, MSc, 2007
Modul 01
MK. BUDIDAYA LAUT
Kode/SKS/SMT:
PKB 237 P/3/Genap
SAP:
Nutrisi dan Pakan
Topik Bahasan :
PAKAN ALAMI
MIKROALGAE:
KULTUR, NUTRISI
DAN APLIKASINYA
DALAM BUDIDAYA
Disusun oleh:
Ir. Gunawan Widi Santosa, MSc.
Bab 1
PENDAHULUAN
Yang dimaksud dengan algae dalam Modul ini adalah semua kelompok mikroalgae
atau fitoplankton yang mempunyai nilai nutrisi dan layak dimanfaatkan untuk sumber pakan
alami dalam budidaya perairan (aquakultur/marikultur). Peranan algae sebagai pakan alami
dalam suatu usaha budidaya yang dimulai dari hatchery sampai pembesaran sangatlah penting
selama siklus atau paling tidak pada salah satu siklus hidup ikan atau moluska atau krustasea
yang sedang dibudidayakan. Mikroalgae juga dikenal sebagai titik pemicu alur energi secara
biologis melalui rantai makanan pelagis yang sangat penting. Dengan kondisi ini mikroalgae
menjadi bagian integral yang tak terpisahkan dalam usaha budidaya. Dalam
mempertimbangkan peranan mikroalgae dalam aquakultur/ pembenihan, pengetahuan tentang
mikroalgae dan cara-cara praktis dalam pembudidayaannya menjadi sangat penting dalam
pengoperasian suatu sistem aquakultur. Pertanyaan-pertanyaan tentang spesies apa yang
cocok untuk pakan alami dalam pembudidayaan ikan atau udang atau kerang misalnya,
nutrient apa yang cocok dipakai sebagai pengkayaan media kultur, seberapa banyak algae yang
dibutuhkan sebagai pakan merupakan isu penting untuk dijawab oleh aquakulturist. Orang
pasti akan memilih cara yang paling baik untuk menumbuhkembangkan mikroalgae sebagai
makanan larvae dalam aquakultur baik dari sisi kualitas (nutrisi) maupun kuantitas (jumlah sel
atau biomasa) yang diperolehnya.
Dengan latar belakang tersebut diatas dalam uraian Modul ini akan disampaikan
gambaran pola pertumbuhan mikroalga beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya, praktek-
praktek secara prinsip kultur mikroalgae untuk dimanfaatkan sebagai pakan alami dalam
budidaya/hatchery.
a. Alasan Ekologis.
Mikroalgae merupakan titik awal secara biologis arus energi pada rantai makanan di
perairan (Biological Starting Point Of Energy Flow In Aquatic Food Chain).
Sumber enerji matahari dirubah menjadi energi kimia oleh mikroalga dan tanaman lain
(produser) dan disimpan dalam selnya. Ketika herbivora makan tanaman maka enerjinya akan
disimpan dalam selnya. Bila karnivora makan herbivora maka enerji akan disimpan juga di
dalam selnya. Dekomposer akan menerima enerji dari tanaman dan hewan yang mati dan
mensuplai enerjinya ke detrifor dan pemakan jamur.
Karena alasan diatas, maka pengelolaan produksi mikroalgae sebagai pakan alami
(feeding) merupakan bagian integral dari suatu system operasional budidaya (Lihat Ilustrasi di
bawah ini). Bersama bakteri mikroalgae juga memegang peranan penting di dalam
Site Selection
Construction Marketing
Rearing
b. Alasan Praktis
Mikroalgae
+
bakteri
Larvae
Larva Crustacea
moluska + ikan (awal)
(awal+akhir
)
Artemia,
Copepoda
,
Rotifera
Moluska
Larvae
(dewasa)
akhir)
Juvenil
(awal)
Krustacea
+ikan
Gambar 2. Peran mikroalgae bersama bakteri sebagai sumber energi makanan bagi
pelbagai kelompok kultifan pada satu atau lebih siklus kidupnya mereka.
Bab 2
KULTUR MIKROALGAE DAN PERTUMBUHANNYA
Untuk mengkultur mikroalgae secara baik ada 3 syarat yang harus diperhatikan yaitu:
Sebelum bibit algae didapat hal yang perlu dipersiapkan adalah wadah dan media
beserta nutrient yang cocok untuk algae yang akan dikultur (Lihat Lampiran 1). Bibit algae
biasanya didapat dengan cara membeli dari sumber perusahaan atau institusi kolektor yang
dipercaya kualitas produknya atau dengan mempergunakan cara-cara yang baku serta baik
melalui cara isolasi (Lihat Lampiran 2). Secara umum pembudidayaan algae memang dimulai
dari proses isolasi atau koleksi bibit algae-nya, namun demikian proses-proses sterilisasi
media dan wadahnya serta kondisi lingkungan yang mendukung juga sangat terkait untuk
suksesnya kultur baik sebagai pakan alami atau untuk aplikasi yang lain seperti disajikan dalam
Gambar 4.
dikukus. Cara ini cukup efektif untuk bisa membunuh microorganisme yang menempel atau
aerob dalam wadah kultur. Untuk wadah-wadah yang berukuran besar biasanya dibersihkan
dengan air panas (untuk carboy sampai 20 L) atau dicuci dengan larutan asam atau klorin.
A B
C1 C2 C3
D E F
G1
H G2
Media air laut yang didapat biasanya diambilkan dari tengah laut (offshore
oceanic water) karena air ini dianggap paling baik untuk kultur stok yang relatif bebas
atau hanya mengandung sedikit sekali akan partikel lumpur, bahan organik, substansi
penghambat pertumbuhan dan rendah akan polutant atau logam berat. Sedangkan air laut
yang diambil dari daerah pantai (coastal waters) adalah kurang baik untuk kultur algae
sebab mengandung unsur-unsur organik, pollutant dan bahan-bahan buangan yang masuk
dari darat. Air laut yang didapat (terutama dari daerah pantai) masih harus dibersihkan
melalui proses penyaringan dan atau air didiamkan dahulu sampai beberapa bulan pada
suhu rendah (15oC) dalam keadaan gelap sebelum difilter dan digunakan. Hal ini akan
menghasilkan remineralisasi media.
