Anda di halaman 1dari 109

TEORI MOTIVASI DAN KEPUASAN KERJA DALAM

ORGANISASI
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Motivasi ialah suatu konsep yang menguraikan tentang kekuatan-kekuatan yang ada
dalam diri karyawan yang memulai dan mengarahkan perilaku. (Gibson)
Ialah keinginan untuk berusaha atau berupaya sekuat tenaga untuk mencapai tujuan
organisasi yang dikondisikan atau ditentukan oleh kemampuan usaha/upaya untuk memenuhi
sesuatu kebutuhan individual. (Stephen P. Robinson)
Dari dua batasan atau definisi tersebut pada intinya adalah mempunyai kesamaan
pengertian walaupun ada perbedaan redaksional. Motivasi secara umum berkaitan dengan usaha
untuk memenuhi semua tujuan sehingga fokus pembahasan dipersempit pada tujuan
organisasional supaya dapat merepleksikan perhatian kita pada perilaku yang berkaitan dengan
pekerjaan. Dalam batasan/definisi tersebut didapat tiga elemen kunci, yaitu: usaha tujuan,
organisasi, dan kebutuhan.
Dalam pengelolaan organisasi seorang manajer harus mempertimbangkan suatu motivasi
yang berbeda untuk sekelompok orang, yang dalam banyak hal tidak dapat diduga sebelumnya.
Keanekaragaman ini menyebabkan perbedaan perilaku, dalam hal ini beberapa hal berkaitan
dengan titik tolak individu yaitu kebutuhan dan tujuan.
Setiap anggota organisasi dalam mencapai tujuan organisasi timbul adanya perasaan
kepuasan kerja dan ketidak puasan. Oleh karena itulah setiap pimpinan atau manajer suatu
organisasi perlu menciptakan suatu iklim yang sehat secara etis bagi anggotanya atau
pegawainya, dimana mereka melakukan pekerjaan secara maksimal dan produktif. Hal ini sudah
barang tentu adanya perilkau individu dalam organisasi yang merupakan interaksi antara
karakteristik individu dan karakteristik organisasi (Thoha.1998).
Perilaku organisasi merupakan suatu perilaku terapan yang dibangun atas sumbangan dari
sejumlah disiplin perilkau, seperti yang menonjol psokologi, sosiologi, psikologi sosial,
antropologi dan ilmu politik (Robbins.2001). sedangkan yang menyangkut kepuasan kerja
(job satisfaction) merupakan yang disumbangkan dalam psikologi. Selain itu diperluas juga yang
mencangkup pembelajaran, persepsi, kepribadian, pelatihan, keefektifan kepemimpinan,
kebutuhan dan kekuatan motivasi, proses pengambilan keputusan, penilaian kinerja, pengukuran
sikap, teknik seleksi pegawai, desain pekerjaan dan stres kerja.

Demikian pula organisasi pendidikan sebagai institusi penyelenggaraan pendidikan


mengharapkan suatu outcome atau produktivitas yang memuaskan sebagaimana yang ditetapkan
dalam tujuan pendidikan outcome atau produktivitas itu ditentukan baik oleh teknologi (sistem,
kurikulum, sarana prasarana, pembiayaan dan manajemen) maupun tenaga kependidikan. Disini
kepuasan kerja atau kepuasaan belajar mengajar merupakan salah satu indikator dari seperangkat
kebutuhan manusia dalam organisasi pendidikan. Dengan perkataan lain kepuasaan harus
menjadi tujuan utama organisasi setelahnya produktivitas.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah berdasarkan latar belakang masalah diatas adalah sebagai
berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan motivasi kerja?
2. Apa saja teori-teori motivasi?
3. Apa yang dimaksud dengan kepuasaan kerja dalam organisasi?

C. TUJUAN
Adapun tujuan berdasarkan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian motivasi kerja.
2. Untuk mengetahui apa saja teori-teori motivasi.
3. Untuk mengetahui teori kepuasaan kerja dalam organisasi.

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MOTIVASI KERJA


Motivasi menurut Luthans (1992) berasal dari kata latin movere, artinya bergerak.
Motivasi merupakan suatu proses yang dimulai dengan adanya kekurang psikologis atau
kebutuhan yang menimbulkan suatu dorongan dengan maksud mencapai suatu tujuan atau
insentif. Pengertian proses motivasi ini dapat difahami melalui hubungan antara kebutuhan,
dorongan dan insentif (tujuan).
Gambar-1

The Basic Motivation Process

NEEDS
DRIVES INCENTIVES
Motivasi di dalam dunia kerja adalah sesuatu yang dapat menimbulkan semangat atau
dorongan kerja. Menurut Asad (2004) motivasi kerja dalam psikologi karya biasa disebut
pendorong semangat kerja. Kuat dan lemahnya motivasi seseorang tenaga kerja ikut menentukan
besar kecilnya prestasinya.
Menurut Munandar (2001) motivasi kerja memiliki hubungan dengan prestasi kerja.
Prestasi kerja adalah hasil dari interaksi antara motivasi kerja, kemampuan dan peluang.
Keterkaiatan antara motivasi dan prestasi kerja dapat di rumuskan sebagai berikut:

Bila motivasi kerja rendah, maka prestasi kerja akan rendah meskipun kemampuannya
ada dan baik, serta memiliki peluang.
Motivasi kerja seseorang dapat bersifat proaktif atau reaktif. Pada motivasi kerja yang
proaktif seseorang akan berusaha meningkatkan kemampuan-kemampuannya sesuai dengan
yang dituntut oleh pekerjaannya atau akan berusaha untuk mencari, menemukan atau
menciptakan peluang di mana ia akan menggunakan kemampuan-kemampuannya untuk dapat
berprestasi yang tinggi. Sebaliknya, motivasi kerja yang bersifat reaktif, cenderung menunggu
upaya atau tawaran dari lingkungannya.
Motivasi kerja merupakan pemberian dorongan. Pemberian dorongan ini dimaksudkan
untuk mengingatkan orang-orang atau karyawan agar mereka bersemangat dan dapat mencapai
hasil sesuai dengan tuntutan perusahaan. Oleh karena itu seorang manajer dituntut pengenalan
atau pemahaman akan sifat dan karateristik karyawannya, suatu kebutuhan yang dilandasi oleh
motif dengan penguasaan manajer terhadap perilaku dan tindakan yang dibatasi oleh motif, maka
manajer dapat mempengaruhi bawahannya untuk bertindak sesuai dengan keinginan organisasi.
Menurut Martoyo (2000) motivasi kinerja adalah sesuatu yang menimbulkan dorongan
atau semangat kerja. Menurut Gitosudarmo dan Mulyono (1999) motivasi adalah suatu faktor
yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan atau kegiatan tertentu, oleh karena
itu motivasi sering kali diartikan pula sebagai faktor pendorong perilaku seseorang. Setiap
tindakan yang dilakukan oleh seorang manusia pasti memiliki sesuatu faktor yang mendorong
perbuatan tersebut. Motivasi atau dorongan untuk bekerja ini sangat penting bagi tinggi
rendahnya produktivitas perusahaan. Tanpa adanya motivasi dari para karyawan atau pekerja
untuk bekerja sama bagi kepentingan perusahaan maka tujuan yang telah ditetapkan tidak akan
tercapai. Sebaliknya apabila terdapat motivasi yang besar dari para karyawan maka hal tersebut
merupakan suatu jaminan atas keberhasilan perusahaan dalam mencapai tujuannya.
Motivasi atau dorongan kepada karyawan untuk bersedia bekerja bersama demi
tercapainya tujuan bersama ini terdapat dua macam, yaitu:
1. Motivasi finansial, yaitu dorongan yang dilakukan dengan memberikan imbalan finansial kepada
karyawan. Imbalan tersebut sering disebut insentif.
2. Motivasi nonfinansial, yaitu dorongan yang diwujudkan tidak dalam bentuk finansial/ uang,
akan tetapi berupa hal-hal seperti pujian, penghargaan, pendekatan manusia dan lain sebagainya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi pada dasarnya adalah kondisi mental
yang mendorong dilakukannya suatu tindakan (action atau activities) dan memberikan kekuatan
yang mengarah kepada pencapaian kebutuhan, memberi kepuasan ataupun mengurangi ketidak
seimbangan.
Teori motivasi dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu teori kepuasan (content
theory) dan teori proses (process theory). Teori ini dikenal dengan nama konsep Higiene, yang
mana cakupannya adalah:
1. Isi Pekerjaan, Hal ini berkaitan langsung dengan sifat-sifat dari suatu pekerjaan yang dimiliki
oleh tenaga kerja yang isinya meliputi: Prestasi, upaya dari pekerjaan atau karyawan sebagai aset
jangka panjang dalam menghasilkan sesuatu yang positif di dalam pekerjaannya, pengakuan,
pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, pengembangan potensi individu.
2. Faktor Higienis, suatu motivasi yang dapat diwujudkan seperti halnya : gaji dan upah, kondisi
kerja, kebijakan dan administrasi perusahaan, hubungan antara pribadi, kualitas supervisi.
Pada teori tersebut bahwa perencanaan pekerjaan bagi karyawan haruslah menunjukkan
keseimbangan antara dua faktor.

B. TEORI-TEORI MOTIVASI
Teori motivasi bervariasi, yaitu menurut isi motivasi dan proses motivasi. Teori yang
berhubungan dengan pengidentifikasian isi motivasi berkaitan dengan apa yang memotivasi
tenaga kerja. Sedangkan teori proses lebih berkaitan dengan bagaimana proses motivasi
berlangsung. Sehingga dalam modul 2 ini akan dibahas delapan teori motivasi, empat teori dari
teori motivasi isi, yaitu: teori tata tingkat-kebutuhan, teori eksistensi-relasi-pertumbuhan, teori
dua faktor, teori motivasi berprestasi, dan empat teori motivasi proses, yaitu: teori penguatan,
teori tujuan, teori expectacy, dan teoriequity. Kedelapan teori ini akan memberikan kontribusi
tentang motivasi kerja.

1. Teori Motivasi Isi


a. Teori Tata Tingkat-Kebutuhan
Setiap individu memiliki needs (kebutuhan, dorongan intrinsic dan ekstrinsic factor),
yang pemunculannya sangat terkait dengan dengan kepentingan individu. Dengan kenyataan ini,
kemudian Maslow membuat need hierarchy theory untuk menjawab tentang tingkatan
kebutuhan manusia. Bagitu juga individu sebagai karyawan tidak bisa melepaskan diri dari
kebutuhan-kebutuhannya.
Menurut Maslow, kebutuhan-kebutuhan manusia dapat digolongkan dalam lima tingkatan
sebagai berikut:
1) Physiological needs (kebutuhan bersifat biologis). Merupakan suatu kebutuhan yang sangat
mendasar. Contohnya: kita memerlukan makan, air, dan udara untuk hidup. Kebutuhan ini
merupakan kebutuhan yang sangat primer, karena kebutuhan ini telah ada sejak lahir. Jika
kebutuhan ini tidak dipenuhi, maka individu berhenti eksistensinya.
2) Safety needs (kebutuhan rasa aman). Merupakan kebutuhan untuk merasa aman baik secara fisik
maupun psikologis dari gangguan. Apabila kebutuhan ini diterapkan dalam dunia kerja maka
individu membutuhkan keamanan jiwanya ketika bekerja.
3) Social needs (kebutuhan-kebutuhan sosial). Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial,
sehingga mereka memiliki kebutuhan-kebutuhan sosial, sehingga mereka mempunyai
kebutuhan-kebutuhan sosial sebagai berikut:
Kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain di mana ia hidup dan bekerja
Kebutuhan akan perasaan dihormati, karena setiap manusia merasa dirinya penting
Kebutuhan untuk dapat berprestasi
Kebutuhan untuk ikut serta (sense of participation)
4) Esteem needs (kebutuhan akan harga diri). Penghargaan meliputi faktor internal, sebagai contoh,
harga diri, kepercayaan diri, otonomi, dan prestasi; dan faktor eksternal, sebagai contoh, status,
pengakuan, dan perhatian. Dalam dunia kerja, kebutuhan harga diri dapat terungkap dalam
keinginan untuk dipuji dan keinginan untuk diakui prestasi kerjanya. Keinginan untuk didengar
dan dihargai pandangannya.
5) Self Actualization. Kebutuhan akan aktualisasi diri, termasuk kemampuan berkembang,
kemampuan mencapai sesuatu, kemampuan mencukupi diri sendiri. pada tingkatan ini,
contohnya karyawan cenderung untuk selalu mengembangkan diri dan berbuat yang terbaik.
Maslow memisahkan kelima kebutuhan sebagai tingkat tinggi dan tingkat rendah.
Kebutuhan tingkat rendah, kebutuhan yang harus dipuaskan pertama kali adalah kebutuhan
fisiologi. Kemudian kebutuhan itu diikuti oleh kebutuhan keamanan, sosial dan kebutuhan
penghargaan. Di puncak dari hirarki adalah kebutuhan akan pemenuhan diri sendiri. Setiap
kebutuhan dalam tata tingkat tersebut harus dipuaskan menurut tingkatannya. Ketika kebutuhan
telah terpuaskan, maka kebutuhan berhenti memotivasi perilaku, dan kebutuhan berikutnya
dalam hirarki selanjutnya akan mulai memotivasi perilaku. Dalam dunia kerja, orang sewaktu
kerja melakukan usaha untuk memenuhi kebutuhan paling rendah yang belum terpuaskan.

b. Teori Eksistensi-Relasi-Pertumbuhan
Teori ERG adalah siangkatan dari Existence, Relatedness, dan Growth needs, yang
dikembangkan oleh Alderfer, yang merupakan suatu modifikasi dan reformulasi dari teori tata
tingkat kebutuhan dari Maslow.
Alderfer berargumen bahwa ada tiga kelompok kebutuhan inti, yaitu:
1) Kebutuhan eksistensi (existence needs), merupakan kebutuhan akan substansi material, seperti
keinginan untuk memperoleh makanan, air, perumahan, uang, mebel, dan mobil. Kebutuhan ini
merupakan kebutuhan fisiological dan rasa aman dari Maslow.
2) Kebutuhan hubungan (relatedness needs), merupakan kebutuhan untuk memelihara hubungan
antarpribadi yang penting. Individu berkeinginan untuk berkomunikasi secara terbuka dengan
orang lain yang dianggap penting dalam kehidupan mereka dan mempunyai hubungan yang
bermakna dengan keluarga, teman dan rekan kerja. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan sosial
dan dan bagian eksternal dari esteem(penghargaan) dari Maslow.
3) Kebutuhan pertumbuhan (growth needs), merupakan kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki
seseorang untuk mengembangkan kecakapan mereka secara penuh. Selain kebutuhan aktualisasi,
juga termasuk bagian intrinsik dari kebutuhan harga diri Maslow.
Teori ERG mengandung suatu dimensi frustasi-regresi. Dalam teori ERG, dinyatakan
bahwa apabila suatu tingkat kebutuhan dari urutan tertinggi terhalang, akan terjadi hasrat
individu untuk meningkatkan kebutuhan tingkat lebih rendah. Sebagai contoh, ketidakmampuan
memuaskan suatu kebutuhan akan interaksi sosial, akan meningkatkan keinginan untuk memiliki
banyak uang atau kondisi yang lebih baik. Jadi frustasi (halangan) dapat mendorong pada suatu
kemunduran yang lebih rendah.

c. Teori Dua Faktor


Penelitian Herzberg menghasilkan dua kesimpulan khusus mengenai teori tersebut yaitu:
1) Serangkaian kondisi ekstrinsik, yaitu kondisi kerja ekstrinsik seperti upah dan kondisi kerja tersebut bersifat
ekstren tehadap pekerjaan sepeti: jaminan status, prosedur, perusahaan, mutu supervisi dan mutu hubungan antara
pribadi diantara rekan kerja, atasan dengan bawahan.
2) Serangkaian kondisi intrinsik, yaitu kondisi kerja intrinsik seperti tantangan pekerjaan atau rasa berprestasi,
melakukan pekerjaan yang baik, terbentuk dalam pekerjaan itu sendiri. Faktor-faktor dari rangkaian kondisi intrinsik
dsebut pemuas atau motivator yang meliputi: prestasi (achivement), pengakuan (recognation), tanggung jawab
(responsibility), kemajuan (advencement), dan kemungkinan berkembang (the possibility of growth).
Herzberg (dalam Kreitner & Kinicki, 2004) membedakan dua faktor yang mempengaruhi
motivasi para pekerja dengan cara yang berbeda, faktor motivator dan faktor hygiene. Faktor
motivasi mencakup faktor-faktor yang berkaitan dengan isi pekerjaan, yang merupakan faktor
intrinsik dari pekerjaan, yaitu: tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri, pencapaian
prestasi, dan pengakuan. Herzberg menyatakan ini sebagai faktor motivator. Dinamakan sebagai
faktor motivator, karena masing-masing diasosiasikan dengan usaha yang keras dan kinerja yang
bagus. Motivator menyebabkan seseorang bergerak (move) dari keadaan tidak puas kepada
kepuasan. Oleh karena itu Herzberg memprediksikan bahwa manajer dapat memotivasi individu
dengan memasukkan motivator ke dalam pekerjaan individu.
Ketidakpuasan kerja terutama diasosiasikan dengan faktor-faktor di dalam keadaan atau
lingkungan pekerjaan. Yaitu berupa: aturan-aturan administrasi dan kebijaksanaan perusahaan,
supervisi, hubungan antar pribadi, kondisi kerja, gaji dan sebagainya. faktor-faktor ini dinamakan
dengan faktor hygien. Manajer yang ingin menghilangkan faktor-faktor ketidakpuasan kerja
lebih baik menempuh cara dengan menciptakan ketentraman kerja.
Jadi, menurut teori ini, perbaikan salary dan working conditions tidak akan enimbulkan
kepuasan tetapi hanya mengurangi ketidak puasan. Selanjutnya dikatakan oleh Herzberg, bahwa
yang bisa memacu orang untuk bekerja dengan baik dan bergairah (motivator) hanyalah
kelompok satisfiers. Untuk satisfiers ini kadang-kadang diberi nama lain sebagai intrinsic factor,
job content, dan motivator. Sedangkan sebutan lain yang sering digunakan untuk dissatisfiers
ialah extrinsic factor, cob context dan danhygiene factor .
Kunci untuk memahami teori motivator-hygien adalah memahami bahwa lawan
kepuasan bukan ketidakpuasan. Lawan kepuasan adalah tidak ada kepuasan. Dan lawan
ketidakpuasan adalah tidak ada ketidakpuasan.

d. Teori Motivasi Berprestasi


Menurut David McClelland (dalam Anoraga & Suyati, 1995) ada tiga macam motif atau
kebutuhan yang relevan dengan situasi kerja, yaitu:
1) The need for achievement (nAch), yaitu kebutuhan untuk berprestasi, untuk mencapai sukses.
2) The need for power (nPow), kebutuhan untuk dapat memerintah orang lain.
3) The need for affiliation (nAff), kebutuhan akan kawan, hubungan akrab antar pribadi.
Menurut Mc Clelland (dalam Asad, 2004) ketiga kebutuhan tersebut munculnya sangat
dipengaruhi oleh situasi yang sangat spesifik. Apabila individu tersebut tingkah lakunya
didorong oleh tiga kebutuhan maka tingkah lakunya akan menampakkan ciri-ciri sebagai berikut:
1) Tingkah laku individu yang didorong oleh kebutuhan berprestasi yang tinggi akan nampak
sebagai berikut:
Berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara yang baru dan kreatif
Mencari feed back (umpan balik) tentang perbuatannya
Memilih resiko yang moderat (sedang) di dalm perbuatannya. Dengan Memilih resiko yang
sedang berarti masih ada peluang untuk berprestasi yang lebih tinggi
Mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatan-perbuatannya
2) Tingkah laku individu yang didorong oleh untuk berkuasa yang tinggi akan nampak sebagai
berikut:
Berusaha menolong orang lain walaupun pertolongan itu tidak diminta
Sangat aktif dalam menentukan arah kegiatan dari organisasi di mana ia berada
Mengumpulkan barang-barang atau menjadi anggota suatu perkumpulan yang dapat
mencerminkan prestise
Sangat peka terhadap struktur pengaruh antar pribadi dari kelompok atau organisasi
3) Tingkah laku individu yang didorong oleh kebutuhan untuk bersahabat akan nampak sebagai
berikut:
Lebih memperhatikan segi hubungan pribadi yang ada dalam pekerjaannya, daripada segi tugas-
tugas yang ada pada pekerjaan itu
Melakukan pekerjaannya lebih efektif apabila bekerjasama bersama orang lain dalam suasana
yang lebih kooperatif
Mencari persetujuan atau kesepakatan dari orang lain
Lebih suka dengan orang lain daripada sendiri
Karyawan yang memiliki nAch tinggi lebih senang menghadapi tantangan untuk
berprestasi dari pada imbalannya. Perilaku diarahkan ke tujuan dengan kesukaran menengah.
Karyawan yang memiliki nPow tinggi, punya semangat kompetisi lebih pada jabatan dari pada
prestasi. Ia adalah tipe seorang yang senang apabila diberi jabatan yang dapat memerintah orang
lain. Sedangkan pada karyawan yang memiliki nAff tinggi, kurang kompetitif. Mereka lebih
senang berkawan, kooperatif dan hubungan antar personal yang akrab. Kebutuhan-kebutuhan
yang bervariasi ini akan muncul sangat dipengaruhi oleh situasi yang sangat spesifik.

2. Teori Motivasi Proses


a. Teori Penguatan (Reinforcement Theory)
Teori penguatan menggunakan pendekatan tingkah laku. Penganut teori ini memandang
tingkah laku sebagai akibat atau dipengaruhi lingkungan. Keadaan lingkungan yang terus
berulang akan mengendalikan tingkah laku. Jewell dan Siegall (1998) menjelaskan lebih lanjut
model dari penguatan, yaitu melalui tiga prinsip:
1) Orang tetap melakukan hal-hal yang mempunyai hasil yang memberikan penghargaan
2) Orang menghindari melakukan hal-hal yang mempunyai hasil yang memberikan hukuman
3) Orang akhirnya akan berhenti melakukan hal-hal yang tidak mempunyai hasil yang memberikan
penghargaan ataupun hukuman.
Gambar 2. Model Penguatan dari Motivasi Kerja

(Situasi kerja) (dari karyawan) (dari lingkungan)

b. Teori Penetapan Tujuan (Goal Setting Theory)


Teori ini dikemukakan oleh Locke (dalam Berry, 1998). Locke berpendapat bahwa
maksud-maksud untuk bekerja kearah suatu tujuan merupakan sumber utama dari motivasi kerja.
Artinya, tujuan memberitahukan karyawan apa yang perlu dikerjakan dan betapa banyak upaya
akan dihabiskan.
Lebih tepatnya teori penetapan tujuan mengenal bahwa tujuan yang khusus dan sulit
menghantar kepada kinerja yang lebih tinggi. Menurut Berry (1998) lima komponen dasar tujuan
untuk meningkatkan tingkat motivasi karyawan, yaitu: (1) tujuan harus jelas (misalnya jumlah
unit yang harus diselesaikan dalam satu jam), (2) tujuan harus mempunyai tingkat kesulitan
menengah sampai tinggi, (3) karyawan harus menerima tujuan itu, (4) karyawan harus menerima
umpan balik mengenai kemajuannya dalam usaha mencapai tujuan tersebut, (5) tujuan yang
ditentukan secara partisipasif lebih baik dari pada tujuan yang ditentukan begitu saja.

c. Teori Harapan (Expectancy Theory)


Pertama kali dikemukakan oleh Heider (dalam Asad, 2004). Pendekatan teori harapan
mengenai performance kerja dirumuskan sebagai berikut:
P = performance, M =motivation dan A = ability. Konsep ini akhirnya sangat populer
sehingga rumusan kognitif sudah banyak sekali variasinya. Di antara berbagai variasi terdapat
beberapa model yang dapat Kita kaji diantaranya:
1) Model Vroomian
Model harapan dari Vroom tentang motivasi dan ability. Menurut model
iniPerformance kerja seseorang (p) merupakan fungsi dari interaksi perkalian antara motivasi
(M) dan ability (kecapakan= K). Sehingga rumusannya adalah:

Perkalian di atas memiliki makna bahwa jika seseorang rendah pada salah komponennya maka
prestasi kerjanya pasti akan rendah. Dengan kata lain apabila performance kerja(prestasi kerja)
seseorang rendah, maka ini dapat merupakan hasil dari motivasi yang rendah pula, atau
kemampuannya tidak baik, atau hasil kedua komponen (motivasi) dan (kemampuan) yang
rendah.

Untuk dapat mengetahui tinggi rendahnya suatu motivasi dari karyawan Vroom (dalam
Berry, 1998) menentukan perkalian ketiga komponen sebagai berikut:
Expectancy (E = harapan) adalah pengharapan keberhasilan pada suatu
tugas.Instrumentality (I = alat) dan Valence (V = nilai-nilai) adalah respon terhadap outcome,
seperti perasaan positif, netral dan negatif.
Dengan bekerja maka setiap orang akan merasakan akibat-akibatnya. Setiap orang
memiliki sasaran-sasaran pribadi yang ia harapkan dapat ia capai sebagai akibat dari prestasi
kerja yang ia berikan. Akibat-akibat ini jelas akan memiliki nilai (valence) yang berbeda-beda
bagi setiap individu, di mana nilainya bisa positif maupun negatif.
Perusahaan sebagai suatu organizational behavior mempunyai harapan-harapan terhadap
produktivitas setiap tenaga kerjanya, misalnya mengharapkan prestasi kerja yang optimal.
Apabila seorang tenaga kerja dapat berprestasi kerja sesuai dnegan yang diharapkan oleh
perusahaan, seberapa jauh sasaran pribadi karyawan tersebut dapat dipenuhi? Dengan kata lain,
sejauh mana atau sebesar bagaimanakan dapat diharapkan oleh tenaga kerja bahwa prestasinya
akan memberikan akibat-akibat yang diharapkan. Dalam hal ini kemungkinan tercapainya
sasaran-sasaran pribadi satu persatu melalui tercapainya produktivitas yang diharapkan oleh
perusahaan ini, dinamakan oleh Vroom sebagai instrumentality
Jika misalnya prestasi kerja yang tinggi merupakan outputnya seseorang tenaga kerja,
sejauh mana kemungkinan yang dirasakan oleh tenaga kerja bahwa tenaga yang akan diberikan
dan usaha yang akan dilakukan dapat membuahkan prestasi kerja sesuai dengan yang diharapkan
oleh perusahaan dari dia?
Jika sesorang karyawan memiliki harapan dapat berprestasi tinggi, dan jika ia menduga
bahwa dengan tercapainya prestasi yang tinggi ia akan merasakan akibat-akibat yang ia
harapkan, maka ia akan memiliki motivasi yang tinggi untuk bekerja. Sebaliknya jika karyawan
merasa yakin bahwa ia tidak dapat mencapai prestasi kerja sesuai dengan yang diharapkan
perusahaan daripadanya maka ia akan kurang motivasinya untuk bekerja.
Lebih lanjut Berry (1998) menjelaskan bahwa karyawan akan memiliki motivasi yang
tinggi, apabila usaha mereka menghasilkan sesuatu melebihi dari apa yang diharapkan.
Sebaliknya, motivasi akan rendah, apabila usaha yang dihasilkan kurang dari apa yang
diharapkan.
2) Model Lawler dan Porter
Lawler dan Porter dalam menjelaskan motivasi berdasarkan ketiga komponen sebagai
berikut:

Performance merupakan hasil interaksi perkalian dari effort, ability dan role perception.
Effort adalah banyaknya energi yang dikeluarkan karyawan dalam situasi tertentu. Ability adalah
karakteristik individual seperti intelegensi, manual skill, traitsyang merupakan kekuatan
potensial seseorang untuk berbuat dan sifatnya relatif stabil. Sedangkan role perception adalah
kesesuaian antara effort yang dilakukan seseorang dengan pandangan evaluator atau atasan
langsung tentang job requirementnya. Dalam model Lawler dan Porter diketahui
bahwa performance merupakan hasil interaksi perkalian antara effort (motivasi), ability dan role
perception.
Dengan demikian berdasarkan hasil uraian kedua teori di atas dapat disimpulkan bahwa
pengharapan atas prestasi kerja akan menentukan motivasi karyawan.

d. Teori Keadilan (Equity Theory)


Teori keadilan dari Adam menunjukkan bagaimana upah dapat memotivasi. Individu
dalam dunia kerja akan selalu membandingkan dirinya dengan orang lain. Apabila terdapat
ketidakwajaran akan mempengaruhi tingkat usahanya untuk bekerja dengan baik. Ia membuat
perbandingan sosial dengan orang lain dalam pekerjaan yang dapat menyebabkan mereka merasa
dibayar wajar atau tidak wajar. Perasaan ketidakadilan mengakibatkan perubahan kinerja.
Menurut Adam, bahwa keadaan tegangan negatif akan memberikan motivasi untuk melakukan
sesuatu dalam mengoreksinya.
Teori keadilan mempunyai empat asumsi dasar sebagai berikut:
1) Orang berusaha menciptakan dan mempertahankan suatu kondisi keadilan
2) Jika dirasakan adanya kondisi ketidakadilan, kondisi ini menimbulkan ketegangan yang
memotivasi orang untuk menguranginya atau menghilangkannya
3) Makin besar persepsi ketidakadilannya, makin besar memotivasinya untuk bertindak
mengurangi kondisi ketegangan itu.
4) Orang akan mempersepsikan ketidak yang tidak menyenangkan (misalnya menerima gaji yang
terlalu sedikit) lebih cepat daripada ketidakadilan yang menyenangkan (misalnya, mendapat gaji
yang terlalu besar)
Prinsip teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung apakah
ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity dan inequity
atas suatu situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang
sekelas, sekantor maupun tempat lain.
Menurut teori ini elemen-elemen dari teori equity ada tiga, yaitu: input, out comes,
comparison person, dan equity inequity. Input; yaitu berbagai hal yang dibawa dalam kerja
seperti pendidikan, pengalaman, keterampilan. Input dengan demikian berarti segala sesuatu
yang berharga yang dirasakan karyawan sebagai sumbangan terhadap pekerjaan. Output; yaitu
apa yang diperoleh dari kerja seperti gaji, fasilitas, jabatan. Output berarti segala sesuatu yang
berharga , yang dirasakan karyawan sebagai hasil dari pekerjaannya. Dan comparison person;
orang lain sebagai tempat pembanding, sebagai contoh, karyawan dengan pendidikan sama,
jabatan sama tetapi gaji yang diterima berbeda.

Comparison persons bisa berupa seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempat lain,
atau bisa pula dengan dirinya sendiri di waktu lampau.
Individu atau karyawan akan merasa adil atau puas apabila A = B seimbang. Sedangkan
individu akan merasa tidak adil jika A > B, di mana salah satu untung. Sebagai contoh, sekretaris
seorang kepala bagian merasa bahwa berdasarkan kesibukannya sehari-hari ia bekerja jauh lebih
keras (sampai harus lembur) daripada sekretaris dari kepala bagian lain, sehingga mengharapkan
hasil-keluaran (gaji) yang lebih besar dari rekannya. Ia akan merasa tidak adil jika ternyata gaji
yang ia terima sama besarnya dengan gaji yang diterima oleh rekannya.
Menurut Howell & Dipboye (dalam Munandar, 2001) jika terjadi persepsi tentang
ketidakadilan, menurut teori keadilan orang akan dapat melakukan tindakan-tindakan berikut:
1) Bertindak mengubah masukannya, menambah atau mengurangi upayanya untuk bekerja
2) Bertindak untuk mengubah hasil-keluarannya, ditingkatkan atau diturunkan
3) Menggeliat/merusak secara kognitif masukan dan hasil-keluarannya sendiri, mengubah
persepsinya tentang perbandingan masukan dan hasil keluarannya sendiri
4) Bertindak terhadap orang lain untuk mengubah masukan dan/atau hasil keluarannya
5) Secara fisik meninggalkan situasi, keluar dari pekerjaan
6) Berhenti membandingkan masukan dan hasil keluaran dengan orang lain dan mengganti dengan
acuan lain atau mencari orang lain untuk dibandingkan

C. KEPUASAN KERJA DALAM ORGANISASI


1. Tinjauan Teoritis tentang Kepuasan Kerja
Pada kesempatan ini dikemukan beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian
kepuasan kerja diantaranya apa yang dikemukakan Robbins (2001) bahwa kepuasan kerja adalah
sikap suatu umum terhadap suau pekerjaan seseorang, selisih antara banyaknya ganjaran yang
diterima seorang pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima.
Pendapat lain bahwa kepuasaan kerja merupakan suatu sikap yang dimiliki oleh para individu
sehubungan dengan jabatan atau pekerjaan mereka (Winardi.1992). juga pendapat Siagian (1999)
bahwa kepuasan kerja merupakan suatu cara pandang seorang yang bersifat positif maupun
negatif tentang pekerjaannya. Pendapat lain bahwa kepuasan kerja yaitu keadaan emosional yang
meyenangkan dan yang tidak menyenangkan dengan mana para pegawai memandang pekerjaan
mereka. Kepuasan kerja ini mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya
(Handoko.2000). selain itu pendapat Indrawidjaja (2000) bahwa kepuasan kerja secara umum
menyangkut sika seseorang mengenai pekerjaannya. Karena menyangkut sikap, maka pengertian
kepuasan kerja menyangkut berbagai hal seperti kognisi, emosi dan kecendrungan perilaku
seseorang.
Apa yang menetukan kepuasan kerja sebagaimana dikemukakan oleh Robbins(2001)
adalah Pertama Kerja yang secara mental menantang pegawai yang cenderung menyukai
pekerjaan yang memberikan kesempatan menggunakan ketrampilan dan kemampuan dalam
bekerja. Kedua Gagasan yang pantas pegawai menginginkan sistem upah/gaji dan kebijakan
promosi yang adil, tidak meragukan dan sesuai degan pengharapan mereka. Ketiga Kondisi kerja
yang mendukung pegawai peduli lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun
untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik. Keempat Rekan sekerja yang mendukung
adanya interaksi sosial antara sesama pegawai yang saling mendukung menghatar meningkatkan
kepuasan kerja.Kelima Jangan lupakan kesesuaian antara kepribadian pekerjaan. Holand
dalam Robbins(2001) mengemukakan bahwa kecocokan yang tinggi antara kepribadian seorang
pegawai dan pengharapan akan menghasilkan individual yang lebih terpuaskan. KeenamAda
dalam gen bahwa 30 % dari kepuasan individual dapat dijelaskan oleh keturunan. Hasil riset
lainnya megemukakan bahwa sebagian besar kepuasan beberapa orang diketemukan secara
genetis.
Mengenai Pendapat lain bahwa kepuasaan kerja merupakan suatu sikap yang dimiliki
oleh para individu sehubungan dengan jabatan atau pekerjaan mereka
(Winardi.1992).:Kesatu Kepuasan dan produktivitas.hakikatnya
Bahwa seseorang pekerja yang bahagia adalah seorang pekerja yang
produktif.Kedua Kepuasan dan kemangkiran, kepuasan berkolerasi secara negatif dengan
kemangkiran (Ketidakhadiran). Dalam studi bahwa bekerja dengan skor kepuasan tinggi
mempunyai kehadiran yang jauh lebih tinggi dibandingkan pekerja dengan tingkat kepuasan
lebih rendah. Ketiga Kepuasan dan tingkat keluar masuknya pegawai/karyawan, kepuasan yang
dihubungkan yang dihubungkan secara negatif dengan keluarnya pegawai namun korelasi ini
lebih kuat daripada kemangkiran. Dalam hubungaN kepuasan keluarnya pegawai adalah tingkat
kinerja pegawai itu.
Selain itu ada 5 (lima) dimensi yang berkaitan dengan kepuasan kerja (Winardi.1992)
yaitu :
1) Gaji dan upah yang diterima ( Jumlah gaji atau upah yang diterima dan kelayakan imbalan
tersebut)
2) Pekerjaan (Tugas Pekerjaan dianggap menarik dan memberikan peluang untuk belajar dan
menerima tanggung jawab).
3) Peluang promosi.( Terjadinya peluang untuk mencapai kemajauan dalam jabatan).
4) Supervisor (Kemampuan untuk menunjukkan perhatian terhadap para pegawai/karyawan)
5) Para rekan sekerja. (dimana rekan sekerja bersikap bersahabat, kompeten, saling Bantu
membantu, dan berkomitmen untuk mencapai misi dan visi organisasi.
Pemahaman yang lebih tepat tentang kepuasan kerja dapat terwujud jika analisa tentang
kepuasan kerja dihubungkan dengan prestasi kerja, tingkat kemangkiran, keinginan pindah, usia
pekerja, tingkat jabatan dan besar kecilnya organisasi (Siagian.1999). Untuk lebih jelasnya hal
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : Kesaatu Kepuasan kerja dan preastasi , menjadikan
kepuasan untuk memacu prestasi kerja yang lebih baik. Kedua Kepuasan kerja dan kemangkiran
artinya bahwa karyawan/ pegawai yang tinggi tingkat kepuasan kerja akan rendah tingkat
kemangkirannya. Ketiga Kepuasan kerjja dan keinginan pindah, salah satu penyebab timbulnya
keinginan pindah kerja adalah ketidakpuasan pada tempat bekerja saat ini.Keempat kepuasan
kerja dan usia , kecndrungan yang terlihat bahwa semakin lanjut usia pegawai tingkat kepuasan
kerjanya semakin tinggi. Kelima Kepuasan kerja dan tingkat jabatan , semakin tinggi tingkat
kedudukan seseorang dalam suatu organisasi pada umumnya semakin tingkat kepuasannya
cendrung lebih tinggi pula. KeenamKepuasan kerja dan besar kecilnya organisasi , Jika karena
besarnya organisasi para pegai terbenam dalam masa kerja yang jumlahnya besar sehingga jati
diri dan identitasnya menjadi kabur, karena hanya dikenal nomor pegawainya saja. Hal tersebut
berdampak negatif pada kepuasan kerja.
Dalam mengelola personalia (kepegawaian) harus senantiasa memonitor kepuasan kerja,
karena hal itu akan mempengaruhi tingkat absensi, perputaran tenaga kerja, semangat kerja,
keluhan keluhan dan masalah personalia vital lainnya (Handoko.2000). Oleh karena itu fungsi
personalia mempunyai pengaruh baik langsung maupun tidak langsung, selain itu berbagai
kebijakan dalam kegiatan personalia berdampak pada iklim organisasi memberikan suatu
lingkungan kerja yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan bagi anggota
organisasi itu yang akhirnya memenuhi kepuasan kerja anggota organisasi (pegawai) untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3
Pengaruh Fungsi Personalia pada Kepuasan Kerja
(Handoko.2001)

Hubungan kepuasan kerja sebagaimana dikemukakan Handoko (2001) yaitu :


a. Prestasi, kepuasan kerja yang lebihtinggi terutama yang dihasilkan oleh prestasi kerja, bukan
sebaliknya. Seperti ditunjukkan dalam gambar 4, bahwa prestasi kerja lebih baik menaakibatkan
penghargaan yang lebih tinggi, jika penghargaan dirasakan adil dan memadai maka kepuasan
pegawai /karyawan akan meningkat.sebaliknya jika penghargaan dipandang tidak mencukupi
untuk suatu tingkat prestasi kerja pegawai/karyawanmaka ketidakpuasan kerja cendrung
terjadi.kondisi kepuasan atau ketidakpuasan kerja selanjutnya menjadi umpan balik (feed
back) yang akan mempengaruhi prestasi kerja di waktu mendatang. Oleh karena itu hubungan
prestasi dan kepuasan kerja menjadi suatu sistem yang berkelanjutan.

