Anda di halaman 1dari 17

RUANG YANG BERKEADILAN

DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

DISUSUN OLEH:
Reza Dwi Mulya 14/367189/TK/42387
Puteri Kintan P. 14/367207/TK/42396
Rahmawati Utami 14/367218/TK/42404
Fandi Pradana 14/367220/TK/42405
Sukma Aditya Nugraha 14/367227/TK/42407
Usa Fakhri 14/367231/TK/42410
Muhammad Irfan 14/367262/TK/42426
Tikasari Afnani Z. 14/367282/TK/42440
Nadia Fauziah Rahmah 14/367312/TK/42456
Kevin Daniel Mangasi 14/369257/TK/42616
Ni Luh Putu Hendiliana D. 14/369371/TK/42626
Rifqi Arrahmansyah 14/369531/TK/42632
Pandu Setiabudi 14/369704/TK/42659
Beatrix Thesha S. 14/359719/TK/42662
Muhammad Abyan Rizqo 15/385340/TK/44002

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2015
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Perencanaan tata ruang merupakan salah satu wujud untuk memenuhi
kebutuhan seluruh lapisan masyarakat secara berkeadilan. Kebutuhan berupa
ruang yang mampu memberikan rasa nyaman dan aman tanpa terjadinya
segregasi ataupun disparitas antar penggunanya. Mewujudkan suatu ruang
yang dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat merupakan langkah yang
tepat untuk menhidupkan hubungan sosial yang harmonis antar lapisan
masyarakat.
Namun pada kenyataannya, masih banyak ditemukan segregasi
ataupun disparitas dalam implementasi dari rencana tata ruang di Indonesia.
Jika dilihat dari sisi ekonomi dan sosial, Koefisien Gini Indoneisa
menunjukkan bahwa terjadi gap yang cukup besar antara penghasilan
pekerjaan yang satu dengan yang lain. Hal tersebut yang menyebabkan
terbentuknya tingkatan strata di dalam masyarakat. Kemudian terjadi
keberpihakan tata ruang yang cenderung terhadap masyarakat berpenghasilan
menengah keatas. Padahal di dalam UU No 26 Tahun 2007 Bab II Pasal 2,
disebutkan bahwa perencanaan tata ruang berasaskan keadilan, berarti
seharusnya perencanaan tata ruang tidak memiliki keberpihakan tertentu
terhadap siapapun.
Kemudian dari sisi gender, pada masa sekarang ini, mulai terjadi
pergeseran peran dan bias gender. Ruang- ruang yang dulunya disungsikan
secara maskulin kini mulai diisi dan digunakan oleh perempuan. Tren
munculnya emansipasi wanita memunculkan berbagai masalah yang harus
diselesaikan secara berkeadilan. Perempuan bekerja dan bepergian sama
banyaknya dengan yang dilakukan laki-laki, dan menggunakan ruang sama
banyaknya dengan laki-laki. Namun, ruang-ruang yang telah terbentuk
seringkali memberikan rasa tidak nyaman dan tidak aman bagi perempuan.
Pelecehan seksual pada perempuan ketika menggunakan transportasi publik
ataupun ketika berjalan pada ruang-ruang yang pencahayaannya kurang adalah
contoh dari ketidaknyamanan dan ketidakamanan yang menimpa perempuan
akibat ruang-ruang maskulin.
Kondisi ini kemudian memunculkan gerakan feminisme sebagai
sebuah resistance terhadap kenyataan yang ada, yaitu bahwa perempuan
secara tidak langsung menjadi inferior akibat pola-pola ruang yang tercipta.
Keprihatinan ini kemudian memunculkan sebuah wacana yang dikenal
dengan konsep ruang feminis. Konsep ini secara garis besar membahas
bagaimana menciptakan sebuah ruang berikut infrastrukturnya yang
dapat mengakomodasi kegiatan perempuan.
Kemudian jika dilihat dari masyarakat difabel, juga terjadi adanya
segregasi. Difabilitas merupakan sebuah takdir yang diberikan oleh Tuhan
terhadap manusia yang tidak bisa ditolak. Namun, itu semua bukanlah sebuah
penghambat seseorang untuk terus menjalani hidupnya. Tapi bagaimana kita
sebagai orang yang tergolong normal dari segi fisik maupun psikis menyikapi
mereka, kaum difabilitas? Difabilitas bukan orang yang harus dihindari
bahkan disingkirkan. Mereka adalah orang-orang yang harus diberikan
perhatian lebih.
Jika kita mengintip ke ruang publik, saat ini banyak fasilitas publik
yang masih dikatakan belum bisa memanusiakan mereka, kaum difabilitas.
Perlu adanya identifikasi lebih lanjut terkait hal itu. Hal ini bertujuan agar
ruang publik tidak hanya tentang mereka yang punya fisik dan psikis normal,
namun juga mereka para kaum difabilitas. Dengan begitu ruang publik dan
fasilitas publik dapat bersifat universal dan tanpa adanya diskriminasi lagi.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana wujud ruang yang berkeadilan secara ekonomi dan sosial?
1.2.2 Bagaimana wujud ruang yang berkeadilan antara perempuan dan laki
laki (gender)?
1.2.3 Bagaimana wujud ruang yang berkeadilan bagi masyarakat difabel?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Mengetahui wujud ruang yang berkeadilan secara ekonomi dan
sosial.
1.3.2 Mengetahui wujud ruang yang berkeadilan antara perempuan dan
laki-laki.
1.3.3 Mengetahui wujud ruang yang berkeadilan bagi masyarakat difabel.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 OBJEK FORMAL


