan metabolisme yang non fungsional, sel
miosit tetap viable jika darah kembali dalam 20 menit. Penelitian menunjukkan bawa sel
miosit dapat beradaptasi terhadap perubahan suplai oksigen. Proses tersebut dinamakan
ischemic preconditioning. Setelah 8-10 detik penurunan aliran darah, miokardium yang
terlibat menjadi sianotik dan lebih dingin. Glikolisis anaerob yang terjadi hanya dapat
mensuplai 65-70% dari kebutuhan energi, karena diproduksi ATP yang lebih sedikit
daripada metabolisme aerob. Ion hydrogen dan asam laktat kemudian berakumulasi
sehingga terjadi asidosis, dimana sel miokardium sangat sensitif pada pH yang rendah
dan memiliki sistem buffer yang lemah. Asidosis menyebabkan miokardium menjadi
rentan terhadap kerusakan lisosom yang mengakibatkan terganggunya fungsi
kontraktilitas dan fungsi konduksi jantung sehingga terjadi gagal jantung. Kekurangan
oksigen juga disertai gangguan elektrolit Na, K, dan Mg. secara normal miokardium
berespon terhadap kadar katekolamin (epinefrin dan norepinefrin/NE) yang bervariasi.
Pada sumbatan arteri yang signifikan, sel miokardium melepaskan katekolamin sehingga
terjadi ketidakseimbangan fungsi simpatis dan parasimpatis, disritmia dan gagal jantung.
Katekolamin merupakan mediator pelepasan dari glikogen, glukosa dan cadangan lemak
dari sel tubuh. Oleh karena itu terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas dan gliserol
plasma dalam satu jam setelah timbulnya miokard akut. Kadar FFA (Free Fatty Acid)
yang berlebih memiliki efek penyabunan terhadap membran sel. NE meningkatkan kadar

glukosa darah melalui perangsangan terhadap sel hepar dan sel otot. NE juga
menghambat aktivitas sel beta pankreas sehingga produksi insulin berkurang dan terjadi
keadaan hiperglikemia. Hiperglikemia terjadi setelah 72 jam onset serangan.
Angiotensin II yang dilepaskan selama iskemia miokard berkontribusi dalam patogenesis
MI, dengan cara yaitu:
1. Efek sistemik dari vasokonstriksi perifer dan retensi cairan sehingga
meningkatkan beban jantung, akibatnya memperparah penurunan kemampuan
kontraktilitas jantung
2. Angiotensin II mempunyai efek lokal yaitu sebagai growth factor sel otot polos
pembuluh darah, miosit dan fibroblast jantung, sehingga merangsang peningkatan
kadar katekolamin dan memperparah vasospasme koroner.
Kematian selular. Iskemia miokard yang berlangsung lebih dari 20 menit merupakan
jejas hipoksia irreversible yang dapat menyebabkan kematian sel dan nekrosis jaringan.
Nekrosis jaringan miokardium dapat menyebabkan pelepasan beberapa enzim intraseluler
tertentu melalui membrane sel yang rusak ke dalam ruang intersisisal. Enzim yang
terlepas kemudian diangkut melalui pembuluh darah limfe ke pembuluh darah. Sehingga
dapat terdeteksi oleh tes serologis.
Perubahan fungsional dan struktural. Infark miokardial menyebabkan perubahan
fungsional dan struktural jantung. Perubahan tersebut dapat dilihat pada table di bawah
ini.
Waktu

Perubahan Jaringan

setelah MI
6-12 jam
Tidak ada perubahan

Tahapan Proses Pemulihan


Belum dimulai

makroskopis; sianosis subseluler


18-24 jam

2-4 hari

dengan penurunan temperatur


Pucat sampai abu-kecoklatan;

Respon inflamasi;

slight pallor

pelepasan enzim

intraseluler
Tampak nekrosis; kuning-coklat di Enzim proteolitik
tengah dan hiperemis di sekitar

dipindahkan oleh debris;

tepi

katekolamin, lipolisis, dan


glikogenolisis

meningkatkan glukosa
plasma dan FFA untuk
membantu miokard keluar
4-10 hari

10-14 hari

6 minggu

Area soft, dengan degenerasi

dari anaerobic state


Debris telah dibersihkan;

