Anda di halaman 1dari 9

A.

Teori Belajar Menurut Ivan Pavlov


van Petrovich Pavlov (1849-1936) adalah seorang behavioristik terkenal
dengan teori pengkondisian asosiatif stimulus-respons dan hal ini yang dikenang
darinya hingga kini. Classic conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik)
adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing,
dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara
berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan (Bell, 1994).
Ia menemukan bahwa ia dapat menggunakan stimulus netral, seperti
sebuah nada atau sinar untuk membentuk perilaku (respons). Eksperimeneksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh
pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari
perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral
dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan
tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti
yang benar jika ia berbuat sesuatu.Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan
menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah
sesuai dengan apa yang di inginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen
dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki
kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara
hakiki manusia berbeda dengan binatang (Bell, 1994).
Penemuan Pavlov yang sangat menentukan dalam sejarah psikologi
adalah hasil penyelidikannya tentang refleks berkondisi (conditioned reflects).
Dengan penemuannya ini Pavlov meletakkan dasar-dasar Behaviorisme, sekaligus
meletakkan dasar-dasar bagi penelitian-penelitian mengenai proses belajar dan
pengembangan teori-teori tentang belajar. Bahkan Amerika Psychological
Association (A.P.A.) mengakui bahwa Pavlov adalah orang yang terbesar
pengaruhnya dalam psikologi modern di samping Freud (Purwanto, 2004).
Classic conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah
proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana
perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara
berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan (Purwanto, 2004).
Pandangannya yang paling penting adalah bahwa aktivitas psikis
sebenarnya tidak lain daripada rangkaian-rangkaian refleks belaka. Karena itu,
untuk mempelajari aktivitas psikis (psikologi) kita cukup mempelajari refleks-

refleks saja. Pandangan yang sebenarnya bermula dari seorang tokoh Rusia lain
bernama I.M. Sechenov. Sechenov yang banyak mempengaruhi Pavlov ini,
kemudian dijadikan dasar pandangan pula oleh John B. Watson di Amerika
Serikat dalam aliran Behaviorismenya setelah mendapat perubahan-perubahan
seperlunya (Syah, 2006).
Karya yang membuat Pavlov memiliki reputasi sebenarnya bermula
sebagai studi dalam pencernaan. Ia sedang mencari proses pencernaan pada
anjing, khususnya hubungan timbal balik antara air ludah dan kerja perut. Ia sadar
kedua hal itu berkaitan erat dengan refleks dalam sistem syaraf otonom. Tanpa air
liur, perut tidak membawa pesan untuk memulai pencernaan. Pavlov ingin melihat
bahwa rangsangan luar dapat memengaruhi proses ini, maka ia membunyikan
metronom dan di saat yang sama ia mengadakan percobaan makanan anjing.
Setelah beberapa saat, anjing itu yang sebelumnya hanya mengeluarkan liur, lalu
saat mereka melihat dan memakan makanannya anjing akan mulai mengeluarkan
air liur saat metronom itu bersuara, malahan jika tiada makanan ada (Purwanto,
2004).
Pada 1903 Pavlov menerbitkan hasil eksperimennya dan menyebutnya
"refleks terkondisi," berbeda dari refleks halus, seperti. Pavlov menyebut proses
pembelajaran ini (sebagai contoh, saat sistem syaraf anjing menghubungkan suara
metronom dengan makanan) "pengkondisian". Ia juga menemukan bahwa refleks
terkondisi akan tertekan bila rangsangan ternyata terlalu sering "salah". Jika
metronom bersuara berulang-ulang dan tidak ada makanan, anjing akan berhenti
mengeluarkan ludah (Syah, 2005).
Pavlov lebih tertarik pada fisiologi ketimbang pdikologi. Ia melihat pada
ilmu psikiatri yang masih baru saat itu sedikit meragukan. Namun ia sungguhsungguh berpikir bahwa refleks terkondisi dapat menjelaskan perilaku orang gila.
Sebagai contoh, ia mengusulkan, mereka yang menarik diri dari dunia bisa
menghubungkan semua rangsangan dengan luka atau ancaman yang mungkin.
Gagasannya memainkan peran besar dalam teori psikologi behavioris,
diperkenalkan oleh John Watson sekitar 1913 (Brennan, 2006).
Ivan Pavlov adalah seorang ahli psikologi refleksologi dari rusia yang
mengadakan percobaan pada anjing . moncong anjing dibedah sehingga kelenjar
ludahnya berada di luar pipinya dan dimasukkan di kamar gelap serta ada sebuah
lubang di depan moncong empat menyodrkan makanan atau menyemprotkan

