Spjs
Spjs
Disusun oleh:
Yohandarwati
Lenny N. Rosalin
I D G Sugihamretha
Sanjoyo
Utin Kiswanti
Guntur Pawoko
Susiati Puspasari
Fithriyah
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...........................................................................................
DAFTAR TABEL....................................................................................
BAB I PENDAHULUAN......................................................................
BAB II PENGERTIAN DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR.................
A. Perlindungan Sosial..............................................................
B. Jaminan Sosial.......................................................................
C. Pendekatan............................................................................
BAB III SITUASI DAN ANALISIS KONDISI SAAT INI..................
A. BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN SOSIAL......................
A.1...................................................JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
....................................................................................................
A.2 .................................... JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN
MASYARAKAT............................................................................
A.3 .................PERLINDUNGAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKAN
..................................................................................................
A.4 PERLINDUNGAN SOSIAL BAGI MASYARAKAT
RENTAN...................................................................................
A.5 JAMINAN PERLINDUNGAN DAN SANTUNAN
KEMATIAN (JASA RAHARJA)..................................................
E. RANCANGAN KELEMBAGAAN..........................................
F. SISTEM PENDANAAN.........................................................
G. PRIORITAS..........................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Penduduk Lansia (60+) dan Penduduk Balita (0-4)
Indonesia Tahun 1980-2020............................................
Tabel 3.2. Jumlah dan Persentase Penduduk Lansia di Lima
Provinsi, 1995..................................................................
Tabel 3.3. Perkembangan TFR, IMR, e0 dan Persentase
Lansia di Indonesia..........................................................
Tabel 3.4. Perkembangan Pegawai yang Mendapatkan
Pensiun dan Pesangon, 1986-1993 (dalam ribuan)
.........................................................................................
Tabel 4.1. Perkembangan Tingkat Iuran Dana Provident
Fund di Malaysia.............................................................
Tabel 4.2. Kompilasi Iuran Sistem Jaminan Sosial di Filipina
.........................................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PENGERTIAN DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR
A. Perlindungan Sosial (social protection).
Hingga saat ini terdapat berbagai macam definisi perlindungan
sosial dan jaminan sosial. Keragaman ini dipengaruhi oleh kondisi sosial,
ekonomi, dan politik suatu negara. Berikut adalah beberapa dari sekian
banyak definisi yang digunakan oleh berbagai institusi dan negara.
Asian Development Bank (ADB) menjelaskan bahwa perlindungan
sosial pada dasarnya merupakan sekumpulan kebijakan dan program
yang dirancang untuk menurunkan kemiskinan dan kerentanan melalui
upaya peningkatan dan perbaikan kapasitas penduduk dalam melindungi
diri mereka dari bencana dan kehilangan pendapatan; tidak berarti
bahwa perlindungan sosial merupakan keseluruhan dari kegiatan
pembangunan di bidang sosial, bahkan perlindungan sosial tidak
termasuk upaya penurunan resiko (risk reduction). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa istilah jaring pengaman sosial (social safety net) dan
jaminan sosial (social security) seringkali digunakan sebagai alternatif
istilah perlindungan sosial; akan tetapi istilah yang lebih sering
digunakan di dunia internasional adalah perlindungan sosial. ADB
membagi perlindungan sosial ke dalam 5 (lima) elemen, yaitu: (i) pasar
tenaga kerja (labor markets); (ii) asuransi sosial (social insurance); (iii)
bantuan sosial (social assitance); (iv) skema mikro dan area-based untuk
perlindungan bagi komunitas setempat; dan (v) perlindungan anak (child
protection).
Namun, menurut Bank Dunia dalam World Bank Social Protection
Strategy, konsep yang digunakan oleh ADB dalam membagi
perlindungan
sosial
tersebut
masih
tradisional.
Bank
Dunia
mendefinisikan perlindungan sosial sebagai: (i) jejaring pengaman dan
spring board; (ii) investasi pada sumberdaya manusia; (iii) upaya
menanggulangi pemisahan sosial; (iv) berfokus pada penyebab, bukan
pada gejala; dan (v) mempertimbangkan keadaan yang sebenarnya.
Menanggapi konsep ADB dan Bank Dunia, menyejajarkan perlindungan
sosial dengan jejaring pengaman bisa berarti menyempitkan makna
perlindungan sosial itu sendiri.
Akan halnya ILO (2002) dalam Social Security and Coverage for
All, perlindungan sosial merupakan konsep yang luas yang juga
mencerminkan perubahan-perubahan ekonomi dan sosial pada tingkat
internasional. Konsep ini termasuk jaminan sosial (social security) dan
skema-skema swasta. Lebih jauh, dijelaskan bahwa sistem perlindungan
sosial bisa dibedakan dalam 3 (tiga) lapis (tier): Lapis (tier) Pertama
merupakan jejaring pengaman sosial yang didanai penuh oleh
pemerintah; Lapis Kedua merupakan skema asuransi sosial yang didanai
dari kontribusi pemberi kerja (employer) dan pekerja; dan Lapis Ketiga
merupakan provisi suplementari yang dikelola penuh oleh swasta.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
BAB III
SITUASI DAN ANALISIS KONDISI SAAT INI
A. BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN SOSIAL
A.1. JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
(a). Latar Belakang
Pelaksanaan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia
secara umum meliputi penyelengaraan program-program Jamsostek,
Taspen, Askes, dan Asabri. Penyelengaraan program Jamsostek
didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, program Taspen didasarkan pada
PP No 25 Tahun 1981, program Askes didasarkan pada PP No 69 Tahun
1991, program Asabri didasarkan pada PP No 67 Tahun 1991, sedangkan
program Pensiun didasarkan pada UU No 6 Tahun 1966.
Penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia berbasis kepesertaan, yang
dapat dibedakan atas kepesertaan pekerja sektor swasta, pegawai negeri
sipil (PNS),dan anggota TNI/Polri (Lihat Tabel 1).
(b). JAMSOSTEK
Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) sebagaimana didasarkan
pada UU No 3 Tahun 1992, pada prinsipnya merupakan sistem asuransi
sosial bagi pekerja (yang mempunyai hubungan industrial) beserta
keluarganya. Skema Jamsostek meliputi program-program yang terkait
dengan risiko, seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian,
jaminan pemeliharaan kesehatan, dan jaminan hari tua.
Cakupan jaminan kecelakaan kerja (JKK) meliputi: biaya
pengangkutan, biaya pemeriksaan, pengobatan, perawatan, biaya
rehabilitasi, serta santunan uang bagi pekerja yang tidak mampu
bekerja, dan cacat. Apabila pekerja meninggal dunia bukan akibat
kecelakaan kerja, mereka atau keluarganya berhak atas jaminan
kematian (JK) berupa biaya pemakaman dan santunan berupa uang.
Apabila pekerja telah mencapai usia 55 tahun atau mengalami cacat
total/seumur hidup, mereka berhak untuk memperolah jaminan hari
tua (JHT) yang dibayar sekaligus atau secara berkala. Sedangkan
jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) bagi tenaga kerja termasuk
keluarganya, meliputi: biaya rawat jalan, rawat inap, pemeriksaan
kehamilan dan pertolongan persalinan, diagnostik, serta pelayanan
gawat darurat.
Pada dasarnya program Jamsostek merupakan sistem asuransi
sosial, karena penyelenggaraan didasarkan pada sistem pendanaan
penuh (fully funded system), yang dalam hal ini menjadi beban
pemberi kerja dan pekerja. Sistem tersebut secara teori merupakan
mekanisme asuransi. Penyelengaraan sistem asuransi sosial biasanya
didasarkan pada fully funded system, tetapi bukan harga mati. Dalam hal
ini pemerintah tetap diwajibkan untuk berkontribusi terhadap
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
Perubahan atas
Kepegawaian.
