Anda di halaman 1dari 26

Laporan Praktikum

Teknologi Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian


Suhu Rendah

Oleh :
Kelompok 3
Tri Angga Maulana (141710101027)
Khalifah Ghina
(141710101060)
Awi Metalisa
(141710101090)
Sofin Murdiana
(141710101111)

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahan pangan hasil pertanian memiliki daya simpan yang berbedabeda. Umumnya, bahan pangan bersifat sensitif atau mudah rusak jika
disimpan pada jangka waktu yang lama. Kerusakan bahan pangan dapat
disebabkan oleh faktor mikrobiologis, mekanik, fisik, kimia, maupun
biologis. Beberapa bahan pangan hasil pertanian dapat dikonsumsi langsung
dan ada yang perlu diolah terlebih dahulu. Pengolahan bahan pangan
bertujuan untuk mengawetkan atau memperpanjang umur simpan bahan
pangan agar saat dikonsumsi bahan pangan masih dalam bentuk segar.
Pengolahan bahan pangan menggunakan penyimpanan suhu rendah
terdapat dua cara yaitu dengan pendinginan dan pembekuan. Pendinginan
adalah penyimpanan bahan pangan diatas suhu pembekuan bahan yaitu -2
sampai 10 C. Pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam lemari es
adalah pada suhu 5-8 C (Winarno, 1993). Pendinginan dapat menyebakan
sebagian reaksi metabolisme pada bahan pangan berlangsung lambat dan
ada pula yang terhenti bila suhunya mencapai suhu kritis tertentu. Daya
tahan bahan pangan hasil pertanian yang di simpan dengan pendinginan
mencapai beberapa hari atau minggu tergantung jenis bahan pangan.
Pembekuan merupakan salah satu metode pengawetan pangan, dimana
produk pangan diturunkan suhunya sehingga berada dibawah suhu bekunya
(Kusnandar, 2010). Suhu yang digunakan untuk membekukan bahan pangan
umumnya dibawah -2oC. Daya tahan bahan pangan hasil pertanian yang
disimpan dengan pembekuan umumnya memiliki masa simpan yang lebih
lama daripada yang disimpan dengan pendinginan.
Oleh karena itu, praktikum dilakukan untuk mengetahui proses
pengolahan bahan pangan dengan perlakuan suhu rendah serta mengetahui
perubahan kualitas bahan pangan setelah penyimpanan suhu rendah. Hal ini
dapat digunakan sebagai acuan untuk meningkatkan kualitas bahan pangan
hasil pertanian sehingga masyarakat dapat mengkonsumsi secara segar dan
meningkatkan nilai konsumsi masyarakat terhadap bahan pangan dan hasil
pertanian.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui proses pengolahan pangan dengan menggunakan suhu
rendah yang meliputi pendinginan dan pembekuan.
2. Mengetahui perubahan kualitas bahan pangan pasca pengolahan.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Macam-Macam Penyimpanan Suhu Rendah
Salah satu teknik pasca panen untuk mempertahankan mutu adalah
penyimpanan pada suhu rendah (Rina dan Asiani dalam Roiyana, 2011).
Menurut Wills et al (1981) penyimpanan pada suhu rendah dapat
mengurangi kegiatan respirasi dan metabolisme, memperlambat proses
penuaan, mencegah kehilangan air dan mencegah kelayuan. Penyimpanan
suhu rendah terbagi menjadi dua yaitu pendinginan (cooling) dan
pembekuan (freezing).
2.1.1

Pendinginan
Pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan diatas suhu
pembekuan bahan yaitu -2 sampai 10 C. Pendinginan yang biasa dilakukan
sehari-hari dalam lemari es adalah pada suhu 5-8 C (Winarno, 1993).
Pendinginan atau refrigerasi ialah penyimpanan dengan suhu rata-rata yang
digunakan masih di atas titik beku bahan. Kisaran suhu yang digunakan
biasanya antara 1C sampai +4C. Pada suhu tersebut, pertumbuhan bakteri
dan proses biokimia akan terhambat. Pendinginan biasanya akan
mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau beberapa minggu,
tergantung kepada jenis bahan pangannya. Pendinginan yang biasa
dilakukan di rumah-rumah tangga adalah dalam lemari es yang mempunyai
suhu 2C sampai +16C (Rusendi, 2010). Tujuan penyimpanan suhu
dingin

(cold

storage)

adalah

untuk

mencegah

kerusakan

tanpa

mengakibatkan pematangan abnormal atau perubahan yang tak diinginkan


sehingga mempertahankan komoditas dalam kondisi yang dapat diterima
oleh konsumen selama mungkin (Tranggono, 1990).
2.1.2

Pembekuan
Pembekuan merupakan salah satu metode pengawetan pangan, dimana
produk pangan diturunkan suhunya sehingga berada dibawah suhu bekunya.
Selama pembekuan terjadi pelepasan energy (panas sensible dan panas
laten) (Kusnandar, 2010). Menurut Tambunan (1999), pembekuan berarti