cahaya . pada moncng yang dibedah dipasang selang yang dihubungkan dengan
tabung di luar kamar sehingga dapat diketahui keluar atau tidaknya air liur pada
waktu percobaan. Hasil percobaan mengatakan bahwa gerakan reflek itu juga
dapat dipelajari dan dapat berubah karena mendapat latihan, sehingga dapat
dibedakan dua macam refleks, yaitu refleks bersyarat/refleks yang dipelajari, yaitu
keluarnya air liur karena menerima/bereaksi terhadap warna sinar tertentu, atau
terhadap suatu bunyi tertentu (Brennan, 2006).
Teori di atas juga disebut dengan teori classical, yang merupakan sebuah
prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum
terjadinya refleks tersebut. Disebut classical karena yang mengawali nama teori
ini untuk menghargai karya ivan Pavlov yang paling pertama di bidang
conditioning (upaya pembiasan) , serta untuk membedakan dari teori lainnya.
Teori ini disebut juga respondent conditioning (pembiasan yang dituntut). Teori
ini sering disebut juga contemporary behaviorists atau juga disebut S-R
psychologists yang berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan
oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Jadi
tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi behavioral dengan
stimulasinya. Guru yang menganut pandangan ini bahwa masa lalu dan pada masa
sekarang dan segenap tingkah laku merupakan reaksi terhadap lingkungan mereka
merupakan hasil belajar. Teori ini menganalis kejadian tingkah laku dengan
mempelajari latar belakang penguatan (reinforcement) terhadap tingkah laku
tersebut (Djaali, 2008).
Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih.
Bectrev murid Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada
manusia, yang ternyata diketemukan banyak reflek bersyarat yang timbul tidak
disadari manusia. Eksperimen yang dilakukan oleh pavlov menggunakan anjing
sebagai subjek penelitian. Berikut adalah gambar dari experimen Pavlov
(Sarlito&Sarwono, 2002).

Gambar 1. Tahap-tahap Eksperimen Pavlov pada Anjing


(Sumber: Sarlito&Sarwono, 2002)

Berikut adalah tahap-tahap eksperimen dan penjelasan dari gambar diatas


(Sarlito&Sarwono, 2002).
1. Gambar pertama. Dimana anjing, bila diberikan sebuah makanan (UCS) maka
secara otonom anjing akan mengeluarkan air liur (UCR).
2. Gambar kedua. Jika anjing dibunyikan sebuah bel maka ia tidak merespon atau
mengeluarkan air liur.
3. Gambar ketiga. Dalam eksperimen ini anjing diberikan sebuah makanan (UCS)
setelah diberikan bunyi bel (CS) terlebih dahulu, sehingga anjing akan
mengeluarkan air liur (UCR) akibat pemberian makanan.
4. Gambar keempat. Setelah perlakukan ini dilakukan secara berulang-ulang,
maka ketika anjing mendengar bunyi bel (CS) tanpa diberikan makanan, secara
otonom anjing akan memberikan respon berupa keluarnya air liur dari
mulutnya (CR).
Dari percobaan ini adalah bahwa tingkah laku sebenarnya tidak lain
daripada rangkaian refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks yang terjadi setelah
adanya proses pengondisian (conditioning process) di mana refleks-refleks yang
tadinya dihubungkan dengan rangsang-rangsang tak berkondisi lama-kelamaan
dihubungkan dengan rangsang berkondisi (Slavin, 2011).
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing
menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya (Slavin, 2011):
1. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika
dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi
sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
2. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika
refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan
kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
Menurut teori conditioning belajar itu adalah suatu proses perubahan yang
terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan
reaksi (response). Untuk menjadikan seseorang itu belajar haruslah kita
memberikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting dalam belajar menurut teori