UU
No.
Tahun
1974
tentang
Pokok-pokok
menerima pensiun. Sedangkan yang berhak mendapat tabungan hari tua adalah peserta; atau
istri/suami, anak atau ahli waris peserta yang sah dalam hal peserta meninggal dunia.
(d). ASABRI
Program kesejahteraan bagi anggota TNI diatur dalam beberapa
Undang-undang, seperti: Undang-undang No. 2 Tahun 1959 tentang
Pemberian Pensiun dan Onderstand Angkatan Perang RI; Undangundang No. 6 Tahun 1966 tentang Pensiun, Tunjangan bersifat Pensiun
dan Tunjangan bagi Mantan prajurut TNI dan Anggota POLRI; Undangundang No. 75 tahun 1957 tentang Veteran Pejuang Kemerdekaan RI;
dan Undang-undang No. 15 Tahun 1965 tentang Veteran RI. Dalam
penyelenggaraan program asuransi sosial bagi PNS telah diatur dalam
PP Nomor 25 Tahun 1981, dimana diantaranya diatur mengenai
besarnya iuran bagi setiap PNS untuk program Tabungan Hari Tua
(THT) dan Pensiun.
(e). ASKES
Sistem perlindungan sosial yang ada saat ini adalah Sistem
Asuransi Kesehatan (yang diselenggarakan oleh PT Askes), untuk
memberikan pelayanan kesehatan sesuai ketentuan yang berlaku. Ruang
lingkup pelayanan yang diberikan antara lain, konsultasi medis dan
penyuluhan kesehatan, pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter umum
dan atau paramedis, pemeriksaan dan pengobatan gigi, dan lainnya.
Visi ke depan PT Askes adalah menjadi spesialis asuransi
kesehatan dan jaminan pemeliharaan kesehatan untuk mengantisipasi
penerapan Jaminan Sosial Nasional yang sedang disusun pemerintah.
Dengan pengalaman mengelola asuransi kesehatan selama 34 tahun
dengan 14 juta peserta, PT Askes berharap menjadi market leader dan
center of excellence asuransi kesehatan.
Potongan iuran wajib atau premi untuk dana pemeliharaan
kesehatan bagi pegawai negeri sipil (PNS), dan penerima pensiun
beserta anggota keluarganya, diatur melalui Keputusan Presiden.
Keputusan Presiden yang masih berlaku sampai sekarang adalah
Keputusan Presiden No. 8 tahun 1977, menyatakan bahwa 2 persen dari
penghasilan pegawai digunakan untuk pemeliharaan kesehatan Pegawai
Negeri dan Penerima Pensiun. Kemudian dengan UU No. 43 tahun 1999,
pasal 32, dinyatakan bahwa untuk penyelenggaraan asuransi kesehatan
pemerintah menanggung subsidi dan iuran yang besarnya ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Selain menyelenggarakan asuransi kesehatan sosial bagi pegawai
negeri sipil, pensiunan, veteran dan perintis kemerdekaan, PT Askes
juga menyelenggarakan Askes komersial untuk perusahaan swasta yang
memerlukan jaminan pemeliharaan kesehatan karyawan
.
Berkaitan dengan otonomi daerah, PT Askes menawari pemerintah
kabupaten/kota untuk membelikan produk suplemen/menambah premi
untuk pegawai negeri dan keluarganya, sehingga jika berobat tidak
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
10
11
12
Jenis Pelayanan
Rawat jalan Tk I
(Puskesmas)
Rawat
jalan
spesialistik
(RS
Pemerintah)
Rawat Inap (5 hari)
Gawat Darurat
Kunjungan
Rata-rata
Peserta
14,00
Tarif Perda
(Rp)
Biaya
Per kapita
1.000
140
2,00
5.000
100
0,290
0,037
200.000
20.000
580
7
Jumlah biaya pelayanan kesehatan per kapita per bulan adalah Rp. 827,Dengan memperhitungkan biaya administrasi penyelenggara sebesar 8
persen, maka dihitung premi sebesar = 100/92 x Rp. 827,- = Rp.
899,-/kapita/bulan atau premi Gakin sebesar = 4 x Rp. 899,- = Rp.
3.596,-/keluarga/bulan.
Dalam jangka panjang JPK Gakin akan diintegrasikan dengan
asuransi sosial kesehatan yang mencakup seluruh penduduk. Asuransi
sosial kesehatan bersifat wajib bagi seluruh penduduk, sedangkan JPKM
bersifat sukarela. Untuk pembayarannya, premi bagi keluarga miskin
dibayar oleh pemerintah, sedangkan keluarga mampu diminta membayar
sendiri preminya.
Paket pelayanan standar untuk keluarga miskin meliputi rawat
jalan di puskesmas, rawat jalan spesialistis di rumah sakit, rawat inap di
rumah sakit sesuai kebutuhan medik untuk rata-rata lima hari serta
pelayanan gawat darurat di puskesmas maupun rumah sakit. Sedangkan
jenis perawatan bagi keluarga miskin yang telah dilaksanakan di rumah
sakit adalah persalinan, tuberkulosis paru, gastroenteritis/gangguan
pencernaan, bedah, tifoid, gastritis/radang lambung, febris/demam,
hernia, asma, dan malaria.
13
14
15
16
total siswa SLTP); dan 600 ribu siswa SMU (12 persen dari total siswa
SMU), dengan jumlah bantuan yang sama dengan periode sebelumnya.
Adapun besarnya DBO atau BKS masing-masing adalah Rp 2 juta
bagi SD, Rp 4 juta bagi SLTP, dan Rp 10 juta bagi SMU. Data
selengkapnya mengenai realisasi JPS bidang pendidikan yang telah
dilaksanakan sejak tahun 1998-2003, dapat dilihat pada Tabel Realisasi
Pemberian Bantuan JPS Bidang Pendidikan 1998/1999-2002/2003
(terlampir).
Di samping JPS bidang pendidikan, pada tahun 1998-2002, ADB
juga telah memberikan bantuan pendidikan dalam bentuk JPS bidang
sosial (JPS-BS). Bantuan ini berbentuk beasiswa bagi anak jalanan dan
anak terlantar, yang diberikan secara block-grant kepada Rumah
Singgah dan Panti Asuhan di 8 kota besar. Kedelapan kota besar tersebut
adalah DKI, Bandung, Semarang, DI Yogyakarta, Surabaya, Medan,
Makassar, dan Palembang. Pada awalnya sempat terjadi duplikasi
sasaran antara JPS pendidikan dengan JPS-BS, namun sejak
diberlakukannya uang registrasi bagi penerima beasiswa JPS-BS,
kemungkinan tersebut dapat dikurangi.
Untuk mengembangkan skema yang sudah ada dalam kaitannya
dengan SPJS di bidang pendidikan, diusulkan beberapa alternatif konsep
awal SPJS di bidang pendidikan, antara lain: 1) pemberlakuan ketentuan
khusus dalam berbagai ketentuan yang berkaitan dengan masalah
keuangan, seperti uang pangkal, uang gedung, ujian sekolah, ujian
nasional; 2) pemberlakuan model subsidi silang dalam pembiayaan
pendidikan; 3) pengalokasian dana khusus bagi daerah terpencil, daerah
bencana alam, dan daerah kerusuhan; 4) pemberian beasiswa khusus
untuk anak-anak putus sekolah, anak-anak dari keluarga miskin, anakanak yang tidak tamat dalam program wajib belajar, anak yatim piatu,
anak-anak terlantar; 5) penyediaan layanan pendidikan bagi anak-anak
cacat; dan 6) pemberian beasiswa khusus untuk anak-anak yang
memiliki kemampuan luar biasa.
