Anda di halaman 1dari 29

Presentasi Kasus

Cedera Kepala Ringan


Dan
Fraktur Segmental Mandibula

Disusun oleh

dr. Karina

Pembimbing
dr. Bramastha Aires Rosadie Oggy, M.
Biomed, Sp. B

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TEBET


JAKARTA
2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas ijin-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan presentasi kasus ini. Adapun presentasi kasus ini penulis susun
untuk memenuhi salah satu tugas Internship di Rumah Sakit Umum Daerah
Tebet.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah


membantu hingga tersusunnya presentasi kasus ini, karena tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak, presentasi kasus ini akan menemui berbagai
kendala.
Tentu saja presentasi kasus ini masih membutuhkan penyempurnaan,
untuk itu saran dan kritik sangat penulis butuhkan, guna memperbaiki tugas
selanjutnya. Semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi yang
membacanya.

Jakarta, 15 Agustus 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..
i
Daftar isi ..
ii
BAB I STATUS PASIEN..
1
1. Identitas ...
1
2. Anamnesis....
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..
7
1. Definisi Fraktur Mandibula .....
7
2. Klasifikasi
.7
3. Diagnosis.
.10
4. Penatalaksanaan.
.11
5. Komplikasi.
.15
BAB III ANALISA KASUS....
17
DAFTAR PUSTAKA
18

3
BAB I
STATUS PASIEN

IDENTITAS
Nama : Tn. Nurhasan
Usia : 62 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jln. Rawajati Timur 11 RT 04/02, Kel. Rawajati, Kec. Pancoran, Jakarta
Selatan
No. RM :
Tanggal masuk: 27 Mei 2017
Ruang rawat : Bedah kelas

PRIMARY SURVEY
A : spontan, bebas
B : 20x /menit
C : nadi kuat, reguler, RR: 100X/m, TD: 130/85 mmHg, turgor kulit baik, akral hangat
D : pupil isokor, GCS: 15, E4 M6 V5

SECONDARY SURVEY
ANAMNESA
Auto dan alloanamnesa dengan keluarga pada tanggal 27 Mei 2017.
Keluhan utama : Luka robek pada daerah sekitar mulut akibat kecelakaan lalu lintas 2
jam SMRS
Keluhan tambahan : Nyeri pada rahang bawah
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan luka robek pada sekitar mulut akibat terjatuh saat
mengendarai motor 2 jam SMRS. 2 jam SMRS, pasien mengalami kecelakaan lalu lintas.
Saat itu pasien mengendarai sepeda motor dengan kecepatan sedang ( 60 km/jam),
pasien dalam keadaan mengantuk ketika berkendara, saat itu pasien berusaha
menghindari mobil yang ada di depannya. Pasien kemudian terjatuh dengan wajah yang

4
terlebih dahulu membentur ke aspal dan lengan kanan pasien terlipat kearah dalam. Saat
kejadian, pasien menggunakan helm. Pasien tidak memiliki riwayat pingsan setelah
kejadian. Riwayat muntah tanpa didahului mual tidak ada. Riwayat keluar darah dari
mulut tidak ada. Keluar darah dari telinga dan hidung disangkal. Pasien merasa nyeri
pada rahang bawah dan mulut tidak bisa digerakkan serta tidak bisa merapatkan
mulutnya. Keluhan baal pada dagu disangkal.
Keluhan nyeri di leher, dada, perut, pinggang dan anggota gerak disangkal.
Sesak disangkal. Keluhan kelemahan anggota gerak disangkal. BAK dan BAB tidak ada
keluhan.

Riwayat penyakit dahulu :


Riwayat alergi obat-obatan disangkal. Riwayat DM, hipertensi, dan asma
disangkal.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
GCS : E4V5M6 15
Tanda-tanda vital :
TD : 140/85 mmHg
Nadi : 100 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,7 C
Status Generalis
Kepala : Normocephal, terdapat multiple vulnus laceratum et regio ginggiva
superior dengan ukuran 5x1 cm, et regio superior labia frenulum
ukuran 2x1 cm, et regio mandibula dengan ukuran 3x1 cm.
Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-). Pupil isokor 3mm,
reflek cahaya +/+.
Mulut : Sianosis (-), maloklusi (+), nyeri tekan mandibula (+), false
movement (+).
Leher : Jejas (-), deviasi trakea (-).
Telinga : Sekret (-), darah (-), hematom preaurikuler (-), nyeri tekan (-).
Hidung : Darah (-), sekret (-), hematom (-), simetris
KGB : Tidak ada pembesaran
Toraks : Simetris saat statis dan dinamis