Dalam kehidupan setiap manusia pasti tidak akan mampu hidup
dengan memenuhi kebutuhannya sendiri mereka pasti membutuhkan orang
lain untuk mampu mencukupi kebutuhan primer, sekunder maupun tersier.
Oleh karena itulah manusia disebut sebagai mahluk sosial yang dalam
kehidupannya saling melengkapi satu sama lain. Dan implementasinya tidak
sebatas itu saja akan tetapi juga dengan menghargai hak orang lain dan juga
memenuhi kewajibannya sehingga mampu terciptanya keadilan dalam
kehidupan sosial-masyarakat. Keadilan berasal dari kata adil yang dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti samaberat, tidak berat sebelah, tidak
memihak, dan tidak sewenang-wenang. Sedangkan Keadilan sosial diartikan
dengan kerjasama untuk menghasilkan masyarakat yang bersatu secara
organis sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama
dan nyata untuk tumbuh dan belajar hidup pada kemampuan aslinya. Semua
itu tertuang dalam Pancasila sila ke-5 yang berbunyi Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia yang butir-butir pengamalannya terdapat dalam
Tap MPR no. I/MPR/2003, yang isisnya sebagai berikut :
1. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan
suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4. Menghormati hak orang lain.
5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
6. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan
terhadap orang lain.
7. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan
dan gaya hidup mewah.
8. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan
kepentingan umum.
9. Suka bekerja keras.
10. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan
dan kesejahteraan bersama.
11. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang
merata dan berkeadilan sosial.

2.2 OBJEK MATERIAL


Sebuah ruang perlu untuk ditata untuk mencapai kehidupan masyarakat
yang harmonis, baik antar masyarakat itu sendiri maupun terhadap lingkungan
sekitar. Di dalam undang-undang no. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang telah
menggariskan bahwa prinsip di dalam penataan ruang hidup adalah menuju
kepada keadilan dan kemakmuran masyarakat di dalamnya. Berkeadilan dapat
dilihat dari berbagai sisi dan berbagai bidang, seperti berkeadilan secara hukum
itu sendiri, berkeadilan dalam hal kesetaraan ataupun pengutamaan gender,
keadilan dalam bidang ekonomi dan sosial masyarakat, serta pada akhirnya
berkeadilan bagi masyarakat yang memiliki kebutuhan khusus atau difable.
Ruang yang adil adalah ruang yang dapat menampung masyarakat dalam
segala aktivitas dan kegiatan, menguntungkan semua pihak, dan tidak memihak
pada salah satu sudut. Perencanaan tata ruang adalah sebuah perwujudan untuk
memenuhi kebutuhan dari semua lapisan masyarakat yang berkeadilan. Proses
perencanaan melibatkan para pemangku kepentingan seperti
pemerintah,perencana,swasta maupun pihak terkaitlainnya. Proses perencanaan
pembangunan yang berkeadilan dapat diwujudkan melalui beberapa tipe
perencanaan seperti :
Perencanaan Advokasi (Advocacy Planning)
Perencanaan advokasi menitikberatkan pada keadilan dalam
perencanaan, di mana perencanaan tidak hanya mendukung pihak yang
dianggap kuat saja, namun juga harus mendukung pihak yang lemah. Konsep
ini muncul dari praktik hukum yang berimplikasi pada sanggahan/perlawanan
yang muncul dari pihak yang sedang terlibat suatu persaingan.
Perencanaan Gender (Gender Planning)
Perencanaan gender memiliki fokus pada tuntutan keadilan terhadap
kesetaraan gender, di mana dalam hal ini kaum perempuan dinilai sebagai
kaum yang lebih lemah dan lebih rentan terhadap isu ini dibanding kaum laki-
laki. Selain itu, dalam konsep ini juga ditekankan bahwa kebutuhan tiap
gender adalah berbeda, sehingga dibutuhkan perhatian khusus untuk kaum
perempuan. Salah satu impelentasi dari perencanaan ini adalah
direncanakannya ruang khusus untuk wanita dengan berbagai macam alasan
tertentu.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Sumber dan Jenis Data


