Anda di halaman 1dari 13

PERBEDAAN HINDU INDIA DAN HINDU INDONESIA (BALI)

Made Mariana

Pesantian Hindu Ruwais-Abu Dhabi yang kedua Jumat 26 Juni 2009

Om Swastyastu,

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan banyak kemudahan


bagi kehidupan manusia di berbagai bidang. Informasi dari berbagai Negara sangat
mudah didapat dengan semakin majunya teknologi informasi. Kemudahankemudahan ini membantu kita untuk mendapatkan informasi adanya kebutuhan
tenaga Kerja di Negara-negara tetangga dengan berbagai paket yang ditawarkan.

Keadaan ekonomi yang masih belum mapan di negeri kita mendorong banyak
tenaga-tenaga professional hijrah dari Indonesia ke seluruh penjuru dunia. Dalam
kesehariannya mereka berkomunikasi dengan berbagai macam budaya, agama, ras,
suku bangsa dan bahasa.

Perbedaan yang ada menimbulkan banyak pertanyaan, hal ini wajar saja karena
sifat manusia yang memang selalu ingin mengetahui lebih dalam tentang segala
sesuatu hal. Salah satu pertanyaan yang sering kami terima dari temen-temen kerja
terutama dari agama lain adalah, Kenapa Hindu Indonesia (Bali) berbeda dengan
Hindu India..?.

Kalo dilihat dari sisi luar, perbedaan antara Hindu Indonesia dengan Hindu India
sangat kentara. Baik dari makanan yang dimakan, Pakaian sembahyang, Hari Suci
yang dirayakan maupun hal-hal lain yang bisa dilihat dengan kasat mata. Sebagai
contoh, rekan-rekan kerja kami yang berasal dari negeri anak benoa dimana Veda
diwahyukan, mereka mayoritas vegetarian, sementara kami dari Indonesia
mayoritas non vegetarian. Kami sembahyang tiga kali yang disebut dengan Tri
Sandhya, mereka temen-temen dari India biasanya sembahyang dua kali pagi dan
sore.

Sebenarnya seperti apakah spiritual Hindu itu? Mari kita renungkan bersama.

Being spiritual is being natural ungkapan ini sangat sering kita dengarkan dari
para penekun spiritual di berbagai negara. Benarkah seperti itu? Bila ditelusuri
lebih dalam, memang sesungguhnya kembali ke alam itu yang membuat kita
menjadi damai dan tenang. Angin yang sejuk, hamparan tetumbuhan yang
menghijau, gemericik air jernih sungai di pegunungan, kicauan burung yang merdu
dengan beraneka lagu dan nada, tidak bisa kita pungkiri telah membangun
kenyamanan, menciptakan ketengan pikiran dan kedamaian di hati.

Tak heran bila banyak para pelancong rela berkunjung ke Negara-negara yang jauh
dari negerinya demi mendapatkan suasana baru, yang memberikan kenyamanan.
Back to the nature katanya. Mungkin ini pula alasan kenapa Candi, Pura/Temple
dibangun di tempat-tempat yang Indah dan hijau, dipuncak gunung, di tepi pantai,
di pinggir sungai atau danau. Hal ini pun saya rasakan sendiri, ketika berada di pura
luhur Lempuyang misalnya; melihat hamparan hutan menghijau yang luas, samudra
yang membiru membentang di hadapan kita, langit yang cerah dengan sinar
mentarinya yang demikian kuat menyapu kegelapan menerangi maya pada ini,
membuat saya merasa sangat kecil, seluruh ego tersedot habis digantikan dengan
perasaan lain yang sangat nyaman yang sangat sulit dilukiskan dengan kata-kata,
mungkin ini yang disebut cinta dan kasih murni.