lemak di tengah, daerah

collagen matrix laid down

perdarahan pada area infark


Weak, fibrotic scar tissue dengan

Penyembuhan berlanjut

awal revaskularisasi

namun area sangat lunak,

Jaringan parut biasanya telah

mudah dipengaruhi stress


Jaringan parut kuat yang

komplit

tidak elastis menggantikan


miokardium yg nekrosis

Perubahan makroskopis pada daerah infark tidak akan terlihat dalam beberapa
jam. Walaupun dalam 30-60 detik terjadi perubahan EKG. Miokardium yang infark
dikelilingi oleh zona jejas hiposia yang dapat berkembang menjadi nekrosis, kemudian
terjadi remodeling atau menjadi normal kembali. Jaringan jantung yang dikelilingi daerah
infark juga mengalami perubahan yang dapat dikategorikan ke dalam:
1. Myocardial stunning, yaitu kehilangan sementara fungsi kontraktilitas yang
berlangsung selama beberapa jam beberapa hari setelah perfusi kembali normal.
2. Hibernating myocardium, yaitu jaringan yang mengalami iskemi persisten dan telah
mengalami adaptasi metabolic.
3. Myocardial remodeling, adalah suatu proses yang diperantarai Angiotensin II,
aldosteron, katekolamin, adenosine dan sitokin inflamasi yang menyebabkan
hipertrofi miositdan penurunan fungsi kontraktilitas pada daerah jantung yang jauh
dari lokasi infark
Semua perubahan di atas dapat dibatasi melalui restorasi yang cepat dari aliran
koronerdan penggunaan ACE-inhibitor dan beta blocker setelah MI. Tingkat
keparahan gangguan fungsi tersebut dipengaruhi oleh ukuran dan lokasi infark.
Perubahan fungsional termasuk: (1). Penurunan kontraktilitas jantung dengan gerak
dinding jantung abnormal, (2). Perubahan compliance dari ventrikel kiri, (3).

Penurunan stroke volume, (4). Penurunan fraksi ejeksi, (5). Peningkatan tekanan
akhir diastolik ventrikel kiri, (6). Malfungsi dari SA node, (7). Disritmia yang
mengancam jiwa dan gagal jantung sering menyertai MI.
Fase Perbaikan. Infark miokard menyebabkan respon inflamasi yang parah yang
diakhiri dengan perbaikan luka. Perbaikan terdiri dari degradasi sel yang rusak,
proliferasi fibroblast dan sintesis jaringan parut. Banyak tipe sel, hormone, dan
substrat nutrisi harus tersedia agar proses penyembuhan dapat berlangsung optimal.
Dalam 24 jam terjadi infiltrasi lekosit dalam jaringan nekrotik dan degradasi jaringan
nekrotik oleh enzim proteolisis dari neutrofil scavenger. Fase pseudodiabetik sering
timbul oleh karena lepasnya katekolamin dari sel yang rusak yang dapat menstimulasi
lepasnya glukosa dan asam lemak bebas. Pada minggu kedua, terjadi sekresi insulin
yang meningkatkan pergerakan glukosa dan menurunkan kadar gula darah. Pada 1014 hari setelah infark terbentuk matriks kolagen yang lemah dan rentan terhadap jejas
yang berulang. Pada masa itu, biasanya individu merasa sehat dan meningkatkan
aktivitasnya kembali sehingga proses penyembuhan terganggu. Setelah 6 minggu,
area nekrosis secara utuh diganti oleh jaringan parut yang kuat namun tidak dapat
berkontraksi seperti jaringan miokardium yang sehat.
MANIFESTASI KLINIS
Sindrom koroner akut terbagi lagi berdasarkan gambaran EKG yaitu dengan ST-elevasi
(STEMI), dan tanpa ST-elevasi. Pasien tanpa ST elevasi dapat berupa angina tak stabil (unstable
angina) atau infark miokard akut tanpa ST-elevasi (NSTEMI). Mayoritas apsien NSTEMI akan
menjadi infark miokard tanpa gelombang Q (non-Q wave MI). Sedangkan sebagian besar pasien
dengan ST elevasi (STEMI) akan mengalami evolusi menjadi gelombang Q dan kemudian
akhirnya didiagnosis IM gelombang Q (QwMI).

