Anda di halaman 1dari 8

TAUKID & ATHOF (AL-FIYAH IBN MALIK) By Muhammad Yasin, Is4:06 PMNo

comments BAB TAUKID


Kalimah Isim
menjadi tertaukidi oleh lafazh taukid an-Nafsi atau al-Aini beserta ada Dhamir
mencocoki pada Isim Muakkad. Jamakanlah kedua
lafazh taukid tsb dengan wazan AFULU jika keduanya tabi pada Isim selain mufrad
(Mutsanna/Jamak), maka jadilah kamu Muttabi (pengikut yg benar). Taukid itu ada dua
macam yaitu taukid lafdzi dan taukit makanawi. Taukid maknawi ada dua macam : Pertama
adalah lafadz yang berfungsi untuk melenyapkan anggapan lain yang berkaitan dengan lafadz
yang ditaukidkan. Hal inilah yang dimaksud oleh dua bait ini. Jenis ini mempunyai dua lafadz
yaitu lafadz an-nafsu dan al-ainu. Contoh : zaid datang sendiri Lafadz nafsuhu
berkedudukan sebagai taukid yang mengukuhkan makna lafadz zaidun, berfungsi
melenyapkan anggapan lain yang mengatakana bahwa zaid beritanya telah datang atau

utusannya telah datang. Seperti contoh diatas : zaid telah datang sendiri

Ucapkanlah untuk taukid syumul (menyeluruh) dengan


lafazh Kullu, Kilaa, Kiltaa dan Jami yg disambung dengan dhamir. Jenis kedua dari taukid
maknawi yaitu lafadz yang digunakan untuk melenyapkan anggapan yang meniadakan
pengetian menyeluruh. Untuk tujuan itu digunakan lafadz kullun, kilaa, kiltaa dan jamiun.
Dikukuhkan dengan memakai lafadz kullun dan jamiun sesuatu yang memiliki beberapa
bagian, sedangkan sebagian diantaranya dapat menduduki tempat sebagian yang lain.
Seperti : kafilah itu telah datang semuanya kafilah itu seluruhnya
telah datang Tidak boleh mengatakan Lafadz kilaa diperuntukkan bagi tasniyah
mudzakar : Lafadz kiltaa diperuntukkan bagi tasniyah muanas :
Masing-masing harus dimudhafkan kepada dhomir yang telah diketengahkan dalam contohcontoh tadi. Demikian juga mereka
menggunakan wazan Faailatu dari lafazh Amma (Aammatu) seperti faidah Kullu (untuk
syumul) didalam taukid. Serupa bunyi lafazh Naafilatu. Orang-orang arab menggunakan
ammatun untuk menunjukkan makna yang menyeluruh sama dengan lafadz kullun lalu
dimudhafkan kepada dhamir lafadz yang ditaukidinya seperti : kaum itu
sebagian besarnya telah datang Akan tetapi sedikit sekali dari kalangan ahli nahwu yang
menganggapnya sebagai salah satu bagian lafadz taukid . hanya imam sibawaih
menganggapnya sebgai salah satu huruf taukid. Penulis kitab ibnu aqil telah mengatakan
karena mempunyai pengertian yang semisal dengan lafadz an-nafilah, hal ini menunjukkan
bahwa kemasukan lafadz ammatun kedalam lafadz taukid mirip dengan nafilah, karena
kebanyakan ahli nahwu mengatakan : Sesudah lafadz
kullun mereka mentaukidkan pula dengan lafadz ajmaa, jamau, ajmaina kemudian jumaa
Didatangkan sesudah lafadz kullun yaitu lafadz ajmaa dan lafadz-lafadz sesudahnya dalam
bait tadi untuk mengukuhkan pengertian menyeluruh. Untuk itu dapat didatangkan lafadz
ajmaa sesudah lafadz kulluhu, contoh : kafilah itu seluruhnya telah datang
semua. Didatangkan lafadz jamaauu sesudah lafadz kulluha : kabilah itu
seluruhnya telah datang semua Lalu dapat pula didatangkan lafadz ajmaina sesudah lafadz
kulluhum : laki-laki itu seluruhnya telah datang semua. Dapat
didatangkan lafadz jumau sesudah lafadz kulluhunna : hindun-hindun itu
seluruhnya telah datang semua. Terkadang selain
kullun disebutkan lafadz ajmau, jamau, ajmaauuna kemudian lafadz jumau. Terkadang
orang-orang arab menggunakan lafadz ajmaa untuk tujuan taukid tanpa didahului dengan
lafadz kulluhu, seperti : bala tentara itu telah datang semuanya. Lafadz jamau
terkadang digunakan pula tanpa didahului oleh lafadz kulluha, seperti :
kabilah itu semua telah datang. Lafadz jamau terkadang digunakan pula tanpa didahului oleh
lafadz kulluha. kaum itu semuanya telah datang Lafadz jumau dapat pula
dipakai untuk tujuan taukid sekalipun tanpa didahului dengan lafadz kulluhunna seperti :