Demikian pula halnya Agama Hind, dalam setiap ajarannya selalu mengajarkan
kedamaian, dekat dengan alam, mempersembahkan aneka hasil alam kepada
Hyang Maha Kuasa, menghormati semua unsur di alam ini. Mulai dari tetumbuhan
dengan adanya tumpek wariga, hewan ada tumpek kandang, alat-alat atau
senjata/perkakas, tumpek landep, buku/pustaka ada hari saraswati, semua energi
atau mahluk-mahluk bawahan yang tampak maupun tidak tampak yang dikenal
dengan butha yadnya. Menjaga keharmonisan dengan Tuhan dengan upacara Deva
yadnya, dengan menjalin harmonisasi dengan sesama manusia ada upacara Rsi
Yadnya, Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya, melalui sila karma, pesantian, menyama
braya. Ketiga hubungan harmonis ini di Bali dikenal dengan Tri Hita Karana, tiga
keharmonisan yang membawa pada suasana kebahagiaan.

Keihlasan dalam segala aktivitas dan keharmonisan adalah inti dari semua aktivitas
spiritual Hindu, Keharmonisan inipun terjalin dengan budaya local yang melahirkan
senergi yang mampu menghadirkan kedamaian di setiap hati sanubari
penganutnya. Agama Hindu Dharma total lebur dengan budaya local yang
menghasilkan bentuk pemujaan yang berbeda-beda.

Kalo kita buka kembali pelajaran Agama Hindu, sesungguhnya agama kita memiliki
tiga batang tubuh (tri kerangka dasar) yang terdiri dari:

Tatwa : Filsafat
Etika: Susila
Ritual: Upacara
Untuk Tattwa/filsafat dan Etika atau Susila, akan kita temukan kesamaan di seluruh
penganut agama Hindu dimanapun mereka berada. Sumber utama dari Tattwa
adalah Kitab Suci Veda. Kemudian dijelaskan dalam Upanisad, Dharmasastra,
Itihasa/Wiracarita seperti Mahabharata dan Ramayana, Bhagavad Gita, Yoga
Wasista, Wrehaspati Tattwa, Sarasammuccaya, Srimad Bhagavatam, dan lain-lain.

Di Bali ada lagi lontar-lontar yang ditulis oleh para Mpu yang telah mencapai
tingkatan spiritual yang tinggi seperti: lontar sundari gama, lontar buana kosa,
lontar sangkul putih, dan lain-lain.

Salah satu contoh kesamaan ajaran yang bisa dijumpai di berbagai daerah di
Indonesia maupun di India adalah Lima Keyakinan yang dikenal dengan nama Panca
Sradda yaitu:

1. Percaya dengan adanya Tuhan,

2. Percaya dengan adanya Atman,

3. Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala,

4. Percaya dengan adanya Reinkarnasi/Punarbawa/Samsara,

5. Percaya dengan adanya Moksa.

Panca Sradda merupakan inti kepercayaan agama Hindu, dapat kita jumpai dengan
berbagai bahasa sesuai dengan wilayah dimana penganutnya berada.

Dalam Etika yang merupakan perwujudan nyata dari aplikasi tattwa yang telah
dipelajari, pun tampak kesamaan, semua orang Hindu akan berusaha untuk tidak
menyakiti atau menyiksa mahluk lain (Ahimsa). Semua orang hindu berusaha
memperlakukan manusia yang lain seperti saudaranya, Vasudaiva Kutum Bakam
Semua mahluk dilahirkan bersaudara. Tat Twam Asi artinya; kamu adalah aku, aku
adalah kami, bila aku menyakitimu, sama dengan aku menyakiti diriku sendiri.
Selalu berkata jujur (Arjawa), Setia pada kata hati/nurani (Satya Hredaya), Setia
pada janji (Satya Samaya), Setia pada perkataan (Satya Wacana), setia/ berani
bertanggung jawab pada perbuatannya (Satya Laksana), setia pada kawan (Satya
Mitra). Menjaga pikiran, perbuatan dan perkataannya selaras, selalu terkondisi pada
kebaikan (Tri Kaya Parisudha; Manacika =pikiran suci, Wacika=perkataan suci dan
Kayika=perbuatan yang suci).

Setiap orang hindu melakukan sembahyang memuja Tuhan dan Leluhur, melakukan
puasa, melakukan punia (yadnya) tidak perduli entah dia orang India, orang Bali,
orang Jawa, orang Sulawesi, orang Lampung, orang Lombok, orang Belgia, orang
Amerika, ataupun orang Australia.

