Anda di halaman 1dari 6

1.

KASUS
Suatu hari seorang dokter jaga IGD di sebuah Rumah Sakit swasta kedatangan
seorang pasien dengan keluhan pada kepalanya mengucur darah segar setelah ia terjatuh dari
sepedanya. Saat datang pertama kali seluruh tubuhnya penuh dengan darah dan pada
kepalanya dibebat dengan menggunakan kain sarung. Setelah ditanya oleh perawat yang
bertugas sebagai admin di IGD, diperoleh informasi dari keluarga pasien bahwa ia tidak
memiliki kartu jaminan kesehatan seperti Askes, Jamsostek maupun kartu asuransi lainnya.
Sementara ia mengaku memang tidak mampu sama sekali untuk membayar biaya rumah
sakit. Rumah sakit menolak untuk mengadakan pemeriksaan atau pengobatan lebih lanjut,
pasien diberi saran untuk di bawa ke Rumah Sakit Umum pemerintah yang letaknya sekitar
15 menit dari RS swasta tersebut. Dengan pertimbangan karena jika kasus tersebut tetap
diselesaikan di RS swasta maka biaya yang dibebankan kepada pasien akan sangat tinggi
karena pasien tersebut tergolong dalam pasien umum tanpa asuransi kesehatan. Namun jika
pasien tersebut dibawa ke RS pemerintah maka tidak akan dikenakan biaya pengobatan
karena telah dijamin pembiayaannya oleh pemerintah.
Analisis
Kejadian tersebut merupakan suatu kejadian tidak diharapkan pada pasien karena
pihak rumah sakit (dokter dan perawat) tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(omission), dan karena pihak rumah sakit tidak memahami Undang-Undang/ peraturan yang
berlaku (UU No. 23 Tahun 1994 Tentang Kesehatan; UU Praktik Kedokteran UU nomor 29
tahun 2004 pasal 51 yang menyatakan bahwa dokter harus melakukan pertolongan darurat
atas dasar perikemanusiaan; Peraturan tentang Kewajiban Medis dan Hak Pasien menurut UU
44/2009 Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur,
dan tanpa diskriminasi; Peraturan tentang Kegawatdaruratan versi UU 36/2009 Pasal 190(1)
Dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam
keadaan gawat darurat yang bisa mengakibatkan kecacatan atau kematian, dan lain
sebagainya). Kesalahan tersebut bisa terjadi dalam tahap diagnostik seperti tidak merespon
ciri simtoma suatu penyakit; tahap preventif seperti tidak segera memberikan terapi /
pertolongan pertama; atau pada hal teknis yang lain seperti kegagalan memahami hak dasar
manusia atau sistem yang lain.
Indikasi Etik
Seharusnya Dokter tidak boleh menolak pasien apalagi dengan kondisi
kegawatdaruratan. Sesuai dengan sumpah Hipokrates yang beberapa poin isinya mengatakan
Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan; Kesehatan
penderita senantiasa akan saya utamakan dan dalam menunaikan kewajiban terhadap
penderita; Saya berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh
pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan, Kesukuan, Politik Kepartaian atau Kedudukan
Sosial seharusnya ia dengan kesadaran diri dapat melakukan tindakan perawatan terhadap
pasien tersebut tanpa melihat apakah pasien tersebut dari golongan mampu ataupun tidak
mampu secara sosial dan finansial. Dalam kasus ini, baik dokter maupun perawat memiliki
kewajiban yang sama dalam menyelamatkan nyawa pasien terlebih dahulu bukannya
menanyakan tentang ada atau tidak adanya asuransi kesehatan lalu menolak untuk melakukan
tindakan medis ketika si pasien tidak memiliki dana untuk pembayaran pengobatan. Setelah
kondisi gawat darurat yang dialami pasien telah tertangani dengan baik dan kondisi pasien
stabil barulah perawat dapat mendiskusikan kepada keluarga pasien tentang proses
administrasi selanjutnya.
Semestinya hal ini juga didukung oleh manajemen RS tersebut dalam upaya
membantu pasien-pasien yang tak memiliki jaminan kesehatan dan dari golongan ekonomi
tidak mampu untuk diberikan pelayanan khusus yang gratis yang biayanya diambil dari dana
tabungan sosial / amal. Jadi bukannya pihak manajemen RS menuntut dokter dan perawat
untuk membayar ganti rugi bila dokter dan perawat membebaskan biaya pengobatan pada
pasien yang miskin tersebut.
Mungkin sikap apatis dari manajemen RS terhadap kasus-kasus seperti ini juga tak
luput dari andil keluarga pasien lainnya yang secara tidak langsung telah mencoreng
kepercayaan manajemen RS terhadap keluarga pasien. Karena tak dapat dipungkiri sebelum
kebijakan ini di tempuh pihak rumah sakit sering kali di tipu oleh keluarga pasien. Dimana
ketika pasien telah selesai dilakukan penanganan dan kondisinya stabil, si keluarga pasien
menolak menyelesaikan biaya administrasi dengan alasan mereka tidak memiliki uang,
padahal sesungguhnya mereka dari keluarga yang cukup berada. Akhirnya, dengan adanya
oknum-oknum keluarga yang seperti ini berimbas pada keluarga pasien lainnya yang
memang benar-benar tidak mampu karena kini manajemen di rumah sakit telah berubah
menjadi mengutamakan masalah administrasi terlebih dahulu daripada pelayanan. Ironis
memang, namun permasalahan ini harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya agar tidak ada
pihak yang merasa dirugikan baik itu dari sisi pasien, tenaga medis (dokter dan perawat)
maupun pihak manajemen RS.