wanita-wanita itu semuanya telah datang Ibnu malik beranggapan bahwa hal seperti
yang tersebut diatas sedikit pemakainya.
Apabila
taukid ini memberi pengertian pengukuhan terkadang isim nakiroh, masih tetap diterima,
tetapi menurut ulama nahwu bashrah hal ini termasuk diantara hal yang tidak diperbolehkan.
Menurut madzhab ulama nahwu basrah, tidak boleh mentaukidkan isim nakiroh, apakah
bersifat terbatas seperti lafadz yaumun, lailatun, syarhun, haulun atau bersifat tidak terbatas
seperti lafadz waqtun, zamanun, hiinun. Menurut ulama kufah, mentaukidkan isim nakiroh
hukumnya dibolehkan karena taukid yang dimaksudkan dapat memberikan faedah, contoh :


aku telah berpuasa selama sebulan penuh.
Cukupkanlah dengan kilta dalam mustanna dan demikian pula kilaa daripada wazan

falaa-u dan wazan afala Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan, bahwa mustanna
dikukuhkan maknanya dengan memakai lafadz an-nafsu dan al-ainu, dengan killa serta kilta.
Menurut madzab ulama nahwu basroh, ungkapan taukid tidak boleh digunakan selain lafadzlafadz tersebut. Untuk itu tidak dapat dikatakan : Sebagaimana tidak dapat
dikatakan pula : Cukup hanya mengandalkan kilaa dan kiltaa sebagai
pengganti dari yang lainnya. Akan tetapi ulama kuffah memperbolehkan hal seperti contoh
Apabila dhamir yang muttasil
diatas.


ditaukidkan (dikukuhkan maknanya) dengan memakai lafadz an-nafsi dan al-aini, maka ini
dibolehkan sesudah diadakan dhamir munfasil. Kami
bermaksud dhamir muttasil yang marfu dan mereka (ahli nahwu) mengukuhkan dengan
selain keduanya (an-anfsu dan al-ainu) sedangkan qaid (ikatan) ini tidak ditetapi lagi (oleh
mereka). Tidak diperbolehkan mentaukidkan dhamir muttasil yang marfu dengan memakai
lafadz al-ainu, kecuali sesudah dikukuhkan terlebih dahulu dengan dhamir munfasil. Untuk
itu harus seperti berikut : berdirilah kamu sekalian semuanya
berdirilah kamu sekalian semuanya Tidak boleh mengatakan menjadi secara
langsung tanpa mengukuhkan dhamir muttasil dengan dhamir munfasil terlebih dahulu.
Tetapi mentaukidkannya dengan selain lafadz an-nafsu dan al-ainu, maka ketentuan tersebut
tidak diharuskan lagi. Untuk itu dapat mengatakannya seperti berikut : berdirilah
kalian semuanya berdirilah kamu sekalian semuanya. Demikian pula ketentuan
ini tidak diharuskan lagi apabila lafadz yang mentaukidkan bukan dhamir rofa.
Seumpamanya yang mentaukidkan dhamir yang manshub atau yang majrur.
Taukid lafdzi adalah lafadz yang diulang-ulang, seperti dalam
perkataan udruji (naiklah-naiklah) Bait ini menjelaskan tentang bagian kedua dari jenis
taukid, yaitu taukid lafdzi. Yang dimakksud adalah mengulangi lafadz yang pertama untuk


menonjolkan kepentingannya. Seperti : naiklah-naiklah

Janganlah mengulangi sebutan lafadz dhamir muttasil, kecuali bila


menyebutkannya beserta lafadz yang muttasil dengangannya Apabila bermaksud mengulangi
lafadz dhamir muttasil untuk tujuan taukid, hal ini tidak boleh kecuali dengan satu syarat,
yaitu hendaknya disambungkan denga lafadz yang mentaukidi. Contoh : aku telah
bersua denganmu denganmu Sehubungan dengan masalah ini tidak boleh mengatakannya

