PENDAHULUAN
Pada daerah yang masih dijumpai malnutrisi berat, 6-8 episode diare terjadi
pada anak setiap tahun seperti yang dilaporkan oleh Guandalini. Penyebab diare akut
umumnya infeksi gastrointestinal, dengan infeksi virus merupakan penyebab
tersering. Pada daerah maju, rotavirus dijumpai pada 25-40% kasus. Patogenesis
diare akut adalah multifaktorial dan dapat disebabkan oleh patogen lain.
Kenyataannya, lebih dari 20 virus, bakteri dan parasit enteropatogen dapat
menyebabkan diare. Penyebab lainnya yang telah diketahui adalah obat-obatan,
alegi makanan, gangguan absorbsi dan pencernaan, defisiensi vitamin atau tertelan
logam berat.
Tidak sedikit dari anak dengan diare dehidrasi berat yang penanganan
dehidrasi atau pengobatannya terlambat dapat menyebabkan ketidakseimbangan
asam-basa dalam tubuh sehingga bisa terjadi ensefalopati metabolik dan dapat
menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran.
Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan
fungsi otak menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis.
Ensefalopati yang terjadi sejak dini dapat menyebabkan gangguan perkembangan
neurologis. Pasien dengan ensefalopati dapat mengalami kemunduran dalam fungsi
kognitif umum, prestasi akademis, fungsi neuropsikologik dan kebiasan. Skor
intelegensi pasien yang mengalami ensefalopati juga rendah jika dibandingkan anak
seusianya Dari segi prestasi akademis, pasien akan mengalami kesulitan untuk
membaca, mengeja dan aritmatik. Sedangkan fungsi neuropsikologikal dapat
menjadi hiperaktif maupun autis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Diare ialah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari, dengan / tanpa darah
dan / atau lendir dalam tinja. Diare akut adalah diare yang terjadi pada anak secara
mendadak yang sebelumnya sehat.
Diare dan muntah masih menjadi penyebab morbiditas utama di negara
berkembang seperti Indonesia. Sebab tersering dari gastroenteritis adalah
infeksi rotavirus. Jenis virus lain, seperti adenovirus, astrovirus juga
menyebabkan gastroenteritis tapi lebih jarang.
Bakteri juga adalah salah satu penyebab gastroenteritis, dan biasanya
didapatkan adanya darah di feses. Bakteri Shigella dan Salmonella menyebabkan
infeksi yang bersifat disenterik, dengan adanya darah dan pus di feses. Disertai nyeri
dan tenesmus ani dan demam. Diare karena E.coli ditandai dengan gejala diare yang
profuse dan cepat sekali menimbulkan dehidrasi. Meskipun demikian, gejala klinis
sulit menjadi patokan etiologi gastroenteritis.
Terapi utama gastroenteritis adalah penggantian cairan sesuai dengan
banyaknya cairan yang hilang. Karena dehidrasi dapat menyebabkan komplikasi
yang lebih banyak lagi. Bayi mempunyai risiko yang lebih besar apabila mengalami
dehidrasi dibandingkan orang dewasa, karena :
- Perbandingan permukaan tubuh dan berat badan yang lebih besar
dibandingkan orang dewasa, sehingga mengakibatkan lebih besarnya
insensible water loss (IWL) yaitu 300 mL/m2 per hari atau 15 17
mL/kgBB/hari
- Kebutuhan basal cairan yang lebih tinggi yaitu 100 120 mL/kgBB/hari atau
10 12 % dari berat badan.
- Fungsi reabsorpsi tubuli ginjal yang belum sempurna.
Patofisiologi
Sebagai akibat diare baik akut maupun kronik akan terjadi :
1. Kehilangan air (dehidrasi)
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak daripada
pemasukan (input), merupakan penyebab terjadinya kematian pada diare.
2. Gangguan keseimbangan asam basa (metabolik asidosis)
Metabolik asidosis ini terjadi karena :
a. Kehilangan Na bikarbonat bersama tinja
b. Adanya ketosis kelaparan. Metabolisme lemak tidak sempurna
sehingga benda keton tertimbun dalam tubuh
c. Terjadi penimbunan asam laktat karena adanya anoksia jaringan
d. Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak
dapat dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oligouria / anuria)
e. Pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler ke dalam cairan
intraseluler
Secara klinis asidosis dapat diketahui dengan memperhatikan pernafasan,
pernafasan bersifat cepat, teratur dan dalam yang disebut pernafasan
Kussmaul. Menurut penelitian Sutoto (1974), kehilangan komponen basa ini
(base deficit) pada penderita dehidrasi berat mencapai 17,7 mEq/L.
