Anda di halaman 1dari 4

Critical Legal Studies Movement (Gerakan Studi Hukum Kritis1)

Lectio Brevis
Oleh: Antonius Cahyadi

A. Latar Belakang

Lahirnya
Tahun 1977 diselenggarakan sebuah konferensi oleh para yuris (seperti: Abel, Horwitz,
Kennedy, Trubek, Tushnet dan Unger) yang merasa tidak puas dengan kajian-kajian yang
dihasilkan oleh Asosiasi Hukum dan Masyarakat (Law and Society Association), yang menurut
para yuris tersebut terlalu dipengaruhi oleh studi-studi empiris dan behaviorisme. Sedang di
Inggris konferensi serupa diadakan pada tahun 1984.

CLS Movement (Crits) dan Realisme Hukum


Crits sering dibandingkan dengan Realisme Hukum Amerika (tokohnya a.l. Oliver Wendell
Holmes). Kedua-duanya sama-sama skeptis pada ortodoksi dalam ilmu hukum. Crits dibangun
di atas pondasi filsafat sosial dan filsafat kritis, teori linguistik dan lain sebagainya (multi-
disiplin). Gerakan ini memperlihatkan pengaruh budaya politik yang radical generasi tahun
1960-an di Amerika (ingat flower generation!). CLS sangat menekankan adanya komitmen
(keberpihakan dan keberpijakan) pada pemikiran hukum (hal ini tidak dapat dihindarkan) dan
1
Pertanyaan apa yang dimaksud dengan krisis? kiranya menjadi pertanyaan awal yang analitis untuk mengawali
paparan ini. Adakah kaitan antara krisis dan kritik atau wacana kritis?.
Habermas melihat bahwa krisis termasuk dalam kategori perubahan. Tetapi perubahan yang terjadi baru dapat
disebut krisis apabila perubahan yang terjadi itu tidak diakomodasi oleh sistem sosial yang bersangkutan. Tidak
dapat diakomodasinya perubahan ini disebabkan oleh kemampuan pengendalian sistem tidak mampu
mengendalikan perubahan tersebut. Bentuk-bentuk krisis terlihat dalam gangguan-gangguan yang mengancam
integrasi sistem. Namun Habermas tidak melihat sistem sebagai sistem an sich. Ia melihat bahwa dalam sebuah
sistem sosial ada dua integrasi yang terancam oleh sebuah krisis yaitu integrasi sistem sebagai sistem dan integrasi
sosial yang mencakup dunia kehidupan individu dengan sistem yang memformanya dalam kehidupan
bermasyarakat, sehingga perubahan yang disebut krisis tadi dapat terjadi kalau perubahan itu mengancam keutuhan
sistem (strukturnya mulai goyang dan berubah) serta mengancam individu yang menghidupi sistem. Artinya
individu-individu yang menjadi anggota sistem itu mulai merasakan perubahan yang tidak dapat dikendalikan oleh
hidup mereka sendiri dan juga, perubahan itu dirasakan sebagai ancaman terhadap identitas sosial mereka.
Perubahan dalam dimensi ekonomi, politik dan sosial-budaya di masyarakat kapitalisme lanjut bagi Habermas
adalah krisis. Barang ekonomi terus saja diproduksi tetapi tidak pernah ada distribusi yang benar-benar merata dan
buruh yang memproduksinya seringkali teralienasi dari barang yang diproduksinya karena tidak dapat memiliki
barang itu. Di dunia politik massa yang apolitis mulai digarap kembali demi perolehan legitimasi negara, sedangkan
dalam tataran kultural manusia merasakan keterasingan dari dirinya sendiri. Manusia mengalami kekeringan makna
hidup. Terlihat bahwa dalam tataran struktural (contohnya negara) sistem mengalami ancaman disintegrasi dan
dalam tataran individual (kultural) manusia secara individual mengalami krisis makna hidup. Begitu pula dengan
paparan Ramsay dan Friedman. Dari saripati diskursus mereka kita dapat mencermati bahwa manusia tercerabut
dari dunia konkrit kehidupannya sehari-hari dan masyarakatnya mengalami legalisasi yang begitu akut
(positivistik). Jelas sekali baik individual maupun strukural atau baik dalam dunia kehidupan yang mengandung
kehidupan sehari-hari maupun dunia sistem, terjadi perubahan yang tidak dapat diakomodasi oleh sistem
pengendalian dari sistem masyarakat kapitalisme lanjut. Ada krisis dalam masyarakat kapitalisme lanjut.
Lalu bagaimana dengan kritik atau wacana kritis? Tentu kritik muncul sebagai penyikapan terhadap krisis.
Habermas mengeluarkan kritik terhadap masyarakat kapitalisme lanjut dengan menyebutkan bahwa masyarakat
kapitalisme lanjut tidak mengembangkan paradigma komunikasi yang partisipatif dan emansipatoris. Ramsay
mengkritik bahwa wacana yang dikembangkan dalam masyarakat kapitalisme lanjut yang dijiwai liberalisme
membuat manusia menjadi abstrak bagi dunia kehidupannya. Friedman mendeteksi legalisme yang menghinggapi
masyarakat modern. Baginya masyarakat jadi begitu positivistik dan tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa
hukum. Kritik-kritik ini mempunyai landasan praktisnya ketika ia dibenturkan pada krisis yang sebelumnya
diajukan oleh baik Habermas, Ramsay maupun Friedman. Dengan demikian, terlihat kaitan krisis dengan kritik
atau wacana kritis yaitu bahwa kritik menjadi praktis (nyata, konkrit, mendasar, kontekstual dan aktual) ketika ia
dibumikan pada krisis yang dihadapi oleh situasi konkrit yang dikritiknya.

1
menolak keyakinan bebas nilai para pemikir sebelumnya. Dalam hal tertentu kita dapat melihat
adanya kesamaan dengan pemikiran realisme hukum, tetapi CLS sebih dalam dan luas lagi. Ada
keprihatinan yang sama antara kedua aliran pemikiran itu yaitu mengenai adanya sifat politis
dalam hukum. Maka, banyak orang melihat bahwa CLS merupakan kelanjutan dari gerakan
realisme hukum (Amerika). Namun demikian ada perbedaan yang perlu kita cermati.

Realisme Hukum berada dalam ranah pemikiran Liberalisme yang coba membebaskan dari
belenggu liberalisme sehingga membuat pilihan yang ekstrim ataukan liberalisme ataukah
Marxisme (Sosialisme). Sedangkan CLS coba keluar dari dikotomi tersebut, dengan tidak
menggampangkan pilihan; ataukah liberalisme ataukah Marxisme (Sosialisme). CLS dan
Realisme Hukum sama-sama mengkritisi Formalisme Hukum (keputusan Supreme Court AS
dalam Lochner vs. New York adalah contoh dari Formalisme Hukum). Namun, jika para realis
melihat Nalar Hukum merupakan sesuatu yang independen (otonom), maka para pemikir CLS
melihat bahwa Nalar Hukum merupakan sesuatu yang dependen dan tidak bebas nilai. Dalam
hal ini, para pemikir Realisme hukum dapat digolongkan dalam pemikiran yang ortodoks dalam
hukum. Karena itu, apabila pemikir realis percaya dan terus melakukan pembedaan antara Nalar
Hukum dan Diskursus Politik (dengan sendirinya Nalar (ber)-Politik, dan sangat percaya adanya
otonomitas Nalar Hukum sehingga pendapat hukum yang dihasilkan dapat diusahakan bebas
nilai, maka para pemikir CLS tidak menyetujuinya. Para pemikir CLS yakin bahwa tidak ada
model tersendiri dari Nalar Hukum. Nalar Hukum selalu berkaitan dengan politik. Bagi mereka
hukum adalah politik. Keberadaan Nalar Hukum tidak dapat dipisahkan dari pertarungan
ideologi yang ada dalam masyarakat.

B. Keprihatinan Utama CLS Movement:


Kontradiksi-Kontradiksi dalam Liberalisme

Para pemikir CLS menemukan tiga kontradiksi dalam pemikiran hukum liberal (legal
liberalism). Pemikiran liberalisme hukum mengacu pada pemikiran Hart, Kelsen, Joseph Raz,
Dworkin, John Rawls, Nozick, Finnis, Lon Fuller dan lainnya. Kontradiksi dalam pemikiran
hukum liberal ini berakar dari paham liberalisme yang mereka (pemikir-pemikir hukum liberal)
anut.

Bagi para pemikir CLS (paham) liberalisme adalah sebuah sistem pemikiran yang secara
serentak menderita kontradiksi internal dan juga represi (penekanan) secara sistematik adanya
kontradiksi tersebut.
Ada tiga kontradiksi utama:
1. Kontradiksi pertama adalah kontradiksi antara komitmen pada aturan-aturan terapan
yang mekanis sebagai cara yang tepat untuk memecahkan masalah (menyelesaikan
sengketa) dan komitmen pada sensivitas situasional yang berpedoman pada standar yang
bersifat ad hoc (yang ditetapkan dengan bergantung pada situasi dan kondisi tertentu).
Kontradiksi antara Legisme-mekanik yang permanen dengan standar yang bersifat
situasional, atau antara logika yang bersifat Statis dan Dinamis.
2. Kontradiksi kedua adalah kontradiksi antara komitmen pada paham liberal yang
tradisional mengenai bahwa nilai dan hasrat bersifat sewenang-wenang, subjektif,
individual dan mengalami individuasi; sementara mereka juga yakin bahwa fakta atau
rasio yang ada bersifat objektif dan universal, dan dengan komitmen pada ide bahwa kita
dapat memperoleh kebenaran baik sosial maupun etis secara objektif atau kita boleh
berharap bahwa seseorang mungkin dapat untuk melampaui pembedaan antara subjektif
dan objektif dalam rangka mencari kebenaran moral.
Kontradiksi antara Subjektivitas dengan Objektivitas.

2
3. Kontradiksi ketiga adalah kontradiksi antara komitmen pada diskursus yang bersifat
intensional, dimana semua sikap tindak manusia dilihat sebagai produk dari kehendak
untuk menentukan diri sendiri, dan dengan komitmen pada diskursus yang bersifat
deterministik (bergantung) dimana segala aktivitas individu merupakan hasil dari
dampak yang diharapkan oleh struktur yang ada.
Kontradiksi antara Intensionalitas dan Determinisme.

Selain kontradiksi-kontradiksi tersebut dalam liberalisme dapat ditemukan pula asumsi-asumsi


yang melatarbelakangi munculnya teori-teori hukum liberal (menurut Donal Gerdjingen)
yaitu:
1. Hukum bersifat a-politis, bersifat netral, tidak memihak dan murni. Hukum adalah
sebuah produk dari rasio (akal budi) dan bukan produk politik.
2. Hukum bersifat otonom. Secara inheren ia lengkap dan mempunyai sistemnya sendiri
(self contained system).
3. Hukum bersifat a-historis. Metode dan teknik yang dipergunakan dalam ilmu hukum
senantiasa sama dari waktu ke waktu.
4. Ada pendapat bahwa ada jawaban untuk seluruh masalah hukum (fenomenanya terlihat
dalam prinsip bahwa hakim tidak boleh menolak sebuah masalah dengan alasan tidak
ada hukum). Aturan hukum mengandaikan bahwa setiap orang harus dapat
memperkirakan apa yang akan dilakukan oleh pengadilan.
5. Objek utama dari studi ilmu hukum adalah peraturan hukum (legal rules) dan putusan-
putusan pengadilan (ajudikasi).

C. Pemikiran CLS

Robert W. Gordon
Baginya kita sering tidak waspada pada adanya asumsi dan premis-premis yang
melatarbelakangi sebuah prinsip hukum. Kita sering menerima begitu saja bahwa sebuah
pernyataan hukum bersifat mewakili kebenaran dan keadilan yang kita harapkan. Padahal
dibalik itu ada kepentingan-kepentingan yang terbungkus dalam ideologi atau asumsi-asumsi.

Robert W. Gordon melihat ada tiga metodologi yang digunakan oleh studi hukum kritis untuk
membuka selubung ideologi, yaitu:
1. Thrashing: mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang sudah mapan terbentuk
dengan memilah dan memilih konsep-konsep hukum (yang terlihat dalam istilah-istilah
hukum) yang mungkin membuat kita terlena dan tidak sadar (consciousness).
2. Deconstruction: menghancurkan pemikiran hukum yang ada untuk dilakukan
rekonstruksi kemudian.
3. Genealogy: menunjukkan pada masyarakat bagaimana kekuasaan itu ternyata secara
perlahan menggunakan jaring-jaring kekuasaannya untuk menundukkan masyarakat.

Peter Gabel
Hukum bagi Gabel merupakan alat struktur atau sistem untuk menormalisasi masyarakat.
Individu menjadi alat bagi hukum. Jika seorang hakim mengemukakan argumentasi hukum
maka hakim yang bersangkutan bertindak sebagai sebuah alat dari sistem hukum itu. Sistem
hukum di sini sudah menjadi benda yang sangat mapan. Ia mempunyai jalannya sendiri.

Dalam kondisi yang sedemikian manusia mencoba membahasakan sistemnya dalam bahasanya
yang lebih konkrit. Dalam proses ini manusia merasa berdaya untuk membahasan secara konkrit
serupa benda yang dapat disentuh hal-hal yang abstrak. Misalnya keadilan. Keadilan yang
mempunyai keberadaan sendiri sering ditangkap oleh manusia dapat dibendakan atau

3
dikonkritkan. Padahal keadilan adalah hal yang sungguh abstrak yang ketika ingin dikonkritkan
harus melalui penafsiran atau interpretasi yang tidak mudah. Dalam proses pembedaan dan
penyederhanaan inilah reifikasi muncul. Kita sering mengira sebuah entitas yang sebenarnya
berada dalam tataran mental kita anggap ada dalam tataran yang konkrit.

Menurut Gabel reifikasi muncul tidak hanya karena indoktrinasi tetapi juga ada hasrat dari si
manusia itu sendiri untuk mereifikasi. Hasrat tersebut adalah hasrat untuk meyakini bahwa yang
abstrak itu konkrit dan bahwa yang imaginer itu real.

Dalam argumentasi hukum dapat kita temukan reifikasi karena kita hanya menjadi alat dari
sistem hukum yang kita suarakan (bahasa) dan suara (bahasa) merupakan upaya untuk
mengkonkritkan yang abstrak.

Sumber Pustaka:

Utama:
FREEMAN, M.D.A. Lloyds Introduction to Jurisprudence. Sixth Edition. London: Sweet &
Maxwell. Ltd., 1994.

Pendukung:
CAHYADI, Antonius. Manuskrip Kuliah Filsafat Hukum Program Reguler, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005.
HARDIMAN, F.Budi. Menuju Masyarakat Komkunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan
Postmodernisme menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
HELD, David. Introduction to Critical Theory, Horkheimer to Habermas. Cambridge: Polity
Press, 1990.

Anda mungkin juga menyukai