Anda di halaman 1dari 20

TEORI BELAJAR BEHAVIORISME DAN PENERAPANNYA DALAM

PEMBELAJARAN
Sejak awal abad 19, proses belajar telah menjadi obyek penelitian. Penelitian tentang
proses belajar bertujuan untuk memperoleh pemahaman tentang bagaimana proses belajar
berlangsung. Sejak didirikannya laboratorium psikologi oleh W.Wundt maka pengkajian tentang
psikologi khususnya psikologi pendidikan lebih terarah dan sistematis. Para ahli mulai
mempelajari bagaimana proses belajar terjadi melalui berbagai eksperimen yang dilakukan
dengan menggunakan hewan sebagai objeknya. Konsep belajar menurut teori behaviorisme
(tingkah laku), yang mendekatan utama awal abd 20 dalam mempelajari bagaimana proses
belajar terjadi. Inti pemikiran teori ini adalah belajar merupakan proses ikatan antra stimulus
response (SR) yang bersifat mekanis, sehingga teori ini disebut teori belajar stimulus respons
(SR). Penerapan teori belajar behaviorisme sampai saat ini masih banyak ditemui di sekolah.
Pendekatan ini sangat jitu untuk mengubah perilaku (behavior modification) siswa.
Beberapa tokoh yang mempelajari teori akan di bahas di makalah ini antara lain. Ivan
Pavlop, IB. Watson,E.L. Thorndike dan Skinner, dilanjutkan dengan penerapan dalam
pemebelajaran.

A. Konsep Belajar Menurut Behaviorisme


Behaviorisme dikelompokkan kedalam aliran psikologi yang berlandaskan perilaku yang
dapat diamati dan diukur. Pendekatan ini lebih mendasari paad fisolosofi empirisme. Menurut
teori ini perilaku belajar tidak lain adalah ikatan antara stimulus respon sehingga teori ini disebut
juga teori belajar stimulus respons (SR).
Proses belajar menurut teori ini diasumsikan sebagai proses stimulus respon yang bersifat
mekanis. Proses belajar merupakan perolehan pengalaman dari luar, faktor dalam diri si
pebelajar tidak banyak terpengaruh. Para ahli behavioris berpendapat bahwa lingkungan yang
teratur, sistematis dapat memberikan konstribusi yang utama dalam proses belajar.
Teori ini menjelaskan bagaimana proses terjadi melalui bentuk hubungan natra peristiwa
yangterjadi dalam lingkungan denganperilaku individu pada saat proses belajar berlansung.
Secara psikologis peristiwa yang terjadi dalam lingkungan itu disebut sebagi stimulus (S),
sedangkan perilaku individu yang terkena stimulus, disebut respon (R). Para ahli mencoba
membuktikan mekanisme yang dapat di amati selama proses belajar. Beberapa tokoh yang
mengembangkan teori belajar behaviorisme ini antara lain:

1
Teori Belajar Menurut Ivan Pavlop (1849-1936)
Terdapat perkembangan-perkembangan penting di negara-negara lain, salah satunya yang
paling signifikan adalah tulisan Ivan Pavlov (1849-1936), seorang psikolog Rusia yang
memenangkan hadiah Nobel pada 1904 atas hasil karyanya mengenai pencernaan.
Wawasan Pavlov untuk teori pembelajaran dapat ditemukan dalam tulisannya mengenai
pengkondisian klasik. Saat Pavlov menjadi direktur laboratorium fisiologi di Institut Kedokteran
Eksperimental di Petrograd, ia memerhatikan bahwa anjing sering berliur ketika melihat pelayan
membawakan mereka makanan atau bahkan mendengar langkah kaki pelayan terssebut. Pavlov
menyadari bahwa si pelayan bukan sebuah stimulus alami untuk gerak refleks mengeluarkan liur,
lebih tepatnya, pelayan tersebut memiliki pengaruh ini karena ia berasosiasi dengan makanan.
Pengkondisian klasik merupakan sebuah prosedur multi-langkah yang pada mulanya
membutuhkan sebuah stimulus yang tak terkondisikan yang menghasilkan sebuah respons yang
tak terkondisikan.
Pavlov melakukan percobaan yang terkenal dengan seekor anjing di laboratoriumnya.
Proses percobaannya adalah sebagai berikut: seekor anjing diberi serbuk daging dan diamati
proses keluar air liurnya. Serbuk daging disebut stimulus tidak terkondisi (unconditioned
stimulus, US), dan air liur yang dihasilkan setelah melihat serbuk daging disebut respons tidak
terkondisi (unconditioned respon, UR). Terjadinya respons terhadap rangsangan stimulus ini
tidak merupakan belajar, melainkan terjadi secara intinktif. Pavlov menyatakan dalam Classical
Conditioning stimulus untuk mendapatkan respon yang alami disebut unconditioning stimulus
dan responnya disebut unconditioning respon. Ketika anjing yang menjadi percobaannya
mengeluarkan air liur hal ini disebut unconditioned respon, sedangkan ketika baru pertama kali
mendapatkan makanan hal ini disebut unconditioned stimulus. Kemudian ketika anjing itu
mengeluarkan air liur pada saat mendengar bel, berarti ia sudah menjadi conditioned respon dan
pada saat ia meraih makanan maka disebutlah conditioned stimulus.
Percobaan Pavlov ini membuktikan bahwa anjing dapat belajar sesuatu yang baru yaitu
mengeluarkan air liur setelah bunyi bel. Dengan demikian anjing belajar melalui process
conditioning.
Pavlov yakin bahwa stimulus apa pun yang dirasakan dapat dikondisikan untuk respons
apa pun yang dibuat. Penelitian berikutnya menunjukkan bahwa generalisasi untuk pengondisian
itu terbatas. Dalam spesies mana pun, respons dapat dikondisikan untuk beberapa stimulus tapi
tidak demikian untuk stimulus-stimulus lainnya. Pengkondisian tergantung pasa kesesuaian
stimulus dan respons dengan reaksi-reaksi yang spesifik untuk tiap-tiap spesies. Semua
organisme pada dasarnya telah memiliki pola-pola perilaku dasar yang membantu mereka
bertahan hidup dalam lingkungan keberadaan mereka, tetapi pembelajaran memberikan
penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan untuk dapat beradaptasi dengan baik.

