Anda di halaman 1dari 13

HIPERTROFIK PYLORUS STENOSIS

I.

PENDAHULUAN
Adalah obstruksi yang disebabkan stenosis dari pylorus karena adanya hypertrofi

dan spasme dari lapisan muskularis sphincter pylorus, dan merupakan penyebab
sumbatan outlet gaster terbanyak pada bayi.

Stenosis pylorus terjadi pada 6 - 8 bayi per 1000 kelahiran dan lebih banyak
terjadi pada laki-laki dengan perbandingan 5:1 dan biasanya terjadi pada anak pertama.
Lebih sering terjadi pada ras kulit putih dibandingkan dengan kulit berwarna (amerika
latin, afrika- amerika dan asia). Beberapa faktor diyakini berperan dalam keadaan ini
antara lain lingkungan, riwayat keluarga, jenis kelamin bayi, ibu usia muda, anak pertama
dan pola makan bayi. Bayi premature terdiagnosis lebih lambat dari pada bayi post term.

III.

ETIOLOGI
Meskipun beberapa etiologi untuk keadaan ini telah dilakukan hipotesis, etiologi

yang sebenarnya masih belum diketahui, dan ditengarai multifaktorial. Faktor genetik dan
lingkungan berperan pada keadaan ini. faktor genetik dilihat dari kecenderungan kejadian
ini pada ras, jenis kelamin, golongan darah ABO dan urutan kelahiran tertentu. Pada ras
kulit putih banyak terjadi pada bayi dengan golongan darah B atau O dibandingkan bayi
dengan golongan darah yang lain.
Sedangkan faktor lingkungan yang dapat berperan antara lain pola pemberian
susu, paparan eritromisin, dan pemberian makan transpilorus pada bayi prematur.
Beberapa juga mengatakan ada konsentrasi beberapa zat yang dapat memfasilitasi
hiopertrofi pilorus antara lain substansi P yang berlebih, penurunan neurotrophin,
kekurangan nitric oxyde sinthase, dan hipersekresi gastrin.
IV.

PATOFISIOLOGI
Terjadi hipertrofi dan hiperplasi dari lapisan otot sirkuler dan longitudinal di

pilorus, sehingga menyebabkan penyempitan antrum gaster. Canalis pylorus menjadi


lebih panjang, dan keseluruhan pylorus menjadi tebal. Mukosa biasanya menjadi edema
dan ikut menebal. Pada beberapa kasus yang parah, gaster dapat sangat terdilatasi akibat
obstruksi yang hampir total.
Nitrit oksida merupakan neurotransmitter di traktus gastrointestinal, yang bekerja
untuk merelaksasi otot polos di gaster. Pada keadaan ini terjadi gangguan sintesis enzim
nitrit oxyde synthase. Roger menduga, tingginya massa sel parietal dan hilangnya kontrol
gastrin akan menyebabkan hiperasiditas duodenum persisten yang kemudian akan
menyebabkan stenosis pilorus karena kontraksi pylorus berulang sebagai respon dari
hiperasiditas tersebut.
Tidak ditemukan adanya pola keturunan tertentu pada penyakit ini, oleh karena itu
masih diragukan apakah penyakit ini diturunkan atau tidak.
V.

PEMERIKSAAN KLINIS
Presentasi klinik klasik dari stenosis pilorus adalah muntah proyektil nonbilious

yang ditemukan pada bayi aterm umur 2-8 minggu. Awalnya muntah yang terjadi tidak

sering dan tampak seperti regurgitasi saja. Isi muntahan adalah makanan yang baru
dimakan/diminum. Terkadang muntahan dapat berwarna kecoklatan karena adanya darah
akibat gastritis ataupun esofagitis. Pada tahap awal bayi masih baik, dan tampak
kelaparan, namun jika diagnosis lambat ditegakkan bayi dapat jatuh ke keadaan
dehidrasi. Alkalosis metabolik yang nyata dan malnutrisi dapat terjadi sebagai
manifestasi klinis lanjut dari penyakit tersebut.
Pemeriksaan fisik khusus ditemukan pada pasien tersebut meliputi gerakan
peristaltik yang terlihat pada epigastrium dan munculnya masa yang teraba di perut
bagian atas. Masa seperti buah zaitun dapat dibedakan dari pemeriksaan menurut
penelitian pada 70-80% pasien. Bayi lebih mudah diperiksa pada posisi berbaring dengan
memberikan semacam dot atau sebotol air gula yang diberikan untuk menjaganya agar
tetap tenang. Kakinya dinaikkan secara lembut untuk melemaskan otot dinding perut dan
perut dapat teraba pada jarak pertengahan dari regio subxiphoid ke umbilicus. Pemeriksa
harus sabar dan kadang-kadang membutuhkan pemeriksaan ulang pada bayi untuk
mendapatkan massa tersebut. Pemeriksaan ini dilakukan setelah sebelumnya lambung
didekompresi menggunakan selang orogastrik. Jika massa tersebut teraba biasanya
pemeriksaan penunjang lebih lanjut tidak perlu dilakukan.
Pada saat tidak ditemukannya masa tersebut pada daerah gastrointestinal bagian
atas, dapat diberikan kontras atau dengan pemeriksaan ultrasonography untuk
menegakkan diagnosis penyakit tersebut. Kriteria pemeriksaan ultrasonography untuk
stenosis pylorik meliputi saluran pylorik yang berukuran >19 mm, diameter otot pylorik
>15 mm, dan ketebalan otot pylorik >4 mm. Tehnik ini cukup dapat diandalkan dan
menurunkan risiko aspirasi. Jika pemeriksaan ultrasonography tersebut meragukan atau
terdapat perhatian khusus adanya refluks gastroesofagal, malrotasi, kelainan anatomic,
dapat dilakukan pemeriksaan serial gastrointestinal bagian atas.

Pada pemeriksaan

rontgen dengan kontras akan ditemukan lambung yang menggembung dengan adanya
penyempitan dan pelebaran dari saluran pylorik berupa gambaran seperti benang atau
double track. Penemuan serial gastrointestinal bagian atas lain meliputi gambaran
shoulders pada akhir saluran pylorus bagian atas yang menunjukkan adanya penonjolan
otot yang hypertrofi ke lumen lambung.
Kriteria Roy & Silverman :

VI.

Muntah, biasanya proyektil.

Konstipasi.

BB tidak bertambah atau menurun.

Dehidrasi.

Massa tumor yang teraba di perut kanan atas.

"String sign" pada bubur Barium.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosa

penyakit ini adalah : (6,7)


1. Radiologis
a. Foto polos abdomen akan didapatkan gambaran dilatasi lambung yang
berisi udara serta adanya batas antara cairan dan udara dimana kanalis
pilorika menyempit.

b. USG (Spitz) - penebalan otot >= 4 mm, ketebalan > 3 mm dianggap


positif pada bayi usia < 30 hari
- Panjang kanalis pylorus >= 16 mm
- Jika pemeriksaan USG tidak dapat memberi hasil pasti
dapat dilakukan serial pemeriksaan gastrointestinal atas
yang lain

c. Bubur barium :
- String sign kanalis pilorika yang cembung, sempit dan memanjang,
tampak seperti payung terbuka dengan pegangannya
melengkung ke arah bawah.
- Double track appearance berhubungan dengan melipatnya mukosa
pada kanalis pilorika.
- Peristaltis lambung yang meningkat dan perlambatan pengosongan
lambung.
- Mushroom effect yang terjadi akibat barium yang telah melewati kanal
sempit pylorus memasuki duodenum.
d. Diatrizoate meglumine (gastrografine), gambaran :
- String sign / double track.
- Pyloric beackyaitu gambaran dari permulaan kanalis pylorica.
- The "shoulder sign", yaitu gambaran massa pada pilorus yang menonjol
ke dalam antrum.
- Pilorik "tit" yaitu gambaran antrum dan kanalis pilorika yang mengalami
obstruksi, terlihat seperti payudara dengan puting susunya bila kanalis
pilorika telah kosong dari bubur Barium.
- Obstruksi komplit pilorus.

2. Laboratorium
- Hiponatremi dan hipokalemi.
- Alkalosis metabolik, dapat diatasi dengan :
Pemberian elektrolit
Penggantian cairan ekstraselular
Puasa
- pH urin : paradoksal asiduria terjadi bila defisiensi kalium berat.

VII.

DIAGNOSA BANDING
Kondisi apapun yang akan memberikan rangsang muntah pada bayi sebaiknya

dipertimbangkan sebagai diferensial diagnosis. Terdapat beberapa kondisi medis yang


penting untuk dijadikan sebagai diagnosa banding, yaitu :
1. gastroesophageal reflux,
2. gastroenteritis,
3. Peningkatan tekanan intracranial,
4. Kelainan metabolik
5. Penyebab Anatomis termasuk diantaranya antral web, foregut duplication cyst,
tumor gaster atau tumor yang menyebabkan kompresi gaster dari luar

VIII. PENATALAKSAAN
Persiapan Preoperative
Meski gangguan elektrolit berat jarang terjadi pada bayi, kadar elektrolit harus
diperiksa. Hiponatremi, hipokalemi, dan alkalosis metabolik dengan paradoxical
aciduria adalah abnormalitas yang sering terjadi. Kehilangan sekresi lambung untuk
mengurangi muntah akan berakibat dehidrasi sehingga melalui aldosteron stimulasi,
potassium diekskresikan dalam urin untuk mengimbangi sodium. Saat deplesi potassium
meningkat, resorbsi sodium melewati tubulus renalis mengganti ion hidrogen sehingga
terjadi paradoxical aciduria. Gangguan elektrolit ringan dapat dikoreksi pada pemberian
0,45% normal saline dengan dekstrose 5 % pre operasi. Gangguan elektrolit yang berat
dikoreksi dengan 0,9 % normal saline bolus dengan dosis 10-20 ml/kg, diikuti dengan
maintenance 0,9 % normal saline dalam larutan dekstrose 5 % yang dapat ditambahkan
KCl 20-30 mEq/L. Cairan diberikan dengan laju 1.25-2 kali kebutuhan maintenance.
Elektrolit diperiksa ulang tiap 6 jam sampai kadarnya kembali normal dan alkalosis sidah
teratasi. Preoperative NGT masih kontroversial, namun ada ahli yang berpendapat
bermanfaat untuk mencuci lambung dengan normal saline hangat untuk membuang sisa
dan asam lemak serta susu yang telah asam dalam lambung. Dan hal ini dapat membantu
meredakan gejala gastritis dan mengurangi edem mukosa gaster sehingga akan
memungkinkan cairan saline glukosa untuk melewati pylorus sehingga menghindari
pemberian cairan intravena pada banyak keadaan, selain itu tindakan penghentian makan
dapat mencegah muntah. Banyak pula ahli bedah anak tidak melakukan dekompresi
lambung pada pre operative karena diyakini memperparah kehilangan sekresi lambung
dan prosedur ini tidak emergensi untuk dilakukan. Salah satu tujuan koreksi elektrolit pre
operative adalah menurunkan bikarbonat serum menjadi kurang dari 30 mEq/dL sebab
bila kadar serum melebihi 30 mEq/dL potensial menyebabkan disfungsi miokard dan
depresi respirasi. Biasanya anak dengan spasme pyloric akan mengalami ikterik karena
gangguan glucuronil transferase sementara yang nantinya akan menghilang pada awal
pemberian makan.

Hidrasi cairan secara adekuat pre operasi dimaksudkan untuk mengoreksi adanya
defisit volume dan alkalosis metabolik. Tindak lanjut ini sampai pasien dibawa ke ruang
operasi. Pengosongan lambung sebaiknya dilakukan tepat sebelum induksi anestesi
umum dengan menggunakan pipa orogastrik atau nasogastrik. Antibiotik anti
staphylococcus diberikan secara intravena dosis tunggal sebelum operasi dan 24 jam post
operasi.

Operasi
Pyloromitomi ekstramukosal Ramstedt telah lama diterapkan sebagai pembedahan
klasik pada hipertrofi stenosis pylorus. Ada beberapa teknik insisi yang bisa diterapkan
untuk membuka sampai pylorus, insisi mendatar pada kuadran kanan atas atau insisi
Robertson grid-iron yang lebih banyak disukai pada sebagian besar operasi. Teknik
insisi ini menjadikan akses ke pylorus jadi lebih cepat dan mempunyai resiko yang
rendah terhadap angka kesakitan selama operasi. Insisi lain adalah insisi omega
supraumbilikal yang memberikan kosmetik yang lebih baik. Betadin dan alkohol
digunakan untuk persiapan sterilitas yang tinggi pada umbilikus. Terdapatnya sisa
umbilikus, umbilikus basah, atau kemerahan daerah sekitar umbilikus adalah
kontraindikasi dilakukan insisi umbilikus. Melalui pemotongan tajam pada fascia di garis
tengah nampak dan terbuka kira-kira 1/3 hingga 1/2 jarak dari umbilikus ke xiphoid.
Linea alba dibuka secara longitudinal hingga menembus peritoneum. Pilorus
diidentifikasi dengan menyisihkan omentum dengan kasa basah terbuka yang
ditempatkan secara lembut ke dalam rongga peritoneum tepat dibawah hepar. Omentum
akan melekat pada kasa ketika dipindahkan dari peritoneum.

Dengan menyisihkan

omentum, maka colon transversum akan jadi mudah terlihat bahkan langsung dibawah
potongan. Manuver ini menjadikan antrum gaster terlihat. Kurvatura mayor pada
lambung sebaiknya digenggam dengan kasa basah dan pylorus selanjutnya dapat dicapai
dengan gerakan ayunan pelan. Penghubung antara lambung dan lapisan serosa duodenum
bisa diidentifikasi dengan menentukan garis putih pada perbatasan lambung-duodenum
dan penonjolan vena Mayo. Sebelum melakukan miotomi, pylorus sebaiknya difiksasi
dengan menempatkan jari telunjuk pembedah dari tangan yang tidak dominan ke sisi
duodenal dari pylorus. Insisi tegak lurus pada lapisan serosa dibuat pada aspek antero8

superior pylorus dimulai kira-kira 1-2 mm proksimal duodenum dan meluas sampai ke
antrum nonhipertrofi. Ini digambarkan oleh serat-serat tranversal/oblik pada otot
lambung. Sisi tumpul pada pisau bedah digunakan pada awal untuk merusak serat-serat
otot. Untuk kemudian otot sirkuler pylorus dirusak menggunakan alat Benson. Manuver
ini dilakukan sampai serat-serat otot lambung terpisah secara lengkap dari
gastroduodenal junction dan serat-serat oblik pada lambung. Submukosa lambung akan
menonjol hingga terbelah. Dalam hal ini harus hati-hati untuk menghindari pemisahan
yang terlalu kasar pada distal pylorus karena perlekatan mukosa duodenum sangat rapuh
dan mudah terluka. Komplit tidaknya miotomi dapat diperkirakan dengan melihat ketika
dua sisi yang terbagi olive dapat dibebaskan. Kelanjutannya adalah mengisi lambung
dengan 60 -100 cc udara dengan gerakan milking kearah antrum dan menekan lembut
dengan jari pada bagian duodenum untuk mengobstruksi lumen dan mengetahui ada
tidaknya kebocoran. Terdapatnya gelembung udara atau zat warna empedu menunjukkan
adanya luka pada mukosa. Hampir semua perdarahan disini bersifat minor dan terjadi
karena kongesti vena dan akan berhenti dengan reduksi pilorus ke dalam peritoneum.

Teknik operasi pyloromyotomi. (A) insisi curvilinear melingkari umbilicus kira kira sampai 2/3 dari
lingkarang yang mengelilingi umbilicus. Fascia midline terlihat dan terbuka secara longitudinal. (B) insisi
serosal dibuat pada struktur otot pylorus yang hipertrofi dimulai kira kira 1 mm sampai 2 mm proksimal
duedonum (vena mayo) dan diperluas ke serabut obliq antrum.

Pada kasus tidak terjadinya kerusakan pada mukosa, pemberian makanan dimulai
pada 6 jam post operasi. Jika terdapat kerusakan mukosa, hal ini harus diperbaiki.
Perbaikan dapat dilakukan dengan menempatkan selapis bahan tidak dapat diserap pada
jahitan luka bedah secara transversal pada daerah perforasi dengan tambalan omentum.
Jika jahitan luka ini merintangi saluran keluar lambung, dapat dilakukan complete
muscular reapproximation dan memutar pilorus 90-180 derajat, dimana miotomi kedua

akan dilakukan setelahnya. Post operasi, dekompresi nasogastrik selama 24 jam


selanjutnya akan menjadi indikasi.
Dilatasi pilorus dengan balon endoskopik telah didilakukan namun tingkat
keberhasilannya belum pasti. Laparoskopik piloromiotomi juga telah digambarkan
dengan memanfaatkan keduanya yaitu mioplasti pilorik yang berlaku untuk pseudotumor
dengan klem Babcock atau instrument serupa. Secara alternatif, sebuah modifikasi dari
Ramstedt dapat dilakukan secara laparaskopik.
Walaupun operasi merupakan gold standar terapi untuk HPS, strategi
pengobatan non operatif telah dilaporkan. Beberapa penulis telah mengkaji ulang
penggunaan atropine pada penanganan HPS. Atropin sulfat intravena dimulai pada dosis
awal 0,4 mg/kg/hr IV dan dilanjutkan dengan kenaikan 0,1 mg/kg/hr selama diatas 8 hari
periode sampai muntah teratasi. Untuk selanjutnya bayi diberikan dosis pemeliharaan
dengan atropin oral selama 2 minggu. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa 21 dari 23
pasien dengan HPS sembuh tanpa pembedahan. Ultrasound digunakan untuk memeriksa
normalisasi pada otot pilorus post penyembuhan.

Penanganan Paska Operasi


Pasien dibaringkan dalam posisi berbaring datar pada sisi lateral dan masih dalam
pengawasan jika terjadi muntah dan pasien dapat mengaspirasi muntahannya. Pemberian
nasogastric tube setelah operasi tidak diperlukan kecuali dilakukan repair mukosa.
Pemberian narkotik pada manajemen nyeri post operasi jarang dilakukan. Bayi cenderung
mengalami apneu dan pemberian narkotik akan memperpanjang periode apneunya.
Pemberian asetaminofen dan pemberian makan yang terjadwal diperlukan. Pemberian
makan 4 sampai 6 jam setelah operasi dengan larutan elektrolit seimbang atau larutan
dekstrose dalam volume rendah diberikan bertingkat dalam 12 sampai 24 jam. Pada
awalnya dengan volume pemberian makanan yang sedikit (15 cc) pedialyte atau air gula
dimulai untuk mengetahui adanya toleransi, kemudian volume dinaikkan 15 cc formula
tiap 3 jam interval sampai bayi dapat mentolerir 60 90 cc ASI/dua kali formula tanpa
adanya muntah. Banyak pasien akan mengalami muntah post operasi yang kemungkinan
besar merupakan sekunder dari sisa edema mukosa pilorus dan keterlambatan
pengembalian fungsi peristaltik lambung yang normal. Muntah ini secara berangsur10

angsur bertahan hingga 7-10 hari. Selama waktu ini , bayi sudah dapat semakin tolerir
terhadap pemberian makanan hingga volume yang lebih tinggi.
Stasis gastrik mungkin berlangsung selama 12 jam atau lebih setelah operasi dan
beberapa dokter bedah oleh karena itu menganjurkan penundaan pemberian makanan,
untuk mengistirahatkan perut selama 18-24 jam paska operasi. Jika semua berjalan baik
maka bayi dapat dipulangkan setelah 72 jam paska operasi, walaupun jangka waktu ini
merupakan waktu minimal untuk berbagai kondisi, dan secara umum akan sangat
mengurangi waktu rata-rata perawatan di rumah sakit sampai mencapai kurang dari 4
hari. Waktu perawatan di RS yang lebih pendek akan sangat mengurangi resiko tertular
infeksi antara pasien, suatu resiko yang sangat besar terjadi pada bangsal perawatan anak.
Jika terdapat muntah paska operasi, makanan mungkin harus dikurangi jumlahnya atau
dihilangkan sama sekali. Pada suatu waktu ketika terdapat banyak mucus digaster
mungkin dapat membantu untuk mencuci lambung dengan cairan normal salin hangat.
Mendudukkan bayi selama dan diantara waktu makan seringkali mencegah muntah pada
kasus-kasus dimana terdapat hiatus hernia.
Infeksi dan wound dehiscence sebagai komplikasi post operasi terjadi kira-kira 1
%. Muntah persisten setelah 48 jam diduga karena atoni gaster terjadi sekitar 3 %.
Perforasi yang tidak disadari dianggap sebagai problem serius namun jarang terjadi
dimana diperlukan operasi kembali. Inkomplete piloromiotomi dapat terjadi namun sulit
dibedakan dengan refluks gastroesofageal dimana pada pencitraan post operasi juga sulit
terlihat. Bila obstruksi total pada outlet gaster tampak pada pemberian kontras,
pyloromiotomi ulangan diperlukan.
Setelah pyloromiotomi, pada operasi lanjutan akan nampak otot pilorus mencapai
ukuran normalnya dan hanya tampak sebagai garis diatas pilorus pada daerah yang
dilakukan miotomi.
Miotomi mengalami penyembuhan dengan meninggalkan jaringan sikatrik dan
jika dilihat beberapa bulan sesudahnya dapat menunjukkan gambaran yang normal.
Gambaran radiologis masih abnormal untuk selama beberapa waktu setelah operasi
Ramstedts dan jika pylorus yang terobstruksi di bypass oleh beberapa prosedur yang
sama, maka gambaran radiologis yang sama akan tetap terlihat selama beberapa tahun.
Pengosongan gaster akan jauh lebih cepat dan refluks dudenogastrik ditemukan lebih

11

sering pada anak paska menjalani operasi pylorotomi dibanding pada kontrol normal dan
hal ini mungkin menjadi dasar dari dyspepsia seperti yang dilaporkan oleh Soloweijezyk
pada 24 dari 41 pasien setelah 15-30 tahun operasi. Pada anak-anak, pertumbuhan dan
perkembangan adalah normal dan jarang ditemui gejala abdominal.
Di masa lalu, tingkat mortalitas dini untuk operasi Ramstedts masih
tinggi, di Inggris tingkat mortalitas secara umum diperkirakan mencapai 25% sejak masa
PD II. Beberapa tahun belakangan ini, banyak penelitian berskala luas telah
dipublikasikan pada pusat kesehatan anak di Eropa dan Amerika Utara memperlihatkan
tingkat mortalitas operasi yang rendah. Tingkat mortalitas saat ini telah menunjukkan
perbaikan sebesar 1%.

12

DAFTAR PUSTAKA

1. Kamus Kedokteran Dorland; Penerbit EGC; edisi 29; Hal 2063; 2002.
2. Pediatric Surgery, Bab.71 Hypertrophic Pyloric Stenosis; Arnold G. Coran et.al;
7th ed, Vol.1; Hal 1021; 2012.
3. Ashcrafts Pediatric Surgery, Pyloric Stenosis. Holcomb GW, Murphy PJ, Ostlie
DJ; 6th ed; Hal 403 407; 2014.
4. Pediatric Pyloric Stenosis. Singh J. Updated Oct 15th, 2012. Cited July 10th 2014.
Available at: URL:http://emedicine.medscape.com/article/803489
5. Essential of Pediatrics, 5th ed.; Pyloric Stenosis. Kliegman RM, Marcdante KJ,
Jenson HB, Behrman RE. 2007

13

Anda mungkin juga menyukai