Data-data yang digunakan dalam penyusunan makalah ini berasal dari
beberapa literatur pustaka yang memiliki kaitan dengan masalah yang
dibahas. Referensi yang digunakan dalam pengumpulan data bersumber dari
buku dan internet dengan tingkat validitas yang dapat dipercaya.

3.2 Pengumpulan Data


Metode penulisan bersifat studi pustaka. Informasi berasal dari berbagai
macam literatur dan disusun berdasarkan hasil studi dari informasi yang
diperoleh. Penulisan saling terkait antara satu bagian dengan yang lainnya dan
memiliki kesesuaian dengan topik permasalahan yang dibahas.

3.3 Analisis Data


Data yang telah diperoleh kemudian diseleksi dan diurutkan sesuai topik
kajian. Setelah itu, dilakukan penyusunan makalah berdasarkan data yang
logis dan sistematis. Teknik analisis data bersifat deskriptif analitik dan
analisis argumentatif kualitatif. Pemaparan permasalahan dilakukan pertama
kali, setelah itu masuk ke tahap analisa data kualitatif dengan penjabaran
deskriptif, yang kemudian dilengkapi dengan argumentasi terhadap
permasalahan yang ada untuk memperkuat analisa data.

3.4 Penarikan Kesimpulan


Kesimpulan diperoleh setelah merujuk kembali pada rumusan
masalah, tujuan penulisan, dan pembahasan. Kesimpulan yang diperoleh
merupakan bentuk dari pokok bahasan makalah yang dilengkapi dengan saran
sebagai rekomendasi atas permasalahan yang ada.
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Tata Ruang Dalam Konteks Gender


Implentasi ruang yang berkeadilan merupakan suatu keharusan yang
hendaknya dicapai dan diterapakan dari berbagai tingkatan spasial. Khususnya
penciptaan ruang yang berkeadilan dari segi gender ruang feminis dan ruang
maskulin. Pancasila sila ke-5, menyatakan bahwa keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia. Dimana keadilan yang termuat dalam Pancasila tidak
memandang salah satu sisi, tapi berupaya menciptakan suatu keadaan yang
setimbang, tidak berat sebelah. Dalam konteks bahasan mewujudkan ruang
yang berkeadilan dari segi gender memunculkan pergerakan-pergerakan
perlawanan guna menciptakan ruang-ruang feminis karena dorongan dari
berbagai masalah ruang maskulin yang cenderung menciptakan kondisi tidak
aman dan nyaman bagi perempuan.
Secara umum, isu spasial dalam perspektif kaum feminis mencakup
beberapa aspek seperti yang diutarakan Campbell dan Fainstein (1996),
yaitu :
1. Adanya perbedaan penggunaan ruang publik oleh laki-laki dan perempuan
2. Adanya ancaman terhadap keamanan dari tiap individu dalam
melakukan aktivitasnya di kota
3. Adanya diskriminasi struktural terhadap perempuan dalam
perkembangan ekonomi
4. Adanya pola transportasi tertentu yang dilakukan perempuan yang perlu
diperhatikan dalam perencanaan kota.
Dari berbagai pandangan diatas terhadap ruang yang cenderung tidak
adil terhadap perempuan, mendorong munculnya gerakan peduli ruang untuk
kaum feminis yang dikenal dengan istilah Gender Planning. Dalam gender
planning, perencanaan kota tidaklah netral dari gender. Adanya perbedaan
kebutuhan laki-laki dan perempuan tentunya juga berimplikasi pada
perbedaan kebutuhan ruang dan seharusnya perencanaan kota dapat
mengakomodasi adanya perbedaan tersebut. Di Indonesia, gender planning
mulai diterapkan di bidang kebijakan dengan penyediaan kuota 30% bagi
keterwakilan perempuan di dewan legislatif. Namun demikian, kuota 30%
keterwakilan tersebut belum membawa pengaruh yang signifikan dalam
pembuatan kebijakan pembangunan yang sensitif terhadap isu gender dan
keberpihakan terhadap perempuan. Seiring perjalanan jaman mendorong
munculnya kesadaran dalam masyarakat betapa pentingnya ruang yang
berkeadilan bagi perempuan karena kaum feminis sering menjadi object
kriminalitas dalam mengakses kebutuhan ruang. Sebagai bentuk keadilan
terhadap perempuan, kini pemerintah telah menerapkan kebijakan guna
menciptakan ruang yang perkeadilan guna menciptakan ruang yang aman dan
nyaman bagi perempuan. Seperti; gerbong wanita, ruang menyusui,
transportasi umum khusus wanita, toilet wanita dan lain sebagainya.

