Anda di halaman 1dari 7

Kontrol Hormonal dari Ekspresi Gen

Komunikasi intersel merupakan fenomena penting pada tumbuhan dan hewan tingkat tinggi.
Pada jaringan dan sel target, bisa terjadi pergantian pola ekspresi gen yang diakibatkan oleh
suatu sinyal pada kelenjar dan sel sekretori dimana keberadaan sinyal tersebut bisa pada
hormone peptida seperti insulin dan hormone steroid (esterogen dan testosteron). Pada
hewan tingkat tinggi hormon disintesis pada beberapa sel sekretori khusus dan dilepaskan ke
aliran darah. Hormone peptida tidak dapat masuk ke sel secara noemal karena ukurannya yang
relatif besar. Hal tersebut menyebabkan munculnya perantara yaitu protein reseptor yang
terletak pada membran sel target dan melalui level intaseluler dari siklus AMP. Hormon steroid
mempunyai ukuran kecil sehingga siap untuk memasuki sel melalui membrane plasma. Saat
hormon steroid berada di dalam sel target yang tepat maka hormon steroid akan berikatan
dengan protein reseptor spesifik. Protein reseptor tersebut hanya terdapat pada sitoplasma sel
target.

Gambar . Struktur Kimia dari hormon steroid estrogen (betina) dan testosteron (jantan)

AKTIVASI TRANSKRIPSI OLEH HORMON STEROID


Studi autoradiografi menggunakan hormon steroid yang dilabel radioaktif
menunjukkan bahwa kompleks protein reseptor hormon terakumulasi pada inti sel target. Studi
oleh G.Tomkins dan koleganya pada tikus dan B. W OMalley dan asosiasi pada ayam
membuktikan bahwa kompleks protein reseptor hormon mengaktifkan transkripsi dari suatu
gen khusus atau pasangan gen. Studi berkutnya meneyebutkkan beberapa dari kompleks
protein reseptor hormon mengaktifkan transkripsi dari gen target dengan berikatan pada sekuen
DNA spesifik yang terdapat pada sisi aktif cis. Hipotesis lain menyebutkan kompleks protein
reseptor hormon lebih berinteraksi dengan protein kromosomal non histon dari pada dengan
DNA. Kompleks protein reseptor hormon memiliki fungsi regulasi positif (aktifator) dari
transkripsi, hampir seperti kompleks Cap-cAMP pada prokariotik. Protein kromosom non
histon dapat mengontrol wilayah transkripsi dari suatu gen (J stein, G Stei and Klein). Histon
disintesis selama fase S dari siklus sel, seperti DNA. Ketika kromatin dari fase S (fase sintesis
DNA) ditranskripsi secara in vitro, mRNA histon dapat disintesis. Ketika kromatin dari fase
G1 digunakan, tidak ada mRNA histon yang disintesis. Ketika non histon dihilangkan dari
kromatin fase G1 dan digantikan dengan protein kromosom non histon dari kromatin fase S,
mRNA histon disintesis. Disisi lain, ketika non histon pada kromatin penyusun dari fase G1
dan DNA serta histon dari fase S, maka tidak ada mRNA histon yang disintesis. Hasil ini
menunjukkan bahwa protein non histon pada kromatin menentukan gen apa yang mengkode
untuk transkripsi histon. Jadi protein nonhiston kromosom memegang peran penting pada
regulasi ekspresi gen eukariot. Regulasi transkripsi pada eukariotik melibatkan interaksi yang
spesifik antara DNA, histon dan protein kromosom non histon. Komplek protein reseptor
hormon mengaktifasi ekspresi gen melalui interaksi langsung dengan sekuen DNA spesifik
yang hadir tanpa daerah enhancer atau promotor yang meregulasi transkripsi dari gen target.
Interaksi langsung antara komples dan sekuens pengaturan sisi aktif cis dari gen target adalah
memungkinkan untuk glucocorticoid, estrogen, dan hormon tiroid pada hewan tingkat tinggi.

