Ars. B. Budaya (Buton)
Ars. B. Budaya (Buton)
SOSIAL SOSIAL
OLEH :
MUHAMMAD JAYADIN
FAKULTAS TEKNIK
KENDARI
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Buton adalah sebuah pulau yang berada di provinsi Sulawesi Tenggara. Di pulau ini
terdapat 4 kabupaten yaitu Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kota Bau-Bau dan
Kabupaten Buton. Kabupaten Buton merupakan wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Buton
yang wilayahnya mencakup sebagian wilayah pulau Muna dan seluruh Pulau Kabaena.
Kerajaan Buton berdiri sejak tahun 1332 Masehi, pemimpin pertamanya adalah seorang ratu
bergelar Ratu Wa Kaa Kaa, kemudian Ratu Bolawombana dan Raja Batara Guru. Kerajaan
buton sendiri didirikan atas kesepakatan golongan yang datang bergelombang, gelombang
petama yang datang adalah golongan dari Kerajaan Sriwijaya, gelombang kedua adalah
golongan kekaisaran China dan gelombang tiga adalah golongan dari Kerajaan Majapahit.
Kerajaan Buton berubah mejadi kerajaan Islam pada abad ke 16. Pasca itu perkembangan
agama Islam berkembang pesat di wilayah buton dan sekitarnya. Masyarakat Buton sendiri
terdiri berbagai suku bangsa.
Ke Khas-an Budaya Buton bahwa Pemerintahan Raja dan Sultan di Buton tidak
bersifat mutlak dan turun-temurun seperti di Cina, Jawa atau kerajaan melayu lain, namun
melalui prinsip pemilihan yang dilakukan oleh Dewan/Sara yang menerapkan prinsip
musyawarah.
Wujud akulturasi dalam sistem pemerintahan juga terlihat dalam sistem
kemasyarakatan, yaitu adanya pembagian lapisan masyarakat berdasarkan sistem
kasta/golongan.
Sistem kasta menurut kepercayaan Hindu terdiri dari kasta Brahmana, kasta Ksatria,
kasta Waisya dan kasta Sudra. Kasta-kasta tersebut juga berlaku atau dipercayai oleh
masyarakat Buton tetapi tidak sama persis dengan kasta-kasta yang ada di India/jawa/bali
karena disana benar-benar diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, sedangkan di Buton
tidak demikian, karena di Buton kasta hanya diterapkan pada sistem pemerintahan dan ritual
keagamaan saja.
2. Rumusan masalah
1) Apa saja golongan kasta sosial yang ada di Kesultan Buton
2) Apa Pengaruh kasta terhadap bentuk rumah adat di Kesultan Buton
3. Tujuan
1) Untuk mengetahui golongan kasta di Kesultanan Buton
2) Untuk mengetahui pengaruh kasta terhadap rumah tinggal atau rumah adat di
Kesultanan Buton
BAB II
PEMBAHASAN
Banua tada merupakan rumah tempat tinggal suku Wolio[1] atau orang Buton di
Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Kata banua dalam bahasa setempat berarti rumah
sedangkan kata tada berarti siku. Jadi, banua tada dapat diartikan sebagai rumah siku.
Berdasarkan status sosial penghuninya, struktur bangunan rumah ini dibedakan menjadi
tiga yaitu kamali, banua tada tare pata pale, dan banua tada tare talu pale. Kamali atau
yang lebih dikenal dengan nama malige berarti mahligai atau istana, yaitu tempat tinggal
raja atau sultan dan keluarganya. Banua tada tare pata pale yang berarti rumah siku
bertiang empat adalah rumah tempat tinggal para pejabat atau pegawai istana. Sementara
itu, banua tada tare talu pale yang berarti rumah siku bertiang tiga adalah rumah tempat
tinggal orang biasa (Berthyn Lakebo, 1986:65).
