Anda di halaman 1dari 6

ANDRI YULIYANTO

B200140221
Green Accounting

A. Pengertian Green Accounting


Green accounting adalah jenis akuntansi yang mencoba untuk menghubungkan faktor biaya
lingkungan ke dalam hasil kegiatan usaha perusahaan. Seperti diketahui bahwa produk domestik
bruto mengabaikan lingkungan dalam pembuatan keputusan.
Menurut EPA, hijau atau lingkungan akuntansi manajemen adalah identifikasi, prioritas,
kuantifikasi atau kualifikasi, dan penggabungan biaya lingkungan ke dalam keputusan bisnis.
Akuntansi manajemen lingkungan merupakan pendekatan gabungan yang menyediakan untuk
transisi data dari akuntansi keuangan dan akuntansi biaya untuk meningkatkan efisiensi bahan,
mengurangi dampak dan risiko lingkungan dan mengurangi biaya perlindungan lingkungan.
Dalam Environmental Accounting Guidelines yang dikeluarkan oleh menteri lingkungan
Jepang (2005:3) dinyatakan bahwa akuntansi lingkungan mencakup tentang pengidentifikasian
biaya dan manfaat dari aktivitas konservasi lingkungan, penyediaan sarana atau cara terbaik
melalui pengukuran kuantitatif, serta untuk mendukung proses komunikasi yang bertujuan untuk
mencapai pembangunan yang berkelanjutan, memelihara hubungan yang menguntungkan dengan
komunitas dan meraih efektivitas dan efisiensi dari aktivitas konservasi lingkungan.
Ditambahkan pengertian dari US EPA (1995) akuntansi lingkungan sebagai aspek dari sisi
akuntansi manajemen, mendukung keputusan manajer bisnis dengan mencakup penentuan biaya,
keputusan desain produk atau proses, evaluasi kinerja serta keputusan bisnis lainnya.

B. Perkembangan Green Accounting di Indonesia


Pada tahun 1992, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan Konferensi Lingkungan
dan Pembangunan atau Earth Summit di Rio de Janeiro untuk membahas pembangunan yang
berkelanjutan. Seperti yang tercantum dalam preamble of agenda-21, sebuah rencana telah
disepakati oleh lebih dari 178 pemerintah yang hadir. Dalam konferensi tersebut membahas
tentang semakin besar kesadaran akan masalah lingkungan akan meningkatkan kesejahteraan di
masa mendatang. Agenda 21 merekomendasikan agar negara-negara menerapkan akuntansi
lingkungan (INTOSAI Working Group on Environmental Auditing, 2010).
Berdasarkan artikel yang dimuat dalam majalah Akuntan Indonesia Edisi No.3 bulan
November tahun 2007, menyinggung tentang bagaimana peran akuntan terhadap lingkungan
yang makin memprihatinkan. Ketua Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan
Manajemen (IAI-KAM) yang juga merupakan Direktur Eksekutif National Center for
Sustainability Reporting (NCSR) Ali Darwin, Ak, MSc melihat ada empat hal mengapa
penekanan terhadap isu lingkungan semakin signifikan akhir-akhir ini.
Pertama, Ukuran perusahaan yang ukuran perusahaan yang semakin besar. Menurut Ali,
semakin besar perusahaan, diperlukan akuntabilitas yang lebih tinggi pula dalam pembuatan
keputusan berkaitan dengan operasi, produk dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan.
Kedua, Aktivis dan LSM semakin tumbuh. LSM bidang lingkungan hidup telah tumbuh dengan
pesat di seluruh dunia termasuk Indonesia. Kegiatan yang dilakukan oleh aktivis lingkungan
hidup semakin kompleks dan berkualitas. Mereka akan mengungkapkan sisi negatif perusahaan
yang berkaitan dengan isu lingkungan hidup dan akan berjuang menuntut tanggungjawab atas
kerusakan lingkungan atau dampak sosial yang ditimbulkan oleh operasi perusahaan.
Ketiga, Reputasi dan citra perusahan. Perusahaan-perusahaan dewasa ini menyadari bahwa
reputasi, merk, dan citra perusahaan merupakan isu strategis yang bernilai tinggi dan harus
dilindungi. Keempat, Kemajuan teknologi komunikasi yang berkembang sangat cepat. Isu
lingkungan dan sosial yang berdampak negatif akan menyebar dan dapat diakes dengan
mudahnya melalui teknologi. Ali mengungkapkan pentingnya dilakukan pembangunan
berkelanjutan oleh setiap perusahaan karena perusahaan harus mempunyai komitmen yang tinggi
untuk menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungannya.
ANDRI YULIYANTO
B200140221

C. Fungsi Green Accounting


Fungsi green accounting dibagi menjadi 2, yaitu fungsi internal dan fungsi eksternal.
1. Fungsi internal
Sebagai salah satu tahap dalam sistem informasi lingkungan perusahaan, fungsi
internal memungkinkan untuk mengatur biaya konservasi lingkungan dan menganalisa
biaya lingkungan dengan manfaatnya, dan meningkatkan efektivitas dan efisiensi aktivitas
konservasi lingkungan terkait dengan keputusan yang dibuat. Akuntansi lingkungan
dapat berfungsi sebagai alat manajemen yang digunakan manajer dan unit bisnis terkait.