Braunwald et al. JACC 2000;36:970-1062

Gambar 3 : Nomenklatur Bagi Sindrom Koroner Akut

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik NSTEMI/UAP

Penderita yang datang dengan keluhan utama nyeri dada atau nyeri ulu hati yang hebat,
bukan disebabkan oleh trauma, yang mengarah pada iskemia miokardium, pada laki-laki
terutama berusia > 35 tahun atau wanita terutama berusia > 40tahun, memerlukan perhatian
khusus dan evaluasi lebih lanjut tentang sifat, onset, lamanya, perubahan dengan posisi,
penekanan, pengaruh makanan, reaksi terhadap obat-obatan, dan adanya faktor risiko.
Nyeri pada SKA bersifat seperti dihimpit benda berat, tercekik, ditekan, diremas, ditikam,
ditinju, dan rasa terbakar. Nyeri biasanya berlokasi di belakang sternum, dibagian tengah atau
dada kiri dan dapat menyebar keseluruh dada, tidak dapat ditunjuk dengan satu jari. Nyeri dapat
menjalar ke tengkuk, rahang, bahu, punggung, lengan kiri atau kedua lengan. Lama nyeri >
10menit, tidak hilang setelah 5 menit istirahat atau pemberian nitrat.
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang
bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama,
mungkin timbul pada waktu istirahat, atau karena aktivitas yang minimal. Keluhan SKA dapat
berupa rasa tidak enak atau nyeri di daerah epigastrium yang tidak dapat dijelaskan sebabnya dan
dapat disertai gejala otonom sesak napas, mual sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat
dingin. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan diaforesis, kulit yang dingin dan pucat, sinus
takikardia, suara jantung ketiga, S3 atau keempat (S4), basilar rales, dan terkadang hipotensi,
menyerupai hal-hal yang dapat ditemukan pada pemeriksaan pasien dengan NSTEMI yang luas.
Braunswald menganjurkan klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik.
Beratnya angina :

Kelas I. Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya nyeri
dada.

Kelas II. Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi tak ada
serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.

Klas III. Adanya serangan angina dalam waktu istirahat dan terjadinya secara akut baik
sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.

Keadaan Klinis:

Kelas A. Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, ineksi lain atau febris.

Kelas B. Angina tak stabil yang primer, tak ada faktor extra cardiac.

Kelas C. Angina yang timbul setelah serangan infark jantung.

Evaluasi Diagnosis
Panduan ACC/AHA 2002 menyebutkan di antara beberapa faktor yang berhubungan

dengan sesuatu yang mungkin merupakan SKA meliputi riwayat klinis yang khas dengan adanya
tidak kenyamanan karena iskemik, riwayat adanya penyakit arteri koroner yang di tetapkan
dengan angiography, MI sebelumnya, congestive heart failure, perubahan EKG yang baru
terjadi, atau peningkatan penanda biologis jantung. Empat hal yang menjadi major diagnostic
tools untuk mendiagnosa STEMI adalah- riwayat klinis, EKG, marker jantung dan stress test.

Pemeriksaan Penunjang

i) Elektrokardiografi (ECG)
Pemeriksaan ECG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko pasien
angina tak stabil. Pada UA, depresi segmen ST, elevasi segmen ST yang sementara, dan atau
inversi gelombang T yang terjadi pada 30-50% pasien tergantung pada tingkat keparahan
manifestasi klinisnya. Pada pasien dengan gejala klinis UA, adanya deviasi segmen ST yang
baru, bahkan jika hanya 0.05mV, merupakan alat untuk memprediksi yang penting tentang
adanya adverse outcome. Pada Thrombolysis in Myocardial Ischemia Trial (TIMI) III Registry,
adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0.05mV merupakan predictor outcome yang buruk.
Perubahan gelombang T sensitif untuk iskemik tetapi kurang spesifik,adalh berupa inversi
gelombang T yang dalam ( 0.3mV) jika tidak baru muncul.
ii) Exercise Test
Pemeriksaan EKG tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak stabil secara
lansung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya mitral insuffisiensi dan
abnormalitas gerakan dinding reginal jantung, menandakan prognosis kurang baik. Stress
ekokardiografi juga dapat membantu menegakkan adanya iskemi miokardium.
iii) Pemeriksaan Laboratorium
Biomarker kerusakan miokard
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima sebagai petanda
paling penting dalam diagnosis SKA. Menurut European Society of Cardiology (ESC) dan ACC
dianggap adanya mionekrosis bila troponin T atau I positif dalam 24 jam. Troponin tetap positif
sampai 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan tingkat kenaikan troponin. Troponin T atau
troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih disukai, karena lebih spesifik

berbanding enzim jantung seperti CK dan CKMB. Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal
troponin pada darah perifer setelah 3-4jam dan dapat menetap sampai 3-4minggu.
CKMB kurang spesifik karena juga ditemukan di otot skeletal, tapi berguna untuk
diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam 48jam.