Bentuk rumah adat tradisional orang Buton diibaratkan tubuh manusia yang memiliki
kepala, badan, kaki, dan hati. Bagian kepala dianalogikan dengan atap rumah, badan
dianalogikan dengan badan rumah, kaki dianalogikan dengan bagian bawah atau kolong
rumah, dan hati dianalogikan dengan pusat rumah. Menurut keyakinan orang Buton, hati
merupakan titik sentral tubuh manusia. Dengan demikian, sebuah rumah juga harus memiliki
hati. Itulah sebabnya dalam masyarakat Buton terdapat sebuah tradisi memberi lubang rahasia
pada salah satu kayu terbaiknya yang kemudian digunakan sebagai tempat untuk menyimpan
emas. Lubang rahasia tersebut dianggap sebagai simbol pusar yang merupakan titik sentral
tubuh manusia sementara emas adalah simbol hati rumah tersebut
(http://orangbuton.wordpress.com).
Sistem kasta menurut kepercayaan Hindu terdiri dari kasta Brahmana, kasta Ksatria, kasta
Waisya dan kasta Sudra. Kasta-kasta tersebut juga berlaku atau dipercayai oleh
masyarakat Buton tetapi tidak sama persis dengan kasta-kasta yang ada di India/jawa/bali
karena disana benar-benar diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, sedangkan di
Buton tidak demikian, karena di Buton kasta hanya diterapkan pada sistem pemerintahan
dan ritual keagamaan saja. Adapun penggolongan tersebut yaitu:
1. Kaomu atau Kaumu (kaum ningrat/bangsawan) keturunan dari raja Wa Kakaa.
Raja/Sultan dipilih dari golongan ini.
2. Walaka, (elit penguasa) iaitu keturunan menurut garis bapak dari Founding
Fathers Kerajaan buton (mia patamiana). Mereka memegang jabatan penting di
Kerajaan seperti mentri dan juga dewan. Mereka pula yang menunjuk siapa yang akan
menjadi Raja/Sultan berikutnya.
3. Papara atau disebut masyarakat biasa yang tinggal di wilayah kadie (desa) dan
masih merdeka. Mereka dapat dipertimbangkan untuk menduduki jabatan tertentu di
wilayah kadie, tetapi sama sekali tidak mempunyai jalan kepada kekuasaan di pusat.
4. Babatua (budak), orang yang hidupnya bergantung terhadap orang lain/memiliki
utang. meraka dapat diperjualbelikan atau dijadikan hadiah
5. Analalaki dan Limbo. Mereka adalah golongan kaomu dan walaka yang
diturunkan darajatnya kerana melakukan kesalahan sosial dan berlaku tidak pantas
sesuai dengan status sosialnya.
Sebagai peninggalan kesultanan Buton, rumah adat Kamali atau Malige inilah yang lebih
dikenal sebagai Rumah Adat Sulawesi Tenggara. Di Malige sendiri terdapat simbol-simbol
dan hiasan yang banyak dipengaruhi oleh konsep dan ajaran tasawuf. Simbol dan hiasan
tersebut melambangkan nilai-nilai budaya, kearifan lokal dan cerita dari peradaban
kesultanan Buton di masa silam.
Material Rumah
Material utama yang digunakan dalam pembangunan Rumah Adat Sulawesi Tenggara ini
adalah kayu pohon nangka, jati, dan bayem, baik itu untuk tiang, dinding, pasak, tangga dan
rangka atap. Selain itu digunakan pula bambu yang telah direndam dalam air laut untuk
lantai, serta daun rumbia atau nipa untuk atap rumah.
Konstruksi Rumah
Terdapat beberapa perbedaan pada ketiga jenis Banua Tada. Perbedaan mencolok terlihat
pada bangunan Kamali/Malige. Hal ini bertujuan sebagai penanda kebesaran dan keagungan
sultan/raja sebagai pemimpin, pengayom dan pelindung rakyat.