pemindahan panas dari bahan yang disertai dengan perubahan fase dari cair
ke padat, dan merupakan salah satu proses pengawetan yang umum
dilakukan untuk penanganan bahan pangan. Suhu yang digunakan untuk
membekukan bahan pangan umumnya dibawah -2oC. Pembekuan bahan
pangan biasanya digunakan untuk pengawetan bahan dan produk olahan
yang mudah rusak (biasanya memiliki kadar air atau aktivitas air yang
tinggi) seperti buah, sayur, ikan, daging dan unggas. Pada suhu beku,
sebagian besar air yang ada di dalam bahan pangan (90%-95%) membeku
(Kusnandar, 2010).
Menurut Hariyadi (2007). Pembekuan bisa dikelompokkan dalam :
1) Pembekuan lambat (slow freezing) yang membekukan suatu bahan
dengan laju pergerakan permukaan beku sekitar 0.2 cm/jam. Still air
freezers (pembeku udara diam) dan pembeku untuk penyimpanan dingin
termasuk dalam kelompok pembeku lambat.
2) Pembekuan cepat bisa dikelompokkan menjadi:
a. Quick freezing, dengan laju pergerakan permukaan beku sekitar 0.5-3
cm/jam. Quick frezing bisa dilakukan dengan menggunakan air blast
dan plate freezers,
b. Rapid freezing, dengan laju pergerakan permukaan beku sekitar 5-10
cm/jam. Rapid freezing bisa dicapai dengan menggunakan fluidized
bed freezing, dan
c. Ultra rapid freezing, dengan laju pergerakan permukaan beku sekitar
10 -100 cm/jam, yang umumnya terjadi pada pembeku kriogenik.
Laju pembekuan merupakan salah satu faktor kritis yang menentukan
mutu produk beku yang dihasilkan (Hariyadi, 2007). Laju pembekuan ada
dalam 3 golongan yaitu:
1) Pembekuan lambat, jika waktu pembekuan adalah 30 menit atau lebih
untuk 1 cm bahan yang dibekukan.
2) Pembekuan sedang, jika waktu pembekuan adalah 20-30 menit atau lebih
untuk 1 cm bahan yang dibekukan
3) Pembekuan cepat jika waktu pembekuan adalah kurang dari 20 menit
untuk 1 cm bahan yang dibekukan. Prinsip dasar dari semua proses

pembekuan cepat adalah cepatnya pengambilan panas dari bahan pangan


(Rohanah, 2002).

Gambar 1. Profil penurunan suhu pada proses


pembekuan lambat dan pembekuan cepat.

2.2 Pengaruh Suhu Terhadap Penyimpanan Bahan Pangan (Freezer Dan


2.2.1

Refrigerator)
Pendinginan
Pendinginan dapat memperlambat kecepatan reaksi metabolisme,
dimana setiap penurunan suhu 8C kecepatan reaksi akan berkurang
menjadi setengahnya. Pada suhu penyimpanan yang rendah laju respirasi
(pernafasan) akan diperlambat, artinya produk-produk metabolisme yang
terbentuk akan berkurang dan panas yang dilepaskan juga akan lebih sedikit,
sedang pada suhu penyimpanan yang lebih tinggi akan terjadi pengaktifan
pernafasan dan pembentukan panas yang lebih banyak. Antara proses
pernafasan

dan suhu penyimpanan ternyata ada suhu korelasi atau

hubungan yang tertentu (Afrianto, 2005).


Menurut Praptiningsih (1999), pendinginan dapat menyebabkan
terjadinya perubahan komponen-komponen yang terkandung dalam bahan
pangan yang didinginkan, diantaranya:
a. Karbohidrat terutama gula-gula sederhana akan diubah menjadi asam dan
gas oleh bakteri penghasil asam.
b. Protein akan dipecah menjadi asam-asam amino oleh jamur maupun
bakteri proteus. Asam-asam amino yang dihasilkan mengalami

pemecahan lebih lanjut dan menghasilkan senyawa-senyawa penghasil


bau dan melunakkan tekstur.
c. Lemak dihidrolisis oleh adanya bakteri dan jamur menjadi asam lemak
dan gliserol. Asam lemak bebas akan teroksidasi menjadi senyawa
2.2.2

penyebab ketengikan dan cita rasa menyimpang.


Pembekuan
Pembekuan menurunkan aktivitas air dan menghentikan aktivitas
mikroba (bahkan beberapa dirusak, reaksi enzimatis, kimia dan biokimia
(Tambunan, 1999). Perubahan-perubahan yang terjkadi selama pembekuan
terjadi adalah migrasi air intra seluler, terjadi dehidrasi dan pengkerutan sel,
terjadi pembekuan air ekstra seluler, menurunnya pH, migrasi komponen
kimia, kehilangan permeabilitas sel (Winarno, F. G. dkk. 1980). Beberapa
pengaruh pembekuan menurut Rohanah (2002)
a. Pengaruh pembekuan terhadap jaringan
Makanan tidak mempunyai titik beku yang pasti, tetapi akan
membeku pada kisaran suhu tergantung pada kadar air dan komposisi sel.
Waktu yang dibutuhkan untuk melampaui daerah pembekuan mempunyai
pengaruh yang nyata pada mutu beberapa makanan beku. Umunya telah
diketahui bahwa pada tahapan ini terjadi kerusakan sel dan struktur
yang

irreversibel yang mengakibatkan mutu menjadi jelek setelah

pencairan, terjadi khususnya sebagai hasil pembentukan kristal es yang


besar dan perpindahan air selama pembekuan dari dalam sel ke bagian
luar sel yang dapat mengakibatkan kerusakan sel karena pengaruh
tekanan osmotis. Pembekuan yang cepat dan penyimpanan dengan
fluktuasi suhu yang tidak terlalu besar, akan membentuk kristal-kristal es
kecil di dalam sel dan akan mempertahankan jaringan dengan kerusakan
minimum pada membran sel (Rohanah, 2002).
b. Pengaruh pembekuan terhadap mikroorganisme
Penyimpanan makanan beku pada suhu sekitar 18C dan di
bawahnya akan mencegah kerusakan mikrobologis, dengan persyaratan
tidak terjadi perubahan suhu yang besar. Mikroorganisme psikofilik
mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada suhu lemari es terutama di