4.2 Tata Ruang dalam Konteks Ekonomi Sosial


Tata ruang yang berkeadilan merupakan suatu idealisme yang hendaknya
diterapkan dari tingkat nasional, regional, sampai lokal. Khususnya berkeadilan
dari segi ekonomi dan sosial masyarakat. Sesuai dengan Pancasila Sila ke-5,
bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali. Keadilan
yang dimaksud ialah tidak berat sebelah, dalam hal ini perencanaan tata ruang
yang adil bagi masyarakat ekonomi menengah ke atas dan masyarakat ekonomi
menengah ke bawah. Mewujudkan pembangunan yang berkeadilan, serta
menciptakan ruang yang harmonis.
Pada tingkat regional khususnya Kota Jogja, perencanaan pembangunan
akhir-akhir ini semakin brutal. Bahkan sampai sebagian Kabupaten Sleman
tercaplok sebagai kawasan aglomerasi Kota Jogja, yang mana berimbas pada
pembangunan hotel, villa yang yang semakin marak. Dimana ini bertentangan
dengan fungsi Kabupaten Sleman sebagai area resapan air. Lalu apa
hubungannya pembangunan yang brutal dengan keadilan yang dimaksud?
Coba kita lihat pembangunan yang akhir-akhir menjamur ialah bengunan besar,
bengan mewah, siapa yang menikmati ini semua? Yaitu masyarakat ekonomi
menengah ke atas. Lalu mana ruang bagi masyarakat ekonomi menengah
bawah untuk kehidupan sosial? Inilah mengapa keadilan dalam perencanaan
tata ruang perlu ditegakkan. Ruang Terbuka Hijau Publik (RTHP) yang
seharusnya menjadi tempat yang siapapun dapat menikmati ruang tersebut,
justru tidak terwujudkan dengan baik. jika terus saja pembangunan brutal
tersebut berlanjut tanpa ada intervensi pemerintah dalam manajemen guna
lahannya, bukan tidak mungkin RTHP di Kota Jogja akan lenyap.
Lalu bagaimana mewujudkan ruang yang berkeadilan? Ada salah satu
teori perencanaan yang berkenaan dengan advokasi, yaitu Advocacy Planning.
Adanya Advocacy Planning ini dapat diterapkan dalam perencanaan
pembangunan untuk mewujudkan ruang yang berkeadilan. Bagaiman bisa
demikian? Dalam kasus ini, adanya segregasi antara lapisan masyarakat
ekonomi menengah atas dan ekonomi menengah bawah dapat diminimalisasi,
yakni dengan sikap kepekaan seorang perencana, swasta, serta stakeholder
terkait terhadap kebutuhan masyarakat ekonomi menengah ke bawah, karena
sejauh ini dipandang perencana ruang cenderung mengutamakan kepentingan
masyarakat ekonomi atas. Dalam praktiknya perlu payung hukum yang jelas
juga untuk menegakkan Advocacy Planning ini.