Perbedaan mulai tampak pada kerangka dasar yang ketiga yaitu yang disebut
dengan Upacara atau Ritual dan Hari Raya. Di sini tradisi dari masing-masing
wilayah mewarnai setiap upacara yang ada. Histori di setiap daerahpun berbeda,
peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dalam perjalanan juga tidak sama, sehingga
melahirkan perayaan Hari Raya yang berbeda guna memperingati peristiwaperistiwa penting dalam sejarah kehidupan manusia yang pernah terjadi, yang
nantinya bisa selalu diingat dan dijadikan suri teladan dalam mengarungi kehidupan
di maya pada ini.

Jangankan Hindu India dan Indonesia, antara Hindu Bali dengan di Jawa saja ada
banyak perbedaan, untuk memahami perbedaan-perbedaan ini mari kita tengok
sejarah perkembangan Hindu di Bali seperti yang dituturkan oleh Ida Pandita Nabe
Sri Bhagavan Dwija dalam karyanya: Hindu dalam Wacana Bali Sentris

Pengantar Agama Hindu untuk perguruan tinggi, Cudamani, 1990 ada tujuh Maha
Rsi yaitu Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, dan
Kanwa yang menerima wahyu Weda di India sekitar 2500 tahun sebelum Masehi.

Mereka mengembangkan agama Hindu masing-masing menurut bagian-bagian


Weda tertentu. Kemudian para pengikutnya mengembangkan ajaran yang diterima
dari guru mereka sehingga lama kelamaan terbentuklah sekta-sekta yang
jumlahnya ratusan. Sekta-sekta yang terbanyak pengikutnya antara lain: Pasupata,
Linggayat Bhagawata, Waisnawa, Indra, Saura, dan Siwa Sidhanta.

Sekta Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India
tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi
pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal
dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan
Trinawindu. Yang populer di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu
disebut-sebut dalam lontar kuno seperti Eka Pratama.

Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekta Siwa
yang lain. Sidhanta artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidanta artinya kesimpulan
dari Siwaisme. Kenapa dibuat kesimpulan ajaran Siwa? karena Maha Rsi Agastya
merasa sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang
ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas.

Diibaratkan seperti mengenalkan binatang gajah kepada orang buta; jika yang
diraba kakinya, maka orang buta mengatakan gajah itu bentuknya seperti pohon
kelapa; bila yang diraba belalainya mereka mengatakan gajah itu seperti ular besar.
Metode pengenalan yang tepat adalah membuat patung gajah kecil yang bisa
diraba agar si buta dapat memahami anatomi gajah keseluruhan.

Bagi penganut Siwa Sidhanta kitab suci Weda-pun dipelajari yang pokok-pokok /
intinya saja; resume Weda itu dinamakan Weda Sirah (sirah artinya kepala atau
pokok-pokok). Lontar yang sangat populer bagi penganut Siwa Sidhanta di Bali
antara lain Wrhaspati Tattwa. Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali dilakukan
oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha.

Di India wahyu Hyang Widhi diterima oleh Sapta Rsi dan dituangkan dalam susunan
sistematis oleh Bhagawan Abyasa dalam bentuk Catur Weda. Pengawi dan ahli
Weda I Gusti Bagus Sugriwa dalam bukunya: Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991
menyiratkan bahwa di Bali wahyu Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam
Maha Rsi. Wahyu-wahyu itu memantapkan pemahaman Siwa Sidhanta meliputi tiga
kerangka Agama Hindu yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara. Wahyu-wahyu itu berupa
pemikiran-pemikiran cemerlang dan wangsit yang diterima oleh orang-orang suci di
Bali sekitar abad ke delapan sampai ke-empat belas yaitu :

DANGHYANG MARKANDEYA
Pada abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa
Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami
panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata
mirah.

Setelah menetap di Taro, Tegal lalang Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa
Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali
(banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali
maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali.

Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula
hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena
penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjukpetunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten.

Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu:
Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang.

Beliau juga mendapat wahyu ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang
gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau
menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai
simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek,
dll.

Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan
pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek
Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang
menciptakan getah.

2. MPU SANGKULPUTIH

Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan


melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang
menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur
tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan:
pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak.

Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang
raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna,
prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat
menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul
getaran-getaran spiritual.

Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar
Dukuh, Prawayah, dan Kabayan.

Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang


dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan
Hyang Widhi.

Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari
Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan,
Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll.

Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan
pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.

3. MPU KUTURAN

Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan
sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali.

Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang


mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol
palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa
Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu),
dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih.

Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal
(pangider-ider).

4. MPU MANIK ANGKERAN

Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik
Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra.

Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali
dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali
diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting
yang putus itu disebut segara rupek.

5. MPU JIWAYA

Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum
bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9).

Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang
berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjatasenjata alat perang, topeng, barong, dll.

6. DANGHYANG DWIJENDRA

Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem
Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu
dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya
adalah Padmasari atau Padmasana.

Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam
kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam
kedudukan vertikal.

Danghyang Dwijendra mempunyai Bhiseka lain : Mpu / Danghyang Nirarta, dan


dijuluki : Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra
natural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau
diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan).

Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan
rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan
peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur
tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi
subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.

Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu
tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin. Karya sastra beliau yang
terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit,
Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana,
Aji Pangukiran, dll.

Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan


Dharma wacana.

Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-pura untuk memuja beliau di
tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya : Purancak,
Rambut siwi, Pakendungan, Hulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air
Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan,
Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu,
Pucak Tedung, dll.

Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan
beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang
membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali.

Dari luar agama Hindu antar satu daerah dengan daerah yang lain tampak berbeda,
namun sesungguhnya essensinya sama, bersumber dari ajaran mahaluhur yang
universal untuk mewujudkan satyam = kebenaran, sivam=kedamaian dan
sundaram=keindahan.

Penerapan agama Hindu agar berhasil harus disesuaikan dengan tujuan (Iksha),
kemampuan (Sakti), aturan setempat (Desa) dan waktu (Kala). Namun dalam
pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan Tattwa atau kebenaran Veda. Hal
inilah yang menyebabkan Hindu di India dan Hindu di Bali atau di mana saja selalu
berbeda-beda bentuk penampilan luarnya. Lima pertimbangan ini sebagaimana
dutuliskan dalam Manawa Dharma Sastra:

Karyam soveksya saktimca

Desakaala ca tattvatah

Kurute dharmasiddhiyartham

Visvaruupam punah punah.

(Manawa Dharmasastra VIII.10)

Maksudnya:
Setelah mempertimbangkan iksha (tujuan), sakti (kemampuan), desa (aturan
setempat), kala (waktu) dan tattwa (kebenaran) untuk menyukseskan tujuan agama
(Dharmasiddhiyartha) maka ia wujudkan dirinya dengan bermacam macam wujud.

Di Bali sinergi Agama Hindu dengan budaya Bali mampu meningkatkan dan
mengembangkan kualitas budaya Bali. Dalam sinergi itu tampak Agama Hindu
sebagai titik sentral (pusat) yang menjiwai semua aspek budaya Bali. Agama Hindu
bersinergi melalui:

(1) Sistem bahasa, yakni Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno.

(2) Sistem pengetahuan.

(3) Sistem sosial seperti Desa Pakraman dan Subak.

(4) Sistem peralatan hidup dan teknologi.

(5) Sistem mata pencaharian masyarakat.

(6) Sistem religi, Agama Hindu menghargai kepercayaan lokal, dan

(7) Sistem kesenian seperti Seni Wali (sakral), Seni Bebali (dapat berfungsi sebagai
seni sakral dapat pula untuk kegiatan profan), dan Seni Balih-Balihan (hanya untuk
hiburan) .

Upacara hendaknya lahir dari hati yang tulus, ikhlas melaksanakan semua
aktivitasnya, ikhlas untuk mengorbankan waktu, tenaga, materi dan pikiran. Bentuk
aturan/sesajen yang dipersembahkan hendaknya berasal dari keringat sendiri,
bukan dari hasil mencuri, meminta atau menipu.