2
Berdasarkan percobaan-percobaan yang dilakukan Pavlov, dapat disimpulkan faktor-
faktor yang menentukan untuk mengoptimalkan pengkondisian sebagai berikut:
1. Stimulus netral harus mendahului stimulus tak terkondisi
2. Interval antar stimulus harus pendek kira-kira antara setengah detik sampai sedetik
3. Pemasangan stimulus netral dengan yang belum dikondisikan harus sering diulang
4. Stimulus netral harus tidak terjadi tanpa dipasangkan dengan stimulus tak terkondisi
5. Pengkondisian juga bergantung pada karakteristik biologis individu maupun pengalaman
sebelumnya dengan stimulus netral

Teori Belajar Menurut John B. Watson 1878-1958

Watson adalah seorang behaviorist murni, karena kajianya tentang belajar disejajarkan
dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman
empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur. Hanya dengan asumsi seperti itulah
menurut Watson kita dapat meramalkan perubahan apa yang bakal terjadi pada siswa.
Pendiri teori behaviorisme yang mempopulerkan bahwa obyek utama studi psikologi
adalah perilaku (lebih tegas perilaku yang dapat diamati). Ia berpendapat bahwa psikologi akan
berkembang sebagaimana halnya disiplin ilmu, yang lain jika fokus perhatian yang akan dikaji
yaitu perilaku dapat diobservasi.
Teori perilaku ini disebut juga sebagai anti tesis dari teori introspeksi yang mengatakan
bahwa kesadaran itu diperoleh melalui observasi diri sendiri, Watson menolaknya dengan alasan
bahwa metode introspeksi sangat subyektif sifatnya. Oleh karena itu, kajian proses belajar yang
berorientasi pada kesadaran bersifat subyektif. Hal ini bertentangan dengan sifat keilmuan,
karena syarat pengetahuan disebut ilmiah adalah apabila data dapat diukur dan dievaluasi oleh
ilmuan lainnya. Oleh sebab itu Watson mengajukan konsep berlajar berdasarkan perilaku yang
dapat diukur, diamati dan diuji.
Aliran ini dikategorikan sebagai aliran behaviorisme klasik. Watson lebih memperhatikan
perilaku dan tidak mengakui adanya mental, kesadaran, predisposisi yang dimiliki manusia.
Menurutnya manusia memiliki raga, fisik, badan dan reflex. Reflex inilah yang
dikondisioningkan menjadi perilaku. Reflex ini terjadi secara berurutan.
Konsep belajar menurut Watson adalah suatu proses membangun refleks yang
dikondisikan melalui penggantian dari satu stimulus ke stimulus yang lain. Belajar adalah
memperbanyak refleks yang dibawa sejak lahir. Perbanyakan refleks ini dapat dilakukan melalui
kondisioning. Kondisioning merupakan suatu upaya untuk memperkuat ikatan S-R (Stimulus-
Respond) dengan memberikan perangsang, sehingga menimbulkan refleks (perilaku), namun
stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat di amati (observable) dan dapat di ukur. Jadi
meskipun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses

3
belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu di perhitungkan
karena tidak dapat diamati. Ia menghubungkan perilaku tertentu pada reaksi refleks fisik yang
dihipotesiskan bahwa perilaku ditenrukan secara refleks oleh stimulus yang ada dilingkungan
dan bukan oleh pikiran yang tidak sadar.
Watson mendefinisikan manusia secara mekanistik, dan menolak adanya mental dalam
proses belajar. Penelitiannya khususnya berkaitan dengan perolehan respon afektif seperti rasa
takut.

a. Percobaan John Watson


Pada dasarnya Watson melanjutkan penelitian Pavlov. Dalam percobaannya, Watson
ingin menerapkan classical conditioning pada reaksi emosional. Hal ini didasari atas
keyakinannya bahwa personalitas seseorang berkembang melalui pengkondisian berbagai
refleks.
Dalam suatu percobaan yang kontroversial di tahun 1921, Watson dan Rosalie Rayner
melakukan eksperimen terhadap seorang balita bernama Albert. Albert adalah bayi berusia 11
bulan yang tidak memperlihatkan rasa takut terhadap tikus putih. Pada awal eksperimen, balita
tersebut tidak takut terhadap tikus. Ketika Albert memegang tikus, Watson menghantamkan
sebuah palu pada sebuah papan baja di belakangnya sehingga mengeluarkan suara dengan tiba-
tiba dan keras. Si bayi kaget sekali dan jatuh terjerembab di kasurnya dan membenamkan
kepalanya ke kasur. Bayi menjadi takut dengan suara yang tiba-tiba dan keras sekaligus takut
terhadap tikus. Akhirnya, tanpa ada suara keras sekalipun, bayi tersebut menjadi takut terhadap
tikus. Seminggu kemudian rangkaian kejadian tersebut di ulang kembali pada si bayi. Ketika
tikus tersebut diletakkan di dekatnya, Albert mulai menggapai ke arah si tikus tetapi menarik
kembali tangannya. Pengkondisian dari minggu sebelumnya menjadi terlihat. Tes-tes yang
dilakukan beberapa hari setelahnya menjukkan bahwa Albert bereaksi secara emosional terhadap
kehadiran tikus. Ketakutan Albert juga meluas ke hewan kelinci, anjing, dan mantel berbulu.
Ketika Albert dites lagi satu bulan kemudian dengan tikus, ia menunjukkan reaksi emosional
ringan.
Meskipun studi ini banyak dikutip dan ditunjukkan sebagai contoh bagaimana
pengkondisian dapat menghasilkan reaksi emosional, pengaruh pengkondisian biasanya tidak
sedemikian besar. Pada eksperimen Watson dan Rayner (1920) akan dianggap menyalahi aturan
etika dari American Psychological Association. Hal ini terutama berdasarkan fakta bahwa
mereka tidak mengembalikan Albert ke keadaan sebelumnya, sehingga ia mengalami fobia
tersebut selama hidupnya setelah ekperimen dilakukan.

b. Kesimpulan Watson
Meskipun eksperimen Watson dan rekannya secara etika dipertanyakan, hasilnya
menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa manusia mempelajari ketakutan terhadap stimuli
yang sesungguhnya tidak menakutkan. Namun ketika stimuli tersebut berasosiasi dengan
pengalaman yang tidak menyenangkan, ternyata menjadi menakutkan. Eksperimen tersebut juga
4
menunjukkan bahwa classical conditioning mengakibatkan beberapa kasus fobia, yaitu ketakutan
yang yang tidak rasional dan berlebihan terhadap objek-objek tertentu atau situasi-situasi
tertentu. Pakar psikologi sekarang dapat memahami bahwa classical conditioning dapat
menjelaskan beberapa respons emosional—seperti kebahagiaan, kesukaan, kemarahan, dan
kecemasan—yaitu karena orang tersebut mengalami stimuli khusus. Sebagai contoh, seorang
anak yang memiliki pengalaman menyenangkan dengan roller coaster kemungkinan belajar
merasakan kesenangan justru karena melihat bentuk roller coaster tersebut. Bagi seorang dewasa
yang menemukan sepucuk surat dari teman dekat di dalam kotak surat, hanya dengan melihat
alamat pengirim yang tertera di sampul kemungkinan menimbulkan perasaan senang dan
hangatnya persahabatan.
Pakar psikologi menggunakan prosedur classical conditioning untuk merawat fobia dan
perilaku yang tidak diinginkan lainnya seperti kecanduan alkohol dan psikotropika. Untuk
merawat fobia terhadap objek-objek tertentu, pakar psikologi melakukan terapi dengan
menghadirkan objek yang ditakuti oleh penderita secara berangsur-angsur dan berulang-ulang
ketika penderita dalam suasana santai. Melalui fase eliminasi (eliminasi stimulus kondisi),
penderita akan kehilangan rasa takutnya terhadap objek tersebut. Dalam memberikan perawatan
untuk alkohol, penderita meminum minuman beralkohol dan kemudian menenggak minuman
keras tersebut sehingga menyebabkan rasa sakit di lambung. Akhirnya ia merasakan sakit
lambung begitu melihat atau mencium bau alkohol dan berhenti meminumnya. Keefektivan dari
terapi seperti ini sangat bervariasi bergantung individunya dan problematika yang dihadapinya.

