Anda di halaman 1dari 14

IMPAKSI

OPERKULITIS
DAN PERICORONITIS

Oleh :
Adrian
0710009

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha


Bagian Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut
RS Immanuel
Bandung
2012
2.1. Impaksi Gigi
2.1.1. Definisi
Impaksi gigi adalah gagalnya gigi untuk tumbuh secara sempurna pada posisinya.
Adanya gigi yang terpendam di dalam tulang rahang atau terhalang jaringan gusi dan
tidak berhasil muncul ke permukaan.
1

2.1.2. Epidemiologi
Seorang ahli bernama Ricketts (1980) menyatakan bahwa evolusi manusia
menyebabkan berkurangnya ukuran rahang yang berhubungan dengan kondisi dan
kebiasaan diet/makanan. Jadi ukuran rahang manusia sekarang cenderung makin kecil
sehingga kasus gigi geraham bungsu yang impaksi sekarang cenderung meningkat.
2.1.3. Etiologi
2.1.3.1 Lokal
Etiologi lokal antara lain:
1.

Faktor Genetik (ketidaksesuaian antara ukuran rahang yang kecil dengan bentuk
gigi yang besar).

2.

Posisi gigi disebelahnya.

3.

Kepadatan tulang atau jaringan lunak berlebih yang menutupinya.

4.

Ankilosis, perlekatan gigi pada tulang.

5.

Odontogenic tumor.

6.

Cleft lip and palate.

7.

Supernumerary teeth.

2.1.3.2 Sistemik
Etiologi sistemik antara lain:
1.

Syndrome cleidocranial dysplasia.

2.

Defisiensi hormon-hormon endokrin.

3.

Down syndrome.

4.

Radiasi.

2.1.4. Gejala
Gejala impaksi gigi antara lain:
1.

Nyeri kepala.

2.

Ketegangan atau nyeri pada leher.

3.

Nyeri telinga.

4.

Nyeri lokal, rasa sakit, atau rasa kaku pada rahang di area gigi yang impaksi.
2

5.

Trismus.

6.

Pembengkakan pada gusi di atas gigi yang impaksi.

7.

Bau mulut akibat adanya infeksi.

2.1.5. Klasifikasi
2.1.5.1 Menurut Pell & Gregory
Berdasarkan hubungan antara ramus mandibula dengan molar kedua dengan cara
membandingkan lebar mesio-distal molar ketiga dengan jarak antara bagian distal molar
kedua ke ramus mandibula.
Kelas I

Ukuran mesio-distal gigi molar ketiga lebih kecil dibandingkan

jarak antara

Kelas II

distal gigi molar kedua dengan ramus mandibula.


Ukuran mesio-distal gigi molar ketiga lebih besar dibandingkan jarak antara

Kelas III

distal gigi molar kedua dengan ramus mandibula.


Seluruh atau sebagian besar molar ketiga berada di dalam ramus mandibula.

Gambar 2.1. Posisi Impaksi Gigi Menurut Pell & Gregory Berdasarkan Relasi
Antar Gigi

Berdasarkan letak molar ketiga di dalam tulang:


Posisi A
Posisi B
Posisi

Bagian tertinggi gigi molar ketiga berada setinggi garis oklusal.


Bagian tertinggi gigi molar ketiga berada di bawah bidang oklusal tapi masih
C

lebih tinggi daripada garis servikal molar kedua.


Bagian tertinggi molar ketiga terletak di bawah garis servikal molar kedua.

Kedua klasifikasi ini digunakan biasanya berpasangan. Misalkan kelas I tipe B,


artinya panjang mesio-distal gigi molar ketiga lebih kecil dibandingkan jarak distal
3

molar kedua ke ramus mandibula dan posisi molar ketiga berada di bawah garis oklusal
tapi masih di atas servikal gigi molar kedua.