(d) Sasaran
Sasaran sistem perlindungan dan jaminan sosial melalui skema JPS
adalah keluarga-keluarga miskin, baik di perdesaan maupun di
perkotaan. Mereka adalah keluarga-keluarga yang termasuk kategori
Keluarga Pra-Sejahtera, Keluarga Sejahtera I dan keluarga miskin
lainnya (karena alasan ekonomi). Di dalamnya antara lain termasuk
siswa SD, SLTP, dan SMU.
Sedangkan sasaran dari konsep awal SPJS di bidang pendidikan
adalah: 1) anak-anak yang orang tuanya berpenghasilan di bawah UMR
per bulan; 2) anak-anak dan satuan pendidikan daerah terpencil, daerah
bencana alam, daerah kerusuhan; 3) anak-anak yang berasal dari
keluarga miskin, anak-anak yatim piatu, anak-anak terlantar; 4) anakanak cacat; dan 5) anak-anak yang berprestasi.
17
18
bertahan dan berlanjut setelah masa krisis berakhir. Saat ini JPS telah
memasuki tahap akhir (exit strategy), selama tahun 1998 hingga 2002
telah berhasil memberikan perlindungan sosial bagi sebagian penduduk
penduduk miskin dan rentan selama masa krisis ekonomi berlangsung.
Adapun perlindungan yang diberikan melalui JPS adalah di bidang
kesehatan (kartu sehat), pendidikan (beasiswa dan dana bantuan
operasional), kesejahteraan sosial (a.l. anak jalanan), keluarga
berencana (kontrasepsi), dan usaha ekonomi (padat karya).
Ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi kondisi krisis
ekonomi, tercermin dalam pelaksanaan proyek JPS yang mengalami
berbagai hambatan. Proyek JPS tidak terbentuk melalui sebuah
perencanaan yang matang, melainkan melalui pengambilan keputusan
darurat (seringkali disebut sebagai crash program). Sebagai akibatnya
mekanisme penetapan sasaran penerima manfaat JPS tidak tepat,
penyaluran dana tidak lancar, dan cakupan bantuan tidak konsisten,
serta terjadi kebocoran dana selama masa lima tahun pelaksanaan JPS.
Oleh karena itu, sistem perlindungan yang diharapkan di masa
mendatang harus mencakup perlindungan secara otomatis dan
sistematis dari dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan, terutama
bagi kelompok penduduk rentan.
Bentuk perlindungan sosial lain yang telah dilaksanakan
pemerintah adalah pemberian subsidi beras bagi penduduk miskin saat
terjadi paceklik panjang maupun krisis. Selama masa krisis ekonomi,
Operasi Pasar Khusus (OPK) beras memungkinkan penduduk miskin
untuk membeli beras seharga kurang dari setengah dari harga resmi.
Namun, menurut studi dari SMERU, terjadi kebocoran dana dan salah
target dalam pelaksanaannya, yakni mencapai sekitar 50%.
Pemerintah juga telah memberikan perlindungan sosial dalam
bentuk Kompensasi Kenaikan BBM sejak dicabutnya subsidi BBM pada
tahun 2001. Hingga kini bantuan tersebut masih berlanjut khusus untuk
bidang kesehatan, kesejahteraan sosial, keluarga berencana, usaha kecil
dan menengah, dan pertanian. Kompensasi Kenaikan BBM akan berakhir
pada tahun 2004.
Bantuan sosial yang diselenggarakan pemerintah (melalui
Departemen Sosial) diberikan pada penduduk miskin, korban bencana
alam/konflik, korban tindak kekerasan, dan pekerja migran yang
bermasalah. Bentuk bantuan umumnya berupa biaya pangan
(permakanan), transport dari tempat asal ke tempat pengungsian dan
sebaliknya pada saat pemulangan/relokasi pengungsi, serta biaya
perbaikan tempat tinggal.
(2) Jaminan sosial. Saat ini upaya pemerintah dalam menjamin
kesejahteraan sosial adalah dengan Jaminan Kesejahteran Sosial (JKS),
yang juga masih dalam tahap uji coba. Bentuk dari Jaminan
Kesejahteraan Sosial ini terbagi dua, yaitu: (1) Bantuan Kesejahteraan
Sosial; dan (2) Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos).
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
19
20
21
22
setiap orang yang berada di luar angkutan lalu lintas jalan yang
menimbulkan kecelakaan yang menjadi korban akibat kecelakaan dari
penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan tersebut, sebagai contoh
adalah pejalan kaki yang ditabrak oleh kendaraan bermotor; (2) setiap
orang atau mereka yang berada di dalam suatu kendaraan bermotor dan
ditabrak, dimana pengemudi kendaraan bermotor yang ditumpangi
dinyatakan bukan sebagai penyebab kecelakaan, termasuk dalam hal ini
para penumpang kendaraan bermotor dan sepeda motor pribadi; (3)
tabrakan dua atau lebih kendaraan bermotor apabila dalam laporan hasil
pemeriksaan kepolisian dinyatakan bahwa pengemudi yang mengalami
kecelakaan merupakan penyebab terjadinya kecelakaan, maka baik
pengemudi maupun penumpang kendaraan tersebut tidak terjamin; (4)
pada kasus tabrak lari akan terlebih dahulu dilakukan penelitian atas
kebenaran kasus kejadiannya; (5) pejalan kaki di atas rel atau jalanan
kereta api dan atau menyeberang sehingga tertabrak kereta api serta
pengemudi/penumpang
kendaraan
bermotor
yang
mengalami
kecelakaan akibat lalu lintas perjalanan kerat api; (6) pejalan kaki atau
pengemudi/penumpang kendaraan bermotor yang dengan sengaja
menerobos palang pintu kereta api yang sedang difungsikan
sebagaimana lazimnya kereta api akan lewat, apabila tertabrak kereta
api maka korban tidak terjamin.
(b) Besaran Premi Dan Santunan
Iuran Wajib dan santunannya diatur dalam SK Menteri Keuangan
No. 415/KMK.06/2001 tentang penetapan santunan dan iuran wajib dana
pertanggungan wajib kecelakaan penumpang alat angkutan penumpang
umum di darat, sungai/danau, ferry/ penyeberangan, laut dan udara.
Untuk Sumbangan Wajib dan santunannya diatur dalam SK Menteri
Keuangan No.416/KMK.06/2001 tentang penetapan santunan dan
sumbangan wajib dana kecelakaan lalu lintas jalan. Teknis pengenaan
premi adalah; (1) Iuran Wajib: setiap penumpang yang akan
menggunakan alat transportasi umum membayarkan iuran wajib yang
disatukan dengan ongkos angkut pada saat membeli karcis atau
membayar tarif angkutan dan pengutipan ini dilakukan oleh masingmasing operator (pengelola) alat transportasi tersebut; (2) Sumbangan
Wajib: pembayarannya dilakukan secara periodik (setiap tahun) di kantor
Samsat pada saat pendaftaran atau perpanjangan SIM.