Modal air yang dibutuhkan untuk fasilitas kultur mikroalgae maupun larvae
adalah sistem dimana air didapat dari suatu sistem penyaringan air laut yang mudah
didapat jika diperlukan. Air yang didapat dari laut mengandung sedimen, fitoplankton
maupun zooplankton yang masih hidup ketika dipompa masuk kedalam bak
penampungan. Bersama air ini pula terkandung ciliata, bakteria, ragi dan jamur laut. Air
laut yang akan disaring biasanya dialirkan pada sistem filter mempergunakan butiran
pasir maupun bebatuan kecil (kerikil) atau pecahan karang yang mungkin bisa
menghilangkan sedimen maupun membunuh zooplankton melalui perusakan mekanis.
Sistem seperti ini bisa bertahan bertahun-tahun tanpa dilakukan pembersihan karena
adanya bakteri anaerob yang berada dalam sistem penyaring pasir maupun batuan yang
mampu menguraikan atau memakan detritus yang tertinggal. Air laut yang melalui sistem
ini kemudian dipompa kedalam bak utama untuk selanjutnya air disaring melalui batuan
koarsa sebelum difilter lagi dengan mempergunakan sistem penyaring komersial seperti
produksi Gelman yang terpasang secara berturut-turut secara seri dari yang berpori besar
ke kecil, 10 m - 1 m - 0,2 m.
Semua organisme yang ada dalam air tidak termasuk yang sangat kecil sekali
akan secara mekanis terbawa dari air laut yang akan melalui unit sterilisasi
mempergunakan sinar ultra-violet (UV) pada 254 nm. Unit penyinaran ini diharapkan
mampu merusak dinding sel organisme yang masih ada dalam sistem penyaring. Sebab
banyak bakteri, ragi maupun jamur akan tetap berada dalam sistem penyaring dalam
bentuk kista atau telur yang sangat kecil yang bisa menetas sewaktu-waktu dan tahan
akan pengaruh penyinaran dengan UV. Sehingga air laut yang telah mengalami
serangkaian proses inipun tidak bisa dikatakan steril. Biasanya air laut yang telah disaring
dengan proses tadi akan ditampung dalam bak reservoir yang kemudian dialirkan kedalam
pipa-pipa distribusi dan siap digunakan sewaktu-waktu. Namun demikian air yang keluar
dari reservoir inipun masih sekali lagi perlu dilakukan penyinaran dengan UV.
Pembersihan dilakukan pada sistem perpipaan dan reservoir untuk mencegah nge-blok-
nya sistem perpipaan dan membunuh bakteri dengan cara mengalirinya dengan air panas.
Air laut yang siap akan digunakan untuk tujuan laboratoris yang memerlukan ketelitian
prima biasanya media air laut masih dilakukan sterilisasi menggunakan autoklaf.
Pensucihamaan dengan mengautoklaving media ini sekaligus mensterilkan wadah beserta
peralatannya (apparatus) seperti pipet, selang aerasi dll. Ada beberapa tips untuk sterilasi
media seperti:
1. Fosfat dan besi disarankan dipisah sebelum diautoklaf dan baru ditambahkan
kedalam medium setelah dingin karena akan timbul endapan
2. Vitamin harus difilter secara steril tersendiri dan disimpan sebagai stok dalam
lemari pendingin dalam botol gelap. Vitamin ditambahkan kedalam media begitu
inokulasi akan dilakukan
3. Untuk kultur diatom, media yang tidak mengandung Si harus ditambahkan 0,05
g/L Na2 SiO3.9H2O
4. Jika dibutuhkan guna mengentalkan media bisa ditambah dengan 1-1,5% agar
tumbuh baik tanpa sumber kombinasi nitrogen (nitrat atau amonia) walaupun fosfornya
telah mencukupi di perairan.
Tabel 1. Konsentrasi elemen nutrient tumbuhan dalam kolom air dan fitoplankton
dan dilakukan uji coba untuk meyakinkan bahwa species yang telah teridentifikasi
tersebut adalah baik dan layak dipergunakan sebagai pakan tanpa unsur racun di
dalamnya.
ISOLASI
ALGAE HIDUP MURNI
KOLEKSI
KULTUR STOK
KULTUR ANTARA
PANEN FEEDING
PROSES SELANJUTNYA
BERBAGAI APLIKASI
Untungnya, sekarang ini banyak kolektor algae yang tersebar di pelbagai tempat
di dunia ini (Lihat Lampiran.). Para kolektor tersebut akan mengirim secara cepat dengan
harga tertentu kultur pemula dalam beberapa mililiter suspensi padat algae yang
ditempatkan dalam suatu ampul (vials). Kultur tadi biasanya uni-algae berisi hanya satu
spesies (uni-algal species), namun demikian mungkin masih mengandung bakteri (non-
axenic) tapi terjamin akan genus maupun speciesnya.