5
Paru : SD vesikuler +/+, Ronki -/-, wheezing -/-
Jantung : BJ I & II murni regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Datar, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat, edema -/-/-/-, CRT < 2.
Status neurologis
Nn. Cranialis: Tidak ada kelainan
Motorik : 5/5/5/5
Sensorik : Tidak ada kelaianan
Status Lokalis kepala dan wajah

Vulnus laseratum et regio filtrum

6
Vulnus laseratum et regio mandibula

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Foto rontgen

7
8
DIAGNOSIS KERJA
- Cedera kepala ringan
- Fraktur segmental simfisis mandibula

PENATALAKSANAAN
- Ketorolac 3x30 mg
- Bethadine gurgle 3x sehari
- Pasien rencana rujuk untuk dilakukan penatalaksanaan ORIF dengan miniplate

PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

CEDERA KEPALA
Definisi

Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah


trauma kepala ,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau
kombinasinya (Standar Pelayanan Medis ,RS Dr.Sardjito). Cedera kepala merupakan
salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan
sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas .(Mansjoer Arif ,dkk ,2000)

Patofisiologi

10
Klasifikasi Cedera Kepala

Gambar 4: Klasifikasi cedera kepala.

11
Berdasarkan Beratnya

A. Cedera kepala ringan (GCS 13-15)

Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada penurunan kesadaran hanya terjadi
beberapa detik sampai beberapa menit saja. Tidak ditemukan kelaianan pada pemeriksaan
CT-scan, LCS normal, dapat terjadi amnesia retrograde.

B. Cedera kepala sedang (GCS 9-12)

Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga beberapa jam. Sering tanda
neurologis abnormal, biasanya disertai edema dan kontusio serebri. Terjadi juga
drowsiness dan confusion yang dapat bertahan hingga beberapa minggu. Fungsi kognitif
maupun perilaku yang terganggu dapat terjadi beberapa bulan bahkan permanen.

C. Cedera kepala berat (GCS <8)

Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan atau yang disebut koma. Penurunan
kesadaran dapat hingga beberapa bulan. Pasien tidak mampu mengikuti, bahkan perintah
sederhana, karena gangguan penurunan kesadaran. Termasuk juga dalam hal ini status
vegetatif persisten. Tanpa memperdulikan nilai SKG, pasien digolongkan sebagai
penderita cedera kepala berat bila :

1. Pupil tak ekual


2. Pemeriksaan motor tak ekual.
3. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau adanya jaringan otak yang
terbuka.
4. Perburukan neurologik.
5. Fraktura tengkorak depressed.

12
Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala yang kesadarannya cukup baik
mencakup pemeriksaaan neurologis yang lengkap, sedangkan pada penderita yang
kesadarannya menurun dapat digunakan pedoman yaitu :

1. Tingkat kesadaran dengan mengitung nilai GCS

2. Kekuatan fungsi motorik

3. Ukuran pupil dan responnya terhadap cahaya

4. Gerakan bola mata

Pemeriksaan penunjang
1. Foto polos cranium ( schullder )

Foto polos tengkorak adalah prosedur mutlak yang dikerjakan pada setiap cedera
kepala. Foto ini membantu mendiagnosa dini adanya fraktur pada tulang tengkorak.

2. Pemeriksaan CT-Scan

CT scan merupakan metode standar terpilih untuk cedera kepala baik ringan
sampai berat terutama dikerjakan pada pasien pasien yang mengalami penurunan
kesadaran dan terdapat tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial. Selain untuk
melihat adanya fraktur tulang tengkorak, CT scan juga dapat melihat adanya
perdarahan otak, efek desakan pada otak dan bisa digunakan sebagai pemantau
terhadap perkembangan perdarahan pada otak.

Penanganan Cedera Kepala

I. Cedera kepala ringan

Bila dijumpai penderita sadar dan berorientasi dengan GCS 13 15.

Terdiri atas :

a. Simple head injury

Tidak ada penurunan kesadaran

13
Adanya trauma kepala ( pusing )

b. Commotio cerebri ( gegar otak )

Adanya penurunan kesadaran ( pingsan > 10 menit )

Amnesia retrograde

Pusing, sakit kepala, muntah

Tidak ada defisit neurologis

Manajemen

1. Airway

Periksa dan bebaskan jalan nafas dari sumbatan.