Pembayaran premi dalam program asuransi kecelakaan dikenal
dengan 2 (dua) bentuk yaitu Iuran Wajib (IW) dan Sumbangan Wajib
(SW). IW dikenakan kepada penumpang alat transportasi umum seperti
kereta api, pesawat terbang, bus dan sebagainya. Sedangkan khusus
penumpang kendaraan bermotor umum di dalam kota dan kereta api
jarak pendek (kurang dari 50 km) dibebaskan dari pembayaran IW
tersebut. SW dikenakan kepada pemilik / pengusaha kendaraan
bermotor.
Besarnya santunan UU No. 33 & 34 tahun 1964 yang ditetapkan
berdasarkan
Surat
Keputusan
Menteri
Keuangan
RI
No.
415/KMK.06/2001 dan 416/KMK.06/2001 tanggal 17 Juli 2001:
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
23
Jenis Risiko
Angkutan Umum
Darat, Laut
Udara
Meninggal
Rp.10.000.000,-
Rp.50.000.000,-
Cacat tetap
Rp.10.000.000,-
Rp.50.000.000,-
Biaya Rawatan
Rp. 5.000.000,-
Rp.25.000.000,-
Biaya Kubur
Rp. 1.000.000,-
Rp. 1.000.000,-
Di Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan, programprogram yang berhubungan dengan perlindungan sosial berada pada
beberapa dinas, yaitu Dinas Kesehatan, Kesejahteraan Sosial,
Transmigrasi dan Tenaga Kerja, dan Pendidikan Nasional.
Perlindungan sosial di bidang kesehatan dilaksanakan melalui
strategi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM), yang
berasaskan usaha bersama dan kekeluargaan. Ciri-cirinya adalah
berkesinambungan, terjaga mutunya, dan terkendali biayanya, yang
dilaksanakan melalui sistem pelayanan kesehatan prabayar yang
paripurna (menyeluruh) dan berjenjang, dengan pelayanan tingkat
pertama yang bermutu dan efisien. Pemeliharaan kesehatan paripurna
tersebut mencakup upaya-upaya: promotif (peningkatan kesehatan),
preventif (pencegahan penyakit), kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif
(pemulihan).
Selain itu, ada suatu sistem jaminan sosial yang dikembangkan
seperti dana sehat, yaitu dengan penyediaan biaya kesehatan yang tidak
diperoleh masyarakat; dana untuk ibu hamil resiko tinggi, dengan
sasaran pasangan usia subur (PUS) dari keluarga Prasejahtera dan
Sejahtera I. Skema yang dilaksanakan adalah dengan tabungan dan dana
talangan/dana abadi (dari UNICEF).
Bantuan dan jaminan sosial di bidang pendidikan, perlu diberikan
pada anak, khususnya pada usia pendidikan dasar 7-15 tahun. Namun,
permasalahan yang terjadi di Kabupaten Takalar adalah meningkatnya
angka drop out sekolah, akibat banyaknya anak yang bekerja membantu
orang tuanya, karena sebagian besar mereka hidup di bawah garis
kemiskinan. Khusus bagi yang berdomisili di daerah pesisir pantai
kebanyakan mereka membantu orang tuanya mencari nafkah di laut.
Selain itu, banyak pula anak usia pendidikan dasar yang pindah ke kota
dan bekerja sebagai tukang batu, tukang becak, dan sebagainya.
Di bidang ketenagakerjaan, para pegawai menginginkan adanya
perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan jaminan sosial. Hal ini
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
24
B.2
25
dalam
26
KABUPATEN
TENGAH
KOTAWARINGIN
BARAT
KALIMANTAN
27
B.5
28
KONDISI DEMOGRAFI1
29
Diolah dari United Nations, World Population Prospect 1996 revision, medium
variant New York, 1998.
2
30
Tabel 3.2.
Jumlah dan Persentase Penduduk Lansia di Lima
Provinsi, 1995
Provinsi
di Jumlah
Persen
Indonesia
D.I. Yogyakarta
366.917
12,6
Jawa Timur
3.201.653
9,5
Bali
259.441
8,9
Jawa Tengah
2.610.833
8,8
Sumatera Barat
345.022
7,9
Sumber:
BPS, Survei Penduduk Antar Sensus 1995
Jumlah penduduk lansia juga terkonsentrasi di provinsi-provinsi di
Pulau Jawa. Jumlah penduduk lansia di Pulau Jawa dan Bali mencapai
68.8 persen dari seluruh lansia yang ada di Indonesia.
Jumlah dan persentase penduduk lansia di lima provinsi khususnya
Provinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Timur hampir sama dengan kondisi di
beberapa negara maju. Persentase penduduk lansia di Provinsi DI
Yogyakarta (12,6 persen) dan Jawa Timur (9,5 persen) lebih besar
dibanding persentase lansia di Singapore (9,21 persen) dan Korea
Selatan (9,03 persen).
(b). Penyebab Meningkatnya Penduduk Lansia
Pada dasarnya penuaan penduduk terjadi karena adanya pergeseran struktur umur penduduk. Di tingkat nasional, pergeseran
struktur umur penduduk lebih disebabkan oleh fertilitas dan mortalitas;
faktor migrasi tidak terlalu banyak berpengaruh. Sementara di tingkat
lokal khususnya di daerah pedesaan faktor migrasi sangat
berpengaruh terhadap terjadinya penuaan penduduk (aging population).
Menurunnya angka kelahiran penduduk di satu sisi dan
meningkatnya angka harapan hidup di sisi lain menyebabkan terjadinya
perubahan struktur penduduk suatu negara. Waktu yang dicapai suatu
negara dalam melakukan penurunan fertilitas berpengaruh terhadap
cepat tidaknya proses perubahan struktur penduduk suatu negara.
Dari sisi waktu penurunan angka kelahiran (fertility rate), PBB
mengelompokkan negara-negara di dunia ke dalam tiga kategori sebagai
berikut:
a.
Pre-initiation countries, yaitu negara-negara yang penurunan
angka kelahirannya belum dimulai sampai tahun 1990
b.
Late initiation countries, yaitu negara-negara yang angka
kelahirannya dimulai antara kurun waktu 1950-1990
c.
Early intiation countries, yaitu negara-negara yang penurunan
angka kelahirannya telah berlangsung sebelum tahun 19503
3
Hugo, Graeme, "Review of The Population Ageing Situation and Major Ageing Issues at
Local Levels", dalam Productive Ageing in Asia and The Pacific, ESCAP,
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
31
32
proporsi penduduk lansia (60+) dari 4,5 persen pada tahun 1971
menjadi 6,9 persen pada tahun 1995.
Dalam skala lokal, migrasi turut mempengaruhi ageing population
di suatu daerah melalui dua pola (i) migrasi masuk penduduk tua ke
suatu daerah (pedesaan) akibat retirement migration (migrasi karena
pensiun), dan; (ii) migrasi keluar penduduk muda (young out-migration)
akibat dorongan faktor ekonomi di daerah lain.
(c). Kondisi Penduduk Lansia
Pertanyaan kemudian bagaimana kondisi penduduk lansia yang
makin banyak tersebut. Siapakah yang menopang kehidupan mereka;
seberapa besar dari mereka yang sudah memperoleh dukungan
institusional secara formal (institusional support), seberapa besar dari
mereka yang tercover dalam sistem bantuan dan jaminan sosial,
darimana mereka memperoleh dukungan jika tidak termasuk dalam
skema sistem bantuan dan jaminan sosial yang ada?
Data yang ada menunjukkan jumlah penduduk lansia yang
tercakup oleh sistem jaminan sosial baik dalam bentuk asuransi maupun
tabungan hari tua (pensiun) masih amat sedikit. Masih cukup banyak
penduduk lansia yang belum (tidak) memperoleh jaminan sosial baik
berupa dana pensiun maupun asuransi.