3. Teori Belajar menurut Edward L. Thorndike (1874-1949)


Edward L. Thorndike (1874 ̶ 1949) adalah seorang psikolog terkemuka di Amerika
Serikat yang teori pembelajarannyakoneksionisme ̶ dominan di negeri tersebut pada paruh
pertama abad kedua puluh (Mayer, 2003). Thondike meruakan tokoh utama aliran teori
koneksionisme, yang juga dijuluki S R bond theory. Tidak seperti banyak psikolog terdahulu, Ia
tertarik pada pendidikan terutama pembelajaran, transfer, perbedaan-perbedaan individu dan
intelegensi (Hilgard, 1996; McKeachie, 1990).
Penelitian Thorndike memberikan konstribusi yang sangat signifikan dalam teori
behaviorisme terutama dalam menjelaskan pengaruh dari konsekuensi perilaku terhadap perilaku
berikutnya. Pengaruhnya terhadap pendidikan ditandai dengan adanya Tohrndike Award
(Penghargaan Thorndike), yakni penghargaan tertinggi yang diberikan oleh Divisi Psikologi
Pendidikan Asosiasi Psikologi Amerika kepada kontribusi-kontribusi besar terhadap psikologi
pendidikan.
Dalam seri Educational Psychology, Thorndike menyatakan pandangan bahwa tipe
pembelajaran yang paling fundamental adalah pembentukkan asosiasi-asosiasi (koneksi-koneksi)
antara pengalaman-pengalaman indrawi (persepsi terhadap stimulus atau peristiwa) dan impuls-
impuls saraf (respons-respons) yang memberikan manifestasinya dalam bentuk perilaku. Ia

5
percaya bahwa pembelajaran sering terjadi melalui rangkaian eksperimen trial and error
(menyeleksi dan mengoneksikan).
Thorndike mulai mempelajari pembelajaran dengan serangkaian eksperimen yang
dilakukannya terhadap hewan (Thorndike, 1911). Dalam sebuah situasi eksperimen tipikal,
seekor kucing ditempatkan dalam sebuah kandang. Si kucing dapat membuka sebuah lubang
keluar dengan mendorong sebuah tongkat atau menarik sebuah rantai. Setelah melakukan
serangkaian respons acak, si kucing pada akhirnya dapat keluar dengan membuat respons yang
dapat mengubah lubang keluar tersebut. Setelah itu kucing ditaruh lagi dalam kandang. Dari
hasil mencoba-coba, kucing tersebut mencapai tujuannya dengan lebih cepat dan membuat lebih
sedikit kesalahan sebelum akhirnya merespons dengan benar.
Pembelajaran trial and error terjadi secara berangsur-angsur (bertahap) di mana respons-
respons yang berhasil dibentuk dan yang tidak berhasil diabaikan. Koneksi-koneksi terbentuk
secara mekanis melalui perulangan; persepsi dari pikiran sadar tidak diperlukan. Thorndike
menyadari bahwa pembelajaran manusia lebih kompleks karena manusia terlibat dalam tipe-tipe
pembelajaran lainnya yang memerlukan pengoneksian ide-ide, analisis, dan penalaran
(Thorndike, 1913b). Meski demikian, kemiripan dalam hasil-hasil penelitian dari studi hewan
dan studi manusia mendorong Thorndike untuk menjelaskan pembelajaran yang kompleks
dengan prinsip-prinsip pembelajaran dasar. Orang dewasa yang berpendidikan memiliki jutaan
koneksi antara stimulus dan respons.
Berdasarkan pengalaman dari berbagai percobaannya, Ia mengemukakan beberapa
hukum dan prinsip yang dapat menggambarkan proses belajar. Hukum Latihan yang berpegang
pada hal-hal yang sama dan belajar terjadi melalui latihan dan tindakan tertentu. Hukum Latihan
terdiri dari Hukum Kegunaan dan Hukum Ketidakgunaan. Hukum Kegunaan merupakan sebuah
respons terhadap stimulus memperkuat koneksi keduanya, sedangkan Hukum Ketidakgunaan
yakni ketika respons tidak diberikan terhadap sebuah stimulus, kekuatan koneksinya menjadi
menurun (dilupakan). Selanjutnya ada Hukum Akibat/Efek yang menekankan pada akibat-akibat
dari perilaku: respons-respons yang menghasilkan akibat-akibat yang memuaskan
(mendatangkan imbalan) akan dipelajari dan respons-respons yang menghasilkan akibat-akibat
yang tidak menyenangkan (mendatangkan hukuman) tidak dipelajari. Kemudian ada Hukum
Kesiapan yang menyatakan bahwa ketika seseorang dipersiapkan hingga siap untuk bertindak,
maka melakukan tindakan tersebut merupakan imbalan (rewarding), sementara tidak
melakukannya merupakan hukuman (punishing).
Prinsip Peralihan Asosiatif (Associative Shifting) mengacu pada situasi di mana respons-
respons yang diberikan untuk stimulus tertentu pada akhirnya ditujukan pada stimulus yang sama
sekali berbeda, jika, setelah percobaan yang berulang-ulang ada perbedaan kecil dalam
karakteristik stimulus. Selanjutnya, prinsip elemen-elemen identik memengaruhi transfer
(generalisasi), yaitu tingkatan di mana penguatan pelemahan suatu koneksi menghasilkan
perubahan yang serupa dalam koneksi lainnya (Hilgard, 1996; Thorndike, 1913b). Transfer
terjadi ketika situasi-situasi yang ada memiliki elemen-elemen yang identik dan memerlukan
respons-respons yang sama.