Lendir, darah,muntahan, benda asing : lakukan penyedotan dengan suction,
pasang NGT
Posisi kepala dalam posisi netral, tidak miring ke kanan atau ke kiri.
Lakukan intubasi endotrakeal terutama pada pasien GCS 7 tetapi sebelumnya
harus diyakini tidak ada fractur cervical.
Foto rontgen cervical lateral dapat menjadi pilihan sebelum melakukan tindakan
intubasi. Apabila didapatkan fractur cervical, maka tindakan yang dilakukan
adalah tracheostomi.

2. Breathing

Perhatikan gerak napasnya, jika terdapat tanda tanda sesak segera pasang oksigen.

3. Circulation

Periksa tekanan darah dan denyut nadi. Jika ada tanda tanda syok segera pasang
infuse. Bila disertai dengan perdarahan yang cukup banyak bisa ditambah dengan
tranfusi darah ( whole blood ). Pasang kateter untuk memonitoring balans cairan.

14
4. Setelah kondisi pasien stabil, Periksa tingkat kesadaran pasien, perhatikan
kemungkinan cedera spinal. Adanya cedera/ luka robek atau tembus. Jika ada luka
robek, bersihkan lalu di jahit.

5. Foto rontgen tengkorak.

Dilakukan pada posisi AP dan Lateral.

6. CTscan kepala.

Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada semua cedera kepala, kecuali pada pasien
pasien yang asimptomatik tidak perlu dilakukan.

7. Observasi

Kriteria rawat :

a. Amnesia post traumatika lebih dari 1 jam

b. Riwayat kehilangan kesadaran lebih dari 15 menit

c. Penurunan tingkat kesadaran

d. Nyeri kepala sedang hingga berat

e. CT scan abnormal ( adanya fraktur, perdarahan )

f. Otorrhea, rhinorrhea

g. Semua cedera tembus

h. Indikasi sosial ( tidak ada pendamping di rumah )

Penderita yang tidak memiliki gejala seperti di atas diperbolehkan pulang setelah
dilakukan pemantauan di rumah sakit dengan catatan harus kembali ke rumah sakit
bila timbul gejala-gejala ( observasi 1 x 24 jam ) seperti :

Mengantuk dan sukar dibangunkan

Mual dan muntah hebat

15
Kejang

Nyeri kepala bertambah hebat

Bingung, tidak mampu berkonsentrasi

Gelisah

8. Terapi simtomatik

II. Cedera kepala sedang

Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap dapat mengikuti perintah
sederhana ( GCS 9 12 ). Walau dapat mengikuti perintah, namun dapat
memburuk dengan cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti halnya pasien
cedera kepala berat tapi aspek kedaruratannya tidak begitu akut. Penanganannya
sama seperti pada cedera kepala ringan ditambah dengan pemeriksaan darah. Bila
kondisi membaik,pasien boleh pulang dan control di poli. Pemeriksaan CT scan
perlu diulang apabila kesadaran pasien tidak membaik. Pada keadaan ini pasien
harus dirawat untuk di observasi.

III. Cedera kepala berat

Penderita kelompok ini tidak dapat mengikuti segala perintah sederhana karena
adanya gangguan kesadaran ( GCS 3 8).

Cedera kepala berat dapat dibagi menjadi :

a. Contusio cerebri

Pingsan > 10 menit

Kegelisahan motorik

Sakit kepala, muntah

Kejang

16
Pada kasus berat dapat dijumpai pernapasan cheyne stokes

Amnesia anterogard

b. Laceratio cerebri

Biasanya didapat pada fraktur terbuka maupun tertutup.

Penangan kasus ini mencakup :

Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip ABC seperti pada cedera


kepala ringan.

Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau


gangguan di bagian tubuh lainnya.

Pemeriksaan neurologis, meliputi : reflex buka mata, reflex cahaya pupil,


respon motorik, respon verbal, respon okulo sefalik ( Dolls eye ).

Pemeriksaan penunjang : CT-scan, angiografi.

Rawat selama 7 10 hari.

Beri manitol 20 % ( 1 gr/BB ) bolus dalam 5 menit.

Furosemid ( 0,3 0,5 mg/BB ) diberi bersama manitol.

Antikonvulsan : fenitoin dan fenobarbital.

