Anda di halaman 1dari 15

KONSEP DASAR RISK

OLEH
KELOMPOK I :
Anggi Pramudya

14121953

Ayu Astika Sari

14121957

Azri Idriyas

14121966

Cahya Delfia

14121954

Chyntia Maretha E.

14121969

Defnitya Vinorra

14121938

Difa Aidila

14121931

Elsi Kamilatul Izzati

14121934

Yenny Afriyani Agustin

14121948

S1 KEPERAWATAN
STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami persembahkan kehadirat ALLAH SWT, atas rahmat,
bimbingan dan hidayah-Nya makalah ini dapat diselesaikan sehingga dapat di persembahkan
kepada dosen dan para pembaca. Adapun judul dari makalah ini membahas tentang Konsep
Dasar Burnout
Makalah ini merupakan hasil kerja kelompok yang semaksimal sesuai dengan tenaga dan
kemampuan kelompok enam. Namun, kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahannya.
Di samping itu, dalam menyelesaikan makalah ini banyak terdapat halangan dan
rintangan yang dialami. Namun berkat bantuan dari teman-teman dan juga bimbingan dosen,
akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima
kasih pada semua pihak yang telah membantu kami. Dan semoga makalah ini bermanfaat untuk
kita semua.

Padang, 17 Januari 2016

Penulis

DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejenuhan kerja (Burnout) adalah suatu kondisi fisik, emosi dan mental yang
sangat drop yang diakibatkan oleh situasi kerja yang sangat menuntut dalam jangka
panjang (Muslihudin, 2009). National Safety Council (NSC) tahun 2004 mengatakan
bahwa kejenuhan kerja merupakan akibat stres kerja dan beban kerja yang paling umum,
gejala khusus pada kejenuhan kerja ini antara lain kebosanan, depresi, pesimisme, kurang
konsentrasi, kualitas kerja buruk, ketidakpuasan, keabsenan, dan kesakitan atau penyakit.
Kejenuhan kerja merupakan sesuatu hal yang sering dialami dalam setiap
pekerjaan, perawat merupakan salah satu profesi yang beresiko memiliki stres dan beban
kerja yang tinggi. Kinerja perawat adalah sesuatu yang dapat dirasakan oleh para pasien,
apabila kinerja buruk maka menyebabkan penurunan mutu pelayanan. Kejenuhan kerja
menjadi suatu masalah bagi organisasi apabila mengakibatkan kinerja menurun, selain
kinerja yang menurun produktivitas juga menurun (Dale, 2011).
Burnout juga merupakan istilah populer untuk kondisi penurunan energi mental
atau fisik setelah periode stress kronik yang tidak sembuh-sembuh berkaitan dengan
pekerjaan, terkadang dicirikan dengan pekerjaan atau dengan penyakit fisik (potter &
perry, 2005).
Salah satu yang dihadapi oleh dunia kerja hari-hari ini adalah burnout pada
karyawan disetiap jenjang jabatan dan pekerjaan. Dalam sebuah artikel bertajuk
Membunuh Burnout, memanfaatkan Stress pada harian Republika, 5 Agustus 1993
(dalam Sutjipto, 2001) dijelaskan bahwa burnout merupakan kondisi emosional dimana
seseorang merasa lelah dan jenuh secara mental ataupun fisik sebagai akibat tuntutan
pekerjaan yang meningkat.
Cordes dan Daugherty (dalam Cooper dkk., 2001) menjelaskan bahwa burnout
adalah kelelahan yang amat sangat dimana membuat kinerja individu terhambat bahkan