HORMON GLUCOCORTICOID SEBAGAI ELEMEN ENHANCER


Hormon steroid tertentu seperti glukokortikoid (cortisol) dan esterogens (misalnya -
estradiol) telah diketahui dapat mengaktifkan gen target tertentu dengan interaksi antara protein
perantara dan urutan pengaturan sisi aktif cis. Urutan sisi aktif cis ini biasa disebut dengan
enhancers meskipun mereka berbeda dengan enhancer klasik dan dalam hal itu mereka
mempengaruhi transkripsi dari promotor terdekat hanya ketika kompleks protein reseptor
hormon berikatan pada mereka. Hormon glukokortikoid bertindak dengan mengikat protein
reseptor yang hadir dalam sitoplasma sel target. Protein reseptor hormon kemudian
terakumulasi dalam inti sel dan mengikat urutan DNA yang disebut glucocorticoid response
elements (GREs).
Jika hormon tidak ada, maka reseptor protein akan berasosiasi dengan protein
sitoplasma lainnya dan memiliki afinitas yang rendah terhadap DNA. Asosiasi dari protein
sitoplasma mencegah reseptor protein dari pementukan dimer, yang diyakini aktif dalam
pembentukan DNA-binding reseptor. Pengikatan dari hormon menyebabkan perubahan
konformasi allosterik pada protein reseptor sehingga tidak lagi terikat pada protein sitoplasmik.
Protein reseptor kemudian mengalami dimerisasi menjadi bentuk aktifnya.
Kompleks reseptor hormon glukokortikoid mengaktifkan transkripsi gen target dengan
mengikat urutan GRE di dekat enhancers masing-masing gen tersebut. Pengikatan reseptor
hormon ke enhancer akan mengaktifkan promotor pada gen target terdekat. Jelasnya, ikatan
dari kopleks reseptor hormon dengan enhancer harus menghasilkan promoter terbuka yang
memfasilitasi transkripsi RNA polimerase .
Elemen respon hormon yang mengikat kompleks protein reseptor hormon steroid
mengandung urutan DNA yang berbeda. Misalnya elemen respon hormon membuat urutan
konsensus hormon glukokortikoid, estrogen dan tiroid 5-GGTAGANNNTGTTGT-3, 5-
GGTGANNNTG(A/T)CC-3, dan 5-CAGGGACGTGACCGCA-3. Menariknya ketika
sekuen asam amino dari 8 protein reseptor hormon steroid yang berbeda dibandingkan,
semuanya memiliki susunan yang mirip. Bagian terminal N dari kedelapan protein
bertanggung jawab pada aktifasi ekspresi gen, meskipun kompleks protein reseptor hormon
telah berikatan dengan elemen respon hormon pada bagian enhancer. Wilayah pusat dari
protein reseptor mengandung domain ikatan DNA dan tersusun dari 42-94 % asam amino
antara pasangan berbeda, sedang daerah C-terminal dari protein reseptor mengandung asam
amino 15-57%. Semua steroid hormon mengandung inti kolesterol dengan kelompok sisi yang
berbeda.
Gambar. Diagram Skematik dari Mekanisme Homon Kortikoid yang mengaktifasi
ekspresi gen. Tidak adanya hormon, menyebabkan reseptor glukokortikoid membentuk
kompleks protein yang disebut Hsp90. Ketika terdapat hormon, reseptor glukokortikoid
akan berikatan dengan reseptor protein (Hsp90 dilepaskan) dan kompleks tersebut
masuk ke dalam sel. Kompleks reseptor hormon kemudian berikatan dengan
glucococorticoid response element (GRE) tanpa enhancer yang dekat denga sel target.

ECDISON DAN KROMOSOM PUFF PADA LALAT


Pada kromosom raksasa pada kelenjar ludah spesies lalat seperti Drosophila dan
Chironomus tentans, pita kromosom individu tersebut mengalami perubahan secara morfologi
pada beberapa waktu selama perkembangannya. Pita individual meluas dan membaur, dengan
struktur pewarnaan kurang rapat dimana pita ini disebut puff dan fenomenanya disebut
puffing. Setiap puff mewakili suatu segmen dari kromosom yang cukup untuk memfasilitasi
transkripsi dari gen. Puff ini diketahui mengandung urutan DNA yang komplementer dengan
urutan RNA pada sintesis mRNA sitolasma yang baru. Selama perkembangan lalat, hormone
steroid ecdison dilepaskan dan memicu pergantian kulit. Pola yang sangat spesifik dari
penggelembungan (puffing) kromosom ludah terjadi selama pergantian kulit.
Jika larva D. Melanogaster dan C. Tentans diberi perlakuan dengan ekdison saat tahap
perkembangan sebelumnya atau selama pergantian kulit, pola dari puffing kromosom yang
terjadi akan identik dengan saat pergantian kulit secara alami. Pola induksi dari ekdison
terhadap sekuen puffing membuktikan efek dari hormon steroid pada ekspresi gen.
Selama tahap awal larva dari perkembangan D. melanogaster, puff yang ada sebelum
perlakuan ekdison mulai surut, dan beberapa puff baru terbentuk dalam waktu 5 menit setelah
perlakuan. Gembungan (puff) awal ini bisa muncul sebanyak 100-125 dalam beberapa jam.
Dengan menggunakan inhibitor dari sintesis protein seperti cycloheximide, susunan dari late
puff membutuhkan sintesis protein setelah diberi perlakuan ekdison. Akan tetapi, early puff
terbentuk saat tidak adanya pasca perlakuan sintesis protein. Late ekdison menginduksi pola
penggembungan, yang memicu satu atau lebih protein pengkode yang disintesis gen transkrip
pada early puff. Contoh lain dari efek hormon steroid terhadap ekspresi gen yaitu, pola
penggembungan yang diinduksi ekdison memberikan bukti adanya pola terpogram ekspresi
gen pada eukariotik.