Gambar 2.2. Posisi Impaksi Gigi Menurut Pell & Gregory Berdasarkan
Kedalaman M3 Bawah Terhadap Tulang Mandibula
2.1.5.2 Menurut George Winter
Klasifikasi yang dicetuskan oleh George Winter ini cukup sederhana. Gigi impaksi
digolongkan berdasarkan posisi gigi molar ketiga terhadap gigi molar kedua. Posisiposisi ini dinamakan vertikal, horizontal, inverted, mesioangular (miring ke mesial),
distoangular (miring ke distal), buko angular (miring ke bukal), linguoangular (miring
ke lidah), dan posisi tidak biasa lainnya yang disebut unusual position.

Gambar 2.3. Posisi Impaksi Gigi Berdasarkan Sumbu Panjang Gigi Molar Ketiga
Rahang Bawah Menurut George Winter

2.1.5.3 Menurut Archer


Archer memberikan klasifikasi untuk impaksi yang terjadi di rahang atas.
Klasifikasi ini sebetulnya mirip dengan klasifikasi Pell & Gregory. Bedanya, klasifikasi
ini berlaku untuk gigi atas.
Kelas A
Kelas B

Bagian terendah molar ketiga setinggi bidang oklusal molar kedua.


Bagian terendah molar ketiga di atas bidang oklusal gigi molar kedua tapi masih

Kelas C

di bawah garis servikal molar kedua.


Bagian terendah molar ketiga lebih tinggi dari garis servikal molar kedua.

Klasifikasi untuk impaksi kaninus rahang atas diantaranya:


Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas IV

Kaninus terletak di palatum


Di bukal
Di daerah palatum dan bukal/labial.
Prosesus alveolaris

Kelas V

Daerah tidak bergigi.

2.1.6. Komplikasi
Komplikasi impaksi gigi antara lain:
1. Pericoronitis.
Posisi gigi yang belum erupsi sempurna akan memudahkan makanan, debris dan
bakteri terjebak di bawah gusi yang di bawahnya terdapat gigi bungsu sehingga
menyebabkan infeksi pada gusi yang disebut pericoronitis. Jika tidak segera
ditangani infeksi tersebut akan menyebar ke tenggorokan atau leher.

Gambar 2.4. Impaksi molar tiga menyebabkan infeksi gusi diatasnya


2. Crowding gigi/berjejal.
Gigi impaksi dapat mendorong gigi-gigi lain di depannya sehingga bergerak dan
berubah posisi.
5

Gambar 2.5. Gigi molar tiga mendesak gigi molar dua


3. Gigi berlubang.
Posisi gigi impaksi sulit dijangkau sehingga sulit dibersihkan dan menjadi
berlubang.
4. Merusak gigi depannya.
Tidak hanya gigi impaksinya saja yang berlubang tetapi gigi di depannya juga
berlubang karena sulit dibersihkan.
5. Infeksi pada tulang sekitarnya.
6. Kista.
Para ahli menyatakan bahwa 50% kasus kista berhubungan dengan gigi geraham
impaksi pada rahang bawah. Mahkota gigi impaksi tumbuh dalam suatu selaput.
Jika selaput tersebut menetap dalam tulang rahang akan terisi oleh cairan yang
akhirnya membentuk kista yang dapat merusak tulang, gigi, dan saraf.

