Anda di halaman 1dari 9

Bab VI

PERIODE KEDUA

(450 850 H / 1058 1446 )

Periode kedua dimulai pada abad ke-11 sampai pada abad ke-15 Masehi dikenal
sebagai fase yang cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya. Para
cendekiawan Muslim di masa lampau mampu menyusun konsep tentang bagaimana umat
melaksanakan kegiatan ekonomi yang seharusnya berlandaskan di Al-Quran dan hadist
Nabi. Pada saat yang bersamaan sisi lain mereka menghadapi ealitas politik yang ditandai
oleh dua hal:

Pertama, Disintegrasi pusat kekuasaan Bani Abbassiyah dan terbaginya kerajaan ke


dalam kekuatan regional yang mayoritas didasarkan pada kekuatan (power) ketimbang
kehendak rakyat.

Kedua, merebaknya korupsi di kalangan para penguasa diiringi dengan dekadensi


moral di kalangan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan yang semakin
melebar antara si kaya dan si miskin.

Pada masa ini wilayah kekuasaan Islam yang terbentang dari Maroko sampai Spanyol
Barat hingaa India Timur telah melahirkan berbagai pusat kegiatan intelektual.1

Pemikiran ekonomi pada masa ini banyak dilatarbelakangi oleh menjamurnya korupsi
dan dekadensi moral, serta melebarnya kesengajaan antara golongan miskin dan kaya,
meskipun secara umumkondisi perekonomian masyarakat Islam berada dalam taraf
kemakmuran. terdapat pemkir-pemikir besar yang karyanya banyak djadikan rujukan hingga
kini, misalnya: Al Ghazali (451-505 H / 1055-1111 M), Nasirudin Tusi (485 H / 1093 M),
Ibnu Taimiyah (661-728 H / 1263-1328 M), Ibnu Khaldun (732-808 H / 1332-1404 M), Al
Maghrizi (767-846 H / 1364-1442 M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M), Abdul Qadir Jaelani
(1169 M), Ibnul Qayyim (1359 M), Ibnu Baja (1138 M), Ibnu Tufayl (1185 M), Ibnu Rusyd
(1198 M), dan masih banyak lagi. Para pemikir ini memang berkarya dalam berbagai bidang
ilmu yang luas, tetapi ide-ide ekonominya sangat cemerlang dan berwawasan ke depan.
Berikut ini beberapa pokok pikiran mereka.2

1 http://doelmith.wordpress.com/2008/10/09/sejarah-pemikiran-ekonomi-islam/
A. Al-Ghazali (450-505 H)
1. Biografi al-Ghazali
Al-Ghazali lahir pada 1058 M di kota kecil Khorasan bernama Toos. Karena ayahnya
penjual benang, ia diberi nama panggilan Ghazali, yang dalam bahasa Arab berarti pembuat
benang. Abu Hamida al-Ghazali terkenal di Barat sebagai al-Gazel, merupakan salah satu
pemikir besar Islam.3
Nama lengkapnya adalah Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-
Tusi al-Ghazali. Sejak kecil, Imam al-Ghazali hidup dalam dunia tasawuf. Ia tumbuh dan
berkembang dalam asuhan seorang sufi, setelah ayahnya yang juga seorang sufi meninggal
dunia, al-Ghazali sangat gila akan ilmu pengetahuan. Ia mempunyai kemauan yang sangat
besar untuk belajar, maka tak heran kalau ia menjadi seorang ilmuan yang dikenal dan
dihormati. Di masa mudanya ia belajar ke berbagai negara seperti Mesir, Baghdad, dan
Palestina.
Ia mendirikan sebuah madrasah bagi para fuqaha dan mutashawwifin di kota
kelahirannya At-Tus. Al-Ghazali memilih kota ini sebagai tempat menghabiskan waktu dan
energinya untuk menyebarkan ilmu pengetahuan, hingga meninggal dunia pada tanggal 14
jumadil Akhir 505 H atau 19 Desemer 1111 M).4
Al-Ghazali merupakan sosok ilmuwan dan penulis yang sangat produktif. Berbagai
tulisannya telah banyak menarik perhatian dunia, baik dari kalangan Muslim maupun non-
Muslim. Para pemikir Barat Abad Pertengahan, seperti Raymond Martin, Thomas Aquinas,
dan Pascal, diisukan banyak dipengaruhi oleh pemikiran al-Ghazali. Pasca periode sang
Hujjatullah ini, berbagai hasil karyanya yang telah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa, seperti Latin, Spanyol, Yahudi, Perancis, Jerman, dan Inggris, dijadikan referensi oleh
kurang lebih 44 pemikir Barat. Bayangkan begitu banyka pemikir Barat yang terpengaruh
oleh beliau.
Al-Ghazali, diperkirakan, telah menghasilkan 300 buah karya tulis yang meliputi
berbagai disiplin ilmu, seperti logika, filsafat, moral, tafsir, fiih, ilmu-ilmu al-Quran,
tasawuf, politik, administrasi, dan perilaku ekonomi. Namun demikian, yang ada hingga kini
hanya 84 buah. Beberapa karyanya yang popular adalah Mizan al-Amal, al-Iqtisad fi al-

2 Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami (Yogyakarta: Ekonosia, 2003),


75.

3 Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam (Yogyakarta: Ekonosia, 2004), 152.

4 Aidit al-Ghazali, Islamic Thinkers on Economics, Administration, and


Transactions,(Kuala Lumpur: Quill Publisher, 1991), 40.
Itiqad, Mahkan Naza fi al-Manthiq, al-Musfazhiri fi al-Rad ala al-Batiniyyah, Hujjat al-
Haq, Qawasim al-Batiniyyah, Jawab Mafsal al-Khilaf, al-Durj al-Marqum bi al-Jadawil,
Miyar al-Ilmi, Miyar al-Uqul, Maqasid al-Falasifah,Tahafut al-Falasifah, al-Mankhul fi
al-Ushul, al-Basit, al-Wasit, al-Wajiz, Khulasaf al-Mukhtasar, Qawaid al-Qawaid, Aqaid
al-Sughra, Makhaz al-Khilaf, Lubnab al-Nazar, Tahsin al-Makhadh, al-Mabadi wa al-
Ghayat, Muqaddamat al-Qiyas, Shifa al-Ghali/Alil fi al-Qiyas wa al-Tawil, al-Lubab al-
Muntakhal fi al-Jidal dan Ithbat al-Nazar al-Risalah al-Qudsiyyah, Ihya Ulum al-Din, al-
Rad al-Jami li Ilahiyat Isa bi Sharih al-Injil, Kimiya al-Saadah, al-Maqasad al-Asna fi
Asma Allah al-Husna, al-Madnun bihi ala Ghair Ahlih, al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-
Muluk, Bidayat al-Hidayah, Mafsal al-Khilaf fi Usul al-Din, Jawahir al-Quran, al-Arbain fi
Usul al-Din, Asrar al-Ittiba al-Sunnah, al-Qistas al-Mustaqim, Asrar Muamalat al-Din,
Faysal al-Tafriqah bayn al-Islam wa al-Zanadiqah, al-Munqiz min al-Dhalal, Qanun al-
Tawil, al-Risalah al-Laduniyyah, al-Hikmah fi Makhluqat Allah, al-Mustasfa fi ilmi al-
Ushul, al-Imla an Mushkil al-Ihya, Maarij al-Quds, Misykat al-Anwar, al-Darurah al-
Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah, Miraj al-Saliqin, Tabliis Iblis, Ayyuha al-Walad, Kitab
al-Akhlaq al-Abrar wa al-Najah min al-Shar, al-Gayah al-Quswa, Iljam al-Awam an Ilm
al-Kalam dan Minhaj al-Abidin.
2. Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali
Al-Ghazali dikenal memiliki pemikiran yang luas dalam berbagai bidang. Bahasannya
tentang ekonomi dapat ditemukan dalam karya menumentalnya ihya Ulum al Din, di
samping dalam Usul al fiqh, al Mustafa, Mizan al Amal dan al Tibr al Masbuk fi nasihat al
Muluk. Bahasan ekonomi al-Ghazali antara lain meliputi uang, perdagangan, pembagian
tenaga kerja, perilaku konsumsi, dan organisasi masyarakat dalam perekonomian. Selain itu,
kebutuhan dasar termasuk juga alat-alat untuk kebutuhan rumah tangga yang diperlukan,
furniture, peralatan pernikahan, alat-alat untuk membesarkan keluarga, dan beberapa asset
lainnya. Al-Ghazali juga memperkaya ekonomi Islam dengan topik pembagian kerja dan
teori evolusi uang. Al-Ghazali juga mengecam penimbunan uang di bawah lantai atau bantal,
karena uang diciptakan untuk memfasilitasi perdagangan, dan penimbunan uang di bawah
lantai atau bantal akan mengeluarkan uang dari proses perdagangan ini.
Sebagai seorang sufi, al-Ghazali banyak memberikan kontribusi yang berarti dalam
memberikan pandangan-pandangan yang bersifat spiritual dan moral dari ilmu ekonomi.