6
Beberapa waktu setelahnya, Thorndike merevisi Hukum Latihan dan Akibat/Efek setelah
didapatkan bukti dari peneletian lain yang ternyata tidak mendukungnya. Thorndike
menyingkirkan Hukum Latihan ketika Ia menemukan bahwa perulangan sederhana dari sebuah
situasi tidak selalu “mengesahkan” respons-respons. Kemudian pada Hukum Akibat/Efek
dipercaya bahwa efek-efek penghasil kepuasan (rewading) dan penghasil ketidaksenangan
(punishment) berlawanan, tetapi sebanding, namun penelitian menunjukkan tidak demikian
kejadiannya. Pada kenyataannya, imbalan memperkuat koneksi-koneksi, tetapi hukuman tidak
selalu melemahkannya (Thorndike, 1932). Lebih tepatnya, koneksi-koneksi melemah ketika
koneksi-koneksi alternative diperkuat. Hukuman bukan merupakan sarana yang efektif untuk
mengubah perilaku karena hukuman tidak mengajari siswa perilaku yang benar, tetapi lebih
berperan memberitahukan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Hal ini juga berlaku pada
keterampilan kognitif.
Beberapa kontribusi Thorndike yakni,
a. Prinsip-prinsip Pengajaran
Guru harus membantu siswa membentuk kebiasaan yang baik.
 Bentuklah kebiasaan. Jangan berharap kebiasaan-kebiasaan itu terbentuk sendiri.
 Hati-hati jangan sampai membentuk suatu kebiasaan yang nantinya harus diuabh.
 Jangan membentuk dua atau lebih kebiasaan ketika satu kebiasaan saja sudah
cukup.
 Jika hal-hal lainnya berjalan sesuai harapan, bentuklah kebiasaan dengan cara
yang sesuai dengan bagaimana nanti digunakan.
b. Rangkaian Kurikulum
Sebuah keterampilan harus diperkenalkan (Thorndike & Gates, 1929):
 Pada saat atau sesaat sebelum keterampilan tersebut dapat digunakan dengan cara
yang sesuai.
 Pada saat siswa sadar bahwa mereka membutuhkan keterampilan tersebut sebagai
sarana memenuhi beberapa tujuan yang bermanfaat.
 Ketika keterampilan tersebut paling cocok dengan kemampuan siswa dalam hal
tingkat kesulitan.
 Ketika keterampilan tersebut paling selaras dengan level dan tipe emosi, selera,
serta kecenderungan naluriah dan kecenderungan yang didasarkan atas kmauan
sendiri yang paling aktif pada saat itu.
 Ketika keterampilan tersebut ditunjang secara optimal oleh pembelajaran-
pembelajaran yang diperoleh tepat sebelumnya dan ketika keterampilan tersebut
akan dapat menunjang pembelajaran yang akan terjadi tak lama setelahnya secara
optimal.
Prinsip-prinsip ini bertentangan dengan penempatan materi ajar yang umum di
sekolah di mana materi pelajaran dipisah-pisahkan menurut bidang studi, namun
Thorndike dan Gates (1929) sangat merekomendasikan supaya pengetahuan dan
keterampilan diajarkan dalam bidang studi yang berbeda-beda.

7
c. Disiplin Mental
Disiplin mental adalah pandangan bahwa dengan mempelajari bidang studi tertentu
dapat meningkatkan fungsi mental umum secara lebih baik dibanding mempelajari
bidang-bidang studi lainnya. Namun, hasil penelitian tidak mendukung konsep
disiplin mental. Siswa yang memiliki kemampuan lebih tinggi pada saat mulai belajar
membuat kemajuan paling baik terlepas dari apa yang mereka pelajari. Penelitian
Thorndike mendorong para pendidik untuk membuat rancangan kurikulum-kurikulum
yang tidak disadarkan pada gagasan disiplin mental.

Teori Belajar Menurut Skinner


Skinner (1958) memberikan definisi belajar “ Learning is a process of progressive
behavior adaptation”. Dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa belajar itu merupakan suatu
proses adaptasi perilaku yang bersifat progresif. Ini berarti bahwa sebagai akibat dari belajar
adanya sifat progresifitas, adanya tendensi kearah yang lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Dapat disimpulkan bahwa belajar secara sederhana dikatakan sebagai proses perubahan
dari belum mampu menjadi sudah mampu, terjadi dalam jangka waktu tertentu. Perubahan yang
terjadi itu harus secara relative bersifat menetap (permanent) dan tidak hanya terjadi pada
perilaku yang saat ini nampak (immediate behavior) tetapi juga pada prilaku yang mungkin
terjadi di masa mendatang (potential behavior. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa
perubahan-perubahan tersebut terjadi karena pengalaman
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman (Gage, Berliner, 1984). Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus
dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan
perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa
stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada
siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan
oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk
diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah
stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang
diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya
perubahan tingkah laku tersebut.
Teori belajar behavioristik yang dicetuskan oleh Gagne dan Berliner tentang perubahan
tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi
belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan
pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada
terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.

8
Teori behavioristik memandang individu hanya dari sisi jasmaniah, dan mengabaikan
aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat,
minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih siswa
sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Beberapa prinsip dalam
teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and
Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5)
Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses. Kaum behavioris
menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement
dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pembelajar dalam berperilaku.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi
belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan
dan belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak
mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan
respon. Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi
siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat
menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang
relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas
sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus
dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen,
tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses
pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu,
sehingga menjadikan siswa tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Teori behavioristik dengan
model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang
pasif. Demikian halnya dalam pembelajaran, siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu
dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-
hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Sejarah Munculnya Teori Kondisioning Operan B.FSkinner
Asas pengkondisian operan B.F Skinner dimulai awal tahun 1930-an, pada waktu
keluarnya teori S-R. Pada waktu keluarnya teori-teori S-R. Pada waktu itu model kondisian
klasik dari Pavlov telah memberikan pengaruh yang kuat pada pelaksanaan penelitian. Istilah-
istilah seperti cues (pengisyaratan), purposive behavior (tingkah laku purposive) dan drive
stimuli (stimulus dorongan) dikemukakan untuk menunjukkan daya suatu stimulus untuk

9
memunculkan atau memicu suatu respon tertentu. Skinner tidak sependapat dengan pandangan
S-R dan penjelasan reflex bersyarat dimana stimulus terus memiliki sifat-sifat kekuatan yang
tidak mengendur. Menurut Skinner penjelasan S-R tentang terjadinya perubahan tingkah laku
tidak lengkap untuk menjelaskan bagaimana organisme berinteraksi dengan lingkungannya.
Bukan begitu,banyak tingkah laku menghasilkan perubahan atau konsekuensi pada lingkungan
yangmempunyai pengaruh terhadap organisme dan dengan begitu mengubah kemungkinan
organisme itu merespon nanti. Asas-asas kondisioning operan adalah kelanjutan dari tradisi yang
didirikan oleh John Watson. Artinya, agar psikologi bisa menjadi suatu ilmu, maka studi tingkah
laku harus dijadikan fokus penelitian psikologi. Tidak seperti halnya teoritikus-teoritikus S-R
lainnya, Skinner menghindari kontradiksi yang ditampilkan oleh model kondisioning klasik dari
Pavlov dan kondisioning instrumental dari Thorndike. Ia mengajukan suatu paradigma yang
mencakup kedua jenis respon itu dan berlanjut dengan mengupas kondisi-kondisi yang
bertanggung jawab atas munculnya respons atau tingkah laku operan
Eksperimen Skinner
Dalam eksperimen Skinner (Muhibbin Syah, 2003: 99), Skinner menggunakan seekor
tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang kemudian terkenal dengan “Skinner Box”. Peti
sangkar ini terdiri atas dua komponen yaitu: manipulandum dan alat pemberi reinforcement yang
antara lain berupa wadah makanan. Manipulandum adalah komponen yang dapat dimanipulasi
dan gerakannya berhubungan dengan reinforcement. Komponen ini terdiri dari tombol, batang
jeruji, dan pengungkit. (Rober, 1988).
Dalam eksperimen ini, mula-mula tikus mengeksplorasi pati sangkar dengan berlari-lari
atau mencakari dinding. Aksi ini disebut “”emitted behavior” (tingkah laku yang terpancar tanpa
mempedulikan stimulus tertentu). Sampai pada suatu ketika secara kebetulan salah satu “emitted
behavior” tersebut dapat menekan pengungkit yang menyebabkan munculnya butir-butir
makanan ke dalam wadahnya sehingga tikus dapat mendapatkan makanan.
Butir-butir makanan ini merupakan reinforce bagi penekanan pengungkit. Penekanan
pengungkit inilah yang disebut tingakah laku operant yang akan terus meningkat apabial diiringi
dengan reinforcement, yakni pengauatan berupa butir-butir makanan yang muncul.
Teori Operant Conditioning
Teori ini dikembangkan oleh B.F Skinner. Menurut Skinner dalam (Dimyati Mahmud,
1989: 123) tingkah laku bukanlah sekedar respon terhadap stimulus, tetapi suatu tindakan yang
disengaja atau operant. Operant ini dipengaruhi oleh apa yang terjadi sesudahnya. Jadi operant
conditioning atau operant learning itu melibatkan pengendalian konsekuensi.