antara 0dan 5C. Jadi penyimpanan yang lama pada suhu-suhu ini baik
sebelum atau sesudah pembekuan dapat mengakibatkan terjadinya
kerusakan oleh mikroba (Rohanah, 2002).
c. Pengaruh pembekuan terhadap protein
Pembekuan hanya menyebabkan sedikit perubahan nilai gizi
protein, maka dimungkinkan untuk mendenaturasi protein dengan
perlakukan ini. Walaupun nilai biologis protein yang mengalami
denaturasi sebagai bahan pangan manusia tidak banyak berbeda dengan
protein asli, kenampakan dan kualitas bahan pangan tersebut mungkin
akan berubah (Rohanah, 2002).
d. Pengaruh pembekuan terhadap enzim
Aktivitas enzim tergantung pada suhu. Aktivitas enzim mempunyai
pH optimum dan dipengaruhi oleh kadar substrat. Aktivitas suatu enzim
atau system enzim dapat dirusakan pada suhu mendekati 200F. Enzim
masih mempunyai sebagian aktivitasnya pada suhu serendah 100F.
Aktivitas enzim hanya dihambat oleh suhu pembekuan. Pengendalian
enzim yang termudah dapat dikerjakan dengan merusak dengan
perlakuan pemanasan yang pendek (blanching) sebelum pembekuan dan
penyimpanan (Rohanah, 2002).
e. Pengaruh pembekuan terhadap lemak
Pada suhu 10C ketengikan yang berkembang dalam jaringan
berlemak yang beku sangat berkurang. Lemak yang tengik cenderung
mempunyai nilai gizi yang lebih rendah daripada lemak yang segar.
Untuk mencegah proses tersebut maka proses pembekuan merupakan
pencegahan yang sangat baik hampir pada semua makanan berlemak
(Rohanah, 2002).
f. Pengaruh pembekuan terhadap vitamin
Selama penyimpanan dalam keadaan beku kehilangan vitamin C
akan berlangsung terus. Makin tinggi suhu suhu penyimpanan makin
besar terjadinya kerusakan zat gizi. Dalam bahan pangan beku
kehilangan yang lebih besar dijumpai terutama pada vitamin C daripada

vitamin yang lain. Penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku


tanpa dikemas dapat menjurus ke arah terjadinya oksidasi dan perusakan
sebagian besar zat gizi, termasuk vitamin (Rohanah, 2002).
g. Pengaruh pembekuan terhadap parasit
Pembekuan bahan pangan mempunyai keuntungan dalam mematikan
parasit. Bahan pangan yang dibekukan tidak cocok untuk pertumbuhan
parasit dan kenyataan bahwa infestasi oleh insekta tidak pernah terjadi
(Rohanah, 2002).
2.3 Mekanisme Proses Pembekuan
Proses pembekuan terjadi secara bertahap dari permukaan sampai
pusat

bahan. Pada pemukaan bahan, pembekuan berlangsung cepat

sedangkan pada bagian yang lebih dalam, proses pembekuan berlangsung


lambat (Brennan, 1981; Rohanah, 2002). Mekanisme pembekuan terjadi
dimana suhu pada produk yang dibekukan mulai terjadi pembentukan kristal
es disebut sebagai titik beku awal (initial freezing point) produk. Selama
proses pembekuan, profil penurunan suhu pada produk pangan selama
pembekuan, berbeda dengan profil penurunan suhu yang terjadi pada proses
pembekuan air murni. Jika selama proses pembekuan dilakukan pengukuran
dan pencatatan suhu pada pusat produk pangan, maka akan diperoleh kurva
pembekuan dengan karakteristik khas. Secara umum, produk pangan
mempunyai titik beku suatu produk selalu lebih rendah dari 0C (Hariyadi,
2007).
Proses pembekuan produk dimulai dengan terjadinya supercooling,
yang untuk beberapa proses pembekuan produk pangan bisa terjadi sampai
sekitar 10C dibawah titik beku. Setelah terjadi supercooling, proses
pembekuan air menjadi es terus terjadi pada titik bekunya. Namun
demikian, selama proses pembekuan itu, sebagaimana diilustrasikan garis
CD yang menurun pada Gambar 2, terjadi penurunan titik beku produk yang
disebabkan karena adanya peningkatan konsentrasi padatan pada fraksi
produk yang belum beku. Proses ini terus berlangsung sampai sebagian
besar air pada produk pangan telah berubah menjadi es. Proses ini akan

berhenti

ketika

padatan

(komponen

pangan)

menjadi

superjenuh

(supersaturated) dan mulai mengkristal. Panas laten kristalisasi dilepas dan


suhu mulai meningkat (DE) mencapai suhu eutectic dari padatan tersebut.
Pada saat ini (EF) proses kritalisasi air dan padatan terus berlanjut. Total
waktu (tf) yang diperlukan untuk bergerak dari C-F (sering disebut sebagai
daerah freezing plateau) ditentukan oleh seberapa cepat laju pengambilan
panas. Selanjutnya (FG) suhu produk (yang merupakan campuran es-air)
terus menurun mendekati suhu pembeku (Tm). Proporsi air yang tetap
dalam keadaan air (tidak beku/unfrozen) pada suhu yang sering digunakan
di industri pembekuan tergantung dari tipe, komposisi produk pangan dan
suhu penyimpanan beku. Misalnya, suhu penyimpanan beku pada 20C,
sekitar 88% pada daging kambing beku (lamb), 91% pada ikan beku, dan
93% pada albumin telur (Hariyadi, 2007).

Gambar 2. Perbandingan kurva pembekuan air murni dan kurva


pembekuan bahan pangan; tf = waktu pembekuan, Tf,w = titik beku
air murni, Tf,f = titik beku produk pangan, Tm = suhu medium
pembekuan
;BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1

Alat dan Bahan

3.1.1 Alat
1. Pisau
2. Neraca analitik
3. Refrigerator atau lemari es

4. Freezer
5. Baskom atau wadah plastik
6. Piring plastik
7. Sealer
8. Gelas ukur
9. Gelas plastik
10. Kain lap
11. Kamera
3.1.2 Bahan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Nanas
Bayam
Telur ayam
Wortel
Kubis
Susu
Air
Plastik
Kertas label

3.2

Skema Kerja

3.2.1 Pendinginan
Sample

Penimbangan
Pengamatan berat / volume, aroma, warna, dan kekentalan

Penyimpanan dalam refrigerator selama 3 hari


Pengamatan berat / volume, aroma, warna, dan kekentalan
Gambar 3.1 Diagram Alir Pendinginan
3.2.2 Pembekuan
Sample