Gambar 4
Hubungan antara Prestasi dan Kepuasan Kerja (Handoko.2001)
b. Perputaran pegawai dengan absensi.Perusahaan atu organisasi senantiasa mengharapkan
kepuasan kerja meningkat perputaran karyawan dan absensi menurun bukan
sebaliknya.Sebagaimana dapat dilihat dalam gambar 5: bahwa kepuasan kerja yang lebih rendah
baisanya akan mengakibatkan perputaran karyawan /pegawai lebih tinggi.Yang bersangkutan
lebih mudah meninggalkan perusahaan dan mencari kesempatan di perusahaan
lainnya. Hubungan ini berlaku juga untik absensi (Kemangkiran). Para karyawan yang kurang
memperoleh keouasan kerja akan cendrung lebih sering absent.
Gambar 5 Model Umum Hubungan Antara Kepuasan Kerja
Dengan Perputaran Pegawai dan Absensi (Handoko.2001)
c. Umur dan jenjang pekerjaan, bahwa semakin tua umur karyawan/pegawai mereka cenrung lebih
terpuaskan dengan pekerjaan-pekerjaannya. Dengan alasan seperti: Pengharapan yang lebih
rendah dan penyesuaian lebih baik terhadap situasi kerja dan lebih berpengalaman. Sedangkan
pegawai/karyawan yang lebih muda cendrung kurang terpuaskan karena berbagai harapan yang
lebih tinggi kurang penyesuian dan alasan lainnya. Hubungan tersebut dapat dilihat
dalam gambar 6.
Gambar 6 Model Umum Hubungan Antara Kepuasan Kerja Dengan Umur & Jenjang
Pekerjaan (Handoko.2001)
Dari gambar diatas menunjukan juga bahwa orang dengan jenjang pekerjaan yang lebih
tinggi cenderung lebih mendapatkan kepuasan kerja, misalnya pegawai yang mempunyai
kemampuan dan ketrampilan tinggi cenderung memperoleh kepuasan kerja lebih besar dari pada
yang tidak berkemampuan dan tidak terampil.

d. Besar organisasi, bahwa ukuran organisasi cedrung mempunyai hubungan berlawanandengan


kepuasan kerja yaitu semakin besarorganisasi kepuasan kerja cenrung turun secara moderat
kecuali manajemen mengambil tindakan korektif. Tanpa tindsakan korektif organisasi besar
tersebut akan menenggelamkan anggotanya dan berbagai proses seperti halnya partisipasi,
komunikasi dan koordinasi kurang lancer. Oleh karena terdapat adanya hubungan antara
besarnya organisasi dan kepuasan kerja maka fungsi personalia dalam organisasi besar
kemungkinan menghadapi kesulirtan dalam mempertahankan kepuasan kerja
pegawainya/anggotanya.
Pendapat Siagian dan Handoko tersebut kiranya adanya kesamaan yang berkaitan dengan
kepuasan kerja berhubungan dengan Prestasi, Usia, Mutasi Pegawai dan Absensi, Tingkat
Jabatan serta besar kecilnya organisasi.
Sebenarnya ada beberapa alasan lain yang dapat menimbulkan dan mendorong kepuasan
kerja (Indrawijaya.2000) yaitu :
Pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan keahlian
Pekerjaan yang menyediakan perlengkapan yang cukup
Pekerjaan yang menyediakan informasi yang cukup lengkap
Pimpinan yang lebih banyak mendorong tercapainya suatu hasil yang tidak terlalu banyak
atau ketat melakukan pengawasan.
Pekerjaan yang memberikan penghasilan yang cukup memadai.
Pekerjaan yang memberikan tantangan untuk lebig mengembangkan diri.
Pekerjaan yang memberikan rasa aman dan ketenangan.
Harapan yang dikandung pegawai itu sendiri.
Kepuasan kerja berkaitan pula dengan teori motivasi salah satunya yang dikemukakan
oleh Herzberg dalam Hicks dan Guliet (1996) yaitu teori motivasi hygiene, teori
motivasi/pemeliharaan dan teori kedua faktor merupakan teori motivasi eksternal, karena
manajer mengendalikan faktor yang menghasilkan kepuasaan atau ketidakpuasan pekerjaan. Dari
penelitian Herzberg bahwa faktor hygiene yang mempengaruhi ketidakpuasan kerja dan para
motivator yang mempengaruhi kepuasan kerja seperti halnya faktor hygiene membantu individu
dalam menghindarkan individu merasa senang dengan ekerjaannya. Sedangkan faktor yang
menyebabkan ketidakpuasan tidak secara langsung akan menimbulkan kepuasan kerja
(Indrawijaya.2000).
Selain kepuasan kerja para pegawai atau anggota organisasi dapat menyatakan
ketidakpuasan dengan sejumlah cara misalnya mengeluh, tidak patuh dan mengelak dari
tanggung jawab. Ada 4 (empat) respon dari ketidakpuasan baik yang konstruktif/destruktif
maupun aktif/pasip (Robbins.2001) yaitu :
Eksit, Ketidakpuasan yang diungkapkan melalui prilaku yang mengarah untuk
meninggalkan organisasi( Mencari formasi baru atau berhenti ).
Suara, Ketidakpuasan yang diungkapkan dengan usaha aktif dan kontruktifmencoba
memperbaiki kondisi organisasi ( mencakup saran perbaikan, membahas masalah dengan atasan
dan beberapa bentuk kegiatan )
Kesetiaan Ketidakpuasan yang diungkapkan secara pasif, menunggu membaiknya
kondisi organisasi (berbicara membela organisasi menghadapi kritik luar dan mempercayai
organisasi dan manajemen untuk melakukan hal yang tepat).
Pengabaian, ketidakpuasan yang dinyatakan dengan membiarkan kondisi memburuk
(termasuk kemangkiran atau dating terlambatsecara kronis, upaya yang dikurangi dan tingkat
kekeliruan yang meningkat).
Keempat respon itu digabarkan sebagaimana pada gambar 7.

Gambar 7
Respon Terhadap Ketidakpuasan Kerja (Robbins.2001)

2. Relevansi Kepuasan Kerja dalam Organisasi Pendidikan.


Organisasi pendidikan sebagai institusi penyelenggara pendidikan mengharapkan suatu
outcome pendidikan yang memuaskan yang meliputi antara lain :
Pemerataan Pendidikan
Kualitas Pendidikan
Relevansi Pendidikan
Efisiensi Pendidikan
Efektivitas Pendidikan
Organisasi penyelenggara pendidikan sudah barang tentu melibatkan masyarakat,
pemerintah dan orang tua di dalam memperoleh outcome atau produktivitas pendidikan
sbagaimana tersebut diatas. Hal ini apabila outcome tersebut diperoleh dengan memuaskan maka
yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan akan timbul kepuasan. Khusus bagi ketenagaan
pendidikan dan non ketenagaan kependidikan (birokrasi pendidikan) merupakan suatu kepuasan
kerja yang positif dan sebaliknya apabila outcome tersebut diperoleh kurang memuaskan maka
akan timbul ketidakpuasan.
Kepuasan kerja dan ketidakpuasan dalam penyelenggaraan pendidikan akan
menimbulkan perilaku individu dalam organisasi. Yang merupakan interaksi dari karakteristik
individu dan karakteristik organisasi pendidikan. Dengan perkataan lain kepuasan harus menjadi
tujuan utama organisasi setelahnya produktivitas atau outcomependidikan.
Selaras dengan era Otonomi Daerah (Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999) maka
bergulir pula era Otonomi Pendidikan (desentralisasi) yang sudah barang tentu merubah
paradigma pendidikan lama ke paradigma pendidikan baru yang meliputi berbagai aspek sebagai
berikut (Jalal dan Supriadi.2001) :
Paradigma Lama Paradigma Baru
Sentralistik Desentralistik
Kebijakan yang top down Kebijakan yang bottom up
Orientasi pengembangan parsial Orientasi pengembangan holistik pendidikan
pendidikan untuk pertumbuhan untuk mengembangkan kesadaran untuk bersatu
ekonomi, stabilitas politik dan dalam kemajemukan budaya menjunjung tinggi
teknologi perakitan moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran
Peran serta pemerintah sangat kreatif, produktif, kesadaran hukum.
dominan Meningkatkan peran serta masyarakat secara
Lemahnya peran instusi non sekolah kualitatif dan kuantitatif.
Pemberdayaan institusi masyarakat, keluarga,
LSM, pesantren dan dunia usaha

Demikian pula peneraan konsep manajeen berbasis sekolah (school based management)
yang selaras dengan otonomi pendidikan merupakan kegiatan (action) dalam rangka
memperoleh outcome seperti halnya kualitas pendidikan. Dengan diperolehnya kualitas
pendidikan maka kepuasan yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan persekolahan akan
merasakan pula. Apabila dengan penerapan program life skill dengan pendekatan Brood Based
education (BBE). Selain masih menuntaskan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan
tahun.
BAB III
KESIMPULAN

Salah satu aspek dalam meningkatkan kinerja karyawan ialah pemberian motivasi (daya
perangsang) kepada karyawan, dengan istilah populer sekarang pemberian kegairahan bekerja
kepada karyawan. Telah dibatasi bahwa memanfaatkan karyawan yang memberi manfaat kepada
perusahaan. Ini juga berarti bahwa setiap karyawan yang memberi kemungkinan bermanfaat ke
dalam perusahaan, diusahakan oleh pimimpin agar kemungkinan itu menjadi kenyataan. Usaha
untuk merealisasi kemungkinan tersebut ialah dengan jalan memberikan motivasi. Motivasi ini
dimaksudkan untuk memberikan daya perangsang kepada karyawan yang bersangkutan agar
karyawan tersebut bekerja dengan segala daya dan upayanya (Manulang , 2002).
Bahwa kepuasan kerja merupakan suatu cara pandang seseorang yang bersifat positif
maupun negatif tentang pekerjaannya. Yang sudah barang tentu akan mempengaruhi perilaku
organisasi, termasuk ketidakpuasan kerja
Bahwa kepuasan nerja berkaitan dengan organisasi pendidikan akan terlihat
darioutcome atau produktivitas pendidikan yang diperoleh memuaskan atau tidak memuaskan
sehingga sudah barang tentu akan mempengaruhi juga perilaku organisasi pendidikan

DAFTAR PUSTAKA

Anoraga, S & Suyati, S.1995. Psikologi Industri dan Sosial. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Asad, M. 2004. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty. Edisi Ke-empat


Berry, M.L. 1998. Psychology at Work: an Introduction to Industri and Organizational
Psychology. McGraw-Hill Book Co. Boston.

Jewell & Siegall. 1998. Contemporary Industrial/Organizational Psychology. Dialih Bahasakan oleh
Danuyasa. Psikologi Industri/Organisasi Modern; Psikologi Terapan untuk Mememecahkan
Berbagai masalah di tempat Kerja, Perusahaan, Industri, dan Organisasi.

Kreitner & Kinicki. 2004. Organizational Behavior. 6-th ed. Mc. Graw-Hill Companies, Inc.

Luthans, F. 1992. Organizational Behavior. 6-th ed. Mc. Graw-Hill International Book Co-Singapore.

Hick, Herbert G dan Gullet GR (1996), Organisasi Teori dan Tingka Laku. Jakarta, Bumi Aksara

Munandar, A. S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI Press.

Indrawijaya, Adam (2000), Perilaku Organisasi. Bandung, Sinar Baru Algesindo

Robbins, Stephen P (1994), Teori Organisasi Struktur, Desain & Aplikasi. Jakarta, Arcen

Syarief, Miftah (2000), Desentralisasi Pendidikan dan Otonomi Daerah, Jakarta, Sekretariat Jenderal
Depdiknas

Thoha, Miftah (1998), Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta, PT.Raja Grafindo
Persada

Tilaar (1999), Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung, PT.Remaja Rosda Karya

Winardi (1992), Manajemen Perilaku Organisasi. Bandung, PT.Citra Aditya Bakti


BUDAYA ORGANISASI DAN PRODUKTIVITAS KERJA
Berbicara tentang budaya organisasi, biasanya yang dimaksud adalah adanya persepsi yang sama di
kalangan seluruh anggota oeganisasi tentang makna hakiki kehidupan bersama. Pengertian sederhana
tersebut sesungguhnya berarti, bahwa dalam lingkungan suatu organisasi mutlak diperlukan pemahaman
yang tepat tentang cara-cara bertindak dan berperilaku yang akseptabel bagi organisasi (the way things
are done in this organization). Implikasinya yang sangat mendasar adalah, bahwa kehadiran dan
keberadaan seseorang sebagai anggota organisasi hanya akan diterima oleh berbagai pihak lain, seperti
atasan langsung, manajemen termasuk manajemen puncak--, dan rekan-rekan setingkat apabila yang
bersangkutan mau, mampu, dan bersedia melakukan berbagai jenis penyesuaian dalam tindakan dan
perilakunya sehingga mencerminkan penerimaannya tentang budaya organisasi.

1. Budaya Nasional sebagai Salah Satu Sumber Budaya Organisasi


Dapat dinyatakan secara aksiomatik, Bahwa organisasi tidak bergerak dalam suasana hampa udara
atau vakum; juga tidak dalam arti budaya organisasi. Dengan kata lain, budaya nasioanal merupakan
salah satu sumber utama dalam penciptaan dan pemeliharaan budaya organisasi.
Hanya dengan demikianlah keberadaan suatu organisasi dapat dipertahankan. Berarti, setiap organisasi
harus melakukan penyesuaian sehingga budaya Internal organisasi seirama dengan budaya yang
berlaku secara umum di masyarakat luas; bahkan, juga budaya yang berskala nasional..

Berbagai Elemen Budaya Nasional


Dalam literatur tentang budaya organisasi yang dikaitkan dengan sumbernya, yaitu budaya nasional,
sering diberikan berbagai contoh sebagai pembuktian bahwa karena pengaruh budaya nasional, berbagai
segi kehidupan dan penghidupan organisasional dan orang-orang di dalamnya menunjukkan perbedaan
satu sama lain. Perbedaaan-perbedaan itulah yang menyebabkan pakar pakar mengatakan bahwa,
manajemen di berbagai negara pada umumnya sama, kecuali dalam hal-hal yang sifatnya
mendasar.Yang menimbulkan perbedaan mendasar itu adalah budaya nasional.

1. Kerangka Berpikir Menurut Kluckhon dan Strodtbeck


Kerangka berpikir yang dikemukakan oleh dua pakar tersebut merupakan acuan yang paling populer
untuk memahami perbedaan-perbedaan budaya secara nasional yang pada gilirannya mengejawantah
dalam budaya organisasi. Kedua pakar tersebut mengidentifikasikan enam dimensi budaya, ynag
menurut mereka perlu dipahami dalam menciptakan, memelihara, dan melestarikan budaya organisasi,
yaitu:

a. Hubungan dengan lingkungan


Hubungan dengan lingkungan. Menurut teori ini, terdapat tiga jenis hubungan dengan lingkungan. Ada
masayarakat yang pandanganya tentang hubungan manusia dengan lingkungan bersifat takluk kepada
lingkungan.

Dalam masyarakat sepert itu, kehidupan dan penghidupan manusia didasarkan pada pandangan
predeterminisme yang berarti bahwa apa pun yang terjadi dalam kehidupan seseorang, suatu kekuatan
supranaturallah yang menentukannya. Yang dimaksud dengan kekuatan supranatural adalah kekuatan
yang diluar akal manusia untuk menjangkaunya. Dalam lingkungan masyarakat demikian, lokus
pegendalian nasib manusia berada di luar diri orang yang bersangkutan. Dnegan kata lain, external
locus of control.
Apapun pandangan masyarakat tentang hubungan dengan lingkungan, yang jelas ialah bahwa
pandangan tersebut menampakkan diri pada budaya nasional yang pada gilirannya mengemuka dalam
penciptaan dan pemeliharaan budaya organisasi.

b. Organisasi waktu
Menurut teori ini, orientasi waktu adalah masa depan, masa kini, dan masa lalu, masing-masing orientasi
mempunyai implikasi pada budaya yang diberlakukan dalam organisasi. Misalnya, jika orientasi waktu
yang dianut secara luas di masyarakat dan diterapkan dalam organisasi adalah orientasi masa depan,
berbagai manifestasinya antara lain adalah kesediaan mengambil reisko, kebiasaan menyusun dan
menetapkan rencana jangka panjang, serta melihat perubahan sebagai suatu hal ynag alamiah dan pasti
terjadi. Jika orientasi waktu yang dianut adlaah masa kini, maka perilaku yang mengemuka dalam
organisasi antara lain :
a. Kebiasaan untuk memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, karena waktu dipandang sebagai
komoditas yang sangat berharga dan tidak mungkin diperbarui-terungkap misalnya dalam pemeo waktu
adalah uang.
b. Pentingnya merencanakan kegiatan sehari-hari dan dicatat dengan teliti dalam buku kerja
c. Memenuhi janji dnegan orang atau pihak lain sesuai dengan waktu ynag telah disepakati bersama.
d. Melakukan penilaian kinerja dengan kurun waktu yang relatif singkat.
e. Hidup dengan pendekatan dari ke haari

c. Sifat dasar manusia


Selalu menarik untuk dipertanyakan, apakanh manusia pada dasarnya baik, buruk ataucampurandari
keduanya yang mempunyai ratifikasi dalam kehidupan berorganisasi, terutama pemilihan dan
penggunaan gaya kepemimpinan yang dianggap manusia sebagai makhluk yang pada dasarnya
baikArtinya manusia pada dasarnya jujur dan karena itu dapat dipercaya.
Merupakan kenyataan pula bahwa ada masyarakat yang pandangannya tentang sifat dasar manusia
merupakan galungan antara sifat baik dan sifat buruk. Jika pandangan demikian dominan dan
diterapkan dalam organisasi, gaya manajerial yang dianggap tepat ialah, seorang manajer akan
menggunakan gaya yang demokratik atau partisipatif, atau mungkin juga gaya maternalistik; tetapi
dengan menekankan pentingnya pengawasan dan pengendalian .

d. Orientasi kegiatan manusia


Bahan acuan tentang hal ini menunjukkan bahwa sebagai budaya nasional, orientasi kegiatan manusia
dibagi menjadi tiga jenis, yaitu orientasi berbuat, orientasi mempertahankan eksistensi, dan orientasi
mengendalikan. Jika orientasi berbuat yang dianut, penekanan pada keberhasilan akan menonjol.
Bekerja keras dan mendambakan promosi dalam jabatan adalah manifestasi penting. Jika
orientasimempertahankan eksistansi yang dianut, mencari kenikmatan hari inilah yang tampak di
permukaan.

e. Fokus tanggung jawab


Yang dimaksud di sini adalah letak tanggung jawab dalam meningkatkan kesejahteraan orang lain
dengan tiga kategori yaitu individualisme kelompok, dan hierarkial. Ada masyarakat yang mengagumkan
individualisme (kategori pertama), dalam arti, bahwa tanggung jawab seseorang, terlebih dahulu dan
terutama, adalah untuk diri sendiri dan kemudian bagi seorang suami, misalnya berupa tanggung jawab
meningkatkan kesejahteraan anggota keluarga; dalam arti, hanya terbatas pada istri dan anak-anaknya.
Situasi demikian terdapat dalam masyarakat dengan sistem keluarga nukleus(nucleus family system).

f. Konsepsi tentang ruang


Mengenai pemilikan ruang terdapat dua pasangan, yaitu bahwa seseorang berhak atas ruang tertentu di
mana kesendiriannya (privacy) terjamin, sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa ruang itu milik
bersama dan karenanya sebaiknya terbuka. Perwujudan pandangan pertama dalam organisasi, misalnya
terlihat pada kecenderungan orang bekerja di suatu kamar sendirian atau bekerja bersama-sama orang
lain di ruang yang besar dan luas. Maka, jika seseorang berkunjung ke suatu kantor dan menemukan
banyak ruang kerja berukuran kecil yang hanya dihuni oleh seorang saja, kiranya tidak salah apabila
ditarik kesimpulan, bahwa konsepsi ruang di kantor tersebut adalahkepemilikan pribadi.

2. Kerangka Berpikir Hofstede


Individualisme Versus Kolektivisme. Dimensi ini mirip dengan pandangan Kluckhon dan Strodtbeck yang
telah disinggung di muka, yaitu bahwa letak tanggung jawab seseorang dalam meningkatkan
kesejahteraan bisa pada individu; tetapi bisa juga pada kelompok. Pandangan individualisme ini
mengatakan, bahwa dalam masyarakat yang ikatan keluarganya ketat, letak tanggung jawab berada
pada orang perorang dan para anggota keluarga nukleusnya, yaitu diri sendiri dan istri/suami serta anak-
anakya.
Jarak Kekuasaan (Power Distance), Inti pandangan ini adalah, bahwa sebagai elemen budaya nasional,
jarak kekuasaan berarti masyarakat menerima kenyataan dan mengakui bahwa dalam masyarakat,
kekuasaan antara manusia, anatara lembaga, dan antara organisasi tidak dibagi rata. Dengan kata lain,
dalam masyarakat dimana jarak kekuasaan besar, warga masyarakat menerima keberadaan orang, atau
lembaga, atau organisasi, dengan kekuasaan yang besar.
Pengelakan Pengambilan Risiko. Seperti yang telah disinggung sebelumnya di depan, bahwa
sesungguhnya satu-satunya kepastian di dunia adalah ketidakpastian, dan satu-satunya hal yang
konstan di dunia adalah perubahan.
Kuantitas Versus Kualitas Hidup. Seperti halnya dengan individualisme versus kolektivisme,pandangan
ini pun merupakan suatau dikotomi. Artinya, ada masyarakat yang mementingkan kuantitas hidup.
Berbagai perwujudan kuantitas hidup sebagai budaya antara lain ialah, menggunakan keberhasilan
seseorang mengumpulkan harta dan hal-hal yang bersifat materi sebagai tolok ukur utama.

Para pakar mengidentifikasikan tujuh esensi dimaksud adalah :


a. Sampai sejauh mana manajemen akan mendorong para karyawannya untuk bekerja secara inovatif
dan berani mengambil risiko. Dengan kata lain, apakah budaya organisasi mendorong atau meredam
kreatifitas para anggotanya, atau tidak.
b. Budaya organisasi juga harus memberi petunjuk, apakah para karyawan diharapkan bekerja dengan
tingkat ketelitian yang tinggi, melakukan analisis, serta memperhatikan hal-hal yang detail, ataukah
dibenarkan bekerja dengan hasil yang sekadar memenuhi persyaratan minimal.
c. Dalam budaya organisasi harus mencerminkan pandangan manajemen tentang apakah para karyawan
diharapkan lebih mementingkan orientasi hasil, atau mendahulukan ketaatan kepada proses dan
prosedur kerja.
d. Budaya organisasi harus mencerminkan padangan manajemen tentang pentingnya sumber daya
manusia sebagai elemen yang paling strategik.
e. Budaya organisasi seyogianya memberikan penekanan yang kuat tentang pentinya kerja sama dan
kemampuan bekerja dalam tim dan tidak menonjolkankehebatan individual, meskipun tentunya
kemampuan individual tetap harus diperhitungkan.
f. Perilaku yang bagaimana harus ditampilkan oleh para anggota organisasi, yang agresif dan kompetetif
atau santai, perlu penekanan yang tepat..
g. Orientasi yang dominan dalam organisasi, apakah orientasi mempertahankan status quo atau
organisasi pertumbuhan, harus dinyatakan secara jelas dalam rumusan budaya organisasi.

Lima fungsi budaya organisasi yang menonjol dan penting untuk diaktualisasikan adalah sebagai berikut :
a. Penentu batas-batas berperilaku. Budaya organisasi berperan dalam menentukan perilaku yang
seyogianya ditampilkan, dan perilaku yang harus diletakkan.
b. Menumbuhkan kesadaran tentang identitas sebagai anggota organisasi. Budaya organisasi menuntut
agar para anggotanya merasa bangga mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi.
c. Penumbuhan komitmen. Sebagai konsekuensi logis dari rasa memiliki organisasi, para anggota
organisasi akan bersedia membuat komitmen termasuk memberikan pengorbanan sedemikian rupa,
sehingga mereka mereka ikhlas bekerja demi keberhasilan organisasi.
d. Pemeliharaan stabilitas organisasional. Kiranya mudah untuk memahami, bahwa keberhasilan akan
lebih mudah diraih; masalah lebih mudah terpecahkan, dan iklim kerja sama dapat dipeliahara apabila
terdapat suasana stabil dalam organisasi.
e. Mekanisme pengawsan. Pengawasan merupakan salah satu fungsi organik manajemen. Berarti ketat
atau longgar, pengawasan harus dilaksanakan. Asumsi mendasar dalam hal ini adalah, bahwa jika
budaya organisasi dihayati dan dilaksanakan oleh para anggota organisasi, budaya tersebut juga
berfungsi sebagai instrumen pengawasan sehingga pengawasan sebagai fungsi manajemen tidak
memainkan peranan yang dominan.

Tipe yang pertama adalah tipe akademi. Istilah akademi digunakan di sini untuk menggambarkan
tuntutan kehidupan dalam lembaga pendidkan tinggi. Tipe akademi berarti bahwa dalam organisasi, para
anggotanya diharapkan atau bahkan dituntut untuk menampilkan prestasi yang semaksimal mungkin;
yang berarti antara lain pengerahan segala jenis kemampuan, pengetahuan, keterampilan, dan bakat
yang dimiliki.

Tipe yang kedua adalah klub. Seperti dimaklumi, suatu klub terdiri dari orang-orang yang mempunyai
kepentingan, minat, dan hobi yang sama

Tipe yang ketiga adalah tim olah raga. Para penggemar olahraga beregu, seperti sepak bola, pasti
mengetahui bahwa suatu tim olahraga biasanya lebih besar kemungkinan menang atas lawan-lawannya
bila para anggota tim mampu bekerja sebagai anggota dan tidak menonjolkan kemampuan pribadinya.
Tipe keempat adalah benteng. Ciri penghuni suatu benteng adalah mempertahankan diri terhadap
kemungkinan serangan dari luar.

Penciptaan budaya organisasi merupakan suatu proses. Artinya tidak serta merta terbentu meskipun
sejak semula pendirinya telah meletakkan fondasi budaya yang mungkin didasarkan pada filsafat
hidupnya, pengalamannya, dan hasil-hasil yang pernah diraih dengan menggunakan budaya
serupa.orang-orang yang kemudian bergabung dengan organisasi.

Empat instrument yang lumrah digunakan dalam pelestarian budaya organisasi adalah penyebarluasan
cerita tentang organiasasi, ritus yang biasanya terjadi, simbol-simbol materi yang digunakan. Dan
bahasa. Cerita-cerita tentang organisasi, terutama tentang keberhasilannya di masa lalu, diharapkan
menggugah perasaan bangga dalam diri. Para karyawan sehingga mereka akan mengatakan bahwa jika
dengan budaya seperti itu perusahaan berhasil meraih kemajuan.

Pemenuhan kebutuhan karyawan akan berbagai simbol adalah instrumen ketiga. Seorang manajer
mendapat kendaraan dinas pribadi dengan pengemudinya, ruang kerja yang luas dengan perabot dan
perlengkapan yang mewah, tempat parkir khusus di pelataran parkir, menggunakan lift khusus, makan
siang atas biaya perusahaan, dan semacamnya, tidak hanya bermanfaat dalam pelestarian budaya
organisasi, akan tetapi seksligus sebagai faktor motivasional yang mendorong para anggota organisasi
menampilkan kinerja yang makin memuaskan.
PRODUKTIVITAS ORGANISASI
I. Pengertian
Produktivitas adalah sebagai hasil yang didapat dari produksi yang
menggunakan satu atau lebih faktor produksi, produktivitas biasanya dihitung sebagai
indeks dan rasio antara output dengan input.
Pengertian produktivitas, antara lain:
1. Produktivitas secara terpadu melibatkan semua usaha manusia dengan produktivitas
mengandung pengertian sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa
kehidupan hari ini harus lebih baik dari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.
2. Produksi dan produktivitas merupakan dua pengertian yang berbeda. Peningkatan
produksimenunjukkan pertambahan jumlah hasil yang dicapai, sedangkan peningkatan
produktivitas mengandung pengertian pertambahan hasil dan perbaikan cara produksi.
Peningkatan produksi tidak selalu disebabkan oleh peningkatan produktivitas, karena
produksi dapat meningkat walaupun produktivitas tetap atau menurun.
3. Peningkatan produktivitas dapat dilihat dalam tiga bentuk :
a. Jumlah keluaran (output) dalam mencapai tujuan meningkat dengan menggunakan
sumber daya (input) yang sama.
b. Jumlah keluaran (output) dalam mencapai tujuan sama atau meningkat dicapai dengan
menggunakan sumber daya (input) yang lebih sedikit.
c. Jumlah keluaran (output) dalam mencapai tujuan yang jauh lebih besar diperoleh
dengan pertambahan sumber daya (input) yang relatif lebih kecil.
4. Sumber daya manusia memegang peranan yang utama dalam proses peningkatan
produktivitas, karena alat produksi dan teknologi pada hakekatnya merupakan hasil
karya manusia.
Produktivitas adalah keluaran (output) produk atau jasa per setiap masukan
(input) sumber daya yang digunakan dalam suatu proses produksi. Tingkat ukur
produktivitas sangat beragam bergantung kepada kepentingan yang terkait.
Produktivitas dapat dinyatakan dalam ukuran fisik (physical productivity) dan ukuran
finansial (financial productivity) apabila kepentingan tersebut adalah keuntungan.
Produktivitas dapat menggunakan ukuran moneter sebagai tolak ukur. Apabila waktu
menjadi kepentingan manajemen produktivitas maka dapat menggunakan ukuran
moneter sebagai tolak ukurnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manajemen produktivitas adalah bagaimana
cara mengelola suatu usaha supaya lebih efisien dalam penggunaan input untuk
memaksimalkan produksioutput (barang dan/atau jasa), secara terpadu melibatkan
semua usaha manusia dengan menggunakan ketrampilan, modal, teknologi,
manajemen, informasi, energi, dan sumber-sumber daya lainnya, dengan tujuan untuk
mencapai hasil yang telah ditetapkan.
Manajemen produktivitas merupakan salah satu sasaran penting suatu organisasi atau
perusahaan / lembaga. Hal ini disebabkan karena manajemen produktivitas dapat
menunjang kesuksesan dan keberhasilan suatu perusahaan / pemberi jasa untuk
mencapai tujuan akhir yang telah ditentukan.

II. Manajemen Produktivitas.


Tujuan dari manajemen produktivitas adalah efektif dan efisiensi, yaitu
memberdayakan sumberdaya seminimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang
maksimal. Efektivitas adalah merupakan derajat pencapaian output dari sistem
produksi. Efisiensi adalah ukuran yang menunjuk sejauh mana sumber-sumber daya
digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan output ). Jika efektivitas
berorientasi pada hasil atau keluaran (output) yang lebih baik, dan efisiensi berorientasi
pada masukan (input) yang lebih sedikit, maka dalam manajemen produktivitas
berorientasi pada keduanya.

III. LANGKAH-LANGKAH PENINGKATAN PRODUKTIVITAS


Tahapan peningkatan produktivitas yang komprehensif dan terintegrasi :
1. Analisa situasi.
Langkah awal manajemen produktivitas harus mampu menganalisa situasi sebelum
mengambil keputusan ataupun mengambil tindakan yang akan ditetapkan . Contoh :
Pada sebuah RS, kunjungan pasien lagi menurun drastis dari biasanya, maka tidak
perlu menambah tenaga kerja / perawat baru.
2. Merancang program peningkatan produktivitas.
Untuk peningkatan produktivitas maka dibutuhkan pula dasar program dengan
rancangan yang tepat, efektif dan efisien. Contoh : Untuk menambah kunjungan pasien
rawat jalan disebuah RS, maka bisa dilakukan langkah-langkah promosi, baik dilakukan
melalui media iklan, maupun bisa langsung melaksanakan program pemeriksaan gula
darah gratis, khitanan gratis dan lain sebagainya.
3. Menciptakan kesadaran akan produktivitas.
Kesadaran dari semua pihak yang terlibat dalam sebuah perusahaan / lembaga,
merupakan kunci penting untuk peningkatan produktivitas seperti yang diharapkan.
Contoh : Karyawan mematikan alat-alat listrik yang tidak sedang digunakan, untuk
menghemat energi dengan tujuan menghemat pengeluaran biaya.
4. Menerapkan Program
Untuk meningkatkan produktivitas program sudah disusun dan diputuskan, maka harus
diimplementasikan dalam pelaksanaannya untuk mencapai tujuan akhir. Contoh :
Program peningkatan keterampilan SDM dengan cara mengadakan berbagai pelatihan
seperti tehnik infus bayi dan lain sebagainya, dengan tujuan untuk peningkatan
produktivitas.
5. Mengevaluasi program dan memberikan umpan balik
Untuk menilai hasil akhir maka perlu dilakukan evaluasi program dengan memberikan
umpan balik. Contoh : Mengevaluasi hasil dari pelatihan tehnik infus bayi, apakah
perawat tersebut lebih profesional setelah mengikuti pelatihan tersebut?
IV. Tujuh Kunci Produktivitas Tinggi.
1. Keahlian, manajemen yang bertanggungjawab.
Ikatan kritis antara manajemen perusahaan dengan produktivitas adalah saksi dalam
definisi dasar produktivitas itu sendiri. Pada dasarnya, produktivitas adalah rasio antara
keluaran (output ) dan masukan ( input ) yang bernilai, misalnya efisiensi dan efektivitas
sumber- sumber daya yang tersedia, yaitu kepegawaian, alat, bahan, modal, fasilitas,
energi dan waktu untuk mencapai keluaran yang sangat bernilai. Untuk mencapai
produktivitas tinggi, setiap anggota manajemen harus diberi motivasi tinggi, positif dan
secara penuh ikut melakukan pekerjaan. Secara bersama- sama, kesamaan sikap
relative diperlukan untuk seluruh kekuatan kerja.
2. Kepemimpinan yang luar biasa.
Dari semua factor, kepemimpinan manajerial memiliki pengaruh terbesar dalam
produktivitas. Akhirnya, tujuan setiap organisasi bergantung pada kualitas
kepemimpinan. Meskipun mudah dikenal, kepemimpinan sangat sulit didefinnisikan.
Tidak ada dua gaya kepemimpinan yang sama setiap gaya adalah unik bagi setiap
individu, dan memang seharusnya demikian. Lebih lanjut, pemimpin yang baik dalam
satu situasi mungkin saja bukan pemimpin yang baik dalam situasi yang lain. Demikian
juga jenis pemimpin yang dibutuhkan secara khusus bergantung pada kelompok yang
dipimpinnya. Meskipun demikian, kelompok yang sama masih dapat memerlukan jenis
kepemimpinan lain pada saat berlainan dalam evolusinya. Sebagian manjer memiliki
beberapa kemampuan kepemimpinan, tetapi hanya sedikit yang merupakan pemimpin
luar biasa.
3. Kesederhanaan Organisasional Dan Operasional.
Susunan organisasi harus diusahakan agar sederhana, luwes dan dapat disesuaikan
dengan perubahan, selalu berusaha mengadakan jumlah tingkat minimum yang
konsisten dengan operasi yang efektif. Hal ini memberikan garis pengarahan lebih jelas,
juga tanggung jawab yang kurang terpecah-belah dan sangat menunjang pengambilan
inisiatif lebih besar oleh siapa saja dalam organisasi.
4. Kepegawaian yang efektif.
Sebagai langkah awal, banyak perhatian dicurahkan pada pemilihan orang
menekankan pada mutu dan bukan kuantitas. Menambah lebih banyak pegawai belum
tentu berarti meningkatkan produktivitas. Dan sebelum mempekerjakan orang baru,
seharusnya dipastikan dahulu bahwa yang ada sekarang sudah berkinerja menurut
kemampuan. Standar untuk manajer dan personalia kunci khususnya harus tinggi. Jika
kedudukan ini dipegang oleh orang yang kompeten, orang kompeten lain akan tertarik
masuk ke dalam organisasi