2. Fungsi Eksternal
Dengan mengungkapkan hasil pengukuran kuantitatif dari kegiatan konservasi
lingkungan, fungsi eksternal memungkinkan sebuah perusahaan untuk mempengaruhi
keputusan stakeholder, seperti konsumer, mitra bisnis, investor, dan masyarakat lokal.
Diharapkan bahwa publikasi dari akuntansi lingkungan dapat memenuhi tanggung jawab
perusahaan dalam akuntabilitas stakeholder dan digunakan untuk evaluasi dari konservasi
lingkungan.
Intinya adalah bahwa akuntansi lingkungan bertujuan untuk meningkatkan jumlah informasi yang
relevan yang dibuat untuk pihak yang memerlukan dan dapat digunakan. Kesuksesan dari
akuntansi lingkungan tidak tergantung dari bagaimana perusahaan mengklasifikasikan biaya yang
terjadi di perusahaan.

D. Ruang Lingkup Green Accounting


Akuntansi lingkungan bertujuan mengukur biaya dan manfaat sosial sebagai akibat dari
aktivitas perusahaan dan pelaporan prestasi perusahaan Akuntansi lingkungan adalah sebuah alat
fleksibel yang dapat diterapkan dalam skala penggunaan dan cakupan ruang lingkup yang
berbeda. Skala yang digunakan tergantung dari kebutuhan, kepentingan, tujuan, dan sumber daya
perusahaan. Permasalahan dalam menentukan ruang lingkup akuntansi lingkungan adalah
bagaimana perusahaan dapat menentukan biaya lingkungan yang muncul akibat aktivitas
bisnisnya yang mana biaya tersebut terkadang tidak dapat diukur secara akuntansi. Semakin luas
cakupannya perusahaan mungkin akan mengalami kesulitan dalam mengukurnya.

E. Konsep Green Accounting


Konsep sistem akuntansi lingkungan dapat diterapkan oleh perusahaan dalam skala yang
besar maupun skala kecil dalam setiap industri dalam sektor manufaktur dan jasa. Penerapan
akuntansi lingkungan harus dilakukan dengan sistematis atau didasarkan pada kebutuhan
perusahaan. Keberhasilan dalam penerapan akuntansi lingkungan terletak pada komitmen
manajemen dan keterlibatan fungsional. Sebuah perusahaan tidaklah terlepas dari tanggung
jawab lingkungan, karena itu diperlukan suatu cara untuk mengintegralkan biaya lingkungan
misalnya konsep eksternalitas dimana konsep ini melihat dampak langsung aktivitas suatu entitas
terhadap lingkungan sosial, non-sosial dan ekologis. Langkah awal yang dapat dilakukan terkait
biaya lingkungan adalah dengan mengategorikan jenis biaya terkait dengan memerhatikan
beberapa aspek seperti lokasi situs limbah, jenis limbah berbahaya, metode pembuangan, dan
lainnya. Biaya lingkungan mengandung biaya yang eksplisit dan implisit. Biaya implisit seperti
biaya yang timbul akibat potensi kewajiban yang muncul.
Sistem penilaian biaya lingkungan dapat membantu memperbaiki keputusan-keputusan yang
terkait dengan keputusan bauran produk, pemilihan input produksi, penilaian pencegahan
pencemaran, evaluasi pengelolaan limbah serta penentuan harga produk. Terdapat beberapa cara
untuk mengetahui biaya-biaya lingkungan perusahaan yaitu dengan mengadopsi sistem akuntansi
konvensional, activity based costing, full cost accounting dan total cost assessment
ANDRI YULIYANTO
B200140221

F. Biaya-biaya dalam Green accounting


1. Conventional Costs
Biaya menggunakan bahan baku, utilitas, barang modal, dan pasokan biasanya
dibahas dalam akuntansi biaya dan penganggaran modal, tetapi tidak dipertimbangkan
sebagai biaya lingkungan. Penurunan penggunaan dan sedikitnya limbah yang dihasilkan dari
bahan baku, utilitas, barang modal, serta pasokan yang ramah lingkungan dapat mengurangi
degradasi lingkungan dan penggunaan dari sumber daya yang tidak dapat diperbarui. Penting
untuk memperhitungkan biaya tersebut sebagai keputusan bisnis, dengan melihat apakah
biaya tersebut dikatakan sebagai biaya lingkungan atau tidak.