Penimbangan
Amati berat / volume, kesegaran, aroma, warna, dan tekstur

Penyimpanan dalam freezer selama 3 hari


Amati berat / volume, kesegaran, aroma, warna, dan tekstur
Gambar 3.2 Diagram Alir Pembekuan

BAB 5. PEMBAHASAN
5.1

Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan

5.1.1 Pendinginan
Pendinginan menggunakan bahan-bahan meliputi nanas, bayam,
wortel, kubis, telur, dan susu. Pertama-tama timbang bahan-bahan yang
akan digunakan. Untuk nanas, bayam, wortel, kubis dan telur penimbangan
menggunakan neraca analitik. Sedangkan untuk bahan cair seperti susu
menggunakan gelas ukur untuk diukur volumenya sebanyak 125 ml lalu
ditempatkan pada gelas plastik. Selanjutnya dilakukan pengamatan
mengenai warna, aroma, dan kekentalan. Pengamatan dilakukan tanpa
menggunakan alat atau secara sensoris dan hasil pengamatan dilakukan
secara deskriptif dengan mendeskripsikan keadaan fisik bahan.
Berikutnya, dilakukan dua perlakuan yang berbeda yaitu dengan
pengemasan plastik dan tanpa pengemasan plastik. Untuk telur ayam tanpa
cangkang dengan pengemasan plastik, telur dipecahkan terlebih dulu untuk
selanjutnya dimasukkan ke dalam plastik. Kemudian perlakuan pengemasan
plastik disealer. Setelah itu, dilakukan pelabelan menggunakan kertas label
pada semua bahan. Hal ini bertujuan agar bahan tidak tertukar dan
mempermudah pengamatan. Selanjutnya bahan diletakkan pada wadah
plastik lalu dimasukkan ke dalam lemari es atau refrigerator selama 3 hari.
Setelah disimpan selama 3 hari pada refrigerator, bahan dikeluarkan untuk
selanjutnya dilakukan pengamatan berat atau volume, warna, aroma, dan
kekentalan. Hal ini bertujuan untuk membandingkan data antara sebelum
dan sesudah dilakukan pendinginan. Untuk susu pengamatan volume
menggunakan gelas ukur seperti perlakuan sebelum dilakukan penyimpanan
dingin.
5.1.2 Pembekuan
Bahan-bahan yang digunakan untuk pembekuan yaitu nanas, bayam,
wortel, kubis, telur, dan susu. Bahan-bahan yang akan digunakan ditimbang
terlebih dahulu. Untuk nanas, bayam, wortel, kubis dan telur penimbangan

menggunakan neraca analitik. Sedangkan untuk bahan cair seperti susu


menggunakan gelas ukur untuk diukur volumenya sebanyak 125 ml lalu
ditempatkan pada gelas plastik. Selanjutnya dilakukan pengamatan
mengenai warna, aroma, dan kekentalan. Pengamatan dilakukan tanpa
menggunakan alat atau secara sensoris dan hasil pengamatan dilakukan
secara deskriptif dengan mendeskripsikan keadaan fisik bahan.
Setelah itu, dilakukan dua perlakuan yang berbeda yaitu dengan
pengemasan plastik dan tanpa pengemasan plastik. Untuk telur ayam tanpa
cangkang dengan pengemasan plastik, telur dipecahkan terlebih dulu untuk
selanjutnya dimasukkan ke dalam plastik. Kemudian perlakuan pengemasan
plastik disealer. Lalu dilakukan pelabelan menggunakan kertas label pada
semua bahan. Hal ini bertujuan agar bahan tidak tertukar dan mempermudah
pengamatan. Berikutnya, bahan diletakkan pada wadah plastik untuk
selnjutnya dimasukkan ke dalam freezer selama 3 hari. Setelah disimpan
selama 3 hari pada freezer, bahan dikeluarkan untuk selanjutnya dilakukan
pengamatan berat atau volume, warna, aroma, dan kekentalan. Hal ini
bertujuan untuk membandingkan data antara sebelum dan sesudah
dilakukan pembekuan. Untuk susu pengamatan volume menggunakan gelas
ukur seperti perlakuan sebelum dilakukan pembekuan.
5.2

Analisa Data

5.2.1 Pendinginan
Penyimpanan

suhu

rendah

dengan

perlakuan

pendinginan

menggunakan bahan-bahan yaitu nanas, bayam, kubis, wortel, telur, dan


susu. Parameter-parameter bahan yang diamati meliputi berat atau volume,
aroma, warna, dan kekentalan. Untuk pengamatan berat, nanas tanpa
perlakuan pembungkusan mengalami kehilangan berat sebesar 5 gram dari
berat awal 10 gram setelah mengalami pendinginan selama 3 hari beratnya
menjadi 5 gram. Berat bayam tanpa pembungkusan mengalami berat
sebesar