10
Tingkah laku ialah perbuatan yang dilakukan seseorang pada situasi tertentu. Tingkah
laku ini terletak di antara dua pengaruh yaitu pengaruh yang mendahuluinya (antecedent) dan
pengaruh yang mengikutinya (konsekuensi). Hal ini dapat dilukiskan sebagai berikut:
Antecedent –> tingkah laku –> konsekuensi
Atau A –> B –> C
Dengan demikian, tingkah laku dapat diubah dengan cara mengubah antecedent,
konsekuensi, atau kedua-duanya. Menurut Skinner, konsekuensi itu sangat menentukan apakah
seseorang akan mengulangi suatu tingkah laku pada saat lain di waktu yang akan datang.
Prosedur Pembentukan Tingkah laku
Prosedur pembentukan tingkah laku dalam operant conditioning (kondisioning operan)
secara sederhana adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi hal-hal yang merupakan reinforcer (hadiah) bagi tingkah laku yang akan
dibentuk.
b. Menganalisis, kemudian mengidentifikasi aspek-aspek kecil yang membentuk tingkah laku
yang dimaksud. Aspek-aspek tersebut lalu disususn dalam urutan yang tepat untuk menuju pada
terbentuknya tingkah laku yang dimaksud.
c. Berdasarkan urutan aspek-aspek itu sebagai tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer
(hadiah) untuk masing-masing daerah itu.
d. Melakukan pembentukan tingkah laku, dengan menggunakan urutan aspek-aspek yang telah
tersusun itu. Kalau aspek pertama telah dilakukan maka hadiahnya diberikan; hal ini akan
mengakibatkan aspek itu makin cenderung untuk sering dilakukan. Kalau itu sudah terbentuk,
dilakukannya aspek kedua yang diberi hadiah (aspek pertama tidak lagi memerlukan hadiah);
demikian berulang-ulang, sampai aspek kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan aspek
ketiga, keempat dan selanjutnya, sampai seluruh tingkah laku yang diharapkan terbentuk.
Respon
Tingkah laku adalah hubungan antara perangsang dan respon. Tingkah laku terjadi
apabila ada stimulus khusus. Skinner berpendapat, pribadi seseorang terbentuk dari akibat respon
terhadap lingkungannya, untuk itu hal yang paling penting untuk membentuk sebuah kepribadian
adalah adanya penghargaan dan hukuman. Penghargaan akan diberikan untuk respon yang
diharapkan sedangkan hukuman untuk respon yang salah. Pendapat skinner ini memusatkan
hubungan antara tingkah laku dan konsekuen. Contoh, jika tingkah laku individu segera diikuti
oleh tingkah laku menyenangkan, individu akan menggunakan tingkah laku itu lagi sesering
mungkin.

11
Konsekuen menyenangkan akan memperkuat tingkah laku, sementara konsekuen yang
tidak menyenangkan akan memperlemah tingkah laku. Jadi, konsekuen yang menyenangkan
akan bertambah frekuensinya, sementara konsekuensi yang tidak menyenangkan akan berkutrang
frekuensinya. Skinner membedakan adanya dua macam respon, yaitu:
Respondent response (reflexive response), yaitu respom yang ditimbulkan oleh suatu
perangsang-perangsang tertentu. Misalnya, keluar air liur saat melihat makanan tertentu.
Perangsang-perangsang yang demikian itu disebut eliciting stimuli, menimbulkan respon-respon
yang relatif tetap. Pada umumnya, perangsang-perangsang yang demikian mendahului respon
yang ditimbulkannya.
Operant response (instrumental response), yaitu respon yang timbul dan berkembangnya
diikuti oleh perangsang-peerangsang tertentu. Perangsang yang demikian itu disebut reinforcing
stimuli atau reinforcer, karena perangsang itu memperkuat respon yang telah dilakukan oleh
organisme. Jadi, perangsang yang demikian itu mengikuti (dan karenanya memperkuat) sesuatu
tingkah laku tertentu yang telah dilakukan. Jika seorang anak belajar (telah melakukan
perbuatan), lalu mendapat hadiah, maka ia akan menjadi lebih giatbelajar (intensif/ kuat).
Pada kenyataannya, respon jenis pertama (respondent/reflexive response/behavior) sangat
terbatas adanya pada manusia. Sebaliknya operant response/behavior merupakan bagian terbesar
dari tingkah laku manusia dan kemungkinan untuk memodifikasinya hampir tak terbatas. Oleh
karena itu, fokus teori Skinner adalah pada respons atau jenis tingkah laku yang kedua ini.
Persoalannya adalah bagaimana menimbulkan, mengembangkan dan memodifikasi tingkah laku-
tingkah laku tersebut (dalam belajar atau dalam pendidikan).
Pola-pola respon
Apabila reinforcement didasarkan pada prinsip interval tetap, dapat diduga pola respon
yang bakal muncul. Tetapi dengan menggunakan prinsip interval bervariasi, pola respon yang
muncul akan berbeda.
Penggunaan reinforcement secara beragam dapat juga mempengaruhi cepat lambatnya
murid melakukan tugas-tugas belajar. Kalau reinforcement iu didasarkan atas banyaknya respon
yang diberikan seseorang, murid akan lebih cermat mengendalikan waktu yang digunakan untuk
reinforcement. Semakin cepat murid mengumpulkan respon yang benar, semakin cepat pula
reinforcement diperolehnya.
Aspek lain yang dikenakannya reinforcement adalah kegigihan berusaha. Kalau
reinforcement sama sekali tidak diberikan, orang akan kendur semangat dan akhirnya tidak
merespon sama sekali atau tingkah laku itu akan menghilang. Apabila reinforcement diberikan
setiap kali, seseorang akan cepat berhenti merespon manakala reinforcement itu berhenti,
demikian pula kalau yang diberikan pola reinforcement tetap. Agar murid terus tetap aktif, yang
palingtepat adalah menggunakan pola reinforcement bervariasi.

