Anda di halaman 1dari 20

BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA LAPORAN KASUS, REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2017


UNIVERSITAS HASANUDDIN

LAPORAN KASUS : SKIZOFRENIA PARANOID (F20.0)


REFARAT : GANGGUAN MENTAL POST OPERASI TRANSPLANTASI GINJAL

OLEH :
Habibie El Ramadhani
C111 13 505

RESIDEN PEMBIMBING :
dr. Lusiana Indah Winata

SUPERVISOR PEMBIMBING:
Dr. dr. Sonny T. Lisal, Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Habibie El Ramadhani

NIM : C111 13 505

Judul Refarat : Gangguan Mental Post Operasi Transplantasi Ginjal

Judul Laporan Kasus : Skizofrenia Paranoid (F20.0)

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Mei 2017

Mengetahui,

Koas Psikiatri Residen Pembimbing

Habibie El Ramadhani dr. Lusiana Indah Winata

Supervisor Pembimbing

Dr. dr. Sonny T. Lisal, Sp. KJ

2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................20


A. Definisi Transplantasi Ginjal..............................................................20
B. Epidemiologi......................................................................................20
C. Gannguan Mental Post Transplantasi Ginjal......................................21
D. Depresi ..........................................................................................22
I. Definisi ..........................................................................................22
II. Gejala ..........................................................................................22
III. Diagnosis..........................................................................................23
IV. Penatalaksanaan................................................................................24
E. Gangguan Stress Pasca Trauma...........................................................26
I. Definisi ..........................................................................................26
II. Diagnosis ..........................................................................................26
III. Penatalaksanaan...............................................................................26
D. Gangguan Penyesuaian........................................................................27
I. Definisi ..........................................................................................27
II. Diagnosis..........................................................................................27
III. Penatalaksanaan...............................................................................28
E. Gangguan Somatoform........................................................................28
I. Definisi .............................................................................................28
II. Klasifikasi ...................................................................................28
III. Diagnosis .................................................................................29
IV. Penatalaksanaan................................................................................31
BAB III PENUTUP...............................................................................32

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................33
LAMPIRAN

BAB I

PENDAHULUAN

Transplantasi ginjal telah menjadi terapi pengganti utama pada pasien gagal ginjal
tahap akhir hampir di seluruh dunia. Manfaat transplantasi ginjal sudah jelas terbukti lebih
baik dibandingkan dengan dialisis terutama dalam hal perbaikan kualitas hidup. Salah satu di
antaranya adalah tercapainya tingkat kesegaran jasmani yang lebih baik. Transplantasi ginjal