seperti :
Demikian pula taukid huruf selain
untuk jawaban seperti lafadz naam dan bala Demikian pula apabila bermaksud
mentaukidkan huruf yang bukan untuk jawaban, diharuskan mengulangi huruf yang ada pada
muakkid, lalu sambungkan disambungkan dengan muakkad. Contoh :
sesungguhnya zaid sesungguhnya zaid berdiri. Dalam hal ini tidak boleh mengatakan
Apabila huruf taukid ini berupa jawaban seperti lafadz naam, bala, jairi, ajal, iy dan laa.
Maka boleh mengulangi sendiri. Untuk itu seandainya dikatakan apakah zaid telah

berdiri ? maka dapat menjawab seperti berikut ya.. ya..

Dhamir rofa yang munfasil boleh digunakan untuk mentaukidi semuanya



dhamir yang muttasil Dhamir rofa munfasil boleh digunakan untuk mentaukidi semua

dhamir muttasil. Apakah dhamir muttasil yang dimaksud dalam keadaan marfu seperti :
engkau telah berdiri, engkau berdiri. Atau dalam keadaan manshub seperti :
engkau telah menghormatiku, aku sendiri Atau dalam keadaan majrur : aku telah
bersua dengannya, dia sendiri. BAB ATHAF ATHAF BAYAN
Athaf terbagi: pertama Athaf Bayan, kedua Athaf Nasaq.

Sasaran kali ini menerangkan bagian Athaf yg pertama (Athaf Bayan).


Athaf Bayan adalah Tabi menyerupai sifat, yang-mana hakekat yang
dimaksud menjadi terungkap dengannya. Athaf ada dua macam yaitu athaf nasaq dan athaf
bayan. Athaf bayan adalah tabi yang jamid lagi menyerupai sifat didalam menjelaskan
perihal matbunya serta terikat oleh lafadz sebelumnya, seperti : abu
hafsh alias umar telah bersumpah dengan nama Alloh. Lafadz umaru merupakan athof bayan
karena berfungsi menjelaskan lafadz abu hafsh. Dikecualiakan dari perkataan pensyarah
jamid yaitu sifat karena sifat adalah lafadz yang musytaq atau mengandung tawil lafadz
yang jamid. Lalu dikecualikan pula sesudah bentuk taukid dan athof nasaq karena
sesungguhnya kedua jenis ungkapan ini tidak berfungsi menjelaskan lafdz yang diikutu
keduanya. Dikecualikan pula dari hal tersebut badal yang jamid, karena badal yang jamid

Maka
bersifat menyendiri (bebas dan tidak terikat)
perlakukanlah athaf bayan menurut apa yang ada pada lafadz yang pertama dengan
perlakukan yang sama dengan naat terhadap lafadz yang dimanutinya Mangingat athaf
bayan itu mirip dengan sifat, maka diharuskan menyesuaikan diri dengan matbunya,
perihalnya sama dengan naat. Untuk itu harus disesuaikan dengan matbunya baik dalam
masalah tarif dan tankirnya, baik dalam masalah tadzkir dan tanisnya dan baik dalam
masalah ifrad, tasniyah dan jamaknya. Terkadang athaf dan
mathuf kedua-duanya dalam bentuk nakiroh dan terkadang pula kedua-duanya dalam bentuk
malrifat Sebagian besara ulama nahwu berpendapat, bahwa athaf bayan dan matbunya
kedua-duanya nakirah, merupakan hal yang dilarang. Sedangkan seholongan hali nahwu,
antara lain adalah ibnu malik berpendapat bahwa hal itu diperbolehkan. Dengan demikian
berarti keduanya memperbolehkan dalam bentuk nakirah, sebagaimana boleh keduanya
dalam bentuk makrifat. Menurut suatu pendapat diantara contoh athof dan matbunya adalah
firman Alloh SWT : yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
banyak berkahnya (yaitu) pohon zaitun. (an nur : 35) Lafadz zaitunatin adalah atof bayan

