Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

PARAPARESIS INFERIOR FLAKSID

Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Saraf


di RSUD Tugurejo Semarang

Disusun oleh :
Sherlyana Mega Aprivinta
H2A009042

Pembimbing Klinik :
dr. Noorjanah P, Sp.S

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIAH SEMARANG

1
2014
STATUS MAHASISWA
KEPANITRAAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIAH SEMARANG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TUGUREJO SEMARANG

Kasus : Paraparesis Inferior Flaksid

Nama Mahasiswa : Sherlyana Mega Aprivinta

NIM : H2A009042

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.S
Umur : 34 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Kernet angkutan
Alamat : Grajan RT 3/ II Tampingan, Boja, Kendal
Status : Menikah
Dirawat di ruang : Alamanda Bed 5.2
Tgl masuk RS : 02 Juli 2014
Tgl Keluar RS : 08 Juli 2014 rujuk RSDK
No RM : 451941

II. DAFTAR MASALAH


NO Masalah Aktif Tanggal NO Masalah Tidak Aktif Tanggal

1. Paraparesis Inferior 02-07-2014


Flaksid
Nyeri pinggang 02-07-2014

2
2.

III.ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara Autoanamnesis dan Aloanamnesis di Ruang
Alamanda RSUD Tugurejo Semarang
Tanggal : Rabu, 02 Juli 2014
Jam : 07.15 WIB

Riwayat Penyakit Sekarang


1. Keluhan Utama : Nyeri pinggang
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
o Lokasi : Pinggang
o Onset : Saat Masuk Rumah Sakit
o Kualitas : Aktivitas dibantu oleh keluarga
o Kuantitas : Terus menerus

Kronologis :
1 bulan SMRS, Pasien jatuh terduduk dari angkot saat hendak
menurunkan penumpang dengan posisi kaki kiri tertekuk dan tertindih
barang penumpang serta kaki kanan lurus ke depan. Pasien masih bisa
berjalan tetapi mengalami kesulitan karena merasakan nyeri yang terus
menerus di pinggangnya. Kemudian pasien meminum jamu dan pijat
tetapi tidak ada perubahan. Pasien masih bisa bekerja. Sebelum terjatuh
pasien tidak pernah mengalami nyeri pinggang, kesemutan, keram, sandal
terlepas dengan sendirinya ataupun lemah anggota gerak.

12 hari SMRS, Pasien sulit berjalan karena lemah di kaki kanan dan kiri.
Nyeri di pinggang masih dirasakan serta tak bisa Buang Air Besar (BAB),
Buang Air Kecil (BAK) harus mengejan. Pasien tidak bekerja.

10 hari SMRS, Pasien tidak bisa berjalan sama sekali, baal di tungkai
kiri. Nyeri masih dirasakan di pinggang.

3
SMRS pasien merasakan nyeri yang hebat terus menerus terutama di
pinggang menjalar sampai kaki kiri. Lemah anggota gerak bawah. Pasien
tidak bisa berjalan sama sekali dan terasa baal terutama di tungkai kiri.
Pasien tidak demam. Belum bisa BAB dan BAK.

o Faktor memperberat : Jika beraktivitas


o Faktor memperingan : Saat beristirahat

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat trauma : diakui
Riwayat nyeri pinggang : disangkal
Riwayat demam : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini.
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangka

Riwayat sosial ekonomi


Pasien seorang kernet bus. Biaya pengobatan ditanggung BPJS non PBI
(Jamsostek). Kesan ekonomi kurang.

IV. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 02 Juli 2014, jam 07.30 WIB
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : composmentis, GCS : E4M6V5 : 15
Status gizi : BB : 56 kg, TB 160 cm, kesan gizi cukup

Vital Sign
TD : 130/80 mmHg
Nadi : 84x / menit, regular, isi dan tegangan cukup
RR : 24x / menit, regular, thorakoabdominal
Suhu : 36o C

Status generalisata :

4
Kepala : bentuk : mesochepal, nyeri (-).
Mata : Ca -/-, SI -/-, reflek cahaya +/+, edem palpebra -/-,
pupil bulat isokor 3mm /3mm
Hidung : nafas cuping (-), deformitas (-), secret (-)
Telinga : serumen (-), nyeri mastoid (-), nyeri tragus (-),
kurang pendengaran -/-
Mulut : lembab (+), sianosis (-)
Leher : pembesaran limfonodi (-), pembesaran tiroid (-)