Pengobatan pada asidosis metabolik bertujuan untuk mengganti defisit basa.
Dosis natrium bikarbonat berdasarkan kepada volume cairan ekstrasel. Pada
bayi hal ini kurang dari separuh dan pada anak lebih tua 1/3 berat badan. Bila
hasil analisis gas darah menunjukkan defisit basa dapat digunakan
perhitungan dosis sebagai berikut :
BE (base excess) x berat badan (kg) x 0,3 mEq NaHCO 3 Pada
umumnya hanya perlu diberikan segera separuh jumlah yang diperhitungkan
dan sisanya diberikan infus dalam waktu beberapa jam. Bila tidak terdapat
nilai bikarbonat plasma atau ekses basa (base excess) nya, dosis sebanyak 2
4 mEq / kgBB NaHCO3 dapat diberikan intravena. Dosis selanjutnya harus
diatur dengan menetapkan kadar bikarbonat plasma dalam seri. Natrium
laktat dapat digunakan kadar bikarbonat.
Pernafasan Kussmaul
Pernafasan Kussmaul ini merupakan homeostasis respiratorik, adalah usaha
dari tubuh untuk mempertahankan pH darah. Mekanisme terjadinya
pernafasan Kussmaul ini dapat diterangkan dengan menggunakan ekuasi
Henderson Hasselbach.
(HCO3)
PH = pK + ------------
H2CO3
Untuk nilai bikarbonat, nilai pK ini konstan yaitu 6,1. Hal ini berarti pH
tergantung pada rasio bikarbonat dan karbonat, tidak tergantung dari
konsentrasi mutlak bikarbonat dan karbonat. Dalam keadaan normal
NaHCO3 27 mEq/L (= 60 vol%) dan kadar H2CO3 = 1,35 mEq/L (= 3 vol%).
Selama rasio 20 : 1 ini konstan, maka pH pun akan tetap 7,4.
Bila kadar bikarbonat turun, maka kadar karbonat pun harus turun pula
supaya rasio bikarbonat : karbonat tetap 20 : 1. Untuk mempertahankan rasio
ini maka sebagian asam karbonat akan diubah cepat menjadi H2O dan CO2
serta kelebihan CO2 akan dikeluarkan dengan bernafas lebih cepat dan dalam
(pernafasan Kussmaul).
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi pada 2 3 % dari anak anak yang menderita diare.
Pada anak anak dengan gizi cukup / baik, hipoglikemia ini jarang terjadi,
lebih sering terjadi pada anak yang sebelumnya sudah menderita KKP. Hal
ini terjadi karena :
a. Penyimpanan / persediaan glikogen dalam hati terganggu
b. Adanya gangguan absorbsi glukosa (walaupun jarang terjadi)
Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darh menurun sampai
40 mg % pada bayi dan 50 mg % pada anak anak. Gejala gejala
hip[oglikemia tersebut dapat berupa lemas, apatis, peka rangsang, tremor,
berkeringat, pucat, syok, kejang sampai koma. Terjadinya hipoglikemia ini
perlu dipertimbangkan jika disertai dengan kejang.
4. Gangguan gizi
Sewaktu anak menderita diare, sering terjadi gangguan gizi dengan akibat
terjadinya penurunan berat badan dalam waktu yang singkat. Hal ini
disebabkan karena :
a. Makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare dan /
atau muntahnya akan bertambah hebat. Orang tua sering hanya
memberikan air teh saja (teh diet)
b. Walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan pengenceran dan
susu yang encer ini diberikan terlalu lama
c. Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi
dengan baik karena adanya hiperperistaltik
5. Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dengan / tanpa disertai muntah, dapat terjadi gangguan
sirkulasi darah berupa renjatan (shock) hipovolemik. Akibatnya perfusi
jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat
mengakibatkan perdarahan dalam otak, kesadaran menurun
(soporakomatosa) dan bila tidak segera ditolong penderita dapat meninggal.
Manifestasi Klinis
Awalnya anak menjadi cengeng, gelisah, suhu badan mungkin meningkat, nafsu
makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja makin cair, mungkin
mengandung darah dan / atau lendir, warna tinja berubah menjadi kehijau hijauan
karena tercampur empedu. Anus dan sekitarnya lecet karena tinja menjadi asam.
Gejala muntah dapat terjadi sebelum dan / atau sesudah diare. Bila telah
banyak kehilangan air dan elektrolit terjadilah gejala dehidrasi. Berat badan turun.
Pada bayi, ubun ubun besar cekung. Tonus dan turgor kulit berkurang. Selaput
lendir mulut dan bibir kering.