berhenti. Saat ini burnout menjadi masalah krusial di dunia kerja, karena seringkali
menghambat laju kinerja para karyawan yang akhirnya merugikan perusahaan. Burnout
seringkali muncul di dunia kerja dikarenakan rutinitas serta tekanan yang tinggi dalam
kesehariaannya (Cooper dkk., 2001). Sebab itu banyak perusahaan mencari cara untuk
membantu setiap karyawan yang ada untuk menanggulangi burnout di tempat kerja.
Mohan (dalam Dwivedi, 1981) menjelaskan bahwa kelelahan yang disebabkan
burnout di tempat kerja memberi dampak pada aktivitas lain dalam hidup karyawan. Hal
tersebut ditandai dengan kurangnya perhatian pada sekitar, menurunnya kemampuan
persepsi dan berpikir, menurunnya motivasi terhadap kegiatan lain, dan menurunnya
kegiatan secara fisik dan mental di luar jam kerja
Keadaan jenuh seringkali pikiran kita menjadi terasa penuh dan mulai kehilangan
rasional, hal ini dapat menyebabkan kewalahan dengan pekerjaan dan akhirnya
menyebabkan keletihan mental dan emosional, kemudian mulai kehilangan minat
terhadap pekerjaan dan motivasi menurun, pada akhirnya kualitas kerja dan kualitas
hidup ikut menurun (National Safety Council, 2004).
Lingkungan kerja yang banyak menuntut tanggung jawab yang besar seperti
lingkungan rumah sakit dapat menjadi salah satu sumber yang menimbulkan burnout
pada perawat. Menurut Niven (2002), lingkungan rumah sakit dapat berdampak pada
kesehatan, kenyamanan fisik, dan stres pada perawat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu burnout?
2. Apa saja penyebab burnout?
3. Bagaimana dimensi burnout?
4. Bagaimana cara penanganan burnout?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian burnout
2. Mengetahui apa saja penyebab burnout
3. Mengetahui dimensi burnout
4. Mengetahui cara penanganan burnout

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Burnout
Kejenuhan kerja (Burnout) adalah suatu kondisi fisik, emosi dan mental yang sangat drop
yang diakibatkan oleh situasi kerja yang sangat menuntut dalam jangka panjang (Muslihudin,
2009). National Safety Council (NSC) tahun 2004 mengatakan bahwa kejenuhan kerja
merupakan akibat stres kerja dan beban kerja yang paling umum, gejala khusus pada kejenuhan
kerja ini antara lain kebosanan, depresi, pesimisme, kurang konsentrasi, kualitas kerja buruk,
ketidakpuasan, keabsenan, dan kesakitan atau penyakit.
Menurut Poerwandari (2010) burnout adalah kondisi seseorang yang terkuras habis dan
kehilangan energy psikis maupun fisik. Biasanya burnout dialami dalam bentuk kelelahan fisik,
mental, dan emosional yang terus menerus. Karena bersifat psikobiologis (beban psikologis
berpindah ke tampilan fisik, misalnya mudah pusing, tidak dapat berkonsentrasi, gampang sakit)
dan biasanya bersifat kumulatif, maka kadang persoalan tidak demikian mudah diselesaikan.
Kejenuhan kerja merupakan sesuatu hal yang sering dialami dalam setiap pekerjaan,
perawat merupakan salah satu profesi yang beresiko memiliki stres dan beban kerja yang tinggi.
Kinerja perawat adalah sesuatu yang dapat dirasakan oleh para pasien, apabila kinerja buruk
maka menyebabkan penurunan mutu pelayanan. Kejenuhan kerja menjadi suatu masalah bagi
organisasi apabila mengakibatkan kinerja menurun, selain kinerja yang menurun produktivitas
juga menurun (Dale, 2011).

B. Faktor Penyebab Burnout


Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) berpendapat bahwa sumber utama timbulnya burnout
adalah karena adanya stres yang berkembang secara akumulatif akibat keterlibatan pemberi dan
penerima pelayanan dalam jangka panjang. Namun, Maslach secara tersirat juga mengakui