Stratifikasi Risiko
Penilaian klinis dan EKG merupakan pusat utama dalam pengenalan dan penilaian risiko
STEMI. Jika ditemukan risiko tinggi, maka keadaan ini memerlukan terapi awal yang segera.
Beberapa pendekatan untuk stratifikasi telah tersedia.
Skor TIMI
Skor risiko merupakan suatu metoda sederhana dan sesuai untuk stratifikasi risiko, dan
angka faktor risiko bebas pada presentasi kemudian ditetapkan. Skor risiko ini berasal dari
analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI 11B dan telah divalidasi pada empat penelitian dan
satu registry. Dengan meningkatnya skor risiko, telah terobservasi manfaat yang lebih besar
secara progresif pada terapi dengan low molecular weight heparin (LMWH) versus
unfractionated heparin (UFH), dengan platelet GP IIb/IIIa receptor blocker tirofiban versus
placebo, dan strategi nivasif versus konservatif.
Pada pasien untuk semua level skor risiko TIMI, penggunaan klopidogrel menunjukkan
penurunan keluaran yang buruk relatif sama. Skor risiko juga efektif dalam memprediksi
keluaran yang buruk pada pasien yang pulang.
Skor risiko TIMI untuk UA/NSTEMI
Usia 65 tahun
3 faktor risiko PJK
Stenosis sebelumnya 50%
Deviasi ST
2 kejadian angina 24 jam
Aspirin dalam 7 hari terakhir
Peningkatan petanda jantung
Tabel 1: Skor risiko TIMI untuk UA/NSTEMI

Pasien yang termasuk risiko rendah antara lain adalah:


-

pasien yang tidak pernah memiliki angina sebelumnya, dan sudah tidak ada
serangan

sebelumnya tidak memakai obat anti angina

ECG normal atau tak ada perubahan dari sebelumnya.

Enzim jantung tidak meningkat termaasuk troponin dan biasanya usia lebih muda.

Pasien yang termasuk dalam risiko sedang adalah:


-

Bila ada angina baru dan makin berat, didapatkan angina pada waktu istirahat

Laki-laki, usia >70 tahun, menderita diabetes melitus

Tidak ada perubahan ST segmen

Enzim jantung tidak meningkat.

Pasien yang termasuk dalam risiko tinggi adalah:


-

Angina berlansung lama atau angina pasca infark; sebelumnya mendapat terapi
yang intensif

Ditemukan hipotensi, diaforesis, edema paru atau rales pada pemeriksaan fisik

Terdapat perubahan segmen ST yang baru

Didapatkan kenaikan troponin, keadaan hemodinamika tidak stabil.

Bila manifestasi iskemia kembali secara spontan atau pada waktu pemeriksaan, maka
pasien sebaiknya dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil dan termasuk risiko rendah maka
terapi medikamentosa sudah mencukupi. Hanya pasien dengan risiko tinggi yang membutuhkan
tindakan invasif segera, dengan kemungkinan tindakan revaskularisasi.
Manifestasi Klinis dan Diagnosis Untuk Infark Miokard Dengan ST Elevasi
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesa nyeri dada yang
khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang
berdampingan atau 1mm pada dua sadapan ektremitas. Pmeriksaan enzim jantung, terutama
troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi
revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, dalam mengingat tatalaksana
IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah time is muscle.
Anamnesis

Anamnesis yang cermat perlu dilakukan apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau
diluar jantung. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta
faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta
riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti
aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang
hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun
tidur.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Harus mampu
mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena gejala
ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :

Lokasi: substernal , retrosternal, dan prekordial.

Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, sperti ditusuk,
rasa diperas, dan dipelintir.

Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung
interskapular, perut dan dapat juga ke lengan kanan.

Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.

Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.

Gejala yang menyertai: mual muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas.

Gambar 4 : Pola nyeri dada pada iskemia miokard


Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi
aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada
STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes melitus dan usia lanjut.