12
Mengendalikan konsekuensi
Konsekuensi yang timbul dari tingkah laku tertentu dapat menyenangkan dan atau pun
tidak menyenangkan bagi yang bersangkutan. Ada dua hal yang perlu disinggung sehubungan
dengan pengendalian konsekuensi, yaitu:
Reinforcement
Dalam pergaulan sehari-hari, reinforcement kurang lebih berarti “hadiah”. Dalam dunia
psikologi, reinforcement adalah konsekuensi yang memperkuat tingkah laku. Setiap konsekuensi
itu adalah pemberi reinforcement (reinforcer) kalau dia memperkuat tingkah laku berikutnya.
Tingkah laku-tingakah laku yang diikuti dengan reinforcement akan diulang-ulang di waktu yang
akan datang.
1). Reinforcement positif
Disebut reinforcement positif apabila suatu stimulus terentu (menyenangkan) ditunjukkan atau
diberikan sesudah suatu perbuatan dilakukan. Misalnya, uang atau pujian diberikan kepada
seorang anak yang memperoleh nilai A pada mata pelajaran tertentu.
2). Reinforcement negative
Dinamakan reinforcement negative apabila suatu stimulus tertentu (tidak menyenangkan) ditolak
atau dihindari. Reinforcement negative memperkuat tingkah laku dengan cara menghindari
stimulus yang tidak menyenangkan. Kalau suatu perbuatan tertentu menyebabkan seseorang
menghindari sesuatu yang tidak menyenangkan, ayng bersangkutan cenderung mengulangi
perbuatan yang sama apabila pada suatu saat menghadapi situasi yang serupa. Misalnya, murid
yang berungkali dipanggil menghadap Kepsek, pelanggaran disiplin yang dilakukannya itu
menjadi bertambah kuat karena dia tetap saja melakukannya.
Hukuman
Reinforcement negative seringkali dikacaukan dengan hukuman. Proses reinforcement
selalu berupa memperkuat tingkah laku. Sebaliknya, hukuman mengandung pengurangan atau
penekanan tingkah laku. Suatu perbuatan yang diikuti hukuman, kecil kemungkinannya diulangi
lagi pada situasi-situasi yang serupa di saat lain. Hukuman dibedakan menjadi dua:
1). Presentation punishment
Terjadi apabila stimulus yang tidak menyenangkan ditunjukkan atau diberikan. Misalnya, guru
memberikan tugas-tugas tambahan karena kesalahan-kesalanan yang dibuat murid.
2). Removal punishment
Terjadi apabila stimulus tidak ditunjukkan atau diberikan, artinya menghilangkan sesuatu yang
menyenangkan atau diinginkan. Misalnya anak-anak tidak diperkenankan nonton tv selama
seminggu sehingga lalu tidak mau belajar.

13
Pengaruh Teori Skinner
Teori Skinner sangat berpengaruh besar pada saat ini, terutama di Amerika Serikat dan
negara-negara lainnya. Di dunia pendidikan, khususnya dalam lapangan metodologi dan
teknologi pengajaran, pengaruh ini sangat besar. Program-program inovatif dalam bidang
pengajaran sebagian besar disusun berdasarkan teori Skinner. Program-program tersebut
misalnya:
Programmed Instruction, dan sarananya programmed book.
Computer Assisted Instruction (CAI), dan
Program yang menggunakan teaching machine.
Dalam kehidupan sehari-hari teori Skinner tentang pengkondisian ini sangat diminati saat
ini karena memang memiliki fungsi yang sangat membantu manusia. Melalui teori ini orang-
orang dapat melatih hewan peliharaan (kucing, anjing, burung dll.) maupun hewan-hewan yang
berguna dalam membantu manusia (merpati, anjing polisi dll.). Dalam pengkondisian operan
menurut Skinner ini, para pelaku eksperimen dapat mendorong perilaku baru dengan mengambil
manfaat dari perbedaan tindakan subyek. Untuk melatih seekor anjing,agar bisa menekan bel
dengan moncongnya, seorang penyelidik dapat memberikan imbalan setiap kali anjing tersebut
mendekati kawasan bel, serta memberi isyarat bagi anjing untuk menyentuh bel. Dan jika
akhirnya bel tersentuh, kembali diberi imbalan (penguatan).Dengan cara ini juga burung dara
dapat dilatih dengan membentuk respon operan untuk menemukan lokasi orang-orang yang
hilang di laut; ikan lumba-lumba dilatih untuk menarik peralatan di bawah air. Teori Skinner ini
juga sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan, dimana rata-rata system pendidikan saat ini
menerapkan system pengkondisian Skinner. Saat sensitifnya masalah hak asasi manusia (HAM),
maka penerapan hukuman di dunia pendidikan mulai dikurangi dan beralih ke cara yang
dperkenalkan Skinner yaitu bahwa hukuman tidak perlu, yang diperlukan adalah memberi hadiah
bagi yang berprestasi untuk merangsang anak-anak yg tidak berprestasi untuk belajar lebih baik
lagi.

B. Penerapan Teori Behaviorisme dalam Pembelajaran


Menerapkan teori-teori belajar behaviorisme pada konteks pembelajaran tidaklah mudah.
Sebagian teori belajar behaviorisme dapat diterapkan dalam pendidikan, sebahagian lainnya
tidak. Sebagai contoh teori belajar Classical conditioning dari Pavlop, teori ini tidak memberikan
contoh dalam praktek pendidikan, tetapi untuk teori lainnya seperti Thorndike dan Skinner dalam
pengembangan teorinya diterapkan langsung dalam konteks pendidikan. Secara lebih terperinci
penerapan teori belajar behaviorisme dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Penerapan Teori Belajar Classical Conditioning dari Pavlop

14
Para ahli behaviorisme berharap bahwa penjelasannya tenang belajar dapat bermanfaat
untuk memahami proses belajar manusia secara umum. Dalam situasi di kelas, classical
conditioning dapat memebantu menjelaskan kepada anak-anak tingkah laku seperti yang
mereka lakukan pada situasi tertentu. Beberapa anak belajar untuk tidak menyukai puisi
bukan karena materinya sulit tetapi karena di pasangkan pada stimuli yang menghasilkan
ketakutan sepertinya gurunya yang galak. Demikian juga pada contoh seperti ini: belajar
matematika dalam suasana yang kaku dan otoriter akan menimbulkan sikap negatif
terhadap pelajaran matematika. Hukuman dalam bentuk menulis sesuatu berulang-ulang
akan menimbulkan sikap negatif terhadap menulis.
Pada kasus yang lain, kejadian yang menyenangkan menyertai kejadian yang
menyayangkan menyertai kejadian yang menyenangkan dapat menghasilkan asosiasi bagi
individu dimasa yang akan datang, yang disebut juga stimulus generalization. Classical
conditioning dapat juga digunakan secara positif dalam pendidikan. Menghadapi anak-anak
yang sedang mengerjakan tugas-tugas yang sulit dengan menciptakan situasi yang
menyenangkan akan mengembangkan sikap positif anak terhadap tugas tersebut. Sebagai
contoh bnayak guru bermain musik ketika anak-anak sedang mengerjakan tugas.