Gambar 2.6. Impaksi gigi molar tiga menyebabkan terbentuknya kista


7. Tumor / Karsinoma.
2.1.7. Penanganan

Kalsifikasi gigi geraham bungsu terjadi mulai umur 9 tahun dan mahkota gigi
selesai terbentuk umur 12-15 tahun. Jadi gigi geraham bungsu sudah dapat dilihat
melalui rontgen pada umur 12-15 tahun walaupun gigi tersebut belum tumbuh.
Dengan demikian pencabutan gigi geraham bungsu yang impaksi dapat dilakukan
antara umur 12-18 tahun atau setelah gigi molar atau geraham kedua tumbuh. Tentu saja
sebagai persiapannya dilakukan rontgen foto sebelum dilakukan pencabutan.
Pencabutan gigi geraham bungsu pada usia 12-18 tahun dikenal dengan pencabutan
preventif dan ini sangat dianjurkan mengingat pada usia tersebut akar gigi masih
pendek sehingga memudahkan operasi dan mempercepat waktu penyembuhan dan
menghindari terkenanya saraf pada rahang. Setelah operasi gigi geraham bungsu pasien
akan mengalami pembengkakan 3-4 hari yang merupakan reaksi normal dari tubuh
untuk penyembuhan. Pasien tidak perlu khawatir karena pembengkakan yang tidak
disertai demam bukan merupakan gejala infeksi dan pembengkakan ini akan hilang
tanpa meninggalkan bekas. Pasien yang menjalani operasi gigi geraham bungsu cukup
mendapat antibiotika, analgetik atau penahan sakit, dan obat anti inflamasi atau anti
radang. Selama pembengkakan pasien dapat makan makanan lunak, melakukan
aktivitas sehari-hari seperti sekolah, atau bekerja tetapi tidak diperkenankan untuk olah
raga terlebih dahulu. Setelah satu minggu benang jahitan dapat dibuka dan obat sudah
dapat dihentikan.
Dengan demikian pencabutan gigi geraham bungsu merupakan tindakan yang
bijaksana sebab mencegah komplikasi yang lebih buruk dan kekhawatiran akan efek
operasi tidak akan terjadi sebab dilakukan pada usia yang tepat.
2.2. Perikoronitis
2.2.1. Definisi
Perikoronitis adalah suatu peradangan pada gusi di sekitar mahkota dari gigi yang
sedang mengalami erupsi sebagian. Definisi lain menyebutkan bahwa perikoronitis
merupakan peradangan jaringan lunak di sekeliling gigi yang akan erupsi. Apabila
sudah timbul pernanahan maka disebut abses perikoronal.
Perikoronitis paling sering terjadi pada erupsi gigi molar ketiga yang biasa terjadi
pada akhir masa remaja atau pada awal usia 20 tahun. Perikoronitis merupakan suatu
kondisi yang umum terjadi pada molar impaksi dan cenderung muncul berulang, bila
7

molar belum erupsi sempurna. Akibatnya, dapat terjadi destruksi tulang di antara gigi
molar dan geraham depannya.

Gambar 2.7. Perikoronitis


2.2.2. Epidemiologi
Pericoronitis lebih sering mengenai molar tiga pada rahang bawah dibandingkan
molar tiga rahang atas. Hal ini disebabkan insidensi terhadap impaksi partial pada
rahang atas lebih jarang terjadi dan juga berhubungan dengan jarak dengan anterior
border mandibula.
Predileksi perikoronitis terhadap molar tiga berkaitan dengan umur erupsi gigi.
Sebagian besar kasus sering terjadi pada umur dewasa muda. Tercatat dari 245 pasien
didapatkan 81% berumur 20-29 tahun dan 13% berumur 30-39 tahun.

Gambar 2.8. Lokasi Perikoronitis


2.2.3. Faktor Risiko

Faktor risiko perikoronitis menurut British Association of Oral and Maxillofocal


Surgeons meliputi :
1.

Keadaan dimana gigi sedang mengalami erupsi, terutama gigi molar tiga.

2.

Terbentuknya lapisan gusi karena erupsi gigi.

3.

Keadaan gigi yang bersinggungan dengan jaringan perikoronal gigi yang tidak
erupsi atau erupsi sebagian.

4.

Riwayat perikoronitis sebelumnya.

5.

Oral hygiene yang buruk.

6.

Infeksi saluran nafas.