bagi lafadz syajarotin.
Athoaf bayan dapat dilihat dari
segi kelayakannya untuk dijadikan badal pada selain contoh yaa ghulamu yamuro (hai
pelayan alias yamuro)
Selain contoh bisyrin yang
menjadi tabi dari lafadz al-bakri, hal ini tidak dapat dijadikan sebaga badal. Setiap lafadz
yang dapat dijadikan athaf bayan dapat pula dijadikan sebagai badal. Contoh :
aku telah memukul abu abdulloh alias si zaid. Dikecialikan dari hal tersebut dua masalah
yang didalamnya tabi hanya menjadi athof bayan dan tidak dapat dijadikan sebagai badal
yaitu : Pertama, hendaknya tabi dalam bentuk mufrod, makrifat lagi murob. Sedangkan
matbunya berkedudukan sebagai munada (subyek yang dipanggil), contoh : hai
pelayan alias si yamuro Dalam keadaan seperti diatas lafadz yakmuro ditentukan menjadi
athof bayan. Dan tidak dapat dijadikan sebagai badal. Karena badal itu disertai dengan niat
mengulangi amil. Lafadz yakmuro seharusnya dimabni dhomahkan, karena seandainya
diucapkan dengan memakai ya nida, maka barulah dapat dikatan sebagai badal. Kedua,
hendaknya tabi terbebas dari al. sedangkan matbunya memakai al, lalu dimudhafkan pula
kepada sifat yang mengandung al. Seperti : aku adalah orang yang
memukul lelaki itu alias si zaid. Dalam keadaan seperti contoh diatas, lafadz zaidin
ditentukan hanya sebagai athaf bayan, tidak boleh dianggap sebagai badal dari lafadz arrojuli. Karena sesungguhnya bentuk ungkapan badal itu disertai dengan niat mengulangi
amil, jika demikian berrati makna contoh tadi adalah seperti dan hal itu tidak

boleh, karena telah diketahui dalam bab idhofah, bahwa sifat apabila dibarengi dengan al
tidak boleh dimudhafkan kecuali hanya kepada lafadz yang mengandung al atau dimudhafkan
kepada lafadz yang dimudhafkan lagi kepada lafadz yang n=mengandung al. Seperti :
aku adalah orang yang memukul lelaki itu alias si zaid. Contoh lain :
, Aku adalah anak orang yang meninggalkan bakar alias
bisyr yang diatasnya terdapat burung (pemakan bangkai) selalu menunggu kematiannya.
Lafadz bisyrin berkedudukan sebagai athaf bayan dan tidak dapat dianggap sebagai badal.
Ibnu malik menyatakan ( tidak dibenarkan bila dijadikan sebagai badal)
Hal ini mengisyartkan, bahwa memperbolehkan lafadz bisyrin sebagai badal, merupakan hal
yang tidak disukai. Sehubungan dengan masalah ini dia mengingatkan pada perbedaan
pendapat antara imam al-farrad dan al-farisi. ATHAF NASAQ


Isim tabi yg mengikuti dg huruf penghubung (antara Tabi dan

Matbunya), demikian definisi Athaf Nasaq. Seperti contoh Ukhshush bi waddin wa
tsanaain man shadaqa = Istimewakan..! dengan belas kasih dan sanjungan terhadap orangorang yg jujur. Athaf nasaq adalah tabi yang antara ia dengan matbunya ditengai oleh salah
satu huruf. Contoh : khususkanlah kecintaan dan pujianmu kepada
orang yang berteman denganmu.
Athaf yg
mengikuti secara Mutlaq (lafazh dan Makna) yaitu dengan huruf Athaf Wawu, Tsumma, Fa,
Hatta, Am, dan Aw. Seperti contoh Fiika shidqun wa wafaa = kamu harus jujur dan
menepati. Huruf athaf ada dua amcam yaitu : Pertama, matuf dan matuf alaih secra mutlak
mempunyai kesamaan yang melaluinya, baik dari segi lafadz maupun hukumnya. Huruf yang
dimaksud adalah Wawu seperti telah datang zaid dan amr. Tsumma seperti
telah datang zaid kemudian amr. Fa seperti telah datang zaid dan amr.
Hatta seperti telah tiba jamaah haji itu dan orang-orang yang berjalan kaki
Am seperti apakah orang yang disisimu itu zaid atau amr ? Au seperti
telah datang zaid atau amr. Kedua, adalah huruf yang mengaitkan antara matuf dan
matuf alaih dari segi lafadznya saja. Hal ini yang dimaskud dengan perkataan :
Sedangkan huruf Athaf yg cukup mengikutkan secara
lafazhnya saja, yaitu Bal, Laa dan Laakin. Seperti contoh Lam yabdu imruun laakin tholaa
tidak tampak seorangpun melainkan anak rusa. Ketiga, huruf ini yang membuat lafadz yang
kedua bersamaan dengan lafadz yang pertama dalam hal Irobnya bukan dalan hal hukumnya,
contoh : zaid tidaklah berdiri melainkan amr. zaid telah datang

bukan amr jangan engkau memukul zaid tetapi amr.