4.3 Ruang Ramah Difabel


Sila ke lima yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
tentulah mengandung begitu banyak arti, keadilan bukan berarti semuanya
mendapatkan sama banyak, sama bagus, sama susah dan sebagainya. Adil
berarti sesuai dengan porsinya. Mereka yang berusaha lebih berhak
mendapatkan yang lebih, mereka yang kekurangan berhak untuk dibantu.
Begitu pula dengan penataan ruang yang berkeadilan. Perencanaan penataan
ruang haruslah berkadilan atau memihak pada semua elemen masyarakat, baik
yang kaya atau yang miskin. Baik dia pria atau wanita, baik dia yang sempurna
kondisi fisiknya maupun mereka yang berkebutuhan khusus.
Namun kenyatannya yang terjadi tidaklah seperti yang diharapkan. Masih
banyak ruang-ruang publik, sarana dan prasarana yang kurang ramah terhadap
mereka yang berkebutuhan khusus. Masih banyak ruang-ruang publik, sarana
dan prasarana yang kurang bisa membuat mereka yang berkebutuhan khusus
menjadi lebih mandiri. Kondisi jalur khusus pejalan kaki misalnya, masih
banyak pedestrian way atau jalur pejalan kaki yang tidak memberikan jalur
khusus untuk penyandang tuna netra, kondisi jalur pejalan kaki yang rusak,
bahkan sering kondisi lebih buruk kita temui di jalur-jalur pejalan kaki , yang
mana saat ini malah dijadikan lahan parkir roda 2 karena permintaan akan
lahan parkir yang kian bertambah namun tidak diimbangin dengan penyedian
lahan parkir.
Contoh lain yakni kondisi halte bus trans jogja yang posisinya relatif
lebih tinggi dari jalur pejalan kaki, bagi mereka yang penyandang tuna daksa
tentunya bukan hal yang mudah untuk menaiki anak tangga yang ada di halte
tersebut.
BAB V
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
Indonesia merupakan Negara yang unik karena memiiki dasar Negara
yang merupakan satu-satunya di dunia. Dasar Negara Indonesia yaitu
Pancasila merupakan acuan kita dalam berkehidupan.Sila-sila dalam Pancasila
memiliki maknanya masing masing. Sila kelima yaitu Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia sangat penting untuk diterapkan dalam kehidupan
tak terkecuali dalam penataan ruang. Dalam penataan ruang harus
memperhatikan aspek keadilan bagi seluruh golongan masyarakat baik secara
ekonomi, soaial, gender maupun bagi masyarakat berkebutuhan khusus.
Fenomena pada saat ini yang berupa segregasi/diskriminasi bagi
kelompok masyarakat tertentu semakin terlihat. Segregasi dari segi ekonomi
dan sosial merupakan fenomena yang paling jelas terlihat. Pembangunan kini
lebih banyak berpihak kepada kaum menengah keatas seperti pembangunan
mall,hotel villa dan sebagainya. Keberadaan ruang public terkadang tidak
terlalu diperhatikan.Ruang-ruang public seperti RTHP (Ruang Terbuka Hijau
Publik) merupakan salah satu wujud dari ruang yang berkeadilan bagi segala
golongan karena ruang ini dapat dimanfaatkan oleh segala golongan ekonomi
tanpa terkecuali.
Berkeadilan berdasakan gender juga merupakan isu yang saat hangat saat
ini. Perwujudan ruang bagi kaum perempuan khususnya sudah sebaiknya
diterapakan mengingat bahwa kebutuhan perempuan dan laki-laki memiliki
sedikit perbedan. Wujud ruang yang berkeadilan seperti gerbong khusus
wanita,ruang menyusui , transportasi umum dan sebagainya diharapkan
mampu mewujudkan rasa aman dan nyaman bagi kaum perempuan.
Keberagaman dalam kehidupan tidak bisa begitu saja disamakan.
Beberapa saudara-saudara kita merupakan golongan masyarakat berkebutuhan
khusus,sehingga memerluakan ruang yang khusus pula. Masyarakat
berkebutuhan khusus memerlukan bentukan ruang yang agak sedikit berbeda
seperti misalnya jalur pedestrian yang didesain untuk kaum tunanetra dan
halte yang sesuai untuk kaum tuna daksa.
Nilai-nilai Pancasila sangat tepat untuk dijadikan salah satu
pertimbangan dalam perencanaan tata ruang di Indonesia agar tercipta
kehidupan yang harmonis dan berkeadilan bagi seluruh golongan masyarakat.