Gambar 5: Diagnosis banding nyeri dada


Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas
pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30menit dan banyak keringat
dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi
hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark
posterior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).
Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas
bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur

midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup
mitral dan pericardial friction rub. Pulsasi karotis sering ditemukan menurun. Ini
menggambarkan terjadinya penurunan stroke volume.
Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau
keluhan yang dicurigai STEMI dan harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di
UGD. Pemeiksaan EKG menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran
elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi
reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap
simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10menit atau
pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinu harus dilakukan unutk mendeteksi potensi
perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus
diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosa infark miokard gelombang Q,
sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak
total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan
elevasi segmen ST dan biasanya megalami UA atau NSTEMI. Pada sebagian pasien tanpa
elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya
istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau
menghilangnya gelombang R dan infark miokard nontransmural jika EKG hanya menunjukkan
perubahan sementara segmen ST atau gelombang T. Namun tidak selalu ada korelasi gambaran
patologis EKG dengan lokasi infark (mural atau transmural) sehingga terminologi IMA
gelombang Q atau non Q menggantikan infark mural atau nontransmural.

Laboratorium
Petanda Kerusakan Jantung (Biomarkers)
Pemeiksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CKMB) dan Cardiac Specific
Troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga
akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi
diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya
nekrosis jantung (infark miokard)

CKMB: menigkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 1024 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. CKMB turut meningkat pada operasi jantung,
miokarditis dan kardioversi elektrik.

cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah
5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.

Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:

Mioglobinv: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam.

Creatinine Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai punak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.

Lactic Dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.

Tabel 2. Biomarker Molekuler Untuk Evaluasi Pasien Infark Miokard dengan


Elevasi ST
Biomarker

Berat molekul

Rentang waktu

Rerata waktu

Waktu kembali

(Da)

untuk

evaluasi

ke rentang

meningkat

puncak

normal

(nonreperfusi)
Sering di praktek klinik
CKMB

86000

3-12jam

24jam

48-72jam

cTnI

23500

3-12jam

24jam

5-10hari

cTnT

33000

3-12jam

12jam-2hari

5-14hari

17800

1-4jam

6-7jam

24hari

86000

2-6jam

18jam

tidak diketahui

86000

1-6jam

12jam

3jam

Myoglobin
CKMB Tissue
Isoform
CKMM Tissue
Isoform

Gambar 7 : Perubahan konsentrasi enzim plasma setelah infark miokard

PENATALAKSANAAN
1. Angina Pektoris Tidak Stabil (unstable angina) dan NSTEMI
a. Tindakan umum
Pasien perlu perawatan rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner, dan diistirahatkan
(bed rest), diberi obat penenang dan oksigen. Pemberian morfin atau petidin perlu ada pada
pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin. Empat
komponen utama terapi yang harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu:

Terapi antiiskemia

Terapi antiplatelet/antikoagulan

Terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi)

Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS

b. Terapi Medikamentosa
Nitrat
Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer, dengan efek
mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen.
Nitrat juga menambah oksigen suplai dengan vasodilatasi pembuluh koroner dan memperbaiki
aliran darah kolateral. Yang ada di Indonesia terutama Isosorbit dinitrat, yang dapat diberikan
secara intravena dengan dosis 1-4mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali infus dapat diganti
isosorbid dinitrat per oral. Nitrat pertama kali diberikan sublingual atau spray bukal jika pasien
mengalami nyeri dada iskemia. Jika nyeri menetap stelah diberikan nitat sublingual 3 kali dengan
interval 5 menit, direkomendasi pemberian nitrogliserin intravena (mulai 5-10ug/menit).
Penyekat Beta
Beta-blocker menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek penurunan denyut
jantung dan daya kontraksi miokardium. Semua pasien UA harus diberi penyekat beta kecuali
ada kontraindikasi seperti asam bronkiale dan pasien dengan bradiaritmia. Beta-bloker seperti
propanolol, metoprolol, atenolol, telah diteliti pada pasien UA, yang menunjukkan effektivitas
yang serupa. Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60kali/menit.
Antagonis Kalsium

Antagonis kalsium dibagi dalam 2 golongan besar : golongan dihidropiridin seperti