dari 4,16 gram menjadi 1,11 gram. Telur ayam utuh tanpa

pembungkusan mengalami kehilangan berat yang rendah dari 55,47 gram

menjadi 55,18 gram. Pengamatan berat pada nanas dengan perlakuan


dibungkus plastik mengalami perubahan berat dari 10 gram menjadi 9,52
gram. Bayam dengan perlakuan pembungkusan mengalami kehilangan berat
sebesar 0,01 gram yakni dari 2,97 gram menjadi 2,96 gram. Telur ayam utuh
dengan perlakuan pembungkusan mengalami perubahan berat dari 51,04
gram menjadi 50,96 gram. Wortel tanpa pembungkusan beratnya menurun
dari 9,59 gram menjadi 5,59 gram. Kubis tanpa perlakuan pembungkusan
mengalami kehilangan berat dari 9,62 gram menjadi 7,72 gram. Sedangkan
susu tanpa pembungkusan dari volume awal 125 ml setelah pendinginan
volumenya menjadi 111 ml. Untuk wortel dengan pembungkusan beratnya
dari 9,80 gram menjadi 9,65 gram. Susu dengan pembungkusan mengalami
kehilangan volume dari 125 ml menjadi 122,43 ml. Berat bahan setelah
penyimpanan dengan perlakuan pendinginan selama 3 hari mengalami
penurunan atau kehilangan berat. Kehilangan berat berkaitan dengan
berkurangnya kadar air dan senyawa volatil tertentu. Seperti literatur
Desrosier (1969) yang mengatakan penurunan berat pada bahan pangan
yang didinginkan disebabkan karena air dalam bahan pangan tersebut
mengalami penguapan selama pendinginan. Menurut Fellow (2000)
penyusutan berat selama pendinginan dapat disebabkan karena kelembaban
yang ada pada bahan meninggalkan permukaan bahan dan menuju ke udara
disekitarnya melalui proses kondensasi uap air. Tetapi terjadi penyimpangan
data pada kubis dengan pembungkusan, dari berat awal 11,36 gram menjadi
11,48 gram. Penyimpangan ini dapat terjadi karena kurang ketelitian saat
penimbangan atau kesalahan cara saat penimbangan yaitu pada peletakan
plastik. Berat bahan dengan perlakuan pembungkusan lebih sedikit
kehilangan berat daripada tanpa perlakuan pembungkusan hal ini karena
bahan tanpa pembungkusan mengalami kehilangan air lebih banyak. Hal ini
seperti literatur Rachmawan (2001) yang mengatakan kehilangan air
terutama terjadi pada bahan yang didinginkan tanpa dibungkus terlebih
dahulu, atau dibungkus dengan bahan pembungkus yang kedap uap air serta
pada saat membungkusnya masih banyak ruang-ruang yang tidak terisi.

Pengamatan warna pada bahan menggunakan pengamatan sensoris.


Untuk nanas tanpa perlakuan pengemasan warna awalnya kuning segar dan
setelah pendinginan menjadi kuning terang, sedangkan nanas dengan
dengan pengemasan warnanya kuning segar menjadi kuning kecoklatan dan
terdapat bercak putih. Bayam tanpa pengemasan dari warna hijau tua segar
menjadi berwarna hijau pucat, sedangkan bayam dengan pengemasan
warnanya tetap hijau. Wortel tanpa perlakuan pengemasan warnanya dari
orange keruh menjadi orange cerah dan dengan perlakuan pengemasan dari
warna orange cerah menjadi orange gelap. Warna kubis tanpa pengemasan
warna sebelum dan sesudah pendinginan tetap yaitu putih dan terdapat garis
kehijauan. Kubis dengan pengemasan warnanya tetap putih kehijauan
sesudah dan sebelum pendinginan. Menurut Rachmawan (2001), perubahan
warna dapat terjadi, dibagian luar ataupun di bagian dalam bahan pangan
berkisar antara coklat sampai hitam. Perubahan warna ini akan cepat terlihat
setelah bahan tersebut dikeluarkan dari alat pendingin, sedangkan
pewarnaan di dalam jaringan (buah) dapat dilihat jika buah tersebut
dipotong.
Telur tanpa pengemasan dan pengemasan warna cangkangnya sama
yaitu coklat muda. Hal ini dikarenakan telur tidak dipecah sehingga hanya
cangkangnya yang diamati dan warnanya tetap. Untuk susu dengan
pembungkusan dan tanpa pembungkusan warna awal susu putih segar dan
setelah pendinginan menjadi kekuning-kekuningan pada bagaian atasnya
dan bagian bawahnya berwarna putih cair. Bagian atas merupakan skim
sedangkan bagian bawah merupakan cream. Hal ini terjadi akibat perubahan
fisik dan kimia susu seperti literatur Hudaya dalam Sulasih (2003) yang
mengatakan bahwa proses pembekuan susu dapat menyebabkan pecahannya
emulsi lemak, serta perubahan fisik dan kimia dari susu.
Pengamatan aroma menggunakan uji sensoris. Nanas memiliki aroma
yang khas nanas segar dan seletah pendinginan nanas tanpa pembungkusan
aromanya menjadi aroma nanas matang sedangkan pada nanas dengan
pembungkusan menjadi berbau asam. Untuk aroma bayam dengan

pembungkusan dan tanpa pembungkusan beraroma daun bayam segar


setelah pendinginan menjadi tidak berbau khas. Untuk wortel tanpa
pembungkusan dan dengan pembungkusan aroma awalnya khas wortel
tetapi

setelah

pendinginan

menjadi

tidak

berbau.

Kubis

dengan

pembungkusan dan tanpa pembungkusan untuk aroma sama, pada awalnya


berbau khas kubis dan setelah pendinginan menjadi tidak berbau. Aroma
yang berubah setelah pendinginan terjadi akibat beberapa jenis bahan
pangan mudah sekali melepaskan bau atau menyerap bau dari dan atau ke
lingkungannya (Tjahjadi, 2011). Selain itu pada penyimpanan di refrigerator
bahan yang satu dengan yang lain tidak dipisahkan menurut jenis atau di
campur menjadi satu. Penyimpanan secara berdekatan dapat menyebabkan
bahan pangan kehilangan bau, seperti halnya yang terjadi pada kubis,
wortel, dan bayam.
Telur ayam utuh tanpa pembungkusan dari aroma tidak berbau
menjadi berbau sedikit amis, sedangkan dengan pembungkusan aromanya
tetap yaitu tidak berbau baik setelah maupun sesudah pendinginan. Susu
dengan pembungkusan dan tanpa pembungkusan sama yaitu sebelum
pembungkusan berbau amis dan setelah pembungkusan berbau amis dan
asam. Perubahan aroma pada susu dapat pula disebabkan karena denaturasi
protein seperti literatur Widiantoko dalam Ismanto dkk (2013) Gejala
denaturasi protein produk-produk air susu, proses denaturasi menimbulkan
perubahan-perubahan rasa dan bau, serta perubahan konsistensi. Menurut
Ismanto dkk (2013) semakin lama susu disimpan maka akan semakin kental
dengan indikasi kerusakan susu bisa ditandai dari bentuk fisiknya, seperti
susu tampak lebih kental, berlendir (apabila diangkat dengan sendok akan
tampak semacam serabut tipis dan menggumpal), aroma dan cita rasa pun
berubah menjadi asam.
Pengamatan kekentalan atau tekstur pada bahan juga menggunakan uji
sensoris. Pada nanas tanpa pembungkusan tekstur awalnya keras dan sedikit
lunak tetapi setelah pendinginan menjadi lembek, hal ini sama terjadi pada
nanas dengan pembungkusan. Tekstur daun bayam tanpa pengemasan dari