Indikasi Operasi

Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan
neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai
berikut :

- Volume massa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial

- Volume massa hematom lebih dari 20 ml di daerah infratentorial

17
- Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis

- Tanda fokal neurologis semakin berat

- Terdapat gejala TIK yang meningkat lebih dari 25 mmHg( sakit kepala hebat,
muntah proyektil)

- Pada pemeriksaan CT-Scan terdapat pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3
mm atau penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang

Prognosis

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami


penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya
kerusakan otak yang terjadi. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area,
sehingga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area
lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka
kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.
Kemampuan berbahasa pada anak kecil dijalankan oleh beberapa area di otak, sedangkan
pada dewasa sudah dipusatkan pada satu area. Jika hemisfer kiri mengalami kerusakan
hebat sebelum usia 8 tahun, maka hemisfer kanan bisa mengambil alih fungsi bahasa.
Kerusakan area bahasa pada masa dewasa lebih cenderung menyebabkan kelainan
yang menetap. Beberapa fungsi (misalnya penglihatan serta pergerakan lengan dan
tungkai) dikendalikan oleh area khusus pada salah satu sisi otak. Kerusakan pada area ini
biasanya menyebabkan kelainan yang menetap. Dampak dari kerusakan ini bisa
diminimalkan dengan menjalani terapi rehabilitasi. Penderita cedera kepala berat kadang
mengalami amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesadaran. Jika kesadaran telah kembali pada minggu pertama,
maka biasanya ingatan penderita akan pulih kembali.

18
FRAKTUR MANDIBULA
A. Definisi fraktur mandibula
Fraktur adalah discontinuitas dari jaringan tulang yang biasanya
disebabkan oleh adanya kecelakaan yang timbul secara langsung. Fraktur mandibula
adalah putusnya kontinuitas tulang mandibula. Hilangnya kontinuitas pada rahang
bawah (mandibula), yang diakibatkan trauma oleh wajah ataupun keadaan
patologis, dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan benar.1
B. Klasifikasi fraktur mandibula2,3
Secara umum, fraktur diklasifikasikan menurut penyebab terjadinya, menurut
hubungan dengan jaringan sekitarnya, dan menurut bentuknya.
1. Menurut penyebab terjadinya
a. Fraktur traumatik
Frakur traumatik, dapat disebabkan baik oleh trauma langsung maupun
tidak langsung. Trauma langsung yang mengenai anggota tubuh penderita,
gaya yang diterima oleh tubuh dapat menyebabkan fraktur. Trauma tidak
langsung, terjadi seperti pada penderita yang jatuh dengan tangan menumpu
dan lengan atas-bawah lurus, berakibat fraktur kaput radii atau klavikula.
Gaya tersebut dihantarkan melalui tulang-tulang anggota gerak atas dapat
berupa gaya berputar, pembengkokan (bending) atau kombinasi
pembengkokan dengan kompresi yang berakibat fraktur butterfly, maupun
kombinasi gaya berputar, pembengkokan dan kompresi seperti fraktur
oblik dengan garis fraktur pendek. Fraktur juga dapat terjadi akibat tarikan
otot seperti fraktur patela karena kontraksi quadrisep yang mendadak.
b. Fraktur stress
Trauma yang berulang dan kronis pada tulang yang mengakibatkan
tulang menjadi lemah. Contohnya pada fraktur fibula pada olahragawan.
c. Fraktur patologis
Pada tulang telah terjadi proses patologis yang mengakibatkan
tulang tersebut rapuh dan lemah. Biasanya fraktur terjadi spontan.
2. Menurut hubungan dengan jaringan sekitar

19
a. Fraktur simple/tertutup, disebut juga fraktur tertutup, oleh karena kulit di
sekeliling fraktur sehat dan tidak sobek.
b. Fraktur terbuka, kulit di sekitar fraktur sobek sehingga fragmen tulang
berhubungan dengan dunia luar (bone expose) dan berpotensi untuk
menjadi infeksi. Fraktur terbuka dapat berhubungan dengan ruangan di
tubuh yang tidak steril seperti rongga mulut.
c. Fraktur komplikasi, fraktur tersebut berhubungan dengan kerusakan jaringan
atau struktur lain seperti saraf, pembuluh darah, organ visera atau sendi.
3. Menurut bentuknya
a. Fraktur komplit, Garis fraktur membagi tulang menjadi dua fragmen atau
lebih. Garis fraktur bisa transversal, oblik atau spiral. Kelainan ini dapat
menggambarkan arah trauma dan menentukan fraktur stabil atau unstabil.
b. Fraktur inkomplit, Kedua fragmen fraktur terlihat saling impaksi atau
masih saling tertancap.
c. Fraktur komunitif, Fraktur yang menimbulkan lebih dari dua fragmen.
d. Fraktur kompresi, Fraktur ini umumnya terjadi di daerah tulang kanselus.
Sedangkan klasifikasi fraktur mandibula, di antaranya:
1. Berdasarkan regio anatomis
Menunjukkan regio-regio pada mandibula yaitu : badan, simfisis, sudut,
ramus, prosesus koronoid, prosesus kondilar, prosesus alveolar. Fraktur yang
terjadi dapat pada satu, dua atau lebih pada region mandibula ini.