Athaf kanlah dengan memakai wawu lafadz yanga akan menyusul
atau yang mendahului dalah hal hukum, atau lafadz yang berpengertian bersamaan lagi
bersesuaian. Huruf wawu untuk menunjukkan muthlaqul jamI menurut madzhab ulama
nahwu bashrah. Apabila mengatakan zaid dan amr telah datang. Hal ini
menunjukkan kepada pengertian kebersamaan antara zaid dan amr dalam hal kedatangannya.
Adakalanya kedatangan amr sesudah zaid atau datang datang sebelum zaid atau datang
bersamaan dengannya, sesungguhnya hal ini tidak jelas, kecuali jika ada qarinah yang
menunjuk kepada hal ini, seperti : telah datang zaid dan sesudah itu amr.
telah datang zaid dan sebelum itu amr. telah datang zaid
dan amr secara bersamaan Dengan demikian berarti huruf wawu dapat dipakai sebagai huruf
athaf untuk lafadz yang mempunyai pengertian akan menyusul, yang mendahului dan yang
bersamaan. Manurut ulama nahwu kuffah, huruf wawu ini dipakai untuk menunjukkan
makana tertib, akan tetapi pendapat ini dapat disanggah dengan mengemukakan contoh
firman Alloh SWT : Kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan

kita didunia ini, kita mati dan kita hidup. (Al-Muzammil : 37)


Khususkanlah wawu ini untuk mengatofkan lafadz yang matbunya
tidak dapat terlepas dari tabinya, seperti isthaffa hadzawa ibni (bariskanlah orang ini dengan

anakku) Huruf athaf wawu mempunyai tersendiri dari huruf-huruf athof yang lainya, yaitu
dijadikan sebagai huruf athaf untuk suatu hal dimana mathuf alaih tidak dianggap memberi
pengertian yang cukup kecuali dengan matufnya, contoh : telah bersengketa
zaid dengan amr. Seandainya dikatakan ( telah bersengketa zaid), hal ini tidak
diperbolehkan. Sama dengan contoh diatas adalah lafadz-lafadz berikut :
bariskanlah orang ini dengan anakku. Dalam keadaan seperti ini diatas tidak boleh
menggunakan huruf athaf fad an huruf athaf lainnya, kecuali wawu.

Huruf
athaf
fa
untuk
menunjukkan
makna
urutan
secara
langsung
dan tsumma

untuk menunjukkan makana urutan secara terpisah (tidak langsung) Huruf athaf fa untuk
menunjukkan pengertian keterbelakangan mathuf atas mathuf alaihnya secara muttasil
(langsung) tanpa ada tenggang waktu. Sedangkan tsumma untuk menunjukkan
keterbelakangan mathuf atas mathuf alaihnya secara terpisah, yakni memakai tenggang
waktu. Contoh : zaid telah datang lalu amr. telah datang zaid
kemudian amr.



Khususkanlah huruf athaf
fa untuk mengathafkan lafadz yang tidak memiliki shilah (penghubung) untuk dihubungkan
kepada lafadz yang dapat ditetapkan bahwa ia adalah shilah-nya. Huruf fa mempunyai
keistimewaan tersendiri yaitu dapat dijadikan sebagai huruf athaf yang menghubungkan
antara lafadz yang tidak layak untuk menjadi shilah karena mengandung dhamir mausul
dengan lafdz yang layak untuk dijadikan sebagai shilah karena mengandung dhamir mausul.
Contoh : hewan terbang yang membuat zaid marah adalah lalat Tidak
boleh mengatakan atau karena huruf fa mengandung sababiyah. Karena itu
keadaan rabith tidak dibutuhkan sebab cukup dengan fa. Diperbolehkan mengatakan :
hewan terbang yang membuat zaid marah karenany adalah lalat. Karena
terdapar dhamir rabith yang menghubungkan antara shilah dan mausulnya.