tekstur daun segar, setelah pendinginan menjadi sedikit keras dan kering.
Sedangkan pada daun bayam dengan pengemasan tekstur menjadi layu.
Tekstur wortel sebelum pendinginan keras, setelah mengalami pendinginan
wortel tanpa pengemasan menjadi sedikit mengkerut sedangkan dengan
pengemasan menjadi sedikit lebih empuk. Kubis memiliki tekstur utuh dan
sedikit keras dan setelah pendinginn kubis tanpa pembungkusan menjadi
sedikit mengkerut sedangkan kubis dengan pembungkusan menjadi lebek
setelah pendinginan. Perubahan tekstur terjadi karena penurunan suhu akan
mengakibatkan penurunan proses kimia, mikrobiologi, dan biokimia yang
berhubungan

dengan

kelayuan

(snescence),

kerusakan

(decay),

pembusukan, dan lain-lain (Buckle, 1985). Menurut Tjahjadi (2011) bahan


pangan dalam penyimpanan dingin akan kehilangan air karena RH dalam
lemari es rendah. Akibatnya terjadi pengerutan atau layu, pengeringan,
pengerasan, susut bobot, dan lain-lain.
Telur ayam utuh baik dengan pengemasan maupun tanpa pengemasan
teksturnya tetap keras pada bagian cangkang. Susu segar tanpa
pembungkusan kekentalan awalnya yaitu cair seperti air dan tidak terlalu
kental, setelah pendinginan menjadi mengental pada bagian atas dan
bawahnya cair. Pada susu segar dengan pembungkusan kental pada awal dan
setelah pendinginan bagaian atas lebih kental daripada bagian bawah. Hal
ini terjadi akibat perubahan fisik dan kimia susu atau terjadi denaturasi
protein pada susu. Seperti pada literatur Hudaya dalam Sulasih (2003) yang
mengatakan bahwa proses pembekuan susu dapat menyebabkan pecahannya
emulsi lemak, serta perubahan fisik dan kimia dari susu. Literatur lain
menyebutkan bahwa kerusakan yang terjadi pada proses pendinginan
diantaranya terjadi denaturasi protein berarti putusnya sejumlah ikatan air
dan berkurangnya kadar protein yang dapat diekstrasi dengan larutan garam.
Gejala denaturasi protein produk-produk air susu, proses denaturasi
menimbulkan perubahan-perubahan rasa dan bau, serta perubahan
konsistensi (Widiantoko dalam Ismanto dkk, 2013). Saleh (2004)
menambahkan bahwa semakin lama susu disimpan pada suhu rendah maka

globula-globula lemak bergerak ke permukaan dan membentuk suatu


lapisan di permukaan air susu. Hal ini akan berpengaruh terhadap berat
jenis, viskositas dan tingkat kesukaan konsumen.
5.2.2 Pembekuan
Penyimpanan suhu rendah dengan pembekuan menggunakan bahanbahan yang sama seperti pendinginan yaitu nanas, bayam, telur, wortel,
kubis, dan susu. Parameter pengamatan pembekuan meliputi berat atau
volume, warna, aroma, dan kekentalan atau tekstur. Pengamatan nanas tanpa
pembungkusan mengalami penururnan dari 54 gram menjadi 52,84 gram.
Sedangkan nanas dengan pembungkusan berat awalnya 10 gram menjadi
8,54 gram. Berat bayam tanpa pembungkusan menalami penurunan dari 1,7
gram menjadi 1,07 gram. Sedangkan bayam dengan pembungkusan
mengalami kehilangan berat yang sangat drastis dari 11,62 gram menjadi
3,39 gram. Telur ayam tanpa cangkang dan pembungkusan memiliki berat
awal 9,37 gram, setelah mengalami pembekuan menjadi 8,95 gram. Wortel
tanpa pembungkusan memiliki berat awal 9,88 gram dan setelah pembekuan
menjadi 7,50 gram. Kubis tanpa pembungkusan mengalami kehilangan
berat dari 8,02 gram menjadi 5,50 gram. Susu segar dengan pembungkusan
mengalami perubahan berat setelah pembekuan dari volume 125 ml menjadi
124,52 ml saat diukur menggunakan gelas ukur. Kehilangan berat
dikarenakan karena kadar air pada bahan yang menguap, seperti literatur
Desrosier (1969) yang mengatakan penurunan berat pada bahan pangan
yang didinginkan disebabkan karena air dalam bahan pangan tersebut
mengalami penguapan.
Pada pengamatan berat terjadi penyimpangan-penyimpangan, seperti
pada pengukuran berat telur ayam tanpa cangkang dengan perlakuan
pembungkusan yang mengalami kenaikan setelah pembekuan menjadi 48,2
gram dari berat awal 47,93 gram. Penyimpangan juga terjadi pada wortel
dan kubis dengan pembungkusan yang berat awal wortel 11,34 gram
mengalami penambahan berat menjadi 11,59 gram dan kubis dari 11,67
gram menjadi 11,85 gram. Hal ini dapat terjadi karena kurang ketelitian saat