Menurut banyaknya cairan yang hilang, derajat dehidrasi dapat dibagi
berdasarkan :
a. Kehilangan berat badan
a. Tidak ada dehidrasi, bila terjadi penurunan berat badan < 5 %
b. Dehidrasi ringan/sedang, bila terjadi penurunan berat badan 5 10 %
c. Dehidrasi berat, bila terjadi penurunan berat badan 10 %
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan tinja : makroskopis dan mikroskopis, pH dan kadar gula jika
diduga ada intoleransi gula (sugar intolerance), biakan kuman untuk mencari
kuman penyebab dan uji resistensi terhadap berbagai antibiotika (pada diare
persisten).
2. Pemeriksaan darah : darah perifer lengkap, analisis gas darah dan elektrolit
(terutama Na, K,Ca dan P serum pada diare yang disertai kejang).
3. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin darah untuk mengetahui faal ginjal.
4. Duodenal intubation, untuk mengetahui kuman penyebab secara kuantitatif
dan kualitatif terutama pada diare kronik.
Dehidrasi Berat
Penderita dengan dehidrasi berat, yaitu dehidrasi lebih dari 10% untuk
bayi dan anak dan menunjukkan gangguan tanda-tanda vital tubuh (somnolen-koma,
pernafasan, gangguan dinamik sirkulasi) memerlukan pemberian cairan elektrolit
parenteral. Terapi rehidrasi parenteral memerlukan 3 tahap :
1. Terapi awal.
Bertujuan untuk memperbaiki dinamik sirkulasi dan fungsi ginjal
dengan cara re-ekspansi dengan cepat volume cairan ekstraseluler.
Idealnya adalah bahwa seluruh cairan yang diberikan hendaknya tetap
berada didalam ruang vaskuler. Untuk itu larutan elektrolit dengan
kadar Na yang sama dengan darah lebih dianjurkan. Perlu penambahan
glukosa dalam cairan, karena penderita yang sakit peka untuk
terjadinya hipoglikemi dan penambahan basa untuk koreksi asidosis.
2. Terapi lanjutan.
Segera setelah sirkulasi dapat dipulihkan kembali, terapi cairan
berikutnya untuk mengkoreksi secara menyeluruh sisa defisit air dan Na
serta mengganti kehilangan abnormal dari cairan yang sedang berjalan
(ongoing losses) serta kehilangan obligatorik (kebutuhan rumatan).
Walaupun pemberian K sudah dapat dimulai, namun hal ini tidak
esensial, dan biasanya tidak diberikan sebelum 24 jam.
Perkecualian dalam hal ini adalah bila didapatkan hipokalemia yang berat
dan nyata. Pada saat tercapainya tahap ini, kadang perlu diketahui nilai
elektrolit serum sehingga terapi cairan dapat dimodifikasi sesuai dengan
kadar Na yang ada (isonatremi, hiponatremi atau hipernatremi).
Dehidrasi Isonatremi ( Na 130 149 mEq/l )
Pada gangguan elektrolit ini tidak saja terdapat kehilangan eksternal Na
dari cairan ekstraseluler tetapi juga Na dari cairan ekstraseluler yang
masuk kedalam cairan intraseluler sebagai kompensasi dari kehilangan
K intraseluler. Dengan demikian pemberian Na dalam jumlah yang
sama dengan kehilangannya Na dari cairan ekstraseluler akan berlebihan
dan akan menghasilkan kenaikan dari Na tubuh total dari penderita; Na
intraseluler yang berlebihan kelak akan kembali ke dalam cairan
ekstraseluler apabila diberikan K, dengan akibat terjadinya ekspansi ke
ruang ekstraseluler. Untuk menghindari hal ini, hanya 2/3 dari perkiraan
hilangnya Na dan air dari cairan ekstraseluler yang perlu diganti pada 24 jam
pertama pemberian cairan. Pada tahap ini disamping mengganti defisit,
keseluruhan cairan dan elektrolit yang diberikan perlu mencakup pula
penggantian kehilangan cairan yang normal (ongoing normal losses)
maupun yang abnormal (ongoing abnormal losses) yang terjadi melalui
diare ataupun muntah.
Sesudah tahap penggantian defisit (sesudah 3-24 jam) tahap berikutnya
adalah tahap rumatan yang bertujuan untuk mengganti sisa kehilangan
cairan dan elektrolit secara menyeluruh dan dimulainya pemberian K.