2. KASUS

Terdapat dua sebab kemungkinan terjadinya kecelakaan penanganan medis yang


merupakan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) pada pasien. Pertama, kecelakaan murni yang
disebabkan kesalahan dokter atau kesalahan rumah sakit. Kecelakaan itu bisa dikategorikan
malpraktik. Sedangkan yang kedua adalah kecelakaan medis yang bukan disebabkan oleh
kelalaian dokter. Penyebab yang kedua ini bisa dikarenakan komplikasi yang tidak bisa
dihindari. Misalnya pasien terkena sindrom steven jhonson sehingga kulitnya melepuh karena
memang pasien tersebut alergi terhadap obat tertentu atau bisa juga akibat pasien tidak
mematuhi perintah dokter sehingga timbul komplikasi lain.

Contoh KTD yang merupakan suatu komplikasi dapat terjadi pada pasien coma yang
dirawat lama, dimana pasien harus bedress tetapi petugas pemberi pelayanan sedikit lalai
dalam memberikan perawatan untuk mencegah kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan
kulit pada pasien, seperti terjadinya ulcus peptikum. Atau mungkin kejadian yang tidak
diinginkan bisa saja terjadi pada pasien yang sakitnya telah mengalami komplikasi dimana
tindakan medik untuk mengatasi salah satu penyakitnya malah dapat berakibat fatal pada
penyakitnya yang lain.

PT Kalbe Farma dinyatakan bersalah oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) terkait kasus salah suntik dua pasien Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang pada
Februari 2015. Sebab dalam proses produksi injeksi Buvanest Spinal dan Asam Tranexamat
terjadi mix-up.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Roy Sparingga mengatakan,
mix-up produksi kemungkinan terjadi pada area sekunder. Saat itu, pihaknya telah melakukan
inspeksi ke PT Kalbe Farma selaku produsen obat dan PT Enseval Putera Mega selaku
distributor.

"Setelah inspeksi sistematis yang dilakukan BPOM, ada beberapa potensi mix-up
yang terjadi. Potensi kejadian mix-up terjadi di area pengemasan sekunder, terutama di
bagian visual inspection diproduksi line 6 khusus produksi injeksi," ungkap Roy saat temu
media di Gedung Kementerian Kesehatan RI, Kuningan, Jakarta, Senin (23/3/2015).

Dalam line tersebut terdapat 26 produk khusus injeksi yang diproduksi oleh PT Kalbe
Farma, termasuk jenis Buvanest Spinal, dan Asam Tranexamat. Lebih jelasnya, kemungkinan
dalam produksi itu terjadi proses salah pelabelan pada kemasan sekunder sebelum labeling
antara dua produk yang menyebabkan pasien meninggal dunia.

Melalui kasus ini, BPOM sudah memberi sanksi ke PT Kalbe Farma selaku produsen
berupa pencabutan izin edar dan berhenti produksi untuk seluruh produk injeksi yang ada di
line 6 khusus produksi milik PT Kalbe Farma yang sifatnya sementara.

"Untuk menghilangkan potensi risiko, BPOM memerintahkan menghentikan


pendistribusian terhadap produk line 6, tidak mendistribusikan seluruh produk yang belum
beredar, dan memusnahkan seluruh produk yang sudah diproduksi," tutupnya.

3. KASUS
1) Faktor Petugas/individu

Hubungan antara dokter dan pasiennya secara yuridis dapat dimasukkan ke dalam
golongan kontrak. Suatu kontrak adalah pertemuan pikiran dari dua orang mengenai suatu
hal. Pihak pertama mengikatkan diri untuk memberikan pelayanan, sedangkan pihak kedua
menerima pemberian pelayanan tersebut. Pasien datang meminta kepada dokter untuk
diberikan pelayanan pengobatan, sedang sang dokter menerima untuk memberikannya
(Guwandi, 2003).