Tabel 3.4.
Perkembangan Pegawai yang Mendapatkan Pensiun dan Pesangon,
1986-1993 (dalam ribuan)
Pegawai yang Mendapat Pensiun
Jumlah
Jumlah
Pegawai
pegawai
Pegawai
Pegawai
Pegawai
yang
yang
Pemerintah Pemerintah BUMN
Mendapat
Mendapat
Pusat
Daerah
Pensiun
Pesangon
dari ASTEK
1986
2 947,2
438,4
142,3
3 527,9
2 606,1
1987
2 978,5
446,1
147,7
3 572,3
3 005,8
1988
3 156,2
468,7
154,9
3 779,8
3 334,9
1989
3 265,5
473,3
170,3
3 909,1
3 602,3
1990
3 291,1
480,2
170,5
3 941,8
3 929,1
1991
3 428,0
489,9
178,4
4 096,3
4 469,0
1992
3 516,9
497,8
183,7
4 198,4
5 041,9*
1993
3 594,2
507,1
109,7
4 211,0
Sumber: PT Taspen Jakarta (sebagaimana dikutip dari Hugo) dalam BPS,
Laporan Sosial Indonesia 1997; Lanjut Usia (Lansia), BPS, Jakarta,
Maret 1998, p. 63
Dari sekitar 13,3 juta lansia yang ada di Indonesia pada tahun
1995 diperkirakan hanya sekitar tiga puluh persen (4,2 juta jiwa)
33
Thabrany, Hasbullah, Asuransi Kesehatan Pilihan Kebijakan Nasional, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Jakarta, 1998, pp-6-7
5
Mundiharno, "Determinan Sosial Ekonomi Kepesertaan Asuransi Kesehatan", Laporan Penelitian Hibah
Bersaing Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1999
6
Soepardo, Istikanah Promotion of The Social Well-Being of Elderly People in Indonesia: A Brief Statement,
dalam UN ESCAP, Productive Ageing in Asia and the Pacific, UN, New York, 1993, p. 83
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
34
35
KONDISI KETENAGAKERJAAN
36
70
60,17
60
50
39,83
40
Data terakhir
menunjukkan bahwa
jumlah penganggur
terbuka tersebut
30
20
6,98
9,2
10
SISTEM PERLINDUNGAN
SOSIAL
TERPADU
Pengangguran
Bekerja < 15
Bekerja < 36
Bekerja < 42
Terbuka
Jam
Jam
Jam
37
meningkat menjadi 9,13 juta jiwa atau sekitar 9,06 persen pada tahun
2002.
Angka pengangguran tersebut akan makin besar jika dilihat
dengan ukuran angka setengah pengangguran (under employment) baik
setengah pengangguran kentara (yang bekerja dibawah 36 jam per
minggu) maupun setengah pengangguran tidak kentara (yang
bekerjanya penuh waktu di atas 36 jam per minggu tetapi
penghasilannya tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan hidupnya).
Untuk melihat angka pengangguran di negara berkembang seperti
Indonesia tidak cukup dengan melihat angka pengangguran terbuka
tetapi perlu pula melihat angka setengah pengangguran karena
permasalahan.
Hasil Sensus Penduduk 2000 menunjukkan bahwa dari 89,8 juta
yang bekerja terdapat sekitar 9,2 persen pekerja yang bekerja hanya
kurang dari 15 jam per minggu, bahkan 39,83 persen di antaranya
bekerja dibawah 36 jam per minggu. Dengan demikian angka setengah
pengangguran kentara mencapai hampir 40 persen; sebuah angka yang
sangat tinggi.
Tingginya angka pengangguran tersebut terjadi karena besarnya
supply tenaga kerja (labor surplus) akibat tekanan demografis di satu
sisi, sementara di sisi lain kesempatan kerja (employment opportunities)
masih sangat terbatas akibat rendahnya investasi. Data yang ada
menunjukkan bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1996 s.d 2000
angkatan kerja kita bertambah sekitar 1,5 juta per tahun dari sekitar
88,2 juta angkatan kerja pada tahun 1996 bertambah menjadi 95,7 juta
angkatan kerja pada tahun 2000. Dengan demikian setiap tahunnya ada
tambahan sekitar 1,5 juta orang yang masuk ke pasar kerja dan
karenanya memerlukan lapangan kerja baru. Padahal di sisi lain
perkembangan investasi yang ada (akan diuraikan kemudian) belum
mampu menciptakan lapangan kerja sebesar itu.
4.6
19.4
59.9
16.1
38
SD Kebaw ah
SLTP
SLTA
PT
persen, SLTA (19,4 persen) dan hanya 4,6 persen angkatan kerja yang
tamat perguruan tinggi.
Dengan kualitas (dari segi pendidikan) yang masih rendah maka
bisa dimaklum jika proporsi tenaga kerja yang memiliki upah rendah
jauh lebih besar.
Struktur Upah
Rata-rata Upah
1.000.000 keatas
800.000
-999.999
600.000799.999
400.000
599.999
< 400.000
KHM
Persen
15.53
9.22
15.98
20.42
38.85
416,886
Sektor
32.294.758
Rendahnya
investasi
yang berakibat pada
sangat
terbatasnya
lapangan
kerja
di
sektor formal ditambah
dengan
kualitas
(tingkat
pendidikan) yang rendah, berakibat pada banyaknya pekerja yang di
sektor formal. Data yang ada menunjukkan bahwa dari 90,8 juta pekerja
sekitar 64,4 persen bekerja di sektor informal. Sementara yang bekerja
di sektor formal hanya sekitar 35,6 persen.
58.512.659
39
1998
92,734,9
32
87,672,4
49
5,062,48
3
30,331,0
46
57,341,4
03
14,959,1
38
16.1
17.1
49.3
1999
94,847,1
78
88,816,8
59
6,030,31
9
31,936,2
51
56,880,6
08
16,424,1
28
2000
95,650,96
1
89,837,73
0
5,813,231
31,530,56
6
58,307,16
4
18,140,88
6
3,945,778
22,086,66
4
17.3
19,0
(23,1)*
18.5
20,2
(24,6)*
51.4
57,5
(70,0)*
40
41
ribu rupiah
8.000,0
7.000,0
6.000,0
5.000,0
4.000,0
3.000,0
2.000,0
1.000,0
0,0
7.594,3
6.145,1 6.398,2
5.421,9
4.760,8
3.205,7
2.706,0
2.349,1 2.102,6 2.212,6
2.004,6
1.859,9 1.983,6
1.874,8 1.870,3 1.933,6 1.970,72.012,9
94
95
96
97
Hrg Berlaku
98
99
00
01
02
42
92.410
43
44
BAB IV
PERLINDUNGAN SOSIAL
DI BERBAGAI NEGARA
Penyelenggaraan
Perlindungan
Sosial
merupakan
suatu
mekanisme universal di dalam memelihara dan meningkatkan
kesejahteraan
rakyat
suatu
negara.
Meskipun
prinsip-prinsip
universalitasnya sama, yaitu pada umumnya berbasis pada mekanisme
bantuan dan asuransi sosial, namun dalam penyelenggaraanya terdapat
variasi yang luas. Variasi program, tingkat manfaat, dan tingkat iuran di
berbagai negara tidak dapat dihindari karena beragamnya tingkat sosial
ekonomi dan budaya penduduk di negara tersebut. Badan penyelenggara
juga bervariasi dari yang langsung dikelola oleh pemerintah sampai yang
diserahkan kepada swasta. Variasi tersebut tidak lepas dari sejarah
berkembangnya sebuah sistem perlindungan sosial di negara tersebut.
Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kekurangannya dan
karenanya berbagai contoh tersebut perlu disajikan disini sebagai
rujukan bagi pengembangan Sistem Perlindungan Sosial. Dalam bab ini
akan disajikan secara garis besar sistem perlindungan sosial di beberapa
negara tetangga dan negara maju agar dapat diambil pelajaran
bagaimana suatu sistem perlindungan sosial dimulai dan bagaimana
kondisi yang dapat harapkan kelak di kemudian hari.
(1) Malaysia
Sebagai negara persemakmuran, sistem jaminan sosial di Malaysia
berkembang lebih awal dan lebih pesat dibandingkan dengan
perkembangan sistem jaminan sosial di negara lain di Asia Tenggara.
Pada tahun 1951 Malaysia sudah memulai program tabungan wajib
pegawai untuk menjamin hari tua (employee provident fund, EPF)
melalui Ordonansi EPF. Seluruh pegawai swasta dan pegawai negeri
yang tidak berhak atas pensiun wajib mengikuti program EPF. Ordonansi
EPF kemudian diperbaharui menjadi UU EPF pada tahun 1991. Pegawai
pemerintah mendapatkan pensiun yang merupakan tunjangan karyawan
pemerintah. Selain itu, Malaysia juga memiliki sistem jaminan
kecelakaan kerja dan pensiun cacat yang dikelola oleh Social Security
Organization (SOCSO). Oleh karena pemerintah federal Malaysia
bertanggung jawab atas pembiayaan dan penyediaan langsung
pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk, maka pelayanan kesehatan
tidak masuk dalam program yang dicakup sistem jaminan sosial di
Malaysia.
Sektor informal merupakan sektor yang lebih sulit dimobilisasi.
Namun demikian, dalam sistem jaminan sosial di Malaysia, sektor
informal dapat menjadi peserta EPF atau SOCSO secara sukarela.
Termasuk sektor informal adalah mereka yang bekerja secara mandiri
dan pembantu rumah tangga. Karyawan asing dan pegawai pemerintah
yang sudah punya hak pensiun juga dapat ikut program EPF secara
sukarela.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
45
Iuran
Tenaga Iuran
Kerja
1952
Pemberi Total
Kerja
Juni
5%
5%
10%
1975
Juli 75 Nop
6%
7%
13%
80
Des 80 Des
9%
11%
20%
92
9
Kertonegoro, S. Sistem dan Program Jaminan Sosial di Negara-negara ASEAN. Yayasan Tenaga Kerja
Indonesia, Jakarta, 1998.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
46
Jan 93 Des 95
Jan 96 -
10%
11%
12%
12%
22%
23%
(2) Filipina
Filipina memulai pengembangan program Jaminan Sosialnya sejak
tahun 1948, akan tetapi UU Jaminan Sosialnya (Republic Act 1161) baru
disahkan pada tahun 1954. Dibutuhkan enam tahun sejak ide awal
pengembangan jaminan sosial dicetuskan oleh Presiden Manuel A. Roxas
di tahun 1948. Namun demikian, UU tersebut ditolak oleh kalangan
bisnis Filipina sehingga dilakukan amendemen UU tersebut dan
diundangkan kembali pada tahun 1957. Barulah UU JS tersebut mulai
diterapkan untuk pegawai swasta. Pada tahun 1980 beberapa kelompok
pekerja sektor informal atau pekerja mandiri mulai diwajibkan mengikuti
program JS. Kemudian pada tahun 1992 semua pekerja informal yang
menerima penghasilan lebih dari P1.000 (sekitar Rp 200.000) wajib ikut.
Selanjutnya di tahun 1993 pembantu rumah tangga yang menerima upah
lebih dari P1.000 sebulan kemudian juga diwajibkan untuk mengikuti
program JS. Program Jaminan Sosial tersebut dikenal dengan Social
Security System (SSS). Pada saat ini, SSS mempunyai anggota sebanyak
23,5 juta tenaga kerja atau sekitar 50 persen dari anggkatan kerja,
termasuk diantaranya 4 juta tenaga kerja di sektor informal (Purwanto
dan Wibisana, 2002).i Untuk pegawai negeri, pemerintah Filipina
menyelenggarakan
program
tersendiri
yang
disebut
sebagai
Government Service Insurance System (GSIS) yang dimulai lebih awal
yaitu di tahun 1936 dan kini memiliki anggota sebanyak 1,4 juta pegawai
negeri. Angkatan Bersenjata dan Polisi memiliki sistem jaminan sosial
tersendiri yang dibiayai dari anggaran pemerintah. Kedua program
jaminan sosial pegawai pemerintah, termasuk tentara, lebih tepat
dikatakan sebagai program tunjangan pegawai (employment benefit)
dibandingkan sebagai program jaminan sosial menurut defisini
universal.
Pada
awalnya
program
jaminan
sosial
tersebut
menyelenggarakan program jaminan hari tua (old-age) kematian, cacat,
maternitas, kecelakaan kerja dan kesehatan. GSIS memberikan berbagai
pelayanan ekstra, selain pelayanan tersebut, seperti program
pemberdayaan ekonomi dan asuransi umum (Purwanto & Wibisana,
2002). Namun demikian, di tahun 1995 Pemerintah Filipina
mengeluarkan Undang-Undang Asuransi Kesehatan National (RA7875)
yang memisahkan program asuransi kesehatan dari kedua lembaga (SSS
dan GSIS) menjadi satu dibawah pengelolaan the Philippine Health
Insurance Corporation (PhilHealth), suatu badan publik yang bersifat
nirlaba (SSS, 2001).10
Manfaat yang diberikan kepada peserta SSS dan GSIS adalah (1)
uang tunai selama peserta menderita sakit dan tidak bisa bekerja paling
sedikit 4 (empat) hari, baik dirawat di rumah sakit dan di rumah sendiri.
(2) Untuk peserta wanita yang hamil, keguguran, atau melahirkan
diberikan uang tunai sebesar antara P24.000-P31.200 (antara Rp 4,4
juta- Rp 6,2 juta). Manfaat lain (3) yang menjadi hak peserta adalah uang
tunai yang dibayarkan secara lump sum atau bulanan bagi peserta yang
10
Purwanto, E dan Wibisana, W. Laporan Studi Banding Jaminan Sosial di Filipina. 18 Juni 2002.
47
menderita cacat tetap, baik parsial maupun total yang bukan disebabkan
oleh kecelakaan kerja. Manfaat selanjutnya (4) adalah jaminan hari tua
(baik lump sum maupun pensiun bulanan) ketika memasuki masa
pensiun (60 tahun). Peserta juga berhak mendapatkan jaminan kematian
(5) berupa uang tunai atau bulanan yang dibayarkan kepada ahli waris
peserta yang meninggal dunia. Dan yang terakhir (6) adalah jaminan
kecelakaan kerja yang dibayarkan apabila terjadi kecelakaan kerja.
Manfaat jaminan kecelakaan kerja ini dapat diterima bersamaan dengan
manfaat program yang lain. Untuk setiap manfaat yang berhak diterima,
peserta harus memenuhi persyaratan kepesertaan tertentu (qualifying
conditions). Selain manfaat definitif, peserta juga dapat diberikan
fasilitas kredit (loan) untuk menutupi kebutuhan uang tunai yang
mendesak dengan bunga 6 persen setahun untuk pinjaman di bawah
P15.000 dan 8 persen setahun untuk pinjaman lebih dari P15.000.