penimbangan atau proses thawing pada bahan belum dilakukan secara


sempurna. Dapat pula karena proses thawing dilakukan beserta plastik yang
baru dicelupkan pada air baskom untuk proses thawing sehingga saat
penimbangan, air yang masih menempel pada plastik belum kering
sempurna dan menyebabkan berat menjadi bertambah. Selain itu, pada susu
segar tanpa pembungkusan volume bertambah dari volume awal 125 ml
menjadi 128 ml, terjadi penambahan volume sebesar 2 ml. Hal ini dapat
disebabkan karena pada penyimpanan freezer, susu tidak ditutup sehingga
kristal es pada freezer dapat jatuh ke dalam gelas plastik berisi susu yang
menyebabkan penambahan berat susu.
Pengamatan warna menggunakan uji sensoris. Dari pengamatan
diperoleh bahwa warna nanas tanpa pembungkusan awalnya kuning pucat
dan setelah pembekuan menjadi lebih kuning. Sedangkan nanas dengan
pembungkusan setelah pembekuan warna bagian tepi nanas menjadi sedikit
memudar dan bagian tengahnya lebih kuning. Warna awal bayam tanpa
pembungkusan yaitu hijau terang, setelah pembekuan menjadi hijau gelap
sedangkan pada bayam dengan pembungkusan warnanya menjadi sedikit
menguning. Pada wortel tanpa pembungkusan warnanya dari orange keruh
menjadi orange cerah, sedangkan pada wortel dengan pembungkusan
warnanya tetap orange. Warna kubis tanpa pembungkusan dan dengan
pembungkusan memiliki warna yang sama sebelum dan sesudah pembekuan
yaitu putih dan terdapat garis kehijauan. Menurut Rachmawan (2001),
perubahan warna dapat terjadi, dibagian luar ataupun di bagian dalam bahan
pangan berkisar antara coklat sampai hitam. Perubahan warna ini akan cepat
terlihat setelah bahan tersebut dikeluarkan dari alat pendingin, sedangkan
pewarnaan di dalam jaringan (buah) dapat dilihat jika buah tersebut
dipotong.
Telur tanpa cangkang dan pembungkusan memiliki warna kuning telur
merata dan sesudah pembekuan warna kuning telurnya menjadi tidak
merata. Sedangkan telur tanpa cangkang dengan pembungkusan setelah
pembekuan memiliki warna kuning telur yang makin kuat dan putih telur

yang bening sedikit kekuningan. Hal ini terjadi karena albumin kehilangan
CO2 melalui pori-pori kulit sehingga albumin terpisah menjadi dua bagaian,
encer dan kental. Susu tanpa pembungkusan dan dengan pembungkusan
memiliki warna awal putih segar, setelah pembekuan warna susu tanpa
pembungkusan pada bagian atasnya kekuning-kuningan dan bagaian bawah
keruh sedangkan dengan pembungkusan berwarna kekuning-kuningan.
Bagian atas susu merupakan skim sedangkan bagian bawah merupakan
cream. Hal ini terjadi akibat perubahan fisik dan kimia susu seperti literatur
Hudaya dalam Sulasih (2003) yang mengatakan bahwa proses pembekuan
susu dapat menyebabkan pecahannya emulsi lemak, serta perubahan fisik
dan kimia dari susu
Selain pengurangan berat, penguapan air juga menyebabkan
perubahan tekstur dan aroma pada bahan. Pada pengamatan aroma
menggunakan uji sensoris. Aroma nanas sebelum pembekuan yaitu khas
nanas

segar,

setelah

pembekuan

nanas

dengan

perlakuan

tanpa

pembungkusan memiliki aroma tajam dan tidak segar sedangkan nanas


dengan pembungkusan aromanya berkurang. Bayam tanpa pembungkusan
memiliki aroma daun segar dan setelah pembekuan memiliki aroma tidak
segar sedangkan bayam dengan pembungkusan memiliki aroma tidak terlalu
berbau dan setelahnya lebih berbau daun sesudah pembekuan. Aroma wortel
sebelum pembekuan adalah khas wortel, setelah itu wortel tanpa
pembungkusan memiliki aroma tidak berbau khas wortel sedangkan dengan
pembungkusan memiliki aroma lebih menyengat. Kubis memiiliki aroma
khas kubis sebeleum pembekuan, sesudahnya kubis tanpa pembungkusan
tidak ada bau khas kubis sedangkan dengan pembungkusan aromanya lebih
menyengat. Aroma yang berubah setelah pembekuan dan berbeda-beda pada
setiap jenis bahan pangan ini terjadi akibat beberapa jenis bahan pangan
mudah sekali melepaskan bau atau menyerap bau dari dan atau ke
lingkungannya (Tjahjadi, 2011). Selain itu, penyimpanan beku dapat
menyebabkan bahan pangan kehilangan aromanya.

Telur ayam tanpa cangkang sebelum pembekuan memiliki bau amis,


setelahnya telur dengan perlakuan tanpa pembungkusan tidak berbau dan
dengan pembungkusan memiliki bau tidak terlalu amis. Susu tanpa
pembungkusan sebelum pembekuan memiliki aroma amis dan setelahnya
beraroma amis dan asam, sedangkan dengan pembungkusan memiliki aroma
awal segar lalu kurang berbau segar setelah pembekuan. Menurut Ismanto
dkk (2013) semakin lama susu disimpan maka akan semakin kental dengan
indikasi kerusakan susu bisa ditandai dari bentuk fisiknya, seperti susu
tampak lebih kental, berlendir (apabila diangkat dengan sendok akan
tampak semacam serabut tipis dan menggumpal), aroma dan cita rasa pun
berubah menjadi asam.
Pengamatan tekstur, nanas memiliki tekstur keras, setelah dilakukan
pembekuan teksturnya menjadi lunak pada nanas tanpa pembungkusan dan
lembek lebih berair pada nanas dengan pembungkusan. Bayam sebelum
pembekuan memiliki tekstur keras, tidak layu, dan tegak segar. Setelah
mengalami pembekuan bayam dengan perlakuan tanpa pembungkusan
menjadi layu sedangkan dengan pembungkusan menjadi lembek lebih
berair. Telur tanpa cangkang dengan perlakuan pembungkusan maupun tidak
memiliki kekentalan awal yang kental dan setelah pembekuan menjadi lebih
encer. Tekstur wortel sebelum pembekuan yaitu keras, setelah pembekuan
tekstur wortel tanpa pembungkusan menjadi agak mengkerut sedangkan
pada wortel dengan pembungkusan menjadi lebih lembek. Kubis dengan
perlakuan tanpa pembungkusan memiliki tekstur utuh, setelahnya menjadi
sedikit mengkerut. Tekstur kubis dengan pembungkusan lembek dan setelah
pembekuan menjadi lembek lentur. Susu dengan perlakuan tanpa
pembungkusan memiliki tekstur cair seperti air dan tidak terlalu kental,
setelah pembekuan menjadi mengeras akibat membeku. Sedangkan susu
dengan