Status Internus :
Thorax
o Inspeksi :
Pergerakan dinding dada simetris.
Retraksi intercostal (-/-).
Penggunaan otot-otot bantu pernapasan (-/-)
o Palpasi :
Nyeri tekan (-/-) , tidak teraba massa
Vokal fremitus (sulit dinilai).
Iktus cordis teraba di ICS V linea midklavikularis kiri.
o Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
o Auskultasi : Vesikuler + / +, ronkhi -/- , wheezing -/- , murmur (-),
gallop (-)
Abdomen
o Inspeksi : Supel
o Palpasi
Nyeri tekan : nyeri tekan epigastrium(-)
Hepar : Tidak teraba pembesaran
Splen : Tidak teraba
Ballotement :-/-
o Perkusi : Timpani
o Auskultasi : Bising usus (+) N

STATUS NEUROLOGIS
Kesadaran : Compos mentis
Kuantitatif (GCS) : E4M6V5 = 15
Mata : pupil isokor, reflek cahaya (+/+)
Leher: kaku kuduk (-)

Status Psikis
Tingkah laku : normoactive
Perasaan hati : euthymic
Orientasi : baik
Daya ingat : baik
Kecerdasan : baik

5
Nervi Cranialis
N I. (OLFAKTORIUS) Kanan Kiri
Daya pembau Normal Normal

N II. (OPTIKUS) Kanan Kiri


Daya penglihatan Normal Normal
Medan penglihatan Normal Normal
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Fundus Okuli

N III.(OKULOMOTORIUS) Kanan Kiri


Ptosis (-) (-)
Reflek cahaya langsung Normal Normal
Gerak mata ke atas Normal Normal
Reflek cahaya konsesual Normal Normal
Gerak mata ke bawah Normal Normal
Reflek akomodasi Normal Normal
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Strabismus divergen (-) (-)
Bentuk pupil Bulat isokor Bulat isokor
Diplopia (-) (-)

N IV. (TROKHLEARIS) Kanan Kiri


Gerak mata lateral bawah Normal Normal
Strabismus konvergen (-) (-)
Diplopia (-) (-)

N V. (TRIGEMINUS) Kanan Kiri


Menggeget Normal Normal
Membuka mulut
(+) (+)
Reflek masseter
Sensibilitas Normal Normal
Reflek kornea
Normal Normal
Normal Normal

N VI. (ABDUSEN) Kanan Kiri


Gerak mata ke lateral Normal Normal
Strabismus konvergen (-) (-)
Diplopia (-) (-)

N VII. (FASIALIS) Kanan kiri


Mengerutkan dahi Normal Normal
Sudut nasolabia
Normal Normal
Menutup mata
Perasaan lidah (2/3 bagian Normal Normal

6
depan) Normal Normal

N VIII. (AKUSTIKUS) Kanan kiri


Mendengar suara Normal Normal
Penurunan pendengaran (-) (-)

N IX. (GLOSOFARINGEUS) Kanan kiri


Arkus faring Simetris Simetris
Tersedak (-) (-)

N X. (VAGUS) Kanan kiri


Arcus faring Simetris Simetris
Sengau (+) (+)
Menelan (+) (+)

N XI. (AKSESORIUS) Kanan kiri


Memalingkan kepala Kontur otot tegas dan Kontur otot tegas dan
konsistensi keras, konsistensi keras,
Mengangkat bahu adekuat adekuat
Sikap bahu
Adekuat Adekuat
Trofi otot bahu
Simetris Simetris
(-) (-)

N XII. (HIPOGLOSUS) Kanan kiri


Sikap lidah Deviasi (-) Deviasi (-)
Kekuatan lidah Kuat (+) Kuat (+)
Artikulasi Jelas Jelas
Trofi otot lidah (-) (-)
Tremor lidah (-) (-)