3
yang berhasil sebenarnya merupakan cara penanganan gagal ginjal tahap akhir yang paling
ideal, karena dapat mengatasi seluruh jenis penurunan fungsi ginjal.2
Transplantasi ginjal telah banyak dilaksanakan di seluruh dunia, dengan jumlah lebih
dari 20.000 orang tiap tahun. Di Singapura telah dilakukan lebih dari 482 transplantasi ginjal
dengan total donor cadaver 588 dan 282 donor hidup. Di Indonesia sejak tahun 1977 hingga
sekarang baru mampu mengerjakan sekitar 300 lebih transplantasi. Hal ini disebabkan karena
Indonesia masih menerapkan sistem donor hidup.6
Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi peningkatan bertahap antara disiplin
medis, psikologis dan dukungan psikologis kepada pasien dalam tahap transplantasi dan
donor organ, yang sekarang merupakan metode intervensi yang cukup baik. Hal inilah yang
membuat pasien yang menerima transplantasi memiliki harapan dan keinginan untuk hidup
kembali tumbuh.
Pada periode pasca operasi pasien mempunyai perasaan takut infeksi dan kegagalan
dalam proses transplantasi. Kegagalan dalam transplantasi sendiri dapat menyebabkan
terjadinya gangguan psikologis pasien. Hal inilah yang menyebabkan banyak pasien yang
melakukan transplantasi ginjal menjadi depresi.3
Selain itu pasien juga bisa merasakan kegelisahan, karena pasien khawatir apabila
tindakan transplantasi ginjal yang sudah dilakukannya gagal dan membuat kualitas hidup
pasien menjadi tidak baik. Hal inilah yang bisa menjadi timbulnya gangguan stres pasca
trauma pada pasien pasca operasi transplantasi ginjal.5
Penerima transplantasi dan keluarga sering berkomentar bahwa dibutuhkan waktu
yang jauh lebih lama daripada yang diharapkan pulih secara fisik dan emosional dari operasi
transplantasi dan untuk sepenuhnya menyesuaikan diri dengan rutinitas obat dan efek
samping pasca-transplantasi. Hal inilah yang dapat menyebabkan timbulnya gangguan
penyesuaian pada pasien pasca operasi transplantasi ginjal.3
Pasca operasi transplantasi ginjal dapat menyebabkan kewaspadaan yang berlebihan,
pasien menjadi cemas, kurangnya kepercayaan akan membaiknya kualitas hidup pasien pasca
operasi transplantasi ginjal. Hal inilah membuat pasien pasca operasi transplantasi ginjal
dapat mengalami gangguan somatoform.
Secara umum, tahun pertama paling baik dicirikan sebagai periode penyesuaian
kembali dan rehabilitasi, dengan perbaikan bertahap baik fisik, emosional, maupun sosial.
Hal inilah yang dapat menimbulkan gangguan penyesuaian pada pasien apabila pasien tidak
mendapatkan perhatian dan dukungan baik dari medis maupun keluarga pasien.

4
Dalam hal ini psikoterapi mempunyai peranan penting dalam memberikan motivasi
kepada pasien yang melakukan transplantasi ginjal. Hal inilah yang setidaknya dapat
meminimalisir terjadi kegagalan maupun komplikasi dalam transplantasi ginjal.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI TRANSPLANTASI GINJAL


Transplantasi Ginjal adalah suatu prosedur kedokteran pada pasien gagal
ginjal stadium akhir. Tujuan operasi transplantasi ginjal sendiri adalah untuk
memperbaiki fungsi ginjal, memperpanjang usia hidup pasien dan memperbaiki
kualitas hidup pasien.2

5
B. EPIDEMIOLOGI TRANSPLANTASI GINJAL DAN GANGGUAN MENTAL
POST OPERASI TRANSPLANTASI GINJAL.
Mulai dari bulan November 2016 ada 121.678 orang yang akan melakukan
operasi transplantasi ginjal di A.S. Dari jumlah tersebut, 100.791 menunggu
transplantasi ginjal. Waktu tunggu rata-rata untuk transplantasi ginjal seseorang
adalah 3,6 tahun dan dapat bervariasi tergantung pada kesehatan, kompatibilitas dan
ketersediaan organ tubuh. Pada tahun 2014, 17.107 transplantasi ginjal terjadi di AS.
Dari jumlah tersebut, 11.570 berasal dari donor yang meninggal dan 5.537 berasal dari
donor hidup.9
Telah terjadi peningkatan yang signifikan pasca operasi transplantasi ginjal
dalam beberapa tahun terakhir. Pada bagian ini, kami akan membahas mengenai
kegagalan pasca operasi transplantasi ginjal, kemungkinan kembalinya dialisis, dan
kemungkinan kematian pada satu, lima, dan sepuluh tahun pasca transplantasi. Selama
tahun 1996-2012, pasien transplantasi ginjal mengalami peningkatan hasil kesehatan,
dengan penurunan kematian dan semua penyebab gagal ginjal.
Di antara penerima transplantasi ginjal, kemungkinan kegagalan transplantasi
ginjal pada tahun pertama setelah transplantasi menurun dari 14% di tahun 1996
menjadi 8% di tahun 2012, sementara kematian pasca operasi transplantasi ginjal
menurun dari 6% pada tahun 1996 menjadi 4% pada 2012. Demikian pula, di antara
mereka yang menerima transplantasi ginjal donor hidup, kegagalan pasca operasi
transplantasi ginjal pada tahun pertama setelah transplantasi menurun dari 7% di
tahun 1996 menjadi 3% di tahun 2012.10
Di Amerika Serikat tahun 2013, telah dilaporkan bahwa 5%-25% mengalami
gangguan mental pasca transplantasi ginjal. Gangguan mental pasca transplantasi
ginjal muncul apabila penanganan buruk, terjadi kegagalan transplantasi ginjal
sehingga menurunkan kualitas hidup pasien.10