Penentuan kapan hubungan dokter dan pasien terjadi adalah sangat penting karena
pada saat itu sang dokter harus memenuhi kewajiban hukum dan timbullah tanggung jawab
terhadap pasiennya. Pada umumnya di dalam banyak hal, mulainya hubungan tersebut sangat
jelas dan nyata. Apabila seorang pasien meminta seorang dokter untuk mengobatinya dan
sang dokter menerimanya, maka saat itu sudah dimulai hubungan kontrak antara dokter
dengan pasien. Namun di dalam beberapa kasus, adalah sukar untuk menentukan saat
dimulainya hubungan tersebut, misalnya dalam kasus seperti di bawah ini:
Seorang pasien terbangun dari tidurnya sebelum pukul 05.00 pagi dengan keluhan
sangat sakit pada dadanya. Ia berpakaian dan diantar istrinya ke rumah sakit. Ia harus berjalan
tiga blok karena tidak ada taksi yang lewat. Setibanya di Instalasi Gawat Darurat dari suatu
rumah sakit, istrinya memberitahukan kepada perawat bahwa suaminya dalam keadaan
sangat sakit dan diduga mendapat serangan jantung dan meminta pertolongan dokter. Sang
pasien memberitahukan kepada perawat tersebut bahwa ia anggota suatu asuransi (Hospital
Insurance Plan). Mendengar keterangan demikian, sang perawat mengatakan bahwa rumah
sakit ini tidak menerima pasien asuransi tersebut.

Sang perawat menelpon seorang dokter yang berada di rumah sakit dan
memberitahukan semua permasalahan tersebut kepadanya. Perawat itu kemudian
menyerahkan telepon itu kepada pasien yang menguraikan sakitnya kepada dokter
bersangkutan. Dokter tersebut mengatakan kepada pasien agar pasien pulang saja terlebih
dahulu dan menunggu sampai kantor Hospital Insurance Plan itu buka dan menghubungkan
dokternya ke pihak asuransi tersebut. Rumah sakit menolak untuk mengadakan pemeriksaan
atau pengobatan lebih lanjut. Setibanya di rumah, pasiennya jatuh di lantai dan meninggal
dunia.

Hakim pengadilan memutuskan bahwa sang dokter telah menerima pasien itu ketika
ia mendengarkan tentang gejala-gejalanya via telepon dan bahwa ia tidak melanjutkan
dengan diagnosisnya dan pemberian pengobatan lebih lanjut, sehingga sang dokter dianggap
telah melakukan penelantaran (abandonment).

Kasus seperti diatas merupakan kejadian tidak diharapkan (KTD) antara tindakan
dokter terhadap pasien di rumah sakit yang disebabkan oleh faktor petugas, yaitu dokter yang
melakukan penelantaran. Kejadian tersebut juga disebabkan oleh faktor kondisi pasien dan
keinginan pasien untuk tetap menggunakan asuransinya.

2) Kondisi pasien

Kondisi pasien yang sudah sangat parah ditambah dengan berbagai penyakit
komplikasi juga dapat menimbulkan kejadian yang tidak diharapkan. Pihak keluarga pasien
yang melihat kondisi pasien dalam keadaan parah menginginkan pelaksanaan suatu tindakan
medik yang padahal tindakan tersebut mengandung risiko yang cukup fatal. Dalam kasus
seperti ini barulah dokter merasakan arti pentingnya pelaksanaan informed
consent (persetujuan tindakan medik) yang sangat sering dianggap sepele oleh pihak pemberi
pelayanan ataupun pihak pasien dan keluarganya. Sebelum dokter melakukan tindakan medik
yang diinginkan pasien ataupun keluarganya walaupun tindakan tersebut berisiko cukup fatal,
dokter memberikan penjelasan dan dibuktikan secara hitam diatas putih melalui pengisian
dan penandatanganan lembar informed consent. Dengan adanya bukti lembar informed
consent yang telah diisi dan ditangdatangani oleh dokter yang bertanggung jawab, pasien atau
keluarga/walinya, saksi dari rumah sakit dan saksi dari pihak pasien, maka apabila terjadi
sesuatu yang tidak diharapkan terhadap pasien tidaklah menjadi tanggung jawab dokter
ataupun pihak pemberi pelayanan kesehatan. Kondisi pasien yang parah dengan komplikasi
dan risiko tinggilah yang dianggap sebagai penyebab terjadinya sesuatu yang tidak
diinginkan tersebut. Namun dokter ataupun pihak pemberi pelayanan kesehatan haruslah
tetap menjalankan tindakan medik yang diinginkan pasien dan pihak keluarganya tersebut
dengan benar, sesuai dengan SOP (standard operational procedure) dari tindakan tersebut,
dan tanpa kelalaian.

Kejadian yang tidak diinginkan (KTD) bisa juga terjadi bukan akibat dari kelalaian
tim medis. Ada beberapa penyebab kejadian yang tidak diinginkan, antara lain pasien tidak
mematuhi instruksi dokter, pasien terlambat dibawa ke dokter, adanya alergi yang tidak
diketahui sebelumnya, kata Direktur Administrasi Rumah Sakit Pluit J Guwandi, dalam
seminar bertema Hukum untuk Dokter, Sabtu (8/9), di RS Gading Pluit, Jakarta Utara.

Anda mungkin juga menyukai