Dalam ihyaUlum al Din al-Ghazali telah mendiskusikan kerugian dari sistem barter dan
pentingnya uang sebagai alat tukar (means of change) dan pengukur nilai (unit of account)
barang dan jasa. Ia mengibaratkan uang sebagai cermin. Cermin tidak punya warna namun
dapat merefleksikan semua warna. Jadi, uang tidak punya harga namun dapat merefleksikan
semua harga. Uang bukanlah komoditas sehingga tidak dapat diperjualbelikan. Memperjual
belikan uang ibarat memenjarakan uang sebab hal ini akan mengurangi jumlah uang yang
berfungsi sebagai alat tukar. Uang dapat saja tidak terbuat dari emas dan perak, misalnya
uang kertas, tetapi pemerintah wajib menyatakannya sebagai alat pembayaran yang resmi. Ia
menyatakan bahwa pemalsuan uang (maghsyusy) sangat berbahaya karena dampaknya yang
berantai, bahkan lebih berbahaya dari pada pencurian uang.
3. Konsep Uang
Uang, benda yang satu pastilah kita ketahui fungsinya bagi kehidupan kita semua.
Tanpa uang pastilah kita sangat kesulitan untuk melakukan jual beli. Ini adalah penemuan
yang sangat penting bagi kehidupan kita. Coba bayangkan kalau seandainya kalau tidak ada
uang! Mungkin kita akan tetap seperti zaman dahulu yang transaksinya dengan barter.
Namun begitu apakah kita sadar kalau uang ini juga memiliki permasalahan
tersendiri, yang membuat pejabat pusing tujuh keliling. Namun yang mengejutkan, al-Ghazali
sudah membahas agak canggih mengenai permasalahan dan evolusi uang dan berbagai
fungsinya. Ia menjelaskan bagaimana uang mengatasi permasalahan yang timbul dari suatu
pertukaran barter.
Ia juga membahas berbagai akibat negatif dari pemalsuan dan penurunan nilai mata
uang, sebuah observasi yang mendahului observasi serupa beberapa abad kemudian yang
dilakukan oleh Nicholas Oresme, Thomas Gresham, dan Richard Cantillon.
Dalam karya menumentalnya, ihya Ulum al Din, al-Ghazali mendefinisikan bahwa
uang adalah barang atau benda yang berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan barang
lain. Barang tersebut dianggap tidak memiliki nilai sebagai barang (nilai instrinsik). Oleh
karenanya, ia mengibaratkan uang sebagai cermin yang tidak mempunyai warna sendiri tapi
mempu merefleksikan semua jenis warna.5
Merujuk pada kriteria tersebut, dalam soal pendefinisian uang, dia tidak hanya
menekankan pada aspek fungsi uang. Definisi yang demikian ini lebih sempurna
dibandingkan dengan batasan-batasan yang dikemukakan kebanyakan ekonom konvensional
yang lebih mendefinisikan uang hanya sebatas pada fungsi yang melekat pada uang itu
sendiri.
Oleh karena uang menurut al-Ghazali hanya sebagai standar harga barang atau benda
maka uang tidak memiliki nilai intrinsik. Atau lebih tepatnya nilai intrinsik suatu mata uang
yang ditunjukkan oleh real existence-nya dianggap tidak pernah ada. Anggapan al-Ghazali
bahwa uang tidak memiliki nilai intrinsik ini pada akhirnya terkait dengan permasalahan
seputar permintaan terhadap uang, riba, dan jual-beli mata uang.

5 Al-Imam al-Ghazali, ihya Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Marifat, t.t.), juz 4, 96.
Bernand Lewis (1993) menegaskan bahwa konsep keuangan al-Ghazali menunjukkan
karakter yang khas, mengingat kentalnya nuansa filosofis akibat pengaruh basis keilmuan
tasawufnya. Namun, yang menarik dari pandangan keuangannya adalah bahwa al-Ghazali
sama sekali tidak terjebak pada dataran filosofis, melainkan menunjukkan perpaduan yang
serasi antara kondisi riil yang terjadi di masyarakat dengan nilai-nilai filosofis tersebut
disertai dengan argumentasi yang logis dan jernih. Oleh karena itu, agar pandangan keuangan
al-Ghazali tertata rapi sehingga menjadi konsep yang mapan, tulisan singkat ini berusaha
menggambarkan secara utuh seputar pandangan keuangan beliau untuk kemudian dikaji
dalam perspektif sistem ekonomi Islam, yang di antaranya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Larangan menimbun uang (money hoarding)
Dalam konsep Islam, uang adalah benda publik yang memiliki peran signifikan dalam
perekonomian masyarakat. Karena itu, ketika uang ditarik dari sirkulasinya, akan hilang
fungsi penting di dalamnya. Untuk itu, praktik menimbun uang dalam Islam dilarang keras
sebab akan berdampak pada instabilitas perekonomian suatu masyarakat.
Menurut al-Ghazali alasan dasar pelanggaran menimbun uang karena tindakan
tersebut akan menghilangkan fungsi yang melekat pada uang itu. Sebagaimana
disebutkannya, tujuan dibuat uang adalah agar beredar di masyarakat sebagai sarana transaksi
dan bukam untuk dimonopoli oleh golongan tertentu. Bahkan, dampak terburuk dari praktik
menimbun uang adalah inflasi.
Dalam hal ini teori ekonomi menjelaskan bahwa antara jumlah uang yang beredar dan
jumlah barang yang tersedia mempunyai hubungan erat sekaligus berbanding terbalik. Jika
jumlah uang beredar melebihi jumlah barang yang tersedia, akan terjadi inflasi.
Sebaliknya, jika jumlah uang yang beredar lebih sedikit dari barang yang tersedia
maka akan terjadi deflasi. Keduanya sama-sama penyakit ekonomi yang harus dihindari
sehingga antara jumlah uang beredar dengan barang yang tersedia selalu seimbang di pasar.6
b. Problematika Riba
Secara sederhana riba adalah tambahan atas modal pokok yang diperoleh dengan cara
yang batil. Secara eksplisit larangan riba terdapat dalam al-Quran Surat al-Baqarah ayat
275:

Semua ayat maupun hadits belum di tulis

6 Adi Warman Azwar Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro
(Jakarta: Karim Business Consulting, 2001), 6.
Alasan mendasar al-Ghazali dalam mengharamkan riba yang terkait dengan uang
adalah didasarkan pada motif dicetaknya uang itu sendiri, yakni hanya sebagai alat tukar dan
standar nilai barang semata, bukan sebagai komoditas. Karena itu, perbuatan riba dengan
cara tukar-menukar uang yang sejenis adalah tindakan yang keluar dari tujuan awal
penciptaan uang dan dilarang oleh agama.7

c. Jual Beli Mata Uang


Salah satu hal yang termasuk dalam kategori riba adalah jual beli mata uang. Dalam
hal ini, al-Ghazali melarang praktik yang demikian ini. Baginya, jika praktik jual beli mata
uang diperbolehkan maka sama saja dengan membiarkan orang lain melakukan praktik
penimbunan uang yang akan berakibat pada kelangkaan uang dalam masyarakat. Karena
diperjualbelikan, uang hanya akan beredar pada kalangan tertentu, yaitu orang-orang kaya.
Ini tindakan yang sangat zalim.
Demikian sekelumit pandangan keuangan al-Ghazali yang sarat dengan semangat
kemanusiaan universal serta etika bisnis Islami. Meskipun demikian untuk menjadi konsep
yang mapan dan sempurna, pemikiran keuangan al-Ghazali yang masih berserakan tersebut
memerlukan kerja keras dari para pewarisnya untuk kemudian merekonstruksi ulang secara
sistematis dan logis.
d. Evolusi Pasar
Kalau kita telaah lebih jauh lagi tentang pemikiran ekonomi Muslim sungguh
mengejutkan, ternyata al-Ghazali menyuguhkan pembahasan terperinci tentang peranan dan
signifikansi aktivitas perdagangan yang dilakukan dengan sukarela, serta proses timbulnya
pasar yang berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran untuk menentukan harga dan
laba. Tidak disangsikan lagi, al-Ghazali tampaknya membangun dasar-dasar dari apa yang
kemudian dikenal sebagai semangat kapitalisme.
Bagi al-Ghazali pasar merupakan bagian dari keteraturan alami. Secara rinci, dari
juga menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar. Al-Ghazali menyatakan:
Dapat saja petani hidup dimana alat-alat pertanian tidak tersedia, sebaliknya pandai
besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tidak ada. Namun secara alami,
mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat pula terjadi tukang
kayu membutuhkan makan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau
sebaliknya. Keadaan ini menimbulkan masalah. Leh karena itu, secara alami pula
orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak
dan tempat penyimpanan hasil sesuai dengan kebutuhan masing-masing sehingga

7 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, dari Masa Klasik Hingga
Kontemporer (Jakarta: Pustaka Asatrus, 2005), 129-130.
terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu dan pandai besi yang tidak dapat langsung
melakukan barter juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila di pasar juga tidak ditemukan
orang yang melakukan barter ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang
relatif murah untuk kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian
menjual dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang.8

Jadi bagi al-Ghazali, pasar berevolusi sebagai bagian dari hukum alam segala sesuatu,
yakni sebuah ekpresi berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan
kebutuhan ekonomi. Untuk memeperjelas hal ini al-Ghazali juga menjelaskan praktik-praktik
ekonomi sebagai berikut:

1) Praktek perdagangan antar wilayah


Al-Ghazali juga menjelaskan praktik perdagangan antar wilayah beserta dampak yang
ditimbulkannya. Selanjutnya praktik-praktik ini terjadi di berbagai kota dan negara, orang-
orang melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mnedapatkan alat-alat makan dan
membawanya ke tempat lain. Urusan ekonomi yang akhirnya di organisasikan ke kota-kota
dimana tidak seluruh makan dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada gilirannya menimbulkan
kebutuhan terhadap alat transportasi. Tercipta kelas pedagang regional dalam masyarakat.
Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Pada pedagang ini bekerja keras memenuhi
kebutuhan orang lain dan mendapata keuntungan dan keuntungan ini akhirnya dimakana oleh
orang lain juga.9
2) Teori Permintaan dan Penawaran
Al-Ghazali juga memperkenalkan teori permintaan dan penawaran; jika petani tidak
mendapatkan pembeli, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah, dan harga dapat
diturunkan dengan menambah jumlah barang di pasar. Ghazali juga memperkenalkan
elastisitas permintaan, ia mengidentifikasikan permintaan produk makanan adalah inelastic,
karena makanan adalah kebutuhan pokok. Oleh karena dalam perdagangan makanan motif
mencari keuntungan yang tinggi harus diminimalisir, jikaingin mendapatkan keuntungan
tinggi dari perdagangan, selayaknya dicari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan
pokok.10

8 Adi Warman Azwar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001), 157.

9 Ibid., 158.

10 Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Makro Islam., 152.


Akhir hidup al-Ghazali di Teheran pasa 505 H/1111 M, seperti biasanya, ia bangun
pagi pada suatu hari senin, persembahyang, kemudian meminta dibawakan peti matinya. Ia
seolah-olah mengusap prti itu dengan matanya dan berkata apapun perintah Tuhan, aku
tekah siap melaksanakannya. Sambil mengucap kata-kata itu, ia meluruskan kakinya, dan
ketika orang melihat wajahnya, Imam besar itu sudah tiada.11
Dalam wacana pemikiran filsafat Islam maupun tasawuf, tidak diragukan lagi bahwa
Hujjat al-Islam al-Imam Al-Ghazali (450 H/505 H) merupakan slaah seorang pemikir Islam
yang sangat populer. Ia tidak hanya terkenal dalam dunia Islam, tetapi juga dalam sejarah
intelektual manusia pada umumnya.
Pemikiran al-Ghazali tidak hanya berlaku pada zamannya, tetapi dalam konteks
tertentu mampu menembus dan menjawab berbagai persoalan kemanusiaan kontemporer. Di
kalangan uamt Islam, dia lebih dikenal sebagai tokoh tasawuf dan filsafat.
Fakta ini tidak mengherankan mengingat puncak mercusuar pemikirannya, sebagai
mana dapat kita lihat dari beberapa karya tulisannya, berada pada wilayah kajian ini.
Meskipun demikian, sebenarnya garapan pemikiran al-Ghazali merambah luas ke berbagai
cabang keilmuan lainnya, seperti fikih, ushul fiqh, kalam, etika, bahkan ekonomi. Dengan
demikian, al-Ghazali tidak hanya lihai berbicara soal filsafat Islam maupun tasawuf, tetapi ia
juga piawai mengulas soal ekonomi, terutama soal etika keuangan Islam.
Muhammad Nejatullah Siddiqi dalam bukunya Reading in Islamic Economic Though
memasukkan nama al-Ghazali ke dalam deretan tokoh pemikir ekonomi Islam fase kedua
bersama-sama dengan Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun dan tokoh lainnya. Pada fase kedua ini
wacana pemikiran ekonomi Islam telah berkembang secara intensif serta ditandai dengan
perubahan dalam struktur kekuasaan Islam yang semakin luas.
Corak pemikiran ekonomi Islam pada masa ini lebih di arahkan pada analisis ekonomi
mikro dan fungsi uang. Al-Ghazali, misalnya, banyak menyinggung soal uang, fungsi, serta
evolusi penggunaannya. Ia juga menjelaskan masalah larangan riba dan dampaknya terhadap
perekonomian suatu bangsa. Secara tidak langsung, ia membahas masalah timbangan,
pengawasan harga (at-tasir atau intervensi), penentuan pajak dalam kondisi tertentu atau
darurat. Ia juga berbicara mengenai bagaimana mengatasi dampak dari kenaikan harga,
apakah dengan mekanisme pasar ataudengan intervensi pemerintah dan lain-lain.12

11 Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000),


118, 122.

12 http://www.sebi.ac.id/index.php?option=com_content
&task=view&id=412&Itemid=33

Anda mungkin juga menyukai