bahwa penting mencari faktor di lingkungan kerja tempat terjadinya interaksi antara pemberi dan
penerima pelayanan.
Selain itu, analisis juga perlu untuk mengkaji faktor individu yang ada pada pemberi
pelayanan yang turut memberi sumbangan terhadap timbulnya burnout. Dengan demikian faktor
timbulnya burnout disebabkan oleh adanya: (1) karakteristik individu, (2) lingkungan kerja, dan
(3) keterlibatan emosional dengan penerima pelayanan.
a. Karakteristik Individu
Sumber dari dalam diri individu yang turut memberi sumbangan timbulnya burnout dapat
digolongkan atas dua faktor, yaitu faktor demografik dan faktor kepribadian (Schaufeli dkk.,
1993).
1) Faktor demografik
Dari hasil penelitiannya yang mengacu pada perbedaan peran jenis kelamin antara
pria dan wanita, Farber (1991) menemukan bahwa pria lebih rentan terhadap stres dan
burnout jika dibandingkan dengan wanita. Orang berkesimpulan bahwa wanita lebih
lentur jika dibandingkan dengan pria, karena dipersiapkan dengan lebih baik atau secara
emosional lebih mampu menangani tekanan yang besar.
Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) menemukan bahwa pria yang burnout
cenderung mengalami depersonalisasi sedangkan wanita yang burnout cenderung
mengalami kelelahan emosional. Proses sosialisasi pria cenderung dibesarkan dengan
nilai kemandirian sehingga diharapkan dapat bersikap tegas, lugas, tegar, dan tidak
emosional. Sebaliknya, wanita dibesarkan lebih berorientasi pada kepentingan orang lain
(yang paling nyata mendidik anak) sehingga sikap-sikap yang diharapkan berkembang
dari dalam dirinya adalah sikap membimbing, empati, kasih sayang, membantu, dan
kelembutan.
Perbedaan cara dalam membesarkan pria dan wanita berdampak bahwa setiap
jenis kelamin memiliki kekuatan dan kelemahan terhadap timbulnya burnout. Seorang
pria yang tidak dibiasakan untuk terlibat mendalam secara emosional dengan orang lain
akan rentan terhadap berkembangnya depersonalisasi. Wanita yang lebih banyak terlibat
secara emosional dengan orang lain akan cenderung rentan terhadap kelelahan emosional.
Terhadap latar belakang etnis, hasil penelitian Maslach (dalam Schaufeli dkk.,
1993) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat burnout yang cukup signifikan
antara masyarakat keturunan Afrika dengan masyarakat Caucasian, pada para pekerja
pelayanan sosial. Masyarakat keturunan Afrika cederung memiliki burnout yang lebih

rendah jika dibandingkan dengan masyarakat Caucasian. Hal ini bisa terjadi karena
mayarakat keturunan Afrika berasal dari ligkungan masyarakat yang menekankan pada
hubungan kekeluargaan dan persahabatan. Oleh karenanya, mereka sudah terbiasa dengan
hubungan yang melibatkan emosi, misalnya menghadapi konflik, menghadapi harapan
yang tidak realistis.
Profesional yang berlatar belakang pendidikan tinggi cenderung rentan terhadap
burnout jika dibandingkan dengan mereka yang tidak berpendidikan tinggi (Schaufeli
dkk., 1993). Profesional yang berpendidikan tinggi memiliki harapan atau aspirasi yang
idealis sehingga ketika dihadapkan pada realitas, bahwa terdapat kesenjangan antara
aspirasi dan kenyataan, maka munculah kegelisahan dan kekecewaan yang dapat
menimbulkan burnout.
Sebaliknya, bagi profesional yang tidak berpendidikan tinggi, mereka cenderung
kurang memiliki harapan yang tinggi sehingga tidak menjumpai banyak kesenjangan
antara harapan dan kenyataan. Caputo (1991) mengemukakan terdapat hubungan antara
status profesional dengan burnout. Profesional yang bekerja secara penuh waktu lebih
berisiko terhadap burnout jika dibandingkan dengan profesional yang bekerja paruh
waktu. Smith (dalam Caputo, 1991) dalam penelitiannya pada pegawai perpustakaan
menemukan bahwa individu yang mengalami burnout lebih banyak ditemukan pada
mereka yang bekerja secara penuh.
2) Faktor Kepribadian
Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) mengatakan bahwa individu yang memiliki
konsep diri rendah rentan terhadap burnout. Ia menggambarkan bahwa karakteristik
individu yang memiliki konsep diri rendah yaitu tidak percaya diri dan memiliki
penghargaan diri yang rendah. Mereka pada umumnya dilingkupi oleh rasa takut
sehingga menimbulkan sikap pasrah. Dalam bekerja, mereka tidak yakin sehingga
menjadi beban kerja berlebihan yang berdampak pada terkurasnya sumber diri. Penilaian
diri yang negatif ini menyebabkan individu lebih menitikberatkan perhatian pada
kegagalan dalam setiap hal sehingga menyebabkan perasaan tidak berdaya dan apatis
(Cherniss, 1980).
Kemampuan yang rendah dalam mengendalikan emosi juga merupakan salah satu
karakteristik kepribadian yang dapat menimbulkan burnout. Maslach (dalam Schaufeli
dkk., 1993) menyatakan bahwa seseorang ketika melayani klien pada umumnya