b. Penerapan Teori Belajar Thorndike


Penerapan teori Thorndike dalam konteks pendidikan dapat diilustrasikan sebagai berikut.
Penerapan prinsip belajar khususnya dalam kegiatan hukum belajar, mensyaratkan
terbentuknya suasana kelas yang teratur dengan tujuan yang di tentukan secara jelas. Tujuan
pembelajaran dirumuskan berdasarkan kemampuan respons siswa, dan harus dibagi dalam
unit-unit yang memungkinkan guru menetapkan “keadaan-keadaan yang memuaskan”,
ketika siswa membuat respon yang tepat. Teori belajar Thorndike ini mengisyaratkan
terjadinya proses belajar yang berlangsung dari yang senderhana mengarah ke yang
kompleks. Motivasi relatif tidak terlalu penting. Perilaku siswa terutama ditentukan oleh
pengukuhan luar (eksternal reinforcer) dan tidak ada motivasi intrinsik.
Penekanan proses belajar adalah terjadinya respon yang benar terhadap stimulus tertentu.
Respon yang salah harus segera dikoreksi secara cepat sehingga tidak terbiasa. Oleh karena
itu diperlukan ujian dan testing agar guru mendapatkan umpan balik tentang proses belajar.
Jika siswa telah belajar dengan baik, maka harus segera diberi reinforcement.

c. Penerapan Teori Belajar operant Conditioning dari Skinner


Teori belajar Skinner merupakan teori belajar behavioristik yang banyak diterapkan dalam
situasi pendidikan dan melahirkan metode mengajar yang banyak diterapkan dalam situasi
pendidikan dalam melahirkan metode mengajar yang banyak dipraktekkan dalam
pendidikan. Prinsip belajar Skinner berasumsi bahwa ganjaran merupakan fajktor penting
dalam belajar. Operant conditioning adalah proses belajar yang memungkinkan timbulnya
respon lebih sering melalui cara, memantapkan tindakan yang diharapkan.
Dalam penerapan pendidikan dituntut perumusan tujuan belajar yang ditentukan secara
operasional dan menggambarkan perilaku. Selanjutnya Skinner mengembangkan model
15
lingkungan belajar yang menaruh perhatian terhadap perbedaan individual atau kelompok
kecil dan materi pelajaran disesuaikan dengan kemampuan siswa, sehingga memungkinkan
siswa tersebut bekerja secara individu dengan dibantu oleh buku yang di rancang khusus.
Guru yang menerapkan prinsip belajar Skinner akan menghindari penggunaan hukuman.
Pendidik akan lebih banyak memberikan renforcement terhadap perilaku yang tepat dan
mengabaikan perilaku yang tidak sesuai.
Skinner yakin bahwa ada terlalu banyak kontrol yang yang tidak diinginkan. Meskipun
siswa jarang menerima hukuman fisik, mereka sering mengerjakan tugas bukan karena
mereka ingin belajar atau karena mereka menikmatinya, tetapi lebih disebabkan oleh
keinginan menghindari hukuman seperti kritik dari guru, kehilangan hak-hak istimewa, dan
diminta menghadap ke kantor kepala sekolah. Keprihatinan yang kedua adalah bahwa
penguatan jarang diberikan di sekolah dan ketika diberikan sering pada saat yang tida tepat.
Guru memerhatikan masing-masing siswa hanya selama beberpa menit setiap harinya.
Ketika siswa menegrjakan tugas di bangku mereka masing-masing ,ada selang waktu
beberapa menit yang berlalu antara ketika mereka selesai mengerjakan tugas dan ketika
mereka menerima umpan balik dari guru. Akibatnya, siswa tidak belajar secara benar, yang
berarti bahwa guru harus mengalokasikan tambahan waktu untuk memberikan umpan balik
perbaikan. Dan perhatian ketiga Skinner adalah bahwa cakupan dari rangkaian kurikulum-
kurikulum telah menjamin bahwa seluruh siwa akan berhasil memperoleh keterampilan-
keterampilan yang di ajarkan. Para siswa tidak belajar dengan kecepatan yang sama. Untuk
dapat menyelesaikan seluruh materi, guru kadang-kadang beralih ke pelajaran yang
sebelum semua siswa mengusai pelajaran sebelumnya.

Tujuan-tujuan Behavioral (Behavioral Objectives)


Tujuan-tujuan behavioral dapat berkisar dari yang umum ke yang spesifik. Tujuan-tujuan
umum atau yang kurang konkret seperti “meningkatkan kesadaran siswa” dapat dipenuhi oleh
hampir segala jenis pengajaran. Sebaliknya, tujuan tujuan yang lebih spesifik dan yang
mendokumentasikan setiap detail perilaku siswa akan memakan banyak waktu untuk
menuliskannya dan dapat menyebabkan guru tidak bisa melihat hasil-hasil pembelajaran yang
paling penting.
Sebuah tujuan yang bagus terdiri dari empat bagian:

 Kelompok siswa yang spesifik


 Perilaku-perilaku aktual yang harus dijalankan siwa sebagai akibat aktivitas-aktivitas
pengajaran
 Kondisi-kondisi atau konteks-konteks di mana siswa akan menjalankan periku-perilaku
tersebut
 Kriteria-kriteria dalam menilai perilaku-perilaku siswa untuk mengetahui apakah tujuan-
tujuan yang ditentukan telah terpenuhi.

16
Tujuan tujuan behavioral dapat membantu menentukan hasil-hasil akhir pembelajaran yang
penting yang membantu perancangan rencana pelajaran dan pengujian untuk menilai
pembelajaran. Berdasarkan tujuan-tujuan dari materi pelajaran dan jenis waktu yang ditentukan
untuk penyelesaiannya, guru dapat menetapkan tujuan-tujuan yang mana yang penting dan
setelah itu fokus pada tujuan-tujaun yang telah diseleksi tersebut. Meskipun tujuan-tujuan untuk
hasil-hasil pembelajaran yang levelnya lebih rendah (pengetahuan, pemahaman) pada umumnya
lebih mudah untuk diidentifikasikan. Tujuan-tujaun behavioral yang bagus dapat dituliskan
untuk menilai hasil-hasil belajar yang tingkatannya lebih tinggi (aplikasi, analisis, sintesis, dan
evaluasi) pula.
Efek dari tujuan terhadap pembelajaran tergantung pada mengalaman siswa sebelumnya
dengan tujuan tersebut dan pada seberapa penting mereka memandang tujuan tersebut. Latihan
dalam menggunakan tujuan-tujuan atau pengetahuan tentang pengajaran berbasis kriteria
menghasilkan pembelajaran yang lebih baik dibandingkan dengan tidak adanya latihan dan
pengetahuan tersebut. Ketika siswa dapat menentukan sendiri materi apa yang penting untuk
dipelajari, memberikan mereka tujuan-tujuan tidak akan membantu pembelajarannya. Memeberi
tahu siswa tentang tujuan-tujuan kiranya akan lebih penting ketika siwa belum tahu materi-
materi mana yang penting.