5. Tugas yang menantang.


Tugas merupakan kunci untuk proses yang kreatif dan produktif. Setiap individu
mempunyai suatu suasana khusus kegiatan kreatif dan produktif yang tinggi. Akan
tetapi, orang yang tepat harus disesuaikan dengan masalah yang tepat baginya.
Pekerjaan itu sendiri harus memberikan motivasi. Hal ini terutama menjadi kunci ke
proses yang kreatif/inovatif. Panduan optimal dari pekerjaan dan lingkungan kerja
menciptakan suatu getaran dalam diri seseorang; kerja seakan- akan menjadi bermain
saja. Sebaliknya, jika pekerjaan seseorang tidak memberi kepuasan kepadanya, ia
seringkali akan mengalihkan perhatian dan energinya ke usaha pribadi di luar
organisasi. Menurut definisi, jangan sekali- kali memberikan suatu tugas kepada orang
yang mempunyai keterampilan yang dipersyaratkan; berikan tugas itu kepada orang
yang menginginkannya dan senang melakukannya; dan jangan sekali- kali memberikan
tugas, yang dalam keadaan lain, kita sendiri tidak akan mau menerima.
6. Perencanaan dan pengendalian tujuan
Perencanaan yang tidak efektif menyebabkan kebocoran besar dalam produktivitas,
misalnya orang yang tidak tahu apa yang diharapkan dari mereka, tugas yang tidak
satu fasa dengan tugas lain, kegiatan peripheral, pelaksanaan di atas atau di bawah
kinerja, dan operasi yang sebesar- besarnya berhenti dan mulai lagi. Sebaliknya,
perencanaan yang efektif meningkatkan produktivitas operasional, yaitu membantu
memastikan penggunaan sumberdaya dengan sebaik- baiknya, memadukan semua
aspek program ke dalam sesuatu yang efisien, upaya yang tepat, meminimalkan
permulaan yang salah dan pelaksanaan usaha yang tidak produktif , menyediakan
kelonggaran untuk risiko dan keadaan darurat pada masa depan dan meniadakan krisis
manajemen yang berkelanjutan. Dengan cara yang sama, menjadi sangat penting
untuk memantapkan system pengendalian yang efektif yang mengukur kemajuan
terhadap rencana, menemukan penyimpanagn, menetapkan tanggungjawab,
menunjukkan tindakan perbaikan dan memastikan bahwa kinerja yang tidak memenuhi
standar ditingkatkan.
7. Pelatihan Manajerial Khusus.
Manajemen jelas menjadi faktor utama bagi produktivitas organisasi manapun,
menjadi sangat penting bahwa organisasi berusaha mengembangkan suatu komitmen
terhadap produktivitas dalam seluruh tim manajemennya, dan memberikan kepada
anggota tim tersebut saran yang berguna untuk menerapkan usaha peningkatan
produktivitas yang efektif dalam seluruh organisasi.
Hubungan Produktivitas Dan Mutu Produk Yang Dihasilkan Sistem Atau SDM
Tiap perusahaan/ lembaga/institusi akan mengukur produktivitas dan mutu
berdasarkan keunikan tujuan dan sasarannya. Sebagai contoh, suatu perusahaan akan
lebih fokus pada upaya-upaya pengembangan pangsa pasar sementara yang lain
mungkin fokus pada pengurangan derajad kerusakan produk barang/jasa. Selain itu,
mungkin ada pula yang akan memperbaiki dalam hal cara produksi, sedang yang lain
fokus pada mengembangkan pemasaran hasil. Karena itu diperlukan diagnosis
permasalahan.
Untuk merancang suatu program perbaikan efektivitas keorganisasian sebuah
institusi atau perusahaan, pertama kali harus menentukan sesuatu yang terjadi secara
faktual apakah dalam hal produktivitas atau mutu produk(barang/jasa). Misalnya
mungkin saja sebuah Rumah Sakit sedang mengalami penurunan pasien, yang
menyebabkan penurunan keuntungan karena sedang menghadapi resesi ekonomi atau
mungkin dengan sebab-sebab lain. Ukuran dari kriteria kunci suatu mutu adalah syarat
pokok untuk menilai suatu proses perbaikan. Intervensi produktivitas atau mutu
seharusnya tidak diinisiasi tanpa adanya kriteria kunci ukuran yang handal dan absah.
Banyak faktor yang menentukan produktivitas dan mutu produk yang rendah.
Faktor-faktor tersebut antara lain peralatan yang kuno, beban kerja yang tidak dapat
diprediksi, arus kerja yang tidak efisien, rancangan pekerjaan tidak tepat, dan jarangnya
kegiatan pelatihan dan pengembangan. Disamping itu adalah faktor-faktor intrinsik
karyawan itu sendiri seperti tingkat pengetahuan, sikap,ketrampilan dan kemampuan
serta motivasi. Semuanya dapat menyebabkan biaya produksi menjadi mahal.
Kebanyakan strategi intervensi program perbaikan mengasumsikan bahwa
faktor-faktor penyebab utama produktivitas dan mutu adalah kemampuan dan motivasi
karyawan. Namun dari pengamatan di berbagai perusahaan /institusi, sekitar 80-85%
dari masalah produktivitas dalam perusahaan /institusi adalah lebih karena faktor-faktor
sistem daripada faktor manusia. Misalnya, ketidakberhasilan penerapan gugus kendali
manajemen sangat ditentukan oleh kesalahan manajemen, dan pemeliharaan perlatan
untuk pelaksanaan produksi yang kurang. Implikasinya adalah perbaikan produktivitas
dan mutu lebih banyak didasarkan pada sistemnya itu sendiri; tidak selalu dari unsur
manusianya.
Namun demikian bukan berarti pula bahwa unsur manusia tidak menentukan
produktivitas dan mutu produk. Sebagai pelaku produksi tentunya langsung dan tidak
langsung dapat mempengaruhi produktivitas dan mutu. Perdebatan masih tetap
berlangsung tentang faktor mana yang paling dominan, apakah sistem atau manusia.
Karena itu kalau akan melakukan perbaikan produktivitas dan mutu, manajer harus
melakukan analisis dan pendekatan masalah yang spesifik di perusahaan atau institusi
tersebut.
Kepemimpinan Produktif
Pemimpin yang dapat membawa kemajuan terhadap suatu organisasi adalah
impian semua orang. Kepemimpinan yang dijalankan mampu mewujudkan produktivitas
dan efektivitas organisasi. Juga, menciptakan kesejahteraan buat para anggota.
Faktanya, masih banyak terjadi dalam suatu organisasi, seorang pemimpin belum
mampu menciptakan produktivitas dan efektivitas yang diinginkan. Organisasi
mengalami kemunduran yang ditandai dengan: rendahnya partisipasi dan etos kerja,
serta rasa tidak nyaman yang dialami anggota dalam melakukan fungsi dan perannya
kami melihat, kepemimpinan yang diterapkan dalam organisasi dilihat dari pola
hubungan (relationship) antar anggota organisasi, yaitu cara bagaimana antara setiap
bagian yang ada dalam organisasi itu saling merasakan keberadaan satu sama lain dan
berperilaku/bertindak terhadap satu sama lain ternyata belum sepenuhnya
memperhatikan nilai-nilai psikologis yang bersifat universal. Dan factor ini mempunyai
kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu organisasi.
Menilik kata kepemimpinan, dalam Bahasa Inggris
disebut management atau leadership. Jelasnya, kata ini dalam kamus Longman
Dictionary of Contemporary Englishdigambarkan sebagai: The quality of being good at
leading a group, organization, country etc. Maknanya, leadership merupakan
kemampuan yg dimiliki seseorang, seberapa baik dia mengorganisasikan kelompok
atau organisasi. Dengan kata lain, seorang pemimpin harus punya kemampuan dalam
hal merencanakan, mengorganisasikan, mengontrol, dan mengevaluasi suatu
organisasi yang dipimpinnya.
Organisasi, dimaknai sebagai kumpulan yg dibentuk guna mencapai suatu
tujuan tertentu. Arti lain, organisasi merupakan perencanaan yang tersusun sehingga
menjadi efektif. Selain itu, organisasi didefinisikan sebagai bagian-bagian berbeda yg
dibentuk dalam suatu sistem, sehingga bagian-bagian itu mampu bekerjasama atau
bersinergi (Longman Dictionary of Contemporary English). Intinya, ada empat variabel
yang dapat diukur untuk mengenali suatu organisasi, yaitu: merupakan kumpulan dari
bagian-bagian, komponen yang membentuk organisasi itu punya tugas & peran yang
berbeda, komponen-komponen tersebut mampu bersinergi satu sama lain, serta
organisasi itu punya tujuan.
Dalam aplikasinya, kita banyak menjumpai beraneka macam organisasi,
bahkan kita sendiri merupakan bagian dari organisasi itu, baik dalam lingkup yang
terkecil seperti rumah tangga, maupun lingkup yang lebih besar, seperti yayasan
bahkan negara.Dalam suatu organisasi, kepemimpinan yang diperagakan dapat dibagi
menjadi tiga kategori, yaitu: otoriter, demokratis, dan laissez-faire.
Pemimpin otoriter, rela melihat anak buahnya menjadi bergantung kepadanya.
Mereka tidak memberikan ruang sedikitpun kepada anggota organisasi untuk mandiri,
bergantung kepada kemmapuan diri sendiri. Pemimpin semacam ini mengawasi anak
buahnya secara ketat bahkan untuk hal-hal yang kecil sekalipun. Parahnya, pemimpin
jenis ini akan mengintervensi dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan
bawahannya. Produk kepemimpinan seperti ini adalah: bawahan menjadi terlalu
bergantung pada pemimpin atau anak buah menjadi pribadi yang sangat memberontak.
Tentu, bentuk pemberontakan yang ditunjukkan bisa berbeda-beda. Ada yang terang-
terangan dan juga ada yang hanya ditampilkan di belakang panggung utama. Sulit
rasanya, kreativitas yang merupakan cikal bakal produktivitas muncul dalam
kepemimpinan seperti ini.
Sebaliknya, pemimpin yang demokratis, memberikan iklim yang kondusif untuk
perkembangan yang lebih baik buat organisasi. Dia terbuka dan mau berkomunikasi
dua-arah dengan bawahan. Individu semacam ini fleksibel dalam bersikap & bertindak
terhadap anak buahnya. Dia tidak pernah memberi kesempatan secara bebas kepada
anak buah untuk berbuat apa saja yang diinginkan. Juga, tipe orang semacam ini tidak
pernah melarang bawahannya secara kaku bila anak buah ingin merealisasikan impian-
impiannya. Pemimpin ini cenderung mengembangkan hubungan yang dekat secara
emosional kepada bawahannya. Bukan hubungan yang sifatnya professional semata-
mata yang justeru cenderung kaku. Dia, menyadari betul bahwa fungsinya dalam
organisasi adalah sebagai fasilitator bukan diktator, ataupun, cuek dalam membawa
organisasi menuju target yang dicita-citakan.
Sementara, pemimpin yang menerapkan kepemimpinan laissez-faire memberi
kebebasan yang seluas-luasnya kepada anak buah untuk berbuat apa saja yang
diinginkan tanpa mempertimbangkan apakah keinginan itu membawa kemajuan
terhadap organisasi atau tidak. Akibatnya, anak buah yang terwadahi dalam
kepemimpinan seperti ini akan tidak tahu batasan-batasan perbuatan yang seharusnya
dilakukan atau yang seharusnya tidak dilakukan untuk kebaikan organisasi karena
pemimpin semacam ini tidak punya ketegasan terhadap anak buahnya.
Dalam implementasinya banyak pemimpin yang ingin memajukan organisasi,
tetapi disisi lain dia justeru bersikap dan berperilaku yang berkontribusi terhadap
kemunduran bahkan kehancuran organisasi. Thomas Gordon (1970), seorang psikolog
klinis dari USA yang memperkenalkan gaya kepemimpinan participative management,
pernah meneliti beberapa organisasi sekolah dan perusahaan. Dia mengemukakan
bahwa ciri-ciri sekolah yang bermasalah adalah: guru dianggap bawahan, guru tidak
dilibatkan dalam pembuatan keputusan, melempar kesalahan pada orang lain, dan
membebankan nilai-nilai keseragaman.
Keadaan serupa, pernah terjadi di tahun 1980-an, di Fermont California
Amerika Serikat, salah satu pabrik General Motors yang memproduksi mobil bermerek
Chevrolet, terindikasi mengalami berbagai permasalahan, diantaranya: cacat produksi
yang mencapai rata-rata 40 persen dari total produksi dan tingkat kehadiran karyawan
yang rata-rata tidak melebihi 80 persen.
Para eksekutif dalam pabrik tersebut, memutuskan untuk memberhentikan
sebagian besar karyawan dan menggantinya dengan mesin yang dianggap lebih
mendorong peningkatan produksi. Kejadian ini, menimbulkan perseteruan yang
memanas antara karyawan dengan pihak manajemen. Akhirnya, pabrik Fermont ditutup
dan 5000 karyawan berhenti dari pekerjaannya.Selang beberapa bulan, perusahaan
Toyota mengetahui peristiwa tersebut dan berinisiatif menghidupkan kembali pabrik di
Fermont itu. Kemudian, perusahaan mempekerjakan karyawan yang sempat dipecat
oleh General Motors dengan mempekerjakan separuh karyawan lama.
Pabrik akhirnya beroperasi, produksi mobil kembali dihasilkan dan meningkat
signifikan. Rata-rata cacat produksi dibawah 5 persen, sedangkan tingkat kehadiran
karyawan mencapai 98 persen, padahal di area pabrik, merokok dan mendengarkan
musik dilarang.Fenomena ini, mengejutkan petinggi perusahaan General Motors dan
akhirnya pabrik Fermont itu diselidiki. Ternyata, tidak ada mesin baru yang digunakan.
Malah umumnya, sudah lama dan lebih tua dari mesin-mesin yang ada di pabrik
General Motors. Setelah mencari informasi lebih lanjut, petinggi General Motors
menemukan bahwa yang membuat produksi mobil di pabrik Fermont meningkat itu
adalah karena pihak manajemen memberi kesempatan kepada karyawan untuk
berbicara dan memberi masukan terhadap kinerja perusahaan.
Secara umum, para pemimpin organisasi masih banyak yang menerapkan gaya
kepemimpinan otoriter. Mereka menganggap para bawahan seperti robot yang selalu
bisa di perintah sesuai dengan kemauan atasan. Mereka khawatir, memberi
kesempatan berbicara atau berpendapat kepada bawahan dianggap mengancam posisi
mereka, bahkan menghambat kemajuan suatu organisasi. Padahal, bawahan itu adalah
manusia yang mempunyai sisi psikologis yang tidak dimiliki robot atau mesin.
Kesimpulannya, apa pun jenis organisasi yang ada, seperti: rumah tangga,
sekolah, yayasan, perusahaan, dan lain sebagainya itu merupakan sarana yang
digunakan individu untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikologisnya. Sebab itu,
kepemimpinan yang diterapkan hendaknya memperhatikan dua komponen tersebut
yang ada dalam diri manusia. Menerapkan pendekatan psikologis dalam kepemimpinan
merupakan hal yang harus dilakukan jika suatu organisasi ingin produktif dan
efektif.Jika tidak, oragnisasi itu akan mudah ditinggalkan oleh para anggotanya. Untuk
dapat hidup saja, organisasi itu menjadi sulit apalagi produktif, efektif, dan inovatif.
Sejatinya, jika kita menginginkan organisasi negara kita menjadi produktif dan efektif,
kenapa tidak dimulai dari organisasi-organisasi yang lebih kecil terlebih dahulu?

IV. KESIMPULAN
1. Manajemen produktivitas adalah cara mengelola suatu usaha supaya lebih efisien dalam
penggunaan input untuk memaksimalkan produksioutput (barang atau jasa), secara terpadu melibatkan
semua usaha manusia dengan menggunakan ketrampilan, modal, teknologi, manajemen, informasi,
energi, dan sumber-sumber daya lainnya, dengan tujuan untuk mencapai hasil yang maksimal seperti
target yang telah ditetapkan sebelumnya. Jadi, apabila manajemennya baik, maka hasil yang didapatkan
juga baik, demikian juga sebaliknya.
2. Manajemen produktivitas mempunyai tujuan untuk mempemaksimalkan hasil produksi, baik barang
maupun jasa, dengan cara memberdayakan sumberdaya se-efisien (minimal) mungkin untuk
mendapatkan hasil yang se-efektif (maksimal) mungkin.
3. Dalam upaya peningkatan produktivitas, perlu diperhatikan langkah-langkah dalam meningkatkan
produktivitas dan kunci-kunci untuk produktivitas tinggi, agar bisa mendapatkan hasil yang maksimal.
4. Dalam manajemen produktivitas, sistem dan sumber daya manusia sangat mempengaruhi mutu produk
yang dihasilkan, apabila mutu sistem dan SDM nya sudah maksimal, maka akan mendapatkan mutu
produk yang maksimal pula.

anajemen Sumber Daya Manusia. Produktivitas merupakan nisbah atau rasio


antara hasil kegiatan (output, keluaran) dan segala pengorbanan (biaya) untuk
mewujudkan hasil tersebut (input, masukan) (Kussriyanto, 1984, p.1). Input bisa
mencakup biaya produksi (production cost) dan biaya peralatan (equipment cost).
Sedangkan output bisa terdiri dari penjualan (sales), earnings (pendapatan), market
share, dan kerusakan (defects) (Gomes,1995, p.157).
Produktivitas tenaga kerja adalah salah satu ukuran perusahaan dalam mencapai
tujuannya. Sumber daya manusia merupakan elemen yang paling strategik dalam
organisasi, harus diakui dan diterima oleh manajemen. Peningkatan produktivitas kerja
hanya mungkin dilakukan oleh manusia (Siagian, 2002, p.2). Oleh karena itu tenaga
kerja merupakan faktor penting dalam mengukur produktivitas. Hal ini disebabkan oleh
dua hal, antara lain; pertama, karena besarnya biaya yang dikorbankan untuk tenaga
kerja sebagai bagian dari biaya yang terbesar untuk pengadaan produk atau jasa;
kedua, karena masukan pada faktor-faktor lain seperti modal (Kussriyanto, 1993, p.1).
Menurut Anoraga dan Suyati, (1995, p.119-121) produktivitas mengandung pengertian
yang berkenaan dengan konsep ekonomis, filosofis dan sistem. Sebagai konsep
ekonomis, produktivitas berkenaan dengan usaha atau kegiatan manusia untuk
menghasilkan barang atau jasa yang berguna untuk pemenuhan kebutuhan manusia
dan masyarakat pada umumnya.
Sebagai konsep filosofis, produktivitas mengandung pandangan hidup dan sikap mental
yang selalu berusaha untuk meningkatkan mutu kehidupan dimana keadaan hari ini
harus lebih baik dari hari kemarin, dan mutu kehidupan hari esok harus lebih baik dari
hari ini. Hal inilah yang memberi dorongan untuk berusaha dan mengembangkan diri.
Sedangkan konsep sistem, memberikan pedoman pemikiran bahwa pencapaian suatu
tujuan harus ada kerja sama atau keterpaduan dari unsur-unsur yang relevan sebagai
sistem.
Dapat dikatakan bahwa produktivitas adalah perbandingan antara hasil dari suatu
pekerjaan karyawan dengan pengorbanan yang telah dikeluarkan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Sondang P. Siagian bahwa produktivitas adalah: Kemampuan memperoleh
manfaat yang sebesar-besarnya dari sarana dan prasarana yang tersedia dengan
menghasilkan output yang optimal bahkan kalau mungkin yang maksimal.
Banyak hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa produktivitas sangat dipengaruhi
oleh faktor: knowledge, skills, abilities, attitudes, dan behaviours dari para pekerja yang
ada di dalam organisasi sehingga banyak program perbaikan produktivitas meletakkan
hal-hal tersebut sebagai asumsi-asumsi dasarnya (Gomes, 1995, p.160).

Pengertian lain dari produktivitas adalah suatu konsep universal yang menciptakan
lebih banyak barang dan jasa bagi kehidupan manusia, dengan menggunakan sumber
daya yang serba terbatas (Tarwaka, Bakri, dan Sudiajeng, 2004, p.137).
Menurut Manuaba (1992) peningkatan produktivitas dapat dicapai dengan menekan
sekecil-kecilnya segala macam biaya termasuk dalam memanfaatkan sumber daya
manusia (do the right thing) dan meningkatkan keluaran sebesar-besarnya (do the thing
right). Dengan kata lain bahwa produktivitas merupakan pencerminan dari tingkat
efisiensi dan efektivitas kerja secara total (Tarwaka, Bakri, dan Sudiajeng, 2004, p.138).
Menurut Sinungan, (2003, p.12), secara umum produktivitas diartikan sebagai
hubungan antara hasil nyata maupun fisik (barang-barang atau jasa) dengan masuknya
yang sebenarnya. Produktivitas juga diartikan sebagai tingkatan efisiensi dalam
memproduksi barang-barang atau jasa-jasa. Produktivitas juga diartikan sebagai:
a. Perbandingan ukuran harga bagi masukan dan hasil

b. Perbedaan antara kumpulan jumlah pengeluaran dan masukan yang dinyatakan


dalam satuan-satuan (unit) umum.
Ukuran produktivitas yang paling terkenal berkaitan dengan tenaga kerja yang dapat
dihitung dengan membagi pengeluaran oleh jumlah yang digunakan atau jam-jam kerja
orang.

Pengukuran Produktivitas Tenaga Kerja

Pengukuran produktivitas tenaga kerja menurut system pemasukan fisik


perorangan/perorang atau per jam kerja orang diterima secara luas, namun dari sudut
pandangan/ pengawasan harian, pengukuran-pengukuran tersebut pada umumnya
tidak memuaskan, dikarenakan adanya variasi dalam jumlah yang diperlukan untuk
memproduksi satu unit produk yang berbeda. Oleh karena itu, digunakan metode
pengukuran waktu tenaga kerja (jam, hari atau tahun). Pengeluaran diubah ke dalam
unit-unit pekerja yang biasanya diartikan sebagai jumlah kerja yang dapat dilakukan
dalam satu jam oleh pekerja yang terpercaya yang bekerja menurut pelaksanaan
standar.
Karena hasil maupun masukan dapat dinyatakan dalam waktu, produktivitas tenaga
kerja dapat dinyatakan sebagai suatu indeks yang sangat sederhana = Hasil dalam jam-
jam yang standar : Masukan dalam jam-jam waktu.
Untuk mengukur suatu produktivitas perusahaan dapatlah digunakan dua jenis ukuran
jam kerja manusia, yakni jam-jam kerja yang harus dibayar dan jam-jam kerja yang
dipergunakan untuk bekerja. Jam kerja yang harus dibayar meliputi semua jam-jam
kerja yang harus dibayar, ditambah jam-jam yang tidak digunakan untuk bekerja namun
harus dibayar, liburan, cuti, libur karena sakit, tugas luar dan sisa lainnya. Jadi bagi
keperluan pengukuran umum produktivitas tenaga kerja kita memiliki unit-unit yang
diperlukan, yakni: kuantitas hasil dan kuantitas penggunaan masukan tenaga kerja
(Sinungan, 2003, p.24-25).

Menurut Wignjosoebroto, (2000, p.25), produktivitas secara umum akan dapat


diformulasikan sebagai berikut:
Produktivitas = Output/input(measurable)+ input (invisible).

Invisible input meliputi tingkat pengetahuan, kemampuan teknis, metodologi kerja dan
pengaturan organisasi, dan motivasi kerja.
Untuk mengukur produktivitas kerja dari tenaga kerja manusia, operator mesin,
misalnya, maka formulasi berikut bisa dipakai untuk maksud ini, yaitu:
Produktivitas = total keluaran yang dihasilkan

Tenaga Kerja jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan Di sini produktivitas dari tenaga
kerja ditunjukkan sebagai rasio dari jumlah keluaran yang dihasilkan per total tenaga
kerja yang jam manusia (man-hours), yaitu jam kerja yang dipakai untuk
menyelesaikan pekerjaan tersebut. Tenaga kerja yang dipekerjakan dapat terdiri dari
tenaga kerja langsung ataupun tidak langsung, akan tetapi biasanya

Teori Produktivitas Kerja


Share:

Teori Produktivitas Kerja. Secara umum yang dimaksud dengan produktivitas kerja
adalah perbandingan antara hasil yang dicapai (output) dengan keseluruhan sumber
daya yang digunakan (input). Konsep produktivitas dikembangkan untuk mengukur
besarnya kemampuan menghasilkan nilai tambah atas komponen masukan yang
digunakan (Cahyono, 1996: 281). Secara sederhana produktivitas yang dimaksud disini
adalah perbandingan ilmu hitung antara jumlah yang dihasilkan dan jumlah setiap
sumber yang digunakan selama kegiatan berlangsung.

Dewan Produktivitas Nasional Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia dalam


kaitannya dengan pengertian produktivitas tenaga kerja sebagai berikut:
Produksi dan produktivitas merupakan dua pengertian yang berbeda. Peningkatan
produksi menunjukkan pertambahan jumlah hasil yang dipakai, sedangkan peningkatan
produktivitas mengandung pengertian pertambahan dan perbaikan cara produksi.
Peningkatan produksi tidak selalu disebabkan oleh peningkatan produktivitas. Karena
produksi dapat meningkatkan walaupun produktivitasnya tetap ataupun menurun.
Pengertian produktivitas tersebut di atas menguraikan peningkatan produksi maupun
peningkatan produktivitas yang pada dasarnya menjadi peran utama adalah sumber
daya manusia dalam proses peningkatan produktivitas, karena alat produksi dan
teknologi pada hakekatnya merupakan hasil kerja manusia. Sehingga peningkatan
produktivitas dapat dilihat dalam 3 bentuk yaitu:

1. Jumlah produksi meningkat menggunakan sumber daya yang sama.


2. Jumlah produksi yang sama atau meningkat dicapai dengan menggunakan
sumber daya yang lebih sedikit.
3. Jumlah produksi yang jauh lebih besar diperoleh dengan pertambahan sumber
daya yang relatif lebih kecil.

Adapun pengertian produktivitas kerja menurut Nawawi (1990: 97) sebagai berikut:
Produktivitas kerja adalah perbandingan terbaik antara hasil yang diperoleh (output)
dengan jumlah sumber kerja yang digunakan (input). Produktivitas kerja dikatakan
tinggi jika hasil yang diperoleh lebih besar daripada sumber kerja yang digunakan.
Sebaliknya produktivitas kerja dikatakan rendah, jika hasil yang diperoleh lebih kecil
dari sumber kerja yang digunakan.

Dari pengertian produktivitas kerja di atas, produktivitas kerja mengandung pengertian


perbandingan antara hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja menekankan
pada hasil kerja dalam organisasi yang merupakan perwujudan tujuan-tujuannya,
sedangkan hasil kerja tersebut bisa bersifat material dan non material. Dengan
demikian produktivitas kerja digambarkan melalui tingkat keberhasilan dalam mencapai
tujuan organisasi.

Konsep produktivitas erat hubungannya dengan efisiensi dan efektivitas (Gomes, 2000).
Efektivitas dan efisiensi yang tinggi akan menghasilkan produktivitas yang tinggi. Dan
jika efektivitas dan efisiensi rendah, maka diasumsikan telah terjadi kesalahan
manajemen. Jika efektivitas tinggi tetapi efisiensi rendah dimungkinkan terjadi
pemborosan (biaya tinggi), sementara bila efisiensi tinggi namun efektivitas rendah,
berati tidak tercapai sasaran atau terjadinya penyimpangan dari target.

Pengukuran produktivitas menyangkut permasalahan yang kompleks dan interdisipliner.


Faktor-faktor mendasar yang mempengaruhi pencapaian produktivitas adalah oleh
posisi investasi, baik modal, teknologi, manajemen, serta keterampilan dari tenaga
kerja (Sinungan, 1997). Faktor manajemen meliputi cara dan proses menggerakkan
orang lain untuk tujuan tertentu. Sedang faktor keterampilan tenaga kerja menyangkut
kemampuan yang dimiliki oleh tenaga kerja, motivasi kerja, disiplin, etos kerja serta
hubungan antarpersonal.
Pengukuran produktivitas pendidikan dapat dilakukan dalam tiga cara, yaitu dilihat dari:
(1) dimensi keluaran administrasi, (2) dimensi keluaran perubahan perilaku; dan (3)
dimensi keluaran ekonomis. Pengukuran dari dimensi keluaran administrasi maksudnya
adalah dengan melihat seberapa baik pelayanan yang dapat diberikan oleh guru, kepala
sekolah maupun pihak lain yang berkepentingan. Dimensi keluaran administrasi bagi
guru dapat berupa produk proses belajar mengajar mulai dari persiapan pengajaran
hingga evaluasi pengajaran. Sedang pengukuran dimensi keluaran perubahan perilaku
dilakukan dengan melihat nilai-nilai yang diperoleh peserta didik sebagai gambaran dari
prestasi akademik yang telah dicapai. Dan pengukuran dari dimensi keluaran ekonomis
dilakukan dengan mengaitkan layanan pendidikan dengan aspek pembiayaan.

Timpe (1989) juga mengemukakan ciri-ciri seorang pegawai yang produktif


yaitu:Pertama, lebih dari memenuhi kualifikasi pekerjaan, artinya produktivitas tinggi
tidak mungkin tercapai jika kualifikasi pegawai rendah. Pengamatan yang khas adalah:
(1) cerdas dan dapat belajar dengan cepat; (2) kompeten secara profesional atau
teknis; (3) kreatif dan inovatif, (4) memahami pekerjaaan; (5) bekerja dengan cerdik,
menggunakan logika, mengorganisasi pekerjaan dengan efisien, selalu memperhatikan
kinerja rancangan, mutu, kehandalan, pemeliharaan, kemananan, pembiayaan, dan
penjadwalan; (5) selalu mencari perbaikan tetapi tahu kapan harus berhenti; (6)
dianggap bernilai oleh atasannya; (7) mempunyai catatan prestasi yang berhasil; dan
(8) selalu meningkatkan diri.

Kedua, bermotivasi tinggi, yang dalam hal ini pengamatan yang khas adalah: (1) dapat
memotivasi diri sendiri; (2) tekun; (3) mempuanyai kemauan keras untuk bekerja; (4)
bekerja efektif dengan atau tanpa atasan; (5) melihat hal-hal yang harus dikerjakan dan
mengambil tindakan yang perlu, (6) menyukai tantangan, (7) selalu ingin bertanya; (8)
memperagakan ketidakpuasan yang konstruktif dan selalu memikirkan perbaikan; (9)
berorientasi pada sasaran atau pencapaian hasil; (10) selalu tepat waktu; (11) merasa
puas jika telah mengerjakan dengan baik; (12) memberikan andil lebih dari yang
diharapkan; dan (13) percaya bahwa kerja wajar sehari perlu dimbangi dengan gaji
wajar untuk sehari.

Ketiga, mempunyai orientasi pekerjaan yang positif. Hal ini dapat diamati dari: (1)
menyukai pekerjaannya dan membanggakannya; (2) menetapkan standar yang tinggi;
(3) mempunyai kebiasaan kerja yang baik; (4) selalu terlihat dalam pekerjaannya; (5)
cermat, dapat dipercaya, dan konsisten; (6) menghormati manajemen dan tujuannya;
(7) mempunyai hubungan baik dengan manajemen; (8) dapat menerima pengarahan;
dan (9) luwes dan dapat menyesuaikan diri.

Keempat, dewasa. Dalam hal ini pegawai yang dewasa memperlihatkan kinerja yang
konsisten. Kedewasaan pegawai dapat diamati melalui: (1) integritas tinggi; (2)
mempunyai rasa tanggung jawab yang kuat; (3) mengetahui kelemahan atau kekuatan
sendiri; (4) mandiri, percaya diri, dan disiplin diri; (5) pantas memperoleh harga diri; (6)
mantap secara emosional dan percaya diri, (7) dapat bekerja efektif di bawah tekanan;
(8) dapat belajar dari pengalaman; dan (9) mempunyai ambisi yang kuat.
Kelima, dapat bergaul dengan efektif. Pengamatannya yang khas adalah: (1)
memperagakan kecerdasan sosial; (2) pribadi yang menyenangkan; (3) berkomunikasi
dengan efektif (jelas dan cermat, terbuka terhadap saran dan pendengar yang baik); (4)
bekerja produktif dalam rangka upaya tim; dan (5) memperagakan sikap positif dan
antusiaisme.

Suatu tinjauan pada studi produktivitas menunjukkan bahwa kecakapan manajemen


yang bertanggung jawab adalah satu faktor terpenting dalam mencapai produktivitas
tinggi pada organisasi yang berdasarkan teknologi (Timpe, 1989). Sejak tahun 1973,
Hughes Aircraft Company, sebuah perusahaan elektronik berteknologi tinggi dengan
77.000 pekerja, telah melakukan studi ekstensif dengan tujuan mengoptimisasikan
produktivitas dalam perusahaan yang berteknologi tinggi dan menyimpulkan bahwa
faktor-faktor dasar yang digunakan untuk meningkatkan produktivitas secara
keseluruhan harus dilengkapi dengan faktor-faktor yang digunakan untuk meningkatkan
kreativitas dan inovasi.

Timpe (1989) meninjau ratusan penemuan studi dan wawasan dari ribuan manajer yang
berpartisipasi dalam suatu seminar tentang produktivitas, mengemukakan tujuh kunci
untuk mencapai produktivitas yang tinggi yaitu: (1) keahlian, manajemen yang
bertanggung jawab; (2) kepemimpinan yang luar biasa; (3) kesederhanaan
organisasional dan operasional; (4) kepegawaian yang efektif; (5) tugas yang
menantang; (6) perencanaan dan pengendalian tujuan; dan (7) pelatihan manajerial
khusus.

PRODUKTIVITAS ORGANISASI
PRODUKTIVITAS ORGANISASI PENDIDIKAN
Syafrudin, SKM, M.Kes.
A. LATAR BELAKANG
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, produktivitas adalah kemampuan untuk menghasilkan
sesuatu; daya produksi; dan keproduktifan. Dapat didefinisikan secara sederhana bahwa
produktivitas perusahaan adalah cara atau kemampuan suatu organisasi pendidikan untuk
meningkatkan kemampuannya, bisa melalui inovasi terhadap produk sebelumnya maupun
menciptakan produk baru.
Istilah organisasi sendiri berasal dari bahasa Latin: organizare. Secara harafiahorganize berarti
paduan dari bagian-bagian yang satu sama lainnya saling bergantung. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, organisasi adalah sebuah kesatuan atau susunan yang terdiri dari bagian-
bagian para anggota dalam perkumpulan tersebut untuk tujuan tertentu. Karl Weick (dalam West
dan Turner, 2008) mengungkapkan bahwa organisasi adalah suatu sistem yang menyesuaikan
dan menopang dirinya dengan mengurangi berbagai macam ketidakpastian yang mungkin saja
dihadapi. Weick juga menjelaskan bahwa ada kesinambungan kerja antara pekerja yang satu
dengan pekerja lainnya. Perilaku yang berkesinambungan artinya hasil kerja seorang anggota
berpengaruh pada pekerjaan anggota lainnya, sehingga ada rasa saling bertanggung jawab antar
para anggota organisasi. Tujuannya adalah untuk mencapai sebuah kesuksesan dalam tujuan
yang telah disepakati bersama.

B. ORGANISASI
1. PENGERTIAN ORGANISASI
Organisasi merupakan sesuatu yang telah melekat dalam kehidupan kita,
karena kita adalah makhluk sosial. Kita hidup di dunia tidaklah sendirian, melainkan
sebagai manifestasi makhluk sosial, kita hidup berkelompok, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Organisasi yang selama ini kita kenal merupakan
sesuatu yang tidak berwujud atau abstrak yang sulit dilihat tetapi bisa kita rasakan
manfaatnya. Keberadaan organisasi dalam kehidupan bermasyarakat dapat kita
rasakan, walaupun organisasinya sendiri tidak bisa kita lihat maupun kita raba.
Untuk menjadi kongkret maka organisasi tersebut memiliki nama jenis tertentu
seperti Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Organisasi UNJ tidak bisa kita lihat
atau raba, tetapi kita bisa merasakan adanya bermacam-macam peraturan seperti
keharusan memiliki kartu tanda mahasiswa (KTM) bagi mahasiswa yang menempuh
pendidikan di UNJ, adanya peraturan akademik yang mengatur sistem
pembelajaran, dan adanya statuta universitas yang mengatur civitas akademika
UNJ, yang menunjukkan adanya organisasi yang melingkupi dan mengatur
kehidupan akademik civitas akademika.
Pemberian nama jenis tertentu dalam organisasi menunjukkan tempat kerja
organisasi bersangkutan. Untuk menunjukkan secara jelas organisasi bersangkutan
maka organisasi harus membentuk struktur organisasi sehingga nampak jelas
organisasi yang dimaksud.
2. CIRI ORGANISASI BIROKRASI MENURUT WEBER
a. Suatu organisasi terdiri dari :
1) Hubungan - hubungan yang ditetapkan antara jabatan- jabatan
2) Jabatan selalu ditujukkan dengan sebutan-sebutan seperti manajer, penyelia, analis senior, dll
b. Tujuan atau rencana organisasi terbagi kedalam tugas-tugas.
1) Tugas organisasi disalurkan diantara berbagai jabatan sebagai kewajiban resmi.
2) Ketentuan kewajiban dan tanggung jawab melekat pada jabatan.
3) Job desk adalah suatu metode untuk memenuhi karakteristik ini.
4) Pembagian kerja yang jelas diantara jabatan-jabatan merupakan implikasi ciri ini yang
memungkinkan terciptanya derajat spesialisasi dan keahlian yang tinggi diantara para pagawai.
c. Kewenangan untuk melaksanakan kewajiban diberikan kepada jabatan. Seseorang diberi
kewenangan untuk melakukan tugas jabatan adalah ketika ia secara sah menduduki jabatannya
(kewenangan legal)
d. Garis kewenangan dan jabatan diatur menurut suatu tatanan hierarkis. Hierarki mengambil
bentuk umum suatu piramida yang menunjukkan setiap pegawai bertanggung jawab kepada
atasannya. Ruang lingkup kewenangan atasan pada bawahan secara tegas dibatasi konsep
komunikasi keatas (upword communication) dan komunikasi kebawah (downword
communication)
e. Sistem aturan dan regulasi yang umum tetapi tegas yang ditetapkan secara formal mengatur
tingdakan dan fungsi jabatan dalam organisasi. Peraturan membantu terciptanya keseragaman
operasi dan menjamin kelangsungan terlepas dari perubahan pegawai
f. Prosedur dalam organisasi bersifat formal dan impersonal yaitu peraturan organisasi berlaku bagi
setiap orang. Pejabat diharapkan mempunyai orientasi yang impersonal dalam hubungan mereka
dengan langganan dan pejabat lainnya. Mereka harus mengabaikan pertimbangan pribadi dan
tidak mudah terpengaruh.
g. Sikap dan prosedur untuk menerapkan suatu sistem disiplin merupakan bagian dari organiosasi.
Agar individu dapat bekerja efisien mereka harus mempunyai keterampilan yang diperlukan dan
menerapkan keterampilan tersebut secara rasional dan energik. Organisasi membutuhkan suatu
program disiplin untuk menjamin kerja sama dan efisiensi
h. Anggota organisasi harus memisahkan kehidupan pribadi dan organisasi. Banyak organisasi
yang berkorban untuk memperhatikan kehidupan pribadi pegawai agar pegawai secara penuh
memusatkan perhatian pada pekerjaan masing-2.
i. Pegawai dipilih untuk bekerja dalam organisasi berdasarkan kualifikasi bisnis bukannya koneksi
keluarga atau koneksi lainnya
j. Meskipun pekerjaan dalam birokrasi dalam kecakapan teknis kenaikan jabatan dilakukan
berdasarkan senioritas dan prestasi kerja. Setelah melalui masa percobaan pejabat memperolah
kedudukan tetap dan terlindungi dari pemecatan semena-mena. Pekerjaan dalam organisasi
merupakan karir seumur hidup memberikan keamanan dalam jabatan.

3. PRINSIP-PRINSIP DALAM PENGORGANISASIAN


a. Organisasi Harus Mempunyai Tujuan yang Jelas.
Organisasi dibentuk atas dasar adanya tujuan yang ingin dicapai, dengan demikian tidak
mungkin suatu organisasi tanpa adanya tujuan.
b. Prinsip Skala Hirarkhi.
Dalam suatu organisasi harus ada garis kewenangan yang jelas dari pimpinan, pembantu
pimpinan sampai pelaksana, sehingga dapat mempertegas dalam pendelegasian wewenang dan
pertanggungjawaban, serta akan menunjang efektivitas jalannya organisasi secara keseluruhan.

c. Prinsip Kesatuan Perintah.


Dalam hal ini, seseorang hanya menerima perintah atau bertanggung jawab kepada seorang
atasan saja.
d. Prinsip Pendelegasian Wewenang
Seorang pemimpin mempunyai kemampuan terbatas dalam menjalankan pekerjaannya, sehingga
perlu dilakukan pendelegasian wewenang kepada bawahannya. Pejabat yang diberi wewenang
harus dapat menjamin tercapainya hasil yang diharapkan. Dalam pendelegasian, wewenang
yang dilimpahkan meliputi kewenangan dalam pengambilan keputusan, melakukan hubungan
dengan orang lain, dan mengadakan tindakan tanpa minta persetujuan lebih dahulu kepada
atasannya lagi
e. Prinsip Pertanggungjawaban
Dalam menjalankan tugasnya setiap pegawai harus bertanggung jawab sepenuhnya kepada
atasan.
f. Prinsip Pembagian Pekerjaan.
Suatu organisasi, untuk mencapai tujuannya, melakukan berbagai aktivitasataukegiatan. Agar
kegiatan tersebut dapat berjalan optimal maka dilakukan pembagian tugasataupekerjaan yang
didasarkan kepada kemampuan dan keahlian dari masing-masing pegawai . Adanya kejelasan
dalam pembagian tugas, akan memperjelas dalam pendelegasian wewenang,
pertanggungjawaban, serta menunjang efektivitas jalannya organisasi.
g. Prinsip Rentang Pengendalian.
Artinya bahwa jumlah bawahanataustaf yang harus dikendalikan oleh seorang atasan perlu
dibatasi secara rasional. Rentang kendali ini sesuai dengan bentuk dan tipe organisasi, semakin
besar suatu organisasi dengan jumlah pegawai yang cukup banyak, semakin kompleks rentang
pengendaliannya.
h. Prinsip Fungsional.
Bahwa seorang pegawai dalam suatu organisasi secara fungsional harus jelas tugas dan
wewenangnya, kegiatannya, hubungan kerja, serta tanggung jawab dari pekerjaannya

i. Prinsip Pemisahan.
Bahwa beban tugas pekerjaan seseorang tidak dapat dibebankan tanggung jawabnya kepada
orang lain.
j. Prinsip Keseimbangan.
Keseimbangan antara struktur organisasi yang efektif dengan tujuan organisasi. Dalam hal ini,
penyusunan struktur organisasi harus sesuai dengan tujuan dari organisasi tersebut. Tujuan
organisasi tersebut akan diwujudkan melalui aktivitasatau kegiatan yang akan dilakukan.
Organisasi yang aktivitasnya sederhana (tidak kompleks)
k. Prinsip Fleksibilitas
Organisasi harus senantiasa melakukan pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan dinamika
organisasi sendiri (internal factor) dan juga karena adanya pengaruh di luar organisasi (external
factor), sehingga organisasi mampu menjalankan fungsi dalam mencapai tujuannya.
l. Prinsip Kepemimpinan.
Dalam organisasi apapun bentuknya diperlukan adanya kepemimpinan, atau dengan kata lain
organisasi mampu menjalankan aktivitasnya karena adanya proses kepemimpinan yang
digerakan oleh pemimpin organisasi tersebut.

4. UNSUR-UNSUR ORGANISASI
a. Sebagai wadah atau tempat bekerja sama.
Dapat diartikan sebagai tempat atau kerangka mekanisme pendelegasian kekuasan dan tanggung
jawab.
b. Sebagai proses kerja sama antara dua orang ataulebih.
Pembagain tugas agar pekerjaan dapat berjalan dengan lancar.
c. Adanya tugas atau kedudukan yang jelas
Adanya pengaturan dan pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab.
d. Mempunyai tujuan tertentu.
Tujuan yang telah ditetapkan menjadi suatu acuan dalam tugas untuk mencapainya.

C. PRODUKTVITAS
1. Pengertian
Produktivitas adalah rasio output dan input suatu proses produksi dalam periode tertentu. Input
terdiri dari manajemen, tenaga kerja, biaya produksi, dan peralatan serta waktu. Output meliputi
produksi, produk penjualan, pendapatan, pangsa pasar, dan kerusakan produk. Dalam perspektif
normatif, pengertian produktivitas adalah kalau hari ini karyawan lebih baik dari kemarin dan
hari esok lebih baik dari sekarang.
2. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi terjadinya produktivitas yang rendah meliputi: a. Pada
tingkat makro
(1) Kondisi Perekonomian : reit pajak yang rendah; tabungan dan investasi yang meningkat;
regulasi yang berlebihan; tingkat Inflasi tinggi; fluktuasi ekonomi; harga energi tinggi;
keterbatasan bahan baku; perlindungan berlebihan dan keterbatasan kuota; dan subsidi
berlebihan yang menimbulkan inefisiensi.
(2) Kondisi Industri: kurangnya riset dan pengembangan danregulasi antimonopoli berlebihan.
(3) Regulasi pemerintah: birokrasi panjang; produktivitas pemerintahan rendah; pemborosan
pemerintah dan tingkat korupsi tinggi.
(4) Karakteristik Angkatan Kerja : standar pendidikan rendah; reit melek huruf rendah; etos kerja
rendah; pergeseran ke sektor jasa; reit kriminal tinggi; pergeseran sistem nilai dan sikap.

b. Pada Tingkat Mikro


(1) Organisasi: pabrik-pabrik tua; mesin-mesin tua; kekurangan alat dan pabrik; riset dan
pengembangan kurang dan kondisi fisik tempat kerja kurang nyaman.
(2) Manajemen : kurang perhatian terhadap mutu; kelebihan staf pegawai; spesialisasi pekerja yang
berlebihan; kurang perhatian terhadap faktor-faktor manusia; perhatian terhadap isyu legal yang
berlebihan; kurangnya perhatian pada persoalan merger; kurangnya perhatian terhadap pelatihan
dan pengembangan Gaji eksekutif berlebihan,sementara gaji karyawan tidak memadai; resisten
terhadap perubahan; penurunan perhatian terhadap risiko kerja; sikap bermusuhan terhadap
serikat pekerja; dan manajemen kepemimpinan otoriter.
(3) Karyawan: lebih senang dengan waktu santai; resisten terhadap perubahan; tidak bangga pada
pekerjaan; kekerasan karena alkohol dan obat-obatan terlarang; pengalaman kerja kurang; etos
kerja yang kurang; rendahnya pengetahuan, ketrampilan, kemampuan, sikap dan perilaku;
kondisi kesehatan yang kurang; dan kemampuan berkomunikasi yang kurang.
Seperti halnya pada mutu produk, pengertian mutu SDM dapat dilihat dari sisi input karyawan,
proses, output dan outcome. Semua sisi saling berhubungan. Beberapa kriteria untuk menilai
produktivitas dan mutu meliputi:
Sisi Input
a. Tingkat pendidikan dan pengetahuan yang tinggi
b. Sikap tentang mutu yang tinggi
c. Ketrampilan kerja tinggi
d. Pengalaman kerja luas
e. Kesehatan fisik prima
Sisi Proses
a. Jumlah kesalahan yang rendah : mendekati nol
b. Jumlah karyawan yang keluar semakin rendah
c. Waktu kerja lembur bertambah
d. Ketidakhadiran karyawan semakin kecil
e. Kerusakan atau kesalahan rendah
f. Derajad respon tinggi
g. Biaya produksi perunit yang rendah
h. Kecermatan semakin tinggi
i. Kelengkapan proyek semakin tinggi
Sisi Output
a. Kepuasan konsumen yang semakin tinggi
b. Peningkatan penjualan barang
c. Penerimaan dari investasi semakin meningkat
d. Output perkaryawan semakin tinggi
e. Nilai rupiah penjualan semakin meningkat
f. Keuntungan semakin besar
Sisi Outcome
a. Pangsa pasar yang semakin besar
b. Penghasilan dari setiap pangsa semakin besar
c. Keluhan pelanggan pelanggan semakin kecil
d. Semakin besarnya peluang karir karyawan
e. Semakin besarnya peluang perusahaan untuk berkembang.