mengalami emosi negatif, misalnya marah, jengkel, takut, cemas, khawatir dan
sebagainya. Bila emosi-emosi tersebut tidak dapat dikuasai, mereka akan bersikap
impulsif, menggunakan mekanisme pertahanan diri secara berlebihan atau menjadi
terlarut dalam permasalahan klien. Kondisi tersebut akan menimbulkan kelelahan
emosional.
b. Lingkungan Kerja
Dukungan sosial dari rekan kerja turut berpotensi dalam menyebabkan burnout (Caputo;
Cherniss; Pines & Aronson; Maslach dalam Sutjipto, 2001). Sisi positif yang dapat
diambil bila memiliki hubungan yang baik dengan rekan kerja yaitu mereka merupakan
sumber emosional bagi individu saat menghadapi masalah dengan klien (Schaufeli dkk.,
1993). Individu yang memiliki persepsi adanya dukungan sosial akan merasa nyaman,
diperhatikan, dihargai atau terbantu oleh orang lain. Sisi negatif dari rekan kerja yang
dapat menimbulkan burnout adalah terjadinya hubungan antar rekan kerja yang buruk.
Hal tersebut bisa terjadi apabila hubungan antar mereka diwarnai dengan konflik, saling
tidak percaya, mencurigai dan saling bermusuhan.
c. Keterlibatan Emosional dengan Penerima Pelayanan
Bekerja melayani orang lain membutuhkan banyak energi karena harus bersikap
sabar dan memahami orang lain dalam keadaan krisis, frustrasi, ketakutan, dan kesakitan
(Freudenberger dalam Farber, 1991). Pemberi dan penerima pelayanan turut membentuk
dan mengarahkan terjadinya hubungan yang melibatkan emosional, dan secara tidak
disengaja dapat menyebabkan stres emosional karena keterlibatan antarmereka dapat
memberikan penguatan positif atau kepuasan bagi kedua belah pihak, atau sebaliknya.
Para pekerja di bidang sosial sering menerima umpan balik yang negatif (Maslach;
Caputo; Cherniss dalam Sutjipto, 2002).
Hal ini disebabkan oleh tuntutan masyarakat terhadap pelayanan sehingga
individu kesulitan untuk mencapai standar yang diinginkan oleh masyarakat. Demikian
halnya jika pemberi pelayanan dapat memenuhi standar tersebut, masyarakat pada
umumnya tidak memberi pujian, sebab mereka menganggap bahwa memang seharusnya
seperti itu. Hal lain yang turut menyebabkan rendahnya penghargaan adalah bahwa
penerima pelayanan tidak mampu memberikan umpan balik positif karena keterbatasan
mereka, misalnya siswa dengan keterbelakangan mental. Dengan keadaan yang selalu

menerima umpan balik yang negatif ini, maka pada diri pemberi pelayanan/guru akan
terbentuk sikap yang negatif terhadap penerima pelayanan.
Pada sisi lainnya, perawat sebagai pemberi pelayanan sering menghadapi
karakteristik penerima pelayanan yang sulit ditangani atau klien yang bermasalah berat,
dan hal ini akan mendatangkan stres emosional (Schaufeli dkk., 1993). Maslach (dalam
Schaufeli dkk., 1993) memberikan contoh situasi kerja yang menekan secara emosional,
yaitu merawat pasien bagian psikiatri yang tidak mampu menolong diri sendiri. Individu
terus dihadapkan pada kondisi yang menekan secara emosional akan mudah merasa
kesal, marah, tertekan, jengkel, dan perasaan tidak enak lainnya. Apalagi bila ditambah
oleh perilaku klien yang tidak memberikan umpan balik yang positif, maka akan turut
menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan.
C. Dimensi Burnout
Maslach menjelaskan bahwa pekerjaan yang berorientasi melayani orang lain dapat
membentuk hubungan yang bersifat "asimetris" antara pemberi dan penerima pelayanan.
Seseorang yang bekerja pada bidang pelayanan, ia akan memberikan perhatian, pelayanan,
bantuan, dan dukungan kepada klien, siswa, atau pasien. Hubungan yang tidak seimbang
tersebut dapat menimbulkan ketegangan emosional yang berujung dengan terkurasnya
sumber-sumber emosional. Maslach (Schaufeli dkk., 1993) mengemukakan bahwa burnout
merupakan sindrom yang memiliki tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi,
dan penurunan pencapaian prestasi pribadi.
a. Kelelahan Emosional
Kelelahan emosional ditandai dengan terkurasnya sumber-sumber emosional,
misalnya perasaan frustrasi, putus asa, sedih, tidak berdaya, tertekan, apatis terhadap
pekerjaan dan merasa terbelenggu oleh tugas-tugas dalam pekerjaan sehingga seseorang
merasa tidak mampu memberikan pelayanan secara psikologis yang maksimal (Maslach,
2001).
b. Depersonalisasi
Depersonalisasi,