1. Lantai pertama terdiri dari 7 petak atau ruangan, ruangan pertama dan kedua
berfungsi sebagai tempat menerima tamu atau ruang sidang anggota Hadat Kerajaan
Buton. Ruangan ketiga dibagi dua, yang sebelah kiri dipakai untuk kamar tidur tamu,
dan sebelah kanan sebagai ruang makan tamu. Ruangan keempat juga dibagi dua,
berfungsi sebagai kamar anak-anak Sultan yang sudah menikah. Ruang kelima
sebagai kamar makan Sultan, atau kamar tamu bagian dalam, sedangkan ruangan
keenam dan ketujuh dari kiri ke kanan dipergunakan sebagai makar anak perempuan
Sultan yang sudah dewasa, kamar Sultan dan kamar anak laki-laki Sultan yang
dewasa.
2. Lantai kedua dibagi menjadi 14 buah kamar, yaitu 7 kamar di sisi sebelah kanan dan 7
kamar di sisi sebelah kiri. Tiap kamar mempunyai tangga sendiri-sendiri hingga
terdapat 7 tangga di sebelah kiri dan 7 tangga sebelah kanan, seluruhnya 14 buah
tangga. Fungsi kamar-kamar tersebut adalah untuk tamu keluarga, sebagai kantor, dan
sebagai gudang. Kamar besar yang letaknya di sebelah depan sebagai kamar tinggal
keluarga Sultan, sedangkan yang lebih besar lagi sebagai Aula.
3. Lantai ketiga berfungsi sebagai tempat rekreasi.
4. Lantai keempat berfungsi sebagai tempat penjemuran. Di samping kamar bangunan
Malige terdapat sebuah bangunan seperti rumah panggung mecil, yang dipergunakan
sebagai dapur, yang dihubungakan dengan satu gang di atas tiang pula. Di anjungan
bangunan ini dipergunakan sebagai kantor anjungan. Pada bangunan Malige terdapat
2 macam hiasan, yaitu ukiran naga yang terdapat di atas bubungan rumah, serta ukiran
buah nenas yang tergantung pada papan lis atap, dan di bawah kamar-kamar sisi
depan. Adapun kedua hiasan tersebut mengandung makna yang sangat dalam, yakni
ukiran naga merupakan lambang kebesaran kerajaan Buton. Sedangkan ukiran buah
nenas, dalam tangkai nenas itu hanya tumbuh sebuah nenas saja, melambangkan
bahwa hanya ada satu Sultan di dalam kerajaan Buton. Bunga nenas bermahkota,
berarti bahwa yang berhak untuk dipayungi dengan payung kerajaan hanya Sultan
Buton saja. Nenas merupakan buah berbiji, tetapi bibit nenas tidak tumbuh dari bibit
itu, melainkan dari rumpunya timbul tunas baru. Ini berarti bahwa kesultanan Buton
bukan sebagai pusaka anak beranak yang dapat diwariskan kepada anaknya sendiri.
Falsafah nenas ini dilambangkan sebagai kesultanan Buton, dan Malige Buton mirip
rongga manusia.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Keberadaan rumah adat Banua Tada ini merupakan salah satu bukti bahwa orang
Buton telah menunjukkan eksistensi mereka sebagai salah satu suku yang memiliki sistem
pengetahuan, keyakinan, dan adat-istiadat atau yang disebut dengan kebudayaan. Terlepas
dari apa dan bagaimana bentuk kebudayaan tersebut, hasil kreasi masyarakat Buton ini sangat
patut untuk dihargai dan dilestarikan. Dalam hal ini, tentu saja peran pemerintah dan
masyarakat Buton serta seluruh masyarakat pada umumnya sangat diperlukan untuk
melestarikan dan mengembangkan arsitektur tradisional orang Buton agar tidak lekang
dimakan zaman.
2. Saran
Marilah kita secara bersama-sama menjaga kelestarian adat budaya terutam rumah adat yang
sudah ada dari zaman dahulu. Budaya merupakan cerminan dari kita sendiri. Jika kita dapat
menjaga adat dan kebudayaan tersebut maka kita dapat menunjukan ciri khas dari
kebudayaan tersebut.