2. Potentially Hidden Costs


Potentially hidden costs adalah biaya-biaya yang mungkin berpotensi tersembunyi
dari manajer. Diantaranya adalah upfront environmental costs yang terjadi sebelum proses
operasi. Biaya ini dapat mencakup biaya untuk rancangan produk ramah lingkungan,
kualifikasi pemasok, evaluasi peralatan pengendalian pencemaran alternatif, dan sebagainya.

3. Contingent Costs
Contingent costs atau biaya kontinjensi adalah biaya yang mungkin atau tidak
mungkin terjadi di masa depan. Misalnya biaya untuk kompensasi atas kecelakaan
pencemaran lingkungan, denda dan hukuman pelanggaran peraturan di masa depan atau biaya
tak terduga lainnya atas konsekuensi di masa depan.

4. Image and Relationship Costs


Beberapa biaya lingkungan dapat disebut less tangible atau tangible karena biaya
ini dikeluarkan untuk mempengaruhi persepsi manajemen, pelanggan, karyawan, masyarakat,
dan regulator. Biaya ini juga dapat disebut sebagai biaya citra perusahaan. Biaya kategori
ini dapat termasuk biaya pelaporan lingkungan tahunan dan kegiatan hubungan masyarakat,
biaya yang dikeluarkan sukarela untuk kegiatan lingkungan seperti menanam pohon, dan
biaya yang dikeluarkan untuk program penghargaan atau pengakuan.
ANDRI YULIYANTO
B200140221

Sustainable Accounting

A. Pendahuluan
Sistematika pembangunan berkelanjutan (PK) yang terdiri atas tiga konstruksi yaitu
ekonomi, sosial, dan lingkungan (Cato, 2009 hal. 36-37; Adams, 2006); tidak terlepas dari
aktivitas ekonomi yang meliputi kegiatan produksi dan konsumsi sumber daya. Pandangan
ekonomi yang mengakar pada sebuah analisis efektivitas dan efisiensi menuntut
perkembangan ilmu pengetahuan dan inovasi teknologi untuk meningkatkan optimalisasi
penggunaan sumber daya. Hal ini berujung pada pelestarian sistem lingkungan yang
mengarah pada sebuah kesetimbangan ekologi dan pembangunan berkelanjutan.
Pembahasan tentang pembangunan berkelanjutan (sustainability development) sering
ditemui dalam berbagai riset. Definisi PK berkembang seirama dengan perubahan lingkungan
yang terjadi saat ini. Salim (2007) dalam seminar nasional Perserikatan Iklim Hutan
Indonesia (Indonesia Forest Climate Alliance) menerangkan bahwa salah satu paradigma
konvensional PK yaitu pemenuhan keinginan dari kelangkaan sumber daya, orientasi
pembangunan jangka pendek, dan sektoral non-holistis; menjadi pemenuhan kebutuhan atas
peningkatan kualitas hidup meliputi sisi sosial-ekonomi dan kesetimbangan ekologi serta
sebuah proses holistis jangka panjang yang saling berkesinambungan dengan variabel
kelangsungan ekosistem. Hal ini menguatkan perlunya kesatuan masing-masing sistem baik
ekonomi, sosial, maupun lingkungan yang tidak saling merugikan/konstruktif satu sama lain
(mutualisme).

B. Ekonomi dan Pembangunan Berkelanjutan


Ekonomi merupakan aktivitas tak terpisahkan dalam PK. Interaksi ekonomi terhadap
ekologi memicu berbagai penelitian terkait ekonomika lingkungan seperti carbon trading
sebagai metode pembangunan dengan meminimalisasi dampak perusakan terhadap ekosistem
melengkapi skema REDD+ yang disepakati menjadi metode insentif negara pemilik hutan
(misalnya Indonesia) oleh negara-negara maju pemilik modal (misalnya Norwegia).
Perkembangan Ekonomika Islam juga membawa nilai serupa dalam PK.
Implementasi nilai agama Islam dalam transaksi ekonomi dapat berjalan selaras dengan
nilai PK untuk menjaga kesetimbangan antara manusia dan lingkungannya. Pemanfaatan
sumber daya seoptimal dan seadil mungkin demi kebaikan/maslahat para pemangku
kepentingan mengamini linearitas PK terhadap tujuan ekonomika Islam (Maqasid al-
Shariah).
Sistem lingkungan sebagaimana diterangkan oleh Hanley et. al. (2001, hal. 5) dalam
Cahyandito (2009, hal. 5) pada Gambar 1 menunjukkan interaksi antara ekonomi dan ekologi
yang memberikan dampak pada biodiversitas atas input sumber daya yang terlibat pada
aktivitas tersebut. Dengan demikian interaksi langsung maupun tidak langsung atas sistem
ekonomi yang terdiri dari individu, perusahaan, pemerintah, dan masyarakat, terhadap sistem
ekologi yang terdiri dari biodiversitas (alam) menuntut pertanggungjawaban sosial ekonomi
dari seluruh pemangku kepentingan yang terikat.
ANDRI YULIYANTO
B200140221