nifedipin dan golongan nondihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil. Kedua golongan ini
dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan tekanan darah.
Golongan dihidropiridin mempunyai efek vasodilatasi lebih kuat dan penghambatan
nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit, dan efek inotropik negatif juga lebih kecil.
Verapamil dan diltiazem memperbaiki survival dan mengurangi infark pada pasien dengan
sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan
afterload memberikan keuntungan pada golongan nondihidropiridin pada pasien SKE dengan
faal jantung normal.
Terapi antiplatelet
Aspirin
Peran penting aspirin adalah menghambat siklooksigenase-1 yang telah dibuktikan dari
penelitian klinis multipel dan beberapa meta-analisis, sehingga aspirin menjadi tulang punggung
dalam penatalaksanaaan UN/NSTEMI. Oleh karena itu aspirin dianjurkan seumur hidup dengan
dosis awal 160mgper hari dan dosis selanjutnya 80-325 mg per hari. Sindrom resistensi aspirin
muncul baru-baru ini. Sindrom ini dideskripsi dengan bervariasi sebagai kegagalan relatif untuk
menghambat (inhibisi) agregasi platelet dan/atau kegagalan untuk memperpanjang waktu
pendarahan, atau perkembangan kejadian klinis sepanjang terapi aspirin. Pasien-pasien dengan
resisitensi aspirin mempunyai risiko tinggi terjadi rekuren. Alternatif lain adalah tiklopidin dan
klopidogrel tetapi harus diperhatikan efek samping dari tiklopidin yaitu granulositopenia.
Klopidogrel
Klopidogrel merupakan derivat tienopiridin, yang menghambat agregasi platelet.
Klopidogrel juga terbukti dapat mengurangi strok, infark dan kematian kardiovaskular dan
dianjurkan pada pasien yang tidak tahan aspirin. AHA menganjurkan pemberian klopidogrel
bersama aspirin paling sedikit 1 bulan sampai 9 bulan. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg per
hari dan selanjutnya 75 mg per hari.
Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine diphosphate P2Y12 pada permukaan
platelet dan dengan demikian menginhibisi aktivasi platelet. Namun, klopidogrel dikaitkan
dengan peningkatan pendarahan mayor dan minor, sejalan dengan kecenderungan peningkatan
pendarahan yang mengancam jiwa (life-threatening bleeding).

Berdasarkan hasil-hasil penelitian, maka klopidogrel direkomendasi sebagai obat lini


pertama (first-line drug) pada UA/NSTEMI, kecuali mereka dengan risiko tinggi pendarahan dan
pasien yang memerlukan CABG segera. Klopidogrel sebaiknya diberikan pada pasien
UA/NSTEMI dengan kondisi:

Direncanakan untuk mendapat pendekatan non-invasif dini

Diketahui memiliki kontraindikasi untuk operasi

Kateterisasi ditunda/ditangguhkan selama > 24-36jam.

Glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GR Iib/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir pada
proses agregasi platelet. Karena GPIIb/IIIa inhibitor menduduki reseptor tadi maka ikatan
platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi.3 macam obat
golongan ini yaitu: absiksimab, suatu antibodi monoklonal; eptifibatid, suatu siklik heptapeptid;
dan tirofiban, suatu nonpeptid mimetik. Tirofiban dan eptifibatid harus diberikan bersama aspirin
dan heparin pada pasien dengan iskemi terus-menerus atau pasien risiko tinggi dan pasien yang
direncanakan untuk tindakan PCI. Abciximab disetujui untuk pasien dengan UA dan NSTEMI
yang direncanakan untuk tindakan invasif di mana PCI direncanakan dalam 12 jam.
Terapi antikoagulan
1. UFH (Unfractionated heparin)
2. LMWH (Low Molecular Weight Heparin)
Heparin adalah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagai rantai polisakarida yang
berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagualn yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila
terikat dengan heparin, akan bekerja menghambat trombin dan faktor Xa.
Tatalaksana Predischarge dan Pencegahan Sekunder
Tatalaksana terhadap faktor risiko antara lain mencapai berat badan yang optimal, nasihat
diet, penghentian merokok, olahraga, pengontrolan hipertensi dan tatalaksana intensif diabetes
melitus dan deteksi adanya diabetes yang tidak dikenali sebelumnya.
2. Tatalaksana Infark Miokard Dengan Elevasi ST
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik
dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Pedoman

(guideline) yang digunakan dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST adalah dari ACC/AHA
2004. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di tempat masingmasing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang kardiologi intervensi).
A. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu:
aritmia dan pump failure. Sebagian besar kematian di luar rumah sakit pada STEMI disebabkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset
gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Elemen utama tatalaksana pra
hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain:

Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis

Segera memanggil tim medis emergensi ytang dapat melakukan tindakan resusitasi.

Transportasi pasien ke RS yang mempunyai fasilitas ICU serta staf medis dokter dan
perawat yang terlatih.

Melakukan terapi reperfusi.