Athafkanlah dengan memakai hatta makna sebagian terhadap

makna keseluruhan, dan tidaklah makna yang dikandungnya kecuali merupaka tujuan dari
lafadz yang mengirinya. Disyaratkan untuk lafadz yang diathafkan memakai hatta, hendaknya
menjadi bagian dari lafadz sebelumnya dan merupakan tujuan baginya dalam hal
penambahan atau pengurangan, seperti : manusia pasti akan mati hingga
para nabi. Dengan am athafkanlah sesudah
hamzah taswiyah, atau sesudah hamzah yang menggatikan kedudukan lafadz ayyun. Huruf
am ada dua jenis. 1. Am muqathiah 2. Am muttashilah Am muttashilah adalah am yang
terletak sesudah hamzah taswiyah. Contoh : bagiku sama saja, apakah
kamu berdiri atau duduk. Juga am yang terletak sesudah hamzah yang membutuhkan lafadz
ayyun, contoh : apakah zaid yang ada disisimu ataukah amr ? makana yang
dimaksud adalah : manakah diantara keduanya yang berada disisimu ?
Terkadang hamzah digugurkan apabila kesamaran maknanya
dapat dihindari sekalipun dibuang. Terkadang hamzah tasywiyah dan hamzah yang
menggantikan ayyun ini dibuang apabila keadaannya aman dari kekeliruan pamahaman.
Kedudukan am tetap muttashilah sama halnya ketika hamzah masih ada. Contoh :
Sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak (Al-Baqarah : 6)
Bacaan ayat ini dengan menggugurkan hamzah dari lafadz andzartahum.
Am ini dinamakan muqathi dan mengandung makna bal apabila
terlepas dari ikatan-ikatan tadi. Dengan kata lain, apabila am tidak didahului oleh hamzah
tasywiyah dan tidak pula didahului oleh hamzah yang mengandung makna ayyun, maka ia
adalah am muqathiah. Kala itu maknanya menunjukkan idhrab sama dengan makna yang
dimiliki oleh lafadz bal. seperti : . Tidak adakeraguan
didalamnya, (diturunkan) dari rabb swemesta alam, atau (patutlah) mereka mengatakan
Muhammad membuat-buatnya (yunus : 37-38) Makna yang dimaksud adalah :
Pilihlan, perbolehkanlah, bagikanlah dengan

memakai au dan ibhamkanlah serta ragukanlah (dengan memakainya) dan terkadang pula
dapat digunakan untuk makan idhrab. Huruf athaf au dapat dipakai untuk makna takhyir
(memilih), seperti : ambilah sebagian dari hartaku, dirham atau dinar.
Dapat pula dipakai untuk makan ibahah, contoh : bergaullah dengan
alhasan atau ibnu sirin. Perbedaan antara makna ibahah dan takhyir ialah, ibahah tidak ada
larangan bila dihimpun, sedangkan takhyir dilarang. Au dapat pula dipakai untuk makana
taqsim (pembagian). Au dapat dipakai pula untuk tujuan ibham terhadap pendengar
(menyembunyikan maksud yang sebenarnya terhadap pendengar). Seperti Hal
tersebut dikatakan apabila telah diketahui siapa sebenarnya yang datang diantara keduanya.
Dengan maksud menyembunyikan hal yang sesungguhnya terhadap si pendengarnya. Huruf
athaf au juga dipakai untuk makna syak (ragu), seperti Huruf athaf au juga
dipakai untuk makna idhrab. Terkadang au dipakai
untuk menggantikan wawu, yaitu apabila orang yang mengucapkannya merasa aman dari
kekeliruan pemahaman. Terkadang au dipakai untuk makna yang sama dengan wawu apabila
keadaanya aman dari kekeliruan pemahaman, seperti : ,
Ia menduduki tahta kekhalifahan dan memang kekhalifahan itu merupakan kepastian
baginya, sama halnya dengan nabi musa yang mendatangi rabbnya berdasar sesuatu kepastian
(takdir) baginya.
Sama maknanya dengan au, yaitu
imam yang kedua sepeti dalam contoh ini, imam dzi waimma naa iyyah (adakalanya orang
ini atau orang yang jauh itu) Atau dengan kata lain, bahwa imam yang didahului oleh huruf
yang semisal dengannya dapat memberi pengertian yang sama dengan apa yang diberikan
oleh au. Yaitu adakalanya untuk makna takhyir seperti : Ambillaj
sebagian dari hartaku baik yang dirham ataupun yang dinar. Adakalahnya dipakai untuk
makna ibahah, contoh : Pergalilah alhasan atau ibnu syirin.
Adakalanya dipakai untuk taqsim, contoh : Kalimah itu
adakalanya isim, atau fiil atau huruf. Sebagian dapat dipakai makna ibham dan syak, contoh :