C. Sustainability Accounting Report (SAR)


Laporan Akuntansi Berkesinambungan/SAR merupakan bentuk tanggung jawab perusahaan
sebagai pemangku kepentingan (stakeholders) atas pemanfaatan lingkungan. SAR merupakan
bagian dari keseluruhan pelaporan keuangan perusahaan yang disampaikan kepada publik pada
setiap periode tertentu. Rerangka konseptual SAR saat ini sedang dalam proses review publik
yang akan segera diimplementasikan pada periode mendatang.
SAR ini dirancang oleh Dewan Standar Akuntansi Berkelanjutan/Sustainability Accounting
Standards Board (SASB) di Amerika Serikat (AS) sebagai pelengkap pengungkapan informasi
kepada publik selain laporan keuangan yang diwajibkan oleh Securities and Exchange
Commission (SEC) khususnya bagi perusahaan yang terdaftar di AS.
Indonesia termasuk negara yang yang mengkiblat pada peraturan pengungkapan pelaporan
keuangan di AS sebagaimana adopsi standar pelaporan akuntansi keuangan internasional
(International Financial Reporting Standards/IFRS) sehingga dalam periode-periode mendatang
juga akan melakukan adopsi peraturan baru seperti SAR.
Sementara ini laporan pertanggungjawaban lingkungan hanya bersifat sebagai pemanis
laporan keuangan perusahaan. Sifatnya yang masih sukarela sejauh ini menyebabkan tidak semua
perusahaan bersedia menyampaikan laporan pertanggungjawaban sosial termasuk aktivitas
pelestarian sumber daya alam secara lengkap dan komprehensif. Pada umumnya laporan ini
hanya memuat kegiatan Corporate Social Responsibilty (CSR) perusahaan dengan hanya
mencantumkan satu-dua paragraf yang memuat tentang pelestarian ekosistem di wilayah
operasional perusahaan.
Konsep SAR sebagaimana dinyatakan dalam SASB (2013) terdiri atas beberapa klasifikasi
berdasarkan jenis industri seperti industri kesehatan, keuangan, teknologi dan komunikasi,
sumber daya alam tak-terbarukan, transportasi, jasa, transformasi sumber daya, barang konsumsi,
sumber daya alam terbarukan dan energi alternatif, serta infrastruktur.
Masing-masing industri terklasifikasikan lagi menjadi berbagai sektor terkait seperti misalnya
pada industri sumber daya terbarukan dan energi alternatif yang diurai menjadi sektor biofuel,
energi sinar matahari, angin, panas bumi, nuklir, proyek pengembangan energi terbarukan,
produsen daya berdikari, serta kehutanan dan kertas.
Dari masing-masing sektor tersebut akan diklasifikasikan berdasar isu-isu pembangunan
berkesinambungan terkait yang akan menjadi dasar transparansi masing-masing industri pada
SAR. Dengan demikian implementasian rerangka ini akan sangat membantu kontrol publik atas
kinerja perusahaan di industri tertentu sebagai bagian dan kontributor aktif dalam sistem
lingkungan di wilayah perusahaan.
SAR didorong untuk segera diterapkan oleh perusahaan sebagai salah satu usaha pemenuhan
pelaporan keuangan yang lengkap sebagaimana disyaratkan pada SEC. Indonesia sebagai
anggota SEC wajib mendorong industri terkait untuk berpartisipasi dalam pengungkapan
ANDRI YULIYANTO
B200140221
informasi atas pertanggungjawaban lingkungan. SAR dapat memberikan manfaat baik bagi
perusahaan selaku pemangku kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung. WBCSD
(2002) dalam Cahyandito (2006) menggambarkan delapan manfaat yang dapat diperoleh oleh
perusahaan atas pelaporan bisnis berkesinambungan.

Dijelaskan dalam Gambar 2 bahwa manfaat SAR akan secara langsung dan tidak langsung
memberikan timbal balik positif terhadap perusahaan. Pengungkapan informasi akuntansi yang
berkelanjutan atas aktivitas ekonomi perusahaan seperti peningkatan inovasi produk demi
efisiensi pemanfaatan sumber daya, manajemen risiko, peningkatan sistem manajerial yang
efektif, peningkatan kesadaran dan motivasi karyawan, akan meningkatkan daya tarik
perusahaan. Selanjutnya, pelanggan aktual dan potensial akan lebih memiliki kesadaran dan
minat investasi atas kontribusi aktif perusahaan terhadap sistem ekologi (Cahyandito, 2006).

Anda mungkin juga menyukai