Setelah starter culture didapat mereka harus ditempatkan pada volume yang
lebih besar pada media kultur yang cocok untuk menjaga agar algae tetap hidup dan
berkembang sampai jumlah atau densitas tertentu yang diinginkan. Kultur ini bisa dipakai
sebagai stok untuk koleksi atau (stock culture). Kultur ini biasanya disimpan dalam
tabung-tabung reaksi yang bertutup putar dengan media pemupukan kadar rendah (low-
level enrichment media) dengan tujuan untuk perawatan daripada mengejar pertumbuhan
maksimal. Penyinaran yang terus-menerus biasanya dilakukan untuk flagellata dan periode
12 jam penyinaran untuk diatom diperkirakan sudah cukup. Cahaya yang diberikan untuk
stock cultures ini adalah (dihitung secara horisontal) yang disupply dengan menempatkan
2 buah lampu neon 30-40 Watt didepan stock cultures. Semua koleksi algae sebaiknya
ditempatkan pada ruangan khusus untuk koleksi dalam inkubator yang diberi cahaya
cukup (750-1000 lux) pada suhu rendah (25 oC). Kultur pemula ini kemudian harus
dipindahkan secara steril (sterile transferred) ke dalam media yang telah disiapkan pada
suatu flask yang selanjutnya disebut sebagai kultur utama (master culture). Untuk ini bila
starter culture tadi didapatkan dari kolektor biasanya sudah dilengkapi dengan jenis
nutrient atau media yang cocok untuk spesies tsb. Bila algae telah tumbuh cukup maka
sebagian kecil dari suspensi algae bisa dipindahkan lagi secara steril kedalam tempat yang
lain namun pada suhu yang lebih tinggi. Biasanya inokulan 2 mL dari stok kultur ini sudah
cukup untuk 125 mL flask Erlenmeyer. Setelah ini penyinaran ditingkatkan menjadi 1500
lux. Aerasi belum diberikan dalam tahap ini namun pengocokan perlahan bisa dilakukan
untuk mengurangi efek penutupan cahaya akibat semakin banyaknya sel dalam media
kultur (Beers Law effect) secara regular. Setelah flask berusia 4 hari (perkiraan mencapai
puncak fase ekponensial) kultur bisa dipakai sebagai inokulum bagi kultur berikutnya
dalam sebuah wadah yang lebih besar seperti carboys berukuran 12-30 L yang dilengkapi
dengan tutup beserta pipa glas/selang tahan panas untuk aerasi dan inokulasi (Lihat
Gambar 3). Aerasi diperlukan untuk mencegah pengendapan sel didasar wadah, menjaga
agar nutrient menjadi homogen, mendapatkan intensitas cahaya yang lebih besar dan
mendapatkan sejumlah karbondioksida untuk pertumbuhannya.
Untuk bisa melakukan isolasi dikenal ada 2 cara yaitu:
1) Cara yang pertama biasanya mempergunakan medium Gelosa Medium ini merupakan
campuran antara 9 gram agar dengan 1 liter air laut steril yang diperkaya dengan 1 ml
Larutan Stok dari Walne. Tabung reaksi diisi dengan campuran medium ini sebanyak
10 mL kemudian diautoklaf dan setelah selesai didinginkan dalam keadaan miring.
Tabung tadi kemudian diolesi dengan 1 tetes air laut alami yang diperkirakan
mengandung algae yang dikehendaki. Koloni algae biasanya akan berkembang setelah
15-20 hari. Setelah itu satu koloni dari alga yang dikehendaki kemudian diambil dari
tabung reaksi dan diinokulasikan ulang sebanyak mungkin untuk mendapatkan spesies
tunggal yang dikehendaki. Metode ini merupakan seleksi terhadap banyak spesies
algae yang tahan hidup pada media agar miring tapi mengurangi perkembangan
spesies yang lain yang kemungkinan potensial dipakai sebagai pakan dalam budidaya.
2) Cara yang kedua dikenal sebagai metode pengenceran. Sampel dari air laut alam
dengan campuran algae di dalamnya diencerkan untuk mendapatkan densitas atau
kepadatan 1 sel per mL. Tabung reaksi berisi air laut yang telah diperkaya dengan
medium Walne diinokulasi dengan 1 mL larutan yang sudah diencerkan tadi sehingga
tiap tabung reaksi punya kemungkinan yang sama untuk berisi 1 sel dari masing-
masing spesies alga yang ada dalam air laut murni. Bibit yang ada dibiarkan
berkembang 2-3 minggu yang selanjutnya dapat dilakukan identifikasi tentang
spesiesnya. Dengan mengulang-ulang proses pengenceran dari tabung reaksi yang
berumur 2 mingguan berisi spesies tertentu yang diinginkan kultur tunggal
(monoculture) algae akan diperoleh.
Kedua cara diatas butuh waktu pengerjaannya dan perlu dilakukan secara teratur
untuk mendapatkan stok baru dari tipe algae yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai
pakan dalam budidaya.
Untuk memperoleh produksi biomasa algae yang cukup pada kondisi yang
konsisten perlu dimengerti terlebih dahulu pola dinamika pertumbuhan monospesies
mikroalgae. Pertumbuhan kultur algae yang bebas bakteri (axenic ) dapat diekpresikan
kedalam terminologi pembelahan sel dan dinyatakan dalam doubling per hari (D) atau
pertumbuhan relatif (relative growth rate). Pertumbuhan ini bercirikan atas 5 fase
perkembangan yang berbeda menurut Fogg (1983) ; Fogg dan Thake (1987) sebagai
berikut :
Fase yang pertama (1) dikenal sebagai fase lag atau induksi. Ini adalah tingkat
dimana asam nukleitida dan protein dihimpun namun disini tidak terjadi pembelahan sel.
Fase ini juga merupakan waktu adaptasi kedalam lingkungan yang baru dimana terjadi
proses induksi enzim dan laju reproduksi seimbang dengan laju kematian (Hale and
Morgham, 1988). Fase ini ditandai dengan adanya beberapa faktor seperti :
Terhambatnya aktifitas metabolisme sel akibat faktor racun yang ada dalam
medium
Masuknya inokulum kedalam medium yang membawa substansi tertentu
dalam konsentrasi yang tinggi.
Fase yangkedua (2) atau fase eksponensial atau logaritmik ditandai dengan
pembelahan sel yang cepat dan konstant. Laju pertumbuhan eksponensial ini dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti konsentrasi nutrient dalam media, ukuran sel di lapisan
permukaan, intensitas cahaya dan suhu.
Fase yang ketiga (3) atau fase penurunan laju pertumbuhan relatif dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya :
Menipisnya kandungan nutrient tertentu dalam media
Laju supply O2 atau CO2
Perubahan pH
Pembatasan cahaya akibat penutupan (shading) (Hukum Beer)
Penghambatan pertumbuhan akibat produksi substansi beracun oleh algae
(autoinhibitation)
Fase yang keempat (4) dikenal sebagai fase stationer. Fase pertumbuhan ini
terjadi secara cepat karena terjadinya keseimbangan antara laju pertumbuhan dengan
faktor pembatas (limiting factor).