B. Tatalaksana di Ruang Emergensi


Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:

Mengurangi / menghilangkan nyeri dada

Identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera,

Tiase pasien risiko rendah ke ruangan tang tepat di rumah sakit

Menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI

C. Tatalaksana Umum
1.

Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%. Pada

semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
2.

Nitrogliserin (NTG)
NTG sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0.4mg dan dapat diberikan

samapai 3 dosis dngan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat
menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh
darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada terus

berlansung dapat diberikan NTG intravena (IV). NTG juga diberikan untuk mengendalikan
hipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg atau
pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan. Pasien yang menggunakan
phosphodiesterase-3 inhibitor sildanefil dalam 24 jam karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.
3.

Mengurangi/ Menghilangkan Nyeri Dada


Hal ini sangat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivitas simpatis yang

menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.

Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4mg dan dapat
diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20mg. Efek samping yang perlu
diwaspadai adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga
terjadi pooling venayang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek ini
dapat diatasi dngan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan
cairan IV dengan NaCl 0.9%.

Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada
spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit A2 dicapai
dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325mg di ruangan EMG. Selanjutnya
aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162mg.

Penyekat Beta
Diberikan jika morfin tidak efekif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5mg
setiap 2-5menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60x/menit,
tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR<0.24 detik dan ronki tidak lebih dari
10cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan
metoprolol oral dengan dosis 50mg tiap 6 jam selama 48jam, dan dilanjutkan 100mg
setiap 12 jam.

Terapi reperfusi

Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi
dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi
pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna.
a. Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
Biasanya angioplasty dan atau stenting (CABG) tanpa didahului fibrinolisis
disebut PCI primer. Akan efektif pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa
jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif bila dibandingkan fibrinolisis
dalam membuka arteri koroner yang teroklusi dan dikaitkan dengan outcome
klinis jangka pendek dan panjang yang lebih baik.
b. Fibrinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30
menit sejak masuk. Tujuan utama adalah restorasi cepat patensi arteri koroner.
Antara obat fibrinolitik yang digunakan yaitu:
Streptokinase (SK)

Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin.


Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase)

Menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang


mendapat tPA dibandingkan SK. Namun tPA harganya lebih mahal daripada
SK dan risiko pendarahan intracranial lebih tinggi.
- Reteplase ( Retavase)
Keuntungannya mencakup memperbaiki spesifisitas fibrin dan resistensi
tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1).
D. Terapi Farmakologis
1. Antitrombotik
Tujuan utama pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan patensi arteri
koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tedensi pasien menjadi
trombosis. Hepatin merupakan antritrombotik standar pada STEMI. Dosis yang direkomendasi
adalah bolus 60U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan dengan infus inisial 12U/kg perjam
(maksimum 1000U/jam). Activated partial thromboplastin time selama pemeliharaan harus
mencapai 1,5-2 kali.

Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfractinated
heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik
spesifik fibrin relatif (tPA, rPA atau TNK) membantu trombolisis dan memantapkan dan
mempertahankan patensi arteri yang terkait infark.
2. Penyekat beta
Manfaat penyekat beta pada STEMI dapat dibagi menjadi : yang terjadi segera jika obat
diberikan secara akut dan yang diberkan jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan
sekunder setelah infark. Pemberian secara IV membaiki hubungan serta kebutuhan oksigen
miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia
ventrikel yang serius.
3. ACE inhibitor
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas
bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Inhibitor ACE harus diberikan dalam
24 jam pertama pada pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACharus dilanjutkan tanpa batas pada
pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan imaging menunjukkan penurunan
fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global atau pasien
hipertensif.
KOMPLIKASI
1. Disfungsi ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodelling
ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam
hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark, ventrikel kiri mengalami dilatasi.
Secara akut hasil ini berasal dari ekspansi infark. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen
non infark, mengakibatan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran
ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark dengan
dilatasi pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik
yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dengan prognosis yang teruk.
2. Gangguan hemodinamik