REGULASI DENGAN JALUR ALTERNATIF DARI TRANSKRIP SPLICING


Regulasi terjadi dengan mengubah stabilitas transkrip, melalui transport yang berbeda-
beda pada sitoplasma dan melalui translasi yang berbeda-beda dari proses transkrip. Contoh
dari jalur splicing alternatif yaitu terjadi pada gen tropomyosin Drosophila dan hewan
vertebrata. Tropomiosin terkait dengan protein dimana merupakan perantara dari interaksi
antara aktin dan troponin yang mengatur kontraksi otot. Jaringan yang berbeda antara otot dan
bukan otot dikarakteristikkan dengan kehadiran tropomiosin. Banyak isoform diproduksi dari
gen yang sama oleh splicing alternatif. Contohnya produksi dari 6 isoform tropomyosin yang
berbeda dari 2 gen tropomyosin Drosophila (Tml dan Tmll). Pola trasnkrip splicing
tropomyosin menjadi lebih kompleks pada mamalia, diaman terdapat 10 isoform yang berbeda
yang diturunkan dari satu gen.

REGULASI COMPLEX CIRCUIT DARI EKSPRESI GEN PADA EUKARIOT


Berdasarkan model Britten dan David tentang eksprei gen, gen sensor spesifik mewakili
sekuen binding site yang spesifik (analog dengan CAP-cAMP binding site pada promoter lac
E.coli) yang merespon sinyal spesifik. Ketika gen sensor menerima sinyal sesuai, mereka
mengaktifkan transkripsi pada gen integrator yang berdekatan. Produk gen integrator kemudian
berinteraksi pada urutan cara tertentu dengan gen reseptor. Britten dan David menyatakan
produk gen integrator merupakan activator dari RNAs yang berinteraksi langsung dengan gen
reseptor untuk memicu transkripsi gen producer (analog dengan struktur gen pada operon
prokariotik). Bagaimanapun, tidak akan ada perbedaan ketika produk gen integrator yang aktif
berupa RNA atau protein. Dengan membuat gen reseptor dan gen integrator berlebihan,
kombinasi berbagai gen producer dapat dinyatakan sebagai respon terhadap sinyal yan berbeda.
Bukti langsung menunkukkan bahwa sebagian besr gen strukturan (gen produser) sebagian
besar merupakan sekuan tunggal DNA. Sekuen DNA middle repetitive mengandung berbagai
macam genregulator (sensor, integrator, dan gen reseptor).
Heterogeneous nuclear RNA(hnRNA)memiliki populasi yang lebih kompleks
dibandingkan populasi mRNA. Regulasi terjadi pasca transkripsi selama pemrosesan RNA
yang ada di tahap hn RNA mRNA. Model kedua yaitu Davidson-Britten model, dimana
ekspresi gen diatur pada level pemrosesan RNA. Berdasar model kedua ini banyak dari gen
struktur berlokasi di unit transkripsi konstitutif yang mana ditranskripsi pada tingkat basal
pada semua sel. Transkripsi konstitutif diproses hanya pada sel yang mengandung integrating
regulatory transcript yang tepat. integrating regulatory transcript mengandung sekuen
berualang yang berinteraksi dengan transkripsi gen struktural yang berbeda, dimana lebih
seperti gen integratoryang berinteraksi dengan gen reseptor yang berbeda pada model asli
Britten-Davidson. Kunci perbedaannya adalah regulasi terjadi secara post transkripsi selama
pemrosesan RNApada model baru Britten-Davidson, dibandingkan dengan transkripsi seperti
pada model aslinya.

Pertanyaan
1. Jika larva D. Melanogaster dan C. Tentans diberi perlakuan dengan ekdison saat tahap
pergantian kulit, mengapa pola dari puffing kromosom yang terjadi akan identik dengan
saat pergantian kulit secara alami?
Jawab: karena Selama perkembangan lalat, hormone steroid ecdison dilepaskan yang
memicu pergantian kulit. Apabila larva diberi perlakuan saat sudah mengalami
pergantian kulit dimana kadar hormon ekdison dalam tubuh sudah tinggi maka saat
diberi perlakuan atau tamabahan hormon ekdison tidak akan berpengaruh terhadap
pergantian kulit larva.

2. Apa penyebab perubahan konformasi allosterik pada protein reseptor?


Jawab: Jika hormon tidak ada, maka reseptor protein akan berasosiasi dengan protein
sitoplasma lainnya dan memiliki afinitas yang rendah terhadap DNA. Asosiasi dari
protein sitoplasma mencegah reseptor protein dari pementukan dimer, yang diyakini
aktif dalam pembentukan DNA-binding reseptor. Pengikatan dari hormon
menyebabkan perubahan konformasi allosterik pada protein reseptor sehingga tidak
lagi terikat pada protein sitoplasmik. Protein reseptor kemudian mengalami dimerisasi
menjadi bentuk aktifnya.

Anda mungkin juga menyukai