Fase yang terakhir (5) dikenal sebagai fase kematian . Fase ini terjadi akibat
semakin berkurangnya nutrient dalam media atau nutrientnya tidak cukup untuk
meneruskan pertumbuhan sehingga penumpukan sisa metabolit terjadi sampai tingkat
yang beracun
Kunci sukses produksi alga secara efisien terletak pada terjaganya semua kultur
pada fase pertumbuhan eksponensial. Ini bisa didapat dengan cara mentransfer algae dari
suatu volume tertentu (sebagai inokulum) ke dalam media yang diperkaya pada volume
yang lebih besar sebelum menginjak fase berikutnya. Kultur pada volume yang lebih besar
ini kemudian dirawat sampai tingkat kepadatan yang maximum untuk kemudian dipanen
untuk dipakai sebagai pakan larvae yang sedang dipelihara atau dikultur.
(5)
(2)
(1)
waktu inkubasi
dx=dt (1)
dimana dx/dt menunjukkan laju pertumbuhan populasi yang sesungguhnya (actual growth
rate), dan merupakan laju pertumbuhan khusus (specific growth rate) yang mempunyai
ukuran per satuan waktu atau pertumbuhan per unit waktu. Persamaan 1 diatas bisa
diintegralkan pada saat x=x0 ,pada t=0 menjadi:
x = x0.et (2)
Pertumbuhan akan sesuai dengan persamaan ini selama fase eksponensial atau fase logaritmik.
Persamaan (2) selanjutnya bisa di-log natural-kan sbb:
x
ln = t (3)
xo
ln 2= t2 (4)
ln 2 0,693
dan t2 = = (5)
dimana t2 adalah waktu yang diperlukan algae untuk membelah menjadi 2 biomassa (doubling
time). Persamaan (5) merupakan hubungan specific growth rate dengan doubling time.
Persamaan (1) sampai (5) merupakan prediksi terhadap pertumbuhan mikroalgae dalam suatu
sistem sederhana dimana faktor-faktor yang mempengaruhi adalah tetap, namun tidak dapat
digunakan untuk memprediksi penyimpangan yang terjadi dari fase eksponensial ketika kultur
memasuki fase stasioner (dimana fase ini merupakan salah satu bagian siklus pertumbuhan
mikroalgae dengan sistem batch atau system tertutup (Vonshak, 1986)
a. Cahaya
Energi matahari merupakan sumber radiasi yang tersedia untuk berlangsungnya
proses fotosintesa (photosynthetically available radiation-PAR). Ini terletak pada
kisaran spektrum 380-780 nm (visible light) suatu porsi spektrum elektromagnetik
sehingga membentuk sebuah energi radiant. Cahaya juga dikenal sebagai kekuatan
pengendali (driving force) dalam proses fotosintesa. Di habitat perairan ada 4 aspek
yang patut dipertimbangkan :
1. Tingkat sel plankton menggunakan energi radiant ini
2. Intensitas cahaya
3. Keadaan cahaya ketika melewati permukaan air (incident light)
4. Tingkat dimana semakin dalam perairan cahaya yang berpenetrasi mengalami
perubahan atau penyimpangan
1. Kloroplas
2. Beberapa pigmen yang terdapat pada membran bagian dalam pada kloroplas yang
bertanggungjawab dalam menangkap atau menjebak energi cahaya. Klorofil-a dan
satu atau lebih tipe pigmen assesori seperti klorofil-b dan beberapa kareotenoid
diantara molekul tunggal terutama klorofil-a (P660 dan P700) membentuk sebuah
sistem cahaya atau fotosistem I (PSI) yang mengandung P700 dan fotosistem II
mengandung P660.
3. Dua sistem transport elektron (Lihat Gambar 3). Ini adalah serangkaian langkah-
langkah biokimis dimana energi ditransfer bertahap dari tingkat energi tinggi ke
tingkat yang lebih rendah. Tiap langkah melibatkan sebuah pembawa (carrier)
elektron khusus yang mempunyai tingkat energi tertentu (atau potensial REDOX),
dengan pembawa elektron yang mengorganisir secara urut menurunnya energi.
4. Air.
Pada reaksi cahaya ini terjadi 2 proses fotofosfirilasi yang terpisah yaitu :
tinggi
penerima
elektron
penerima ferredoksin
elektron
ETS
TINGKAT plastoquinon Quantum
ENERGI Quantum 2 NADP
1 NADPH
dipantai disebabkan oleh penyebaran cahaya pada panjang gelombang yang lebih
panjang oleh material tersuspensi.
Dalam praktik budidaya plankton indoor (di dalam ruangan/laboratorium)
sumber energi cahaya matahari ini digantikan oleh iluminasi cahaya lampu. Ada
beberapa macam lampu yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber penyinaran algae yang
mampu menghasilkan campuran panjang gelombang cahaya. Banyak diantaranya
memang diproduksi khusus untuk merangsang pertumbuhan tanaman/mikroalgae.
Namun neon (lampu tabung-TL) yang dijual dipasaran sudah bisa dipakai untuk kultur.
Untuk merawat kultur stok alga dengan baik biasanya dianjurkan untuk menggunakan
siklus pencahayaan antara terang:gelap (atau malam:siang;) = 12 jam gelap:12 jam
terang) bukan dengan pencahayaan yang terus menerus (continuous light). Periode
pencahayaan lain yang dianjurkan adalah 14 jam terang:10 jam gelap atau 16 jam
terang:8 jam gelap. Pencahayaan yang terus menerus walau bisa menaikkan biomasa sel
algae namun dipandang kurang alamiah karena tidak pernah terjadi di alam kecuali saat
musim panas di daerah Kutub Utara atau Selatan. Banyak spesies yang membelah pada
keadaan gelap cahaya, dan pencahayaan yang terus menerus dapat mempengaruhi ritme
biologis suatu spesies alga. Lebih penting lagi, kualitas nutrisi yang terkandung pada
alga dapat berubah dibawah pencahayaan yang terus menerus misalnya turunnya secara
dratis rasio kandungan protein: karbohidrat. Juga asam lemak esensial (PUFAs) dapat
turun sampai tingkat yang rendah dengan hanya asam lemak jenuh yang disintesa.