Iuran jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah 8,4 persen
sebulan (tidak termasuk iuran untuk asuransi kesehatan dan kecelakaan
kerja) yang dibayar bersama antara majikan (5,04 persen) dan pegawai
(3,36 persen). Batas maksimum upah untuk perhitungan iuran adalah
P12.000 (Rp 2,4 juta) sebulan. Iuran untuk jaminan kecelakaan kerja
adalah 1 persen dengan maksium iuran sebesar P1.000 per karyawan
yang hanya dibayar oleh pemberi kerja. Sedangkan besarnya iuran untuk
tenaga kerja informal diperhitungkan berdasarkan besarnya pendapatan
yang dinyatakan oleh calon peserta pada waktu pendaftaran dengan
batas minimum sebesar P1.000. Untuk pekerja Filipina di luar negeri,
yang dikelompokan sebagai pekerja membayar sendiritidak melalui
pemberi kerja, batas minimum penghasilan adalah P3.000 sebulan.
Untuk memudahkan perhitungan iuran, SSS mengembangkan 24
kelompok upah dan besarnya iuran untuk masing-masing kelompok
upah. Iuran untuk asuransi kesehatan adalah 2,5 persen upah sebulan
untuk menjamin biaya rawat inap saja (rawat jalan tidak dijamin).
Dengan demikian total iuran menjadi 10,9 persen (tanpa kecelakaan
kerja) dan 11,9 persen (dengan kecelakaan kerja). Sedangkan pada
GSIS, tingkat iuran lebih tinggi yaitu 12 persen dari pemberi kerja
(pemerintah) dan 9 persen dari pekerja (Purwanto & Wibisana, 2002).
PhilHealth merupakan program Asuransi Kesehatan Nasional yang
kini memiliki keanggotaan lebih dari 39 juta jiwa (lebih dari 50 persen
penduduk Filipina). Anggota Philhealth terdiri atas 55 persen pegawai
swasta, 24 persen pegawai pemerintah, 9 persen penduduk tidak
mampu, 11 persen peserta sukrela (informal), dan 2 persen adalah
peserta khusus yang tidak membayar iuran. Manfaat yang menjadi hak
peserta adalah jaminan rawat inap di rumah sakit pemerintah maupun
swasta dengan standar pembayaran yang sama. Pembayaran ke rumah
sakit didasarkan pada sistem biaya jasa per pelayanan (fee for service)
mengingat cara inilah yang kini diterima oleh rumah sakit. Pelayanan
rawat jalan sementara ini belum dijamin, karena diasumsikan penduduk
mampu membayar sendiri biaya rawat jalan yang tidak menjadi beban
berat rumah tangga. Besarnya iuran adalah maksimum 3% dari gaji yang
diperhitungkan maksimum P10.000 (sekitar Rp 2 juta). Namun demikian,
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
48
iuran yang kini dikumpulkan adalah sebesar 2,5 persen yang ditanggung
bersama antara pemberi kerja dan tenaga kerja, bagi sektor formal.
Sedangkan bagi sektor informal, iuran ditanggung sepenuhnya oleh
peserta dan bagi penduduk miskin, iuran ditanggung pemerintah pusat
dan daerah (Purwanto & Wibisana, 2002). Pada tahun 2003 ini,
PhilHealth menerima banyak sekali permintaan dari pemberi kerja untuk
memperluas jaminan dengan mencakup jaminan rawat jalan. Para
pemberi kerja akan menambahkan iuran guna memperluas jaminan
tersebut (Dueckue, 2003).11
Tabel 4.2. Kompilasi Iuran Sistem Jaminan Sosial di Filipina
Program
Iuran
Iuran
Total
Tenaga
Pemberi
Kerja
kerja
Jaminan
sosial,
5,04%
3,36%
8,4%
SSS
Kecelakaan kerja
1%
1,0%
Jaminan
sosial,
9%
12%
21,0%
GSIS
Kesehatan,
1,25%
1,25%
2,5%
PhilHealth
Total:
Swasta
6,29%
5,61%
11,9%
Pemerintah
10,25%
12%
22,25%
(3) Thailand
Program Jaminan Sosial di Thailand terdiri atas program jaminan
bagi pegawai pemerintah, pegawai swasta, dan program kesehatan.
Program yang diatur oleh UU Jaminan Sosial di Thailand dimulai pada
tahun 1990 Pemerintah Thailand mengeluarkan UU Jaminan Sosial,
namun demikian implementasinya baru dimulai enam bulan kemudian,
yaitu pada bulan Maret 1991. Dana yang terkumpul dikelola oleh suatu
badan tripartit, Dewan Jaminan Sosial, yang terdiri dari 15 orang yang
mewakili pemerintah, pemberi kerja, dan pekerja masing-masing 5 (lima)
orang. Kantor Jaminan Sosial (Social Security Office, SSO) berada di
bawah Departemen Tenaga Kerja dan Kesejahteraan. Mula-mula
program tersebut wajib bagi pemberi kerja dengan 20 karyawan atau
lebih, yang kemudian secara bertahap diwajibkan kepada pemberi kerja
yang lebih kecil. Sejak 31 Mei 2002, seluruh tenaga kerja dengan satu
atau lebih karyawan wajib menjadi peserta. Kini jumlah peserta SSO
adalah 6,59 juta tenaga kerja di Thailand, seluruh tenaga kerja formal
telah menjadi peserta
(4) Amerika Serikat
Jaminan sosial di Amerika pertama kali diundangkan pada tanggal
14 Agustus 1935 yang pada awalnya dikenal dengan naman OASDI
program (Old-Age, Survivors, and Disability Insurance). Undang-undang
jaminan sosial tersebut disetujui setelah terjadinya depresi ekonomi di
11
Dueckue, P. PhilHealth today. Presentation on the Social Health Insurance Meeting, Bangkok, July 3-6, 2003
49
12
Rejda, GE. Social Insurance and Economic Security. Prentice Hall, New Jersey, 1988 p25.
50
BAB V
REKOMENDASI:
DESAIN SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
A. PENGERTIAN DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR
Sistem perlindungan sosial di sini diartikan sebagai sebuah
sistem yang berkelanjutan yang memberikan perlindungan kepada
seluruh warga negara melalui seperangkat instrumen publik, terhadap
kesulitan ekonomi dan sosial yang berakibat pada tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar warga negara baik disebabkan karena terhentinya,
turunnya, atau tidak mencukupinya penghasilan, sakit, hamil,
kecelakaan, cacat, hari tua, kematian, bencana alam maupun
kerusuhan sosial.
Dengan pengertian seperti itu maka perlindungan sosial di sini
memiliki beberapa prinsip dasar sebagai berikut:
1. Merupakan Program Publik, dalam arti bahwa perlindungan sosial ini
ditujukan kepada dan bersifat wajib bagi seluruh warga negara yang
pengelolaanya dilakukan di bawah pengawasan negara berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
2. Perlindungan dasar, yang berarti bahwa memberikan perlindungan
yang bersifat dasar untuk menjaga harkat dan martabat manusia
3. Resiko Sosial-Ekonomis, perlindungan dalam menghadapi resiko
berbagai peristiwa sosial-ekonomis yang mengakibatkan tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar warga negara.
4. Berkelanjutan, dalam arti berkesinambungan baik dalam jangkapanjang maupun jangka pendek
5. Lintas Sektor, dalam arti bahwa perlindungan sosial ini perlu
dilakukan melalui kerjasama dan koordinasi yang baik antar sektor
baik sektor ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan, sosial, keuangan,
kependudukan, perindustrian, perdagangan, dan sektor terkait
lainnya.