ANGGOTA GERAK ATAS Kanan kiri

7
Inspeksi:
Drop hand Tidak ada Tidak ada
Claw hand Tidak ada Tidak ada
Pitchers hand Tidak ada Tidak ada
Kontraktur Tidak ada Tidak ada
Warna kulit Normal Normal
Palpasi :
Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Lengan atas Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Lengan bawah tangan
Sistem motorik : Normal Normal
Gerakan 555 555
Kekuatan Normal Normal
Tonus Eutrofi Eutrofi
Trofi Normal Normal
Sensibilitas Normal Normal
Nyeri
Reflek fisiologik : Normal Normal
Normal Normal
Bisep
Normal Normal
Trisep Normal Normal
(-) (-)
Radius
Ulna
Perluasan reflek

ANGGOTA GERAK BAWAH Kanan kiri


Inspeksi:
Drop foot Tidak ada Tidak ada
Claw foot Tidak ada Tidak ada
Pitchers foot Tidak ada Tidak ada
Kontraktur Tidak ada Tidak ada
Warna kulit Normal Normal
Sistem motorik :
Gerakan Terbatas Terbatas
Kekuatan 2-0-0 1-0-0
Tonus (+) (+)
Trofi Eutrofi Eutrofi

8
Klonus (-) (-)
Reflek fisiologik :
(+) (+)
Patela
(+) (+)
Achiles (-) (-)
Hipestesi dari ujung Hipestesi dari ujung
Perluasan reflek
Sensibilitas kaki kanan sampai kaki kanan sampai
setinggi dermatom setinggi dermatom
L2 dektra L1 sinistra
Nyeri (+) (+)

Reflek Patologis Kanan Kiri


Babinski (-) (-)
Gonda (-) (-)
Chaddock (-) (-)
Bing (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Rossolimo (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Reflek kremaster (+/+)
FUNGSI VEGETATIF
Miksi : inkontinentia urin (-), retensio urin (+), anuria(-), poliuria(-)
Defekasi : inkontinentia alvi (-), retensio alvi (+)

KOORDINASI, LANGKAH DAN KESEIMBANGAN


Gaya berjalan : tidak dilakukan
Tandem : tidak dilakukan
Tes Romberg : tidak dilakukan
Tes disdiadokhokinesis : tidak dilakukan
Tes Dismetria : tidak dilakukan
Rebound phenomen : tidak dilakukan
Fukuda : tidak dilakukan

GERAKAN-GERAKAN ABNORMAL
Tremor : (-)
Atetosis : (-)
Mioklonus : (-)
Khorea : (-)

DIAGNOSIS
Diagnosis KliniK : Paraparesis inferior flaksid
Diagnosis Topik : Radiks Spinalis dermatom L2 dextra, L1 sinistra
Diagnosis Etiologik : DD/ :
Trauma spinalis

9
Myelitis
Tumor medula spinalis

RENCANA AWAL
- X foto lumbal AP/ Lateral
- Lumbal Pungsi atau
- MRI
Tx:

- Infus RL 20 tetes/menit (iv)


- Inj. Ketorolac 2x30mg (iv)
- Inj. Methyl prednisolon 3x125mg (iv)
- Inj. Ranitidin 2x50mg (iv)
- Mecobalamin drip 1 amp/ hari
- Microlax per rectal
- Pasang DC

Mx : TTV, GCS, Defisit neurologis

Ex:

- Menjelaskan kepada keluarga penderita tentang penyakit yang diderita,


pemeriksaan lanjutan yang akan dilakukan dan penatalaksanaan
selanjutnya.

PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanam : dubia ad bonam

10
TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian

Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke


susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh
tulang vertebra. Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris,
gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan
dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan sementara ataupun
permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula spinalis, kondisi ini disebut
sebagai cedera medula spinalis.1

Insidensi

Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 7.600 sampai 10.000 individu


mengalami cedera medula spinalis. Sampai tahun 2000, diperkirakan ada
sebanyak 183.000 sampai 203.000 orang yang hidup dengan cedera medula
spinalis di negara tersebut.2

Cedera medula spinalis dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi, ketidak


berdayaan, rehabilitasi dan perawatan yang berkepanjangan, dan beban ekonomi
yang tinggi.1

Tabel 1. Dampak ekonomi dari cedera medula spinalis3

Pada tahun 2004, Christopher & Dana Reeve Foundation bekerja sama
dengan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melakukan penelitian

11
untuk mengetahui epidemiologi penderita cedera medula spinalis dan yang
mengalami paralisis di Amerika Serikat.4