Gambar 1. Regio mandibula2

20
Simfisis fraktur terjadi pada insisivus tengah yang berjalan dari alveolar melalui
perbatasan inferior dari mandibula.4
Parasimfisis fraktur terjadi dibatasi oleh garis vertikal kaninus.4

Gambar 2. Fraktur parasimfisis mandibula kanan4


Badan Fraktur yang terjadi dari distal simfisis bertepatan dengan perbatasan
alveolar otot masseter.
Ramus mandibula Dibatasi oleh aspek superior dari sudut dua saluran yang
membentuk puncak pada sigmoid.4

Gambar 3. Fraktur ramus mandibula dan parasimfisis mandibula kiri4


2. Berdasarkan ada tidaknya gigi5
Klasifikasi berdasarkan gigi pasien penting diketahui karena akan
menentukan jenis terapi yang akan kita ambil. Dengan adanya gigi,
penyatuan fraktur dapat dilakukan dengan jalan pengikatan gigi dengan
menggunakan kawat. Berikut derajat fraktur mandibula berdasarkan ada tidaknya
gigi :
a. Fraktur kelas 1 : gigi terdapat di 2 sisi fraktur, penanganan pada fraktur kelas
1 ini dapat melalui interdental wiring (memasang kawat pada gigi)
b. Fraktur kelas 2 : gigi hanya terdapat di salah satu fraktur

21
c. Fraktur kelas 3 : tidak terdapat gigi di kedua sisi fraktur, pada keadaan ini
dilakukan melalui open reduction, kemudian dipasangkan plate and screw,
atau bisa juga dengan cara intermaxillary fixation.
C. Diagnosis4,5
Diagnosis fraktur mandibula berdasarkan atas anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Pada kasus trauma, pemeriksaan penderita dengan kecurigaan fraktur
mandibula harus mengikuti kaidah ATLS, dimana terdiri dari pemeriksaan awal
(primar survey) yang meliputi pemeriksan airway, breathing, circulation dan
disability. Pada penderita trauma dengan fraktur mandibula harus diperhatikan
adanya kemungkinan obstruksi jalan nafas yang bisa diakibatkan karena fraktur
mandibula itu sendiri ataupun akibat perdarahan intraoral yang menyebabkan
aspirasi darah dan bekuan darah.
Jika pasien stabil, perlu diketahui riwayat trauma. Mekanisme trauma
merupakan informasi yang penting sehingga dapat menggambarkan tipe fraktur
yang terjadi. Bila trauma ragu-ragu atau tidak ada maka kemungkian fraktur
patologis tetap perlu dipikirkan. Riwayat penderita harus dilengkapi apakah ada
trauma daerah lain (kepala, torak, abdomen, pelvis dll).
Pertanyaan-pertanyaan kepada penderita maupun pada orang yang lebih
mengetahui harus jelas dan terarah, sehingga diperoleh informasi mengenai;
keadaan kardiovaskuler maupun sistem respirasi, apakah penderita merupakan
penderita diabetes, atau riwayat alergi.
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Inspeksi dimulai dari ektraoral kemudian ke intraoral. Perhatikan
adanya deformitas. Pembengkakan preaurikular sering menunjukkan
adanya fraktur kondilus. Kulit di sekitar wajah dan leher perlu
diperhatikan apakah hiperemis, ekimosis, laserasi, atau hematom. Pada
luka yang mengarah ke fraktur terbuka harus diidentifikasi dan
ditentukan menurut derajatnya menurut klasifikasi Gustillo. Dilihat juga