Waktu Belajar
Caroll merumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi berapa banyak waktu belajar yang
dibutuhkan dan berapa banyak waktu yang benar-benar digunakan untuk belajar.
Waktu yang dibutuhkan untuk belajar. Salah satu pengaruh terhadap faktor ini adalah
kecendrungan untuk mempelajari tugas (aptitute for learning the task). Kecendrungan belajar
tergantung pada jumlah pembelajaran sebelumnya yang relevan dengan tugas dan pada
karakteristik-karakterisrtik personal seperti kemampuan dan sikap. Faktor kedua adalah
kemampuan untuk memahami pelajaran. variabel ini berinteraksi dengan metode pengajaran;
contohnya, sebahagian siswa memahami pengajaran verbal dengan baik sementara sebahagian
yang lainnya lebih dapat belajar dengan baik dari presentasi-prsentasi visual.
Kualitas pengajaran mengacu seberapa baik tugas dioraganisasikan dan disajikan pada
para pembelajar. Kualitas mencakup pada hal yang disampaikan pada para pembelajar, apa yang
akan mereka pelajari dan bagaimana mereka akan mepelajarinya. Kondisi dimana mereka
memiliki kontak yang memadai dengan materi-materi pelajaran, dan berapa banyak pengetahuan
prasyarat yang didapatkan sebelum mempelajari tugas yang diberikan. Makin rendah kualitas
pengajaran, makin banyak waktu yang dibutuhkan siswa untuk belajar.
Waktu yang Digunakan untuk Belajar. Waktu yang dialokasikan untuk belajar adalah
salah satu pengaruh terhadap faktor ini. Kurikulum sekolah mencakup begitu banyak muatan ajar
sehingga waktu yang dialokasikan untuk tipe pembelajaran tertentu kurang dari optimal bagi

17
sebahagian siswa. Ketika guru menyampaikan materi keseluruh siswa sekaligus dalam kelas,
sebahagian siswa mungkin akan kesulitan memahami semuanya dan membutuhkan tambahan-
tambahan pelajaran. Ketika siswa dikelompokkan berdasarkan kemampuan mereka waktu yang
dialokasikan untuk muatan ajar yang berbeda-beda akan beragam tergantung pada kelancaran
siswa dalam belajar.
Pengaruh kedua adalah banyaknya waktu yang tersedia diluangkan oleh para siswa untuk
belajar. Meskipun siswa diberi banyak waktu untuk belajar, mereka bisa saja tidak
mempergunakan waktu secara produktif. Apakah itu arena minat belajara yang rendah, tingkat
kesulitan tugas dalam pandangan siswa, atau faktor-faktor lainnya, siwa jadi tidak termotivasi
unruk bertahandalam mengerjakan suatu tugas selama jangka waktu ang mereka butuhkan dalam
mepelajarinya.

Belajar Menguasai
Untuk menentukan penguasaan, guru mempersiapkan serangkaian tujuan dari sebuah
ujian akhir (tes sumatif). Kemudian, level pengusaan ditetapkan (misalnya, dimana para
kelompok siswa biasanya belajar dibawah pangajaran tradisional). Guru memecah mata
pelajarannya manjadi materi-materi pelajaran yang dipetakan menurut tujuan-tujuan mata
pelajaran.
Maksud dari perencanaan untuk penguasaan adalah, guru merencanakan prosedur-
prosedur pengajaran untuk mereka sendiri dan untuk siswa. Di dalamnya mencakup prosedur-
prosedur umpan balik perbaikan (evaluasi formatif). Evaluasi tersebut biasanya berupa tes-tes
penguasaan materi yang menetapkan penguasaan pada level tertentu (misalnya, 90%), pelajaran
perbaikan yang diberikan pada para siswa yang gagal menguasai aspek-aspek dari tujuan-tujuan
materi pelajaran diadakan dalam sesi-sesi kelompok belajar kecil, pelajaran-pelajaran privat, dan
materi-materi tambahan.
Pada permulaan pengajaran unruk penguasaan, guru mengarahkan para siswanya pada
prosedur-prosedur penguasaan dan memberikan pelajaran untuk keseluruhan kelas dalam
kelompok-kelompok kecil, atau aktivitas-aktivitas tugas individu. Guru memberikan tes formatif
dan manyatakan para siswa yang mana saja yang telaah mencapai level penguasaan. Para siswa
yang belum berhasil dapat belajar dalam kelompok-kelompok kecil untuk mengulang lagi
materi-materi perbaikan disamping juga mengerjakan PR. Penilaian untuk menguasaan
mencakup sebuah tes sumatif (akhir mata pelajaran). Para siswa yang skor tesnya pada level
pencapaian penguasaan mata pembelajaran tersebut atau di atasnya mendapat nilai A, sementara
mereka yang skornya di bawah level itu akan diberi nilai sesuai dengan tingkatannya.

Pelajaran Terprogram

18
Pelajaran terprogram (PI/Programmed Instruction) merupakan materi-materi pelajaran
yang dikembangakn menurut prinsip-prinsip pengkondosian operan. Pada 1920-an, Sidney
Pressey merancang mesin-mesin yang pengguanan utamanya adalah untuk memberikan tes. Para
siswa diberi pertanyaan-pertanyaan pilihan ganda lalau mereka menekan sebuh tombol yang
sesuai dengan jawaban yang mereka pilih. Jika jawaban benar, mesin akn memeberikan pilihan
berikutnya, jika respon mereka salah, kesalahannya dicatat dan mereka melanjutkan merespon
item-item lain.
Skinner menghidupkan kembali mesin Pressey pada 1950-an dan mengubahnya untuk
menyertakan pengajaran. Tiap frame atau kotak mengharuskan siswa memeberikan respon yang
jelas. Materi-materinya dirangkaikan secara hati-hati dipecah-pecah menjadi unit-unit kecil
untuk memininalkan masalah kesalahan. Siswa menerima umpan balik langsung yang
memeberitahukan keakuratan dari tiap respon. Mereka berlanjut game berikutnya ketika
jawabannya mereka benar. Ketika jawaban mereka salah ada materi tambahan yang ditampilkan
untuk mereka. Meskipun kesalahan-kesalahan respon terjadi, program-programnya dirancang
untuk menimalisir kesalahan dari memastikan bahwa siswa kan berhasil.

Kontrak Kontigensi
Kontak kontigensi adalah sebuah kesepakatan antara guru dan siswa dalam menentukan
tugas apa yang akan diselesaikan oleh siwa dan hasil yang bagaimana yang diharapkan
(penguatan) unruk memeperoleh kinerja belajar yang baik. Sebuah kontrak dapat dibuat secara
verbal, meskipun biasanya bentunya tertulis. Guru dapat merancang kontrak dan menanyakan
pada siswa apakah ia sepakat dengan rancangan tersebut, tetapi biasanya guru dan siswa
membuatnya bersama-sama. Keuntungan dari partisipasi bersama ini adalah siswa dapat merasa
lebih berkomitmen untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam kontrak. Ketika seseorang
berpartisipasi dalam pemilihan tujuan, sering kali ia merasa beekomitmen dalam mencapai
ytujuan tersebut daripada kalau dia tidak diikutsertakan dalam proses pemilihan tujuannya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Yufiarti, Psikologi Pendidikan dalam Penerapannya. Jakarta: CHCD Offset, 2009.

Schunk, Dale H. Teori-teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan. Edisi 6.


Diterjemahkan oleh Eva Hamdiah dan Rahmat Fajar. Jogyakarta: Pustaka Pelajar.

A. King, Laura, Psikologi Umum. Jilid 1, Jakarta: Salemba Humanika, 2010.

Suryabrata, Sumadi. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada


Syah M.Ed., Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Sumber : http://oktavianipratama.wordpress.com/makalah-makalah/teori-belajar-b-f-skinner/
http://tugas-makalah.blogspot.co.id/2012/06/teori-belajar.html?m=1, data diakses pada tanggal 5
November 2016

20

Anda mungkin juga menyukai