Gambar 1. Epidemiologi paralisis dan cedera medula spinalis di Amerika Serikat 4

Hasilnya yaitu sekitar 1,9% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar
5.596.000 orang melaporkan beberapa bentuk paralisis berdasarkan definisi
fungsional yang digunakan dalam survei tersebut.4 Sekitar 0,4% dari populasi
Amerika Serikat atau sekitar 1.275.000 orang dilaporkan mengalami paralisis
dikarenakan oleh cedera medula spinalis.4

Menurut Dahlberg dkk. (2005), penyebab cedera medula spinalis yang


terbanyak di Helsinki, Finlandia adalah jatuh (43%) , diikuti dengan kecelakaan
lalu lintas (35%), menyelam (9%), kekerasan (4%) dan penyebab lain (9%).5

Penyebab cedera medula spinalis di negara berkembang bervariasi dari


satu negara ke negara lain. Kecelakaan lalu lintas mencakup sebesar 49%
penyebab cedera medula spinalis di Nigeria, 48,8% di Turki dan 30% di Taiwan.6

Bila dibandingkan dengan negara maju, insiden cedera medula spinalis


lebih tinggi di negara yang sedang berkembang. Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap hal ini antara lain:


Kondisi jalan yang buruk


Berkendara melewati batas kecepatan

12

Kurangnya penggunaan sabuk pengaman dan sandaran kepala di
dalam mobil


Volume kendaraan yang berlebih


Perlengkapan keamanan yang tidak adekuat saat menyelam dan
bekerja


Kondisi-kondisi yang tidak lazim seperti jatuh dari pohon dan
jembatan6

Etiologi

Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:3,4

-
Cedera medula spinalis traumatik

Terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang diakibatkan oleh


kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula
spinalis. Cedera medula spinalis traumatik sebagai lesi traumatik pada
medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau
paralisis. Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and
Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine,
cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan
kontusio dari kolum vertebra.

-
Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan
seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada
medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang
bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari
cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati
spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik,
penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan
kongenital dan perkembangan.8

13
14
Patofisiologi9

Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi


akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera
berlanjut, kemungkinan penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu,
intervensi terapeutik sebaiknya tidak ditunda, pada kebanyakan kasus, window
period untuk intervensi terapeutik dipercaya berkisar antara 6 sampai 24 jam
setelah cedera.

Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke


korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang
persisten. Mekanisme ini, yang terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah
cedera, menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi aksonal dan perubahan
metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang berkelanjutan.

Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera
dan berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan
kaskade yang kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat
traktus yang mana kesemuanya hanya dimengerti sebagian. Sangat jelas bahwa
peningkatan produksi radikal bebas dan opioid endogen, pelepasan yang
berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi inflamasi sangat berperan
penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger Ribonucleic Acid)
menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera medula spinalis dan
perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik.

Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari cedera


sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan kadar
anti-oksidan yang cepat, oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan sistem
saraf pusat yang cedera dan menyerang membrane lipid, protein dan asam nukleat.
Hal ini berakibat pada dihasilkannya lipid peroxidase yang menyebabkan
rusaknya membran sel.

Teori kalsium menjelaskan bahwa terjadinya cedera sekunder bergantung


pada influks dari kalsium ekstraseluler ke dalam sel saraf. Ion kalsium
15
mengaktivasi phospholipase, protease, dan phosphatase. Aktivasi dari enzim-
enzim ini mengakibatkan interupsi dari aktivitas mitokondria dan kerusakan
membran sel.

Teori opiate receptor mengusulkan bahwa opioid endogen mungkin


terlibat dalam proses terjadinya cedera medula spinalis dan bahwa antagonis
opiate (contohnya naloxone) mungkin bisa memperbaiki penyembuhan
neurologis. Teori inflamasi berdasarkan pada hipotesis bahwa zat-zat inflamasi
(seperti prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor, serotonin)
berakumulasi pada jaringan medula spinalis yang cedera dan merupakan mediator
dari kerusakan jaringan sekunder.

Menyusul cedera medula spinalis, penyebab utama kematian sel adalah


nekrosis dan apoptosis. Walaupun mekanisme kematian sel yang utama segera
setelah terjadinya cedera primer adalah nekrosis, kematian sel apoptosis yang
terprogram mempunyai efek yang signifikan pada cedera sekunder sub akut.
Kematian sel oligodendrosit yang diinduksi oleh apoptosis berakibat demyelinasi
dan degenerasi aksonal pada lesi dan sekitarnya.