22
apakah terdapat gigi yang hilang. Perhatikan juga apakah terdapat
maloklusi.
b. Palpasi
Pada palpasi dievaluasi daerah TMJ dengan jari pada daerah TMJ
dan penderita disuruh buka-tutup mulut, menilai ada tidaknya nyeri,
deformitas atau dislokasi. Untuk memeriksa apakah ada fraktur mandibula
dengan palpasi dilakukan evaluasi false movement dengan kedua ibujari di
intraoral, korpus mandibula kanan dan kiri dipegang kemudian digerakkan
keatas dan kebawah secara berlawanan sambil diperhatikan disela gigi dan
gusi yang dicurigai ada frakturnya. Bila ada pergerakan yang tidak sinkron
antara kanan dan kiri maka false movement +.
Periksa juga status gusi, apakah terdapat ekimosis, perdarahan, atau
hematom, bila terdapat hal tersebut, menunjukkan adanya fraktur.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rontgen
Pada fraktur mandibula dapat dilakukan pemeriksaan penunjang foto
Rontgen untuk mengetahui pola fraktur yang terjadi. Timbulnya
kecurigaan fraktur mandibula tergantung dari jenis frakturnya, apakah
cedera tunggal atau multipel. Jika dicurigai cedera tunggal, pemeriksaan
dapat dimulai dengan foto AP, Towne, dan oblik.
b. CT Scan
CT scan dapat digunakan untuk mengidentifikasi fraktur kondilus
kompleks, terutama fraktur sagital atau dislokasi fossa glenoid. CT scan
juga berguna pada pasien dengan cedera serius, seperti luka tembak atau
fraktur komunitif.
D. Penatalaksanaan2,4,5
Prinsip penanganan fraktur mandibula pada langkah awal bersifat
kedaruratan seperti jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), sirkulasi darah
termasuk penanganan syok (circulaation), penaganan luka jaringan lunak dan
imobilisasi sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan cedera otak. Tahap

23
kedua adalah penanganan fraktur secara definitif yaitu reduksi/reposisi fragmen
fraktur (secara tertutup (close reduction) dan secara terbuka (open reduction).
1. Reposisi tertutup
Adapun indikasi untuk reposisi tertutup di antaranya:
Fraktur displace atau terbuka derajat ringan sampai sedang.
Fraktur kondilus
Fraktur pada anak
Fraktur komunitif berat atau fraktur dimana suplai darah menurun.
Fraktur eduntulous mandibula
Fraktur mandibula yang terdapat hubungan dengan fraktur panfacial
Fraktur patologis
Tehnik yang digunakan pada terapi fraktur mandibula secara closed
reduction adalah fiksasi intermaksiler. Fiksasi ini dipertahankan 3-4 minggu pada
fraktur daerah condylus dan 4-6 minggu pada daerah lain dari mandibula.
Beberapa teknik fiksasi intermaksila diantaranya:
Ivy loop
Penempatan Ivy loop menggunakan kawat 24-gauge antara 2 gigi yang
stabil, dengan penggunaan kawat yang lebih kecil untuk memberikan fiksasi
maxillomandibular (MMF) antara loop Ivy.

Gambar 4. Ivy loop

24
Gambar 5. Fiksasi maksilomandibular
Teknik arch bar
Indikasi pemasangan arch bar antara lain gigi kurang/ tidak cukup
untuk pemasangan cara lain, disertai fraktur maksila, didapatkan fragmen
dentoalveolar pada salah satu ujung rahang yang perlu direduksi sesuai
dengan lengkungan rahang sebelum dipasang fiksasi intermaksilaris
Reduksi tertutup pada edentulous mandibula
Pada edentulous mandibula, gigi palsu dapat ditranfer ke rahang
dengan kabel circummandibular. Gigi tiruan rahang atas dapat ditempelkan
ke langit-langit. (Setiap screw dari maxillofacial set dapat digunakan sebagai
lag screw). Arch bar dapat ditempatkan dan intermaxillary fixation (IMF)
dapat tercapai. Gunning Splints juga telah digunakan pada kasus ini
karena memberikan fiksasi dan dapat diberikan asupan makanan. Pada
kasus fraktur kominitif, rekonstruksi mandibula mungkin diperlukan untuk
mengembalikan posisi anatomis dan fungsi.
2. Reposisi terbuka
Indikasi reposisi terbuka di antaranya:
Fraktur terbuka atau displace derajat sedang sampai berat
Fraktur yang tidak tereduksi dengan reposisi tertutup
Unfavorable fracture
Reposisi terbuka pada fraktur mandibula memiliki pendekatan intra dan
ekstraoral. Pendekatan ekstraoral dapat dilakukan melalui submandibula,
submental, atau preaurikular.