perlakuan

pembungkusan

tekstur

awalnya

kental,

setelah

pembekuan menjadi keras. Perubahan tekstur terjadi karena penurunan suhu


akan mengakibatkan penurunan proses kimia, mikrobiologi, dan biokimia
yang berhubungan dengan kelayuan (snescence), kerusakan (decay),

pembusukan, dan lain-lain (Buckle, 1985). Menurut Tjahjadi (2011) bahan


pangan dalam penyimpanan dingin akan kehilangan air karena RH dalam
lemari es rendah. Akibatnya terjadi pengerutan atau layu, pengeringan,
pengerasan, susut bobot, dan lain-lain.

BAB 6. PENUTUP
6.1

Kesimpulan
Beberapa simpulan yang dari praktikum yang dilakukan yaitu:
1. Pendinginan dapat menyebabkan bahan pangan lebih awet karena dapat
memperlambat reaksi metabolisme dan laju respirasi bahan pangan.
Sedangkan pembekuan dapat menyebabkan bahan pangan lebih awet
karena dapat menghambat aktivitas mikroba mencegah terjadinya reaksireaksi kimia dan aktivitas enzim yang dapat merusak kandungan gizi
bahan pangan.
2. Kualitas bahan pangan pasca pengolahan penyimpanan suhu rendah
paling efektif menggunakan pembekuan karena selain jangka waktu
simpan lebih lama, sifat fisik bahan pangannya lebih baik. Selain itu,
pembekuan akan lebih optimum jika menggunakan wadah seperti plastik.

6.2

Saran
Untuk praktikum selanjutnya, bahan yang digunakan sebaiknya
lebih bervariasi agar dapat mengetahui bagaimana pengaruh penyimpanan
suhu rendah terhadap bahan pangan dan hasil pertanian secara lebih luas.
Data yang digunakan sebaiknya juga tidak terlalu banyak karena kurang
efektif selain itu terlalu banyak data menyebabkan mahasiswa tidak dapat
menganalisa data dapat secara maksimal.

Daftar Pustaka
Afrianto, Eddy dan Evi, L. 2005. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta:
Kanisius.
Brennan, J.G. 1981. Food Freezing Operation. London: Applied Science
Publisher, Ltd.
Buckle, K.A. 1985. Ilmu Pangan. Jakarta: UI Press.
Desrosier, N. W. 1969. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press).
Fellow, A.P. 2000. Food Procession Technology, Principles and Practise 2nd ed.
England: Woodread Pub Lim Cambridge.
Hariyadi,

Purwiyatno.

2007.

Teknologi

Pembekuan

Pangan.

Bandung:

Foodreview Indonesia/Vol.II/No. 7/Juli 2007.


Ismanto, Toto dkk. 2013. Pengaruh Lama Penyimpanan Dalam Refrigerator
Terhadap Berat Jenis Dan Viskositas Susu Kambing Pasteurisasi.
Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman. Jurnal Ilmiah peternakan
1(1):69-78.
Kusnandar, Feri. 2010. Pembekuan. Medan: USU digital library.
Praptiningsih, Yhulia., Maryanto., Tamtarini. 1999. Buku Ajar Teknologi
Pengolahan. Jember: Universitas Jember.
Rachmawan, O. 2001. Pengeringan, Pendinginan dan Pengemasan Komoditas
Pertanian. Jakarta: Depdiknas.
Rohanah, Ainun. 2002. Pembekuan. Medan: Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara USU Digital library.
Roiyana, Munirotun., Prihastanti, Erma., Kasiyati. 2011. Pengaruh Suhu dan
Lama Penyimpanan Daun Stephania hernandifolia Walp. terhadap Kualitas

Bahan Baku Cincau dan Penerimaan Konsumen. Semarang: Laboratorium


Biologi Struktur dan Fungsi Tumbuhan Jurusan Biologi Fakultas Sains dan
Matematika Universitas Diponegoro.
Rusendi, Dadi., Sudaryanto., Nurjannah, Sarifah., Widyasanti, Asri.. Rosalinda, S.
2010. Penuntun Praktikum MK. Bandung: Teknik Penanganan Hasil
Pertanian Unpad.
Saleh, E. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Sumatra: USU
Digital Library.
Sulasih, Priyono, dan Roisu Eni Mudawaroch. 2003. Pengaruh Lama
Penyimpanan Pada Suhu (-200C) Terhadap Jumlah Total Bakteri (TPC)
Susu Kambing Peranakan Etawah. Jurnal Vol 2, 59-68.
Tambunan, A.H., 1999. Pengembangan Metoda Pembekuan Vakum Untuk Produk
Pangan.

Usulan Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi. Bogor:

Institut Pertanian Bogor.


Tjahjadi, C., dkk. 2011. Bahan Pangan dan Dasar-Dasar Pengolahan. Jatinangor:
Universitas Padjadjaran.
Tranggono dan Sutardi. 1990. Biokima dan Teknologi Pasca Panen. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada.
Wills, R.A.H., T.H. Lee, D. Graham, W.B. McGlasson, E.G. Hall. l98l.
Postharvest An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and
Vegetables. Sydney: New South Wales University Press.
Winarno, F.G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai