Anda di halaman 1dari 18

TUGAS TERAPAN PSIKOLOGI BELAJAR

Teori Ivan Petrovich Pavlov

Disusun oleh :

Edidwiatmaja (1507044041)
Fian Sutor L. Mananga (1507044045)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2016
PENDAHULUAN

I. Latar belakang

Manusia adalah makhluk yang belajar. Maka, untuk sampai pada derajat yang
disebut belajar manusia harus mampu mengadakan dan atau mengalami perubahan-perubahan.
Baik itu perubahan tiap individu ataupun bahkan secara global. Namun, perubahan-perubahan
yang diharapkan adalah perubahan ke arah yang baik, perubahan yang menjadikan manusia
menjadi makhluk yang memelihara alam semesta sesuai dengan mandat dari Allah SWT.
Sehingga manusia harus mencari dan mencapai hakikat belajar sampai sedalam-dalamnya.
Memasuki abad ke-19 beberapa ahli psikologi mengadakan penelitian eksperimental
tentang teori belajar, walaupun pada waktu itu para ahli menggunakan binatang sebagai objek
penelitiannya. Penggunaan binatang sebagai objek penelitian didasarkan pada pemikiran
bahwa apabila binatang yang kecerdasannya dianggap rendah dapat melakukan eksperimen
teori belajar, maka sudah dapat dipastikan bahwa eksperimen itupun dapat berlaku bahkan
dapat lebih berhasil pada manusia, karena manusia lebih cerdas daripada binatang
Sedemikian pentingnya sesuatu yang terdapat dalam belajar, hingga para ahli
psikologi sampai melakukan penelitian yang begitu unik dan mungkin tidak terpikirkan bagi
manusia biasa yang hidup tanpa berpikir kritis. Namun, penelitian mereka bukan berarti tidak
memiliki manfaat atau kegunaan untuk penelitian selanjutnya, justru penelitian mereka
terhadap binatang menjadi langkah awal untuk meneliti tentang bagaimana belajarnya
manusia. (Hamzah, 2010)
Menurut Crow and Crow , psicology is the study of human behavior and human
relationship . Psikologi adalah tingkah laku manusia , yakni interaksi manusia dengan dunia
sekitarnya .Pengertian “ tingkah laku ” meliputi tingkah laku yang nyata ( eksplisit : terbuka )
seperti berbicara , membaca , tertawa , melompat , dsb . Sedangkan tingkah laku yang tidak
nyata ( implicit : tertutup ) seperti berpikir , mengingat , merasakan , menghendaki , dsb
Psikologi lebih banyak dikaitkan sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha memahami
perilaku manusia , alasan dan cara mereka melakukan sesuatu , dan juga memahami
bagaimana manusia berpikir dan berperasaan .
Sedangkan belajar dapat diartikan sebagai suatu perubahan yang terjadi dalam diri
seseorang mengenai hal-hal yang bermanfaat baginya melalui interaksi dengan lingkungan
sekitarnya. Aktivitas yang yang dipahami sebagai serangkaian kegiatan jiwa raga , psikofisik ,
menuju ke perkembangan pribadi individu seutuhnya yang menyangkut unsur cipta ( kognitif )
, rasa ( afektif ) , dan karsa ( psikomotor ) . Perkembangan dalam arti belajar disini dipahami
sebagai “ perubahan “ yang relative permanen pada aspekpsikologis . (Hamzah, 2010)
PEMBAHASAN

I.             Biografi Ivan Petrovich Pavlov


Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) adalah seorang behavioristik terkenal dengan
teori pengkondisian asosiatif stimulus-respons dan hal inilah yang dikenang darinya hingga
kini.Ivan Petrovich Pavlov, Sarjana Rusia ini dilahirkan di Rusia pada tanggal 14 September
1849 dan meninggal di Leningrad pada tanggal 27 Februari 1936. Ia tidak pernah memiliki
hambatan serius
dalam sepanjang kariernya meskipun terjadi kekacauan dalam revolusi Rusia. Sebenarnya ia
bukan seorang sarjana psikologi dan ia pun tidak berkeinginan disebut sebagai ahli psikologi,
karena ia adalah seorang sarjana ilmu faal yang fanatik. Cara berpikirnya adalah sepenuhnya
cara berpikir ahli ilmu faal, bahkan ia sangat anti terhadap psikologi karena dianggapnya
kurang ilmiah. Dalam penelitian-penelitiannya ia selalu berusaha menghindari konsep-konsep
maupun istilah-istilah psikologi. Sekalipun demikian, peranan Pavlov dalam psikologi sangat
penting, karena studinya mengenai refleks-refleks merupakan dasar bagi perkembangan
aliran psikologi behaviorisme.
             Pandangannya yang paling penting adalah bahwa aktivitas psikis sebenarnya tidak
lain daripada rangkaian-rangkaian refleks belaka. Karena itu, untuk mempelajari aktivitas
psikis (psikologi) kita cukup mempelajari refleks-refleks saja. Pandangan yang sebenarnya
bermula dari seorang tokoh Rusia lain bernama I.M. Sechenov. Sechenov yang banyak
mempengaruhi Pavlov ini, kemudian dijadikan dasar pandangan pula oleh John B. Watson di
Amerika Serikat dalam aliran Behaviorismenya setelah mendapat perubahan-perubahan
seperlunya.
Dasar pendidikan Pavlov memang ilmu faal. Mula-mula ia belajar ilmu faal hewan dan
kemudian ilmu kedokteran di Universitas St. Petersburg. Pada tahun 1883 ia mendapat gelar
Ph.D. setelah mempertahankan tesisnya mengenai fungsi otot-otot jantung. Kemudian selama
dua tahun ia belajar di Leipzig dan Breslau. Pada tahun 1890 ia menjadi profesor dalam
farmakologi di Akademi Kedokteran Miilter di St. Petersburg dan Direktur Departemen Ilmu
Faal di Institute of Experimental Medicine di St. Petersburg. Antara 1895 – 1924, ia menjadi
profesor ilmu faal di Akademi Rusia di Leningrad. Pada 1904, ia mendapat Hadiah Nobel
untuk penelitiannya tentang pencernaan (bidang fisiologi pencernaan).
Pavlov memulai karier keduanya dengan mendalami studi refleks psikis pada usia 50
tahun, sedangkan dia mengawali karier ketiganya dengan mendalami studi aplikasi karyanya
pada pengkondisian penyakit mental pada usia 80 tahun. Penemuan Pavlov yang sangat
menentukan dalam sejarah psikologi adalah hasil penyelidikannya tentang refleks berkondisi
(conditioned reflects). Dengan penemuannya ini Pavlov meletakkan dasar-dasar
Behaviorisme, sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi penelitian-penelitian mengenai proses
belajar dan pengembangan teori-teori tentang belajar. Bahkan Amerika Psychological
Association (A.P.A.) mengakui bahwa Pavlov adalah orang yang terbesar pengaruhnya dalam
psikologi modern di samping Freud.
II.           Observasi Empiris Ivan Petrovich Pavlov
Pengkondisian  Klasik   atau  Classical   conditioning  ditemukan  secara  kebetulan
oleh Pavlov di dekade 1890-an. Saat itu Pavlov sedang mempelajari bagaimana air liur
membantu proses pencernaan makanan.Jalan eksperimen tentang refleks berkondisi yang
dilakukan Pavlov adalah sebagai berikut, Pavlov menggunakan seekor anjing sebagai
binatang percobaan. Anjing itu diikat dan dioperasi pada bagian rahangnya sedemikian rupa,
sehingga tiap-tiap air liur yang keluar dapat ditampung dan diukur jumlahnya.
Pavlov kemudian menekan sebuah tombol dan keluarlah semangkuk makanan di
hadapan anjing percobaan. Sebagai reaksi atas munculnya makanan, anjing itu mengeluarkan
air liur yang dapat terlihat jelas pada alat pengukur. Makanan yang keluar disebut sebagai
perangsang tak berkondisi (unconditioned stimulus) dan air liur yang keluar setelah anjing
melihat makanan disebut refleks tak berkondisi (unconditioned reflects), karena setiap anjing
akan melakukan refleks yang sama (mengeluarkan air liur) kalau melihat rangsang yang sama
pula (makanan).
Kemudian dalam percobaan selanjutnya Pavlov membunyikan bel setiap kali ia
hendak mengeluarkan makanan. Dengan demikian, anjing akan mendengar bel dahulu
sebelum ia melihat makanan muncul di depannya. Percobaan ini dilakukan berkali-kali dan
pada saat yang sama keluarnya air liur diamati secara terus-menerus. Mula-mula air liur
hanya keluar setelah anjing melihat makanan (refleks tak berkondisi), tetapi lama-kelamaan
air liur sudah keluar ketika anjing baru mendengar bel. Keluarnya air liur setelah anjing
mendengar bel disebut sebagai refleks berkondisi (conditioned reflects), karena refleks itu
merupakan hasil latihan yang terus-menerus dan hanya anjing yang sudah mendapat latihan
itu saja yang dapat melakukannya. Bunyi bel jadinya rangsang berkondisi (conditioned
reflects). Kalau latihan itu diteruskan, maka pada suatu waktu keluarnya air liur setelah
anjing mendengar bunyi bel akan tetap terjadi walaupun tidak ada lagi makanan yang
mengikuti bunyi bel itu. Dengan perkataan lain, refleks berkondisi akan bertahan walaupun
rangsang tak berkondisi tidak ada lagi.
Pada tingkat yang lebih lanjut, bunyi bel didahului oleh sebuah lampu yang menyala,
maka lama-kelamaan air liur sudah keluar setelah anjing melihat nyala lampu walaupun ia
tidak mendengar bel atau melihat makanan sesudahnya. Demikianlah satu rangsang
berkondisi dapat dihubungkan dengan rangsang berkondisi lainnya sehingga binatang
percobaan tetap dapat mempertahankan refleks berkondisi walaupun rangsang tak berkondisi
tidak lagi dipertahankan.
Prosedur Training                       : CS     US       UR
Demonstrasi pengkondisian       : CS     CR
Kesimpulan yang didapat dari percobaan ini adalah bahwa tingkah laku sebenarnya
tidak lain daripada rangkaian refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks yang terjadi setelah
adanya proses kondisioning (conditioning process) di mana refleks-refleks yang tadinya
dihubungkan dengan rangsang-rangsang tak berkondisi lama-kelamaan dihubungkan dengan
rangsang berkondisi.
Eksperimen yang dilakukan oleh pavlov menggunakan anjing sebagai subyek
penelitian. Berikut adalah gambar dari experimen Pavlov.
        
            Berikut adalah tahap-tahap eksperimen dan penjelasan dari gambar diatas:
1.         Gambar pertama. Dimana anjing, bila diberikan sebuah makanan (UCS) maka secara otonom anjing
akan mengeluarkan air liur (UCR).
2.         Gambar kedua. Jika anjing dibunyikan sebuah bel maka ia tidak merespon atau
mengeluarkan air liur.
3.         Gambar ketiga. Sehingga dalam eksperimen ini anjing diberikan sebuah makanan (UCS)
setelah diberikan bunyi bel (CS) terlebih dahulu, sehingga anjing akan mengeluarkan air liur
(UCR) akibat pemberian makanan.
4.         Gambar keempat. Setelah perlakukan ini dilakukan secara berulang-ulang, maka ketika
anjing mendengar bunyi bel (CS) tanpa diberikan makanan, secara otonom anjing akan
memberikan respon berupa keluarnya air liur dari mulutnya (CR).

Ada 4 prinsip utama dalam eksperimen Ivan Pavlov, antara lain :


1.      Fase Akuisisi
Fase akuisisi  merupakan  fase belajar  permulaan dari  respons  kondisi.  Sebagai
contoh,   anjing   ‘belajar’  mengeluarkan  air   liur   karena   pengkondisian   suara   lonceng.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi kecepatan conditioning selama fase akuisisi. Faktor
yang paling penting adalah urutan dan waktu stimuli. Conditioning  terjadi paling cepat
ketika stimulus kondisi (suara lonceng) mendahului  stimulus utama (makanan)  dengan
selang waktu setengah detik.  Conditioning memerlukan waktu  lebih  lama dan respons yang
terjadi lebih lemah bila dilakukan penundaan yang lama antara pemberian stimulus kondisi
dengan stimulus utama. Jika stimulus kondisi mengikuti stimulus utama, sebagai contoh, jika
anjing menerima makanan sebelum lonceng berbunyi maka conditioning jarang terjadi.
2.      Fase Eliminasi (Extinction)
Dalam ekperimen ini bagaimana cara untuk membentuk perilaku anjing agar
ketika bunyi bel di berikan ia akan merespon dengan mengeluarkan air liur walapun tanpa
diberikan makanan. Karena pada awalnya, anjing tidak merespon apapun ketika mendengar
bunyi bel. Jika anjing secara terus menerus diberikan stimulus berupa bunyi bel dan
kemudian mengeluarkan air liur tanpa diberikan sebuah hadiah berupa makanan. Maka
kemampuan stimulus terkondisi (bunyi bel) untuk menimbulkan respons (air liur) akan
hilang. Hal ini disebut dengan extinction  atau penghapusan.
3.      Fase Generalisasi
Setelah seekor hewan  telah ‘belajar’ respons kondisi dengan satu stimulus,  ada
kemungkinan juga ia merespons stimuli yang sama tanpa latihan lanjutan. Jika seorang anak
digigit  oleh seekor anjing hitam besar,  anak  tersebut  bukan hanya   takut  kepada anjing
tersebut, namun juga takut kepada anjing yang lebih besar. Fenomena ini
disebut generalisasi. Stimuli yang kurang intens biasanya menyebabkan generalisasi yang
kurang intens. Sebagai  contoh,  anak tersebut  ketakutannya menjadi  berkurang  terhadap
anjing yang lebih kecil.  
4.      Fase Diskriminasi
Kebalikan   dari  generalisasi   adalah   diskriminasi. Kalau generalisasi merujuk
pada tendensi untuk merespons sejumlah stimuli yang terkait dengan respons yang dipakai
selama training. Diskriminasi mengacu pada tendensi untuk merespons sederetan stimuli
yang amat terbatas atau hanya pada stimuli yang digunakan selama training saja. Ketika
seorang individu  belajar menghasilkan respons kondisi pada satu stimulus dan tidak dari
stimulus yang sama namun kondisinya berbeda. Sebagai contoh, seorang anak
memperlihatkan respons takut pada anjing galak yang bebas,  namun mungkin
memperlihatkan  rasa  tidak  takut ketika seekor anjing galak diikat atau terkurung dalam
kandang.

III.         Konsep Teoritis Utama Classical Conditioning Theory


Para ahli psikologi dalam rumpun behaviorisme ingin meneliti psikologi secara objektif.
Mereka berpendapat bahwa kesadaran merupakan hal yang dubious(sesuatu yang tidak dapat
diobservasi secara langsung dan nyata).
Menurut Ivan Pavlov, aktivitas organisme dapat dibedakan atas :
1.      Aktivitas yang bersifat reflektif
Aktivitas organisme yang tidak disadari oleh organisme yang bersangkutan. Organisme
membuat respons tanpa disadari sebagai reaksi terhadap stimulus yang mengenainya.
2.      Aktivitas yang disadari
Aktivitas yang disadari merupakan aktivitas atas kesadaran organisme yang bersangkutan. Ini
merupakan respons atas dasar kemauan sebagai suatu reaksi terhadap stimulus yang
diterimanya. Ini berarti bahwa stimulus yang diterima oleh organisme itu sampai di pusat
kesadaran dan barulah terjadi suatu respons. Dengan demikian maka jalan yang ditempuh
oleh stimulus dan respons atas dasar kesadaran lebih panjang apabila dibandingkan dengan
stimulus dan respons yang tidak disadari atau respons yang reflektif.
Menurut Pavlov, dua proses dasar yang mengatur semua aktifitas sistem saraf sentral
adalah excitation (eksitasi) dan inhibition (hambatan). Pavlov berspekulasi bahwa setiap
kejadian di lingkungan berhubungan dengan beberapa titik di otak dan saat kejadian ini
dialami, ia cenderung menggairahkan atau menghambat aktivitas otak. Pola eksitasi dan
hambatan yang menjadi karakteristik otak ini oleh Pavlov disebut cortical mosaic (mosaik
kortikal), pada satu momen akan menentukan bagaimana organisme merespons lingkungan.

Stereotip Dinamis
Ketika kejadian terjadi secara konsisten dalam suatu lingkungan,respons terhadap lingkungan
yang sudah dikenal akan makin cepat dan otomatis. Ketika ini terjadi,dynamic
stereotype (stereotip dinamis) dikatakan telah terjadi. Stereotip dinamis adalah mosaik
kortikal yang menjadi stabil karena organisme berada dalam lingkungan yang dapat
diprediksi selama periode waktu tertentu yang lumayan panjang.
Ringkasnya, kejadian lingkungan tertentu cenderung diikuti oleh kejadian lingkungan
lainnya, dan selama hubungan ini terus terjadi, asosiasi antara keduanya pada level neural
akan menguat.

Iradiasi dan konsentrasi


Suatu analyser terdiri dari reseptor indrawi, jalur sensori dari reseptor ke otak, dan area otak
yang diproyeksikan oleh aktivitas sensori. Pada awalnya terjadiirradiation of
excitation (radiasi eksitasi); eksitasi ini akan meluber ke area otak lain di dekatnya yang
dipakai Pavlov untuk menjelaskan generalisasi.
Penjelasan Pavlov tentang generalisasi adalah bahwa impuls neural berjalan dari reseptor
indra –dalam kasus ini dari telinga- ke area tertentu di dalam otak yang bereaksi terhadap
nada 2.000-cps. Selain itu, Pavlov mengasumsikan bahwa eksitasi akan hilanh karena jarak;
eksitasi paling kuat terjadi di poinyang berkorespondensi dengan CS dan paling lemah di area
yang paling jauh. Karenanya, asosiasi bukan hanya terjadi antara CS dan US, tetapi juga
dengan sejumlah stimuli yang berhubungan dengan CS yang direpresentasikan di daerah otak
di sekitarnya. Pavlov juga menunujukkan, melalui generalisasi, bahwa hambatan juga
meluber. Dikrisminasi, atau kemampuan untuk merespons stimuli terkait secara berbeda,
dapat dimunculkan dengan training yang lama atau penguatan diferensial.

Pengkondisian Eksitatoris dan Inhibitoris


Pavlov mengidentifikasi dua tipe umum dari pengkondisian yang berasal langsung dari
iradiasi dan konsentrasi. Yang pertama, excitatory conditioning, akan tampak ketika
pasangan CS-US menimbulkan suatu respons. Conditioned inhibition tampak ketika training
CS menghambat atau menekan suatu respons. Pavlov berspekulasi bahwa pelenyapan
disebabkan oleh munculnya hambatan setelah CS yang menimbulkan respons itu diulang
tanpa suatu penguat.
Tipe lain dari hambatan yang didokumentasikan oleh Pavlov mengungkapkan bahwa
pengkondisian bukan stimuli yang murni mekanis dan pasti terhadap respons. Eksternal
inhibition (hambatan eksternal) mendeskripsikan efek disruptif yang terjadi ketika stimulus
baru disajikan bersama CS yang sudah ada. Tetapi, efeknya tidak terbatas hanya pada eksitasi
yang dikondisikan. Jika CS adalah penghambat yang dikondisikan, pengenalanstimulus yang
tak terduga bersama dengan CS yang menghasilkan disinhibition, yang merupakan disrupsi
(gangguan) terhadap hambatan yang dikondisikan. Dengan kata lain, kita memasangkan satu
stimulus baru dengan penghambat yang dikondisikan, penghambat akan gagal untuk
menghambat.

Ringkasan Pandangan Pavlov tentang Fungsi Otak


Beberapa hubungan di otak adalah antara stimuli yang tudak dikondisikan dengan respons
yang terkait. Yang disebut pertama adalah yang permanen, dan yang disebut belakangan
adalah temporer dan bervariasi sesuai kondisi lingkungan. Ketika koneksi temporer itu
pertama kali dibentuk di otak, ada tendensi bagi stimulus yang dikondisikan untuk member
efek umum di otak. Yakni, eksitasi yang disebabkan oleh stimulus yang dikondisikan akan
beriradiasi ke bagian lain dalam otak. Reflects orienting adalah tendensi organisme untuk
memerhatikan atau mengeksplorasi stimuli baru yang muncul di dalam lingkungan mereka.

System Sinyal Pertama dan Kedua


Pavlov menyebut stimuli yang memberi sinyal kejadian yang penting secara biologis (CS) ini
sebagai first signal system (sinyal system pertama) atau “sinyal realitas pertama”. Pavlov
menyebut kata yang melambangkan realitas itu sebagai “sinyal dari sinyal” atau second
signal system (system sinyal kedua). Sinyal-sinyal yang muncul bisa diorganisasikan dalam
sistem kompleks yang akan memandu banyak perilaku manusia. Dengan kata lain, proses
yang kita lakukan untuk mengembangkan reaksi terhadap lingkungan adalah sama dengan
proses yang kita gunakan untuk bereaksi terhadap kata atau pikirkan.
IV.         Perbadingan antara Pengkondisian Klasik dan Instrumental
Pengkondisian
Pengkondisian klasik instrumental
Tergantung pada respons yang
Menimbulkan respon dari hewan diberikan oleh hewan
Bersifat sukarela dan dikontrol
Bersifat tidak sukarela dan otomatis hewan
Penguatan dihadirkan kepada Penguat (US) disajikan untuk
hewan setelah respon dibuat menimbulkan respon
Memperkuat survival
Memperkuat survival organisme organisme melalui
dengan menciptakan sistem tanda pengembangan pola perilaku
dan simbol yang memungkinkan yang tepat dalam merespons
antisipasi kejadian yang signifikan kejadian signifikan
Penguatnya adalah “keadaan
yang memuaskan” yang muncul
US adalah penguatnya setelah respons yang benar
          
V.           Riset Terbaru tantang Pengkondisian Klasik
Dalam analisisnya terhadap pengkondisian, Pavlov menekankan pada kontiguitas.
Yakni, jika CS mendahului US, pada akhirnya CS akan menghasilkan CR. Ada dua
ketidakakuratan yang ada dalam teori Pavlov. Pertama adalah pendapatnya mengenai CR
sebagai versi kecil dari UR; dan kedua adalah pernyataannya bahwa pelenyapan melibatkan
hambatan.
            CR tidak selalu merupakan UR kecil. Pavlov percaya bahwa selama jalannya
pengkondisian CS akan menggantikan US, dan itulah mengapa pengkondisian klasik kadang
disebut sebagai stimulus substitute learning.Diasumsikan bahwa karena CS bertindak sebagai
pengganti (substitute) US, maka CR adalah versi kecil dari UR. Akan tetapi, studi yang
cermat terhadap sifat dari CR menunjukkan bahwa CR seringkali berbeda dengan UR.
            Contoh dari pertentangan CR dan UR ditemukan ketika obat dipakai sebagai US.
Shepard Siegel (1979) mendeskripsikan serangkaian eksperimen dimana morfin dipakai
sebagai US. Salah satu reaksi terhadap morfin adalah analgesia atau berkurangnya kepekaan
terhadap rasa sakit. Dalam pengaruh morfin, seekor tikus membutuhkan waktu lebih lama
untuk menarik cakarnya dari piring panas daripada tikus yang tidak dikuasai pengaruh
morfin. Karena suntikan mendahului pengalaman merasakan morfin (US), maka suntikan itu
dapat dianggap sebagai CS. Jadi, setelah beberapa kali suntikan morfin, menyuntik seekor
tikus dengan air seharusnya akan mereduksi kepekaan terhadap rasa sakit. Tetapi yang terjadi
adalah sebaliknya. Ternyata, dalam situasi yang dideskripsikan diatas, tikus justru lebih peka
terhadap rasa sakit. Yakni, hewan yang sebelumnya disuntik dengan morfin dan kemudian
disuntik dengan air menarik cakar mereka dari  piring panas dengan lebih cepat daripada
hewan yang belum pernah disuntik dengan morfin. CR (meningkatnya kepekaan terhadap
rasa sakit) tampaknya bertentangan dengan UR (penurunan kepekaan terhadap rasa sakit).
            Ditemukan bahwa (misalnya, Holland, 1977) bahkan ketika digunakan US yang sama,
akan muncul CR yang berbeda-beda ketika CS yang berbeda dipasangkan dengan US itu.
Jelas hubungan antara CR dan UR adalah lebih kompleks daripada yang diasumsikan Pavlov.
Ternyata terkadang CR mirip dengan UR, terkadang CR membuat organisme bersiap
mengantisipasi US, terkadang CR bertentangan dengan UR.  
            Pelenyapan melibatkan intervensi. Pavlov percaya bahwa selama pelenyapan,
presentasi CS yang tak diperkuat akan menghasilkan hambatan yang dikondisikan yang
menekan atau mengganti asosiasi eksitatoris yang telah dipelajari sebelumnya antara CS dan
US. Karenanya, mekanisme teoritis yang mendasari pelenyapan eksperimental dan respons
yang dikondisikan adalah hambatan, bukan eliminasi koneksi CS-US.
            Overshadowing dan Blocking. Pavlov mengamati bahwa jika dia menggunakan satu
stimulus majemuk (gabungan) sebagai CS dan satu komponen dari stimulus tersebut lebih
menonjol daripada komponen lainnya, maka yang komponen paling menonjollah yang
dikondisikan. Fenomena ini
disebutOvershadowing. Fenomena Overshadowing (membayangi) ini secara teoretis menarik
sebab kedua elemen dari stimulus majemuk disajikan secara berdampingan dengan US,
namun pengkondisian hanya dengan hanya terjadi dalam satu elemen. Banyak riset
pengkondisian klasik saat ini didesain untuk menjelaskan fenomena Overshadowing dan
fenomena blocking.
            Pada 1969, Leon Kamin melaporkan serangkaian percobaan penting tentang
fenomena yang disebutnya blocking. Kamin menggunakan variasi prosedur CER
(Conditioned Emotional Response) untuk menunjukkan konsep blocking.
            Blocking, seperti overshadowing, menunjukkan contoh situasi dimana stimuli
dipasangkan sesuai dengan prinsip pengkondisian klasik namun tidak menimbulkan
pengkondisian. Sekali lagi tampak bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kontiguitas
stimulus dalam pengkondisian klasik.

VI.         Learned Heplessness
Seperti yang kita lihat, Rescorla mengklaim bahwa kelompok kontrol yang benar-
benar acaklah yang akan menciptakan situasi dimana tidak ada hubungan prediktif antara CS
dan US, dan karenanya tidak akan ada pengkondisian. Rescorla dan peneliti lainnya telah
menunjukkan bahwa memang tidak terjadi pengkondisian dalam kondisi control acak, tetapi
mungkin itu karena mereka terlihat pada jenis perilaku yang salah.
Martin Seligman (1969, 1975) memberikan bukti yang meyakinkan bahwa hewan
sebenarnya telah mempelajari sesuatu yang sangat penting dalam apa yang oleh Rescorla
disebut kondisi kontrol yang benar-benar acak. Dalam analisinya, Seligman  pertama-tama
menunjukkan bahwa dalam eksperimen pengkondisian klasik, organisme adalah tak berdaya
(helpless), dan organisme itu mengetahui bahwa keadaan dirinya adalah tak berdaya. Untuk
menunjukkan bahwa hewan belajar menjadi tak berdaya sebagai hasil dari pengkondisian
klasik, Seligman dan rekannya membalik prosedur eksperimen yang diikuti oleh Kamin dan
Rescorla dan Wagner. Ternyata, pembalikan prosedur eksperimen ini sangat mempengaruhi
perilaku hewan.
Menurut Seligman, dalam pengkondisian klasik seekor hewan mengetahui dirinya
tak berdaya karena kondisinya memang mengharuskan demikian. Untuk menunjukkan
pentingnya kontrol, Seligman dan Maier (1967) melakukan dua fase eksperimen
menggunakan anjing. Menurut Seligman dan Maier, hewan-hewan ini selama fase 1 studi
mengetahui bahwa mereka tak bisa berbuat apa-apa untuk menghindari setrum, jadi dalam
fase 2 mereka tidak mencoba berbuat sesuatu.
Ketika keyakinan bahwa seseorang tidak bisa melakukan apa-apa untuk
menghentikan atau melarikan diri dari situasi yang buruk ini kemudian digeneralisasikan ke
situasi lain, ini dinamakan learned helplessness. Jadi, ketidakberdayaan yang dipelajari ini
tidak disebabkan oleh pengalaman traumatikperse tetapi juga oleh ketidakmampuan, atau
anggapan dirinya tak mampu, untuk melakukan sesuatu untuk menghindar. Hewan yang
belajar bahwa mereka tidak dapat mengontrol situasi yang buruk umumnya akan menjadi
pasif.
Fenomena learned helplessness ini ditemukan di banyak spesies hewan, juga pada
manusia, dengan menggunakan US aversif dan yang lainnya. Gejala learned helplessness ini
antara lain keengganan untuk melakukan suatu tindakan untuk mempertahankan penguatan
atau untuk menghindari hukuman, sikap pasif, menarik diri, takut, depresi, dan kepasrahan
untuk menerima apapun yang akan terjadi. Seligman (1975) telah menunjukkan
bahwa learned helplessness pada manusia mungkin dialami sebagai depresi dan mungkin
menjadi ciri khas dari individu yang selalu gagal dalam kehidupannya sehingga mereka akan
menjadi putus asa dan akhirnya menyerah begitu saja.

VII.       Teoritis Lain tentang Pengkondisian Klasik


Pentingnya  Perhatian. Nicholas Mackintosh (1975) berteori bahwa organisasi
mencari informasi yang memprediksikan kejadian yang signifikan secara biologis
(yakni,US). Ketika ditemukan petunjuk prediktif, perhatian semakin diarahkan pada petunjuk
itu. Perhatian pada stimuli yang tidak relevan akan berkurang. Ketika ada banyak petunjuk,
petunjuk yang paling prediktif akan makin terlihat melalui sederetan percobaan belajar;
petunjuk yang kurang prediktif akan diabaikan. Jadi, pandangan Mackintosh didasarkan pada
pemrosesan informasi secara aktif. Perbedaan utama antara pandangan Rescorla-Wagner
dengan Mackintosh adalah bahwa Rescorla-Wagner memandang organisme sebagai penerima
dan pencatat informasi dari lingkungan secara pasif sedangkan Mackintosh berpendapat
sebaliknya. Pandangan Rescorla-Wagner mempresentasikan contoh modern dari pandangan
lama tentang proses belajar yang melihat belajar sebagai proses mekanis, otomatis, dan
asosiatif.
Penjelasan Mackintosh mengenai blocking berasal dari asumsi bahwa petunjuk
yang lebih prediktif akan mendapat perhatian yang lebih besar. Teori Mackintosh
menjelaskan observasi bahwa blocking akan makin efektif ketika CS (cahaya) pertama dan
CS kedua semakin sering dipasangkan .Teori Rescorla-Wagner menjelaskan kurangnya
pengkondisian pada CS yang baru diperkenalkan dengan mengatakan bahwa semua
pengkondisian yang dapat didukung oleh US telah “dihabiskan” oleh CS pertama. Jadi, baik
Rescorla-Wagner maupun Mackintosh menjelaskan  blocking, namun keduanya
menggunakan asumsi yang berbeda mengenai sifat dari proses belajar.
Suprisingness (keterkejutan). Dalam usaha menjelaskanblocking, Kamin (1969)
berpendapat bahwa ketika US pertama dating, hewan akan terkejut. Jika CS selalu
mendahului US, hewan pelan-pelan belajar untuk memperkirakan adanya US tak lama setelah
CS dihadirkan. Pada akhirnya hewan tak lagi dikejutkan oleh US, dan tidak ada lagi
pengkondisian tambahan. Menurut Karmin, ketika CS membangkitkan memori tentang US,
kejadian US tidak lagi mengejutkan dan tidak ada alas an untuk belajar apa pun dalam
kondisi itu. Jadi , menurut Kamin, mekanisme yang menjelaskan pengkondisiann klasik
adalah keterkejutan.
 Blocking mudah dijelaskan dengan konsep keterkejutan ini. Karena stimulus A
memprediksikan akan adanya US,kejadian US tak lagi mengejutkan pada stimulus B
diperkenalkan, dan karenanya tidak ada pengkondisian pada stimulus B. Menurut Kamin,
tidak ada kejutan berarti tidak ada pengkondisian. Wagner (1969, 1971, 1978) mengelaborasi
dan memperdalam pendapat Kamin bahwa keterkejutan direduksi atau dihilangkan selama
CS membangkitkan ingatan tentang US. Schwartz, Masserman dan Rob bins (2002)
meringkas teori Kamin-Wagner sebagai berikut :
1.         Kita belajar tentang sesuatu hanya apabila kita memprosesnya secara aktif.
2.         Kita memproses sesuatu secara aktif hanya ketika sesuatu itu mengejutkan, saat kita belum
memahaminya.
3.         Selama pengkondisian berlangsung, CS dan US menjadi kurang mengejutkan. Akibatnya
pemrosesan yang kita lakuakan akan berkurang, dan karenanya kita mengurangi
pembelajaran kita terhadap sesuatu itu. (h 104 )
Adalah munkin untuk menghubungkan pandangan Rescorla-Wagnet dengan
pangangan Kamin- Waner dengan mengasumsikan bahwa perbedaan antara jumlah
maksimum dari pengkondisian yang mungkin terjadi dan jumlah pengkondisian yang sudah
terjadi merefleksikan sejauh man organisme itu dikejutkan oleh datangnya US. Ketika
besarnya pengkondisian yang mungkin itu sama dengan besarnya pengkondisian yang sudah
terjadi, maka tidak ada lagi kejutan. Juga, karena besarnya pengkondisian yang mungkin itu
secara langsung proposional dengan besarnya kejutan, maka jelaslah bagaimana teorib
Kamin-Wagner yang menjelaskan kurva yang berakselerasi negative yang menjadi cirri
proses belajar.

Teori Pengkondisian Klasik Rescorla-Wagner


      Teori Rescorla-Wagner memberikan penjelasan fenomena pengkondisian
klasik umum, memberikan beberapa prediksi yang tak terduga yang relevan dengan
pengkondisian klasik, dan memecahkan beberapa problem penting yang berkaitan dengan
teori pengkondisian klasik.
      Teori ini menggunakan logika simbolis dan matematika sederhana untuk
meringkas dinamika belajar. Rescorla dan Wagner mengasumsikan bahwa sifat dari US akan
menentukan level maksimum, atau asympotik, dari pengkondisian yang dapat dicapai. Level
maksimum dilambangkan dengan λ (lambda).
      Kemudian, belajar asosiatif yang  yang diterima sebelum percobaan
spesifik n didesain oleh Vn-1; dan perubahan dalam belajar karena pengkondisian percobaan n
disimbolkan dengan ΔVn. Simbol Δ (delta) menunjukkan perubahan dalam V.
      Terakhir, teori Rescola-Wagner memuat dua komponen yang merujuk pada
“condotionability” (kondisionabilitas) dari pasangan CS dan US tertentu. Koefisien α (alpha)
adalah kekuatan asosiatif potensial dari CS tertentu. Suara keras, misalnya, akan memberi
nilai α daripada suara rendah atau tak terdengar. Koefisien β (beta) adalah kekuatan asosiatif
potensial dari US spesifik. Setrum listrik yang kuat akan menimbulkan efek penjauhan yang
lebi dramatis daripada daya setrum kecil, dan karenanya memiliki nilai β yang lebih besar.
      Jika kita menempatkan semua komponen ini bersama-sama untuk CS yang tea
dispesifikasikan (CSA) dan US yang dispesifikasikan (USA), kita mendapatkan persamaan:
ΔVn = αAβA (λ -Vn-1)
      Persamaan ini mengindikasikan bahwa perubahan kekuatan belajar asosiatif
pada setiap percobaan adalah fungsi dariperbedaan antara belajar yang maksimum dengan
jumlah yang telah dipelajari pada saat akhir dari percobaan sebelumnya. Teori Rescorla-
Wagner memiliki kelebihan karena bisa pula menghitung temuananomalous dalam
pengkondisian klasik.

Kontingensi, Bukan Kontiguitas


     Dalam artikelnya yang berpengaruh, “Pavlovian Conditioning: It’s Not What
You Think”, Rescorla (1988) menyajikan tiga observasi tentang pengkondisian Pavlovian
dan menjelaskan arti pentingnya dalam psikologi modern.
      Pertama, seperti Egger dan Miller (1962, 1963) dia mengatakan pada dasarnya
ada korelasi antara US dan CS yang lebih dari sekadar kebetulan atau kontiguitas. Misalnya,
satu situasi dimana hewan mengalami US acak selama periode lebih panjang. Mungkin ada
kejadian ketika US dan CS terjadi bersama-sama (kontiguitas) dan ketika mereka terjadi
secara sendiri-sendiri. Kedua situasi tersebut terjadi bersama-sama dalam jumlah waktu
yang sama. Ternyata situasi yang kedua adalah yang menghasilkan pengkondisian klasik
yang lebih kuat, sedangkan kondisi pertama hanya menghasilkan pengkondisian yang lemah.
Jelas, kontiguitas tidaklah cukup. Rescorla menggunakan kontigensi (contingency) untuk
mendeskripsikan hubungan dimana CS menghasilkan petunjuk yang jelas dan informatif
untuk US. Kedua, seperti Zener (1937), Rescorla (1988) mengatakan bahwa klaim umum
bahwa CR adalah “miniatur” atau “ringkasan” dari UR adalah klaim yang terlalu
menyederhanakan atau bahkan tidak tepat. Respons tipikal  untuk suatu US berupa setrum
listrik dalam eksperimen, misalnya, adalah peningkatan aktivitas atau beberapa respons yang
mengejutkan. Akan tetapi, seperti terlihat dalam fenomena pengekangan yang dikondisikan di
atas, jika CS yang dipakai untuk memberi isyarat setrum diberikan selama performa dari
respons yang berbeda , hasilnya adalah penurunan aktivitas. CR dapat berupa beberapa
respons yang berbeda-beda, bergantung pada konteks dimana CS terjadi.
      Rescorla memberikan penjelasan yang mirip dengan yang diberikan oleh
Egger dan Miller (1962, 1963). Keduanya mengatakan bahwa agar pengkondisian terjadi, CS
haruslah informatif; yakni, ia harus memberi organisme informasi yang berguna tentang US.
Tetapi, Rescorla (1988) memperluas karya Egger dan Miller dengan menunjukkan bahwa
kontigensi negative adalah sama informatifnya dengan kontigensi positif. Menurut Rescorla,
hanya prosedur control acaklah yang akan menghasilkan hubungan non-informatif antara CS
dan US dan karenanya tidak menghasilkan pengkondisian.
      Terakhir, Rescorla (1988) mengklaim bahwa pengkondisian Pavlovian lebih
dari sekadar belajar refleks dan bahwa pengkondisian itu menduduki tempat penting dalam
psikologi kontemporer. Dia menegaskan bahwa penekanannya pada kontigensi, bukan
kontiguitas saja, mengungkapkan informasi baru dan penting tentang sifat dari proses belajar
asosiatif.
VIII.     Irelevansi, Hambatan Laten dan Superconditioning
Setidaknya ada tiga fenomena yang menghadirkan masalah bagi teori Rescorla-
Wagner, namun mereka mudah dijelaskan oleh pendekatan Mackintosh atau Kamin/Wagner.
Semua efek ini melibatkan pra-penghadiran CS sebelum memperkenalkan kontingensi positif
(eksitasi) antara CS dan US. Rescorla (1996) menggunakan kondisi kontrol yang benar-benar
acak dimana CS dan US terjadi namun tidak ada kontingensi diantara keduanya. Jika CS
yang pertama kali dipakai dalam kondisi acak kemudian dipasangkan dalam hubungan
kontingensi dengan US, pengkondisian akan cacat. Learned irrelevance (irelevansi yang
dipelajari) adalah hilangnya keampuhan atau kemampuan CS yang dipakai dalam kondisi
kontrol acak (Mackintosh,1973). Ini adalah problem bagi teori Rescorla-Wagner sebab
menurut teori ini pra-penghadapan ke CS seharusnya tidak memberikan efek pada
pengkondisian.
Laten inhibition effect (efek hambatan laten) terjadi ketika pra-pemaparan suatu CS
(dengan tanpa US) memperlambat pengkondisian ketika CS dan US kemudian dipasangkan
(misalnya, Baker & Mackintosh, 1997 ; Best & Gemberling,1977 ; Fenwick, Mikulka, &
Klein, 1975 ; Lubow & Moore,1959). Dalam perluasan atas gagasan persaingan untuk
merebut perhatian seperti dikemukakan oleh Mackintosh, Moore dan Stickeny (1980)
menunjukkan bahwa, meskipun tidak terjadi penguatan  selama pra-pemaparan US, masih
ada persaingan untuk atensi di antara stimuli. Stimuli-stimuli itu lebih menonjol dan
diperhatikan, sedangkan CS kehilangan kemenonjolannya dan karenanya berkurang
efektifitasnya. Jadi, hambatan laten, seperti blocking, dijelaskan oleh Mackintosh sebagai
proses belajar yang dilakukan organisme untuk memperhatikan stimuli prediktif dan
mengabaikan informasi yang berlebihan atau tidak relevan.
Pengkondisian sebagai Formasi Ekspektasi. Robert Bolles (1972, 1979)
menunjukkan bahwa organisme tidak mempelajari respons baru selama pengkondisian.
Sebaliknya, organisme melakukan reaksi spesies-spesifik yang sesuai dengan
situasi.  Menurut Bolles, apa yang dipelajari organisme adalah ekspektasi yang membimbing
perilaku yang belum dipelajari oleh mereka. Suatu ekspektasi stimulus akan terbentuk ketika
CS dikorelasikan dengan hasil penting seperti ada tidaknya US. Organisme juga belajar
ekspektasi respons, yang merupakan hubungan prediktif antara respons dan hasil. Menurut
Bolles, penguatan tidak memperkuat perilaku ; ia memperkuat ekspektasi bahwa respons
tertentu akan diikuti oleh suatu penguat.
Dalam beberapa bagian di atas dijelaskan bahwa prinsip yang mengatur
pengkondisian klasik masih diperdebatkan. Hal tersebut masih menjadi riset, teori, dan
diskusi saat ini dan tampaknya ini akan terus berlanjut. Ketimbang berusaha menentukan
penjelasan pengkondisian klasik mana yang benar, tampaknya lebih akurat untuk
menyimpulkan bahwa semua penjelasan itu menjelaskan secara akurat beberapa aspek dari
pengkondisian klasik. Tampaknya masuk akal bagi kita untuk menyimpulkan bahwa ketika
semua keterangan sudah dipaparkan, aspek-aspek dari pengkondisian klasik akan tampak
bergantung pada daya prediksi dari petunjuk, proses memori, pembentukan ekspektasi, proses
atensional, dan formasi asosiasi otomatis ketika ada hubungan kontingen antara CS dan US.
                 
IX.        Efek Garcia
Garcia dan Koelling (1966) memvalidasi penjelasan aversi cita rasa anekdotal ini
dengan menunjukkan fenomena yang tidak lazim dalam pengkondisian klasik. Garcia dan
Koelling menghadapkan satu kelompok tikus dengan  sinar X yang kuat saat tikus itu minum
air  yang diberi pemanis sakarin(CS). Sinar X itu menyebabkan rasa mual saelama sekitar 30
menit setelah pemaparan. Kelompok tikus lain menerima setrum yang menyakitkan saat
mereka minum air manis itu. Dalam tes selanjutnya, tikus di kelompok pertama tidak mau
minum air manis itu. Tetapi, tikus yang disetrum tidak menghindari air manis. Garcia dan
Koelling menyimpulkan bahwa tikus yang menjadi sakit karena terkena sinar X telah
mempelajari aversi kepada aroma atau cita rasa  (taste) yang diasosiasikan dengan rasa sakit,
sebuah respons natural yang kondusif bagi survival mereka.
     Meskipun eksperimen Garcia dan Koelling tampaknya men gikuti prosedur
pengkondisian klasik, namun muncul sejumlah masalah saat hasilnya diinterpretasikan
sebagai fenomena pengkondisian klasik. Pertama, delay waktu antara CS (rasa sakarin) dan
US (mual) jauh lebih lama ketimbang interval waktu yang dianggap dibutuhkan untuk
pengkondisian klasik. Kedua, berulang kali ditemukan bahwa aversi cita rasa (taste) yang
kuat dapay muncul hanya setelah beberapa kali (kadang hanya sekali) penyandingan
substansi dan rasa mual. Ketiga, meski aversi cita rasa ini berkembang lama setelah
penundaan (delay) dan, dalam beberapa kasus hanya dalam satu kali percobaan, tindak aversi
itu sulit dihilangkan. Efek yang diamati oleh Garscia dan Koelling ini adalah tidak lazim jika
dibandingkan denagan apa yang telah diketahui dari pengkondisian klasik.

X.          Eksperimen John B. Watson dengan Little Albert


Menurut Watson, emosi manusia adalah produk dari warisan  dan pengalaman.
Menurut Watson, manusia mewarisi tiga emosi dasar yaitu rasa takut, marah, dan cinta.
Melalui  proses pengkondisian, tiga emosi dasar ini menjadi terikat dengan hal-hal yang
berbeda untuk orang-orang yang berbeda-beda. Personalitas (kepribadian) adalah kumpulan
refleks yang dikondisikan. Watson menyangkal bahwa manusia lahir dengan membawa
kemampuan mental atau predisposisi.  Pada eksperimennya, Watson dan Rosalie Rayner
(1920) melakukan percobaan pada bayi berusia sebelas bulan bernama Albert. Dari
eksperimen yang dilakukan oleh Watson, didapatkan beberapa hasil, yaituMenghilangkan
rasa takut yang dikondisikan. Watson telah menunjukkan bahwa emosi bawaan, seperti rasa
takut, dapat “ditransfer” ke stimuli yang sebelumya tidak menimbulkan rasa takut, dan
mekanisme transfer itu adalah pengkondisian klasik. Watson berpendapat bahwa risetnya
telah menunjukkan bagaimana rasa takut yang dipelajari itu bisa berkembang. Pada
eksperimen keduanya, Ia mencari anak yang sudah punya rasa takut dan kemudian
diusahakan untuk menghilangkan rasa takutnya.
        Watson banyak memperkenalkan teori pavlov (psikologi Pavlovian) ke
Amerika Serikat, dia tidak pernah sepenuhnya menerima prinsip Pavlovian. Menurut Watson,
belajar terjadi karena kejadian-kejadian datang susul-menyusul dalam rentang waktu yang
sangat pendek. Pengkondisian terjadi bukan karena US menguatkan CS, namun karena CS
dan US terjadi secara susul menyusul dalam jarak waktu yang singkat.

XI.        Aplikasi Pengkondisian Klasik untuk Psikologis Klinis dan


Pengobatannya
Penerapan teori pengkondisian klasik untuk psikologis klinis, sebagai berikut :
1.      Extinction
Gangguan perilaku atau kebiasaan buruk adalah hasil dari belajar, maka perilaku itu bisa
dibuang atau diganti dengan perilaku yang lebih positif.
Proses Extinction :
CS – US – CR
CS – EX (Pelenyapan)
Maksud keterangan di atas adalah suatu subjek (CS) yang diberikan efek fisiologis/psikologis
(US) akan menimbulkan efek yang dikondisikan. Menelaah perlakuan tersebut, pelenyapan
dapat ditimbul apabila efek fisiologis/psikologis (US) dihilangkan.

2.      Counterconditioning
Counterconditioning merupakan suatu prosedur yang lebih kuat daripada cara pelenyapan
sederhana, seperti extinction. Pada aplikasi ini, suatu perlakuan dikondisikan untuk proses
pelenyapan yang tampak sukses dalam sejumlah kasus tetapi manfaat dari prosedur ini sering
hanya bersifat sementara.
Penjelasan Perlakuan :
CS – US pertama – US kedua – CR
Pada akhirnya, counterconditioning mengalami kesulitan yang sama dengan training
plenyapan.Counterconditioning pada kondisi yang berbeda akan menyebabkan pembentukan
kembali respons yang dikondisikan.

3.      Flooding
Pada aplikasi ini merupakan metode pelenyapan yang berorientasi pada pemaksaan
orgainisme untuk tetap hadir bersama CS dalam waktu yang cukup lama untuk belajar bahwa
tidak ada akibat negatif yang akan muncul. Dengan prosedur flooding, beberapa individu
akan mengalami kemajuan tetapi beberapa yang lain malah tambah parah. Dan klien yang
meninggalkan terapi flooding jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan klien yang
menggunakan terapi desensitisasi sistematis.

4.      Desensitisasi Sistematis
Salah satu usaha paling menyeluruh untuk mengaplikasikan prinsip pengkondisian klasik ke
psikoterapi dilakukan oleh Joseph Wolpe (1958), yang mengembangkan teknik terapi yang
disebut desensitisasi sistematis). Teknik ini memiliki tiga fase, antara lain :
1.      Hierarki Kecemasan (Anxiety Hierarchy)
Dilakukan dengan sederetan hal yang menimbulkan dan kemudian mengurutkan mulai dari
hal menimbulkan kecemasan paling besar ke paling kecil.
2.      Mengajari klien untuk relaks (santai)
Wolpe mengajari subjek cara mengendorkan otot dan menunjukkan bagaimana
rasanyaseseorang tidak cemas.
3.      Perasaan relaksasi dan kemudian diminta membayangkan item paling lemah dalam hierarki
kecemasan. Saat membayangkannya, si klien diminta untuk relaksasi lagi. Setelah selesai,
klien diminta untuk membayangkan item selanjutnya dan seterusnya sampai semua item
selesai dibayangkan.

Penerapan teori pengkondisian klasik untuk pengobatan adalah sebagai berikut :


1.      Adanya bidang psikoneuroimunologi
Riset yang dilakukan oleh Metalnikov dengan menggunakan babi sebagai subjek. Metalnikov
memasangkan stimuli panas atau rabaan (CS) dengan protein asing (US). Beberapa kali
penyandingan CS dan US, presentasi stimuli panas atau sentuhan saja akan menimbulkan
berbagai respons immune nonspesifik. Sayangnya, riset ini sedikit diabaikan tetapi Robert
Ader dan kawnanya membangkitkan kembali minat pada topik ini hingga menemukan bidang
interdisipliner.
2.      Penemuan fungsi sakarin
Ader yang mempelajari aversi cita rasa dengan memasangkan minuman sakarin (CS) dengan
injeki obat (US). Obat ini ternyata menekan system kekebalan. Hingga percobaan dilakukan
pada tikus oleh Ader dan Cohen. Percobaan itu menyimpulkan bahwa sakarin mempunyai
kemampuan untuk menekan system kekebalan tuhuh dengan cara spesifik.
Dengan adanya temuan keberfungsian pengkondisina klasik untuk pengobatan, banyak ahli
psikoneuronologi berharap bisa menjelaskan secara detail bagaimana pengkondisian dapat
membantu pasien yang mengalami gangguan kekebalan tubuh di masa mendatang.

XII.      Pendapat Pavlov tentang Pendidikan


Prinsip Pavlovion sulit untuk diaplikasikan ke pendidikan kelas, meskipun prinsip
itu ada. Secara umum, teori pengkondisian klasik ini terjadi pada setiap kejadian netral.
Misalnya, seorang peserta didik yang menemukan bahwa konselor sekolahnya memiliki sikap
dan perilaku yang baik dan menyenangkan bagi dirinya. Maka, ia akan termotivasi untuk
memiliki sikap seperti gurunya ataupun dia dapat terilhami untuk berkarier menjadi seorang
konselor nantinya. Hal ini selaras dengan seseorang yang mengembangkan aversi terhadap
pendidikan seumur hidup karena adanya pengalaman buruk yang ia alami pada saat belajar di
kelas dahulu.
Teknik Pavlovion dipakai untuk memnodifikasi perilaku, situasi tampak
menyerupai brainwashing daripada pendidikan. Contoh dari prinsip Pavlovion yang
digunakan untuk memodifikasi sikap adalah iklan televisi. Pengiklanan menyandingkan suatu
objek dengan sesuatu yang lain. Secara bertahap, iklan itu akan menyebabkan pemirsa
menganggap produk itu membuat mereka untuk memiliki atau merasakan situasi yang
ditampilkan di iklan.
XIII.    Evaluasi Teori Ivan Petrovich Pavlov
XIV.I. Kontribusi
1.      Teori Conditional Classic menjadi teori pertama yang mambahas tentang belajar antisipasi
Pembahasannya mengenai CS sebagai sinyal adalah unik apabila dibandingkan dengan
teoritisi belajar lain yang memperlakukan stimuli sebagai kejadian kausal dalam koneksi S-R
sebagi penguat.
2.      Memberikan kontibusi yang cukup besar pada prosedur eksperimen untuk bidang psikologi
Hal ini  bisa penulis telaah dari teori pengkondisian klasik yang dapat diaplikasikan untuk
psikologis klinis dan pengobatannya. Selain itu, pada dasarnya teori ini memang
mendasarkan kajian dan risetnya pada sikap dan perilaku yang sangat berkaitan dengan
keadaan jiwa seseorang.

XIV.II. Kritik
1.      Tidak adanya penjelasan belajar yang melibatkan proses mental yang kompleks.
Pembahasan pada teori ini hanya mencangkup dalam suatu kondisi yang bersyarat untuk
merubah respons (perilaku objek).
2.      Teori ini menganggap bahwa belajar hanyalah terjadi secara otomatis, keaktifan dan
penentuan pribadi dalam tidak dihiraukannya
Dalam proses belajar, repons dari objek penelitian merupakan refleks-refleks yang terjadi
setelah adanya proses conditioning.
3.      Peranan latihan/kebiasaan terlalu ditonjolkan.
Pada realitanya, bertindak dan berbuat sesuatu, manusia tidak semata-mata bergantung pada
pengaruh dari luar. Aku dan pribadinya sendiri memegang peranan dalam memilih dan
menentukan perbuatan serta reaksi apa yang dilakukannya.
4.      Teori conditioning classic memang tepat kalau kita hubungkan dengan kehidupan binatang.
Sebagai contoh yakni Metode respons bersyarat sering digunakan untuk melatih binatang.
Untuk mengajar anjing pemburu membawa burung tanpa memakannya, anjing itu disuruh
membawa burung tiruanyang dilekati penuh dengan jarum-jarum kecil. Anjing itu segera
belajar bahwa mngunyah burung berarti terasa sakit sedangkan dengan hati-hati berarti
disayangi dan mendapat makanan. Sejak itu dna seterusnya anjing itu berhati-hati dnegan
barung selanjutnya. Namun, pada manusia, teori ini hanya dapat kita terima dalam hal-hal
belajar tertentu saja, umpamanya dala teori belajar mengenai skill tertentu dan mengenai
pembiasaan pada anak-anak kecil.
PENUTUP

1.      Simpulan
Teori Ivan Petrovich Pavlov adalah suatu teori yang mampu memberikan sumbangsihnya
pada bidang psikologi, tak terlepas pada bidang bimbingan dan konseling. Banyak hasil
eksperimen yang dikemukakan oleh teori ini. Hasil teori Ivan Pavlov meliputi :
a.       Prinsip Utama yang mendasari percobaan Pavlov
b.      Konsep teoritis Pavlov yang menjadi landasan hingga sekarang untuk beberapa kondisi
c.       Dan beberapa hasil penelitian yang mampu mendobrak ilmu faal teraplikasi untuk
psikologi.

2.      Saran
Bagi Penulis :
a.       Hendaknya penulis mampu memberikan karya yang lebih baik pada kesempatan
mendatang
b.      Seharusnya penulis mampu untuk berkolaborasi satu sama lain untuk menyatukan visi
dan misi dalam penyelesaian makalah ini
Bagi Pembaca :
a.       Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
b.      Pembaca mampu mencapai tujuan penulis dalam penyusunan makalah ini.

Daftar Pustaka

Hamzah. 2010. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Hergenhahn dan Matthew H. Olson. 2008. Theoris Of Learnig (Teori Belajar). Jakarta: Kencana
Mahmud, Dimyati. 1989. Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Walgito, Bimo. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta
Learning Theories.com. 2011. Classical Conditioning (Pavlov). (online) (http://www.learning-
theories.com/classical-conditioning-pavlov.html), diakses 06 Maret 2011
Psikologi Zone. Teori Ivan Petrovich Pavlov, Stimulus Respons (online)
(http://www.psikologizone.com/teori-ivan-petrovich-pavlov-stimulus-respons), diakses 06
Maret 2011
Teknologi Pembelajaran. 2008. Ivan P. Pavlov. (online) (http://www.ghina.0fees.net/index.php?
option=com_content&view=article&id=5&Itemid=57), diakses 06 Maret 2011

Anda mungkin juga menyukai