2.2.4. Etiologi
Perikoronitis merupakan suatu proses infeksi yang sampai saat ini penyebabnya
belum diketahui dengan pasti. Beberapa literatur menghubungkan penyebab infeksi ini
dari flora normal mulut. Adanya keterlibatan Streptococcus viridans, Spirochaeta dan
Fussobacteria. Penelitian lain mengatakan adanya campuran infeksi Prevotella
intermedia, Peptostreptococcus micros, Fusobacterium nucleatum, Actinomycetes
comitans, Veilonella dan Capnosytopaga. Walaupun infeksi perikoronitis berhubungan
juga dengan bakteri anaerob, tetapi penyebab mikro organismenya berbeda dengan yang
melibatkan periodontitis. Hal ini berkaitan erat dengan patogenesis dimana peradangan
terjadi akibat adanya celah pada perikoronal yang menjadi media subur bagi koloni
bakteri, disertai berbagai trauma dari gigi yang bersebelahan. Faktor lain yang berperan
diantaranya stress emosional, merokok, daya tahan tubuh yang rendah, penyakit
sistemik, dan infeksi saluran pernafasan atas.
2.2.5. Patogenesis
Proses inflamasi pada perikoronitis terjadi karena terkumpulnya debris dan bakteri
di saku gusi perikoronal gigi yang sedang erupsi atau impaksi. Adanya akumulasi dari
plak dan sisa-sisa makanan di saku gusi perikoronal sulit diraih saat membersihkan gigi.
Pada saku gusi perikoronal ini akan terjadi proses inflamasi akut dengan gejalagejala inflamasi, sedangkan bila proses inflamasi kronis bisa timbul gejala ataupun
tanpa gejala. Apabila debris dan bakteri terperangkap jauh ke dalam saku gusi

perikoronal maka akan terbentuk abses. Inflamasi bisa juga terjadi karena trauma yang
dihasilkan dari erupsi gigi molar rahang atas.

Gambar 2.9. Patogenesis Perikoronitis


2.2.6. Manifestasi klinis
Biasanya terjadi secara unilateral. Perikoronitis terbagi dalam bentuk manifestasi :
a. Perikoronitis Akut:
-

Rasa sakit menusuk yang hilang timbul.

Trismus dan disfagia.

Operkulum gingiva di daerah infeksi bengkak, hiperemis, dan disertai supurasi.

Limfadenopati submandibular.

Rasa sakit yang pada mulanya lebih terlokalisasi dan selanjutnya menyebar ke
bagian telinga, tenggorokan, serta dasar mulut.

Sakit pada palpasi.

Rasa tidak enak (foul taste).

b. Perikoronitis subakut:
- Peradangan dan supurasi di operkulum berkurang.
-

Rasa sakit tumpul yang terus menerus.

Gambaran sistemik seperti peningkatan suhu, nadi, frekuensi pernapasan, dan


sakit pada nodul submandibular.

c. Perikoronitis kronik:
- Rasa sakit tumpul yang kambuh secara periodik.
-

Pemeriksaan radiologis menunjukkan gambaran kawah yang radiolusen.


10

Pembentukkan kista paradental.

2.2.7. Perawatan
Fokus perawatan adalah menanggulangi infeksi. Namun strategi perawatan
tergantung dari dua faktor, pertama dari beratnya infeksi dan yang kedua penyebaran
dari infeksi tersebut. Untuk infeksi yang telah menyebar ke KGB atau rongga fasialis
maka membutuhkan terapi yang lebih ekstensif.
Perikoronitis yang terlokalisasi dan dalam tahap ringan-sedang dapat ditangani
secara konservatif yaitu dengan debridemen dan drainase dari pericoronal pocket. Jika
terdapat abses maka harus dilakukan drainase yang dilakukan dengan cara insisi.
Monitoring pasca perawatan diperlukan untuk memastikan resolusi dari fase akut.
Setelah itu perlu dilakukan koreksi secara operatif, salah satunya adalah reseksi jaringan
perikoronal untuk mencegah berulangnya infeksi. Umumnya debridemen dan drainase
memberikan hasil berupa pengurangan gejala namun beberapa klinisi menggunakan
antibiotik sistemik dan sebagian lagi menggunakan antibiotik topikal walaupun
keuntungan baik dari segi efektifitas dan biaya belum diketahui.
Jika gigi yang terkena nonfungsional atau dianggap tidak dapat digunakan karena
malposisi atau alasan lain ekstraksi biasanya dianggap patut untuk dilakukan. Jika
perikoronitis terbatas dan tidak ada tanda-tanda abses, maka dapat langsung dilakukan
ekstraksi atau ditunggu sampai fase akut terlewati namun jika terdapat pus sebelumnya
dilakukan irigasi dan drainase, dan jika dalam keadaan gawat darurat perlu diberikan
antibiotik profilaksis sesudah ektraksi.
Dalam keadaan perikoronitis dengan tanda adanya penjalaran regional maka terapi
dilakukan seperti diatas dan ditambah dengan terapi antimikroba secepatnya. Ekstraksi
ditunda sampai infeksi telah terlokalisir atau hilang.
2.2.8. Komplikasi
Komplikasi perikoroniti antara lain:
1.