conditioning ialah adanya latihan-latihan yang continue (terus-menerus). Yang


diutamakan dalm teori ini adalah hal belajar yeng terjadi secara otomatis (Ormrod,
2008).
Berdasarkan

eksperimen

dengan

menggunakan

anjing,

Pavlov

menyimpulkan bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu harus dilakukan


secara berulang-ulang dengan melakukan pengkondisian tertentu. Pengkondisian
itu adalah dengan melakukan semacam pancingan dengan sesuatu yang dapat
menumbuhkan tingkah laku itu. Hal ini dikarenakan classical conditioning adalah
sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus
sebelum terjadinya refleks tersebut (Ormrod, 2008).
Suatu stimulus akan menimbulkan respons tertentu apabila stimulus itu
sering diberikan bersamaan dengan stimulus lain yang secara alamiah
menimbulkan respons tersebut. Dalam hal ini perubahan perilaku terjadi karena
adanya asosiasi antara kedua stimulus tersebut (Slavin, 2011).
Berdasarkan hasil eksperimen tersebut, Pavlov juga menyimpulkan bahwa
hasil eksperimennya itu juga dapat diterapkan kepada manusia untuk belajar.
Implikasi hasil eksperimen tersebut pada kegiatan belajar manusia adalah bahwa
belajar pada dasarnya membentuk asosiasi antara stimulus dan respons secara
reflektif, proses belajar akan berlangsung apabila diberi stimulus bersyarat
(Slavin, 2011).
Pada akhir 1800an dan awal 1900an, ilmuwan rusia ivan Pavlov dan
rekan-rekannya mempelajari proses pencernaan anjing . selama riset berlangsung ,
para ilmuwan ini memperhatikan Perubahan waktu dan kadar pengeluaran air liur
hewan ini. Pavlov mengamati bahwa , jika tepung dging diletakkan didalam
mulut atau dekat mulut anjing yang lapar, hewan tersebut akan mengeluarkan air
liur, karena tepung daging membangkitkan tanggapan ini dengan otomatis tanpa
satu pun pelatihan atau pengkondisian sebelumnya, tepung daging tadi disebut
rangsangan tanpa pengkondisian (Slavin, 2011).
Sama halnya, karena pengeluaran air liur terjadi otomatis dengan
kehadiran daging, yang juga tanpa memerlukan sedikit pun pelatihan atau
pengalaman , tanggapan pengeluaran air liur ini disebut tanggapan tanpa
pengkondisian. Sementara daging tersebut akan menghasilkan air liur tanpa