C. GANGGUAN MENTAL POST OPERASI TRANSPLANTASI GINJAL


Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti untuk pasien gagal ginjal
stadium akhir. Jika transplantasi berhasil, kualitas hidup pasien biasanya meningkat. 6
Periode pasca transplantasi ginjal merupakan periode yang memerlukan perhatian
khusus. Dimana banyak pasien berharap hasil dari tindakan transplantasi ginjal dapat
memperbaiki fungsi ginjal pasien sehingga kualitas hidup pasien menjadi lebih baik.

6
Dalam tahap ini mungkin diperlukan konsultasi dengan psikiater, karena pasien rentan
terhadap gangguan psikologis.3
Namun, pasca transplantasi ginjal biasanya muncul gangguan psikologis atau
kejiwaan. Dan gangguan emosional yang sering muncul pada pasien pasca operasi
transplantasi ginjal adalah depresi, gangguan penyesuaian, gangguan stres pasca
trauma dan gangguan somatoform.4
Depresi merupakan salah satu gangguan mental yang sering muncul pada
pasien pasca operasi transplantasi ginjal. akibat setiap waktu pasien harus mengukur
jumlah urinnya untuk menilai apakah fungsi ginjalnya baik atau tidak, mengukur
tekanan darah, kadar gula darah dan denyut nadi. Hal ini membuat pasien merasa
bosan dan tidak bebas sehingga pasien bisa mengalami depresi.5
Selain itu pasien juga bisa merasakan kegelisahan, karena pasien khawatir
apabila tindakan transplantasi ginjal yang sudah dilakukannya gagal dan membuat
kualitas hidup pasien menjadi tidak baik. Hal inilah yang bisa menjadi timbulnya
gangguan stres pasca trauma pada pasien pasca operasi transplantasi ginjal3.
Penerima transplantasi dan keluarga sering berkomentar bahwa dibutuhkan
waktu yang jauh lebih lama daripada yang diharapkan pulih secara fisik dan
emosional dari operasi transplantasi dan untuk sepenuhnya menyesuaikan diri dengan
rutinitas obat dan efek samping pasca-transplantasi. Hal inilah yang dapat
menyebabkan timbulnya gangguan penyesuaian pada pasien pasca operasi
transplantasi ginjal.3
Pasca operasi transplantasi ginjal dapat menyebabkan kewaspadaan yang
berlebihan, pasien menjadi cemas, kurangnya kepercayaan akan membaiknya kualitas
hidup pasien pasca operasi transplantasi ginjal. Hal inilah membuat pasien pasca
operasi transplantasi ginjal dapat mengalami gangguan somatoform.4
Oleh karena itu penting bagi para dokter mengidentifikasi gangguan mental
yang timbul pasca operasi transplantasi ginjal segera dan memulai pengobatan yang
efektif untuk mengurangi dampak negatif dari gangguan mental tersebut. Berdasarkan
gejala, tanda dan evaluasi yang cermat seringkali cukup untuk menegakkan diagnosis
gangguan mental yang muncul.3
Tindakan pasca transplantasi, dapat menimbulkan banyak masalah. Untuk
merawat pasien yang telah dilakukan operasi pasca transplantasi ginjal perlu evaluasi
yang cermat. Gangguan mental merupakan masalah terbesar yang sering dijumpai.
Gangguan mental tersebut menyebabkan pasien menjadi tidak menjaga kesehatannya,