Dalam prakteknya mengukur hasil utama dari suatu proses penerapan tugas, fungsi dan
tanggung jawab dari karyawan akan beragam sesuai dengan jenis produk perusahaan. Berikut ini
diberikan beberapa contoh keragaman tersebut.
a. Perusahaan perkebunan karet : jumlah dan kualitas produk, biaya, waktu, pelanggan (pengolahan
sekunder),
b. Perusahaan makanan : kualitas, output, biaya, waktu, staf dan pelanggan,
c. Perusahaan pabrik mobil : nilai pemegang saham, mutu produk, mutu manusia, kepuasan
pelanggan,
d. Perusahaan angkutan darat : kualitas, biaya, ketepatan waktu, pelayanan bagi pelanggan, dan
keselamatan,
e. Perusahaan jaringan bisnis : kepemimpinan dan individu, kualitas, pelayanan bagi pelanggan,
kemitraan, kerjasama tim

D. PRODUKTIVITAS ORGANISASI PENDIDIKAN


Everet M.Rogers dalam bukunya Communication in Organization (1976), mendefinisikan
organisasi sebagai suatu sistem yang mapan dari mereka yang bekerja sama untuk mencapai
tujuan bersama, melalui jenjang kepangkatan, dan pembagian tugas. Robert Bonnington dalam
buku Modern Business: A Systems Approach (1977), mendefinisikan organisasi sebagai sarana
dimana manajemen mengoordinasikan sumber bahan dan sumber daya manusia melalui pola
struktur formal dari tugas-tugas dan wewenang.
Karl Weick sebagai pelopor teori pendekatan sistem informasi melihat organisasi sebagai suatu
bagian kehidupan yang harus terus-menerus menyesuaikan diri terhadap suatu perubahan
lingkungan untuk tetap bertahan. Pengorganisasian merupakan proses dimana sekumpulan
individu memahami informasi yang terlihat tidak jelas atau samar-samar melalui pembuatan,
pemilihan, dan penyimpanan informasi. Dalam teorinya, Weick berasumsi bahwa organisasi akan
bertahan dan tumbuh subur hanya ketika anggota-anggotanya mengikutsertakan banyak
kebebasan (free-flowing) sesuai dengan lingkungan sekitarnya dan komunikasi interaktif antara
perusahaan dengan konsumen atau target audience. Untuk itu, ketika dihadapkan pada situasi
yang tidak menentu, pemimpin perusahaan harus bertumpu pada komunikasi daripada bertumpu
pada aturan-aturan.
Weick memandang pengorganisasian sebagai proses perubahan yang bersandar pada sebuah
rangkaian tiga proses yaitu penentuan (enactment), seleksi (selection), dan penyimpanan
(retention). Penentuan adalah pendefinisian situasi, atau pengumpulan informasi yang tidak jelas
dari luar organisasi atau perusahaan.Tahap ini merupakan tahap perhatian pada rangsangan dan
pengakuan bahwa ada ketidakjelasan dalam penafsiran informasi oleh masing-masing anggota
organisasi.
Dalam tahap seleksi, proses yang terjadi adalah dimungkinkannya kelompok untuk menerima
aspek-aspek tertentu dan menolak aspek-aspek lainnya dari informasi. Ini mempersempit bidang
pembahasan dengan menghilangkan alternatif-alternatif yang tidak ingin dihadapi oleh
organisasi. Proses ini akan menghilangkan lebih banyak ketidakjelasan dari informasi awal.
Penyimpanan yaitu proses menyimpan aspek-aspek tertentu yang akan digunakan pada masa
mendatang. Informasi yang dipertahankan diintegrasikan ke dalam kumpulan informasi yang
sudah ada yang menjadi dasar bagi beroperasinya organisasinya.
Setelah dilakukan penyimpanan, para anggota organisasi menghadapi sebuah masalah pemilihan
yaitu menjawab pertanyaan-pertanyaan berkenaan dengan kebijakan organisasi. Misalnya
pemikiran bahwa apakah memang perlu diambil sebuah tindakan berbeda dari tindakan-tindakan
sebelumnya atau tidak?
Bagian-bagian kelompok individual dalam organisasi terus-menerus melakukan kegiatan di
dalam proses-proses ini untuk menemukan aspek-aspek lainnya dari lingkungan. Meskipun
berdasarkan batasan-batasan tertentu dari organisasi mungkin mengkhususkan pada satu atau
lebih dari proses-proses organisasi dimana hampir semua orang atau anggota organisasi ikut
terlibat dalam setiap bagian pengorganisasian setiap saatnya.
Hal ini menciptakan sebuah siklus perilaku. Siklus perilaku adalah kumpulan-kumpulan perilaku
yang saling bersambungan yang memungkinkan kelompok untuk mencapai pemahaman tentang
pengertian-pengertian apa yang harus dimasukkan dan apa yang ditolak. Di dalam siklus
perilaku, tindakan-tindakan anggota dikendalikan oleh aturan-aturan berkumpul yang memandu
pilihan-pilihan rutinitas yang digunakan untuk menyelesaikan proses yang tengah dilaksanakan
(penentuan, seleksi, atau penyimpanan).

Weick beranggapan bahwa organisasi berada dalam sebuah lingkungan, bukan hanya lingkungan
fisik, tapi juga information environtment. Individu menciptakan lingkungan ini melalui
proses enactment yang menyatakan bahwa anggota organisasi yang berbeda akan memahami
informasi dengan cara berbeda pula dan oleh karena itu menciptakan lingkungan informasi yang
berbeda.
Dalam teori Weick, tujuan utama dari berorganisasi adalah mengurangiequivocality dalam
lingkungan informasi (mengurangi ketidakpastian yang tidak bisa dipisahkan dari lingkungan
informasi suatu organisasi). Dalam sebuah situasi yangequivocal, ada banyak interpretasi yang
bisa digunakan dalam suatu kejadian. Untuk mengurangi equivocality, Weick merumuskan dua
hal: assembly rules dancommunication cycle.
Assembly rules (peraturan buatan) adalah prosedur yang bisa memandu anggota organisasi dalam
menetapkan pola tertentu dari proses sensemaking. Akan tetapi, ketika equivocality sedang
tinggi, anggota organisasi melakukan siklus komunikasi. Melalui siklus komunikasi ini, anggota
organisasi berusaha memahami situasi dalam lingkungan yang equivocal. Penggunaan assembly
rules dan siklus komunikasi sangat penting dalam tahap seleksi.
Dalam kondisi dimana equivocality tidak terlalu tinggi, biasanya organisasi memiliki assembly
rules atau peraturan yang sudah terpola untuk kondisi tertentu. Misalnya, ketika
seorang pemimpin meminta bawahannya membuatkan surat resmi, maka bawahannya sudah tahu
bagaimana seharusnya surat itu dibuat, karena adaform yang sudah dibuat sebelumnya dan selalu
digunakan dalam situasi demikian. Akan tetapi ketika equivocality tinggi, maka communication
cycle akan berlaku. Contohnya: ketika suatu negara dikelola oleh sistem pemerintahan yang baru,
segala sesuatunya diganti termasuk peraturan-peraturan yang lama. Karena tidak adaassembly
rules, maka para anggota pemerintahan yang sudah bekerja sejak lama disana mengandalkan
kemampuan komunikasinya untuk menafsirkan informasi dalam lingkungan barunya, yaitu
dengan cara bertanya pada rekannya atau langsung pada atasannya dan sebagainya.
Dalam rumusannya, Weick menyatakan bahwa struktur ditandai oleh perilaku pengorganisasian,
dimana komunikasi kemudian menjadi proses penting yang menghasilkan struktur
organisasi. Menurut konsep Weick, suatu sistem jelas bersifat manusiawi.Manusia tidak hanya
menjalankan organisasi, tapi maunusia juga merupakan organisasi itu sendiri (Wayne, 2005:
79).
Hal ini kemudian direkatkan lagi pada pemahaman bahwa ketika lingkungan organisasi dapat
diidentifikasi dengan benar, maka organisasi harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
tersebut untuk menjaga kesinambungan dan agar fungsi organisasi dapat berjalan optimal. Weick
mengidentifikasikan pengorganisasian sebagai suatu gramatika (sejumlah aturan dan praktik
organisasi) yang disahkan secara mufakat (realitasnya berdasarkan pengalaman para anggota
organisasi) untuk mengurangi ketidakjelasan dengan menggunakan perilaku-perilaku bijaksana
yang saling bertautan (Weick. 1979: 3). Pengorganisasian juga memiliki interaksi ganda.
Misalnya, pegawai A berkomunikasi dengan pegawai B yang kemudian memberi respon. Saat
pegawai B merespon, maka pegawai A membuat beberapa penyesuaian terhadap respon tersebut
(bisa berupa tanggapan atau bertanya kembali atau hanya berupa bahasa nonverbal saja).
Berdasarkan ciri-ciri pengorganisasian di atas, produktivitas perusahaan dapat berubah-ubah
(meningkat dan menurun) sesuai dengan penerapannya. Produktivitas perusahaan dapat
meningkat ketika perusahaan itu sendiri dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.
Artinya, perusahaan perlu mempelajari kebutuhan target audience, misalnya dengan
mengadakan survey atau mengadakan interaksi langsung dengan para konsumen. Hal ini
dimaksudkan agar perusahaan dapat lebih terbuka: memahami bagaimana posisi produknya
dimata konsumen, dan mengetahui kira-kira inovasi apa lagi yang bisa dilakukan perusahaan.
Produktivitas perusahaan juga dapat meningkat apabila perusahaan mempelajari lebih bagaimana
kondisi pasar: selera konsumen atau trend saat ini. Perusahaan juga perlu mempelajari
persaingan dengan perusahaan lain, hukum-hukum bisnis yang berlaku, dan perkembangan
teknologi yang ada. Perusahaan harus memperhatikan dengan seksama setiap detail yang ada.
Pengamatan tersebut juga harus dilakukan dengan sangat terperinci. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari kegagalan atau penurunan produktivitas perusahaan.
Apabila pengamatan perusahaan terhadap target audience dilakukan tidak sesuai prosedur maka
kemungkinan penurunan produktivitas perusahaan dapat menjadi lebih besar. Pengambilan
sampel acak misalnya, memungkinkan keterbatasan informasi untuk kemajuan perusahaan. Data
yang didapat di lapangan bisa saja tidak akurat, tidak menjadi wadah bagi semua pendapat
sehingga inovasi menjadi kurang maksimal atau bahkan tidak berarti sama sekali.
Pengadaan inovasi dalam perusahaan juga harus dilakukan dengan matang-matang.Artinya
inovasi tidak semata-mata dilakukan karena ada beberapa pendapat konsumen yang
menginginkan manfaat lebih dari sebuah produk, atau hanya semata-mata untuk mengikuti
permintaan pasar. Perusahaan tidak boleh melupakan kualitas produk. Tujuannya adalah dengan
menjaga kredibilitas perusahaan itu sendiri karena efek negatif dari pengadaan inovasi adalah
hilangnya jati diri perusahaan.Perusahaan jadi terlalu sering berubah-ubah sesuai dengan
keadaan lingkungannya. Hal ini menciptakan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, aka
nada saatnya produk perusahaan akan laku keras di pasaran karena sesuai dengan trend yang ada
atau sesuai dengan kebutuhan masyarakat jaman sekarang. Kemungkinan kedua adalah
hilangnya jati diri perusahaan. Orang jadi tidak tahu lagi sebenarnya perusahaan itu bergerak di
bidang apa, dan lain sebagainya.
Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah bagaimana kemudian perusahaan atau organisasi
meningkatkan produktivitasnya? Tahap pertama yang harus dilakukan perusahaan adalah
mengidentifikasikan masalah apa yang sedang dihadapi perusahaan. Perusahaan harus
menganalisa permasalahan, implikasi, dan segala kemungkinan yang mungkin terjadi ketika
dihadapkan pada masalah seperti itu. Hal yang harus diingat adalah perusahaan diwajibkan untuk
mengevaluasi setiap hipotesis yang dianggap sebagai dugaan sementara terhadap penyebab
terjadinya permasalahan-permasalah yang ada. Dalam tahap ini dibutuhkan keterbukaan dari
perusahaan untuk melihat setiap kesempatan yang ada.
Tahap selanjutnya adalah pembuatan tujuan pembelajaran yang didasarkan pada permasalahan
yang tadi sudah didefinisikan dalam perusahaan atau organisasi. Untuk mencapai tujuan tersebut
diperlukan beberapa langkah sebagai indikator tercapainya target yang diinginkan perusahaan
atau organisasi. Implementasinya dapat berupa perencanaan yang benar-benar dipertimbangkan
dan terperinci. Tujuannya adalah agar perusahaan atau organisasi tidak salah langkah sehingga
hasil akhirnya adalah peningkatan produktivitas bukan pada penurunan produktivitas
perusahaan.Rencana yang dimaksud dapat berupa pembuatan inovasi baru atau membuat sebuah
terobosan baru (misalnya dalam dunia industri tekstil, perfilman, dan lain sebagainya).
Setelah pelaksanaan semua rencana-rencana yang telah disusun, saatnya para anggota organisasi
dan pemimpin organisasi berkumpul dalam keperluan tinjau ulang terhadap rencana yang ada.
Dalam tahap ini, para setiap bagian-bagian organisasi harus mengevaluasi setiap informasi yang
mereka peroleh. Artinya ada survey, ada tinjau lapangan, tinjau pustaka dan lain sebagainya
dalam guna mengumpulkan pendapat dari setiap informan atau target audience yang ada. Hasil
evaluasi tersebut kemudian didiskusikan dengan mendefinisikan kalimat atau istilah-istilah yang
tidak jelas. Ketidakjelasan tersebut kembali didefinisikan dalam suatu jawaban bersolusi namun
tetap dalam suatu konsep terarah.
Adapun proses pengambilan keputusan yang harus dilakukan perusahaan harus terlebih dahulu
melakukan pengurangan terhadap ketidakjelasan dalam lingkungan yang telah ditetapkan.
Caranya yaitu dengan menghubungkan perilaku-perilaku yang melekat dalam pribadi individu
pada proses yang berkaitan dengannya secara kondisional. Selain itu dapat pula melakukan
pengukuran produktivitas organisasi misalnya sekolah atau institusi pendidikan.
Pengukuran Productivitas Sekolah
Productivitas sekolah merupakan kegiatan yang berkaitan dengan keseluruan proses
perencanaan, penataan dan pendayagunaan sumber daya untuk merealisasikan tujuan pendidikan
secara efektif dan efisien yang ditinjau dari tiga sudut administrasi, psikologis, dan ekonomis.
Dimensi Produktivitas sekolah yang dikembangkan oleh Thomas, J. Alan (1971:12-13) sebagai
berikut:
(1) The Administrator Production Function (PFI); yaitu fungsi menajerial (administrasi).
(2) The Psychologists Production Function (PPF); yaitu fungsi behavioral (psikologis)
(3) The Economic Production Function (EPF); yaitu fungsi ekonomi (ekonomis)
Berdasarkan uraian tersebut, produktivitas sekolah adalah suatu ukuran keberhasilan yang
menyatakan besarnya rasio hasil (target) baik kuantitas maupun kualitas dalam kurun waktu
tertentu dihasilkan. Semakin besar rasio yang dicapai, semakin tinggi tingkat produktivitasnya.
Secara teoritik, penilaian produktivitas sekolah perlu dilakukan dengan cara mengkaji seluruh
komponen sekolah itu berinteraksi satu sama lain secara terpadu dalam mendukung keempat
kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa. Namun pada praktiknya, pandangan yang holistic ini
sulit diimplementasikan secara sempurna karena keterbatasan pendekatan penilaian yang dapat
digunakan.
Peter Cuttance (2001) mengemukakan tiga model pengukuran efektivitas sekolah, yaitu: The
Standars Model. The School Level Intake adjusted Modeldan The Pupil Level Intake adjusted
Model.
(1) The Standars Model
Model ini mengukur sejauh mana sekolah mencapai norma atau standar. Biasanya menggunakan
rata-rata kinerja siswa sekolah yang mencapai rata-rata kinerja siswa lebih tinggi dibandingkan
dengan rata-rata kinerja siswa dari sejumlah sekolah yang lain pada kurun waktu yang sama,
berarti mencapai tingkat produktivitas yang tinggi. Makin tinggi rata-rata kinerja siswa dicapai
sekolah yang bersangkutan, semakin produktif. Model ini mengandung kelemahan, yaitu tidak
melihar karakteristik latar belakang siswa pada saat ia masuk (point of intry).
(2) The School Level Intake adjusted Model
Model ini selain membandingkan rata-rata kinejra sekolah juga melihat komposisi rata-rata
karakteristik latar belakang siswa pada saat masuk sekolah (point of entry). Hubungan antara
rata-rata karakteristik latar belakang siswa dengan rata-rata kinerja menunjukkan posisi produktif
tidaknya sekolah tersebut. Garis regresi antara variabel latar belakang siswa pada saat masuk
terhadap kinerjanya di sekolah pada kurun waktu tertentu menjadi ukuran atau patokan
komposisi produktivitas sekolah. Sekolah-sekolah yang posisinya terletak di atas, garis regresi
menunjukkan lebih produktif dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang pisisinya berada di
bawah garis regresi.
(3) The Pupil Llevel Intake sdjusted Model
Cara kerja model ke tiga ini sama dengan model ke dua, yaitu dengan membandingkan
hubungan antara karakteristik latar belakang dengan kinerja siswa. Tingkat efektivitas sekolah
diperoleh dari posisi hubungan tersebut dibandingkan dengan posisi sekolah yang lain. Model
School Level Intake adjusted yang dibandingkan adalah individu sekolah dengan individu
sekolah yang lain dalam sejumlah sekolah, sedangkan modelPupil Level Intake
adjusted membandingkan individu siswa. Data yang digunakan adalah data siswa pada saat
meninggalkan sekolah (lulusan).
Berdasarkan kepada komponen-komponen sekolah yang produktif, pengukuran sekolah
produktif dengan model-model pengukuran tersebut, mengandung kelemahan yang mendasar
yaitu hanya membandingkan kinerja siswa. Dalam studi ini model pengukuran sekolah produktif
menggunakan model Balanced Scorecard. Langlah-langkah pengukuran terdiri atas: (1)
menentukan komponen aspek dan indikator-indikator kinerja sekolah, (2) menentukan alat ukur
dan standar-standar yang digunakan, (3) menguji alat ukur, (4) mengadakan pengukuran, (5)
membandingkan dengan standar indikator kinerja, dan (6) menentukan ketercapaian target
kinerja.

E. KESIMPULAN
Produktivitas organisasi pendidikan dapat dikatakan meningkat dengan menggunakan Weicks
Organizing Theory sejauh organisasi mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mampu
menghasilkan inovasi-inovasi baru sesuai dengan keinginan target audience, dan mampu
mereduksi ketidakjelasan yang muncul. Tetapi harus diingat bahwa organisasi pendidikan juga
harus tetap memiliki tujuan utama yang konsisten, yaitu pokok pemikiran utama yang menjaga
oposisi rganisasi tetap pada jalur yang sesuai dengan misi dan tujuannya, agar meskipun terbuka
dengan kondisi lingkungan yang ada namun tidak terombang-ambing atau kehilangan kestabilan
dalam sistem organisasinya sendiri.
Produktivitas Kerja
Malayu S.P. Hasibuan (2003:41), mengemukakan bahwa: Produktivitas adalah
perbandingan antara output (hasil) dengan input (masukan). Jika produktivitas naik hal ini hanya
dimungkinkan oleh adanya peningkatan efisiensi (waktu, bahan, tenaga) dan system kerja, teknis
produksi dan adanya peningkatan keterampilan dari tenaga kerjanya.
Paul Mali seperti yang dikutip oleh Sedarmayanti (2001:57) mengemukakan
bahwa: Produktivitas adalah bagaimana menghasilkan atau meningkatkan hasil barang dan jasa
setinggi mungkin dengan memanfaatkan sumber daya secara efisien. Oleh karena itu
produktivitas sering diartikan sebagai rasio antara keluaran dan masukan dalam satuan waktu
tertentu.

Produktivitas menurut National Productivity Board Singapore adalah sikap mental yang
mempunyai semangat untuk melakukan peningkatan perbaikan. (Sedarmayanti 2001:56)
Sejalan dengan pendapat diatas Muchdarsyah Sinungan (2005:12), mendefinisikan
produktivitas sebagai: Perbandingan antara totalitas pengeluaran pada waktu tertentu dibagi
totalitas masukan selama periode tertentu.
Laeham dan Wexley, seperti yang dikutip oleh sedarmayanti (2001:65) menyatakan
bahwa produktivitas kerja bukan semata-mata ditujukan untuk mendapatkan hasil kerja
sebanyak-banyaknya, melainkan kualitas untuk kerja juga penting diperhatikan.

Dimensi Produktivitas Kerja


Umar Husein (2004:9), mengemukakan dua dimensi produktivitas sebagai berikut:
Produktivitas mengimplikasikan dua dimensi, yakni efektivitas dan efisiensi. Pengertian
efektivitas itu sendiri adalah doing the right thing. Melaksanakan sesuatu yang benar dalam
memenuhi kebutuhan organisasi berkaitan dengan pencapaian unjuk kerja yang maksimal, dalam
arti pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu. Sedangkan dimensi
kedua yaitu efisiensi adalah: doing things right. Melakukan yang benar dengan proses yang
benar berkaitan dengan upaya membandingkan masukan dengan realisasi penggunaannya atau
bagaimana pekerjaan tersebut dilaksanakan. Untuk itu, produktivitas biasanya dicapai melalui
efektivitas pencapaian tujuan dan efisiensi penggunaan sumber daya.

Efisiensi adalah ukuran yang menunjukan bagaimana baiknya sumber-sumber daya yang
digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan output. Efisiensi merupakan karakteristik
proses yang mengukur performansi aktual dari sumber daya relatif terhadap standar yang
ditetapkan.
Perbedaan produktivitas dengan efektivitas dan efisiensi adalah bahwa produktivitas
merupakan ukuran tingkat efisiensi dan efektivitas dari setiap sumebr yang digunakan selama
produksi berlangsung dengan membandingkan antara jumlah yang dihasilkan (output) dengan
masukan dari setiap sumber yang dipergunakan atau seluruh sumber (input).
Tinggi rendahnya efisiensi ditentukan oleh nilai input dan output, sedangkan tinggi
rendahnya nilai efektivitas ditentukan oleh pencapaian target. Efisiensi merupakan suatu ukuran
dalam membandingkan input yang direncanakan dengan input yang sebenarnya. Apabila input
yang sebenarnya digunakan semakin besar penghematannya, maka tingkat efisiensi semakin
tinggi. Tetapi semakin kecil input yang dapat dihemat akan semakin rendah tingkat efisiensinya.
Efektivitas merupakan ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh target dapat dicapai.
Pada dasarnya peningkatan produktivitas menggunakan pendekatan system yang
berfokus pada perbaikan terus-menerus terhadap kualitas, efektivitas pencapaian tujuan, dan
efisiensi penggunaan sumber-sumber daya dari perusahaan.
Produktivitas dipandang dari dua sisi sekaligus, yaitu sisi input dan sisi output.
Produktivitas tidak sama dengan produksi, tetapi produksi, performasi kualitas, hasil-hasil.
Merupakan komponen dari usaha produktivitas. Dengan demikian, produktivitas merupakan
suatu kombinasi dari efektivitas dan efisiensi.

Jenis Produktivitas
Menurut Sri Hariayani (2002:97) bahwa produktivitas dapat dikelompokan menjadi dua,
yaitu produktivitas total dan produktivitas satu faktor. Berikut adalah penjelasan dari jenis
produktivitas menurut pendapat Sri Hariyani, yang telah dirangkum penulis.
1. Produktivitas Total
Produktivitas dapat diukur dari berbagai faktor penyusunnya seperti: tanah, modal,
teknologi, tenaga kerja, dan bahan baku, yang disebut dengan produktivitas dari berbagi
faktor. Produktivitas ini sering disebut dengan produktivitas total.
2. Produktivitas Satu Faktor
Selain menghitung produktivitas dari berbagai factor, produktivitas juga dapat diukur
untuk masing-masing factor, yang disebut produktivitas dari satu factor (Single factor
productivity). Dan yang sering dihitung adalah produktivitas tenaga kerja atau dalam konteks
manajemen lebih dikenal sebagai kinerja (performance). Seorang karyawan atau sekelompok
karyawan dinilai produktif atau tidaknya dari kinerja. kinerja karyawan dapat diukur dengan
menggunakan konsep penilaian prestasi kerja (performance appraisal). Dimensi-dimensi yang
digunakan dalam menilai kinerja karyawan adalah ketaatan, kerajinan, kedisiplinan, keaktifan
dalam memberikan laporan, kejujuran, loyalitas, inisiatif, keterampilan, kejelasan dalam
memberi/menerima instruksi, pemeliharaan alat kerja, kemampuan mengatasi masalah, dan lain-
lain.
Dengan memperhatikan dimensi-dimensi diatas, karyawan berharap dapat meningkatkan
prestasi kerjanya, menurut Scheineier Craig yang dikutip oleh Sri Haryani (2002:99) bahwa
prestasi kerja merupakan pemahaman terhadap tiga hal, yaitu: perilaku, prestasi dalam
melakukan pekerjaan, dan efektivitas yang dicapai dalam melakukan pekerjaan tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Produktivitas Kerja


Tinggi rendahnya produktivitas sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor penting. Faktor-
faktor tersebut bisa berasal dari dalam sendiri maupun dari luar. Dalam kaitannya dengan upaya
meningkatkan produktivitas karyawan, perusahaan harus memperhatikan faktor-faktor yang
memilki potensi untuk meningkatkan produktivitas kerja.
Menurut sedarmayanti (2001;72) yang dirangkum penulis, terdapat dua belas faktor yang
mempengaruhi produktivitas kerja:
1. Sikap mental meliputi:
a. Motivasi Kerja, Pada umumnya orang yang mempunyai motivasi kerja yang tinggi akan
bekerja dengan rajin, giat, sehingga dengan begitu akan dapat mencapai satu prestasi kerja yang
tinggi.
b. Disiplin kerja, Orang yang mempunyai disiplin kerja yang tinggi akan bertanggung jawab
terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini akan mendorong gairah kerja, semangat
kerja dan akan mendukung terwujudnya tujuan perusahaan. Sebab kedisiplinan adalah kunci
keberhasilan suatu perusahaan dalam mencapai tujuannya dan produktivitas kerja pun akan
meningkat.
c. Etika kerja, Pada umumnya orang mempunyai etika yang baik akan nampak dalam
penampilan kerja sehari-hari berupa kerja sama, kehadiran, antusias, inisiatif, tanggung jawab
terhadap pekerjaan, dan kreativitas. Wujud tersebut akan memberikan pengaruh yang sangat
besar terhadap pencapaian produktivitas kerja karyawan yang optimal dan mampu memenuhi
harapan atau bantuan pencapaian tujuan perusahaan.
2. Pendidikan
Pada umumnya orang yang mempunyai pendidikan lebih tinggi akan memiliki wawasan
yang lebih luas terutama penghayatan akan pentingnya produktivitas.
3. Keterampilan
Pada aspek tertentu apabila pegawai semakin terampil, maka akan lebih mampu bekerja
serta menggunakan fasilitas kerja dengan baik.
4. Manajemen
Berkaitan dengan sistem yang diterapkan oleh pimpinan untuk mengelola atau pun
memimpin serta mengendalikan bawahannya. Apabila manajemennya tepat, maka akan
menimbulkan semangat yang lebih tinggi sehingga dapat mendorong pegawai untuk melakukan
tindakan produktif.
5. Hubungan Industrial Pancasila
Dengan penerapan hubungan industrial pancasila maka akan:
a. Menciptakan ketenangan kerja dan memberikan motivasi kerja.
b. Menciptakan hubungan kerja yang serasi dan dinamis sehingga menumbuhkan partisipasi aktif
dalam usaha meningkatkan produktivitas.
c. Menciptakan harkat dan martabat pegawai sehingga mendorong diwujudkannya jiwa yang
berdedikasi dalam upaya meningkatkan produktivitas.
6. Tingkat Penghasilan
Apabila tingkat penghasilan pegawai tinggi, maka akan menimbulkan konsentrasi dan
semangat kerja sehingga pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas kerja.
7. Gizi dan Kesehatan
Apabila pegawai dapat dipenuhi kebutuhan gizinya dan berbadan sehat, maka akan lebih
kuat bekerja, apalagi bila mempunyai semangat yang tinggi maka akan dapat meningkatkan
produktivitas kerjanya.
8. Jaminan Sosial
Jaminan sosial yang diberikan oleh suatu organisasi kepada pegawainya dimaksudkan
untuk meningkatkan pengabdian dan semangat kerja. Apabila jaminan sosial pegawai
mencukupi, maka akan dapat menimbulkan produktivitas kerja.
9. Lingkungan dan Iklim Kerja
Lingkungan dan iklim kerja merupakan hal baik dalam mendorong pegawai agar senang
dalam bekerja dan meningkatkan rasa tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan dengan lebih
baik sehingga terarah dalam peningkatan produktivitas kerja.
10. Sarana Produksi
Mutu sarana produksi berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas kerja karena
dengan mutu sarana produksi yang lebih baik, seseorang dapat bekerja dengan semangat.
11. Teknologi
Apabila teknologi yang dipakai lebih tepat, maka akan memungkinkan jumlah produksi
yang dihasilkan lebih banyak dan bermutu serta memperkecil terjadinya pemborosan bahan sisa.
12. Kesempatan Berprestasi
Apabila terbuka kesempatan dalam berprstasi, akan menimbulakan dorongan psikologis
untuk meningkatkan potensi yang dimiliki untuk meningkatkan produktivitas.
Sedangkan menurut pendapat Sri Haryani (2002:104), yang dirangkum penulis bahwa
variabel yang mempengaruhi produktivitas dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu:
1. Variabel yang berasal dari karyawan
a. Bersifat Fisikal, meliputi:
- Gizi, berguna untuk mendukung aktivitas fisik mapupun mental, sehingga orang tidak akan cepat
lelah dalam bekerja dan mampu berpikir secara optimal.
- Kesehatan, merupakan faktor penting dalam meningkatkan produktivitas karyawan, yang
mencakup kesehatan fisik dan mental, karena secara umum orang yang sehat akan mampu
bekerja dengan lebih baik dibanding orang yang tidak sehat.
b. Bersifat Psikologikal, meliputi:
- Motivasi. Masing-masing individu mendorong dirinya sendiri untuk meningkatkan produktivitas
kerjanya, orang yang bekerja dengan motovasi yang lebih tinggi, akan menghasilkan
produktivitas yang tinggi pula.
- Sikap. Sikap seseorang akan tercermin dari prestasi kerjanya, sikap yang positif terhadap
pekerjaan ditunjukan dengan kesediaan yang lebih besar untuk berusaha agar apa yang
dikerjakan berhasil dan untuk bertanggung jawab terhadap apa yang ditugaskan kepadanya.
Sementara sikap yang negatif ditunjukkan dengan adanya sikap yang pasif, dimana hanya
mengerjakan seperti apa yang diperintahkan, menyukai pengarahan, dan apabila memungkinkan
akan menghindar dari tanggung jawab.
c. Keterampilan. Meliputi:
- Bakat. Orang yang bekerja sesuai dengan bakatnya akan mempunyai produktivitas yang relatif
lebih tinggi dibanding mereka yang kurang berbakat.
- Pendidikan. Seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memungkinkan dirinya
untuk bekerja lebih produktif dibanding yang pendidikannya lebih rendah. Karyawan yang
memiliki pendidikan lebih tinggi akan mempunyai wawasan yang lebih luas, kematangan dalam
berfikir, dan bekerja dengan lebih baik.
- Latihan. Latihan dimaksudkan untuk membentuk dan meningkatkan keterampilan dalam bekerja.
2. Variabel yang berasal dari perusahaan.
a. Lingkungan Kerja. Dibedakan menjadi dua, yaitu lingkungan fisik dan non fisik. Lingkungan
fisik terdiri dari pencahayaan, sirkulasi udara, tersediannya fasilitas kamar dan WC, tersedianya
fasilitas olah raga, serta fasilitas ibadah. Sedangkan lingkungan non fisik misalnya rasa
perkawanan diantara karyawan, hubungan antara karyawan dengan manajer, dan persaingan yang
sehat. Lingkungan fisik yang baik akan mendukung peningkatan produktivitas.
b. Kemampuan Manajemen. Kemampuan manajerial seorang pemimpin sangat berpengaruh
terhadap produktivitas. Dalam hal ini pemimpin akan bertugas untuk mengarahkan kegiatan
karyawan, sehingga mengarah ke pencapaian tujuan perusahaan. Dengan pemimpin yang efektif
tujuan perusahaan lebih mudah tercapai.
c. Kebijakan Perusahaan dalam Produktivitas. Adanya kebijakan perusahaan dalam bidang
produktivitas akan menggerakan seluruh anggota perusahaan baik karyawan maupun manajer
untuk berusaha mencapai produktivitas yang lebih tinggi.

3. Variabel yang Berasal dari Lingkungan Eksternal, yang meliputi:


a. Teknologi. Secara umum teknologi akan membantu meyelesaikan tugas-tugas dengan lebih cepat
dan lebih banyak, selain itu dapat membantu meyelesaikan pekerjaan manusia dengan lebih baik.
b. Kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah dapat berpengaruh langsung maupun tidak
langsung terhadap produktivitas. Kebijakan secara langsung meliputi kebijakan dalam bidang
pendidikan dan latihan. Sedangkan kebijakan tidak langsung adalah kebijakan dalam bidang
investasi, perizinan, dan fiskal.
c. Kondisi ekonomi. Kondisi secara umum dapat mempengaruhi produktivitas. Kondisi krisis
seperti yang terjadi pada tahun 1997-1999 berdampak pada penurunan produktivitas sehingga
secara nasional produktivitas juga menurun.

Strategi untuk meningkatkan Produktivitas Kerja


Pada dasarnya semua perusahaan menginginkan mempunyai produktivitas yang tinggi.
Namun dalam kasus-kasus tertentu atau waktu-waktu tertentu perusahaan mandapati bahwa
produktivitas perusahaannya relatif rendah. Menghadapi situasi seperti ini manajemen
perusahaan akan mencari strategi untuk meningkatkan produktivitas.
Menurut Randall yang dikutip oleh Sri Haryani (2002:109-114) mengemukakan bahwa
Program yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas, dikelompokan menjadi tiga, yaitu
yang menekankan pada desain ulang lingkungan kerja dan program yang memfokuskan pada
peningkatan partisipasi karyawan, serta intervensi pemerintah dalam meningkatkan
produktivitas. Berikut adalah rangkuman mengenai penjelasan program peningkatan
produktivitas:
1. Desain ulang lingkungan kerja.
Produktivitas banyak dipengaruhi oleh variabel-variabel yang berhubungan dengan
lingkungan kerja. Oleh karena itu perusahaan harus menjamin bahwa pekerjaan didesain untuk
memaksimumkan produktivitas. Beberapa strategi desain ulang lingkungan kerja adalah:
a. Work site redesign (ergonomik), merupakan suatu kegiatan untuk mendesain pekerjaan dan
peralatan sehingga sesuai dengan kemampuan fisik manusia.
b. Robotik, penggunaan robot-robot di perusahaan dimaksudkan untuk menggantikan tenaga
manusia. Keunggulan penggunaan robot yaitu menurunkan biaya tenaga kerja dan dapat
meningkatkan kualitas dan produktivitas.
c. Otomasi pekerjaan kantor. Dengan otomatisasi pekerjaan kantor diharapkan tugas-tugas dapat
segera diselesaikan, sehingga produktivitas meningkat.
d. Mengubah desain pekerjaan (job design). Pengubahan desain kerja dimaksudkan untuk
meningkatkan produktivitas melalui peningkatan motivasi dan kepuasan karyawan. Disamping
itu pengubahan desain kerja juga dimaksudkan untuk menghilangkan kejenuhan/kebosanan
dalam bekerja. Pengubahan desain kerja dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu: rotasi kerja,
pengkayaan pekerjaan, dan pemekaran pekerjaan.
e. Pengaturan kerja alternatif. Pengaturan kerja alternatif yang paling populer adalah flextime,
perusahaan memberikan kebebasan kepada karyawan dalam hal waktu masuk kerja dan waktu
pulang kerja, namun tetap harus memenuhi jam kerja yang telah ditetapkan.
2. Peningkatan partisipasi karyawan
Peningkatan partisipasi karyawan dapat meningkatkan produktivitas melalui peningkatan
motivasi dan kepuasan. Dengan meningkatnya motivasi dan kepuasan, maka karyawan akan
lebih besar kesediaannya dalam mencapai tujuan perusahaan. Peningkatan partisipasi karyawan
dilakukan dengan beberapa cara, seperti: dalam pengambilan keputusan, dalam
mengidentifikasikan masalah, dan untuk memberikan saran-saran.
3. Intervensi pemerintah
Intervensi pemerintah untuk meningkatkan produktivitas dilakukan dengan mengeluarkan
kebijakan dan program-program, yaitu:
a. Kebijakan, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam upaya meningkatkan
produktivitas diantaranya adalah kebijkan pendidikan, anggaran dalam bidang pendidikan,
investasi, dan perizinan.
b. Program-program. Program pemerintah dalam upaya meningkatkan produktivitas adalah dengan
mendirikan balai-balai latihan sperti: balai latihan kerja, Multi Media Training Centre, dan
transmigrasi.
R. Bruce Mcafee dan William Poffenberger dalam bukunya Productivity Strategies
Enchancing Employee Job Performance menyatakan bahwa strategi-strategi untuk meningkatkan
produktivitas karyawan adalah sebagai berikut:
1. Menggunakan penguatan dan pembentukan positif
Satu arah untuk memperbaiki kinerja karyawan yaitu dengan memberikan penghargaan
perilaku yang diinginkan tetapi bukan perilaku yang tidak menyenangkan. Kapan, bagaimana,
dan seberapa sering seorang karyawan harus dihadiahi adalah satu bagian integral dari
pendekatan ini.
2. Menggunakan disiplin dan hukuman efektif
Pendekatan ini untuk meningkatkan produktivitas karyawan menekankan pentingnya
mempunyai dan memanfaatkan prosedur kedisiplinan efektif. Bagaimana dan kapan untuk
disiplin seorang karyawan agar benar-benar memperbaiki kinerjanya dan juga menghindari efek
samping yang tidak diinginkan merupakan tujuan dari pendekatan ini.
3. Memperlakukan orang-orang secara adil
Strategi ini untuk meningkatkan produktivitas karyawan merekomendasikan bahwa para
manajer memperlakukan karyawan mereka secara adil atau meyakinkan karyawan mereka secara
adil atau meyakinkan karyawan bahwa pada kenyataannya mereka menerima perlakuan yang
adil. Apa yang dimaksud dengan memperlakukan secara adil merupakan komponen-komponen
penting dari strategi ini.

4. Memuaskan kebutuhan karyawan


Salah satu strategi penambahan produktivitas terbaik yang dikenal dan yang paling tua
untuk menentukan apa yang dibutuhkan karyawan adalah untuk membuat pemuasan kebutuhan
tersedia. Pendekatan ini memerlukan satu pemahaman kebutuhan-kebutuhan dasar manusia dan
cara orang-orang yang berbeda di dalam kekuatan kebutuhan-kebutuhan mereka.
5. Mengatur pekerjaan yang berhubungan dengan sasaran
Pendekatan ini membantah bahwa menentukan mengukur sasaran sulit untuk karyawan
atau membiarkan karyawan untuk membuat sasaran bagi diri mereka dapat mengakibatkan
produktivitas karyawan lebih tinggi.
6. Merestrukturisasi pekerjaan
Pendekatan ini merekomendasikan bahwa pekerjaan tersusun atau dirancang sedemikian
rupa sehingga mereka meyediakan karyawan dengan rasa pemenuhan prestasi, dan tanggung
jawab.
7. Ganjaran berdasarkan kinerja
Seseorang penyelia yang menggunakan pendekatan ganjaran karyawan berdasarkan pada
kualitas dan kuantitas pekerjaan mereka. Bagi bawahan, produktivitas yang lebih tinggi berarti
semakin besar ganjaran. Para manajer yang menggunakan pendekatan ini menyadari bahwa
senioritas dan pendidikan didalam dirinya bukanlah ukuran-ukuran yang tepat sebagai dasar
pemberian ganjaran.
Pada dasarnya upaya-upaya peningkatan produktivitas perusahaan harus dimulai dari
produktivitas individu (karyawan) yang ada dalam perusahaan, sehingga manajemen industri
yang ingin meningkatkan produktivitas individu (karyawan), sebelum memperhatikan
produktivitas dari sumber-sumber daya lain seperti: material, energi, modal, mesin, peralatan,
informasi, dan lain-lain.
Vincent Gaspersz (2000:71) mengemukakan karakteristik umum dari individu atau
karyawan yang produktif biasanya ditandai dengan beberapa hal berikut:
1. Secara terus menerus selalu mencari berbagai gagasan dan cara penyelesaian tugas yang lebih
baik.
2. Selalu memberikan saran-saran untuk perbaikan secara sukarela
3. Menggunakan waktu secara efekif dan efisien
4. Selalu melakukan perencanaan dengan menyertakan jadwal waktu
5. Selalu bersikap positif terhadap pekerjaannya
6. Dapat berperan sebagai anggota tim kerja sama dengan baik, sebagimana juga menjadi pemimpin
tim kerja sama dengan baik.
7. Dapat memotovasi diri melalui dorongan dari dalam diri sendiri
8. Memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap pekerjaannya serta mau
menerapkannya dalam pekerjaan itu.
9. Mau menerima ide-ide atau saran-saran yang dianggap lebih baik dari orang lain.
10. Hubungan antar pribadi dengan semua tingkatan manajemen dalam organisasi berlangsung baik.
11. Sangat menyadari dan mempedulikan masalah pemborosan dan inefisiesnsi dalam penggunaan
sumber-sumber daya.
12. Mempunyai tingkat kehadiran yang baik
13. Seringkali melampaui standar-standar yang telah ditetapkan
14. Selalu mampu mempelajari Sesutu hal baru dengan cepat.