Dari sisi jenis dan cara pembiayaan, perlindungan sosial ini mencakup
beberapa aspek sebagai berikut:
1. Jaminan sosial yang terdiri dari:
a. Asuransi Sosial, dimana seluruh warga negara membayar
iuran/premi guna membiayai kemungkinan terjadinya resiko
sosial-ekonomi yang dialami dengan ciri-ciri antara lain
kepesertaan bersifat wajib bagi setiap warga negara dan
dikelola dengan motif not for profit (keuntungan dikembalikan
kepada peserta).
b. Tabungan Hari Tua, dimana seluruh warga negara yang berusia
ekonomis (15-60 tahun) dan memiliki penghasilan diwajibkan
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
51
52
53
54
55
b.
Kelembagaan Pengawas
Selama ini pengawasan terhadap lembaga pengelola jaminan
sosial
dilakukan
secara
terpisah
oleh
masing-masing
departemen teknis yang terkait. PT Askes pengawasan teknisnya
dilakukan
oleh
Departemen
Kesehatan,
PT
Jamsostek
pengawasannya teksnisnya dilakukan oleh Departemen Tenaga
Kerja, PT Taspen pengawasannya dilakukan oleh Departemen
Keuangan, PT ASABRI pengawasannya dilakukan oleh Mabes
ABRI dan seterusnya. Dengan pengawasan yang terpisah seperti
itu maka kesan yang muncul adalah bahwa jaminan sosial
dilakukan secara sektoral tanpa ada keterpaduan satu sama lain.
Dengan melihat kenyataan seperti itu maka perlu dibentuk
suatu lembaga pengawas yang baru yang dapat memantau dan
mendorong
masing-masing
lembaga
pelaksana
dalam
meningkatkan kinerjanya.
c.
56
57
dasar
dalam
b.
c.
58
Soepardo, Istikanah Promotion of The Social Well-Being of Elderly People in Indonesia: A Brief
Statement, dalam UN ESCAP, Productive Ageing in Asia and the Pacific, UN, New York, 1993, p. 83
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
59
60
61
62
63
64
65
66
67
G. PRIORITAS
Rancangan kebijakan dan program sebagaimana diuaraikan di atas
--karena-berbagai keterbatasan yang ada-- tentu saja tidak bisa
dilaksanakan secara serentak. Dan oleh karena itu maka perlu dibuat
skala prioritas tentang program mana yang akan dilakukan terlebih
dahulu.
Dengan mempertimbangkan bahwa kerangka hukum tentang
jaminan sosial khususnya yang terkait dengan Rancangan UndangUndang Jaminan Sosial masih dalam proses penggodogan di tingkat
legislatif, sementara di sisi lain kondisi sosial ekonomi masyarakat
memperlihatkan masih banyak yang perlu memperoleh bantuan sosial.
Sehingga, dalam satu sampai tiga tahun kedepan upaya implementasi
kebijakan dan program sistem perlindungan sosial sebagaimana
diuraikan di atas masih diprioritaskan pada kebijakan bantuan sosial.
Selanjutnya, sebagaimana diuraikan di atas maka strategi kebijakan
bantuan sosial diarahkan untuk lebih mengefektifkan berbagai program
bantuan sosial yang dilakukan oleh pemerintah melalui atau dengan (a)
meningkatkan koordinasi antar sektor; (b) mempertajam sasaran
program bantuan sosial, dan (c) mempercepat upaya pengentasan
kemiskinan. Dengan demikian diharapkan dalam satu hingga tiga tahun
kedepan pelaksanaan bantuan sosial dapat dilakukan secara lebih efektif
dan lebih tepat sasaran melalui kerangka kebijakan yang terpadu dan
terkoordinasi antar sektor terkait.
Setelah kerangka kebijakan bantuan sosial dapat dilakukan secara
lebih efektif, terkoordinasi dan tepat sasaran serta sejalan dengan
makin baiknya kondisi sosial ekonomi masyarakat, maka baru kebijakan
perlindungan sosial lebih diarahkan pada peningkatan jangkauan
kepesertaan dan kinerja jaminan sosial. Karena sebagaimana
dikemukakan di atas bahwa meskipun tekanan demografis menunjukkan
tentang perlunya segera diwujudkan sistem jaminan sosial yang lebih
memadai, namun kondisi sosial ekonomi masyarakat masih belum
mendukung untuk itu. Besarnya angka pengangguran, banyaknya
pekerja di sektor informal, rendahnya penghasilan (upah), rendahnya
pertumbuhan ekonomi (akibat rendahnya investasi dan ekspor) yang
berdampak pada terbatasnya kesempatan kerja, merupakan beberapa
hal pokok yang menyebabkan belum memungkinkannya dilakukan
berbagai upaya yang terkait dengan usaha peningkatan kepesertaan dan
kinerja jaminan sosial. Oleh karena itu maka prioritas kebijakan dan
program perlindungan sosial dalam satu hingga tiga tahun kedepan
masih pada bantuan sosial, baru kemudian lebih diprioritaskan kepada
jaminan sosial.
68
DAFTAR PUSTAKA
Asian Development Bank. Social Protection Strategy. ADB. Manila. 2001
Armando Barrientos and Andrew Shepherd. Chronic Poverty and Social
Protection. University of Manchester, Inggris. 2003
BAPPENAS. Peta Kemiskinan di Indonesia. BAPPENAS. Mei 2003
BPS. Data dan Informasi Kemiskinan 2002 Buku 1: Provinsi. BPS.
Jakarta. Desember 2002
------. Indikator Tingkat Hidup Pekerja 2000-2002. BPS. Jakarta. Februari
2003
------. Laporan Perekonomian Indonesia 2002, BPS. Jakarta. Desember
2002
Bambang Purwoko (2002). Social Protection in Indonesia. Social
protection in Southeast & East Asia / [ed. by Erfried Adam].
Friedrich-Ebert-Stiftung. Bonn. 2002
Canagarajah, Sudharshan & S.V. Sethuraman. Social Protection and the
Informal Sector in Developing Countries: Challenges and
Opportunities, Social Protection Discussion Paper Series. The
World Bank. December 2001.
Deutsche Stiftung fur internationale Entwicklung-DSE. Discussion
Report Beyond Safety Nets: The Challenge of Social Protection
in a Globalizing World.
--------------------------------------------------------------------. Social Protection as a
Factor of National Cohesion: The Practice and Experience of
China. Ma Fengzhi. Peking University. China.
--------------------------------------------------------------------. Moving Social Protection
Beyond a Safety Net Approach in Latin America and the
Caribbean. Ana Sojo, Economic Commission for Latin America
and Caribbean-ECLAC United Nations. Chile.
--------------------------------------------------------------------. Linking Informal and
Formal Social Security Systems. Hans Gsager. German
Development Institute.
--------------------------------------------------------------------. Social Protection System
for Older People in Bangladesh. Zarina Nahar Kabir. Stockholm
Gerontology Research Center. Sweden.
Eduardo T. Gonzalez and Rosario Gregorio Manasan. Social Protection in
Philippines. Social protection in Southeast & East Asia / [ed. by
Erfried Adam]. Friedrich-Ebert-Stiftung, Bonn. 2002.
Holzmann, Robert & Steen Jorgensen. Social Protection as Social Risk
Management: Concptual Underpinnings for the Social Protection
Sector Strategy Paper, Social Protection Discussion Paper
Series. The World Bank. January 1999
International Labor Organization. Social Security and Coverage for All.
ILO. 2002
International Social Security Association (ISSA). The Social Security
Reform Debate. In Search of a New Consensus. A Summary. ISSA.
1998.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
69
70