Kebutuhan Na dan air pada tahap ini dapat diperkirakan dengan menambah
25% pada kebutuhan rumatan normal yang diperkirakan dan dengan
menambah kebutuhan bagi kehilangan abnormal yang sedang berjalan
(ongoing abnormal losses). Kehilangan K mungkin sama dengan
kehilangan Na namun hampir keseluruhan K yang hilang adalah berasal
dari cairan ekstraseluler dan harus diganti dengan memberikannya ke
dalam ruang ekstraseluler. Apabila K diberikan dengan kecepatan
sebanding dengan pemberian Na, maka dapat dipastikan bahwa akan
terjadi hiperkalemi. Dengan demikian biasanya penggantian K dilakukan
dalam waktu 3 - 4 hari. K juga jangan diberikan apabila terdapat
kenaikan K serum atau sampai ginjal berfungsi dengan baik, dalam
keadaan asidosis berat pemberian K harus berhati-hati. Kecuali pada
keadaan yang hipokalemia berat, kadar K yang diberikan hendaknya
tidak melebihi 40 m Eq/L dan kecepatan pemberiannya tidak melebihi 3 m
Eq/kg/24 jam.
.
Dehidrasi hipertonis ( Na > 150 mEq/l )
Hiperosmolalitas yang berat dapat mengakibatkan kerusakan otak,
dengan perdarahan yang tersebar luas dan trombosis atau efusi subdural.
Kerusakan serebral ini dapat mengakibatkan kerusakan syaraf yang
menetap. Bahkan tanpa kerusakan tersebut yang nyata, sering pula
timbul kejang pada pasien dengan hipernatremi. Diagnosis dari
kerusakan serebral sekunder karena hipernatremi di topang dengan
ditemukan kenaikan kadar protein dalam cairan serebrospinal.
Kejang sering pula timbul pada saat pemberian cairan karena
kembalinya Na serum menjadi normal. Hal ini dapat terjadi oleh
kenaikan jumlah Na dalam sel otak pada saat terjadinya dehidrasi, yang
dalam gilirannya akan menimbulkan perpindahan yang berlebihan dari
air ke dalam sel otak pada saat rehidrasi sebelum kelebihan Na sempat
dikeluarkan, kejadian ini dapat dihindari dengan melakukan koreksi
hipernatremi secara pelan dalam waktu beberapa hari. Itulah sebabnya
terapi cairan perlu disesuaikan agar Na serum kembali normal tidak
melebihi 10 m Eq/24 jam.
Defisit Na pada dehidrasi hipernatremi adalah relatif kecil dan volume
cairan ekstraseluler relatif masih tetap tak berubah sehingga jumlah air
dan Na yang diberikan pada tahap ini perlu dikurangi bila
dibandingkan pada dehidrasi hipo-isonatremi.
Jumlah yang sesuai adalah pemberian 60 - 75 ml/kg/24 jam dari
larutan 5% dektrosa yang mengandung kombinasi bikarbonat dan khlorida.
Jumlah dari cairan dan Na rumatan perlu dikurangi dengan sekitar
25% pada tahap ini karena penderita dengan hipernatremi mempunyai
ADH (antidiuretic hormone) yang tinggi yang menimbulkan berkurangnya
volume urin.
Penggantian dan kehilangan abnormal yang sedang berjalan (ongoing
abnormal losses) tidak memerlukan modifikasi. Apabila timbul kejang,
dapat diberikan Nacl 3% 3 - 5 ml/kg intravena atau manitol hipertonik.
Pada pengobatan dehidrasi hipertonis dengan memberikan sejumlah
besar air, dengan atau tanpa garam, sering menimbulkan ekspansi
volume cairan ekstraseluler sebelum terjadi ekskresi Cl yang nyata atau
koreksi dari asidosis. Sebagai akibatnya dapat terjadi sembab dan gagal
jantung yang memerlukan digitalisasi. Hipokalsemia kadang terlihat pula
selama pengobatan dehidrasi hipernatremi, hal ini dapat dicegah dengan
memberikan jumlah yang cukup kalium. Tetapi sekali timbul
diperlukan pemberian kalsium (0,5 ml/kg kalsium glukonat 10%)
intravena.
Komplikasi lain adalah terjadinya kerusakan tubulus ginjal dengan
gejala azotemia dan berkurangnya kemampuan konsentrasi ginjal,
sehingga memerlukan modifikasi cara pemberian terapi cairan. Walaupun
dehidrasi hipernatremi dapat secara berhasil ditangani, pengelolaannya
tetap sulit dan sering terjadi kejang, meskipun cara pemberian terapi
yang terencana dengan baik.
Menilai Dehidrasi
Semua anak dengan diare, harus diperiksa apakah menderita dehidrasi dan
klasifikasikan status dehidrasi sebagai dehidrasi berat, dehidrasi ringan/ sedang
atau tanpa dehidrasi (lihat tabel 17 berikut) dan beri pengobatan yang sesuai.