Indikator produktivitas menurut Sedarmayanti (2001:79) yang dikembangkan dan


dimodifikasi dari pemikiran yang disampaikan oleh Gilmore dan Erich Fromm tentang individu
yang produktif, yaitu:
1. Tindakan konstruktif.
2. Percaya pada diri sendiri.
3. Bertanggung Jawab.
4. Mmemiliki rasa cinta terhadap pekerjaan.
5. Mempunyai pandangan ke depan.
6. Mampu mengatasi persoalan dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah-
ubah.
7. Mempunyai kontribusi positif terhadap lingkungannya (kreatif, imaginative, dan inovatif).
8. Memiliki kekuatan untuk mewujudkan potensinya.

Selanjutnya Sedarmayanti (2001:80) mengutip dari A. Dale Timpe mengungkapkan


tentang ciri umum pegawai yang produktif adalah sebagai berikut:
1. Cerdas dan dapat belajar dengan cepat.
2. Kompeten secara professional/teknis selalu memperdalam pengetahuan dalam bidangnya.
3. Kreatif dan inovatif, memperlihatkan kecerdikan dan keanekaragaman.
4. Memahami pekerjaan
5. Belajar dengan cerdik, menggunakan logika, menggorganisasikan pekerjaan dengan efisien,
tidak mudah macet dalam bekerja. Selalu mempertahankan kinerja rancangan, mutu, kehandalan,
pemeliharaan keamanan, mudah dibuat, produktivitas, biaya, dan jadwal.
6. Selalu mencari perbaikan, tetapi tahu kapan harus berhenti menyempurnakan.
7. Dianggap bernilai oleh pengawasnya.
8. Memiliki catatan prestasi yang berhasil
9. Selalu meningkatkan diri.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PRODUKTIVITAS KERJA
SANDI RAKA ON EKONOMI, MAKALAH, SKRIPSI ON 07.07 WITH 2 COMMENTS
Banyaknya faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja, baik yang

berhubungan tenaga kerja maupun yang berhubungan dengan lingkungan

perusahaan dan kebijaksanaan pemerintah secara keseluruhan.

Menurut balai pengembangan produktivitas daerah yang dikutip oleh

Soedarmayanti bahwa ada enam faktor ytama yang menentukan

produktivitas tenaga kerja, adalah :

1. Sikap kerja, seperti : kesediaan untuk bekerja secara bergiliran (shift


work) dapat menerima tambahan tugas dan bekerja dalam suatu tim

2. Tingkat keterampilan yang ditentukan oleh pendidikan latihan dalam

manajemen supervise serta keterampilan dalam tehnik industri

3. Hubungan tenaga kerja dan pimpinan organisasi yang tercermin dalam

usaha bersama antara pimpinan organisasi dan tenaga kerja untuk

meningkatkan produktivitas melalui lingkaran pengawasan

mutu (Quality control circles)

4. Manajemen produktivitas, yaitu : manajemen yang efesien mengenai

sumber dan sistem kerja untuk mencapai peningkatan produktivitas

5. Efesiensi tenaga kerja, seperti : perencanaan tenaga kerja dan

tambahan tugas.

6. Kewiraswastaan, yang tercermin dalam pengambilan resiko, kreativitas

dalam berusaha, dan berada dalam jalur yang benar dalam berusaha

Disamping hal tersebut terdapat pula berbagai faktor yang

mempengaruhi produktivitas kerja, diantaranya adalah :


1. Sikap mental, berupa

1. Motivasi kerja

2. Disiplin kerja

3. Etika kerja

2. Pendidikan

Pada umumnya orang yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan

mempunyai wawasan yang lebih luas terutama penghayatan akan arti

pentingya produktivitas dapat mendorong pegawai yang bersangkutan

melakukan tindakan yang produktif

3. Keterampilan

Pada aspek tertentu apabila pegawai semakin terampil, maka akan

lebih mampu bekerja serta menggunakan fasilitas kerja dengan baik.

Pegawai akan lebih menjadi terampil apabila mempunyai

kecakapan (Ability) dan pengalaman (Experience) yang cukup.

4. Manajemen

Pengertian manajemen ini berkaitan dengan sistem yang dikaitkan

oleh pimpinan untuk mengelola ataupun memimpin serta

mengendalikan staf/bawahannya. Apabila manajemennya tepat akan

menimbulkan semangat yang lebih tinggi sehingga dapat mendorong

pegawai untuk melakukan tindakan yang produktif.

5. Hubungan industrial pancasila


Dengan penerapan hubungan industrial pancasila, maka akan :

1. Menciptakan ketenangan kerja dan memberikan motivasi kerja secara

produktif sehingga produktifitas meningkat.

2. Menciptakan hubungan kerja yang serasi dinamis sehingga

menumbuhkan partisipasi dalam usaha meningkatkan produktivitas.

3. Menciptakan harkat dan martabat pegawai sehingga mendorong

diwujudkannya jiwa yang berdedikasi dalam upaya peningkatan


produktivitas.

6. Tingkat penghasilan

Apabila tingkat penghasilan memadai maka dapat menimbulkan

konsentrasi kerja dan kemampuan yang dimiliki dapat dimanfaatkan

untuk meningkatkan produktivitas.

7. Jaminan sosial

Jaminan sosial yang diberikan oleh suatu organisasi kepada

pegawainya dimaksudkan untuk menigkatkan pengabdian dan

semangat kerja. Apabila jaminan sosial pegawai mencukupi maka akan

dapat menimbulkan kesenangan bekerja. Sehingga mendorong

pemanfaatan kemampuan yang dimiliki untuk meningkatkan

produktivitas kerja.

8. Lingkungan dan iklim kerja


Lingkungan dan iklim yang kerja yang baik akan mendorong pegawai

akan senang bekerja dan meningkatkan rasa tanggung jawab untuk

melakukan pekerjaan dengan lebih baik menuju kearah peningkatan

produktivitas.

9. Sarana produksi

Mutu sarana produksi sangat berpengaruh terhadap peningkatan

produktivitas. Apabila sarana produksi yang digunakan tidak baik


kadang-kadang dapat menimbulkan pemborosan bahan yang dipakai.

10. Teknologi

Apabila teknologi yang dipakai tepat dan tingkatannya maka akan

memungkinkan

1. Tepat waktu dalam penyelesaian proses produksi

2. Jumlah produksi yang dihasilkan lebih banyak dan bermutu

3. Memperkecil terjadinya pemborosan bahan sisa

Dengan memperhatikan hal termaksud, maka penerapan teknologi

dapat mendukung peningkatan produktivitas.

11. Kesempatan berprestasi

Pegawai yang bekerja tentu mengharapkan peningkatan karir atau

pengembangan potensi yang pribadi yang nantinya akan bermanfaat

baik bagi dirinya maupun bagi organisasi. Apabila terbuka kesempatan

untuk berprestasi, maka akan menimbulkan psikologis untuk


meningkatkan dedikasi serta pemanfaatan potensi yang dimiliki untuk

meningkatkan produktivitas kerja.

MAU GAJI 20 JUTA ? KERJA 2 JAM MODAL 20 JUTA PERBULAN DENGAN MODAL 95
CUMA 95 RIBU RIBU, MAU?

DAFTAR 95 RIBU, KERJA 2 JAM DAPET Solusi Hidup Kaya Raya Dan Modal
500 RIBU, MAU? Usaha!

Dari berbagai faktor produktivitas tersebut diatas, maka dapat diperjelas

bahwa tiap-tiap faktor adalah saling mempengaruhi peningkatan

produktivitas baik secara langsung maupun tidak langsung. Pendidika

membentuk dan menambah pengetahuan seseorang untuk menambah

pengetahuan seseorang untuk mengerjakan sesuatu dengan lebih cepat

dan lebih tepat. Latihan dan membentuk dan meningkatkan keterampilan

kerja. Dengan demikian tingkat produktivitas kerja seseorang pegawai

akan semakin tinggi pula.

Produktivitas adalah suatu pendekatan interdisipliner untuk menentukan tujuan yang


efektif, pembuatan rencana, aplikasi penggunaan cara yang produktivitas untuk menggunakan
sumber-sumber secara efisien, dam tetap menjaga adanya kualitas yang tinggi. Produktivitas
mengikutsertakan pendayagunaan secara terpadu sumber daya manusia dan keterampilan, barang
modal teknologi, manajemen, informasi, energi, dan sumber-sumber lain menuju kepada
pengembangan dan peningkatan standar hidup untuk seluruh masyarakat, melalui konsep
produktivitas semesta total.
Produktivitas mempunyai pengertiannya lebih luas dari ilmu pengetahuan, teknologi dan
teknik manajemen, yaitu sebagai suatu philosopi dan sikap mental yang timbul dari motivasi
yang kuat dari masyarakat, yang secara terus menerus berusaha meningkatkan kualitas
kehidupan.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan produktivitas?


2. Apa factor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja?

3. Apa ukuran-ukuran penilaian kinerja?

4. Bagaimana strategi meningkatkan produktivitas kerja?

5. Apa yang dimaksud dengan Manajemen Perubahan?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Memahami konsep produktivitas secara keseluruhan

2. Mengetahui factor-faktor yang memperngaruhi produktivitas kerja

3. Mengetahui ukuran-ukuran dalam penilaian kinerja

4. Memahami strategi dalam meningkatkan produktivitas kerja

5. Memahami konsep tentang Manajemen Perubahan

2.1 Definisi Produktivitas


Secara umum, produktivitas diartikan sebagai hubungan antara hasil nyata maupun fisik
dengan masukan yang sebenarnya (ILO, 1979). Greenberg yang dikutip oleh Sinungan (1985)
mengartikan produktivitas sebagai perbandingan antara totalitas pengeluaran pada waktu tertentu
dibagi totalitas masukan selama periode tersebut.
Pengertian lain produktivitas adalah sebagai tingkatan efisiensi dalam memproduksi
barang-barang atau jasa-jasa: Produktivitas mengutarakan cara pemanfaatan secara baik
terhadap sumber-sumber dalam memproduksi barang-barang.
Produktivitas juga diartikan sebagai :
a.Perbandingan ukuran harga bagi masukan dan hasil.
b.Perbedaan antara kumpulan jumlah pengeluaran dan masukan yang dinyatakan dalam satu-
satuan (unit) umum.
Dalam berbagai referensi terdapat banyak sekali pengertian mengenai produktivitas, yang
dapat kita kelompokkan menjadi tiga, yaitu :
a. Rumusan tradisional bagi keseluruhan produktivitas tidak lain ialah ratio dari pada apa yang
dihasilkan (out put) terhadap keseluruhan peralatan produksi yang dipergunakan (input).
b. Produktivitas pada dasarnya adalah suatu sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa
mutu kehidupan hari ini lebih baik dari pada kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini.
c. Produktivitas merupakan interaksi terpadu secara serasi dari tiga faktor esensial, yakni:
investasi termasuk penggunaan pengetahuan dan teknologi serta riset; manajemen; dan tenaga
kerja.

2.2 Konsep Produktivitas


Peningkatan produktivitas dan efisiensi merupakan sumber pertumbuhan utama untuk
mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Sebaliknya, pertumbuhan yang tinggi dan
berkelanjutan juga merupakan unsur penting dalam menjaga kesinambungan peningkatan
produktivitas jangka panjang. Dengan demikian, pertumbuhan dan produktivitas bukan dua hal
yang terpisah atau memiliki hubungan satu arah, melainkan keduanya adalah saling tergantung
dengan pola hubungan yang dinamis, tidak mekanistik, non linear dan kompleks.Secara makro,
sumber pertumbuhan dapat dikelompokkan kedalam unsur berikut:.Pertama, peningkatan stok
modal sebagai hasil akumulasi dari proses pembangunan yang terus berlangsung. Proses
akumulasi ini merupakan hasil dari proses investasi.Kedua, peningkatan jumlah tenaga kerja
juga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.Ketiga, peningkatan produktivitas
merupakan sumber pertumbuhan yang bukan disebabkan oleh peningkatan penggunaan jumlah
dari input atau sumber daya, melainkan disebabkan oleh peningkatan kualitasnya. Dengan
jumlah tenaga kerja dan modal yang sama, pertumbuhan output akan meningkat lebih cepat
apabila kualitas dari kedua sumber daya tersebut meningkat.Walaupun secara teoritis faktor
produksi dapat dirinci, pengukuran kontribusinya terhadap output dari suatu proses produksi
sering dihadapkan pada berbagai kesulitan. Disamping itu, kedudukan manusia, baik sebagai
tenaga kerja kasar maupun sebagai manajer, dari suatu aktivitas produksi tentunya juga tidak
sama dengan mesin atau alat produksi lainnya. Seperti diketahui bahwa output dari setiap
aktivitas ekonomi tergantung pada manusia yang melaksanakan aktivitas tersebut, maka sumber
daya manusia merupakan sumber daya utama dalam pembangunan. Sejalan dengan fenomena
ini, konsep produktivitas yang dimaksud adalah produktivitas tenaga kerja. Tentu saja,
produktivitas tenaga kerja ini dipengaruhi, dikondisikan atau bahkan ditentukan oleh
ketersediaan faktor produksi komplementernya seperti alat dan mesin. Namun demikian konsep
produktivitas adalah mengacu pada konsep produktivitas sumber daya manusia.Secara umum
konsep produktivitas adalah suatu perbandingan antara keluaran (out put) dan masukan (input)
persatuan waktu. Produktivitas dapat dikatakan meningkat apabila:1. Jumlah produksi/keluaran
meningkat dengan jumlah masukan/sumber daya yang sama.2. Jumlah produksi/keluaran sama
atau meningkat dengan jumlah masukan/sumber daya lebih kecil dan,3. Produksi/keluaran
meningkat diperoleh dengan penambahan sumber daya yang relatif kecil (soeripto, 1989; Chew,
1991 dan pheasant, 1991).
Konsep tersebut tentunya dapat dipakai didalam menghitung produktivitas disemua
sektor kegiatan. Menurut Manuaba (1992a) peningkatan produktivitas dapat dicapai dengan
menekan sekecil-kecilnya segala macam biaya termasuk dalam memanfaatkan sumber daya
manusia (do the right thing) dan meningkatkan keluaran sebesar-besarnya (do the thing right).
Dengan kata lain bahwa produktivitas merupakan pencerminan dari tingkat efisiensi dan
efektifitas kerja secara total.
Konsep produktivitas kerja dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi individu dan dimensi
organisasian. Dimensi individu melihat produktivitas dalam kaitannya dengan karakteristik-karakteristik
kepribadian individu yang muncul dalam bentuk sikap mental dan mengandung makna keinginan dan
upaya individu yang selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Sedangkan dimensi
keorganisasian melihat produktivitas dalam kerangka hubungan teknis antara masukan (input) dan
keluaran (out put). Oleh karena itu dalam pandangan ini, terjadinya peningkatan produktivitas tidak hanya
dilihat dari aspek kuantitas, tetapi juga dapat dilihat dari aspek kualitas.
Kedua pengerian produktivitas tersebut mengandung cara atau metode pengukuran tertentu
yang secara praktek sukar dilakukan. Kesulitan-kesulitan itu dikarenakan, pertama karakteristik-
karakteristik kepribadian individu bersifat kompleks, sedangkan yang kedua disebabkan masukan-
masukan sumber daya bermacam-macam dan dalam proporsi yang berbeda-beda.

Produktivitas kerja sebagai salah satu orientasi manajemen dewasa ini, keberadaannya
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap produktivitas pada
dasarnya dapat diklasifikasikan kedalam dua jenis, yaitu pertama faktor-faktor yang berpengaruh secara
langsung, dan kedua faktor-faktor yang berpengaruh secara tidak langsung.

2.3 Pengukuran Produktivitas


Pengukuran produktivitas merupakan suatu alat manajemen yang penting disemua
tingkatan ekonomi. Dibeberapa Negara maupun perusahaan pada akhir-akhir ini telah terjadi
kenaikan minat pada pengukuran produktivitas. Karena itu sudah saatnya kita membicarakan
alasan mengapa kita harus mengukur produktivitas.
2.3.1 Mengukur Produktivitas
Pada tingkat sektoral dan nasional, produktivitas menunjukkan kegunaannya dalam
membantu evaluasi penampilan, perncanaan, kebijakan pendapatan, upah dan harga melalui
identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi pendapatan, membandingkan sektor-
sektor ekonomi yang berbeda untuk menentukan prioritas kebijakan bantuan, menentukan
tingkar pertumbuhan suatu sektor atau ekonomi, mengetahui pengaruh perdagangan internasional
terhadap perkembangan ekonomi dan seterusnya. Pada tingkat perusahaan, pengukuran
produktivitas terutama digunakan sebagai sarana manajemen untuk menganalisa dan memdorong
efisiensi produksi.
Pertama, dengan pemberitahuan awal, instalasi dan pelaksanaan suatu sistem pengukuran, akan
meninggikan kesadaran pegawai dan minatnya pada tingkat dan rangkaian produktivitas.
Kedua, diskusi tentang gambaran-gambaran yang berasal dari metode-metode yang relatif kasar
ataupun dari data yang kurang memenuhi syarat sekalipun, ternyata memberi dasar bagi
penganalisaan proses yang konstruktif atas produktif.
Manfaat lain yang diperoleh dari pengukuran produktivitas mungkin terlihat pada
penempatan perusahaan yang tetap seperti dalam menentukan target/sasaran tujuan yang nyata
dan pertukaran informasi antara tenaga kerja dan manajemen secara periodik terhadap masalah-
masalah yang saling berkaitan. Pengamatan atas perubahan-perubahan dari gambaran data yang
diperoleh sering nilai diagnostik yang menunjuk pada kemacetan dan rintangan dalam
meningkatkan penampilan oraganisasi. Satu keuntungan dari pengukuran produktivitas adalah
pembayaran staf. Gambaran data melengkapi suatu dasar bagi andil manfaat atas penmpilan yang
ditingkatkan.

2.3.2 Metode-Metode Pokok Pengukuran Produktivitas


Secara umum pengukuran produktivitas berarti perbandingan yang dapat dibedakan
dalam tiga jenis yang sangat berbeda:
1. Perbandingan-perbandingan antara pelaksanaan sekarang dengan pelaksanaan secara historis
yang tidak menunjukkan apakah pelaksanaan sekarang ini memuaskan, namun hanya
mengetengahkan apakah meningkat atau berkurang serta tingkatannya.
2. Perbandingan pelakasanaan antara satu unit (perorangan tugas, seksi, proses) dengan lainnya.
Pengukuran seperti itu menunjukkan pencapaian relatif.
3. Perbandingan pelaksanaan sekarang dengan targetnya, dan inilah yang terbaik sebagai
memusatkan perhatian pada sasaran/tujuan.
Untuk menyusun perbandingan-perbandingan ini perlulah mempertimbangkan tingkatan
daftar susunan dan perbandingan pengukuran produktivitas. Paling sedikit ada 2 jenis tingkat
perbandingan yang berbeda, yakni produktivitas total dan produktivitas parsial.
1. Produktivitas Total adalah perbandingan antara total keluaran (output) dengan total masukan
(input) persatuan waktu. Dalam penghitungan produktivitas total semua faktor masukan (tenaga
kerja, kapital, bahan, energi) tehadap total keluaran harus diperhitungkan.
Prouktivitas Total = Output Agregat / Input Agregat
2. Produktivitas parsial adalah perbandingan dari keluaran dengan satu jenis masukan atau input
persatuan waktu, seperti upah tenaga kerja, kapital, bahan, energi, beban kerja, dll.
Prouktivitas Parsial = Output / Biaya Tenaga kerja
2.4 Peningkatan Produktivitas Kerja
Sebuah perusahaan atau sistem produksi lainnya menerapkan kombinasi kebijakan, rencana sumber-su
dituangkan melalui dan dengan bentuan faktor-faktor produktivitas internal dan eksternal. Pada tingkat perusahaa
atau melalui :

Tenaga kerja

Manajemen dan organisasi

Modal pokok, bahan mentah

Contoh: Pengaruh faktor-faktor seperti pendidikan dan latihan terlihat pada keahlian dan sikap
pekerja. Kemajuan teknologi dan litbang jika direalisasikan pada tingkat perusahaan hanyalah
melalui tenaga kerja trampil, perlengkapan serta manajemen yang lebih baik, dengan kata lain
melalui sumber-sumber manusia dan material. Faktor-faktor lingkungan seperti siklus
perdagangan, ekonomi skala serta kondisi melalui tenaga kerja (pekerja lapangan dan pekerja
kantor tata usaha maupun manajemennya) dan modal.
Jadi peningkatan produktivitas terutama berkaitan dengan tiga jenis sumber:
Modal (Perlengkapan, material, energi, tanah dan bangunan)
Tenaga kerja.
Manjemen dan organisasi.
2.4.1 Perlengkapan, Material, Dan Tenaga/Energi
Sebuah perbandingan dari hasil perjam kerja manusia melalui waktu dipengaruhi oleh
volume, variasi dan hasil tahunan modal tetap. Kualitas, unsur peralatan serta tingkat
keseragamannya seringkali berat timbangannya dalam mengukur produktivitas organisasi. Pada
umumnya metode-metode perintah kerja untuk penggunaan yang lebih baik dari peralatan, dapat
disarankan:
Pemilihan daya guna peralatan yang cocok.
Penjadwalan daya guna mesin.
Pengaturan pelayanan dan perawatan mesin.
Melatih dan memberikan pelajaran pada pekerja operasional.
Faktor pertumbuhan produktivitas yang sangat penting adalah material dan tenaga.
Penggunaan bahan baku yang terbuang rata-rata mencapai sekitar 40% dari biaya produksi
nasional secara keseluruhan, jika kita mempertimbangkan tenaga maupun bahan baku, maka
gambaran ini meningkat dalam jumlah yang besar.
Latihan operator yang sedikit, penataan yang kurang baik serta ruang gedung yang tidak
cukup, dapat memperburuk masalah penanganan bahan-bahan dan mengarah kepada perubahan
gerak dan berakibat. Tujuan yang paling penting haruslah dengan merancang metode-metode
untuk memproduksi jumlah hasil produksi yang sama dengan energi material yang sedikit serta
mengganti material maupun alat-alat dengan biaya lebih rendah atau mungkin lebih
memproduksi barang lebih dari jumlah bahan yang sama. Menngkatkan produtivitas juga
tegantung pada pemilihan bahan-bahan maupun daya guna secara optimal. Setiap material
mempunyai harga dan kualitas sendiri yang pemilihan yang tepat akan mempengruhi
produkitivitas.
2.4.2 Angkatan Kerja
Salah satu area potensial tertinggi dalam peningkatan produktivitas adalah mengurangi
jam kerja yang tidak efektif. Lamanya buruh bekerja, dan proporsi penempatan waktu yang
produktif sangat tergantung kepada cara pengaturan, latihan, pengaturan dan motivasinya.
Beberapa penyelidikan menunjukkan bahwa waktu yang produktif berkisar 25% sampai 30%
sedangkan yang tidak produktif karena kejelekan manajemennya kadang-kadang mencapai 50%
lebih dan sisanya disebabkan adanya pekerjaan yang sia-sia ataupun karena sikap pekerjaannya.
a. Struktur Waktu Kerja
Analisa dan studi yang berhati-hati terhadap semua komponen dan penggunaan waktu
yang tidak efektif menyebabkan manajemen dan pengawasan mampu mengurangi sebab-sebab
utama dari kerugian waktu serta membantu merencanakan teknik-teknik peningkatan
produktivitas bagi kepentingan individu atau kelompok pelaksanaan.
b. Peningkatan Efektifitas Dari Waktu Kerja
Masalah berikutnya adalah cara melaksanakan teknik peningkatan produktivitas
menggunakan manajemen, penambahan material, perencanaan dan organisasi kerja yang lebih
baik, latihan dan pendidikan, kepuasan tugas serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi kualitas
tenaga kerja maupun memanfaatkan cadangan-cadangan.
Kesempatan utama dalam meningkatkan produktivitas manusia terletak pada kemampuan
individu sikap individu dalam bekerja serta manajemen maupun organisasi kerja dengan kata
lain, dalam mengkaji produktivitas pekerja individual paling sedikit kita harus menjawab dari
pertanyaan pokoknya: mampukah buruh bekerja lebih baik dan tertarikkah pekerja untuk bekerja
lebih giat? Untuk menjawab kita harus mengecek dua kelompok syarat bagi produktivitas
perorangan yang tinggi yang pertama sedikitnya meliputi:
Tingkat pendidikan dan keahlian.
Jenis teknologi dan hasil produksi.
Kondisi kerja.
Kesehatan, kemampuan fisik dan mental.
Kelompok kedua mencakup:
Sikap (terhadap tugas), teman sejawat dan pengawas).
Keaneka ragaman tugas.
Sistem insentif (sistem upah dan bonus).
Kepuasan kerja keamanan kerja.
Kepastian pekerjaan.
Perspektif dari ambisi dan promosi.

c..Insentif (Perangsang)
Yang paling penting, program peningkatan produktivitas yang berhasil itu ditandai
dengan adanya andil yang luas dari keuangan dan tunjangan-tunjangan lain diseluruh organisasi.
Setiap pembayaran kepada perorangan harus ditentukan oleh andilnya bagi produktivitas,
sedangkan kenaikan pembayaran harus dianugerahkan teruatama berdasarkan hasil produktivitas.
Untuk menjadi seorang motivator yang efektif pemberian bonus haruslah dihubungkan
secara langsung dengan tujuan pencapaian malalui cara yang sederhana mungkin, sehingga
penerima segera dapat mengetahui berapa rupiah yag dia peroleh dari upayanya. Bentuk
pemberian bonus yang berorientasi pada penampilan adalah proyek pemberian bonus, dimana
hasil kerja yang baik segera diberi hadiah dengan bonus yang sesuai. Hal tersebut lebih aktif
dibandingkan menunggu berapa bulan tanpa pemberitahuan yang nyata sampai saat pemberian
bonus diakhir tahun ketika suasana semua menrima akan membuang semua pengaruh motivasi
selama tahun berjalan.
Penghargaan serta penggunaan motivator yang tepat akan menimbulkan suasana kondutif
atau berakibat kepada produktivitas yang lebih tinggi. Semua itu mencakup sistem pemberian
insentif dan usaha-usaha manambah kepuasab kerja melalui sarana yang beraneka macam.
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Kerja

Produktivitas kerja merupakan tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian


atas tingkat keunggulan untuk memenuhi keinginan konsumen. Produktivitas dimulai dari
kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan. Hal ini dapat diimplementasikan
interaksi antara karyawan (:pekerja) dan pelanggan yang mencakup (a) ketepatan waktu,
berkaitan dengan kecepatan memberikan tanggapan terhadap keperluan-keperluan pelanggan; (b)
penampilan karyawan, berkaitan dengan kebersihan dan kecocokan dalam berpakaian; (c)
kesopanan dan tanggapan terhadap keluhan, berkaitan dengan bantuan yang diberikan dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang diajukan pelanggan (Gaspersz, 2003:130). Berarti
produktivitas yang baik dilihat dari persepsi pelanggan bukan dari persepsi perusahaan. Persepsi
pelanggan terhdap produktivitas jasa merupakan penilaian total atas kebutuhan suatu produk
yang dapat berupa barang ataupun jasa.
Harapan pelanggan merupakan keyakinan sebelum membeli produk yang akan dijadikan
standar dalam menilai produktivitas produk tersebut. Harapan pelanggan dibentuk dari
pengalaman masa lampau, dari mulut ke mulut, kebutuhan pribadi konsumen dan promosi
perusahaan. Sikap merupakan orientasi yang relative berpengaruh terus-menerus dalam jangka
waktu yang lama terhadap produk dan proses. Para peneliti mengetahui bahwa ukuran persepsi
konsumen atas produktivitas jasa sesuai dengan paradigma adanya perbedaan antara harapan
dengan persepsi terhadap produktivitas, tetapi mereka juga beranggapan bahwa produktivitas
jasa dan kepuasan merupakan konsep yang berbeda. Seseorang yang dengan sadar terlibat dalam
aktivitas organisasi biasanya mempunyai latar belakang atau motivasi tertentu. Menurut Maslow
seperti yang dikutip (Supardi dan Anwar, 2004:52) berpendapat sebagai berikut: social need
adalah tuntutan kebutuhan akan rasa cinta dan kepuasan akan menjalani hubungan dengan orang
lain, kepuasan dan perasaan memiliki serta diterima dalam suatu kelompok, rasa kekeluargaan,
persahabatan, dan kasih sayang.
Menurut Hayes dan Abemathy (1980), dengan regas mengatakan sebagian besar tuduhan
yang tidak adil ditunjukkan kepada para manajer yang sekarang dianggap tidak mempunyai
dorongan kewiraswastaan dan wawasan teknologi yang luas (Timpe, 1999:3). Salah satu
permasalahan penting bagi pimpinan dalam suatuorganisasi ialah bagaimana memberikan
motivasi kepada karyawan untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Dalam hal ini, pimpinan
dihadapkan suatu persoalan bagaimana dapat menciptakan situasi agar bawahan dapat
memperoleh kepuasan secara individu dengan baik dan bagaimana cara memotivasi agar mau
bekerja berdasarkan keinginan dan motivasi untuk berprestasi yang tinggi.
Menurut konsep sistem organisasi yang ideal, aktivitas atau pekerjaan suatu organisasi
merupakan suatu kolektivitas sehingga dalam setiap penyelesaian rangkaian pekerjaan seorang
karyawan dituntut untuk bekerja sama, saling terkait dan tidak akan melepaskan diri dengan
karyawan lain dalam organisasi itu. Dalam sebuah organisasi, yang menjadi perhatian utama
adalah bagaimana menciptakan keharmonisan dan keserasian dalam setiap pelaksanaan kegiatan
atau aktivitas kerja tersebut. Keharmonisan dan keserasian tersebut dapat tercipta jika sistem
kerja dibuat rukun dan kompak sehingga tercipta iklim yang kondusif. Hal ini akan membuat
para karyawan termotivasi untuk bekerja dengan optimal yang pada akhirnya tujuan organisasi
dapat terwujud dengan tingkat efisien dan efektivitas yang tinggi.
Seseorang cenderung bekerja dengan penuh semangat apabila kepuasan dapat
diperolehnya dari pekerjaannya dan kepuasan kerja karyawan merupakan kunci pendorong
moral, kedisiplinan, dan prestasi kerja karyawan dalam mendukung terwujudnya tujuan
perusahaan (Hasibuan, 2003:203). Kepuasan kerja yang tinggi atau baik akan membuat
karyawan semakin loyal kepada perusahaan atau organisasi. Semakin termotivasi dalam bekerja,
bekerja dengan resa tenang, dan yang lebih penting lagi kepuasan kerja yang tinggi akan
memperbesar kemungkinan tercapainya produktivitas dan motivasi yang tinggi pula. Karyawan
yang tidak merasa puas terhadap pekerjaannya, cenderung akan melakukan penarikan atau
penghindaran diri dari situasi pekerjaan baik yang bersifat fisik maupun psikologis.
Dari uraian di atas menunjukkan adanya hubungan antara kepuasan dan motivasi kerja
terhadap produktivitas kerja karyawan. Jika membicarakan masalah produktivitas muncullah
situasi yang bertentangan karena belum adanya kesepakatan umum dari para ahli tentang maksud
pengertian produktivitas serta kriterianya dalam mengikuti petunjuk-petunjuk produktivitas.
Secara umum produktivitas diartikan atau dirumuskan sebagai perbandingan antara keluaran
(output) dengan masukan (input) Hasibuan (203:126).
Apabila produktivitas naik hanya dimungkinkan oleh adanya peningkatan efisiensi
(waktu, bahan, tenaga) dan sistem kerja, teknik produksi, dan adanya peningkatan keterampilan
tenaga kerja. Menurut Blunchor dan Kapustin yang dikutip oleh Sinungan (1987: 9),
produktivitas kadang-kadang dipandang sebagai penggunaan intensif terhadap sumber-sumber
konversi seperti tenaga kerja dan mesin yang diukursecara tepat dan benar-benar menunjukkan
suatu penampilan yang efisiensi. Konsep produktivitas kerja dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu
dimensi individu dan dimensi organisasian. Dimensi individu melihat produktivitas dalam
kaitannya dengan karakteristik-karakteristik kepribadian individu yang muncul dalam bentuk
sikap mental dan mengandung makna keinginan dan upaya individu yang selalu berusaha untuk
meningkatkan kualitas kehidupannya. Sedangkan dimensi keorganisasian melihat produktivitas
dalam kerangka hubungan teknis antara masukan (input) dan keluaran (out put). Oleh karena itu
dalam pandangan ini, terjadinya peningkatan produktivitas tidak hanya dilihat dari aspek
kuantitas, tetapi juga dapat dilihat dari aspek kualitas.
Kedua pengerian produktivitas tersebut mengandung cara atau metode pengukuran tertentu
yang secara praktek sukar dilakukan. Kesulitan-kesulitan itu dikarenakan, pertama karakteristik-
karakteristik kepribadian individu bersifat kompleks, sedangkan yang kedua disebabkan masukan-
masukan sumber daya bermacam-macam dan dalam proporsi yang berbeda-beda. Produktivitas kerja
sebagai salah satu orientasi manajemen dewasa ini, keberadaannya dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap produktivitas pada dasarnya dapat diklasifikasikan kedalam
dua jenis, yaitu pertama faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung, dan kedua faktor-faktor yang
berpengaruh secara tidak langsung.

2.5.1 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas


Tenaga kerja atau pegawai adalah manusia yang merupakan faktor produksi yang dinamis
memiliki kemampuan berpikir dan motivasi kerja, apabila pihak manajemen perusahaan mampu
meningkatkan motivasi mereka, maka produktivitas kerja akan meningkat. Ada pun faktor-
faktor yang mempengaruhi produktivitas yaitu:
a.Kemampuan
adalah kecakapan yang dimiliki berdasarkan pengetahuan, lingkungan kerja yang menyenangkan
akan menambah kemampuan tenaga kerja. Perencanaan tenaga kerja merupakan bagian integral dari
perencanaan pembangunan. Rencana pembangunan memuat berbagai kegiatan yang akan
dilaksanakan di seluruh sektor atau sub sektor. Setiap kegiatan yang akan dilaksanakan membutuhkan
tenaga kerja yang sesuai. Perencanaan tenaga kerja memuat perkiraan permintaan atau kebutuhan dan
penawaran atau penyediaan tenaga kerja, serta kebijakan maupun program ketenagakerjaan yang
diperlukan dalam rangka menunjang keberhasilan pelaksanaan pembangunan.
Perencanaan tenaga kerja dapat dilakukan pada tahap perusahaan, lembaga pemerintah atau
unit organisasi swasta lainnya. Perencanaan tenaga kerja seperti ini disebut perencanaan tenaga kerja
mikro. Pemerintah biasanya juga membuat perencanaan tenaga kerja dalam cakupan wilayah tertentu
maupun secara nasional. Jenis perencanaan tenaga kerja seperti itu dikenal sebagai perencanaan
tenaga kerja makro, nasional atau perencanaan tenaga kerja regional.

Sistem perencanaan tenaga kerja menunjukkan kedudukan perencanaan tenaga kerja dalam
kerangka perencanaan pembangunan secara keseluruhan. Perencanaan pembangunan yang disertai
dengan data-data kependudukan dan informasi pasar kerja merupakan masukan utama dalam
penyusunan perencanaan tenaga kerja. Hasil perencanaan tenaga kerja adalah berupa rencana tenaga
kerja.