Apalagi konsentrasi yang tinggi daripada PUFAs ditemukan pada saat periode gelap.
Intensitas cahaya yang paling baik untuk pertumbuhan alga adalah 100-200
mikroEinsteins per meter persegi per detik (Em-2.dtk-1).
Berikut ini penerapan pengunaan lampu yang digunakan untuk kultur alga sesuai
intensitas cahaya menurut sumber lampu, jarak sumber cahaya terhadap kultur:
c. Suhu
Suhu lingkungan kultur biasanya disesuaikan dengan asal stok dan kondisi aklim saat
itu. Stok kultur biasanya disimpan pada suhu yang tetap misalnya 20 oC atau 25 oC
variasi 5oC dapat menyebabkan pertumbuhan algae. Untuk spesies tropis biasanya
tumbuh baik pada suhu 30 oC Samasekali untuk tidak menyimpan stok kultur di
refrigator (kecuali spesies Kutub!).
d. pH
Konsep pH berdasarkan pada proses ionisasi air. Sejumlah molekul air melepaskan ion
hidrogen (H+) dan ion hidroksil (OH-). Produk dari konsentrasi molar dari H+ dan OH-
akan selalu 10-14 . Reaksi ni bisa ditulis sbb:
H2O = H+ + OH-
(H+) (OH-) = 10-14
Karena konsentrasi H+ dan OH- selalu sama dalam air murni sehingga kita bisa
mengganti H+ untuk OH- sbb:
(H+) (H+) = 10-14
(H+) = 10-7
Pada daerah payau pH air berkisar antara 7 dan 9. Blooming fitoplankton sering terjadi
di tambak. Phytoplanlton mengambil CO2 (karbondiaoksida) untuk digunakan dalam
proses fotosintesa dari sistem keseimbangan HCO3- (bikarbonat) -CO2 sbb:
-
CO3= + H+ = HCO3
Perhatikan bahwa 2 (dua) ion HCO3- memberi 1 (satu) molekul CO2 dan 1 (satu) ion
CO3=, tetapi hidrolisis 1 (satu) ion CO3= hanya menggantikan 1 (satu) ion HCO3=. Dan
lagi hanya satu porsi ion CO3= terhidrolisa. Ion hidrogen didapatkan dari pemecahan
air :
H2O = H+ + OH-
Sehingga, ketika H+ digunakan dalam proses hidrolisa CO3= harus ada tambahan air
yang dipecahkan untuk menjaga konstanta kesetimbangan air tersebut. Akibatnya,
terjadi banyak ion OH- tapi kurang ion H+ daripada ketika proses fotosintesa mulai.
Sehingga, pH naik ketika fitoplankton mengambil CO2 dari air.
Sebab fitoplankton menggunakan CO2 pada siang hari menyebabkan pH air naik
(semakin basa). Sebaliknya pada malam hari tidak ada CO2 diambil oleh fitoplankton,
tapi semua organisme dalam perairan (misal tambak) mengeluarkan CO2 dari proses
pernafasan (respirasi). CO2 ini bereaksi dengan CO3= dan H2O untuk membentuk
HCO3-; HCO3- terpecah dan melepaskan H+ sehingga menyebabkan pH turun (semakin
asam). Siklus harian pH ini digambarkan dalam grafik Lampiran 3:
kapas atau terylene wool dan dijaga dengan penutup aluminium foil. Hal ini
dimaksudkan agar masih ada pertukaran gas tetapi secara mekanis menolak atau
membuang keluar spora yang ada di udara dan kontaminan yang lain. Media yang akan
dipakai harus dipersiapkan dan disterilkan dengan mengautoklaf dan ditunggu sampai
dingin selama 24 jam atau disimpan dalam almari pendingin untuk bisa dipakai sewaktu-
waktu.
Fitoplankton memerlukan CO2 untuk berfotosintesa. Sterilisasi menggunakan
autoklaf akan menyebabkan hilangnya CO2 dari media dan menyebabkan perubahan
sistem buffer karbonat dan menaikkan pH (dari sekitar 8 menjadi 10). Untuk itu proses
inokulasi jangan dilakukan langsung setelah proses autoklafing, tetapi biarkan dahulu
beberapa hari untuk mendapatkan difusi kembali CO2 dari udara ke dalam media dan
kembalinya sistem buffer karbonat dan stabilnya pH (sekitar 7.8-8.2).
Autoklafing media menyebabkan juga perubahan alkalinitas sehingga terjadi
pengendapan ferric fosfat dan ferric hidroxida. Untuk mencegah terjadinya hal ini maka
sebelum media diautoklaf pisahkan dahulu bahan fosfatnya dari media. Baru setelah
bahan media diautoklaf fosfat dimasukkan secara aseptik. Simpan media yang telah
diautoklaf didalam tempat yang gelap (sebaiknya pada suhu rendah sekitar 5 oC) untuk
mencegah dekomposisi vitamin. Sebelum media biarkan media pada suhu sesuai
lingkungan dimana media akan dikultur/inokulasi (ambient temperature) sehingga media
tidak mengalami keterkejutan suhu setelah inokulasi.
Sebelum tranfer dilakukan maka bangku atau laminar flow cabinet harus
dibersihkan/disemprot dengan alkohol. Diamkan selama 30 detik untuk menguap
sebelum api (Bunsen burner) dinyalakan. Proses tranfer harus dilakukan dengan
memanasi leher flask inoculum setelah tutup kapas dibuka pelan-pelan. Sementara itu
recipient flask dipegang tangan kanan dan proses transfer inokulum berlangsung dengan
cara menuangkan isi donor flask ke recipient flask. Setelah tertuang leher recipient flask
kemudian dipanasi dengan api dan kemudian ditutup dengan rapat. Leher flask donor
dipanasi juga sebelum ditutup dengan kapas dan aluminium foilnya. Cara ini berlaku
untuk tujuan produksi biasa atau perawatan kultur. Untuk tujuan penelitian tentu saja
jumlah sel dalam suspensi inokulum harus dihitung secara tepat. Setelah semua selesai
flask harus diberi label berisi informasi spesies (nomor strain), waktu(jam/hari) dan
perlakuan yang diterapkan.