25
Gambar 6. Approach ekstraoral

Gambar 7. Insisi retromandibular


Dengan pendekatan intraoral, regio mandibula dicapai melalui insisi
vestibular di mukosa. Jika dibandingkan dengan pendekatan ekstraoral,
.pendekatan intraoral lebih cepat dilakukan, tidak memiliki parut ekstraoral, dan
risiko lebih kecil untuk mengenai saraf wajah.
Adapun material yang bisa digunakan pada reposisi terbuka diantaranya
wire, wire mesh, plat dan screw, dll.
Wiring (kawat)
Kawat dibuat seperti mata, kemudian mata tadi dipasang disekitar dua buah
gigi atau geraham dirahang atas ataupun bawah. Rahang bawah yang patah
difiksasi pada rahang atas melalui mata di kawat atas dan bawah. Jika perlu

26
ikatan kawat ini dipasang di berbagai tempat untuk memperoleh fiksasi yang
kuat.
Plating
Pemasangan plat bertujuan untuk memberi tahanan pada daerah fraktur,
sehingga dapat menyatukan bagian fraktur dengan alveolus superior. Setelah
plat tepasang, maka tidak dibutuhkan lagi fiksasi maksila. Dengan catatan
pemasangan screw pada plat tidak dengan penekanan yang terlalu kuat.
Karena dengan pemasangan screw yang terlalu kuat akan mengkibatkan
terjadinya kesulitan pada saat pelepasan, oleh karena itu, pemasangan dengan
teknik yang tidak terlalu menekan lebih dipilih dalam pemasangan plat pada
fraktur mandibula.
E. Komplikasi
Komplikasi setelah dilakukannya perbaikan pada fraktur mandibula
umumnya jarang terjadi. Komplikasi yang paling umum terjadi pada fraktur
mandibula adalah infeksi atau osteomyelitis, yang nantinya dapat menyebabkan
berbagai kemungkinan komplikasi lainnya. Tulang mandibula merupakan daerah
yang paling sering mengalami gangguan penyembuhan fraktur baik itu malunion
ataupun non-union, hal ini akan memberi keluhan berupa rasa sakit dan tidak
nyaman (discomfort) yang berkepanjangan pada sendi rahang (Temporo
mandibular joint) oleh karena perubahan posisi dan ketidakstabilan antara sendi
rahang kiri dan kanan. Hal ini tidak hanya berdampak pada sendi tetapi otot-otot
pengunyahan dan otot sekitar wajah juga dapat memberikan respon nyeri
(myofascial pain) Terlebih jika pasien mengkompensasikan atau memaksakan
mengunyah dalam hubungan oklusi yang tidak normal. Kondisi inilah yang
banyak dikeluhkan oleh pasien patah rahang yang tidak dilakukan perbaikan atau
penanganan secara adekuat.
Ada beberapa faktor risiko yang secara spesifik berhubungan dengan fraktur
mandibula dan berpotensi untuk menimbulkan terjadinya malunion ataupun non-
union. Faktor risiko yang paling besar adalah infeksi, kemudian aposisi yang
kurang baik, kurangnya imobilisasi segmen fraktur, adanya benda asing, tarikan
otot yang tidak menguntungkan pada segmen fraktur. Malunion yang berat pada

27
mandibula akan mengakibatkan asimetri wajah dan dapat juga disertai gangguan
fungsi. Kelainan-kelainan ini dapat diperbaiki dengan melakukan perencanaan
osteotomi secara tepat untuk merekonstruksi bentuk lengkung mandibula.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidayat, Wim de Jong. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. EGC: Jakarta. 2004
2. Laub D, R. Facial Trauma, Mandibular Fractures. (2009). Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1283150-overview.
3. Thapliyal C. G, Sinha C. R, Menon C. P, Chakranarayan S. L. C. A. (2007).
Management of Mandibular Fractures. Available at
http://medind.nic.in/maa/t08/i3/maat08i3p218.pdf.
4. Donald R Laub. Mandibular fracture. (2011). Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1283150-overview#showall
5. Robert W Dolan. Facial plastic, reconstructive, and trauma surgery. New york.

29

Anda mungkin juga menyukai