Pelaksanaan aktivitas spiritual sifatnya sangatlah pribadi dan bergantung pada


individu masing-masing. Walaupun yang dipelajari sama tapi pengertian dan
pemahaman setiap orang itu sangatlah unik, satu sama lain tidak sama, karena
manusia memiliki pengalaman yang berbeda, pengetahuan yang berbeda,
dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan tempat yang berbeda, latar belakang
pendidikan yang berbeda, memiliki bakat dan minat yang berbeda pula, pendek
kata memiliki guna dan karma yang tidak sama.

Kemerdekaan setiap individu yang merupakan anugrah Hyang Widhi dalam Hindu
sangatlah dijaga baik dalam berfikir, berkata dan berbuat. Hindu Dharma tidak
pernah menuntut sesuatu pengekangan yang tidak semestinya terhadap
kemerdekaan dari kemampuan berpikir, kemerdekaan dari perasaan dan pemikiran
manusia. Ia memperkenalkan kebebasan yang paling luas dalam masalah
keyakinan dan pemujaan. Hindu Dharma adalah suatu agama pembebasan. Ia
memperkenalkan kebebasan mutlak terhadap kemampuan berpikir dan perasaan
manusia dengan memandang pertanyaan-pertanyaan yang mendalam terhadap
hakekat Tuhan Yang Maha Esa, jiwa, penciptaan, bentuk pemujaan dan tujuan
kehidupan ini. Hindu Dharma tidak bersandar pada satu doktrin tertentu ataupun
ketaatan akan beberapa macam ritual tertentu maupun dogma-dogma atau bentukbentuk pemujaan tertentu. Ia memperkenalkan kepada setiap orang untuk
merenungkan, menyelidiki, mencari dan memikirkannya, oleh karena itu, segala
macam keyakinan/Sraddha, bermacam-macam bentuk pemujaan atau Sadhana,
bermacam-macam ritual serta adat-istiadat yang berbeda, memperoleh tempat
yang terhormat secara berdampingan dalam Hindu Dharma dan dibudayakan serta
dikembangkan dalam hubungan yang selaras antara yang satu dengan yang
lainnya

Hindu Dharma sangatlah universal, bebas, toleran dan luwes. Inilah gambaran
indah tentang Hindu Dharma. Seorang asing merasa terpesona keheranan apabila
mendengar tentang sekta-sekta dan keyakinan yang berbeda -beda dalam Hindu
Dharma; tetapi perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya merupakan berbagai tipe
pemahaman dan tempramen, sehingga menjadi keyakinan yang bermacam-macam
pula. Hal ini adalah wajar. Hal ini merupakan ajaran yang utama dari Hindu Dharma;
karena dalam Hindu dharma tersedia tempat bagi semua tipe pemikiran dari yang
tertinggi sampai yang terendah, demi untuk pertumbuhan dan evolusi mereka.
(Svami Sivananda,1988:134).

Hindu Dharma mempunyai banyak kamar untuk setiap keyakinan dan Hindu
Dharma merangkum semua keyakinan tersebut dengan toleransi yang sangat luas.
(Max Muller)

Agama Hindu menyerupai sebatang pohon yang tumbuh perlahan dibandingkan


sebuah bangunan yang dibangun oleh arsitek besar pada saat tertentu. (Dr. K.M.
Sen)

Perbedaan adalah sesuatu yang sangat alamiah sifatnya. Sangatlah wajar bila ada
perbedaan antara satu wilayah dengan wilayah yang lain dalam satu negara,
apalagi dalam teriorial yang lebih besar, antara Hindu India dan Hindu Indonesia.
Namun hendaknya perbedaan ini janganlah dipertentangkan, ini dipahami sebagai
sesuatu yang alami. Perbedaan ini merupakan bukti nyata betapa alamiahnya
Agama Hindu, sangat sesuai dengan pernyataan awal Being spiritual is being
natural.

Untuk mengakhiri karya kecil ini perkenankanlah saya mengutip pernyataan dari
tokoh agama kita Mahatma Gandhi (2004:166)

Aku tidak ingin setiap sisi rumahku tertutup tembok dengan jendela serta pintu
yang terkunci. Aku ingin budaya dari semua negeri berhembus ke dalam rumahku
sebebas mungkin. Yang ada padaku bukanlah suatu agama yang seperti penjara

Anda mungkin juga menyukai