telah datang adakalanya zaid atau amr.
Ikutilah lakin dengan nafi atau nahi, dan laa dengan nida atau amar atau istbat. Lafadz

lakin dipakai untuk tujuan athaf hanya sesudah nafi seperti : aku tidak
memukul zaid tetapi amr. Atau sesudah nahi, contoh : jangan memukul
zaid tapi amr. Huruf laa dipakai sebagai huruf athaf sesudah nida seperti : hai
zaid, bukan amr. Dipakai juga sesudah amar seperti : pukullah zaid jangan
amr. Sebagian juga dapat dipakai sesudah kalam itsbat (bukan kalam nafi) seperti :
zaid telah datang bukan amr. Huruf laa tidak boleh dijadikan sebagai athaf sesudah nafi,
untuk itu tidak boleh dikatakan . lakin tidak boleh dijadikan huruf athaf
dalam kalam itsbat, untuk tidak boleh dikatakan :

Bal sama dengan lakin sesudah kedua keadaan yang mengikutinya lam akun fi
marbain bal taihan (bukanlah aku berada dalam kebun tetapi padang sahara)

Pindahkanlah hukum yang pertama kepada yang kedua melalui

bal dalam kalam khabar yang mutsbat, yang amar (kata perintah) yang jelas. Kalam nafi dan
nahi dapat memakai athaf bal, dalam keadaan seperti itu lafadz bal sama maknanya dengan
lakin. Yaitu menetapkan hukum lafadz sebelumnya dan mengukuhkan kebalikannya bagi
lafadz sesudahnya, contoh : tidaklah zaid berdiri tetapi amr.
jangan memukul zaid tetapi amr. Lafadz bal menetapkan makana nafi dan nahi yang
telah mendahuluinya dan mengukuhkan pekerjaan berdiri bagi bagi amr serta perintah untuk
memukulnya. Bal dapat dipakai sebagai huruf athaf dalam khabar yang mustbat, dan amar
dalam keadaan seperti ini memberi faedah makna idhrab (tolakan) untuk lafadz yang
pertama, lalu mengalihkan hukum lafadz yang pertama kepada lafadz yang kedua. Sehingga
seakan-akan lafadz yang pertama merupakan hal yang tidak disinggung-singgung lagi, contoh
: zaid telah berdiri bahakan amr pukullah zaid bahkan amr.




Apabila mengathafkan kepada dhamir rafa

yang muttasil, maka pisahkanlah dengan dhamir munfashil.



Atau pemisah apapun dan sering didalam nadham (syair) hal ini tidak
memakai pemisah, tetapi yakinilah bahwa hal tersebut dianggap lemah. Apabila
mengathafkan dhamir rafa yang muttasil dengan lafadz yang diathafkan kepadanya dengan
sesuatu. Kebanyakan pemisah ini berupa dhamir munfashil, seperti yang terdapat pada firman
Alloh : Sesungguhnya kalian yakni kalian dan bapak-bapak
kalian berada dalam kesatuan yang nyata. (al-anbiya : 54) Dhamir marfu yang mustatar
dalam masalah ini sama kedudukannya dengan dhamir muttasil, contoh :
pukullah oleh kamu dan zaid. Ibnu malik menyatakan : sering kali dalam syair
tidak memakai pemisah. Hal ini mengisyaratkan bahwa terkandung didalam kalam adham
lafadz yang diathafkan kepada dhamir tersebut tidak memakai pemisah lagi (langsung).
Hanya sedikit hal semacam ini (tanpa pemisah) dalam kalam natsar. Dapat dsimpulkan dari
pernyataan tadi, bahwa mengathafkan sesuatu lafadz kepada dhamir marfu yang munfasil
tidak membutuhkan pemisah lagi. Demikian pula apabila dhamir manshub muttasil dan
munfasil. Contoh : zaid aku telah memukulnya dan pula amr.
tidaklah aku menaruh rasa hormat kecuali kepada kamu dan amr.