sedikit pun pengalaman atau pelatihan sebelumnya, rangsangan

lain, seperti

lonceng, tidak akan menghasilkan air liur. Karena tidak mempenyuai dampak
pada tanggapan tersebut, rangsangan ini disebut rangsangan netral (Slavin, 2011).
Eksperimen Pavlov memperlihatkan bahwa, apabila rangsangan netral
sebelumnya dipasangkan dengan rangsangan tanpa pengkondisian, rangsangan
netral tersebut menjadi rangsangan pengkondisian dan memperoleh kekuatan
untuk mendorong tanggapan yang mirip dengan apa yang dihasilkan rangsangan
tanpa pengkondisian tadi. Dengan kata lain setelah lonceng dan daging disodorkan
bersama-sama, bunyi lonceng itu sendiri mengakibatkan anjing mengeluarkan air
liur.. proses ini disebut pengkondisian klasik (Slavin, 2011).
Kelemahan dari teori conditioning ini adalah, teori ini mengangaap
bahwa belajar itu hanyalah terjadi secarab otomatis, keaktifan dan penentuan
pribadi dalam tidak dihiraukannya. Peranan latihan atau kebiasaan terlalu
ditonjolkan. Sedangkan kita tidak tahu bahwa dalam bertindak dan berbuat
sesuatu manusia tidak semata-mata tergantung kepada pengaruh dari luar. Aku
atau pribadinya sendiri memegang peranan dalam memilih dan menentukan
perbuatan dan reaksi apa yang akan dilakukannya. Teori conditioning ini memang
tepat kalau kita hubungkan dengan kehidupan binatang. Pada manusia teori ini
hanya dapat kita terima dalam hal-hal belajar tertentu. Umpamanya dalam belajar
yang mengenai skills (kecekatan-kecekatan) tertentu dan mengenai pembiasaan
pada abak-anak kecil (Slavin, 2011).
B. Deskripsi Karakter Teori Ivan Pavlov
Dalam istilah yang lebih umum, kondisioning klasik berlangsung sebagai
berikut (Djaali, 2008):
1. Dimulai dengan asosiasi stimulus-respons yang telah ada sebelumnya, dengan
kata lain, sebuah asosiasi stimulus respons tak terkondisi (unconditioned).
Anjing Pavlov mengeluarkan liur secara otomatis setiap kali mencium baud
aging dan alan merasa cemas dan menghindar setiap kali menjumpai stimulus
yang menyakitkan.: tidak ada pembelajaran pada kedua kasus ini. Ketiak
sebuah stimulus mengarah pada sebuah respons khusus tanpa ada pembelajaran
sebelumnya (prior learning), kita mengatakan bahwa sebuah stimulus tak
terkondisi menimbulkan sebuah respons tak terkondisi pula, respon tak

terkondisi umumnya adalah sebuah respons otomatis dan tidak diengaja,


atasnya pembelajar kurang atau tidak memiliki kontrol sama sekali.
2. Kondisioning terjadi ketika sebuah stimulus netral yang tidak menimbulkan
respons khusus apapun disajikan segera sebelum stimulus tak terkondisi.
Dalam kasus anjing Pavlov , cahaya disajikan segera sebelum daging . dalam
kasus alan, bola kasti

dipukul segera sebelum dampak pukulan yang

menyakitkan. Kondisioning secara khusus mungkin terjadi ketika kedua


stimulus dihadirkan secara bersamaan dalam beberapa kesempatan dan ketika
stimulus netral muncul hanya ketika stimulus tak terkondisi akan
mengikutinya.
3. Segera setelahnya , stimulus yang baru itu juga menimbulkan sebuah respons,
biasanya mirip sangat dnegan respons tak terkondisi. Stimulus netral ini telah
menjadi stimulus terkondisi, dan respons terhadap stimulus ini dinamakan
respon terkondisi. Sebagai contoh, anjing Pavlov menampilkan respns
terkondisi berupa air liur terhadap sebuah stimulus baru, yaitu terkondisi yakni,
cahaya. Begitu pula alan menampilkan respons terkondisi berupa kecemasan
dan menghindari memukul bola dalam permainan kasti. Seperti halnya respons
tak terkondisi, respons ini muncul secara otomatis setiap kali stimulus
terkondisi dihadirkan.
Kondisional klasik seringkali digunakan untuk menjelaskan mengapa
orang terkadang menampilkan respons secara emosional terhadap apa yang
mungkin dianggap orang lain sebagai stimulus-stimulus netral. Ketika sebuah
stimulus khusus dikaitkan dengan sesuatu yang membuat kita bahagia atau rileks,
stimulus tersebut dapat menimbulkan perasaan bahagia atau rileks yang sama.
Ketika sebuah stimulus dikaitkan dengan sesuatu yang membuat kita takut atau
cemas, hal tersebut juga menimbulkan perasaan takut dan cemas yang sama
(Ormrod, 2008).
Menurut Ormrod (2006) menyatakan bahwa ada dua fenomena umum
dalam kondisioning klasik yakni:
a. Generalisasi
Generalisasi yaitu fenomena dimana seseorang mempelajari sebuah
respons terhadap stimulus tertentu dan kemudian membuat respons yang sama
terhadap stimulus yang serupa; dalam kondisioning klasik, hal ini mencakup