Perikoronal abses terjadi apabila peradangan / infeksi lebih terlokalisasi.

2.

Disfagia terjadi apabila infeksi menyebar ke arah posterior menuju ke ruang


oropharyngeal atau kearah medial pada bagian dasar lidah.

3.

Trismus terjadi karena kelainan pada TMJ.


11

4.

Komplikasi toksik sistemik seperti demam, leukositosis, dan malaise.

5.

Pembesaran kelenjar getah bening submaxilla, servikal posterior, deep cervical,


dan retrofaring.

2.2.9. Prognosis
Prognosis penyakit perikoronitis biasanya baik. Kebanyakan faktor lokal dapat
diobati dengan obat-obatan dari golongan antibiotik jika disebabkan oleh infeksi.
Pada kasus perikoronitis berulang sebaiknya dilakukan pencabutan untuk
menghindari berbagai komplikasi yang kemungkinan akan timbul jika tidak dilakukan
pencabutan sedini mungkin.

2.3. Operkulitis
2.3.1. Definisi
Merupakan peradangan sebagian kecil gusi yang terdapat di oklusal gigi, biasanya
terdapat pada gigi molar tiga bawah.
2.3.2 Epidemiologi
Operkulitis paling sering terjadi pada erupsi gigi molar ketiga yang biasa terjadi
pada akhir masa remaja atau pada awal usia 20 tahun.
2.3.3. Patofisiologi
Operkulitis terjadi karena tidak sempurnanya resorpsi jaringan lunak di atas gigi
sehingga membentuk kantung gigi yang menyebabkan makanan dapat terselip dan
menimbulkan proses inflamasi.

12

2.3.4. Gejala
Pada operkulitis biasanya tidak disertai gejala, pasien hanya merasakan nyeri pada
struktur gigi yang terlibat tanpa disertai dengan pembengkakan.
2.3.5. Terapi
Terapi yang dapat dilakukan adalah menenangkan proses infeksi. Bila ruangan tidak
cukup untuk erupsi gigi maka dilakukan ekstraksi gigi. Bila ruangan cukup untuk
erupsi, maka dapat dilakukan operkulektomy.
2.3.6. Prognosis
Prognosis penyakit operkulitis biasanya baik. Kebanyakan faktor lokal dapat diobati
dengan obat-obatan dari golongan antibiotik jika disebabkan oleh infeksi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kamus Kedokteran Dorland edisi ke 20. Jakarta: EGC.
2. Mansjoer Arif, dkk: Kapita Selekta Kedokteran. Editor Arif Mansjoer, dkk, Edisi
3, Volume 1, Jakarta: Media Aesculapius FKUI. 2000.
3. Topazian et al. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. Philadelphia: Saunders.
2002.
4. Pericoronitis. drgreen@greendentalnashville.com.
Newman, dkk. Carranzas Clinical Periodontology. 10th ed. Saunders Elsevier.
2006.
5. http://en.wikipedia.org/wiki/Periodontitis
6. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001059.htm

13

7. Kamus Kedokteran Dorland edisi ke 20. Jakarta: EGC.


8. Mansjoer Arif, dkk: Kapita Selekta Kedokteran. Editor Arif Mansjoer, dkk, Edisi
3, Volume 1, Jakarta: Media Aesculapius FKUI. 2000.
9. Topazian et al. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. Philadelphia: Saunders.
2002.
10. Pericoronitis. drgreen@greendentalnashville.com.
11. Newman, dkk. Carranzas Clinical Periodontology. 10th ed. Saunders Elsevier.
2006.

14

Anda mungkin juga menyukai