Proses cedera sekunder berujung pada pembentukan jaringan parut glial,


yang diperkirakan sebagai penghalang utama regenerasi aksonal di dalam sistem
saraf pusat. Pembentukan jaringan parut glial merupakan proses reaktif yang
melibatkan peningkatan jumlah astrosit. Menyusul terjadinya nekrosis dari materi
abu-abu dari korda sentral dan degenerasi kistik, jaringan parut berkembang dan
meluas sepanjang traktus aksonal. Pola dari pembentukan jaringan parut dan
infiltrasi sel inflamatori dipengaruhi oleh jenis dari lesi medula spinalis.

Terdapat tiga jenis lesi : lesi mikro, kontusif dan lesi tusukan yang luas
(large stab)

16
Gambar 2. Gambaran skematik dari tiga lesi stereotipik dari sistem saraf pusat: lesi mikro (A), lesi
kontusif (B) dan lesi tusukan yang besar (C). Pada semua tipe, makrofag menginvasi lesi tersebut
dan baik chondroitin sulfate proteoglycans (CSPGs) dan keratan sulfate proteoglycans (KSPGs)
diregulasi naik. A. Kesejajaran astrosit tidak terganggu, tetapi akson tidak dapat beregenerasi di
luar lesi. B. Selaput otak tidak rusak, tetapi kavitasi pada episentrum dari lesi tersebut dan
deposisi proteoglikan terjadi. Akson tidak dapat beregenerasi di luar lesi, tetapi akson yang masih
baik dapat ditemukan distal dari lesi. C. Lesi tusukan yang menembus selaput otak dan
mengizinkan invasi fibroblast dan makrofag. Akson direpulsi secara tinggi oleh peningkatan
gradien dari CSPGs dan KSPGs. Beberapa molekul inhibitor lainnya juga dihasilkan pada jenis
cedera ini dan secara khusus prevalen pada inti lesi. ECM= extracellular matrix.

Pada lesi mikro, sawar darah otak terganggu sedikit, astrosit tetap dalam
kesejajaran yang normal tetapi menghasilkan chondroitin sulfate proteoglycans
(CSPGs) dan keratan sulfate proteoglycans (KSPGs) sepanjang traktus yang
cedera dan makrofag menginvasi lesi tersebut. Akson tidak dapat beregenerasi di
luar lesi tersebut. Pada lesi kontusif, sawar darah-otak terganggu, tetapi selaput
otak masih utuh.3

17
Kavitasi terjadi di episentrum dari lesi tersebut. Kesejajaran astrosit
terganggu pada lesi. Astrosit menghasilkan CSPGs dan KSPGs pada gradien yang
meningkat dari penumbra menuju pusat lesi. Tidak dijumpai invasi fibroblast pada
inti lesi, dan karena itu, tidak dijumpai inhibitor yang mengekspresikan fibroblast.
Makrofag menginvasi lesi tersebut dan intinya dan akson distrofik mendekati lesi
tersebut sebelum pertumbuhan berhenti. Pada lesi tusukan yang luas, sawar darah
otak rusak, dan kavitasi terjadi pada pusat lesi.

Klasifikasi

Penilaian neurologis pada cedera medula spinalis meliputi penilaian


berikut seperti:


Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus)


Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)


Kekuatan kelompok otot (traktus kortikospinal)


Refleks (abdominal, anal dan bulbokavernosus)


Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti
disfagia)10

Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan
completeness dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis
lainnya seperti cedera pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi
saraf spinal yang normal, seperti yang diketahui dari pemeriksaan klinis, disebut
sebagai level neurologis dari lesi tersebut. Hal ini tidak harus sesuai dengan level
fraktur, karena itu diagnosa neurologis dan fraktur harus dicatat.10

Cedera inkomplit didefinisikan sebagai cedera yang berkaitan dengan adanya


preservasi dari fungsi motor dan sensorik di bawah level neurologis, termasuk
pada segmen sakral yang paling rendah.10

18
Penilaian tingkat dan komplit atau tidaknya suatu cedera medula spinalis
memungkinkan prognosa untuk dibuat. Jika lesi yang terjadi adalah komplit,
kemungkinan penyembuhan jauh lebih kecil dibandingkan dengan lesi inkomplit.