membuat respons terkondisi terhadap suatu stimulus yang serupa dengan stimulus
terkondisi (Ormrod, 2008).
Ketika orang mempelajari respons terkondisi terhadap stimulus baru,
respon yang sama terhadap stimulus yang serupa juga bisa terjadi fenomena ini
dikenal dengan nama generalisasi. Sebagai contoh, seorang anak laki-laki yang
merasa cemas dengan soal pembagian panjang dapat menggeneralisasikan
kecemasannya pada aspek-aspek lain dari pelajaran matematika. Dan seorang
anak perempuan yang mengalami penghinaan di sebuah kelas dapat
menggeneralisasikan rasa malunya di kelas lainnya. Dalam teori perilsku,
generalisasi adalah alat utama dimana pembelajar mentransfer apa yang telah
mereka pelajari dalam satu situasi ke situasi yang baru. Di sini kita melihat satu
alasan lagi mengapa siswa seharusnya mengaitkan (asociate) perasaan-perasaan
yang menyenangkan dengan materi peljaran di kelas. Reaksi-reaksi siswa
terhadap topik pelajaran, kegiatan, atau konteks tertentu dapat digeneralisasikan
yaitu mereka mengalihkannya ke topic kegiatan, atau konteks yang serupa.
b. Ekstinksi
Ekstinksi penghilangan secara bertahap sebuah respons yang telah
diperoleh; dalam kondisioning klasik , hal itu merupakan hasil kehadiran secara
berulang dari stimulus terkondisi tanpa disertai kehadiran stimulus tak terkondisi.
Pavlov menemukan bahwa respoms terkondisi tidak bertahan selamanya. Dengan
memasangkan cahaya dan daging , Pavlov mengkondisikan seekor anjing supaya
air liur hanya terhadap cahaya. Tetapi selanjutnya, ketika Pavlov menyalakan
cahaya berulang-ulang tanpa dilanjutkan tanpa pemberian daging, air liur anjing
semakin berkurang. Pada akhirnya anjing tidak lagi mengeluarkan air liur ketika
melihat kilatan cahaya. Ketika stimulus terkondisi muncul berulang-ulang tanpa
disertai stimulus tak terkondisi misalnya ketika pelajaran matematika tidak pernah
lagi dihubungkan dengan kegagalan, atau ketika guru tidak pernah lagi
diasosiasikan dengan penghinaan, respons terkondisi akan berkurang dan pada
akhirnya menghilang. Dengan kata lain , ekstinksi telah terjadi (Ormrod, 2008).
Banyak respons terkondisi hilang seiring berjalannya waktu. Sayangnya
banyak respons lain yang bertahan. Ketakutan seorang anak terhadap air atau
kecemasan mengenai mata pelajaran matematika bisa terus bertahan selama

bertahun-tahun. Satu alasan yang membuat ketakutan dan kecemasan bisa


bertahan dalam jangka waktu yang lama adalah orang yang belajar cenderung
menghindari situasi yang menyebabkan reaksi emosional negatif. tetapi jika orang
yang belajar itu menghindar dari

stimulus menyebabkan mereka ketakutan,

mereka tidak pernah memiliki kesempatan untuk mengalami stimulus itu bila
stimulus tak terkondisi yang awalnya berpasangan dengan stimulus itu tidak
ada/hadir. Akibatnya mereka tidak memiliki kesempatan belajar menjadi tidak
takut, tidak ada lagi kesempatan bagi respons itu untuk mengalami ekstinksi
(Purwanto, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Bell, Margareth E. 1994. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Brennan, J. F. 2006. Sejarah dan Sistem Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Djaali. 2008. Psikologi Pendidikan.Jakarta: Bumi Aksara.
Ormrod, J.E. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Purwanto, N. 2004. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sarlito W. & Sarwono. 2002. Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh
Psikologi. Surakarta: PT Bulan Bintang.
Slavin, R.E. 2011. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik. Jakarta: PT. Indeks.
Syah, M. 2005. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT.
Rosdakarya.
Syah, M. 2006. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai