Anda di halaman 1dari 15

Di dalam tanah dapat dijumpai banyak sekali macam mikroorganisme dengan jumlah mencapai milyaran per

gram tanah. Mikroorganisme ini dapat berupa nematoda, jamur, bakteri dan lain-lain. Salah satu
mikroorganisme yang berperan penting dan dapat menyebabkan penyakit adalah mikrooranisme yang
termasuk dalam kelompok soil-borne pathogen atau patogen tular tanah.
Patogen tular tanah adalah kelompok mikroorganisme yang sebahagian siklus hidupnya berada di dalam
tanah dan mempunyai kemampuan untuk menginfeksi dan menimbulkan penyakit. Umumnya patogen tular
tanah memiliki kemampuan pemencaran dan bertahan dalam tanah dan hanya sedikit yang mempunyai
kemampuan membentuk spora udara sehingga dapat memencar ke areal yang lebih luas.
Perkembangan dan populasi, penyebaran, daya tular serta daya tahan patogen tular tanah sangat di pengaruhi
oleh sifat-sifat tanah dimana patogen tersebut berada. Faktor-faktor tanah yang paling berperan dan
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan patogen tanah tersebut antara lain adalah temperatur,,
kelembaban, pH, tekstur tanah dan bahan organik tanah.
Tanah secara langsung dapat mempengaruhi kesehatan dalam bentuk penyakit bawaan tanah (soil-borne).
Sebagian besar organisme hidup adalah mikroba yang banyak ditemukan di tanah. Beberapa mikroba di
dalam tanah bersifat patogen bagi manusia, termasuk protozoa, jamur, bakteri, dan juga virus, beberapa
mikroorganisme tersebut beberapa memerlukan inang/ host untuk kelangsungan hidupnya.
Soil-borne disease telah memberikan dampak buruk pada manusia mulai dari penderitaan, kecacatan,
kebutaan, hingga kematian di seluruh dunia. Misal, berdasarkan Vaccine-Preventable Disease Monitoring
System 2012, tahun 2011 pada kawasan SEARO, Indonesia menempati urutan kedua terbesar dengan 114
kasus Tetanus Neonatorum yang menyerang bayi baru lahir yang disebabkan spora Clostridium tetani.
Selain itu penyakit diare yang diakibatkan oleh mikroba yang masuk ke dalam tanah melalui limbah tinja
masih menjadi perhatian serius di negara-negara berkembang terutama Indonesia. Laporan Riskesdas tahun
2007 menunjukkan bahwa penyakit Diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan
pada balita (25,2%), sedangkan pada golongan semua umur merupakan penyebab kematian yang ke empat
(13,2%) (Kemenkes, 2012).
Soil-borne disease juga dipengaruhi oleh zat-zat yang terkandung dalam tanah baik yang berasal dari tanah
itu sendiri maupun berasal dari luar tanah sebagai akibat pengotoran ataupun pencemaran. Tanah dapat
menjadi vektor dan sumber dari agen penyakit pada manusia yang penting. Hal ini diketahui karena tanah
adalah penerima limbah padat yang dapat mengandung patogen dalam konsentrasi tinggi (Slamet, 1996 &
Santamaria, dkk, 2003). Banyaknya permasalahan kesehatan yang muncul diakibatkan adanya penyakit
bawaan tanah, perlu upaya dalam penanggulangan penyakit bawaan tanah. Artikel ini disusun untuk
menjelaskan tentang peran tanah sebagai reservoir penyakit, patogen yang terdapat dalam tanah, penyakit
bawaan tanah, upaya penanggulangan penyakit bawaan tanah.

PENYEBAB TERJADINYA KONTAMINASI TANAH


1. Kontaminasi tanah oleh polutan organik dan anorganik Seiring dengan pesatnya pertumbuhan
industrialisasi berdampak pada buangan limbah industry yang tidak terkendali. Limbah ini dibuang ke
tanah baik secara langsung maupun setelah pengolahan. Limbah-limbah yang dibuang dari hasil kegiatan
industri, kegiatan perkotaan, kegiatan domestik, maupun kegiatan pertambangan sering mengandung
polutan bahan anorganik (logam berat, nitrat, sianida, fosfat, dll) maupun polutan bahan organik
(pestisida, herbisida, fungisida) dalam konsentrasi tinggi. Jika bahan-bahan polutan tersebut tidak
terkandung dalam tanah, bahan-bahan polutan ini dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui rantai
makanan, aerosol, debu, air irigasi, air tanah, dan air minum. Tanah yang menerima limbah akan menjadi
reservoir bahan kimia yang akhirnya dapat berpengaruh terhadap kesehatan manusia (Ganeshamurthy,
dkk, 2008).
2. Kontaminasi tanah oleh mikroorganisme patogen Tanah adalah reservoir patogen manusia dan parasit.
Tanah yang menjadi penerima dari semua jenis limbah, dapat mengandung mikroorganisme seperti
cacing, bakteri, virus, dan jamur patogen dalam konsentrasi tinggi. Manusia dapat kontak dengan tanah
secara permanen baik secara langsung atau tidak langsung melalui makanan, air, dan udara. Oleh karena
itu tanah bertindak sebagai vektor utama dan berfungsi sebagai sumber utama agen penyebab penyakit
pada manusia (Ganeshamurthy, dkk, 2008). Berdasarkan asal agen etiologi penyakit pada manusia yang
berhubungan dengan tanah dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori (Weissman, dkk, (1976) yaitu:
(1). Penyakit bawaan tanah yang disebabkan oleh patogen oportunistik atau muncul dari mikroorganisme
biota tanah (misalnya Aspergillus fumigatus, jamur yang umum terdapat di tanah yang dapat menginfeksi
paru-paru melalui inhalasi spora);
(2). Penyakit bawaan tanah yang menyebabkan keracunan akibat konsumsi makanan yang terkontaminasi
dengan entero atau neurotoksin (misalnya Clostridium botulinum, C. perfrigens, dan Bacillus cereus);
(3). Penyakit bawaan tanah yang disebabkan oleh endemik patogen ke tanah (misalnya Clostridium tatani,
C. perfringens dan Bacillus anthracis);
(4). Penyakit bawaan tanah yang disebabkan oleh masuknya patogen ke dalam tanah melalui ekskreta
(buangan) dari hewan dan manusia termasuk bakteri, virus, protozoa, dan cacing

TANAH SEBAGAI PENYEBAR PENYAKIT


Penyebaran agen penyebab penyakit melalui tanah terjadi akibat banjir, tiupan angin kencang atau
pengangkutan tanah dari daerah endemik ke daerah lainnya (Van Ness, dkk, 1956 & Seddon, 1965). Di New
South Wales kejadian penyakit yang termasuk soilborne diseases sering ditemukan di daerah-daerah yang
setiap tahunnya terjadi banjir, sedangkan di Victoria penyebaran agen penyebab penyakit ini terjadi melalui
aliran irigasi(Seddon, 1965). Di daerah delta Mississippi dan delta lembah California kejadian penyakit ini
ada hubungannya dengan keadaan tanahnya. Lapisan tanahnya dibentuk dari debu tanah yang terbawa
karena tiupan angin. Tanah ini disebut tanah alluvial (Van Ness, dkk, 1956). Di daerah-daerah tropis
penyebaran agen penyebab soil-borne diseases dapat terjadi pada musim penghujan karena terjadinya
banjir atau pada musim kemarau karena tiupan angin kencang, sehingga debu berikut agen penyebab
penyakit diterbangkan dari daerah endemik ke daerah lainnya (Seddon, 1965 & Seifert, 1976). Di daerah
tertular yang tanahnya bersifat asam jarang ditemukan spora agen penyebab soil-borne diseases (Van
Ness, dkk, 1956). Hal ini dikarenakan spora hanya bertahan di tanah yang bersifat alkali atau netral.
Pengangkutan tanah kapur (alkali) dari daerah endemik untuk keperluan pertanian akan menyebarkan agen
soil-borne diseases ke daerah lainnya (Van Ness, dkk,1956 & Boxton, A, 1977).

KLASIFIKASI PATOGEN DALAM TANAH


Banyak patogen memiliki siklus hidup yang kompleks yang melibatkan host/inang dalam kehidupan dan
reproduksinya, vektor biologi (serangga, hewan), dan vektor fisik (angin, air), serta reservoir untuk tetap
hidup dalam kondisi lingkungan yang merugikan. Tanah mampu menyediakan hal tersebut untuk berbagai
macam mikroorganisme. Berikut pembagian jenis tanah sebagai patogen tular tanah:
1. Permanen: organisme patogen yang hidup dalam tanah secara permanen dan mampu menyelesaikan
seluruh siklus hidupnya dalam tanah. Misalnya bakteri Clostridium botulinum, C. tetani, Listeria
monocytogenes, dan Burkbolderia pseudomallei. Juga termasuk adalah organisme dimorfik jika salah
satu bentuk morfologinya adalah mampu hidup dan bereproduksi secara lengkap dalam tanah. Contoh
dari patogen tanah dimorfik adalah jamur Coccidioides dan Histoplasma capsulatum.
2. Periodik: organisme patogen yang membutuhkan lingkungan tanah untuk menyelesaikan bagian dari
siklus hidupnya berulang terus-menerus. Contohnya adalah spora dari Bacillus anthracis, dan telur yang
diletakkan dalam tanah oleh kutu vektor yang mengandung bakteri Rickettsia rickettsii. Contoh lain
adalah telur cacing Ancylostoma duodenale, dan Necator americanus.
3. Sementara: organisme patogen yang secara alami muncul di tanah, namun tidak memerlukan lingkungan
tanah untuk melengkapi siklus hidupnya. contohnya adalah kista dari parasit protozoa G. lamblia, virus
dari genus Hantavirus yang masuk dalam lingkungan tanah melalui urin dan feses rodent vektor. Juga
termasuk Leptospira, serta spora bakteri Coxlella burnetii.
4. Insidental: organisme patogen yang terdapat dalam lingkungan tanah melalui kegiatan antropogenik
seperti dalam limbah buangan, air limbah, sistem pembuangan, material buangan sampah beracun,
maupun tumpahan bahan biologi yang beracun. Contoh dari virus adalah enterovirus poliovirus,
enterovirus Coxsackie A and B, dan enterovirus hepatitis A. Lamanya kelangsungan hidup dan
virulensinya bergantung pada faktor fisik dan kimia tanah serta buangannya. Hal ini dapat berlangsung
mulai jam-jaman hingga tahunan (Sellinus, 2005)

PENYAKIT TULAR TANAH BESERTA AGEN PEMBAWANYA


Patogen yang mempunyai peran menyebabkan penyakit yang ditularkan melalui tanah di bagi menjadi dua
kelompok yaitu Euedaphic Pathogenic Organisms (EPOs) dan Soil Transmitted Pathogens (STP). Euedaphic
Pathogenic Organisms adalah organisme tanah yang merupakan patogen potensial di mana organisme
patogen tersebut habitatnya adalah di dalam tanah, sedangkan Soil Transmitted Pathogens merupakan
organisme yang dalam hidupnya sementara dapat bertahan di tanah untuk waktu yang lama kemudian
organisme tersebut harus membutuhkan host/ inang untuk menyelesaikan siklus hidupnya. Berikut
pembagian organisme dari masing-masing kelompok beserta penyakit yang ditimbulkan.

PENANGGULANGAN
1. Kontaminasi tanah oleh polutan organik dan anorganik
Ada beberapa langkah penanganan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat tercemarnya tanah
oleh polutan organik dan anorganik, diantaranya adalah:
A. Remediasi Remediasi adalah kegiatan untuk membersihkan permukaan tanah yang tercemar. Ada dua
jenis remediasi tanah, yaitu in-situ (atau on-site) dan ex-situ (atau off-site). Pembersihan on-site adalah
pembersihan di lokasi. Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah, terdiri dari pembersihan, venting
(injeksi), dan bioremediasi. Pembersihan offsite meliputi penggalian tanah yang tercemar dan kemudian
dibawa ke daerah yang aman. Setelah itu di daerah aman, tanah tersebut dibersihkan dari zat pencemar.
Caranya yaitu, tanah tersebut disimpan di bak/tangki yang kedap, kemudian zat pembersih dipompakan
ke bak/tangki tersebut. Selanjutnya zat pencemar dipompakan keluar dari bak yang kemudian diolah
dengan instalasi pengolah air limbah. Pembersihan off-site ini jauh lebih mahal dan rumit.
B. Bioremediasi Bioremidiasi adalah pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan
mikroorganisme (ja - mur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat
pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).
C. Fitoremediasi fitoremediasi merupakan suatu sistem dimana tanaman tertentu yang bekerjasama dengan
mikroorganisme dalam media (tanah, koral dan air) dapat mengubah zat kontaminan (pencemar/polutan)
menjadi kurang atau tidak berbahaya bahkan menjadi bahan yang berguna secara ekonomi. Proses dalam
sistem ini berlangsung secara alami dengan enam tahap proses secara serial yang dilakukan tumbuhan
terhadap zat kontaminan/ pencemar yang berada disekitarnya
a) Phytoacumulation yaitu proses tumbuhan menarik zat kontaminan dari media sehingga berakumulasi
disekitar akar tumbuhan, proses ini disebut juga Hyperacumulation
b) Rhizofiltration adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat kontaminan oleh akar untuk menempel
pada akar. Proses ini telah dibuktikan dengan percobaan menanam bunga matahari pada kolam yang
mengandung zat radio aktif di Chernobyl Ukraina.
c) Phytostabilization yaitu penempelan zatzat kontaminan tertentu pada akar yang tidak mungkin
terserap kedalam batang tumbuhan. Zat-zat tersebut menempel erat (stabil) pada akar sehingga tidak
akan terbawa oleh aliran air dalam media.
d) Rhyzodegradation disebut juga enhenced rhezosphere biodegradation, or plented-assisted
bioremidiation degradation, yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas mikroba yang berada
disekitar akar tumbuhan. Misalnya ragi, fungi dan bakteri.
e) Phytodegradation yaitu proses yang dilakukan tumbuhan untuk menguraikan zat kontaminan yang
mempunyai rantai molekul yang kompleks menjadi bahan yang tidak berbahaya dengan susunan
molekul lebih sederhana yang berguna bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini dapat
berlangsung pada daun, batang, akar atau di luar sekitar akar dengan bantuan enzym yang dikeluarkan
oleh tumbuhan itu sendiri. Beberapa tumbuhan mengeluarkan enzim berupa bahan kimia yang
mempercepat proses degradasi.
f) Phytovolatization yaitu proses menarik dan transpirasi zat kontaminan oleh tumbuhan dalam bentuk
yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya lagi untuk selanjutnya di uapkan
ke atmosfir. Beberapa tumbuhan dapat menguapkan air 200 sampai dengan 1000 liter perhari untuk
setiap batang.
2. Kontaminasi tanah oleh mikroorganisme patogen
Penanggulangan mikroorganisme patogen khususnya dari golongan spora bakteri yang terdapat dalam tanah
susah diberantas sebab spora sangat tahan terhadap pengaruh lingkungan juga terhadap berbagai macam
desinfektan. Hanya desinfektan tertentu yang dapat membunuh spora bakteri antara lain : 10% formaldehid,
0,1% H2O2, 4%KMnO4, 5% Lysol, 5% larutan alkali segar seperti: sodium hydroksida, dan kalium
hydroksida (Boxton dan Fraser, 1977). Pemberantasan spora yang terdapat di dalam tanah dengan
menggunakan desinfektan memerlukan biaya yang sangat besar dan tidak efektif. Pencegahan kontaminasi
spora di tanah dapat dihindari dengan melaksanakan sanitasi lingkungan. Penanggulangan dari golongan
cacing patogen di dalam tanah dapat dilakukan dengan kegiatan sanitasi lingkungan seperti mencuci tangan
dengan sabun; makan makanan yang di masak; melakukan usaha preventif dan aktif untuk memutus daur
hidup cacing misal dengan memakai jamban/WC (Soedarto, 1995).
NECATOR AMERICANUS & ANCYLOSTOMA DUODENALE / CACING TAMBANG
Cacing tambang diberi nama cacing tambang karena pada zaman dahulu cacing ini ditemukan di Eropa
pada pekerja pertambangan, yang belum mempunyai fasilitas sanitasi yang memadai. (Parasitologi
kedokteran, 1998). Necator americanus banyak ditemukan di Amerika, Sub-Sahara Afrika, Asia Tenggara,
Tiongkok, and Indonesia, sementara A. duodenale lebih banyak di Timur Tengah, Afrika Utara, India, dan
Eropa bagian selatan. Sekitar seperempat penduduk dunia terinfeksi oleh cacing tambang. Infeksi paling
sering ditemukan di daerah yang hangat dan lembab, dengan tingkat kebersihan yang buruk. bentuk infektif
dari cacing tersebut adalah bentuk filariform. Setelah cacing tersebut menetas dari telurnya, munculah larva
rhabditiform yang kemudian akan berkembang menjadi larva filariform.