7
melakukan penyalahgunaan zat dan menyebabkan pasien tidak dapat melakukan
aktivitas sehari-hari sebagaimana mestinya.11

D. DEPRESI (F32)
I. Definisi
Depresi merupakan gangguan mental yang serius yang ditandai dengan
perasaan sedih dan cemas. Gangguan ini biasanya akan menghilang dalam
beberapa hari tetapi dapat juga berkelanjutan yang dapat mempengaruhi
aktivitas sehari-hari.8
Menurut WHO, depresi merupakan gangguan mental yang ditandai
dengan munculnya gejala penurunan mood, kehilangan minat terhadap
sesuatu, perasaan bersalah, gangguan tidur atau nafsu makan, kehilangan
energi, dan penurunan konsentrasi.7

II. Gejala
a. Gejala utama (pada derajat ringan, sedang dan berat) :
- Afek depresif
- Kehilangan minat dan kegembiraan
- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah1

b. Gejala lainnya :
- Konsentrasi dan perhatian berkurang
- Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
- Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
- Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
- Tidur terganggu
- Nasfsu makan berkurang
- Perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri1

III. Diagnosis
Berdasarkan buku PPDGJ-III diagnosis depresi dibagi menjadi ringan,
sedang, berat dengan atau tanpa gejala psikotik
a. F32.0 Episode Depresif Ringan

8
- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi yang telah
disebutkan diatas
- Ditambah sekurang kurangnya 2 dari gejala lainnya
- Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya
- Lamanya episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
- Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya1

b. F32.1 Episode Depresif Sedang


- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
pada episode depresi ringan.
- Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya
- Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu
- Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan, dan urusan rumah tangga1

c. F32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik


- Semua 3 gejala utama depresi harus ada
- Ditambah sekurang kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa
diantaranya hars berintensitas berat.
- Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor)
yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu
untuk melaporkan banyaknya gejala secara rinci.
- Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang kurangnya
selama 2 minggu, namun apabila gejala amat berat dan onset cepat
maka dibenarkan untuk mengakkan diagnosis dalam kurun waktu
kurang dari 2 minggu
- Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat
terbatas.1

d. F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik


- Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 tersebut
diatas

9
- Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik dan olfatorik biasanya suara yang menghina atau
menuduh atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi
psikomotor yang berat dapat menuju stupor1

IV. Pengobatan
1. Terapi secara biologis
a. Tricyclic Antidepressants
Obat ini membantu mengurangi gejala-gejala depresi dengan
mekanisme mencegah reuptake dari norephinefrin dan serotonin di sinaps atau
dengan cara megubah reseptor-reseptor dari neurotransmitter norephinefrin
dan seroonin. Obat ini sangat efektif, terutama dalam mengobati gejala-gejala
akut dari depresi sekitar 60% pada individu yang mengalami depresi. Tricyclic
antidepressants yang sering digunakan adalah imipramine, amitryiptilene, dan
desipramine.7
b. Monoamine Oxidase Inhibitors
Obat lini kedua dalam mengobati gangguan depresi mayor adalah
Monoamine Oxidase Inhibitors. MAO Inhibitors menigkatkan ketersediaan
neurotransmitter dengan cara menghambat aksi dari Monoamine Oxidase,
suatu enzim yang normalnya akan melemahkan atau mengurangi
neurotransmitter dalam sambungan sinapt. MAOIs sama efektifnya dengan
Tricyclic Antidepressants tetapi lebih jarang digunakan karena secara potensial
lebih berbahaya.7

c. Selective Serotonine Reuptake Inhibitors and Related Drugs


Obat ini mempunyai struktur yang hampir sama dengan Tricyclic
Antidepressants, tetapi SSRI mempunyai efek yang lebih langsung dalam
mempengaruhi kadar serotonin. Pertama SSRI lebih cepat mengobati
gangguan depresi mayor dibandingkan dengan obat lainnya. Pasien-pasien
yang menggunakan obat ini akan mendapatkan efek yang signifikan dalam
penyembuhan dengan obat ini. Kedua, SSRI juga mempunyai efek samping
yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat-obatan lainnya. Ketiga, obat ini

10
tidak bersifat fatal apabila overdosis dan lebih aman digunakan dibandingkan
dengan obat-obatan lainnya.7

d. Terapi Elektrokonvulsan
Terapi ini merupakan terapi yang paling kontroversial dari pengobatan
biologis. ECT bekerja dengan aktivitas listrik yang akan dialirkan pada otak.
Elektroda-elektroda metal akan ditempelkan pada bagian kepala, dan
diberikan tegangan sekitar 2 joule dan dialirkan pada otak sekitar dua menit.
ECT paling sering digunakan pada pasien dengan gangguan depresi yang tidak
dapat sembuh dengan obat-obatan, dan depresi berat yang mengarah ke bunuh
diri.8

2. Terapi secara psikologikal


a. Terapi Kognitif
Terapi kognitif merupakan terapi aktif, langsung, dan time limited
yang berfokus pada penanganan struktur mental seorang pasien. Struktur
mental tersebut terdiri ; cognitive triad, cognitive schemas, dan cognitive
errors.7

b. Terapi Perilaku
Terapi perilaku adalah terapi yang digunakan pada pasien dengan
gangguan depresi dengan cara membantu pasien untuk mengubah cara pikir
dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan orang-orang sekitar. Terapi
perilaku dilakukan dalam jangka waktu yang singkat, sekitar 12 minggu.7

c. Terapi Interpersonal
Terapi ini didasari oleh hal-hal yang mempengaruhi hubungan
interpersonal seorang individu, yang dapat memicu terjadinya gangguan
mood. Terapi ini berfungsi untuk mengetahui stressor pada pasien yang
mengalami gangguan, dan para terapis dan pasien saling bekerja sama untuk
menangani masalah interpersonal tersebut.7

11
E. GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA (F43.1)
I. Definisi
Gangguan stress pasca trauma adalah suatu kondisi kesehatan mental yang
dipicu oleh peristiwa mengerikan. Gejala yang mungkin muncul termasuk
kilas balik, mimpi buruk dan kecemasan yang parah, serta pikiran tak
terkendali tentang kejadian tersebut. 7

II. Diagnosis
Pedoman diagnosis gangguan stress pasca trauma menurut PPDGJ III adalah :
- Diagnosis baru ditegakkan apabila gangguan ini timbul dalam kurun waktu
6 bulan setelah kejadian traumatik berat.
- Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang bayang
atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang
kembali.
- Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya
dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas
- Suatu sequale menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar biasa,
misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma diklasifikasi dalam
kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah
mengalami katastrofa).1

III. Penatalaksanaan
Tatalaksana gangguan stress pasca trauma diharapkan dalam bentuk
yang komprehensif, meliputi pemberian medikasi dan psikoterapi serta
edukasi, dukungan psikososial, teknik untuk meredakan kecemasan dan juga
modifikasi pola hidup. Edukasi sangat penting karena merupakan suatu bentuk
pendekatan untuk membantu pasien mengerti akan perubahan-perubahan yang
terjadi dalam fungsi diri pasien baik secara fisik maupun psikis sebagai
dampak dari peristiwa traumatik yang dialami, baik adaptif maupun
maladaptif.
Dukungan psikososial dibutuhkan untuk mengurangi berbagai stigma
negatif yang mungkin muncul akibat dari diagnosis gangguan stress pasca
trauma. Dukungan psikososial tidak hanya diberikan oleh dokter tetapi juga

12
oleh seluruh anggota keluarga bahkan seluruh lingkungan masyarakat di
sekitar pasien.
Terapi farmakologis yang biasa diberikan pada pasien adalah
pemberian antidepresan golongan SSRI seperti Fluoxetin 10-60 mg/hari,
Sertralin 50-200 mg/hari atau Fluvoxamine 50-300 mg/hari. Antidepresan lain
yang juga dapat digunakan adalah Amiltriptilin 50-300 mg/hari dan juga
Imipramin 50-300 mg/hari.
Psikoterapi yang umum diberikan bagu individu dengan gangguan
stres pasca trauma adalah psikoterapi kognitif perilaku, psikoterapi kelompok
dan hypnotherapy.7

F. GANGGUAN PENYESUAIAN (F43.2)


I. Definisi
Gangguan penyesuaian didefinisikan sebagai gejala-gejala emosional atau
perilaku yang bermakna secara klinis dan terjadi sebagai respons terhadap satu
atau lebih stressor yang nyata. Gejala timbul dalam tiga bulan terjadinya
stressor dan menghilang dalam waktu 6 bulan setelah tak ada stressor.7

II. Diagnosis
Pedoman diagnosis gangguan penyesuaian menurut PPDGJ III adalah :
- Diagnosis tergantung pada evaluasi terhadap hubungan antara :
a. Bentuk, isi dan beratnya gejala
b. Riwayat sebelumnya dan corak kepribadian
c. Kejadian, situasi yang stressful, atau krisis kehidupan
- Adanya faktor ketiga diatas harus jelas dan bukti yang kuat bahwa
gangguan tersebut tidak akan terjadi seandainya tidak mengalami hal
tersebut
- Manifestasi dari gangguan bervariasi, dan mencakup afek depresif,
anxietas, campuran anxietas-depresif, gangguan tingkah laku, disertai
adanya disabilitas dalam kegiatan rutin sehari-hari. Tidak ada satupun
gejala tersebut yang spesifik untuk mendukung diagnosis
- Onset biasanya terjadi dalam I bulan setelah terjadinya kejadian yang
stressful, dan gejala-gejala biasanya tidak bertahan melebihi 6 bulan,
kecuali dalam hal reaksi depresif berkepanjangan (F43.21).1

13
III. Penatalaksanaan
Psikoterapi tetap merupakan pengobatan pilihan untuk gangguan
penyesuaian. Terapi kelompok dapat sangat bermanfat bagi pasien yang
memiliki stress. Karena stressor dapat digambarkan dengan jelas pada
gangguan penyesuaian, sering diyakini bahwa psikoterapi tidak diindikasikan
dan bahwa gangguan ini akan sembuh secara spontan. Psikoterapi dapat
membantu orang beradaptasi dengan stres yang tidak reversibel dengan waktu
yang terbatas dan dapat berfungsi sebagai intervensi pencegahan jika stressor
tidak teratasi.7

G. GANGGUAN SOMATOFORM (F.45)


I. Definisi
Gangguan somatoform adalah gangguan yang meliputi simptom fisik namun
tidak ditemukan gejala klinis yang bermakna. Ciri utama gangguan ini adalah
adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang berulang-ulang disertai dengan
permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya
negatif dan juga sudah dijelaskan oleh dokternya bahwa tidak ditemukan
kelainan yang menjadi dasar keluhannya.7

II. Klasifikasi
Menurut PPDGJ gangguan somatoform diklasifikasikan menjadi :
- F45.0 Gangguan Somatisasi
- F45.1 Gangguan Somatoform Tak Terinci
- F45.2 Gangguan Hipokondrik
- F45.3 Disfungsi Otonomik Somatoform
- F45.4 Gangguan Nyeri Somatoform Menetap
- F45.8 Gangguan Somatoform Lainnya.1

III. Diagnosis
a. F45.0 Gangguan Somatisasi
Pedoman diagnosis gangguan somatisasi menurut PPDGJ III adalah :

14
- Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak
dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung
setdikitnya 2 tahun
- Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa
tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya
- Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang
berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya.1

b. F45.1 Gangguan Somatoform Tak Terinci


Pedoman diagnosis gangguan somatoform tak terinci menurut PPDGJ III
adalah :
- Keluhan-keluhan fisik bersifat multipel, bervariasi dan menetap, akan
tetapi gambaran klinis yang khas dan lengkap dari gangguan somatisasi
tidak terpenuhi
- Kemungkinan ada ataupun tidak faktor penyebab psikologis belum jelas,
akan tetapi tidak boleh ada penyebab fisik dari keluhan-keluhannya.1

c. F45.2 Gangguan Hipokondriasis


Pedoman diagnosis gangguan hipokondriasis menurut PPDGJ III adalah :
- Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik
yang serius yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan
yang berulang-ulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai,
ataupun adanya preokupasi yang menetap kemungkinan deformitas atau
perubahan bentuk penampakan fisiknya (tidak sampai waham).
- Tidak mau menrima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa
dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang
melandasi keluhan-keluhannya.1

d. F45.3 Disfungsi Otonomik Somatoform


Pedoman diagnosis gangguan otonomik somatoform menurut PPDGJ III
adalah :
- Adanya gejala-gejala bangkitan otonomik, seperti palpitasi, berkeringat,
tremor, muka panas/flushing, yang menetap dan menganggu.

15
- Gejala subjetif tambahan mengacu pada sistem atau organ tertentu (gejala
tidak khas)
- Preokupasi dengan dan penderitaan (distress) mengenai kemungkinan
adanya gangguan yang serius (sering tidak begitu khas) dari sistem atau
organ tertentu, yang tidak terpengaruhi oleh hasil pemeriksaan-
pemeriksaan berulang, maupun penjelasan-penjelasan dari para dokter
- Tidak terbukti adanya gangguan yang cukup berarti pada struktur/fungsi
dari sistem atau organ yang dimaksud.1

e. F45.4 Gangguan Nyeri Somatoform Menetap


Pedoman diagnosis gangguan nyeri somatoform menetap menurut PPDGJ
III adalah :
- Keluhan utama adalah nyeri berat, menyiksa dan menetap, yang tidak
dapat dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun adanya
gangguan fisik.
- Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau
problem psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam
mempengaruhi terjadinya gangguan tersebut.
- Dampaknya adalah menigkatnya perhatian dan dukungan, baik personal
maupun medis, untuk yang bersangkutan.1

f. F45.8 Gangguan Somatoform Lainnya


Pedoman diagnosis gangguan somatoform lainnya menurut PPDGJ III
adalah :
- Pada gangguan ini keluhan-keluhannya tidak melalui sistem saraf otonom,
dan terbatas secara spesifik pada bagian tubuh atau sistem tertentu.
Dimana keluhannya banyak dan berganti-ganti.
- Tidak ada kaitannya dengan adanya kerusakan jaringan.1

IV. Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi

16
Antidepresan trisiklik dan penghambat ambilan serotonin spesifik
(SSRI) paling efektif untuk gangguan nyeri. Keberhasilan SSRI
mendukung hipotesis bahwa serotonin mempunyai peran penting dalam
patofisiologi terjadinya gangguan ini. Amfetamin yang mempunyai efek
analgesik dapat bermanfaat pada beberapa pasien, khususnya bila
digunakan sebagai tambahan SSRI, namun dosis harus dipantau.7

b. Psikoterapi
Psikoterapi sangat bermanfaat bagi pasien. Langkah awal psikoterapi
adalah membangun aliansi teraupetik dengan pasien empati. Jangan
melakukan konfrontasi dengan pasien, karena nyeri yang dialami pasien nyata
meskipun menyadari bahwa hal itu berasal intrapsikik. Terapi kognitif berguna
untuk mengubah pikiran negatif dan mengembangkan sikap positif.7

BAB III
PENUTUP

17
1. Transplantasi ginjal adalah telah menjadi terapi pengganti utama pada pasien gagal
ginjal stadium akhir
2. Manfaat dari transplantasi ginjal sendiri adalah untuk memperbaiki fungsi ginjal dan
memperbaiki kualitas hidup pasien.
3. Namun tindakan pasca transplantasi ginjal juga membuat dampak psikologis bagi
pasien seperti depresi, gangguan stress pasca trauma, gangguan penyesuaian, dan
gangguan somatoform.
4. Depresi merupakan gangguan mental yang serius yang ditandai dengan perasaan sedih
dan cemas. Gangguan ini biasanya akan menghilang dalam beberapa hari tetapi dapat
juga berkelanjutan yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari.
5. Gangguan stress pasca trauma adalah suatu kondisi kesehatan mental yang dipicu oleh
peristiwa mengerikan. Gejala yang mungkin muncul termasuk kilas balik, mimpi
buruk dan kecemasan yang parah, serta pikiran tak terkendali tentang kejadian
tersebut.
6. Gangguan penyesuaian adalah gejala-gejala emosional atau perilaku yang bermakna
secara klinis dan terjadi sebagai respons terhadap satu atau lebih stressor yang nyata.
7. Gangguan somatoform adalah gangguan yang meliputi simptom fisik namun tidak
ditemukan gejala klinis yang bermakna.
8. Diagnosis depresi, gangguan stress pasca trauma, gangguan penyesuaian dan
gangguan somatoform dapat ditegakkan berdasarkan PPDGJ-III atau DSM V.
9. Penanganan depresi, gangguan stress pasca trauma, gangguan penyesuaian dan
gangguan somatoform dapat dilakukan secara biologis dan psikologikal. Dukungan
lingkungan dan keluarga juga dapat membantu mengurangi gangguan mental pada
penderita.

DAFTAR PUSTAKA

18
1. Maslim, Rusdi. 2002. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas Dari
PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2. Heinrich WT, Marcangelo M. 2009. Psychiatric Issues in Solid Organ


Transplantation. Department of Psychiatry and Behavioral Medicine. Medical
College of Wisconsin.

3. De Pasquale C, Veroux M, Indelicato L, et al. 2014. Psychopathological Aspects of


Kidney Transplantation: Efficacy of a Multidisciplinary Team. Italy: Vascular Surgery
and Organ Transplant Unit, Department of Surgery, Transplantation and Advanced
Technologies, University Hospital of Catania.

4. Corbett C, Armstrong MJ, Parker R, et al. 2013. Mental Health Disorders and Solid-
Organ Transplant Recipients. United Kingdom: NIHR Birmingham Liver Biomedical
Research Unit and Centre for Liver Research, University of Birmingham.

5. Prof. R. Naqvi. 2015. Evaluation of Psychiatric Issues in Renal Transplant Setting.


Karachi, Pakistan: Department of Nephrology Sindh Institute of Urology and
Transplantation.

6. Bonar M. 2008. Faktor-Faktor Keberhasilan Pasien Transplantasi Ginjal. Jakarta:


Bagian Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

7. Kusumawardhani AAA, Husin A, Adikusumo A, et al. 2013. Buku Ajar Psikiatri


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Bagian Psikiatri Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

8. Trzcinska M, Wlodarczyk Z. 2011. Psychological Aspects of Kidney Transplantation.


Transplantology and Surgery Department, University Torun, Poland.

9. Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Health Statistics.
Underlying Cause of Death 1999-2013 on CDC WONDER Online Database, released
2015.

10. Facts and statistics provided by the United States Renal Data System, UNOS, and
the U.S. Department of Health & Human Services Organ Procurement and
Transplantation Network (OPTN) and Scientific Registry of Transplant Recipients
(SRTR) Annual Report.

19
11. Abbott KC, Agodoa LY, OMalley PG. Hospitalized Psychoses After Renal
Transplantation in the United States: Incidence, Risk Factors, and Prognosis. United
States: Nephrology Service, Walter Reed Army Medical Center, Washington DC.

20

Anda mungkin juga menyukai