menurut

Maslach

(Schaufeli

dkk.,

1993)

merupakan

perkembangan dari dimensi kelelahan emosional. Ia menjelaskan depersonalisasi adalah


coping (proses mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan individu)
yang dilakukan individu untuk mengatasi kelelahan emosional. Perilaku tersebut adalah

suatu upaya untuk melindungi diri dari tuntutan emosional yang berlebihan dengan
memperlakukan orang lain disekitarnya sebagai objek.
Gambaran dari depersonalisasi adalah adanya sikap negatif, kasar, menjaga jarak
dengan penerima layanan, menjauhnya seseorang dari lingkungan sosial, dan cenderung
tidak peduli terhadap lingkungan serta orang-orang di sekitarnya. Sikap lainnya yang
muncul

adalah

kehilangan

idealisme,

mengurangi

kontak

dengan

sekitarnya,

berhubungan seperlunya saja, berpendapat negatif dan bersikap sinis terhadap sekitarnya
(Maslach, 2001).
Secara konkret seseorang yang sedang depersonalisasi cenderung meremehkan,
memperolok, tidak peduli dengan orang lain yang dilayani, dan bersikap kasar. Adapun
rendahnya hasrat pencapaian prestasi diri ditandai dengan adanya perasaan tidak puas
terhadap diri sendiri, pekerjaan, dan bahkan kehidupan, serta merasa bahwa ia belum
pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat (Pines & Aronson, 1988). Hal ini mengacu
pada penilaian yang rendah terhadap kompetensi diri dan pencapaian keberhasilan diri
dalam pekerjaan.
c. Penurunan Pencapaian Prestasi Pribadi
Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) menyatakan bahwa penurunan pencapaian
prestasi pribadi disebabkan oleh perasaan bersalah telah melakukan orang lain di
sekitarnya secara negatif. Seseorang merasa bahwa dirinya telah berubah menjadi orang
yang berkualitas buruk terhadap orang lain di sekitarnya, misalnya tidak memperhatikan
kebutuhan mereka. Padahal seorang pemberi layanan dituntut untuk selalu memiliki
perilaku yang positif, misalnya penyabar, penuh perhatian, hangat, humoris, dan yang
paling penting adalah mempunyai rasa empati.
D. Penanganan Burnout
a. Pengendalian emosi
Banyak tugas dan permasalahan di tempat kerja memacu terbentuknya emosi yang
secara terus menerus menumpuk sehingga terbentuknya sebuah bom waklu yang
sewaktu-waktu dapat meledak. Berbagai masalah termasuk konflik di tempat kerja
membuat individu lebih agresif atau bersikap kekanak-kanakan (infancy) hal ini
diakibatkan sulitnya berpikir secara jemih yang diakibatkan oleh penumpukan muatan
emosi negatif.
b. Berpikir positif

Salah satu tindakan dengan penerimaan diri dan orang lain akan membentuk
kesadaran terhadap dunia keda yang digelutinya. Berpikir positif akan membentuk
stabilitas dan ketahanan diri terhadap hal-hal yang dapat merusak citra dan kematangan
emosi.
c. ldentifikasi emosi
Artinya mengetahui hal-hal sebagai pemicu terbentuknya emosi negatif.
Selanjutnya adalah dengan mengespresikan secara tepat dan wajar yang dapat diterima
secara social. Amarah pada dasarnya tidak bertujuan positif melainkan dapat merusak
muatan positif dari dalam individu. Ekspresi kemarahan tepat sasaran dan dalam waktu
yang tepat pula akan membuat diri menjadi lebih tegar dalam menghadapi permasalahan
secara terpisah. Banyak orang tidak dapat memisahkan satu permasalahan sebelumnya
yang memacu pergolakan emosi dengan masalah yang timbul sesudahnya, akibat masalah
kecil dapat menjadi masalah besar ketika masalah lainnya muncul.

d. Minat dan gairah


Minat menandakan sikap realistis terhadap harapan dan aspirasi. Pekera haruslah
mempunyai minat dari dalam diri individu terhadap pekerjaan yang ditekuninya. Harapan
hubungan erat dengan minat, motivasi untuk menyelesaikan tugas dengan sebaiknya.
Gairah merupakan energi yang harus dimiliki pekerja untuk menumbuhkan semangat
dalam mengerjakan tugas. Lakukanlah semua pekerjaan dengan merasa tanpa beban.
e. Cinta
Cintailah pekerjaan, dengan demikian beban dan dampak depresi dari pekerjaan yang
menumpuk tidak akan mempengaruhi psikis. Mencintai pekerjaan juga menumbuhkan
rasa percaya diri bahkan memotivasi pekerja untuk melakukan pekerjaan lebih baik.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kejenuhan kerja (Burnout) adalah suatu kondisi fisik, emosi dan mental yang sangat
drop yang diakibatkan oleh situasi kerja yang sangat menuntut dalam jangka panjang
(Muslihudin, 2009). National Safety Council (NSC) tahun 2004 mengatakan bahwa
kejenuhan kerja merupakan akibat stres kerja dan beban kerja yang paling umum, gejala
khusus pada kejenuhan kerja ini antara lain kebosanan, depresi, pesimisme, kurang
konsentrasi, kualitas kerja buruk, ketidakpuasan, keabsenan, dan kesakitan atau penyakit.
Keadaan jenuh seringkali pikiran kita menjadi terasa penuh dan mulai kehilangan
rasional, hal ini dapat menyebabkan kewalahan dengan pekerjaan dan akhirnya menyebabkan
keletihan mental dan emosional, kemudian mulai kehilangan minat terhadap pekerjaan dan

motivasi menurun, pada akhirnya kualitas kerja dan kualitas hidup ikut menurun (National
Safety Council, 2004).

B. Saran
Perawat hendaknya meningkatkan kinerja mereka dengan cara mengevaluasi hasil
kinerja, mengikuti pelatihan-pelatihan, menyusun lingkungan kerja yang nyaman sehingga
kinerja dapat lebih maksimal. Profesi keperawatan hendaknya mampu menghindari dan
memanajemen stress sehingga keadaan kejenuhan dalam bekerja dapat dihindari, serta
menggunakan profesionalismenya dalam meningkatkan kinerja dengan cara mengembangkan
diri baik dari segi pengetahuan maupun ketrampilan.

DAFTAR PUSTAKA

A.Dale Timple. (2011). Memotivasi Pegawai, Seri Manajemen Sumber Daya Manusia.
Jakarta: Elex Media Komputindo
Anoraga, Pandji. (2001). Mengenal Stress Di Tempat Kerja. Bandung: Alfabeta
Mahlmeister. (2003). Burnout Of Employe. Amerika : ISH
Muslihudin. (2009) fenomena Kejenuhan (Burnout) di kalangan pegawai dan cara efektif
mengatasinya. www.lpmpjabar.go.id-Fenomena Kejenuhan (Burnout) Dikalangan Pegawai dan
Cara Efektif Mengatasinya.html.
Nasional Safety Council. (2004). Manajemen Stress. Jakarta : ECG
Nursalam. (2003). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika

Nursalam. (2007). Manajemen Keperawatan : Aplikasi Dalam Praktek Keperawatan


Profesional. Jakarta : Salemba Medika
Nursalam (2001). Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta : Sagung Seto Nursalam dan
Pariani, siti. (2001). Pendekatan Praktek Metodologi Research Keperawatan. Jakarta : Sagung
Seto.
Potter, Beverly. (2005). Overcoming Burnout. Third edition. Oakland : Ronin
Rice. (2002). Kualitas Dan Mutu Pelayanan Organisasi. Jakarta: ECG

Anda mungkin juga menyukai