Menyusul terjadinya cedera medula spinalis, terdapat beberapa pola cedera


yang dikenal, antara lain:7,6

-
Sindroma korda anterior

Terjadi akibat gaya fleksi dan rotasi pada vertebra menyebabkan


dislokasi ke anterior atau akibat fraktur kompresi dari corpus vertebra
dengan penonjolan tulang ke kanalis vertebra.

Dengan gejala :

o Paralisis dibawah batas luka (trauma)

o Hilangnya sensasi nyeri dan temperatur dibawah batas luka

o Sensasi sentuhan, pergerakan, posisi dan vibrasi tetap

-
Sindroma korda sentralis

Biasanya dijumpai pada orang tua dengan spondilosis servikal.


Cedera hiperekstensi menyebabkan kompresi medula spinalis antara
osteofit ireguler dari corpus vertebra di anterior dengan ligamentum
flavum yang menebal di posterior.

Dengan gejala Kelemahan motorik ekstermitas atas lebih besar dari


ekstermitas bawah.

-
Sindroma korda posterior

Sindroma ini umumnya dijumpai pada hiperekstensi dengan fraktur


pada elemen posterior dari vertebra.

-
Sindroma Brown-sequard

19
Secara klasik terjadi akibat cedera tusukan tetapi juga sering
dijumpai pada fraktur massa lateral dari vertebra. Tanda dari sindroma
ini :

o Ipsilateral paralisis dibawah trauma

o Ipsilateral hilangnya sentuhan, vibrasi, proprioseption


dibawah trauma

o Kontralateral hilangnya sensasi nyeri dan temperatur


dibawah lesi

-
Sindroma konus medularis

-
Sindroma kauda ekuina6

20
Gambar 3. Potongan melintang dari korda spinalis, menunjukkan sindroma cedera
medula spinalis parsial

Derajat keparahan cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi beberapa


grade menurut Frankel.6

- Frankel A : kehilangan fungsi motorik dan sensorik

- Frankel B : ada fungsi sensorik, motorik tidak ada

- Frankel C : fungsi motorik ada tetapi tidak berfungsi

21
- Frankel D : fungsi motorik ada tetapi tidak sempurna

- Frankel E : fungsi sensorik dan motorik baik, hanya ada refleks abnormal

Tanda dan Gejala

Tanda spinal shock (pemotongan komplit ransangan), meliputi: Flaccid


paralisis dibawah batas luka, hilangnya sensasi dibawah batas luka,
hilangnya reflek-reflek spinal dibawah batas luka, hilangnya tonus vaso
motor (Hipotensi),Tidak ada keringat dibawah batas luka, inkontinensia
urine dan retensi feses berlangsung lama hiperreflek/ paralisis spastic

Pemotongan sebagian rangsangan: tidak simetrisnya flaccid paralisis, tidak


simetrisnya hilangnya reflek dibawah batas luka, beberapa sensasi tetap
utuh dibawah batas luka, vasomotor menurun, menurunnya blader atau
bowel, berkurangnya keluarnya keringat satu sisi tubuh

Sindroma cidera medula spinalis sebagian

1. Anterior

- Paralisis dibawah batas luka (trauma)

- Hilangnya sensasi nyeri dan temperatur dibawah batas luka

- Sensasi sentuhan, pergerakan, posisi dan vibrasi tetap

2. Central

- Kelemahan motorik ekstermitas atas lebih besar dari


ekstermitas bawah

3. Sindroma brown sequard

Terjadi akibat trauma pada bagian anteror dan posterior pada satu sisi

- Ipsilateral paralisis dibawah trauma

22
- Ipsilateral hilangnya sentuhan, vibrasi, proprioseption dibawah
trauma

- Kontralateral hilangnya sensasi nyeri dan temperatur dibawah


lesi

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pasca cedera medula spinalis antara lain
yaitu instabilitas dan deformitas tulang vertebra, fraktur patologis, syringomyelia
pasca trauma, nyeri dan g

angguan fungsi seksual.6

Penatalaksanaan

Mayoritas pasien dengan cedera medula spinalis disertai dengan cedera


bersamaan pada kepala, dada, abdomen, pelvis dan ekstremitashanya sekitar
40% cedera medula spinalis yang terisolasi. Penatalaksanaan awal berlangsung
seperti pasien trauma pada umumnya yang meliputi survei primer, resusitasi dan
survei sekunder.1,3

Protokol terapi yang direkomendasikan berdasarkan pada 3 hal yang


penting. Yang pertama, pencegahan cedera sekunder dengan intervensi
farmakologis seperti pemberian metilprednisolon dalam 8 jam setelah kejadian
sesuai dengan panduan yang dianjurkan dalam studi NASCIS-III.2 Pasien
sebaiknya diberikan metilprednisolon dengan dosis bolus 30mg/kg berat badan
diikuti dengan dosis pemeliharaan 5,4mg/kg berat badan per jam selama 23 jam
atau 48 jam secara infusan.2

Kedua, hipoksia dan iskemia di lokasi lesi medula spinalis sebaiknya


diminimalisir dengan mengendalikan status hemodinamik dan oksigenasi. Semua
pasien sebaiknya menerima oksigen tambahan yang cukup untuk mencapai
saturasi oksigen mendekati 100%.2

23
Ketiga, begitu cedera medula spinalis disangkakan, tulang belakang harus
diimobilisasi untuk mencegah cedera neurologis yang lebih lanjut.2

Manajemen farmakologi pada cedera medula spinalis akut masih


kontroversi. Optimisme yang menganggap bahwa pemahaman yang mendalam
mengenai patogenesa dari cedera medula spinalis akut akan mengarah kepada
penemuan strategi pengobatan farmakologis untuk mencegah cedera sekunder
telah menemui kekecewaan dalam praktek klinis.10

Kemungkinan aplikasi sel punca pada penanganan cedera medula spinalis


terus dipelajari baik dengan menggunakan sel punca eksogen, seperti sel stroma
mesenkim dan olfactory ensheating glial cells, maupun dengan memanipulasi sel
punca endogen.8,9

Pembedahan merupakan dan akan tetap menjadi pilihan utama dalam


paradigma penanganan cedera medula spinalis, tetapi waktu yang tepat untuk
melakukan operasi dekompresi masih menuai banyak kontroversi.8

Untuk kondisi medis di mana kesembuhan belum tersedia, seperti cedera


medula spinalis, deteksi dari faktor resiko, implementasi program preventif, dan
identifikasi dari subjek yang potensial terkait merupakan relevansi yang penting.
Studi epidemiologis dengan follow up jangka panjang memberikan kontribusi ke
dalam hal ini dengan memberikan gambaran perkiraan dari insidensi dan
prevalensi, mengidentifikasi faktor resiko, memberikan gambaran kecenderungan,
dan memprediksi keperluan di masa yang akan datang.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Kondra, W. Penuntunan Neurologi. Jakarta : FKUI. 2010

24
2. Sloane, Ethel. Anatomi dan Fisiologi. Jakarta : EGC. 2007

3. Sidharta., Dewanto. Anatomi Susunan Saraf Pusat Manusia.


Jakarta: Pustaka Universitas. 2004

4. PRICE, S.A, Wilson, L. M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit. Jakarta : EGC. 2005

5. Perdossi. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan


Trauma Spinal. Jakarta : Perdossi. 2006

6. Basuki Acedera Medula Spinalis Akut. Dalam : kegawatdaruratan


Neurologi. Bandung : Bagian Saraf FK Universitas Padjadjaran/
RS dr. Hasan Sadikin. 2009

7. National Spinal Cord Injury Statistical Center. Spinal Cord Injury:


Fact and Figures at A Glance.

http://www.nscisc.uab.edu/PublicDocuments/fact_figures_docs/Fac
ts%202013.pdf

8. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta : Gramedia. 2010

9. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. NINDS


Spinal Cord Injury Information Page.
http://www.ninds.nih.gov/disorder/sci/sci.htm

10. Jalalin. Penuntun pemeriksaan fisik dan fungsional ilmu


kedokteran fisik dan rehabilitasi. Palembang. Bagian Rehabilitasi
Medik Fakultas Kedoktern Universitas Sriwijaya/ RSUP DR. Moh
Hosein Palembang. 2006

25

Anda mungkin juga menyukai