Gagal pemompaan merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit karena STEMI.
Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan
mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai
adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada roentgen sering dijumpai
kongesti paru.
3. Syok kardiogenik
Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan saat masuk, sedangkan 90% ditemukan
selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai
penyakit arteri koroner multivessel.
4. Infark ventrikel kanan
Sekitar sepertiga pasien dengan infark posteroposterior menunjukkan sekurangkurangnya nekrosis ventrikel kanan derajat ringan. Jarang pasien dengan infark terbatas primer
pada ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan secara klinis menyebabkan tanda gagal ventrikel
kanan yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmauls, hepatomegali) dengan atau tanpa
hipotensi. Elevasi segmen ST pada sadapan EKG sisi kanan, terutama sadapan V4R sering
dijumpai pada 24 jam pertama pasien infark ventrikel kanan. Terapi terdiri dari ekspansi volume
untuk mempertahankan preload ventrikel kanan yang adekuat dan upaya untuk meningkatkan
tampilan dengan reduksi takanan arteri pulmonalis.
5. Aritmia pasien pasca STEMI
Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset gejala.
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom, gangguan
elektrolit, iskemia dan penghambatan konduksi di zona iskemia miokard.
6. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadik yang tidak sering terjadi pada hampir semua
pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Penyekat beta efektif dalam mencegah aktifitas
ektopik ventrikel pada pasien STEMI dan pencegahan fibrilasi ventrikel, dan harus diberikan
rutin kecuali terdapat kontraindikasi. Hipokalemia dan hipomagnesemia merupakan faktor risiko
fibrilasi ventrikel pada pasien STEMI, konsentrasi kalium serum diupayan mencapai 4,5
mmol/liter dan magnesium 2 mmol/liter.
7. Takikardi dan Fibrilasi Ventrikel.

Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardidan fibrilasi ventrikular dapat terjadi tanpa tanda
bahaya aritmia sebelumnya.
8. Komplikasi mekanik
- Ruptur muskularpapilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventikel.
- Penatalaksaan : operasi
PROGNOSIS
Terdapat beberapa sistem yang ada dalam menentukan pronosis pasien pasca IMA:
Klas
I
II
III
IV

Definisi
Tidak ada tanda gagal jantung kongestif
+ S3 dan / atau ronkhi basah
Edema paru
Syok kardiogenik
Tabel 4: Klasifikasi Killip pada IMA

Mortalitas (%)
6
17
30-40
60-80

FOLLOW UP

Tangg
al

Subyektif

Obyektif
Temp 36,5 RR 28 HR
81 TD 100/70
KU lemas

Assesmen
t

Planning

K/L: AICD -/-/-/- pKGB

Tho: (P) sim,


ves/ves, rh-/-, wh-/(C) S1S2 tunggal mg-

18
maret

Nyeri dada
berkurang,
sesak + ,
Batuk (+)

Inf RL 20tpm
Inj Ranitidin 2x1
Inj Ceftriaxon
Isdn 3x 5mg
Aspilet 1x1
Cpg 0-1-0
Simvastatin 0-01

Abd : soefl, timpani,


BU + normal
Ext : HKM, CRT< 2
detik

SKA

Temp 36,5 RR 28 HR
84 TD 120/80
KU lemas
K/L: AICD -/-/-/- pKGB

Tho: (P) sim,


ves/ves, rh-/-, wh-/(C) S1S2 tunggal mgAbd : soefl, timpani,
BU + normal
19
maret

Nyeri dada
berkurang,
sesak +

Ext : HKM, CRT< 2


detik
Temp 36,5 RR 27 HR
84 TD 120/80
KU lemas

SKA

Lanjut

SKA

Lanjut

K/L: AICD -/-/-/- pKGB

Tho: (P) sim,


ves/ves, rh-/-, wh-/(C) S1S2 tunggal mgAbd : soefl, timpani,
BU + normal
20
maret

Sesak +,
lain lain
baik

Ext : HKM, CRT< 2


detik
Temp 36,5 RR 24 HR
84 TD 100/70
KU lemas
K/L: AICD -/-/-/- pKGB

Tho: (P) sim,


ves/ves, rh-/-, wh-/(C) S1S2 tunggal mg-

21
maret

Sesak
berkurang
(+)

Abd : soefl, timpani,


BU + normal
SKA
Ext : HKM, CRT< 2

Lanjut

detik
Temp 36,5 RR 24 HR
84 TD 100/70
KU lemas
K/L: AICD -/-/-/- pKGB

Tho: (P) sim,


ves/ves, rh-/-, wh-/(C) S1S2 tunggal mgAbd : soefl, timpani,
BU + normal
22
maret

Sesak
menghilan
g

Ext : HKM, CRT< 2


detik

SKA

BPL
Ceftriaxone 2x1
Ranitidine 2x1
Isdn 5mg 3x1
Aspilet 1x1
CPG 0-1-0
Simvastatin 0-01

Anda mungkin juga menyukai