Dalam sistem perencanaan pembangunan yang melihat perencanaan tenaga kerja sebagai
bagian integral dari perencanaan pembangunan, maka proses perencanaan tenaga kerja akan
melibatkan instansi. Proses perencanaan tenaga kerja itu sendiri menunjukkan langkah-langkah yang
perlu ditempuh dalam pelaksanaan perencanaan tenaga kerja.

b. Sikap
Sesuatu yang menyangkut perangai tenaga kerja yang banyak dihubungkan dengan
moral, semangat kerja yang akan menghasilkan kepuasaan kerja . Kepuasan kerja secara umum
menyangkut sikap seseorang mengenai pekerjaannya. Karena menyangkut sikap, pengertian
kepuasan kerja mencakup berbagai hal seperti kondisi dan kecenderungan perilaku seseorang.
Kepuasankepuasan itu tidak tampak serta nyata, tetapi dapat diwujudkan dalam suatu hasil
pekerjaan. Salah satu masalah yang sangat penting dalam bidang psikologi industry adalah
mendorong karyawan untuk bekerja dengan lebih produktif. Untuk itu, perlu diperhatikan agar
karyawan sebagai penunjang terciptanya produktivitas kerja dalam bekerja senantiasa disertai
dengan perasaan senang dan tidak terpaksa sehingga akan tercipta kepuasan kerja para karyawan.
Kepuasan kerja akan berbeda pada masingmasing individu. Sangat sulit untuk mengetahui ciri-
ciri kepuasan dari masing-masing individu. Namun demikian, cerminan dari kepuasan kerja itu
dapat diketahui.
Untuk mengetahui tentang pengertian kepuasan kerja ada beberapa pendapat
sebagaimana hasil penelitian Herzberg, bahwa faktor yang mendatangkan kepuasan adalah
prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggungjawab, dan kemajuan (Armstrong, 1994: 71).
Pendapat lain menyatakan kepuasan kerja (job salisfaction) adalah keadaan emosional yang
menyenangkan atau tidak menyenangkan di mana para karyawan memandang pekerjaan mereka
(Handoko, 2001:193). Sedangkan Wexley dan Yulk (1977) yang disebut kepuasan kerja ialah
perasaan seseorangterhadap pekerjaan.
Kepuasan kerja berhubungan erta dengan faktor sikap. Seperti dikemukakan oleh Tiffin
(1964) kepuasan kerja berhubungan erat dengan sikap dari karyawan terhadap pekerjaannya
sendiri, situasi kerja, kerjasama antara pimpinan dengan sesama karyawan (dalam As'ad, 2003:
104). Sejalan dengan itu, Martoyo (2000:142) kepuasan kerja (job salisfaction) adalah keadaan
emosional karyawan di mana terjadi ataupun tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa kerja
karyawan dari perusahaan atau organisasi dengan tingkat nilai balas jasa yang memang
diinginkan oleh karyawan yang bersangkutan. Balas jasa kerja karyawan ini, baik yang berupa
finansial maupun yang nonfinansial.
Kepuasan kerja merupakan persoalan umum pada setiap unit kerja, baik itu berhubungan
motivasi, kesetiaan ataupun ketenangan bekerja, dan disiplin kerja. Menurut Hulin (1966) gaji
merupakan faktor utama untuk mencapai kepuasan kerja. Pendapat ini tidak seluruhnya salah
sebab dengan mendapatkan gaji ia akan dapat melangsungkan kehidupannya sehari-hari. Tetapi
kenyataannya gaji yang tinggi tidak selalu menjadi faktor utama unluk mencapai kepuasan kerja.
Kenyataan lain banyak perusahaan telah memberikan gaji yang cukup tinggi, tetapi masih
banyak karyawan yang merasa tidak puas dan tidak senang dengan pekerjaannya. Gaji hanya
memberikan kepuasan sementara karena kepuasan terhadap gaji sangat dipengaruhi oleh
kebutuhan dan nilai orang yang bersangkutan (As'ad, 2003:113).
Menurut Blum menyatakan faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja adalah: (a)
faktor individual, meliputi: umur, kesehatan, watak dan harapan; (b) factor sosial, meliputi:
hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berekreasi, kegiatan perserikatan
pekerja, kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan; (c) faktor utama dalam pekerjaan,
meliputi: upah, pengawasan ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju.
Selain itu, juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan, kelepatan
dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil. baik yang menyangkut
pribadi maupun tugas (dalam As'ad, 2003:114). Ahli lain, Ghiselli dan Brown mengemukakan
lima faktor yang menimbulkan kepuasan (dalam As'ad, 2003:112-113) yaitu: pertama,
kedudukan (posisi), umumnya ada anggapan bahwa orang yang bekerja pada pekerjaan yang
lebih tinggi akan lebih puas daripada bekerja pada pekerjaan yang lebih rendah. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut tidak selalu benar, perubahan tingkat pekerjaanlah
yang mempengaruhi kepuasan kerja. Kedua, pangkat (golongan), pada pekerjaan yang
mendasarkan perbedaan tingkat (golongan) sehingga pekerjaan tersebut memberikan kedudukan
tertentu pada orang yang melakukannya. Apabila ada kenaikan upah, maka sedikit banyaknya
akan dianggap sebagai kenaikan pangkat dan kebanggaan terhadap kedudukan yang baru itu
akan merubah perilaku dan perasaan. Ketiga, umur dinyatakan bahwa ada hubungan antara
kepuasan kerja dengan umur karyawan. Umur antara 25 sampai 34 tahun dan umur 40 sampai 45
tahun adalah merupakan umur-umur yang bias menimbulkan perasaan kurang puas terhadap
pekerjaan. Keempat, jaminan financial dan jaminan sosial. Masalah finansial dan jaminan sosial
kebanyakan berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Kelima, mutu pengawasan, hubungan antara
karyawan dengan pihak pimpinan sangat penting dalani arti menaikkan produktivitas kerja.
Kepuasan karyawan dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan
kepada bawahan sehingga karyawan akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang penting
dari oiganisasi kerja (sense of belonging).
c. Situasi dan keadaan lingkungan
faktor ini menyangkut fasilitas dan keadaan dimana semua karyawan dapat bekerja
dengan tenang serta sistim kompensasi yang ada.pertama, perbaikan terus menerus, yaitu upaya
meningkatkan produktivitas kerja salah satu implementasinya ialah bahwa seluruh komponen
harus melakukan perbaikan secara terus-menerus. Pandangan ini bukan hanya merupakan salah
satu kiat tetapi merupakan salah satu etos kerja yang penting sebagai bagian dari filsafat
manajemen mutakhir. Suatu organisasi dituntut secara terus-menerus untuk melakukan
perubahan-perubahan, baik secara internal maupun eksternal. Perubahan internal contohnya,
yaitu: (a) perubahan strategi organisasi; (b) perubahan kebijakan tentang produk; (c) perubahan
pemanfaatan teknologi; (d) perubahan dalam praktek-praktek sumber daya manusia sebagai
akibat diterbitkannya perundang-undangan baru oleh pemerintah. Perubahan eksternal, meliputi:
(a) perubahan yang terjadi dengan lambat atau evolusioner dan bersifat acak; (b) perubahan yang
tinggi secara berlahan tetapi berkelompok; (c) perubahan yang terjadi dengan cepat karena
dampak tindakan suatu organisasi yang dominan peranannya di masyarakat; dan (d) perubahan
yang terjadi cepat, menyeluruh dan kontinyu.Kedua, peningkatan mutu hasil pekerjaan.
Peningkatan mutu hasil pekerjaan dilaksanakan oleh semua komponen dalam organisasi. Bagi
manajemen, misalnya, perumusan strategi, penentuan kebijakan, dan proses pengambilan
keputusan. Yang tidak kalah pentingnya dalam pelaksanaan kegiatan organisasi yaitu mutu
laporan, mutu dokumen, mutu penyelenggaraan rapat, dan lain-lain.Ketiga, pemberdayaan
sumberdaya manusia. Memberdayakan sumberdaya manusia mengandung kiat untuk: (a)
mengakui harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang mulia, mempunyai harga diri,
daya nalar, memiliki kebebasan memilih, akal, perasaan, dan berbagai kebutuhan yang beraneka
ragam; (b) manusia mempunyai hak-hak yang asasi dan tidak ada manusia lain (termasuk
manajemen) yang dibenarkan melanggar hak tersebut. Hak-hak tersebut yaitu hak menyatakan
pendapat, hak berserikat, hak memperoleh pekerjaan yang layak, hak memperoleh imbalan yang
wajar dan hak mendapat perlindungan; (c) penerapan gaya manajemen yang partisipasif melalui
proses berdemokrasi dalam kehidupan berorganisasi. Dalam hal ini pimpinan mengikutsertakan
para anggota organisasi dalam proses pengambilan keputusan.Keempat, kondisi fisik tempat
bekerja yang menyenangkan.Kondisi fisik tempat kerja yang menyenangkan memberikan
kontribusi nyata dalam peningkatan produktivitas kerja, antara lain: (a) ventilasi yang baik; (b)
penerangan yang cukup; (c) tata ruang rapi dan perabot tersusun baik; (d) lingkungan kerja yang
bersih; dan (e) lingkungan kerja vang bebas dari polusi udara.Kelima, umpan balik. Pelaksanaan
tugas dan karier karyawan tidak dapat dipisahkan dari penciptaan, pemeliharaan, dan penerapan
sistem umpan balik yang objektif, rasional, baku, dan validitas yang tinggi. Objektif dalam arti
didasarkan pada norma-norma yang telah disepakati bukan atas dasar emosi, senang atau tidak
senang pada seseorang. rasional dalam arti dapat diterima oleh akal sehat. Jika seseorang harus
dikenakan sangsi disiplin, status berat-ringannya disesuaikan dengan jenis pelanggarannya.
Validitas yang tinggi, dalam arti siapapun yang melakukan penilaian atas kinerja karyawan
didasarkan pada tolok ukur yang menjadi ketentuan.
d. Motivasi
Setiap tenaga kerja perlu diberikan motivasi dalam usaha meningkatkan produktivitas.
Motivasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah dorongan yang timbul pada
diri seseorang sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu,
atau usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau sekelompok orang tertentu bergerak
melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan
atas perbuatannya. Supardi dan Anwar (2004:47) mengatakan motivasi adalah keadaan dalam
pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatankegiatan
tertentu guna mencapai tujuan. Motivasi yang ada pada sescorang akan mewujudkan suatu
perilaku yang diarahkan pada tujuan mencapai sasaran kepuasan. Jadi, motivasi bukanlah yang
dapat diamati tetapi adalah hal yang dapat disimpulkan adanya karena sesuatu perilaku yang
tampak.
Siagian (2002:255), menyatakan bahwa yang diinginkan seseorang dari pekerjaannya
pada umumnya adalah sesuatu yang mempunyai arti penting bagi dirinya sendiri dan bagi
instansi. Menurut Heidjachman dan Husnan (2003:197), motivasi merupakan proses untuk
mencoba mempengaruhi seseorang agar melakukan sesuatu yang kita inginkan. Untuk
membangun produktivitas dan motivasi pekerja ada dua hal yang harus dilakukan: pertama,
carilah pembayaran pekerjaan individual seseorang; dan kedua, bantu mereka mencapai
pembayaran untuk setiap tugas tambahan yang diberikan sehingga baik kebutuhan instansi
maupun individu tercapai (Timpe, 1999: 61).
Menurut Hasibuan (2003:92) motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti
dorongan atau daya penggerak. Motivasi ini hanya diberikan kepada manusia, khususnya
kepada para bawahan atau pengikut. Motivasi penting karena dengan motivasi ini diharapkan
setiap individu karyawan mau bekerja keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja
yang tinggi. Motivasi harus dilakukan pimpinan terhadap bawahannya karena adanya dimensi
tentang pembagian pekerjaan untuk dilakukan dengan sebaik-baiknya, bawahan sebetulnya
mampu akan tetapi malas mengerjakannya, memberikan penghargaan dan kepuasan kerja.
sebenarnya banyak pembahasan teori-teori motivasi, namun ada beberapa yang cukup menonjol
adalah antara lain sebagai berikut: Teori Maslow, mengenai tingkatan dasar manusia yaitu: (a)
kebutuhan fisiologi dasar, (b) keselamatan dan keamanan, (c) cinta/kasih sayang, (d)
penghargaan, (e) aktualisasi diri (self actualization). Menggarisbawahi pendapat di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa bergabungnya seseorang dalam organisasi didorong oleh keinginan
untuk memenuhi kebutuhan, berupa penghasilan yang akan digunakan untuk mencukupi
kebutuhannya. Suasana batin (:psikologis) seorang karyawan sebagai individu dalam organisasi
yang menjadi lingkungan kerjanya tampak selalu semangat atau gairah keija yang menghasilkan
kegiatan kerja sebagai kontribusi bagi pencapaian tujuan organisasi tempatnya bekerja.
e.Upah
upah atau gaji minimum yang tidak sesuai dengan peraturan pemerintah dapat
menyebabkan penurunan produktivitas kerja. Pengertian ini mengisyaratkan bahwa
keberadaannya di dalam suatu organisasi perusahaan tidak dapat diabaikan begitu saja. Sebab,
akan terkait langsung dengan pencapaian tujuan perusahaan. upah yang rendah tidak dapat
dipertanggungjawabkan, baik dilihat dari sisi kemanusiaan maupun dari sisi kelangsungan hidup
perusahaan. Secara teoritis dapat dibedakan dua sistem upah, yaitu yang mengacu kepada teori
Karl Mark dan yang mengacu kepada teori Neo-klasik. Kedua teori tersebut masing-masing
memiliki kelemahan. Oleh karena itu, sistem pengupahan yang berlaku dewasa ini selalu berada
diantara dua sistem tersebut. Berarti bahwa tidak ada satupun pola yang dapat berlaku umum.
Yang perlu dipahami bahwa pola manapun yang akan dipergunakan seyogianya disesuaikan
dengan kebijakan remunerasi masing-masing perusahaan dan mengacu kepada rasa keadilan bagi
kedua belah pihak (perusahaan dan karyawan). Besarnya tingkat upah untuk masing-masing
perusahaan adalah berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang
mempengaruhinya diantaranya, yaitu permintaan dan penawaran tenaga kerja, kemampuan
perusahaan, kemampuan dan keterampilan tenaga kerja, peranan perusahaan, serikat buruh, besar
kecilnya resiko pekerjaan, campur tangan pemerintah, dan biaya hidup. Dilihat dari sistemnya
pembelian upah dapat dibedakan atas prestasi kerja, lama kerja, senioritas atau lama dinas,
kebutuhan, dan premi atau upah borongan
f. Tingkat pendidikan
Latar belakang pendidikan dan latihan dari tenaga kerja akan mempengaruhi
produktivitas, karenanya perlu diadakan peningkatan pendidikan dan latihan bagi tenaga kerja.
Pendidikan dan latihan dipandang sebagai suatu invesatasi di bidang sumber daya manusia yang
bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dari tenaga kerja. Oleh karena itu pendidikan dan
latihan merupakan salah satu faktor penting dalam organisasi perusahaan. Pentingnya pendidikan
dan latihan disamping berkaitan dengan berbagai dinamika (perubahan) yang terjadi dalam
lingkungan perusahaan, seperti perubahan produksi, teknologi, dan tenaga kerja, juga berkaitan
dengan manfaat yang dapat dirasakannya. Manfaat tersebut antara lain: meningkatnya
produktivitas perusahaan, moral dan disiplin kerja, memudahkan pengawasan, dan menstabilkan
tenaga kerja. Agar penyelenggaraan pendidikan dan latihan berhasil secara efektif dan efisien,
maka ada 5 (lima) hal yang harus di pahami, yaitu 1) adanya perbedaan individual, 2)
berhubungan dengan analisa pekerjaan, 3) motivasi, 4) pemilihan peserta didik, dan 5) pemilihan
metode yang tepat. Pendidikan dan latihan bagi tenaga kerja dapat diklasifikasikan kepada dua
kelompok, pertama, yakni pendidikan dan latihan bagi tenaga kerja yang termasuk kepada
kelompok tenaga kerja operasional, kedua, pendidikan dan latihan bagi tenaga kerja yang
termasuk kepada kelompok tenaga kerja yang menduduki jabatan manajerial. Untuk masing-
masing kelompok tenaga kerja tersebut diperlukan metode pendidikan yang berbeda satu sama
lain
g. Perjanjian kerja
merupakan alat yang menjamin hak dan kewajiban karyawan. Sebaiknya ada unsur-unsur
peningkatan produktivitas kerja.
h. Penerapan teknologi
Kemajuan teknologi sangat mempengaruhi produktivitas, karena itu penerapan teknologi
harus berorientasi mempertahankan produktivitas.

Source: http://mbo-cybercity.blogspot.co.id/2014/11/makalah-produktivitas.html#ixzz48ud1s03u

HAKIKAT KEPUASAN KERJA


Kepuasan kerja adalah cara seorang pekerja merasakan pekerjaanya. Kepuasan kerja merupakan
generalisasi sikap-sikap terhadap pekerjaannya yang didasarkan atas aspek-aspek pekerjaannya bermacam-
macam. Terdapat ratusan karakteristik pekerjaan yang dipertimbangkan seorang pekerja, namun
sekelompok karakteristik pekerjaan cenderung secara bersama-sama dievaluasi dengan cara yang sama.
Sekelompok karakteristik tersebut, yang pada umumnya ditemukan dalam analisis statistik dari beberapa
daftar pertanyaan sikap, meliputi: gaji/upah, kondisi kerja, pengawasan, teman kerja, isi pekerjaan,
jaminan kerja, serta kesempatan promosi. Sesungguhnya, seorang pekerja beranggapan memiliki sebagian
sikap terhadap setiap aspek pekerjaan tersebut disamping gabungan sikap terhadapnya sebagai
keseluruhan.
Kepuasan kerja umumnya mengacu pada sikap seorang pegawai. Kepuasan kerja juga memiliki banyak
dimensi. Ia dapat mewakili sikap secara menyeluruh, atau mengacu pada bagian pekerjaan seseorang.
Sebagai sekumpulan perasaan, kepuasan kerja bersifat dinamik. Para manajer tidak dapat menciptakan
kondisi yang dapat menimbulkan kepuasan kerja sekarang dan kemudian mengabaikannya selama beberapa
tahun. Kepuasan kerja dapat menurun secepat timbulnya, sehingga mengharuskan para manajer untuk
memperhatikannya setiap saat. Kepuasan kerja adalah bagian kepuasan hidup. Sifat lingkungan seseorang
di luar pekerjaan mempengaruhi perasaan di dalam pekerjaan. Demikian juga halnya, karena pekerjaan
merupakan bagian penting kehidupan, kepuasan kerja mempengaruhi kepuasan hidup seseorang.

TEORI KETIDAKSESUAIAN

Menurut Locke (1969), kepuasan atau ketidakpuasan dengan sejumlah aspek pekerjaan tergantung pada
selisih (discrepancy) antara apa yang telah dianggap telah didapatkan dengan apa yang diinginkan. Jumlah
yang didinginkan dari karakteristik pekerjaan didefinisikan sebagai jumlah minimum yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan yang ada. Variasi model lain ketidaksesuaian tentang kepuasan kerja yang telah
dikemukakan, misalnya Porter (1961) mendefinisikan kepuasan sebagai selisih dari banyaknya sesuatu yang
seharusnya ada. Konsepsi ini pada dasarnya sama dengan model Locke, tetapi apa yang seharusnya ada
menurut Locke berarti penekanan yang lebih banyak terhadap pertimbangan-pertimbangan yang adil dan
kekurangan atau kebutuhan-kebutuhan karena diterminan dari banyaknya faktor pekerjaan yang lebih
disukai. Studi Wanous dan Lawler (1972) menemukan bahwa para pekerja memberikan tanggapan yang
berbeda-beda menurut bagaimana kekurangan/selisih itu didefinisikan. Keduanya menyimpulkan bahwa
orang memiliki lebih dari satu jenis perasaan terhadap pekerjaannya, dan tidak ada cara terbaik yang
tersedia untuk mengukur kepuasan kerja.

TEORI KEADILAN (EQUITY THEORY)


Teori keadilan memerinci kondisi-kondisi yang mendasari seorang pekerja akan menganggap fair dan masuk
akal insentif dan keuntungan dalam pekerjaannya. Teori tersebut telah dikembangkan oleh Adam (1963)
dan teori ini merupakan variasi dari teori proses perbandingan sosial. Komponen utama dari teori ini adalah
input, hasil, orang bandingan, dan keadilan dan ketidakadilan. Menurut teori ini, seseoarang
menilai fair hasilnya dengan membandingkan hasilnya : rasio inputnya : rasio input dari seorang/sejumlah
orang bandingan. Orang bandingan mungkin saja ari orang-orang dalam organisasi ataupun organisasi lain
dan bahkan dengan dirinya sendiri dengan pekerjaan/pekerjaan terdahulunya. Teori ini tidak memerinci
bagaimana seseorang memilih orang bandingan atau berapa banyak orang bandingan yang akan digunakan.
Tanggapan Terhadap Ketidakadilan
Ketidakadilan adalah satu sumber ketidakpuasan kerja dan ketidakadilan menyertai keadaan tidaak
berimbang yang menjadi motif tindakan bagi seseorang untuk menegakkan keadilan. Reaksi emosional
terhadap kompensasi lebih mungkin menjadi sebuah perasaan salah, sedangkan dengan kompensasi-
kompensasi kurang mungkin menjadikan perasaan marah dan dendam pada organisasi atau pimpinannya.
Terdapat banyak macam aneka cara dimana seorang pekerja berusaha menegakkan keadilan.

1. Meningkatkan atau mengurangi input-input pribadi, khususnya usaha.


2. Membujuk orang bandingan untuk meningkatkan atau mengurangi input-input pribadinya.
3. Membujuk organisasi untuk mengubah hasil perseorangan pekerja atau hasil orang bandingan.
4. Pengabdian psikologis terhadap input-input atau hasil-hasil pribadinya.
5. Pengesampingan psikologis terhadap input-input atau hasil-hasil orang bandingan.
6. Memilih orang bandingan yang lain.
7. Meninggalkan organisasi.

TEORI DUA FAKTOR

Teori dua faktor sikap kerja menyatakan bahwa kepuasan kerja secara kualitatif berbeda dengan
ketidakpuasan kerja (Herzberg, 1966; Herzberg Mausner and Snyderman, 1959). Menurut teori ini,
karakteristik pekerjaan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yang stu dinamakan disatisfiers
atau hygiene factors dan yang lain dinamakan satisfiers atau motivators hygiene. Hygiene
factors meliputi hal-hal seperti: gaji/upah, pengawasan, hubungan antar pribadi, kondisi kerja, dan status.
Jumlah tertentu dari hygiene factors diperlukan untuk memenuhi dorongan biologis serta kebutuhan dasar
seseorang seperti: kebutuhan keamanan dan berkelompok. Jika kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi,
seseorang akan tidak puas. Seseorang hanya terpuaskan jika terdapat jumlah yang memadai untuk faktor-
faktor pekerjaan yang dinamakan satisfiers. Satisfiers adalah karakteristik pekerjaan yang relevan dengan
kebutuhan-kebutuhan urutan lebih tinggi seseorang serta perkembangan psikologisnya, mencakup
pekerjaan yang menarik penuh tantangan, kesempatan untuk berprestasi, penghargaan dan promosi.
Jumlah satisfiers yang tidak mencukupi akan merintangi para pekerja mendapatkan kepuasan positif yang
menyertai pertumbuuhan psikologis. Teori dua faktor sangat berbeda dengan teori-teori sikap kerja
konvensional yang menggambarkan kepuasan dan ketidakpuasan sebagai dua titik yang berlawanan dari
suatu kontinum dengan satu titik netral (baik untuk kepuasan maupun ketidakpuasan) pada pusatnya.
Dalam teori dua faktor, terdapat dua kontinum yang berbeda, yang satu untuk kepuasan dan yang lain
untuk ketidakpuasan.

PENGUKURAN SIKAP KERJA

Sikap kerja dapat diukur dengan banyak cara. Informasi tentang sikap kerja dapat diperoleh dengan
carakhusus maupun reguler. Tipe-tipe pertanyaan yang dipergunakan untuk mendapatkan sikap para
pekerja juga bervariasi. Dengan pernyataan terbuka, para pekerja diminta menguraikan perasaan-
peraaannya terhadap berbagai aspek pekerjaannya dengan kata-katanya sendiri. Dengan pertanyaan
jawaban tertentu, para pekerja diminta memilih satu diantara jawaban-jawaban yang telah disediakan
untuk pertanyaan-pertanyaan tertentu. Satu jenis dari pertanyaan jawaban tertentu didasarkan pada asumsi
bahwa kepuasan dan kekecewaan (ketidakpuasan) merupakan bagian dari satu kontinum sikap dua kutup.
Tipe item ini digunakan dalam Mennetosa Satisfaction Questionnsire atau MSQ (Weiss, Dawis, England and
Lofqiust, 1967). Skala kepuasan kerja lain yang menggunakan item jawaban tertentukan adalah Job
Discriptive Index atau JDI (Smith, Kendalland Hullin, 1969). JDI membedakan skala untuk kepuasan dengan
upah, promosi, pengawasan, kerja dan orang. Seperti halnya MSQ, JDI telah digunakan dengan banyak
variasi sampel pekerja menurut umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan serta tipe kelompok.

DETERMINAN-DETERMINAN SIKAP KERJA

Bukti-bukti riset menyarankan bahwa cara terbaik untuk menjelaskan bagaimana sikap kerja ditentukan
adalah dengan cara model interaksi. Yaitu kepuasan kerja seseorang ditentukan bersama-sama atas dasar
karakteristik situasi kerja dan karakteristik pekerja. Dari ketiga teori yang sudah dijelaskan tersebut, satu
yang paling sesuai dengan model interaksi adalah teori Discrepancy. Persepsi seseorang tentang apa yang
seharusnya ada dalam suatu pekerjaan akan ditentukan oleh karakteristik pekerja dan variabel situasi,
sedang persepsi tentang apa yang ada sekarang dalam suatu pekerjaan akan banak ditentukan oleh
kondisi kerja aktual. Tiga aspek situasi pekerjaan yang mempengaruhi persepsi yang seharusnya adalah
perbandingan sosial dengan pekerja-pekerja lainnya, karakteristik pekerjaan sebelumya, serta kelompok-
kelompok acuan.
Kelompok-kelompok acuan (reference groups) adalah pengaruh situasi ketiga terhadap persepsi pekerja
terhadap apa yang seharusnya ada. Kelompok acuan adalahkelompok dimana seseorang mencari petunjuk
dalam menafsirkan dan mengevaluasi pengalaman dirinya. Harapan-harapan dan aspirasi sseseorang
terhadap suatu pekerjaan akan dipengaruhi oleh konsepsi kelompok acuan tentang jenis pekerjaan apa
serta kondisi bagaimana yang sessuai dengan dirinya (Korman, 1971).
Kepuasan dengan Kerja
Studi-studi tentang pentingnya perbedaan karakteristik pekerjaan menemukan secara konsisten bahwa sifat
pekerjaan itu sendiri adalah determinan utama dari kepuasan kerja. Berikut lima dimensi inti yang dikenal
dengan:

1. Ragam Keterampilan (Skill Variety)


Adalah tingkat dimana suatu pekerjaan menuntut berbagai jenis aktivitas dalam menyelesaikan
pekerjaannya, yang mencakup penggunaan banyak jenis keterampilan dan bakat-bakat pekerja.

1. Identitas Pekerjaan (Task Identity)


Adalah tingkat dimana pekerjaan tersebut menuntut kelengkapan dalam suatu kesatuan dan setiap bagian
pekerjaan dapat diidentifisir. Yaitu mengerjakan suatu pkerjaan mulai dari permulaan hingga berakhir
dengan hasil yang nyata.

1. Kepentingan Pekerjaan (Task Significance)


Adalah timgkat dimana suatu pekerjaan memilki dampak penting bagi kehidupan atau pekerjaan orang lain
apakah dalam lingkungan organisasi maupun lingkungan luar.

1. Otonomi (Autonomi)
Adlah tingkat dimana suatu pekerjaan memberikan kebebasan, kemandirian serta keleluasaan substansil
bagi pekerja dalam menjadwalkan pekerjaannya dan dalam menentukan prosedur yang digunakan dalam
menyelesaikan pekerjaan.

1. Umpan balik pekerjaan itu sendiri (Feedback From The Job Itself)
Adalah tingkat dimana dalam menyelesaikan aktivitas-aktivitas kerja yang dituntut oleh suatu pekerjaan
memberikan konsekuensi pada pekerja mendapatkan informasi langsung dan jelas tentang efektivitas
pelaksanaan kerjanya.

Kepuasan dengan Kompensasi


Beberapa studi telah menemukan bahwa upah merupakan karateristik pekerjaan yang menjadi penyebab
paling mungkin terhadap ketidakpuasan kerja. Yang menjadi penyebab utama ketidakpuasan adalah
ketidakadilan. Seperti yang telah dijelaskan dalam topikteori keadilan, para pekerja menilai upahnya dengan
membuat perbandingan-perbandingan sosial. Upah yang diberikan untuk para pekerja dalam posisi yang
sama merupakan satu penyebab terhadap keyakinan seseorang tentang seberapa besar gaji yang harus
diterima. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan profesional pekerja semakin tinggi ia melakukan
perbandingan sosial dengan orang-orang yang profesinya sama di luar organisasi (Goodman, 1074).
Semakin tinggi seseorang dalam hirarki kekuasaan serta semakin tinggi tanggung jawab, pendidikan,
keterampilan, dan senioritas yang dimiliki seseorang, maka semakin banyak upah yang ia harapkan
diterima.

Para manajer serta kategori-kategori pekerjaan non pengawas tertentu seperti para penjual, biasanya lebih
menyukai upahnya mencerminkan seberapa jauh mereka melaksanakan pekerjaaannya dengan baik (Lawler,
1971). Jika upah tidak didasarkan atas pelaksanaan kerja, pekerja yang sangat rajin bekerja akan tidak
puas dengan pendapatan yang sama atau lebih rendah dari pekerja yang malas. Namun demikian, suatu
program insentif yang memberikan ganjaran dengan upah yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan kerja
yang tinggi tidak pasti dapat memberikan kepuasan. Semakin pekerja tergantung pada gaji atau upahnya
untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan hidupnya, maka kepuasan terhadap upahnya akan banyak
dipengaruhi oleh biaya hidupnya.

Kepuasan dengan Pengawasan


Perilaku pengawas terdekat merupakan determinan penting lain dari kepuasan kerja pekerja. Namun
tanggapan pekerja terhadap pengawasannya biasanya akan tergantung pada karakteristik pengawasnya.
Para pekerja lebih puas dengan pemimpin yang bijaksana dan tutwuri handayani dibanding dengan
pemimpin yang selalu bebeda atau bermusuhan dengan bawahannya. Pengaruh-pengaruh dari perilaku
pengawas yang berorientasi pada pekerjaan terhadap kepuasan kerja kurang dapat diramalkan. Dalam
situasi pekerjaan dimana bawahan melakukan peran-peran yang sangat kabur atau membingungkan, para
bawahan akan lebih menyukai seorang pemimpin yang memperjelas ketentuen-ketentuen perannya.
Maksudnya, jika bawahan tidak mampu mencari kejelasan/perannya dalam melaksanakan kerjanya
bawahan akan cenderung menyukai seorang pemimpin yang memberikan petunjuk dan ketentuan-
ketentuan yang memadai. Dipihak lain, peran kerja ditentukan dengan jelas dan paara bawahannya sangat
cakap melaksanakan pekerjaannya tanpa terlalu sering diberikan petunjuk dan perintah-perintah, maka
seorang pemimpin yang tidak mengawasi dengan ketat lebih disukai (House, 1971; House and Mitchell,
1974).

PENTINGNYA KEPUASAN KERJA


Kepuasan kerja dan prestasi,
Sebagian manajer berasumsi bahwa kepuasan yang tinggi selamanya akan menimbulkan prestasi yang
tinggi, tetapi asumsi ini tidak benar. Karyawan yang puas boleh jadi adalah karyawan yang berproduksi
tinggi, sedang, atau rendah, dan mereka akan cenderung meneruskan tingkat prestasi yang menimbulkan
kepuasan bagi mereka. Hubungan kepuasan-prestasi lebih rumit ketimbang pernyataan sederhana bahwa
kepuasan menimbulkan prestasi. Prestasi yang lebih baik secara khas menimbulkan imbalan ekonomi,
sosiologis dan psikologis yang lebih tinggi. Apabila imbalan itu dipandang pantas dan adil, maka timbul
kepuasan yang lebih besar karrena pegawai merasa bahwa mereka menerima imbalan yang sesuai dengan
prestasinya. Sebaliknya, apabila imbalan dipandang tidak sesuai dengan tingkat prestasinya, cenderung
timbul ketidakpuasan. Dalam hal apapun, tingkat kepuasan seseorang dapat menimbulkan keikatan lebih
besar atau dapat pula menimbulkan keikatan lebih kecil yang kemudian mempengaruhi upaya dan akhirnya
prestasi. Akibatnya adalah terdapatnya garis hubungan yang terus-menerus antara prestasi-kepuasan
upaya.

Pergantian pegawai (Turnover),


Kepuasan kerja yang lebih tinggi berkaitan dengan rendahnya tingkat pergantian pegawai, yaitu prorporsi
pegawai yang meninggalkan organisasi. Para pegawai yang lebih puas kemungkinan besar lebih lama
beryahan dengan majikan mereka. Beberapa telaah penelitian telah berusaha mengidentifikasi berbagai
faktor yang turut menyumbang timbulnya tingkat pergantian pegawai yang tinggi. Pergantian pegawai
cukup merugikan, terutama apabila tingkat pergantian itu dalam beberapa bidang industri seperti
elektronika mencapai 35% setiap tahun.

Kemangkiran,(absences)
Kepuasan kerja mungkin tidak sangat mempengaruhi kemangkiran sepreti halnya dengan pergantian,
karena sebagian kemangkiran adalah sahih (valid). Pegawai yang tidak puas tidak harus merencanakan
untuk mangkir, tetapi mereka merasa lebih mudah bereaksi terhadap kesempatan untuk melakukan itu.
Semua kemangkiran yang tidak sahih itu dapat dikurangi dengan menyediakan berbagai insentif yang
mendorong pegawai masuk kerja.

Pencurian,
Meskipun banyak sebab yang mendorong pegawai melakukan perbuatan ini, beberapa pegawai mencuri
karena mereka putus asa atas perlakuan organisasi yang dipandang tidak adil. Menurut pegawai, tindakan
itu dapat dibenarkan sebagai cara membalas perlakuan tidak sehat yang mereka terima dari penyelia.
Profil Karyawan yang Puas
Kepuasan kerja berkaitan dengan jumlah variabel yang memungkinkan para manajer untuk memperkirakan
kelompok yamh lebih cenderung mengalami lasalah ketidakpuasan. Sebagian variabel itu adalah variabel
pegawai, yang lain variabel linkungan kerja.

Usia. Ketika para karyawan bertambah lanjut usianya, mereka cenderung sedikit lebih puas dengan
pekerjaannya. Ada sejumlah alasan mengenai hal ini, sepertisemakin rendahnya harapan dan penyesuaian
yang lebih baik dengan situasi itu. Sebaliknya, karyawan yang lebih muda cenderung kurang puas karena
berpengharapan lebih tinggi, kurang penyesuaian, dan berbagai sebab lain.
Tingkat pekerjaan. Orang-orang tingkat pekerjaan lebih tinggi cenderung merasa lebih puas dengan
pekerjaan mereka. Mereka biasanya memperoleh gaji dan kondisi kerja lebih baik, dan pekerjaan yang
dilakukan memberi peluang untuk menggunakan kemampuan mereka sepenunhnya, oleh karena itu,
mereka memiliki alasan yang baik untuk merasa lebih puas.
Ukuran organisasi. Ukuran organisasi seringkali berlawanan dengan kepuasan kerja, istilah ukuran
organisasi lebih mengacu pada ukuran unit operasioanal, seperti pabrik cabang, ketimbang pada
perusahaan secara menyeluruh atau unit pemerintahan. Pada saat organisasi semakin membesar, ada
beberapa bukti yang menunjukkan bahwa kepuasan kerja cenderung agak menurun apabila tidak diambil
tindakan perbaikan untuk mengimbangi kecenderungan itu. Tanpa adanya tindakan itu, organisasi besar
cenderung kurang memperhatikan aspek manusia dan mengganggu proses supportif, seperti komunikasi,
koordinasi, dan partisipasi.

PENELAAH KEPUASAN KERJA


Para manajer memerlukan informasi kepuasan kerja untuk mengambil keputusan yang baik, baik dalam
upaya mencegah maupun dalam menanggulangi berbagai masalah pegawai. Metode yang umumnya
diterapkan adalah survei kepuasan kerja, yang juga dikenal sebagai survei moral, opini, sikap, iklim, atau
kualitas kehidupan kerja. Survei kepuasan kerja adalah prosedur yang diterapkan untuk menghimpun
perasaan pegawai tentang pekerjaan dan lingkungan kerja mereka.

Survei Kepuasan Manajer


Survei kepuasan manajer sama pentingnya dengan survei kepuasan pegawai. Para manajer juga memiliki
kebutuhan manusiawi, sama halnya dengan orang lain. Apabila mereka tidak puas, ketidakpuasan mereka
dapat menyebar ke seluruh departemen karena pengaruh manajemen mereka yang luas. Survei kepuasan
kerja perlu dilakukan untuk mendiagnosis ketidakpuasan di kalangan manajer dan untuk mengambil
langkah-langkah perbaikan.

Maslahat Telaah Kepuasan Kerja


Survei kepuasan kerja dapat membuahkan hasil positif, netral, atau negatif. Apabila direncanakan dan
dilakukan dengan baik, survei ini biasanya akan menghasilkan sejumlah maslahat yang penting, seperti
kepuasan kerja umum, komunikasi, membaiknya sikap, kebutuhan pelatihan (training needs), maslahat bagi
serikat pekerja, dan perencanaan dan pemantauan perubahan.

KONSEKUENSI-KONSEKUENSI KEPUASAN DAN KETIDAKPUASAN KERJA


Banyak ilmuan perilaku yang telah melakukan studi terhadap kepuasan kerja, karena mereka percaya
bahwa kualitas pengalaman kerja mempunyai implikasi penting terhadap kesehatan mental serta
penyesuaian psikologis seseorang. Alasan yang kedua adalah kepuasan kerja mempunyainkonsekuensi-
komsekuensi baiknlangsung maupun tidak langsung terhadap efektivitas organisasi. Kebanyakan riset
terhadap sikap kerja telah mencerminkan perhatian yang lebih besar terhadap efektivitas organisasi
ketimbang kesejahteraan anggota.

Kepuasan dan Pelaksanaan Kerja


Para pekerja yang terpuaskan akan lebih termotivir dan karena itu lebih produktiv dibanding dengan para
pekerja yang tidak puas. Jika benar, asumsi ini akan meyatakan bahwa suatu organisasi dapat
mengembangkan produktivitas dengan menciptakan kondisi-kondisi kerja yang menyenangkan, upah yang
wajar, pengawasan yang bijaksana serta jenis-jenis hasil yang diberikan dalam jumlah yang memadai.

Tinjauan kembali literatur penelitian oleh Brayfield dan Crokett (1955) dan oleh Vroom (1964) menemukan
bahwa kepuasan dan pelaksanaan kerja tidak mempunyai hubungan yang kuat satu sama lain dalam model
yang sederhana. Dalam mayoritas studi, terhadap hubungan yang positif, tetapi besarnya hubungan
biasanya sangat kecil. Jadi asumsi bahwa kepuasan kerja akan membawa pelaksanaan kerja yang tinggi
tidak dapat dibenarkan. Menurut model Lawler dan Porter (1967), pelaksanaaan kerja mengakibatkan
timbulnya kepuasan dibanding dengan cara lain yang sebaliknya. Pekerja yang pelaksanaan kerjanya tinggi
akan menerima ganjaran lebih banyak dibanding para pekerja yang pelaksanaan kerjanya rata-rata atau
lebih rendah. Sepanjang ganjaran-ganjaran ekstrinsik ini dianggap adil, maka pekerja yang tinggi
pelaksanaan kerjanya cenderung lebih terpuaskan.

MENGEMBANGKAN KEPUASAN PEKERJA


Jika seorang atu sekelompok pekerja merasa tidak puas lankah pertama untuk mengembangkan kepuasan
yang seharusnya dilakukan adalah menentukan penyebab-penyabab ketidakpuasan. Terdapat banyak
penyebab, seperti: pengawasan yang lemah, kondisi-kondisi kerja yang lemah, kurangnya keamanan kerja,
kompensasi yang tidak adil, kurangnya kesempatan untuk maju, konflik pribadi diantaara pekerja, atau
kurangnya kesempatan untuk memenuhi urutan kebutuhan yang lebih tinggi. Suatu pendekatan yang
dnamakn non directive counseling kadang-kadang efektif untuk menangani pekrja secara individual yang
merasa kesal terhadap sesuatu. Pengawas sehaarusnya mengawali berusaha mengajak pekerja
membicarakan tentang apa yang menjadi keluhannya. Pengawas seharusnya berhati-hati dengan
menghindarkan penelaahan masalahnya atau memberikan saran pemecahannya pada waktu yang
bersangkutan, karena mungkin saja pekrja tersebut memandang tindakan itu sebagai kritik terhadapnya.
Malahan pengawas seharusnya mendorong pekerja untuk mendiagnosis masalahnya dan menyarankan
sejumlah pemecahan.

Penyambuhan Terhadap Ketidakpuasan


Satu pendekatan diantara pemecahan masalah terhadap ketidakpuasan adalah mengadakan perubahan-
perubahan dalam kondisi kerja, pengawasan, kompensasi atau rancangan pekerjaan, yang tentunya
tergantung pada faktor pekerjaan mana yang menjadi penyebab ketidakpuasan kerja. Pendekatan kedua,
memindahkan pekerja ke pekerjaan yang lainuntuk mendapatkan pasangan yang lebih baik antara
karakteristik pekerja dengan karakteristik pekerjaannya. Pendekatan ketiga, termasuk suatu usaha untuk
mengubah persepsi atau harapan dari pekerja yang tidak puas. Pendekatan ini cocok bila para pekerja
memiliki kesalahan konsepsi yang didasarkan pada informasi yang tidak memadahi atau tidak benar.

Tindakan-Tindakan Pencegahan
Program pengelolaan upah yang dilakukan dengan baik akan membantu menghindarkan jenis-jenis masalah
ketidakadilan. Seleksi yang sistematik dan program-program latihan akan membantu menciptakan pasangan
yang tepat antara tuntutan pekerjaan dengan karakteristik pekerja. Sosialisasi dan orientasi yang tepat
akan lebih penting bagi pekreja baru yang direkrut.

Kepuasan Kerja dalam Organisasi


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kepuasan kerja staff merupakan faktor yang diyakini dapat mendorong dan mempengaruhi
semangat kerja staff. Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan hal yang bersifat individual.
Setiap individu staff memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan keinginan dan
sistem nilai yang dianutnya. Semakin banyak aspek dalam pekerjaannya yang sesuai dengan
keinginan dan sistem nilai yang dianut individu, semakin tinggi tingkat kepuasan yang didapat.
Secara empirik, ada hubungan antara kepuasan kerja dengan produktivitas. Kepuasan kerja staff
yang tinggi dapat membuat staff bekerja dengan lebih baik yang pada akhirnya akan
meningkatkan produktivitas.
Kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi diri. Staff dengan kepuasan kerja tinggi akan
mencapai kematangan psikologis. Staff yang mendapatkan kepuasan kerja yang baik biasanya
mempunyai catatan kehadiran, perputaran kerja dan prestasi kerja yang baik dibandingkan
dengan staff yang tidak mendapatkan kepuasan kerja. Oleh karena itu kepuasan kerja memiliki
arti yang sangat penting untuk memberikan situasi yang kondusif di lingkungan perusahaan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa hakikat dan teori kepuasan pekerja?
2. Apa hubungan kepuasan dengan kerja, kompensasi, dan pengawasan?
3. Apa konsekuensi kepuasan dan ketidakpuasan kerja?
4. Bagaimana mengembangkan kepuasan pekerja?
5. Bagaimana cara penyembuhan terhadap ketidakpuasan dan tindakan pencegahannya?
6. 6. Bagaimana tentang penelaahan kepuasan kerja?
C. Tujuan
1. Mengetahui hakikat dan teori kepuasan pekerja?
2. Mengetahui hubungan kepuasan dengan kerja, kompensasi, dan pengawasan?
3. Mengetahui konsekuensi kepuasan dan ketidakpuasan kerja?
4. Mengetahui bagaimana mengembangkan kepuasan pekerja?
5. Mengetahui cara penyembuhan terhadap ketidakpuasan dan tindakan pencegahannya?
6. Mengetahui tentang penelaahan kepuasan kerja?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Kepuasan Pekerja


Menurut Davis dan Newstromm (1985: 105), kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan
pekerja tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka. Kepuasan kerja adalah cara
seorang pekerja merasakan pekerjaannya, Wexley dan Gary (2003: 129). Kepuasan pekerja
merupakan generalisasi sikap-sikap terhadap pekerjaannya yang didasarkan atas aspek-aspek
pekerjannya yang bermacam-macam. Sekelompok karakteristik yang dapat menjadi indicator
kepuasan kerja antara lain: gaji/upah, kondisi kerja, pengawasan, teman kerja, isi pekerjaan,
jaminan kerja, serta kesempatan promosi.
Seorang pekerja menganggap ia memiliki sebagian sikap terhadap setiap aspek pekerjaan
tersebut di samping gabungan sikap terhadapnya secagai keseluruhan. Sikap seseorang terhadap
pekerjaannya mencerminkan pengalaman menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam
pekerjannya serta harapan-harapan terhdap pengalaman masa depan.
Dalam Almigo (2004: 53), kepuasan kerja merupakan sikap umum individu yang bersifat individual tentang
perasaan seseorang terhadap pekerjaannya (Robbins, 1998). Sejalan dengan pandangan Robbins, Luthans (1995)
mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah ungkapan kepuasan karyawan tentang bagaimana pekerjaan mereka
dapat memberikan manfaat bagi organisasi, yang berarti bahwa apa yang diperoleh dalam bekerja sudah memenuhi
apa yang dianggap penting. Kepuasan kerja itu dianggap sebagai hasil dari pengalaman karyawan dalam
hubungannya dengan nilai sendiri seperti apa yang dikehendaki dan diharapkan dari pekerjaannya. Pandangan
tersebut dapat disederhanakan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu sikap dari individu dan merupakan umpan
balik terhadap pekerjaannya.
Menurut Smith, Kendall dan Hulin (dalam Gibson, Ivancevich, dan Donnelly, 2000), ada lima karakteristik penting
yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu:
1. Pekerjaan, sampai sejauh mana tugas kerja dianggap menarik dan memberikan kesempatan untuk belajar dan
menerima tanggung jawab.
2. Upah atau gaji, yaitu jumlah yang diterima dan keadaan yang dirasakan dari upah atau gaji.
3. Penyelia atau pengawasan kerja yaitu kemampuan penyelia untuk membantu dan mendukung pekerjaan.
4. Kesempatan promosi yaitu keadaan kesempatan untuk maju.
5. Rekan kerja yaitu sejauhmana rekan kerja bersahabat dan berkompeten.

B. Teori Kepuasan Kerja


Menurut Wexley dan Gary (2003: 130-138), teori kepuasan adalah:
1. Teori ketidak sesuaian
Menurut Locke (1969), kepuasan atau ketidakpuasan dengan sejumlah aspek pekerjaan tergantung pada selisih
antara apa yang dianggpa telah didapatkan dengan apa yang diinginkan. Jumlah yangd iinginkan dari karakteristik
pekerjaan didefinisikan sebagai jumlah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang ada. Seseorang
akan terpuaskan jika tidak ada selisih antara kondisi-kondisi yang diinginkan dengan kondisi-kondisi yang teah
dialami. Semakin besar kekurangan dan semakin banyak hal-hal penting yang diinginkan, semakin besar
ketidakpuasannya.
2. Teori keadilan
Menurut Adam (1963), teori keadilan memerinci kondisi-kondisi yang mendasari seorang pekerja akan menganggap
fair dan masuk akal insentif dan keuntungan dalam pekerjaanya. Komponen utama dari teori ini adalah input, hasil,
orang bandingan dan keadilan atau ketidakadilan. Menurut teori ini, seseorang menilai fair hasilnya dengan
membandingkan hasilnya: rasio inputny dengan hasil:rasio inut dari sejumlah orang bandingan. Jika rasio hasil:input
seorang pekerja adalah sama atau sebanding dengan rasioorang bandingannya, maka suatu keadaan adil dianggap
ada oleh para pekerja. Jika para pekerjamenganggap perbandingan tersebut tidak adil, maka keadaan ketidakadilan
dianggap ada.
Tanggapan terhadap ketidakadilan:
Ketidakadilan adaah satu sumber ketidakpuasan kerja dan ketidakadilan menyertai keadaan tidak berimbang yang
menjadi motif tindakan bagi seseorang untuk menegakkan keadilan. Terdapat banyak cara di mana seorang pekerja
berusaha menegakkan keadilan, contohnya:
a. Meningkatkan atau mengurangi nput-input pribadi, khususnya usaha.
b. Membujuk orang bandingan untuk meningkatkan atau mengurangi input-input pribadinya.
c. Membuujuk organisasi untuk mengubah hasil perseorangan pekerja atau hasil orang bandingan.
d. Pengabaian psikologis terhadap input-input atau hasil-hasil pribadinya.
e. Pengesampingan psikologis terhadap input-input atau hasil-hasil orang bandingan.
f. Memilih orang bandingan yang lain.
g. Meninggalkan organisasi.
3. Teori dua faktor
Teori ini menyatakan bahwa kepuasan kerja secara kualitatif erbeda dengan ketidakpuasan kerja. Menurut teori ini,
karateristik pekerjaan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu disatisfiers/ hygiene factors dan satisfiers
atau motivators. Hygiene factors meliputi hal-hal seperti: gaji/upah,pengawasan, hubungan antar pribadi, kondisi
kerja dan status. Jika kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi, seseorang akan tidak puas. Namun, jika besarnya
hygiene factors memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut, seseorang tidak akan lagi kecewa tetapi dia belum
terpuaskan. Ia akan terpuaskan jika terdapat jumlah yang memeadai untuk factor-faktor pekerjaan yang dinamakan
satisfiers. Satisfiers adalah karakteristik pekerjaan yang relevan denga kebutuhan-kebutuhan urutan lebih tinggi
seseorang serta erkembangan psikologisnya, mencakup pekerjaan yang menarik, penuh tantangan, kesempatan
untuk berprestasi, penghargaan, dan promosi.

C. Kepuasan dengan Kerja


Sifat pekerjaan adalah determinan utama dari kepuasan kerja. Kepuasan kerja ditentukan oleh materi pekerjaan dan
sifat-sifat individu. Studi yang dilakukan Hackman dan Oldham (1975), yakni merekan mngoperasikan daftar
pertanyaan yang dikenal dengan Job Diagnostic Survei, berikut ini lima dimensi inti, yaitu:
1. Ragam Keterampilan (Skill Variety)
Tingkat dimana pekerjaan menunut berbagai jenis aktivitas dalam menyelesaikan pekerjaannya, yang mencakup
penggunaan banyak jenis keterampilan dan bakat-bakat kerja. Semakin besar keragaman aktivitas yang dilaksanakan
oleh seorang pekerja semakin tidak menjemukan. Pekerjaan yang mencakup semakin banyak keterampilan dan
bakat-bakat yang relevan dengan identitas diri pekerja, maka pekerja semakin lebih merasakan bahwa ia
melaksanakan pekerjaan yang berarti daripada sekedar menepati waktu.
2. Identitas Pekerjaan (Task Identity)
Tingkat dimana pekerjaan menuntut kelengkapan dalam suatu kesatuan dan setiap bagian pekerjaan dapat
diidentifikasi.
3. Kepentingan Pekerjaan (Task Significance)
Tingkat dimana suatu pekerjaan memiliki dampak penting bagi kehidupan atau pekerjaan orang lain baik dalam
lingkungan organisasi maupun lingkungan luar. Semakin penting pekerjaan yang ia lakukan, seseorang akan merasa
semakin berarti.
4. Otonomi (Autonomy)
Tingkat dimana pekerjaan memberikan kebebasan, kemandirian serta kekuasaan substansial bagi pekerja dalam
menjadwalkan pekerjaan dan prosedur yang digunakan. Jika seoarnag tidak mempunyai kuasa untuk mengatur
prosedur kerja atau langkah kerja akan terdapat sedikit sekali kesempatan untuk mendapatkan kepuasan intrinsic
dalam keberhasilannya menyelesaikan suatu pekerjaan yang menantang.
5. Umpan balik pekerjaan itu sendiri (Feedback From The Job Itself)
Tingkat dimana dalam menyelesaikan aktivitas kerja yang dituntut oelh suatu pekerjaan memberikan konsekuensi
pada pekerja mendapatkaninformasi langsung dan jelas tentang efektivitas pelaksanaan pekerjaannya, Wexley dan
Gary (2003: 146-147).

D. Kepuasan dengan Kompensasi


Upah merupakan karakteristik pekerjaan yang menjadi penyebab paling mungkin terhadap ketidakpuasan kerja.
Yang menjadi penyebab utama ketidakpuasan adalah ketidak adilan. Seperti yang telah dijelaskan dalam teori
keadilan, para pekerja menilai upahnya dengan membuat perbandingan-perbandingan sosial. Semakin tinggi tingkat
pendidikan dan professional pekerja semakin tingggi kemungkinan ia melakukan perbandingan sosial dengan orang-
orang yang profesinya sama di luar organisasi. Seorang ekerja juga akan membandingkan upahnya dengan upah
teman sesame pekerja dalam organisasi yang sama. Semakin tinggi seseorang dalam jabatan kekuasaan, pendidikan,
tanggung jawab, keterampilan, dan senioritas semakin banyak upah yang ia harapkan.
Jika upah tidak didasarkan atas pelaksanaan kerja, pekerja yang sangat rajin maka tidak puas dengan pendapatan
yang sama atau lebih rendah dari pekerja yang malas. Namun dmeikina, suatu program insentif yang memebrikan
ganjaran dengan upah yang elbih tinggi terhadap pelaksanaan kerja yang tinggi belum tentu dapat memeberikan
kepuasan. Karena tidak ada ukuran pelaksanaan kerja yang obyektif, para pekerja umumnya menilai lebih hasil
pekerjaannya. Dan semakin pekerja tergantung pada gaji atau upahnya untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan
hidupnya, maka kepuasan terhadap upahnya akan dipengaruhi oleh biaya hidupnya, Wexley dan Gary (2003: 150-
152).

E. Kepuasan dengan Pengawasan


Perilaku pengawas merupakan hal penting dari kepuasan pekerja, dan sikap pekerja terhadap pengwasnya
tergantung pada karakteristik pengawasnya. Para pekerja lebih puas dengan pemimpin yang bijaksana dna tut wuri
handayani, dibanding dengan pemimpin yang selalu berbeda atau bermusuhan dengan bawahannya.
Namun, pengaruh dari perilaku pengawas yang berorientasi pada pekerjaan terhadap kepuasan kerja kurang dapat
diramalkan. Para pekerja lebih banyak mendapatkan kepuasan terhadap pemimpin yang sangat berkepentingan
dengan pemimpin yang tidak terlalu berorientasi dengan pekerjaan. Beberapa studi menunjukkan;
1. Dalam situasi pekerjaan dimana bawahan melakukan peran-peran yang sangat membingungkan, para bawahan akan
lebih menyukai seorang pemimpin yang memperjelas ketentuan-ketentuan perannya.
2. Dalam situasi pekerja yang cakap melaksanakan pekerjaan, pekerja tidak begitu menyukai pengawas yang
mengawasi secara ketat.
3. Dalam situasi pekerja yang motivasinya rendah dan merasa pekerjaannya tidak menyenangkan, mereka lebih
menyukai seorang pengawas yang tidak menekankan pelaksanaan kerja yang tinggi, Wexley dan Gary (2003: 152-
153).

F. Konsekuensi Ketidakpuasan Kerja


Menurut Davis dan Newstromm (1985: 107-109) konsekuensi ketiakpuasan kerja adalah:
1. Ketidakpuasan dan pelaksanaan kerja. Pelaksanaan kerja mengakibatkan timbulnya kepuasan. Bila pelaksanaan
kerja menghasilkan bonus-bonus intrinsic dan ektrinsik, sedang ganjaran pada gilirannya memberikan kepuasan
yang elbih tinggi, dengan demikian pelaksanaan kerja dan kepuasan kerja mempunyai korelasi positif satu sama lain.
2. Ketidakpuasan dan penarikan diri. Ada hubungan yang konsisten antara ketidakpuasan dengan penarikan diri dalam
bentuk perpindahan dan absensi. Para pekerja yang mengalami ketidakpuasan lebih mungkin menyingkir dari kerja
atau pindah dibanding para pekerja yang puas. Bentuk lain dari ketidakpuasan antara lain adalah minum minuman
keras, mengonsumsi obat dan hal yang merugikan lainnya. Hal ini merugikan organisasi. Absensi merusak
kelancaran kerja, mengakibatkan penundaan, meningkatkan biaya untuk subsidi sakit, serta keharusan
mempekerjakan pekerja cadangan. Perpindahan pekerja juga mengganggu kelancaran, dengfan keharusan
mengadakan seleksi dan latihan untuk penempatan pekerja baru yang memberatkan.
3. Ketidakpuasan dan agresi. Ketidakpuasan kerja dapat menyebabkan perilaku agresif, seperti sabotase, kesalahan
yang disengaja, demo,pemogokan, dll. jika tindakan agresif tersebut terjadi akan menghambat jalannya pekerjaan,
menurunkan kualitas produksi, dan terhambatnya kerja sama.
4. Ketidakpuasan dan pencurian. Meskipun banyak sebab ynag melatarbelakangi tindakan pencurian, beberapa pekerja
mencuri karena mereka putus asa atas perlakuan organisasi yang dipandang tidak adil. Menurut para pekerja
tindakan itu dibenarkan untuk membalas perlakuan tidak sehat yang mereka teriam. Pengendalian secara ketat
denagn hukuman tidak selamanya dapat menanggulangi masalah ini, karena hanya diarahkan pada gejalanya dan
bukan pada sebab yang mendasar seperti besarnya ketidakpuasan.

G. Mengembangkan Kepuasan Pekerja


Langkah pertama untuk mengembangkan kepuasan adalah menentukan penyebab-penyebab ketidakpuasan.
Penyebab-penyebab itu antara lain adalah: pengawasan yang lemah, kondisi-kondisi kerja yang lemah, kurangnya
keamanan kerja, kompensasi yang tidak adil, kurangnya kesempatan untuk maju,, konflik pribadi diantara pekerja,
atau kurangnya kesempatan untuk memenuhi urutan kebutuhan yang lebih tinggi.
Tidak mudah untuk mengetahui penyebab ketidakpuasan seseorang. Pengawas seharusnya mengawali pembicaraan
dengan hal-hal umum yang tidak langsung berkaitan dengan pekerjaan. Pengawas harus berhati-hati dalam
memberikan saran, karena mungkin saja pekerja menganggap hal tersebut sebagai kritik terhadapnya. Pendekatan
tidak langsung seperti ini menghindarkan seorang pekerja mempertahankan diri,serta memungkinkan penurunan
ketegangan dan memberikan kesempatan kepada pekerja untuk mengatasi ketidakpuasannya Wexley dan Gary
(2003: 157-159).

H. Penyembuhan Terhadap Ketidakpuasan


Jika sumber ketidakpuasan sudah ditemukan, maka ada beberapa cara untuk mengatasinya, yaitu:
1. Mengadakan perubahan dalam kondisi kerja, pengawasan, kompensasi atau rancangan pekerjaan
tergantung pada factor mana yang menjadi penyebab ketidakpuasan.
2. Memindahkan pekerja ke pekerjaan lain intuk mendapatkan pasangan yang lebih baik antara
pekerja dan pekerjaannya.
3. Mengubah persepsi atau harapan dari para pekerja yang tidak puas jika terjadi kesalahan
konsepsi atas informasi yang tidak benar pada pekerja. Sering janji-janji perusahaan pada saat
lowongan dibuka tidak sesuai dengan kenyataan pada saat pekerja bekerja pada
perusahaan, Wexley dan Gary (2003: 159-160).

I. Tindakan-tindakan Pencegahan
Tindakan-tindakan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain adalah;
1. Program pengelolaan upah yang dilakukan dengan baik akan membantu menghindarkan jenis-
jenis masalah ketidakadilan.
2. Seleksi yang sistemastis dan program-program latihan akan membantu menciptakan kombinasi
yang tepat antara pekerjaan dan karakteristik pekerja.
3. Sosialisasi dan orientasi yang tepat akan lebih penting bagi pekerja baru yang direkrut dengan
memberikan informasi yang tepat pada pelamar. Informasi yang diberiakn tidak palsu dan
dibuat-buat.
4. Menghindari janji-janji yang berlebihan dan tidak realistis, hal ini mengabaikan kerugian yang
akan dibuat kemudian hari yaitu menimbulkan kekecewaanb dan ketidak puasan pekerja ketika
keadaan yang sebenarnya ditemukan, Wexley dan Gary (2003: 160).

J. Penelaahan Kepuasan Kerja


Dalam Davis dan Newstromm (1985: 105), dibahas mengenai penelaahan kepuasan kerja atau
survey kepuasan kerja yang uraiannya adalah sebagai berikut:
1. Survei kepuasan kerja
Para manajer memerlukan informasi kepuasan kerja untuk mengambil keputusan yang baik, baik
dalam upaya mencegah maupun dalam menanggulangi berbagai masalah pekerja. Metode yang
umumnya dipakai adalah survey kepuasan kerja, yang juga dikenal dengan survey moral, opini,
sikap, iklim, atau kualitas kehidupan kerja. Survey kepuasan kerja adalah prosedur yang
diterapkan untuk menghimpun perasaan pegawi tentang pekerjaan dan ligkungan kerja mereka,
tanggapan setipa pekerja mungkin dikombinasikan dan dianalisis.
2. Survey kepuasan manajer
Survei kepuasan manajer sama pentingnya dengan survey kepuasan pekerja. Apabila mereks
tidak puas, ketidakpuasan mereka dapat menyebar keseluruh departemen dan masyarakat. Survey
terhadap manajer dapat dilakukan untuk menemukan cara perbaikan.
3. Manfaat survey kepuasan kerja
Survei kepuasan kerja dapat memebrikan hasil positif, netral atau negative. Jika survey
dilakukan dengan baik, maka akanmuncul manfaat survey antara lain:
a. Kepuasan kerja umum. Pimppinan memperoleh idikasi tentang tingkat kepuasan umunya
dalamperusahaan. Hal inimencakup hal-hal yang menimbulkan kepuasan dan ketidakpuasan
secara spesifik.
b. Komunikasi. Dengan survey timbulah komunikasi yang sangat penting. Komunikasi mengalir ke
semua arah pada saat orang-orang merncanakan, melaksanakan, dan membahas, hasil survey itu.
c. Membaiknya sikap. Bagi sebagian orang, survey adalah penyalur emosi, maupun media
penyaluran perhatian atasan terhadap kesejahteraan pekerja, sehingga ada rasa lebih baik dari
pekerja terhadap atasan.
d. Kebutuhan pelatihan. Suvei kepuasan kerja merupakan sarana untuk menentukan kebutuhan
pelatihan tertentu abgi pekerja untuk memenuhi kebutuhan pekerja.
e. Manfaat bagi serikat pekerja. Dengan survei kepuasan pekerja akan diketahui apa yang
diinginkan para pegawai. Serikat pekerja jarang sekali menentang adanya suvei kepuasan kerja,
bahkan mendukung hal ini terlebih jika mereka dapat berbagi data hasil survei.
f. Perencanaan dan pemantauan perubahan. Survey kepuasan kerja bermanfaat
untukmengidentifikasi berbagai masalah yang mungkin timbul, dan mempengaruhi para manajer
untuk mengubah rencana awal mereka karena ada tanggapan dari pekerja.
4. Syarat survey yang ideal
a. Pimpinan terus mendukung survey secara aktif.
b. Para pegawai terlibay sepenuhnya dalam perencanaan survey.
c. Ada tujuan yang jelas untukmelaksanakan survey.
d. Telaah dirancang dan dilakukan sesuai dengan standar penelitian yang baik.
e. Pimpinann mampu dan amu melakukan tindak lanjut.
f. Hasil dan rencana tindakan dikomunikasikan kepada pegawai.
5. Jenis pertanyaan survey
Survei biasanya berupa kuesioner atau wawancara. Adapun metode yang dilakukan yaitu:
a. Survey objektif. Disediakan pertanyaandan pilihan jaawabab sedemikian rupa, pegawai hanya
memilih dan menandai jawaban yang paling mewakili perasaan mereka.
1) Indeks Reaksi Organisasi, menggunakan pilihan ganda jawabannya benar atau salah, setuju
atau tidak setuju.
2) Indeks Uraian Pekerjaan, pertanyaan yang menguraikan situasi kerja pekerja saat tertentu,
jawabannya ya atau tidak atau ? uantuk jawaban yang tidak dapat diputuskan.
3) Kepuasan Kuesioner Minnesota, pertanyyan dengan jawaban 1=tidak puas, 2=agak puas,
3=puas, 4=sangat puas, 5=lebih dari sangat puas.
Survey objektif mudah dilakukan, hemat biaya dan dianalisis secara statistic, tapi kelemahannya
tidak benar-benar memberikan kesempatan penuh bagi pegawai untuk mengungkapkan perasaan.
b. Survey deskriptif. Kelebihannya adalah pegawai dapat menggunakan kata-kata mereka sendiri
yang lebih mengungkapkan perasaan, pikiran, dan keinginannya. Survey berupa wawancara
pribadi lebih deskriptif, anmun dengan waktu rta-rata 2 jam per pekerja. Oleh karena itu, waktu
dibutuhkan lebih banyak dan biaya lebih mahal.
c. Desain pelaksanaan survey
Hendaknya desain prosedur dan pelaksanaan survey tidak membatasi keguanaan survey. Hasil
yang efektif dari data adalah data yang handal (reliabiility) dan sahih (validity). Handal adalah
kemampuan instrumrn survey untuk membuahkan hasil yang konsisten, tidak jadi soal siapa pun
yang melakukannya. Sahih adalah mengukur apa yang diukur, seesuai fungsinya.
d. Umpan balik survey
Langkah pertama dalam penggunaan informasi kepuasan kerja adalah mengkomunikasikan
informasi itu kepada seluruh manajer agar mereka dapat memahaminya dan bersiap-siap
menggunakannya.
1) Data perbandingan. Para manajer dapat mempeajari departemen mereka dengan mempelajari
perbandingannya dengan departemen lain. Missal departemen A mendapat skor lebih baik dari
departemen B. hal ini akanmemacu evaluasi pada manajer tiap-tiap departemen.
2) Komentar pegai. Informasi dari pegawai biasanya lebih penting dari angka-angka statistik
sehingga manajer dapat langsung menanggapi masalah yang sebenarnya sepele dan tak terduga
tapi berdampak besar.
e. Tindak lanjut administrative
1) Kerja painitia. Salah satu bentuk tindak lanjut survey adalah dibentuknya panitia kerja yang
tanggung jawabnya adalah meninjau data survey dan menyusun rencana tindakan perbaikan.
2) Umpan balik kepada pegawai. Apabila ada tindakan yang dilakukan sebagai hasil perbaikan
setelah survey, hendaknya publisitas tentang hal-hal yang diakukan disampaikankepada pegawai
secepat mungkin. dengan cara ini pegawai akan mererasa bahwa mendengarkan dan melakukan
tindakan atas gagasan mereka.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan pekerja tentang menyenangkan atau tidaknya
pekerjaan mereka, ysng umumnya dipengaruhi oleh pekerjaan, upah atau gaji, pengawasan kerja,
kesempatan promosi, dan rekan kerja.
Teori kepuasan kerja antara lain adalah Teori ketidak sesuaian, Teori keadilan, dan Teori dua
factor.
Upah merupakan karakteristik pekerjaan yang menjadi penyebab paling mungkin terhadap
ketidakpuasan kerja. Yang menjadi penyebab utama ketidakpuasan adalah ketidak adilan.
Perilaku pengawas merupakan hal penting dari kepuasan pekerja, dan sikap pekerja terhadap pengwasnya
tergantung pada karakteristik pengawasnya. Para pekerja lebih puas dengan pemimpin yang bijaksana dna tut wuri
handayani, dibanding dengan pemimpin yang selalu berbeda atau bermusuhan dengan bawahannya.
Konsekuensi-konsekuensi yang ada pada ketiakpuasan adalah dampaknya pada kinerja pekerja,
ketidakpuasn dengan penarikan diri yang menimbulkan banyak biaya, ketidakpuasan dengan
agresi yang juga menimbulkan kerugian sampai adanya tindakan pencurian dari pekerja.
Cara-cara menanggulangi ketidakpuasan adalah mengadakan perubahan dalam kondisi kerja,
pengawasan, kompensasi atau rancangan, memindahkan pekerja ke pekerjaan lain, dan
mengubah persepsi atau harapan dari para pekerja yang tidak puas jika terjadi kesalahan
konsepsi.
Cara-cara mencegah ketidakpuasan denagn program pengelolaan upah yang dilakukan dengan
baik, seleksi yang sistemastis dan program-program latihan, sosialisasi dan orientasi yang tepat,
dan menghindari janji-janji yang berlebihan dan tidak realistis.
Survey kepuasan kerja adalah prosedur yang diterapkan untuk menghimpun perasaan pegawi
tentang pekerjaan dan ligkungan kerja mereka. Survey bermanfaat untuk memperbaiki
komunikasi, meneliti kepuasan kerja umum, membaiknya sikap, mengetahui kebutuhan
pelatihan, manfaat bagi serikat pekerja, dan perencanaan dan pemantauan perubahan. Metode
survey dapat objektif dan deskriptif, yang masing-masing mempunyai kelebihn dan kelemahan.

DAFTAR PUSTAKA

Almigo, Nuzsep. 2004. Hubungan Antara Kepuasan Kerja Dengan Produktivitas Kerja Karyawan
(The Relation Between Job Satisfaction and The Employees Work Productivity), Fakultas
Psikologi Universitas Bina Darma Palembang, (Online), (diakses
dari http://psikologi.binadarma.ac.id/jurnal/jurnal_nuzsep.pdf, pada 28 Oktober 2010).
Davis, Keith dan John W. Newstroom. 1985. Perilaku dalam Organisasi, Jilid 1, Edisi Ketujuh.
Jakarta: Erlangga.
Usmara, A. 2004. Handbook of Organizations, Kajian dan Teori Organisasi. Yogyakarta: Amara
Books.
Wexley, Kenneth N., dan Gary A. Yuki. 2003. Psikologi Organisasi dan Psikologi Personalia. Jakarta:
Rhineka Cipta.

TEORI KEPUASAN KERJA


1. Kepuasan Kerja

a. Definisi Kepuasan Kerja


Steve M. Jex (2002:131) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai tingkat afeksi positif
seorang pekerja terhadap pekerjaan dan situasi pekerjaan. Bagi Jex, kepuasan kerja melulu
berkaitan dengan sikap pekerja atas pekerjaannya. Sikap tersebut berlangsung dalam aspek
kognitif dan perilaku. Aspek kognitif kepuasan kerja adalah kepercayaan pekerja tentang
pekerjaan dan situasi pekerjaan: Bahwa pekerja yakin bahwa pekerjaannya menarik,
merangsang, membosankan atau menuntut. Aspek perilaku pekerjaan adalah kecenderungan
perilaku pekerja atas pekerjaannya yang ditunjukkan lewat pekerjaan yang dilakukan, terus
bertahan di posisinya, atau bekerja secara teratur dan disiplin.
Kepuasan kerja biasanya didefinisikan sebagai tingkat pengaruh positif karyawan terhadap
pekerjaannya atau situasi pekerjaan (Locke, 1976: Spector, 1977). Pengaruh positip pada definisi
ini dapat ditambahkan komponen kognitif dan perilaku, hal ini sesuai dengan cara psikologis
social mendefinisikan sikap (Zanna & Rempel, 1988). Kepuasan kerja nyatanya adalah sikap
karyawan terhadap pekerjaannya.

Aspek kognitif dari kepuasan kerja merupakan keyakinan karyawan tentang pekerjaannya,
yaitu keyakinan bahwa pekerjaannya menarik, tidak menarik, banyak tuntutan dsb. Aspek
kognitif ini tidak bebas dari aspek afektif yaitu sangat terkait dengan perasaan dari pengaruh
positif.
Komponen perilaku merupakan perilaku karyawan atau lebih sering kecenderungan
perilaku terhadap pekerjaannya. Tingkat kepuasan kerja karyawan juga menjadi nyata oleh fakta
bahwa ia mencoba untuk mengikuti pekerjaan secara teratur, bekerja keras, dan berniat tetap
menjadi anggota organisasi utk waktu yang lama. Dibanding komponen kognitif dan afektif dari
kepuasan kerja, komponen perilaku sedikit informative, karna sikap tidak selalu sesuai dengan
perilaku, seperti seseorang tidak suka dengan pekerjaannya tetapi tetap sbg karyawan karna
alasan financial.
Barbara A. Fritzsche and Tiffany J. Parrish (2005:180)mendefinisikan kepuasan kerja
sebagai ... variabel afektif yang merupakan hasil dari pengalaman kerja seseorang. Fritsche and
Parrish juga mengutip Locke (1976) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah ...
keadaan emosional yang positif dan menyenangkan yang dihasilkan dari penghargaan atas
pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. Singkatnya, kepuasan kerja dapat menceritakan
sejauh mana seseorang menyukai pekerjaannya.
Asad (2004 : 104) mengutip definisi atau pengertian kepuasan kerja, antara lain:
(1) Menurut Wexley & Yukl (1977) yang disebut kepuasan kerja ialah is the way an employee feels
about his her job. Ini berarti kepuasan kerja sebagai perasaan seseorang terhadap pekerjaan.
(2) Vroom (1964) dikatakan sebagai refleksi dari job attitude yang bernilai positif.
(3) Hoppeck menarik kesimpulan setelah mengadakan penelitian terhadap 309 karyawan pada suatu
perusahaan di New Hope Pennsylvania USA bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian dari
pekerja yaitu seberapa jauh pekerjaan-pekerjaan secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya.
(4) Menurut Tiffin (1958) berpendapat bahwa kepuasan kerja berhubungan erat dengan sikap
karyawan terhadap pekerjaannya sendiri, situasi kerja, kerjasama antara pimpinan dengan sesame
karyawan.
(5) Kemudian Blum (1956) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap umum yang
merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri
dan hubungan sosial individual di luar kerja.

b. PendekatanTeoritis dari Kepuasan Kerja


Porsi substansi dari penelitian yang dilakukan pada kepuasan kerja selama bertahun-tahun
telah dikhususkan untuk menjelaskan apa sebenarnya yang menentukan tingkat kepuasan kerja
karyawan. Memahami perkembangan dari kepuasan kerja adalah teori penting pada psikologi
organisasi. Juga kepentingan praktis organisasi karena mereka berusaha untuk mempengaruhi
tingkat kepuasan kerja karyawan dan akhirnya, hasil penting lainnya.
Terdapat 3 pendekatan umum utk menjelaskan perkembangan kepuasan kerja: 1)
Pendekatan Karakteristik Pekerjaan 2) Pendekatan Proses Informasi Sosial and 3) Pendekatan
Disposisional.
Menurut pendekatan karakteristik pekerjaan, kepuasan kerja ditentukan terutama oleh
sifat pekerjaan karyawan atau oleh karakteristik organisasi di mana mereka bekerja.Kepuasan
kerja sangat ditentukan oleh perbandingan : apa yang pekerjaan berikan utk mereka dan apa yang
mereka berikan utk pekerjaan. Setiap aspek seperti gaji, kondisi kerja, pengawasan memberi
kontribusi utk penilaian kepuasan kerja (Hulin 1991). Locke, 1976 mengusulkan yang dikenal
sebagai range of affect theory, premis dasar dari range of affect theory adalah bahwa aspek
pekerjaan yang berbeda dipertimbangkan ketika karyawan membuat penilaian tentang kepuasan
kerja. Pendekatan karakteristik pekerjaan yang sangat mendarahdaging terhadap kepuasan kerja
dalam psikologi organisasi ( Campion & Thayer, 1985; Griffin, 1991; Hackman & Oldham,
1980).
Teori Proses informasi sosial (Salancik & Pfeffer, 1977, 1978) mengusulkan dua
mekanisme utama dimana karyawan mengembangkan rasa puas atau tidak. Mekanisme pertama
menyatakan karyawan melihat perilaku mereka secara retrospektif dan membentuk sikap seperti
kepuasan kerja untuk memahaminya, teori ini didasari pada Bems, 1972 dengan Self-
Perception Theory.Mekanisme lain yang paling dekat dengan Teori Proses informasi social
adalah bahwa karyawan mengembangkan sikap seperti kepuasan kerja melalui pengolahan
informasi dari lingkungan social, teori ini didasari pada Festingers, 1954 dengan Social
Comparison Theory, yang menyatakan bahwa bahwa orang sering melihat ke orang lain untuk
menafsirkan dan memahami lingkungan.
Pendekatan yang paling baru untuk kepuasan kerja didasari pada disposisi internal.
Premis dasar dari pendekatan dispositional terhadap kepuasan kerja adalah bahwa beberapa
karyawan mempunyai kecenderungan menjadi puas atau tidak denganpekerjaannya, terlepas dari
sifat pekerjaan atau organisasi dimana mereka bekerja. Penelitian dari pendekatan ini diantaranya
yang dilakukan oleh Weitz, 1952 tentang kecenderungan afektif individu berinteraksi dengan
kepuasan kerja yang berdampak omset. Staw and Ross, 1985 menyelidiki kestabilan kepuasan
kerja diantara sampel pekerja pria, penelitian ini mendapatkan bahwa ada korelasi antara
kepuasan kerja pada suatu waktu, dan kepuasan kerja 7 tahun kemudian.
Ketiga pendekatan di atas secara bersama-sama menentukan kepuasan kerja atau dengan
kata lain kepuasan kerja adalah fungsi bersama dari karakteristik pekerjaan, proses informasi
social dan pengaruh disposisional.
Menurut Wexley dan Yukl (1977) dalam bukunya yang berjudul Organisational Behavior
And Personnel Psychology, teori-teori tentang kepuasan kerja ada tiga macam yang lazim
dikenal yaitu :
(1) Discrepancy Theory
Teori ini menerangkan bahwa seorang karyawan akan merasa puas bila tidak ada perbedaan
antara apa yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan yang ada. Dipelopori oleh Porter
(1961) dengan mengukur kepuasankerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang
seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Selanjutnya Locke (1969) menerangkan bahwa
kepuasan kerja seseorang tergantung kepada discrepancy antara should be(expectation, need,
atau value) dengan apa yang menurut perasaannya telah diperoleh atau dicapai melalui pekerjaan
(Moh. Asad, 1995:105).
(2) Equity Theory
Prinsip dari teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas,tergantung apakah ia
merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi. Menurut teori ini equity terdiri
dari tiga elemen, yaitu :
a. Input, yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakan oleh karyawan sebagai sumbangan atas
pekerjaannya.
b. Out comes, yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakan olehkaryawan sebagai hasil dari
pekerjaannya.
c. Comparison persons, yaitu kepada orang lain atau dengan siapa karyawan membandingkan
rasio input outcomes yang dimilikinya. Comparison Persons ini bisa berupa seseorang di
perusahaan yang sama, atau di tempatlain, atau bisa pula dengan dirinya sendiri diwaktu lampau.
Sehingga dapat disimpulkan dalam teori ini adalah setiap karyawan akan membandingkan
rasio input out comes dirinya dengan rasioinput out comes orang lain. Bila perbandingan itu
dianggap cukup adil, maka ia akan merasa cukup puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang
tetapi menguntungkan, bisa menimbulkan kepuasan tetapi bisa pula tidak.
Kelemahan teori ini adalah kenyataan bahwa kepuasan orang juga ditentukan oleh individual
differences (misalkan saja pada waktu orang melamar pekerjaan apabila ditanya besarnya
gaji/upah yang diinginkan). Selain itu tidak liniernya hubungan antara besarnya kompensasi
dengan tingkat kepuasan lebih banyak bertentangan dengan kenyataan (Moh. Asad, 1995:106).

(3) Two Factor Theory


Prinsip dari teori ini adalah kepuasan dan ketidakpuasan kerja itu merupakan dua hal yang
berbeda, artinya kepuasan dan ketidakpuasan kerja terhadap pekerjaan itu tidak merupakan suatu
variabel yang kontinyu (Herzberg,1966). Teori ini pertama dikemukakan oleh Herzberg melalui
hasil penelitian beliau dengan membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap
pekerjaannya menjadi dua kelompok, yaitu :
a) Kelompok satisfiers, yaitu situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja yang
terdiri dari tanggung jawab, prestasi, penghargaan, promosi, dan pekerjaan itu sendiri. Kehadiran
faktor ini akan menimbulkan kepuasan, tetapi tidak hadirnya ini tidaklah selalu mengakibatkan
ketidakpuasan.
b) Kelompok dissatisfiers ialah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan,
yang terdiri dari kondisi kerja, gaji, penyelia, teman kerja, kebijakan administrasi, dan keamanan.
Perbaikan terhadap kondisi ini akan mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, tetapi tidak
akan menimbulkan kepuasan karena ia bukan sumber kepuasan kerja. Yang menarik dari teori ini
justru terletak pada konsep dasar tentang pemisahan kepuasan dan ketidakpuasan kerja, karena
dianggap kontroversial. Penelitian yang dilakukan oleh Mills (1967) terhadap 155 orang
karyawan dari dua buah pabrik besar di Australia, dimana sampel terdiri dari berbagai tingkatan
umur, kebangsaan, lama dinas, dan macam jabatan. Hasilnya seratus persen mendukung teori dua
faktor tersebut (Asad,1995:108-109).

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja


Faktor yang memberikan kepuasan kerja menurut Blum (1956) sebagai berikut: (1) Faktor
individual, meliputi umur, kesehatan, watak dan harapan; (2) Faktor sosial, meliputi hubungan
kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan pekerja,
kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan; (3) Faktor utama dalam pekerjaan,
meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain
itu juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan, ketepatan dalam
menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil baik yang menyangkut pribadi
maupun tugas. (Asad, 2004: 114).
Pendapat dari Gilmer (1966) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja
sebagai berikut: (1) Kesempatan untuk maju, dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk
memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama kerja; (2) Keamanan
kerja. Faktor ini sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik bagi karyawan pria
maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi perasaan karyawan selama
kerja; (3) Gaji, lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang mengekspresikan
kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya; (4) Perusahaan dan
manajemen. Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu memberikan situasi dan
kondisi kerja yang stabil. Faktor ini yang menentukan kepuasan kerja
karyawan; (5) Pengawasan (Supervise), Bagi karyawan, supervisor dianggap sebagai figur ayah
dan sekaligus atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turn over; (6) Faktor
intrinsik dari pekerjaan. Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan ketrampilan tertentu.
Sukar dan mudahnya serta kebanggaan akan tugas akan meningkatkan atau mengurangi
kepuasan; (7) Kondisi kerja, termasuk di sini adalah kondisi tempat, ventilasi, penyinaran,
kantin dan tempat parkir; (8)Aspek sosial dalam pekerjaan,
merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai faktor yang
menunjang puas atau tidak puas dalam kerja; (9)Komunikasi. Komunikasi yang lancar antar
karyawan dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam
hal ini adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat
ataupun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap
kerja; (10)Fasilitas. Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar
suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas.(Asad, 2004: 115)
Harold E. Burt mengemukakan bahwa ada tiga faktor yangmempengaruhi kepuasan kerja
yaitu: (Asad, 1995:112)
1) Faktor hubungan antar karyawan, antara lain :
a. Hubungan antara manager dengan karyawan
b. Faktor fisis dan kondisi kerja
c. Hubungan sosial diantara karyawan
d. Sugesti dari teman sekerja
e. Emosi dan situasi kerja
2) Faktor Individu, yaitu yang berhubungan dengan :
a. Sikap orang terhadap pekerjaannya
b. Umur orang sewaktu bekerja
c. Jenis kelamin
3) Faktor luar (external), yang berhubungan dengan :
a. Keadaan keluarga karyawan
b. Rekreasi
c. Pendidikan (training, up grading dan sebagainya)

Pendapat lain dikemukakan oleh Ghiselli dan Brown(1950), bahwa ada lima faktor yang
menimbulkan kepuasan kerja yaitu :
(1) Kedudukan (posisi)
Umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja padapekerjaan yang lebih tinggi
akan merasa lebih puas daripada yang pekerjaannya lebih rendah. Sesungguhnya hal tersebut
tidak selalu benar, tetapi justru perubahan dalam tingkat pekerjaannyalah yang mempengaruhi
kepuasan kerja.
(2) Golongan
Seseorang yang memiliki golongan yang lebih tinggi umumnya memiliki gaji, wewenang, dan
kedudukan yang lebih dibandingkan yang lain, sehingga menimbulkan perilaku dan perasaan
yang puas terhadap pekerjaannya.
(3) Umur
Dinyatakan bahwa ada hubungan antara umur dengan kepuasan kerja, dimana umur antara 25-34
tahun dan umur 4045 tahun adalah merupakan umuryang bisa menimbulkan perasaan kurang
puas terhadap pekerjaan.
(4) Jaminan finansial dan jaminan sosial
Jaminan finansial dan jaminan sosial umumnya berpengaruh terhadap kepuasan kerja.
(5) Mutu Pengawasan
Kepuasan karyawan dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan
dengan bawahan, sehingga karyawan akan merasa bahwadirinya merupakan bagian yang penting
dari organisasi kerja (Moh. Asad,1995:113).

Dari berbagai pendapat diatas dapat dirangkum mengenai faktor faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja yaitu (Moh. Asad, 1995:115-116) :
(1) Faktor psikologi, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan yang
meliputi minat, ketentraman dalam bekerja, sikap terhadapkerja, bakat, dan ketrampilan.
(2) Faktor sosial merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antar sesama
karyawan, dengan atasannya, maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya.
(3) Faktor fisik merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan
kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan,pengaturan waktu kerja, dan waktu istirahat,
perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan
karyawan,umur dan sebagainya.
(4) Faktor Finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan
karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminansosial, macam-macam tunjangan,
fasilitas yang diberikan, promosi dansebagainya.

d. Pengukuran Kepuasan Kerja


Kita tidak akan pernah bisa mempelajari tentang kepuasan kerja, bila saja kita tidak
memiliki cara untuk mengukurnya. Untungnya ada beberapa ukuran kepuasan kerja yang dapat
digunakan. Biasanya ada empat macam ukuran yang paling sering dipergunakan secara luas.
Namun sebelum mempelajari tantangukuran-ukuran kepuasan kerja, akan dijelaskan terlebih
dahulu bagaimana sebuah ukuran dapat disebut valid.
Meskipun ukuran-ukuran yang disebutkan di atas dilihat sebagai ukuran construct
valid dari kepuasan kerja, namun sangat tidak benar untuk mengatakan ukuran apapun
sebagai construct valid ataupun tidak construct valid. Construct validity adalah masalah level.
Ukuran-ukuran yang disebutkan sebelumnya berasosiasi dengan level yang tinggi dari bukti-
bukti construct validitu sendiri.
Lantas bagaimanakah cara untuk menyediakan bukti-bukti untuk construct validity dari
sebuah ukuran? Secara general ada tiga tes untuk construct validity. Yang pertama, agar
sebuah ukuran dapat disebut sebagai construct valid, itu harus sangat berhubungan dengan
ukuran-ukuran lain yang memiliki konstruksi sama. Ini disebut juga dengan
istilah convergence. Kedua, sebuah ukuran harus berbeda dari ukuran-ukuran dengan variabel
yang berbeda. Nama lainnya adalah discrimination. Cara ketiga yang biasa digunakan para
peneliti untuk menunjukkan bukti dari construct validity adalah melalui prediksi teoritikal dasar.
Dalam hal ini, para peneliti mengembangkan sebuah jaringan nomologikal yang berbasis teori
dari hubungan antara ukuran yang akan dikembangakan dan variabel lain yang berkepentingan.
Salah satu dari ukuran kepuasan kerja yang banyak dipergunakan secara luas
adalah Face Scale yang dikembangkanoleh Kunin pada pertengahan tahun 1950an. Face
scale ini terdiri dari serangkaian wajah-wajah dengan berbagai ekspresi emosi yang
berbeda. Responden diminta untuk dapat menunjukkan dari lima ekspresi wajah yang tersedia
ekspresi wajah manakah yang paling mewakili perasaan mereka kepada kepuasan secara
keseluruhan terhadap pekerjaan mereka. Keuntungan utama dariface scale ini adalah
kesimpelannya dan responden tidak perlu melalui sebuah jenjang membaca yang tinggi untuk
dapat menyelesaikannya. Sementara, kerugian potensial dari face scale ini adalah ia tidak
menyediakan informasi mengenai kepuasan karyawan dengan aspek yang berbeda dari pekerjaan
mereka.
Skala lain yang juga banyak dipergunakan adalah Job Descriptive Index (JDI) yang
dikembangan pada akhir tahun 1960an oleh Patricia Cain Smith dan kolega-koleganya di
Universitas Cornell. Skala JDI dinamai dengan tepat, karena skala tersebut membuat
reponden mendeskripsikan pekerjaan mereka. Perbedaannya dengan face scale, pengguna
JDI bisa mendapatkan skor untuk berbagai aspek yang berbeda dari pekerjaan dan lingkungan
kerja mereka. Keuntungan utama dari JDI adalah banyak data yang menyuport construct
validitynya. Terlebih lagi, bila seorang peneliti atau konsultan ingin menggunakan JDI untuk
mengukur kepuasan kerja dari sekelompok pekerja maka ia akan dapat membandingkan skor-
skor sekelompok pekerja ini dengan seorang sampel normatif dengan pekerjaan yang sama.
Tidak banyak kerugian yang dimiliki oleh skala JDI ini. Namun ada satu masalah yang muncul,
yaitu biasanya pada suatu kasus peneliti hanya berkeinginan untuk mengukur tingkat kepuasan
pekerja secara keseluruhan, dan skala JDI tidak dapat melakukan hal ini. Oleh karena itulah,
sang pengembang JDI ini kemudian membuat sebuah skala baru yang bernama Job in General
(JIG) Scale. Skala JIG ini dibuat dibentuk seperti JDI, kecuali pada JIG ini terdiri dari beberapa
adjektif dan frase tentang pekerjaan secara general daripada secara aspek-aspek spesifik dari
pekerjaan.
Ukuran kepuasan kerja yang ketiga yang juga banyak dipergunaka dan banyak diterima
adalah Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ). Skala MSQ ini dikembangkan oleh
sebuah tim peneliti yang berasal dari University of Minnesota pada waktu hampir sama dengan
pengembangan skala JDI. Form panjang dari skala MSQ terdiri dari 100 item yang didesain
untuk mengukur 20 macam aspek kerja. Adapula form pendek dari skala MSQ, terdiri dari 20
item. Item-item pada skala MSQ terdiri dari statement-statement tentang berbagai macam aspek
pekerjaan, dan responden diminta untuk menunjukkan tingkat kepuasan mereka terhadap masing
masing aspek. Dibandingan dengan JDI, skala MSQ merupakan sebuah ukuran yang
menunjukkan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap pekerjaan. Skala MSQ juga menyediakan
informasi yang luas mengenai kepuasan pekerja pada berbagai macam aspek pekerjaan dan
lingkungan kerja. Satu-satunya kerugian terbesar dari MSQ adalah panjang dari skala tersebut.
Pada form dengan 100 item, versi penuh dari MSQ ini sangat sulit untuk diadministrasikan,
apalagi bila peniliti berkeinginan untuk mengukur variabel lainnya. Bahan dengan versi form
pendek (20 item) masih tergolong panjang bila dibandingkan dengan ukuran-ukuran lain dari
kepuasan yang pernah tersedia.
Ukuran tingkat kepuasan kerja yang terakhir adalah Job Satisfaction Survey (JSS) yang
belum pernah dipergunakan sebanyak ukuran-ukuran yang telah disebutkan sebelumnya, namun
memiliki bukti yang menyuport properti psikometrinya. Skala ini dikembangkan pertama kali
oleh Spector (1985) sebagai insturmen untuk mengukur kepuasan kerja pada karyawan Human
Sercive. JSS terdiri dari 36 item yang didesain untuk mengukur sembilan macam aspek pekerjaan
dan lingkungan kerja. Bila dibandingkan dengan ukuran-ukuran lainnya, JSS kurang lebih sama,
yaitu mewakili statement mengenai pekerjaan seseorang ataupun situasi kerjanya. JSS lebih
mirip dengan JDI karena JSS juga merupakan skala deskriptif. Namun hal yang membedakannya
dengan JDI adalah pada JSS skor kepuasan kecara keseluruhan dapat dihasilkan dengan cara
menjumlahkan skor-skor aspek pekerjaan dan lingkungan kerja.

Dimensi Pengukuran Kepuasan Kerja


Dalam meneliti kepuasan kerja, peneliti harus menggunakan ukuran. Ukuran suatu konsep
adalah variabel. Variabel satu dengan variabel lain ditentukan berdasarkan dimensi konsep.
Dimensi pengukuran kepuasan kerja cukup bervariasi. Stephen Robbins mengajukan empat
variabel yang mampu mempengaruhi kepuasan kerja seseorang yaitu: (1) Pekerjaan menantang
secara mental; (2) Reward memadai; (3) Kondisi kerja mendukung; dan (4) Kolega mendukung.
(Jex. 2002:192-193)

Pekerjaan yang menantang secara mental Pekerja cenderung memiliki pekerjaan yang
memberikan kesempatan mereka menggunakan keahlian dan kemampuan serta menawarkan
variasi tugas, kebebasan, dan umpan balik seputar sebaik mana pekerjaan yang mereka lakukan.
Pekerjaan yang kurang menantang cenderung membosankan, sementara pekerjaan yang terlalu
menantang cenderung membuat frustasi dan rasa gagal. Di bawah kondisi moderat-menantang,
sebagian besar pekerja akan mengalami pleasure and kepuasan.

Reward yang memadai Kecenderungan pekerja dalam menginginkan sistem penghasilan


dan kebijakan promosi yang diyakini adil, tidak mendua, dan sejalan dengan harapannya. Saat
pekerja menganggap bahwa penghasilan yang diterima setimpal dengan tuntutan pekerjaan,
tingkat keahlian, dan sama berlaku bagi pekerja lainnya, kepuasan akan muncul. Tidak semua
pekerja mencari uang, dan sebab itu promosi merupakan alternatif lain kepuasan kerja. Banyak
pula pekerja yang mencari kewenangan, promosi, perkembangan pribadi, dan status sosial.

Kondisi kerja yang mendukung Perhatian pekerja pada lingkungan kerja, baik
kenyamanan ataupun fasilitas yang memungkinkan mereka melakukan pekerjaan secara baik.
Studi-studi membuktikan bahwa pekerja cenderung tidak memiliki lingkungan kerja yang
berbahaya atau tidak nyaman. Temperatur, cahaya, dan faktor-faktor lingkujngan lain tidaklah
terlampau ekstrim. Mereka juga cenderung berkerja di lokasi yang dekat rumah, menggunakan
fasilitas moderen, serta peralatan kerja yang mencukupi.

Kolega yang mendukung Pekerja, selain bekerja juga mencari kehidupan sosial. Tidak
mengejutkan bahwa dukungan rekan kerja mampu meningkatkan kepuasan kerja seorang
pekerja. Perilaku atasan juga sangat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang. Studi
membuktikan bahwa kepuasan kerja meningkat tatkala supervisor dianggap bersahabat dan mau
memahami, melontarkan pujian untuk kinerja bagus, mendengarkan pendapat pekerja, dan
menunjukkan minat personal terhadap mereka.
Derek R. Allen and Morris Wilburn (2002:20) menyatakan kajian atas kepuasan pekerja
seharusnya komprehensif dan meliputi empat kategori yaitu:
1. Pekerja itu sendiri;
2. Pekerjaan itu sendiri;
3. Organisasi itu sendiri; dan
4. Lingkungan di mana pekerja dan organisasi berada.
Keempat kategori Allen and Wilburn (2002:20-21) tersebut dapat diturunkan menjadi 23
dimensi kepuasan kerja yang terdiri atas: (1) Supervisor langsung; (2) Kebijakan dan Prosedur
Perusahaan; (3) Pembayaran; (4) Keuntungan; (5) Kesempatan kontribusi untuk perusahaan; (6)
Dipertimbangkannya pendapat oleh Perusahaan; (7) Kesempatan promosi; (8) Keamanan; (9)
Pengakuan; (10) Apresiasi; (11) Rekan kerja; (12) Demografis (usia, gender, pendidikan); (13)
Masa jabatan; (14) Persiapan awal pekerja dalam pekerjaan; (15) Kesempatan pelatihan yang
berlanjut; (16) Sifat pekerjaan yang harus dilakukan; (17) Konflik tuntutan; (18) Ambiguitas
peran; (19) Tekanan; (20) Kondisi kerja; (21) Alat dan perlengkapan kerja; (22) Material dan
Supply; dan (23) Beban kerja.

Paul E. Spector (1997: 8-19) merangkum bahwa ukuran kepuasan kerja telah memiliki
instrumen-instrumen paten terstandardisasi yang terdiri atas:
a. Job Satisfaction Survey (JDS);
b. Job Descriptive Index (JDI);
c. Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ);
d. Job Diagnostic Survey (JDS);
e. Job in General Scale (JGS); dan
f. Michigan Organizational Assessment Questionnaire (MOAQ).

Penilaian Tingkat Kepuasan Kerja


Pengukuran kepuasan kerja sangat bervariasi, baik dalam segi analisa statistiknya maupun
pengumpulan datanya. Informasi yang didapat dari kepuasan kerja bisa melalui tanya jawab
secara perorangan, dengan angket maupun dengan pertemuan suatu kelompok kerja. Kalau
menggunakan tanya jawab sebagai alatnya maka karyawan diminta untuk merumuskan tentang
perasaannya terhadap aspek-aspek pekerjaan. Cara lain dengan mengamati sikap dan tingkah
laku orang tersebut (Moh. Asad, 1995:116).
Penilaian kepuasan kerja seorang karyawan terhadap seberapa puas atau tidak puasnya dia
dengan pekerjaannya merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang
terbedakan dan terpisahkan satu sama lain. Ada dua pendekatan yang paling banyak digunakan
yaitu: (Stephen P. Robbins, 2003:101-102).
(1) Angka nilai global tunggal
Metode ini meminta individu untuk menjawab satu pertanyaan, misalnya Bilasemua hal
dipertimbangkan, seberapa puaskan anda dengan pekerjaan anda?kemudian responden
menjawab dengan melingkari suatu bilangan jawaban 1sampai 5 yang berpadanan dengan
jawaban dari sangat dipuaskan sampai sangat tidak dipuaskan.
(2) Skor penjumlahan yang tersusun atas aspek kerja.
Metode ini lebih canggih yaitu dengan mengenali unsur unsur utama dalamsuatu pekerjaan dan
menanyakan perasaan karyawan mengenai tiap unsurtersebut, misalnya tentang sifat dasar
pekerjaan, penyelia, upah, kesempatan promosi dan hubungan dengan rekan kerja

Tujuan Pengukuran Kepuasan Kerja


Tujuan pengukuran kepuasan kerja bagi para karyawan adalah :
1) Mengidentifikasi kepuasan karyawan secara keseluruhan, termasuk kaitannyadengan tingkat
urutan prioritasnya (urutan faktor atau atribut tolak ukur kepuasan yang dianggap penting bagi
karyawan). Prioritas yang dimaksuddapat berbeda antara para karyawan dari berbagai bidang
dalam organisasiyang sama dan antara organisasi yang satu dengan yang lainnya.
2) Mengetahui persepsi setiap karyawan terhadap organisasi atau perusahaan.Sampai seberapa
dekat persepsi tersebut sesuai dengan harapan mereka danbagaimana perbandingannya dengan
karyawan lain.
3) Mengetahui atributatribut mana yang termasuk dalam kategori kritis(critical perfoment
attributes) yang berpengaruh secara signifikan terhadapkepuasan karyawan. Atribut yang bersifat
kritis tersebut merupakan prioritasuntuk diadakannya peningkatan kepuasan karyawan.
4) Apabila memungkinkan, perusahaan atau instansi dapat membandingkannyadengan indeks milik
perusahaan atau instansi saingan atau yang lainnya(Kuswadi, 2004:55-56).

e. Dampak Dari Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja


Terhadap Produktivitas Kerja
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa produktivitas dapat dinaikkandengan menaikkan
kepuasan kerja, namun hasil penelitian tidak mendukung pandangan ini, karena hubungan antara
produktivitas kerja dengan kepuasan kerja sangat kecil. Produktivitas kerja dipengaruhi oleh
banyak faktor - faktormoderator disamping kepuasan kerja. Lawler dan Porter berpendapat
produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja jika tenaga kerja
mempresepsikan bahwa ganjaran intrinsik (misalnya rasa telahmencapai sesuatu) dan ganjaran
intrinsik (misalnya gaji) yang diterima kedua -duanya adil dan wajar dibuktikan dengan unjuk
kerja yang unggul (Ashar SunyotoM, 2001:364).

Terhadap Kemangkiran Dan Keluarnya Tenaga Kerja


Ketidakhadiran lebih bersifat spontan dan kurang mencerminkanketidakpuasan kerja,
berbeda dengan berhenti atau keluar dari pekerjaan. Steersdan Rhodes mengembangkan model
pengaruh dari kehadiran. Ada dua faktorpada perilaku hadir yaitu motivasi untuk hadir dan
kemampuan untuk hadir.Mereka percaya bahwa motivasi untuk hadir dipengaruhi oleh kepuasan
kerja.
Model meninggalkan pekerjaan dari Mobley, Horner, dan Hollingworth menunjukkan
bahwa setelah tenaga kerja menjadi tidak puas terjadi beberapatahap (misalnya berfikir untuk
meninggalkan pekerjaan) sebelum keputusan untuk meninggalkan pekerjaan diambil. Menurut
Robbins (1998) ketidakpuasan kerjapada karyawan dapat diungkapkan melalui berbagai cara
misalkan selain meninggalkan pekerjaan, karyawan dapat mengeluh, membangkang,
mencuribarang milik organisasi, menghindar dari tanggung jawab ( Ashar Sunyoto M,2001:365 -
366 ).

Terhadap Kesehatan
Ada beberapa bukti tentang adanya hubungan antara kepuasan kerja dengan kesehatan fisik
dan mental. Kajian yang dilakukan oleh Kornhauser tentang kesehatan mental dan kepuasan
kerja adalah untuk semua tingkatan jabatan, persepsi dari tenaga kerja bahwa pekerjaan mereka
menuntut penggunaan efektif dari kemampuan mereka berkaitan dengan skor kesehatan mental
yang tinggi. Skor skor ini juga berkaitan dengan tingkat dari kepuasan kerja dan tingkat dari
jabatan. Meskipun jelas adanya hubungan kepuasan kerja dengan kesehatan, namun hubungan
kausalnya masih tidak jelas. Tingkat dari kepuasan kerja dan kesehatan mungkin saling
mengukuhkan sehingga peningkatan dari yang satu dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya
penurunan yang satu mempunyai akibat yang negatif juga pada yang lain (Ashar Sunyoto
M,2001:368).

Banyak peneliti dan manajer yang tertarik dengan kepuasan kerja, terutama karena
hubungannya dengan variabel-variabel lain yang berhubungan. Antara lain ada empat macam
variabel yang memiliki hubungan teoritikal dan praktikal dengan kepuasan kerja, yaitu variabel
sikap, Variabel ketidakhadiran, Variabel pergantian karyawan, dan Variabel performa kerja. (Jex,
2002)
Variabel sikap. Sejauh ini kepuasan kerja diketahui berhubungan sangat kuat berkorelasi
dengan variabel sikap lain. Variabel-variabel ini merefleksikan tingkat kesukaan dan
ketidaksukaan karyawan. Beberapa contoh variabel-variabel sikap yang sering dipergunakan
dalam penelitian organisasional antara lain adalah keikutsertaan dalam pekerjaan, komitmen
organisasional, frustasi, tekanan pekerjaan, dan kecemasan. Diketahui pula bahwa kepuasan
kerja memiliki hubungan yang positif dengan banyaknya ukuran yang menunjukkan dampak
positif, seperti keikutsertaan dalam pekerjaan maupun mood kerja yang positif. Namun beberapa
studi juga menunjukkan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang negatif dengan variabel-
variabel seperti frustasi, kecemasan, dan tekanan kerja.
Variabel Ketidakhadiran. Dari sudut pandang teoritikal, ketidakhadiran mewakili
sebuah cara umum seorang karyawan melakukan penarikan diri dari pekerjaan mereka.
Sementari dari sudut pandang praktikal, ketidakhadiran adalah sebuah masalah yang sangat
merugikan untuk banyak organisasi. Ketika karyawan tidak hadir, pekerjaan mungkin tidak akan
selesai atau akan dikerjakan oleh karyawan yang pengalamannya lebih sedikit.Hacket dan
Guion (1985) menjelaskan ada beberapa alasan mengapa hubungan antara kepuasan kerja dan
ketidakhadiran lemah. Alasan pertama adalah karena pengukuran dari ketidakhadiran itu sendiri
sedikit kompleks. Alasan lainnya adalah karena kepuasan kerja mewakili sikap karyawan secara
general, sementara ketidakhadiran hanyalah salah satu bentuk spesifik dari perilaku karyawan.
Alasan terakhir adalah karena ketidakhadiran merupakan perilaku yang memiliki rate dasar
rendah, karena memprediksikan sebuah variabel dengan rate dasar yang rendah adalah sulit.
Variabel Pergantian Karyawan. Hubungan lain dari kepuasan kerja yang banyak
menarik perhatian peneliti dan manajer adalah pergantian karyawan. Beberapa pergantian di
dalam organsasi tidak dapat dielakkan, dan dalam beberapa kasus lainnya mungkin malah
diinginkan oleh organisasi. Namun tingkat pergantian karyawan yang terlalu tinggi dapat
merugikan organisasi, karena organisasi tersebut harus kembali memulai proses perekruitan,
pemilihan, dan sosialisais karyawan baru. Tingkat pergantian karyawan yang tinggi juga
memiliki dampak yang besar terhadap gambaran publik terhadap organisasi tersebut.
Variabel Performa Kerja. Hubungan keempat yang berkorelasi dengan kepuasan kerja
adalah performa kerja. Salah satu cara untuk membuat karyawan lebih produktif adalah dengan
membuat mereka lebih puas. Vrooms Expectancy Theory (1964)menyatakan
bahwa karyawan akan menaruh usaha yang lebih bila mereka percaya bahwa usaha
tersebut akan menjadi performa dengan level tinggi, dan performa tersebut dapat
menghasilkan hasil yang memuaskan. Sementara bila performa kerja dengan level yang tinggi
dapat menghasilkan hasil yang memuaskan, karyawan akan menjadi lebih puas dengan pekerjaan
mereka ketika performa kerja mereka baik dan mereka mendapatkan penghargaan atas
itu. Ostroff (1992) menyebutkan bahwa meskipun karyawan yang sangat puas dengan
pekerjaan mereka mungkin belum tentu dapat memiliki performa kerja yang lebih baik
bila dibandingkan dengan karyawan yang lebih tidak puas, namun organisasi yang memiliki
karyawan yang lebih puas dengan pekerjaan mereka cenderung memiliki performa kerja yang
lebih baik dibandingkan dengan organisasi yang memiliki karyawan yang sangat tidak puas
dengan pekerjaannya.

Kepuasan Kerja : Perspektif Antar-Budaya


Pelajaran dari kepuasan pekerjaan sudah mendapat tempat di Amerika dan negara-negara
Eropa Barat. Bekerja adalah suatu hal yang universal dan ini menjadi perkembangan positif atau
negatif terhadap apa yang dirasakan dalam bekerja. Pada bagian ini, secara singkat dijelaskan
perbedaan antar-budaya dalam tingkat kepuasan pekerjaan dan alasan-alasan potensial untuk
perbedaan-perbedaan tersebut. Beberapa para ahli menyimpulkan dari penelitiannya bahwa
manejer Amerika Latin lebih merasa puas daripada manajer Eropa. Pada perbandingan karyawan
Dominika dan Amerika yang bekerja di perusahaan yang sama, ditemukan bahwa rekan kerja
Dominika lebih merasa puas dibandingkan rekan kerja Amerika. Beberapa penelitian juga
menunjukkan bahwa karyawan Jepang cenderung kurang puas daripada karyawan Amerika.
Jika dilihat dari karakteristik perspektif pekerjaan, ada beberapa penjelasan untuk
perbedaan kepuasan pekerjaan antar-budaya. Contohnya, ada bukti yang nyata pada perbedaan
dalam nilai. Hasil dari penelitian Hofstede (1984) tentang perbedaan dalam nilai, termasuk
individualisme, maskulinitas, jarak kekuasaan, dan menghindari ketidakpastian. Besarnya
individualisme menggambarkan kepedulian orang-orang dengan keinginan dan kebutuhan
mereka. Maskulinitas menggambarkan tingkat yang fokus pada prestasi dan kinerja sebagai
perlawanan kepada kesejahteraan dan kepuasan yang lain. Jarak kekuasaan menggambarkan
tingkat dari hak untuk bertindak dan status yang berbeda dari yang lain dengan level yang lebih
rendah. Menghindari ketidakpastian menggambarkan besarnya orang yang nyaman bekerja
dalam lingkungan yang tidak tentu. Contohnya adalah Amerika dan negara-negara Eropa Barat
cenderung untuk menempatkan nilai yang sangat tinggi pada individualisme, sementara Hispanik
dan negara-negara oriental cenderung menempatkan nilai yang tertinggi. Pada maskulinitas
ditemukan bahwa negara Scandinavia cenderung menempatkan nilai yang tertinggi dibandingkan
negara lain. Pada jarak kekuasaan cenderung memiliki nilai yang sangat tinggi di negara Hipatik
tetapi berbanding terbalik di Australia dan Israel sedangkan pada menghindari ketidakpastian
ditemukan sangat tinggi di negara Yunani dan Portugis sementara rendah di Singapura dan
Denmark.
Implikasi utama dari perbedaan antar-negara dalam preferensi nilai bahwa
perbedaan antar-budaya dalam kepuasan pekerjaan mengarah pada perbedaan dalam apa
yang diinginkan karyawan dalam pekerjaan mereka. Bagian ini menyatakan bahwa kepuasan
pekerjaan menghasilkan isi pokok dari perbandingan antara apa yang orang rasakan pada
pekerjaan mereka dan apa yang mereka inginkan.

2. Komitmen Organisasi
Selain perasaan tentang rasa puas/ketidakpuasan, pegawai mungkin juga memiliki perasaan
komitmen ke organisasinya. Seperti pada kepuasan/ketidakpuasan, ada kecendurungan bahwa
ikatan komitmen itu mengikat hingga di luar tempat kerja itu. Misalnya orang bisa menjadi
sedemikan komtmen kepada institusi seperti gereja atau organisasi politik.
a. Definisi Komitmen Organisasi
Di dalam tingkatan yang paling umum, komitmen organisasi dapat diartikan
sebagai tingkatan saat seorang pegawai telah berdedikasi kepada organisasinya dan
kesanggupan untuk bekerja atas kepentingan organisasi tersebut, serta kecenderungan
untuk tetap menjadi anggota organisasi tersebut.
Meyer dan Allen (1991) kemudian mendefinisikan lebih jauh tentang komitmen organisasi
dengan menyatakan bahwa mungkin terdapat beragam basis-basis komitmen (alasan kenapa
mereka berkomitmen dengan organisasinya), yaitu afektif, keberlanjutan, dan normatif.
Selain basis-basis yang berbeda, komitmen pegawai boleh jadi terfokus ke level-level yang
berbeda dalam organisasi, dan bahkan dapat ditujukan ke luar organisasi. Banyak juga pegawai-
pegawai dalam organisasi yang memiliki rasa komitmen pada profesi yang mereka tekuni, misal
seorang ahli fisika yang bekerja dalam organisasi kesehatan akan memiliki komitmen kepada
kesehatan pula.
Sekarang karena komitmen memiliki beragam basis dan focus, ini memberi kesan bahwa ada
beberapa macam komitmen yang berbeda. Meyer dan Allen (1997) menyajikannya dalam bentuk
matriks, yaitu sebuah cross product dari tiga basis komitmen dengan enam focus berbeda dari
sebuah komitmen.

b. Membangun Komitmen Organisasi


Apa yang membentuk level komitmen suatu pegawai terhadap organisasinya? Karena
kompleksitas dari susunan komitmen organisasi itu sendiri, ini bukan pertanyaan yang mudah
dijawab. Kebanyakan peneliti mencoba menjawab pertanyaan ini dari ketiga basis komitmen
tersebut, yaitu afektif, keberlanjutan, dan normatif.
Komitmen yang berbasiskan afektif biasanya terbentuk atas perasaan akan organisasi/perusahaan
tempat pegawai itu bekerja memperlakukannya dengan baik dan/atau memberikan banyak
dukungan kepadanya.
Komitmen yang berbasiskan keberlanjutan bahkan lebih sederhana, biasanya merupakan
perluasan dari perasaan pegawai yang memandang organisasinya sekarang itu memiliki alternatif
yang selalu berjalan.

c. Pengukuran Komitmen Organisasi


Seperti kebanyakan variabel sikap subjektif, komitmen organisasi diukur dengan skala
laporan diri. Secara historis, komitmen organisasi pertama untuk memperoleh penggunaan secara
luas adalah Organizational Commitment Qestionnaire (OCQ). OCQ asli terutama tercermin
pada apa yang Meyer dan Allen uraikan seperti komitmen afektif dan pada tingkat yang lebih
rendah, yaitu komitmen normatif. OCQ asli juga berisi satu bagian yang mengukur keinginan
pindah kerja seorang karyawan.
Mathieu dan Zajac melaporkan bahwa mean reliabilitas konsistensi internal untuk berbagai
bentuk OCQ itu semua adalah 0.80. Keterbatasan utama dari OCQ adalah langkah-langkahnya
terutama komponen afektif dari komitmen organisasi, sehingga memberikan informasi yang
sangat sedikit tentang kelanjutan dan komponen normatif. Ini adalah batasan penting karena
berbagai bentuk berbeda dari komitmen berhubungan dengan hasil yang berbeda.
Baru-baru ini, Allen dan Meyer mengembangkan ukuran komitmen organisasi yang berisi tiga
subskala yanng bersesuaian dengan komponen afektif, kelanjutan, dan normatif dari komitmen.
Sebuah contoh dari komitmen afektif adalah: Organisasi ini memiliki banyak makna bagi saya
pribadi. Sebuah contoh dari komitmen kelanjutan adalah: Ini akan terlalu mahal bagi saya
untuk meninggalkan organisasi saya dalam waktu dekat. Sebuah contoh dari komitmen normatif
adalah: Saya akan merasa bersalah jika saya meninggalkan organisasi saya sekarang.

Meyer dan Allen melaporkan bahwa median reliabilitas konsistensi internal untuk skala
komitmen afektif, kelanjutan, dan normatif adalah 0.85, 0.79, dan 0.73. Adapula bukti yang
menunjukkan bahwa bentuk-bentuk komitmen organisasi secara empiris dibedakan dari
kontruksi terkait seperti kepuasan kerja, nilai dan komitmen kerja.

Selain OCQ dan skala Allen dan Meyer, ada juga ukuran yang telah dikembangkan oleh T.
Becker. Dalam studi ini, komitmen organisasi diukur dalam istilah basis ganda dan fokus ganda.
Ada sedikit bukti empiris pada variabel pendekatan ini untuk mengukur komitmen. Namun di
masa depan, ukuran ini dapat berguna untuk mengukur komitmen dengan cara ini jika hasil yang
berbeda terkait dengan kombinasi yang berbeda dari komitmen basis dan fokus.

d. Variabel yang berhubungan Komitmen Organisasi


Seperti kepuasan kerja, para peneliti dan manajer tertarik dalam komitmen organisasi
dikarenakan hubungannya dengan variabel lain, seperti variabel sikap, kehadiran, pindah kerja,
dan performa kerja.

Variabel Sikap
Mathieu dan Zajac menemukan bahwa mean korelasi tepat antara komitmen organisasi afektif
dan kepuasan pekerjaan adalah 0.53. korelasi sikap konsistensi lainnya dari komitmen afektif
ditemukan dalam meta-anallisis termasuk keterlibatan pekerjaan (0.36), komitmen pekerjaan
(0.27), komitmen gabungan (0.24) dan stres (-0.29). Bandingkan dengan komitmen afektif, lebih
sedikit pekerjaan secara empiris telah diperiksa hubungannya antara korelasi sikap dari
kelanjutan maupun komitmen normatif.

Kehadiran
Mathieu dn Zajac menemukan bahwa korelasi yang tepat antara komitmen afektif dan kehadiran
adalah 0.12 dan korelasi dengan keterlambatan adalah -0.11. Korelasi antara kehadiran dan
kepuasan kerja besarnya sama. Dari sisi kenseptual, tingkat tinggi komitmen afektif
menunjukkan sebuah maksud untuk berkontribusi pada sebuah organisasi. Bandingkan dengan
komitmen afektif, sedikit bukti mengenai hubungan antara kelanjutan atau komitmen normatif
dan kehadiran.

Pindah Kerja Pegawai


Dengan komitmen organisasi alami, dapat dianggap lebih banyak buktinya pada hubungan di
antara ketiga bentuk komitmen dan pindah kerja, dibandingkan dengan hasilnya. Seperti yang
diharapkan, riset yang telah ditunjukkan secara umum mempunyai hubungan negatif diantara
ketiga komitmen dan pindah kerja.

Performa Kerja
Pada umumnya, komitmen afektif telah ditunjukkan positif berhubungan dengan performa kerja,
walaupun besarnya dari hubungan ini tidak kuat. Menentukan mekanisme dibelakang hubungan
ini adalah sulit karena studi ini telah menggunakan variasi luas dari ukuran kriteria performa.
Satu keumuman diantara studi ini adalah bahwa hubungan antara komitmen afektif dan performa
tak langsung oleh usaha pegawai.

e. Aplikasi Praktis dari Penelitian Komitmen


Satu cara untuk melihat aplikasi penelitian komitmen berorganisasi adalah menguji
bermacam cara dari organisasi mana yang dapat menyebabkan komitmen tingkat tinggi di antara
pengurusnya. Meyer dan Allen (1997) menjelaskan bahwa adanya pengaruh antara kebijakan
perekrutan anggota baru dengan komitmen pengurus setelah diterima. Telah lama
direkomendasikan bahwa kebijakan perekrutan membutuhkan persyaratan yang benar-benar
sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Gambaran pekerjaan dapat memberikan informasi kepada
calon pengurus tentang bagaimana jenis pekerjaan yang akan dia kerjakan. Bila calon pengurus
merasa cocok dan mampu mengerjakan maka akan timbul suatu komitmen ketika dia menjadi
pengurus. Dengan cara ini dapat ditunjukkan bahwa adanya transparansi sehingga calon
pengurus akan merasa diperlakukan secara adil dan jujur. Hal itu akan menambah komitmen
pengurusnya.
Ketika pengurus masuk organisasi, masa orientasi dan pengalaman masa magang dapat
meningkatkan tingkat komitmen pengurusnya. Meyer dan Allen menegaskan bahwa pendekatan
investiture dalam masa orientasi dapat meningkatkan perasaan komitmen berorganisasi daripada
pendekatan divestiture. Ketika pendekatan investiture diterapkan, pengurus baru tidak
diharuskan untuk meninggalkan kepribadiannya yang dulu, dengan begitu pengurus baru dapat
menyadari bahwa menghormati hak-hak pengurus dalam suatu organisasi merupakan suatu hal
yang penting.
Dalam pendekatan divesture, pendatang baru diharuskan untuk meninggalkan beberapa
aspek dalam masing-masing individu. Bentuk sosialisasi ini dapat membuat pengurus baru
mengganggap organisasi itu elite dan merupakan suatu keistimewaan apabila menjadi
pengurus tetap organisasi tersebut. Di sisi lain, hal ini dapat menyebabkan ketidakpercayaan
orang luar terhadap organisasi ini dan dapan menyebabkan perasaan rendah diri bagi para
pengurus barunya.
Suatu organisasi harus meyakinkan bahwa pengurus barunya mendapatkan pelatihan yang
sesuai kebutuhann untuk dapat mengerjakan pekerjaan mereka nantinya. Pelatihan dapat terdiri
dari pelatihan formal maupun informal. Pelatihan atau Training ini dapat menambah komitmen
berorganisasi karena dalam pelatihan, pengurus baru dapat mengetahui bahwa suatu organisasi
bertindak suportif dan mempunyai kepentingan untuk kesuksesannya. Jika pelatihan ini
memfasilitasi pengurus baru agar dapat sukses, maka dapat menyebabkan pengurus baru merasa
bangga bergabung dalam organisasi tersebut. Pelatihan ini juga berkontribusi untuk menambah
komitmen yang berkelanjutan.
Pengembangan kebijakan promosi internal merupakan area lain yang digunakan suatu
organisasi untuk meningkatkan komitmen pengurusnya. Namun, apabila dalam prakteknya
promosi internal ini berjalan secara tidak adil dan tidak transparan maka dapat menyebabkan
kemerosotan komitmen pengurusnya.
Banyak organisasi juga sering menggunakan penelitian komitmen di dalam area kompensasi dan
keuntungan. Contohnya, terdapat beberapa persyaratan untuk pengurusnya agar dapat
memperoleh dana pensiun, salah satunya terdapat syarat minimal usia. Persyaratan tersebut dapat
membuat pengurus untuk tetap berada di organisasi tersebut, namun tidak menjamin para
pengurus tersebut bekerja lebih giat. Selain dana pensiun, terdapat cara lain yang dapat
digunakan suatu organisasi dalam area kompensasi, yaitu menggunakan pembagian keuntungan
atau sharing profit. Metode lain dalam kompensasi yang dapat meningkatkan komitmen
berorganisasi adalah dengan menggunakan metode pembayaran berdasarkan keterampilan atau
skill-based-pay.

KESIMPULAN
a. Steve M. Jex (2002:131) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai tingkat afeksi positif seorang
pekerja terhadap pekerjaan dan situasi pekerjaan. kepuasan kerja melulu berkaitan dengan sikap
pekerja atas pekerjaannya. Sikap tersebut berlangsung dalam aspek kognitif dan perilaku. Aspek
kognitif kepuasan kerja adalah kepercayaan pekerja tentang pekerjaan dan situasi pekerjaan
b. Teori Kepuasan Kerja adalah sebagai berikut :Teori Proses informasi sosial (Salancik &
Pfeffer, 1977, 1978) mengusulkan dua mekanisme utama dimana karyawan mengembangkan
rasa puas atau tidak. Self-Perception Theory (Bems, 1972), karyawan melihat perilaku mereka
secara retrospektif dan membentuk sikap seperti kepuasan kerja untuk memahaminya.Social
Comparison Theory (Festingers, 1954), karyawan mengembangkan sikap seperti kepuasan
kerja melalui pengolahan informasi dari lingkungan social, yang menyatakan bahwa bahwa
orang sering melihat ke orang lain untuk menafsirkan dan memahami lingkungan.
c. Faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja menurut Blum (1956) sebagai
berikut : (1) Faktor individual, misalnya umur, kesehatan, watak dan harapan;
(2) Faktor sosial, misalnya hubungan kekeluargaan danpandangan masyarakat, (3) Faktor
utama dalam pekerjaan, misalnya upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan
kesempatan untuk maju.
d. Dampak dari Meningkatnya Kepuasan Kerja : Produktivitas Kerja Meningkat, Menurunnya
kemangkiran dan permintaan berhenti, dan kesehatan pegawai yang meningkat karena perasaan
nyaman terhadap pekerjaan. ( Ashar Sunyoto M,200).
e. Komitmen organisasi dapat diartikan sebagai tingkatan saat seorang pegawai telah
berdedikasi kepada organisasinya dan kesanggupan untuk bekerja atas kepentingan organisasi
tersebut, serta kecenderungan untuk tetap menjadi anggota organisasi tersebut. (Jex, 2002).
Meyer dan Allen (1991) mendefinisikan tentang komitmen organisasi dengan menyatakan bahwa
mungkin terdapat beragam basis-basis komitmen (alasan kenapa mereka berkomitmen dengan
organisasinya), yaitu afektif, keberlanjutan, dan normatif.
f. Seperti kepuasan kerja, dalam komitmen organisasi ada hubungannya dengan variabel lain,
seperti variabel sikap, kehadiran, pindah kerja, dan performa kerja. Komitmen organisasi
yang tinggi akan berdampak positif terhadap variable-variabel tersebut.

REFERENSI :
Barbara A. Fritzsche and Tiffany J. Parrish, Theories and Research on Job Satisfaction dalam Steven
Douglas Brown and Robert William Lent, eds., Career Development and Counseling: Putting
Theory and Research to Work (New Jersey: John Wiley & Sons, Inc., 2005.
Baron & Byrne. Social Psychology : Understanding Human Interaction (6th edition). USA: Needham
Heights Allyn & Bacon Inc. 1994

Daft L. Richard, Era Baru Manajemen, Ed. Kanita Maria Tita. Jakarta: Salemba Empat, 2011
Derek R. Allen and Morris Wilburn, Linking Customer and Employee Satisfaction to the Bottom Line: A
Comprehensive Guide to Establishing the Impact of Customer and Employee Satisfaction of
Critical Business Outcomes, Milwaukee : American Society for Quality, 2002
H.C. Ganguli, Job Satisfaction Scales for Effective Management: Manual for Managers and
Sciensts. New Delhi: Ashok Kumar Mittal, 1994
Kuswadi. 2004. Cara Mengukur Kepuasan Kerja Karyawan. Jakarta : PT ElexMedia Komputindo
Miner, J.B. 1992. Industrial Organizational Psychology. London : Mc Grawhill
Mobley, William. H. 1986. Pergantian Karyawan: Sebab-Sebab Dan Pengendaliannya. Penerjemah :
Nurul Iman. Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo
Moh. Asad. 1998. Psikologi Industri. Yogyakarta : LIBERTY
Pandji Anoraga. 1992. Psikologi Kerja. Jakarta : PT RINEKA CIPTA
Paul E. Spector, Job Satisfaction: Application, Assessment, Cause, and Consequences .Thousand Oaks:
Sage Publications, Inc., 1997
Phuong L. Callaway, The Relationship of Organizational Trust and Job Satisfaction: An Analysis in the
U.S. Federal Work Force.Boca Raton: Dissertation.com, 2007.
P. Robbin, Stephen. 2003. Perilaku Organisasi. Jakarta : PT INDEKS kelompok GRAMEDIA
Steve M. Jex, Organizational Psychology: A Scientist Practitioner Approach.New York : John Wiley &
Sons, 2002
Sutjipto. Kesaksian Seorang Rektor: Siapa Menyuruh Mahasiswa ke Jalan?Jakarta: Global Mahardika
Publications.2004
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005
Wexley, K.N., Yukl, G.A., 1977, Organizational Behavior and Personal Psychology, Richard D. Irwin
Inc., Homewood, Illinois.

Anda mungkin juga menyukai