5.2 SARAN
Pemerintah seharusnya berperan aktif dalam perwujudan keadilan di
Indonesia, salah satunya adalah dengan menyediakan ruang-ruang yang
ditujukan tidak hanya untuk kaum mayoritas tetapi juga untuk kaum
minoritas.
DAFTAR PUSTAKA

UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang


Hidayati, Isti. 2014. Feminisme dan Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Jurusan
Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah
Mada
Admin.2015(dalam http://mediatataruang.com/2015/08/tangkap-dan-
penjarakan-para-pelaku-kejahatan-tata-ruang/diakses pada tanggal 26
November 2015 pukul 12:44 WIB)
Gemysa,Deby.2013(dalam,http://www.kompasiana.com/bebefaradiba/imple
mentasi-sila-kelima-keadilan-sosial-bagi-seluruh-rakyat-
indonesia_552fcb6b6ea8344b3e8b4567 diakses pada tanggal 26 November
2015 pukul 16:01 WIB)
Anonim.2014. (dalam http://www.apc.org/en/node/9456 diakses pada
tanggal 26 November 2015 pukul 17:51 WIB)
www.ilo.org diakses pada tanggal 26 November 2015 pukul 18:23 WIB)
www.partizipation.at/advocacy-planning.html diakses pada tanggal 26
November 2015 pukul 18:53 WIB
psppr.ugm.ac.id diakses pada tanggal 26 November 2015 pukul 19.43 WIB
LAMPIRAN

Pertanyaan
1. Fajar : Apakah keadilan sosial bisa tercipta hanya dengan desain ruang
atau penyediaan fasilitas semata? Padahal kan keadilan juga berkaitan
dengan mindset seseorang.
2. Santi : Gimana kalo toilet di mall, kan ada toilet umum dan toilet khusus
difabel, nah yang toilet umum penuh, jadi bolehkah orang yang non
difabel menggunakan toilet difabel daripada harus mengantri lama?
3. Aldo : Penggunaan gerbong khusus wanita di KRL itu kadang kurang
optimal karena seringkali gerbong wanita yang masih ada tempat kosong,
namun wanita lain malah lebih memilih gerbong umum, jadi kan ini malah
tidak adil bagi kaum laki-laki yang berada di gerbong umum? Dan
misalnya ada tempat parkir di satu kota, parkir khusus orang difabel. Tapi
misal di kota tersebut tidak ada orang difabel, atau parkir tersebut tidak
digunakan oleh orang difabel? Bukankah itu malah menjadi
ketidakefisienan dalam penggunaan ruang?
Jawaban
1. Sukma : Penyediaan fasilitas itu merupakan usaha-usaha dalam
mewujudkan keadilan sosial dalam wujud nyata. Dimana ruang atau
fasilitas yang disediakan dengan intervensi desain yang baik akan
mendorong mindset orang yang tidak paham dengan konsep keadilan
sedikit demi sedikit kearah pemahaman yang lebih baik.
2. Arrahmansyah : Ya kalo menurut saya, regulasi penggunaan toilet umum
dan toilet difabel itu jangan sampe memunculkan pemaknaan ganda.
Karena ketika aturan penggunaan toilet ini bisa bermakna ganda, akan
banyak oknum yang menyalahgunakan toilet difabel. Sebenernya ngantri
di toilet mall, juga selama apasih? Dan juga suatu mall pasti menyediakan
toilet umum jauh lebih banyak dibanding toilet difabel.
3. Fandi : Sebenenya penggunaan gerbong khusus wanita itu balik lagi ke
alasan mengapa ada gerbong khusus wanita, yaitu untuk menghindari
pelecahan seksual. Jadi gerbong itu memang dikhususkan bagi wanita dan
tidak boleh bagi kaum laki-laki untuk berada di gerbong tersebut,
meskipun belum terisi penuh.
Arrahmansyah : Kemudian buat wanita yang lebih memilih berada di
gerbong umum, ya ngga masalah, yang penting sudah disediakan gerbong
khusus tapi kalau tidak dipakai secara optimal juga ngga apa-apa. Tapi
kemudian akan tidak adil kalau sampai kaum laki-laki tidak mendapat
tempat di dalam gerbong umum karena terlalu banyak kaum wanita di
dalam gerbong umum tersebut, sedangkan gerbong wanita masih banyak
tempat kosong. Tapi secara logika, KRL kan menyediakan gerbong khusus
wanita hanya 2 gerbong, sedangkan gerbong umum jauh lebih banyak, jadi
pasti ada tempat buat kaum laki-laki di gerbong umum tersebut.
Arrahmansyah : Untuk sarana parkir bagi kaum difabel, kan balik lagi ke
tujuan penyediaan, tujuannya untuk memfasilitasi kaum difabel, entah
nanti dipakai atau tidak oleh kaum difabel ya ngga masalah, daripada kita
harus dulu melihat orang-orang difabel kesusahan dalam parkir, lebih baik
disediakan sejak awal. Kemudian kota mana sih yang ngga ada kaum
difabelnya?

Anda mungkin juga menyukai