Mengulangi huruf jar sewaktu diathafkan kepada dhamir yang



Tetapi
dijarkan merupakan suatu keharusan.

menurutku (penulis) bukan merupakan suatu keharusan sebab hal ini terkadang disebutkan
pula baik dalam kalam nastar maupun nadham dianggap sebagai hal yang dibenarkan.
Kebanyakan ulama nahwu mengharuskan huruf jar diulangi apabila suatu lafadz diathafkan
kepada dhamir yang majrur. Karena secara idioms hal ini ada baik dalam kalam nastar
maupun kalam nadham. Yakni mengathafkan suatu lafadz kepada dhamir majrur tanpa
mengulangi huruf jar lagi. Contoh : Dan bertaqwalah kepada
Allah yang dengan (memakai) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain. (an-nisa : 1)
Huruf athof fa dan wawu terkadang dibuang
berserta lafadz yang diatofkan dengannya karena tidak ada kekeliruan pemahaman, tetapi
huruf atof wawu mempunyai keistimewaan tersendiri.
Yaitu amil yang diatofkan dapat dibuang, sedangkan mamulnya masih tetap ada untuk
menolak anggapan yang bukan-bukan. Terkadang huruf atof fa berserta matufnya dibuang
karena adad dalil yang menunjukkan kepadanya, sebagai contoh dalam firman Alloh :
Jika diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain. (QS albaqarah : 184) Makna yang dimaksud adalah :
Lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditingggalkan itu
pada hari yang lain. Lalu lafadz aftoro dibuang berikut huruf fa yang berada didalamnya.
Demikian pula huruf atof wawu dpat dibuang sebagai contoh : pengendara
unta itu berikut (unta-untanya) kedua-duanya merasa payah. Bentuk lengkapnya adalah
pengendara unta itu berikut (unta-untanya) kedua-duanya merasa payah.
Tetapi huruf atof wawu mempunyai keistimewaan tersendiri diantara huruf atof lainnya. Yaitu
bahwa ia dapat mengatofkan amil yang dibuang, tetapi mamulnya masih tetap ada. Contoh :
Apabila wanita-wanita penyanyi itu mulai muncul
disuatu hari dan menipiskan alisnya serta (mencelaki) matanya. Lafadz al uyuuunu
berkedudukan sebagai maful sedangkan fiil ayng menjadi amilnya dibuang. Bentuk
lengkapnya adalah : dan menipisnya alisnya serta mencelaki matanya. Fiil yang
dibuang tersebut diatofkan pada lafadz zajajna.

Diperbolehkan pada bab ini membuang matbu yang sudah jelas. dianggap sah dalam
bab ini anda mengatofkan fiil pada fiil lainnya. Terkadang matuf alaih dapat dibuang karena
ada dalil yang menunjukkan pada keberadaannya. Contoh dalam surat al-jatsiyah :

apakah belum ada ayat-ayatku yang belum dibaca pada kalian. (qs. Al jatsiyah)
Kepanjangan ayat tadi menurut imam zamaksyari adalh sebagai berikut :
Apakah belum ada ayat-ayatku yang belum dibaca pada kalian lalu ayat-ayat tadi tidak
dibaca kepada kalian. (qs. Al jatsiyah) Lalu matuf alaihnya dibuang yaitu Lalu
imam malik mengatakan ( dibolehkan pada bab ini anda mengatofkan pada fiil

Atofkanlah fiil kepada isim yang menyerupai

fiil dan begitu pula sebaliknyadapat anda gunakan, niscaya anda akan menjumpai hal ini
dengan mudah. Fiil boleh diatofkan kepada isim yang menyerupai fiil seperti kepada isim fail
dan lain-lainnya yang serupa dengan fiilnya. Hal ini diperbolehkan pula kebalikannya yaitu
mengatofkan isim kepada fiil yang menduduki tempat isim. Contoh :
Dan kuda yang menyerang diwaktu pagi dengan tiba-tiba, maka ia menerbangkan debu. (alaadiyat : 3-4) Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan
(Alloh dan Rasulnya) baik laki-laki maupun perempuan, dan meminjamkan kepada Alloh.
(al-hadid : 18)
Today Deal $50 Off : https://goo.gl/efW8Ef

Anda mungkin juga menyukai