Walaupun merupakan hal mudah, bila dengan teknik yang benar dan latihan,
mengisolasi fitoplankton dari air laut sangat membutuhkan keahlian dan waktu tersendiri.
Untungnya, sekarang ini banyak bermunculan kolektor kultur mikroalgae dan protozoa
yang dioperasikan secara komersial yang mensuplai biasanya dalam bentuk kultur
inoculum (starter culture) terdiri dari beberapa mililiter yang sangat padat populasinya
dalam suatu tabung reaksi yang kecil. Ini bisa kita dapatkan dari mana saja dan akan
dikirim melalui pos tanpa banyak kesulitan menyangkut kondisi gelap dan perbedaan
temperatur selama proses pengiriman. Kultur mereka biasanya uni-algae, berisi hanya 1
(satu) spesies algae tanpa tercampur spesies lain dan bebas dari bakteri (axenic).
Keuntungan lain dengan membeli spesies dari organisasi pensuplai ini adalah garansi
akan benarnya nama genus dan spesies dari kultur algae tersebut. Ini berarti pula bahwa
orang yang mempergunakan spesies tersebut akan dengan mudah menjadikan referensi
bahwa nomor strain algae yang dipakai adalah didapat dari tempat tertentu. Dan ini tentu
sudah diteliti oleh taxonomist algae.
Metoda:(Lihat Gambar 7)
Haemocytometer adalah sebuah kaca berbentuk persegi panjang punya lekukan
bergaris huruf H yang membelah 2 wadah penghitungan. Tiap wadah ini dibagi menjadi 9
blok dengan luas 1.0 mm2 per blok sehingga jumlah keseluruhan menjadi 9 mm2.
Pada Blok Sudut (Blok A, C, G dan I) masing-masing dibagi menjadi 16 kotak
dengan luas per kotak = = 0.0625 mm2 (luas blok, 1 mm2 dibagi 16 kotak). Sedangkan
Blok Pinggir (Blok B, D, F dan H) masing-masing dibagi menjadi 20 kotak dengan luas
masing-masing menjadi 0,05 mm2 (1 mm2 dibagi 20 kotak). Sedangkan di Blok Tengah
(Blok E) dengan luas 1 mm2 dibagi atas 25 kotak kecil dengan masing-masing kotak
luasnya 0.04 mm2.
Sehingga:
1. Volume per kotak pada kotak 25 di Blok Tengah (Blok E) dalam mL-nya
adalah:
(volume per kotak di kotak 25 dibagi volume Blok E= 0,004 mm3/1000 mm3)=
0,000004 mL atau sebanyak 4,0 x 10-6 mL
2. Volume per kotak pada kotak 20 di tiap Blok Sudut (Blok A, C, G, dan I)
dalam mL-nya adalah:
(volume per kotak dalam Blok Sudut dibagi volume Blok Sudut (Blok A atau
C, atau atau G, dan atau I=0,05 mm3/1000 mm3)= 0,00005 mL atau sebanyak
5,0 x 10 -5 mL.
1. Persiapan sampel
1. Berilah label pada tabung reaksi pada algae yang akan dihitung
2. Masukkan 5 mL kultur algae pada tabung reaksi yang telah terlabeli
3. Masukkan 1 tetes Lugol jodium kedalamnya
4. Campur dengan baik dan letakkan tabung dalam raknya.
3. Cara Penghitungan
a) Untuk jumlah sel lebih besar dari 6 m dan kulturnya tidak terlalu padat,
maka jumlahkan semua sel yang ada pada kotak 16 pada Blok A-C-G-I.
mulailah dari sebelah ujung kiri kotak dan hitung hanya sel-sel algae
yang berada di dalam atau menyentuh garis batas
Buat ulangan perhitungan pada wadah penghitungan yang kedua
N
D=
V
dimana:
D= densitas (sel/mL)
N= Jumlah keseluruhan sel terhitung dibagi oleh jumlah blok
terhitung atau jumlah kotak terhitung
V= volume per Blok =1,0 x 10-4 mL (Blok A-B, C, D, E, F, G, H, dan I) atau,
volume per kotak di kotak 16 = 6,25 x 10-5 mL (Blok A, C, G, dan I), atau
volume per kotak di kotak 20 = 5 x 10-5 mL (di Blok B, D, F, dan H), atau
volume per kotak 25 = 4 x 10-6 mL (di Blok E)
Sehingga:
N
D=
1.0 x10 4
= N x (1 x 104) sel/mL per Blok A, B, C, D, E, F, G, H, atu I) atau,
= N x (4 x106) sel/mL per kotak 25 dalam Blok E), atau
= N x (5 x105)sel/mL per kotak 20 kotak dalam Blok B, D, F, atau H), atau
= N x (6,25 x 105) mL per kotak 16 dalam Blok Sudut (Blok A, C, G, atau I)
Bright-Line
DEPTH 0.1 MM
HEMACYTOMETER
1 mm 1 mm 1 mm
Bab 3.
Aplikasi Mikroalgae Sebagai Pakan.
protein dibawah rata-rata, sementara itu Dunaliella tertiolecta (nilai proteinnya tinggi)
digunakan secara single (tanpa algae lain) merupakan pakan yang buruk untuk sejumlah
moluska. Nutrient yang lain adalah sangat penting, pakan campuran alga dipandang lebih
baik sebagai pensuplai semua nutrien yang dibutuhkan oleh hewan yang dikultur.
Tabel 2. Konsentrasi protein (dinyatakan sebagai masa per volume sel) pada berbagai
spesies algae.(Brown et al., 1989)
Catatan:
* 1m3=10-15 liter
# 1fg=10-15g;sehingga rasio fg/m3 sebanding dengan g/liter atau mg/ml.
Untuk krustase, alga dengan protein pada kadar 30-60% (berat kering) telah
digunakan dengan sukses sebagai pakan untuk larva udang usia awal [116, 134].
Kebutuhan protein dari beberapa spesies udang dalam berbagai tingkatan dalam siklus
hidupnya telah diteliti dengan baik menggunakan pakan buatan [21, 110, 196] sebagai
30-50% (berat kering).
Ikan membutuhkan 40-60% protein dalam dietnya [24, 38, 41, 155, 175]. Kebutuhan
khusus terhadap protein tergantung dari habitat (air tawar, payau, laut) dan apakah hewan
itu omnivora, herbivora atau carnivora [5, 77, 162].
e. Komponen-komponen penting.
Selain kebutuhan akan protein, karbohidrat dan lemak, hewan juga mempunyai
kebutuhan khusus untuk nutrien di dalam fraksi-fraksi ini. Kebutuhan-kebutuhan ini
(ditambah dengan kebutuhan akan mineral) akan disinggung pada bab-bab berikutnya.
f. Asam-asam Amino.
Sejumlah asam amino adalah sangat penting bagi spesies yang dimarikultur
(Tabel 3, lihat juga [39, 85, 112]). Dalam tinjauan pustaka ini nutrient dikatakan essensial
bilamana tubuh tidak bisa mensintesa secara cukup untuk memenuhi kebutuhan, tapi
harus dilengkapi melalui makanan. Beberapa asam amino, walau tidak essensial sekali
namun mungkin penting bila bersama asam amino esensial yang lain. Sebagai contoh,
cystein dapat dibuat dari methionin (sebuah asam amino esensial), tetapi adanya sejumlah
cystein dalam diet akan menurunkan kebutuhan methionin itu sendiri. Demikian juga
dengan tyrosin dalam diet akan menurunkan kebutuhan akan phenylalanin.
Tabel 3. Asam amino esensial untuk spesies marikultur dan komposisi asam amino (g/100 g
dari total asam amino dalam hidrolisa) dari berbagai hewan dibandingkan
dengan kisaran yang ada di algae. Karena prolin bukan merupakan asam
amino esensial bagi krustasea dan ikan, nilai prolin untuk hewan-hewan ini
diberikan dalam parenthesis. Tyrosin dan cystein walau bukan asam amino
esensial, mungkin penting secara nutrisi secara bersama dengan phenylalanin
dan methionin. (T.d.=tidak dihitung. *=Juvenil Mussel [85], =(misal larvae
udang [197], # (misal hanya kuning telur [45]) .(Brown et al., 1989)
Umumnya, telah ditemukan bahwa kebutuhan protein dengan pola asam amino
mirip dengan keseluruhan tubuh hewan ybs atau protein telur (Lihat Lampiran 3)
mempunyai kandungan nutrisi yang tiunggi bagi hewan ybs (7, 47). Sehingga kebutuhan
protein bisa diurutkan sesuai dengan indek kecukupannya. Untuk alga, ini didefinisikan
sebagai komposisi prosentase asam amino esensial pada sebuah algae dibagi dengan
komposisi asam amino yang sama dalam jaringan tubuh hewan yang memakan dikalikan
dengan seratus. Indeks ini telah dihitung untuk sejumlah algae yang mempunyai nilai
nutrisi untuk mussel Mytilis californianus, dan algae diurutkan terbalik terhadap kualitas
protein yang diprediksi [219]. Beberapa hubungan (korelasi) telah ditemukan antara
indices asam amino pembatas dan nilai makanan yang dilaporkan (misal [213] Tetraselmis
suecica, Pavlova lutheri dan Isochrysis galbana yang diurutkan tinggi di dalam indeks
(dan juga memacu pertumbuhan dengan baik) sementara Chlorella sp dan Phaeodactylum
tricornatum diurutkan rendah (dan memacu sedikit atau tidak terhadap pertumbuhan).
Dalam hal lain tingkat-tingkat asam amino esensial merupakan faktor utama di
dalam menghitung nilai nutrisi secara keseluruhan sebuah algae masih diperdebatkan.
Variasi kecil terlihat pada komposisi asam amino algae tidak berhubungan dengan
perbedaan-perbedaan besar yang sering dalam kemampuannya mendukung pertumbuhan
suatu hewan. Tidak ada bukti kuat yang nampak bahwa kekurangan asam amino tertentu
pada suatu alga menghasilkan ketidakpuasan makanan bagi seekor hewan. Phaeodactylum
tricornatum yang dilaporkan tidak punya tryptophan [61], tidak mendukung pertumbuhan
Ostrea edulis [56] atau juvenil Crassostrea virginica [61]. Namun demikian, algae lain
dilaporkan rendah kandungan tryptophannya mempunyai kandungan nilai makanan yang
tinggi dan juga rendah [32,35,56,61].
Algae yang berbeda mungkin akan memperlihatkan perbedaan kecil akan komposisi asam
amino pada zooplankton yang memakannya. Misal Artemia salina makan baik Spirulina
sp maupun Scenedesmus sp mempunyai kandungan yang hampir identik akan komposisi
asam amino, walau rendahnya kandungan methioneine pada Scenedesmus sp menyebabkan
defisiensi asam amino pada Artemia yang makan algae ini [33]. Peneliti pada studi ini
mengakui bahwa hasilnya mungkin tidak valid karena beberapa methionine mungkin telah
rusak selama proses hydrolisa.
Analisa asam amino pada alga membutuhkan teknik yang sangat hati-hati. Ketika
sampel kasar suatu sel algae harus melalui proses hidrolisa asam, material seperti lipid,
karbohidrat dan mineral dapat mengganggu yang menyebabkan jeleknya hasil recovery dan
salah pendugaan akan beberapa asam amino seperti cystein, methionine dan tryptophan.
Para analis biasanya menyiapkan hidrolisa dengan 6M HCl, sebuah reagen yang bisa
menyebabkan kerusakan total atau sebagian pada tryptophan [90]. Namun demikian,
alternatif reagen yang bisa memberi recovey lebih besar akan asam amino [185] telah
direkomendasikan.
Singkatnya, pentingnya komposisi asam amino pada algae yang digunakan sebagai pakan
pada marikultur masih kurang jelas, dan banyak kajian yang harus dilakukan
Tabel 4. Komposisi kotor bahan kimia (% berat kering) mikroalgae yang umum dipakai di
marikultur. Semua nilai adalah dari algae yang dipanen selama fase
ekponensial. .(Brown et al., 1989)
Chlorophyceae
Dunaliella salina flagelata hijau 57 32 9 8 106
Prasinophyceae
Tetraselmis suecica flagelata hijau 39 8 7 23 77
Referensi
Brown, M.R., Jeffrey, S.W., and Garland, C.D. 1989. Nutritional Aspects of Micro-
algae used in mariculture; a Literature Review. C.S.I.R.O Marine Laboratories
Report 205.44pp. Division of Fisheries Marine Laboratories,GPO Box 1538 Hobart,
Tasmania 7001 and Department of Agricultural Science, University of Tasmania ,GPO
Box 252C, Hobart, Tasmania, 7001, Australia
Sorokin, C and Krauss, R.W. 1958. The Effect if Light Intensity on the Growth Rate of Green
Algae. Plant Physiology, 33. 109p.
Lampiran 1.
A. Jenis-jenis Media Pupuk yang sering dipakai dalam kultur mikroalgae:
1. Medium fE/2:
Larutan Stok:
0.196 g CuSO4.5H2O
0.440 g ZnSO4.7H2O
0.200 g CoCl2.6H2O
0.360 g MnCl2.4H2O
0.126 g NaMoO4.2H2O
D). 3.6 g Fe citrate and 3.6 Citric acid dalam 400 mL aquadest (1mL/L airt laut filter).
E). 12.0 g Na2 ethylenediaminetetraacetic acid in 400 mL of aquadest (1 mL/L of air laut
filter).
F). Vitamins
Campuran A-E disimpan pada 5oC , Campuran F disimpan beku pada refrigerator.
2. Medium Conwy:
Nutrient
EDTA Disodium salt 80,0 g
H3BO3 crystals 67,2 g
NaNO3 200 g
NaH2PO4.2H2O 40,0 g
MnCl2.4H2O 0,72 g
FeCl3 (anhydrous) 2,60 g
Aquadest 2,00 L
Larutan Trace Metal (Lihat bawah) 2,00 mL
3. Medium Walne
Modul_01. Mikroalgae Sebagai Pakan Alami 45
MK. BUDIDAYA LAUT/Gunawan Widi Santosa, Ir., MSc, 2007
Stok A:
FeCl3.6H2O 1.30 g
MnCl2.4H2O 0.36 g
H3BO3 33.60 g
EDTA (Garam Na) 45.00 g
NaH3PO4.2H2O 20.00 g
Larutan Trace Matal (lihat Bawah) 1.0 mL
Aquadest 1000 mL
Tambahkan 2 mL Stok A per liter air laut untuk kultur Chaetoceros calcitrans, atau 1 mL
Stok A per liter air laut untuk Tetraselmis suecica
Stok B
Vitamin B12 (cyanocobalamin 10 mg
Vitamin B4 (thiamin) 200 mg
Akuadest sampai volume 100 mL
Larutan harus diasamkan sampai pH mencapai 4,5 sebelum diautoklaf. Dosis Stok B ini adalah
1 mL per liter air laut
Stok C
Na2SiO4.5H2O 4,0 g
Akuadest sampai volume 100 mL
Tambahkan 2 mL Stok C per Liter air laut untuk kultur diatom saja
4. Larutan SEAFDEC
Nutrient Konsentrasi (mg/L)
Urea* 100
K2HPO4 atau N:P (16:20)* 10 atau 20
FeCl3 2
NaSiO3 2
Vitamin B4 0,01
Vitamin B12 0,01
Agrimin 1
* Dua garam ini hanya digunakan untuk kultur skala besar di bak pada kultur
Chaetoceros
g/L
EDTA Disodium salt 0.500
H3BO3 crystals 0.114
MgSO4.7H2O 1.000
CuSO4.5H2O 0.016
ZnSO4.7H2O 0.088
FeSO4.7H2O 0.050
MnCl2.4H2O 0.014
Co(NO3)2.6H2.O 0.005
MoO3 0.007
KNO3 1.250
KH2PO4 1.250
CaCl2 0.084
Aquadest 1L
pHmedia di-set 6.8
g/L
EDTA Disodium salt 0.080
MgSO4.7H2O 0.200
FeSO4.7H2O 0.010
NaNO3 2.500
KH2PO4 1.250
NaCl 1.000
CaCl2 0.040
K2SO4 1.000
NaHCO3 16.800
B6 g/L
NH4NO3 229.6 x 10-4
NiSO4.7H2O 478.5 x 10-4
Ti(SO4)3 400 x 10-4
Na2SO4.2H2O 179.4 x 10-4
Co(NO3)2.6H2.O 439.8 x 10-4
NH4NO3 229.6 x 10-4
Kr2Cr2 (SO4)424H2.O 960 x 10-4
Ca(NO3)2.4H2.O 20.00
Nutrient mg/L
NPK (17:17:17) atau (15:15:15) 1000
TSP 100
MgSO4 50
NaHCO3 4000
Akuades 1000 mL
Nutrient g/L
KNO3 0.4
NaHPO412H2O 40
K2SiO3 20
Fe SO47H2O 14
Ekstrak tanah 15 mL
Air laut 1000 mL
1. Dr. S.W Jeffrey , CSIRO Marine Laboratories, GPO Box 1538, Hobart TAS
7001, Australia Telp. (002) 206 316, Facs (002) 240 530
2. Natural Environment Research Council (N.E.R.C), Culture Collection of
Algae and Protozoa (C.C.A.P), Scottish Marine Biological Association,
Dunstaffnage Marine Research Laboratory P.O. Box 3, Oban, Argyll P.A 34
A.D Scotland, UK.
Lampiran 3. Klas utama dan genera mikrolagae yang dikultur sebagai pakan dalam aquakultur
(Borowitzka and Borowitzka, 1988)