Morfologi
Cacing dewasa hidup di rongga usus halus manusia, dengan mulut yang melekat pada mukosa dinding usus.
Ancylostoma duodenale ukurannya ebih besar dari Necator americanus. Yang betina ukurannya 10-13 mm x
0,6 mm, yang jantan 8-11 x 0,5 mm, bentuknya menyerupai huruf C, Necator americanus berbentuk huruf S,
yang betina 9 11 x 0,4 mm dan yang jantan 7 9 x 0,3 mm. Rongga mulut A.duodenale mempunyai dua
pasang gigi, N.americanus mempunyai sepasang benda kitin. Alat kelamin jantan adalah tunggal yang
disebut bursa copalatrix. A.duodenale betina dalam satu hari dapat bertelur 10.000 butir, sedang
N.americanus 9.000 butir. Telur dari kedua spesies ini tidak dapat dibedakan, ukurannya 40 60 mikron,
bentuk lonjong dengan dinding tipis dan jernih. Ovum dari telur yang baru dikeluarkan tidak bersegmen. Di
tanah dengan suhu optimum23oC - 33oC, ovum akan berkembang menjadi 2, 4, dan 8 lobus.

Cara Infeksi
Cacing tambang menimbulkan lebih banyak penyakit serius dari pada parasit lain. Di dalam kebanyakan
bagian dunia, termasuk bagian Amerika Serikat, terdapatlah banyak penderita penyakit cacing tambang di
antara penduduk.'' Di daerah seperti itu, kesehatan dan tenaga manusia rata-rata di bawah normal.''
Cacing tambang kecil dan kursus, panjangnya kira-kira 8-13 mm. Cacing ini bermukim di dalam usus halus
dimana mereka melekatkan diri pada lapisan usus dengan mulut bebentuk sangkutan. Mereka menusuk
pembuluh darah dengan giginya yang tajam dan menghisap darah. Cacing betina menghasilkan telur-telur
dalam jumlah yang besar. Telur-telur itu dikeluarkan manusia melalui tinja dan menetas diluasr tubuhnya.
Telur-telur itu menetas dan mengeluarkan janin di dalam tanah yang hangat dan lembab. Apabila kaki yang
tidak beralas menyentuh tanah lembab yang mengandung cacing-cacing muda yang halus itu, cacing itu
dengan cepat menembusi kulit kaki dan memasuki pembuluh darah, dan darah membawa mereka ke dalam
paru-paru. Dari paru-paru cacing-cacing tambang yang masih muda itu memasuki saluran pernafasan dan
terus ke dalam kerongkongan sehingga tertelan. Dengan cara ini mereka akhirnya memasuki usus halus
dimana mereka mencapai kedewasaan. Kalau jumlah cacing itu kurang dari seratus, maka belum terlihat
gejala. Tetapi kalau jumlahnya lebih dari lima ratus, maka lebih dari empat ribu ekor cacing terdapat dalam
tubuh seorang.''
Satu-satunya cara untuk memastikan infeksi cacing tambang ialah mencari telur-telurnya didalam tinja,
tetapi dalam kebanyakan hal terluhatlah tanda-tanda yang nyata atau gejala-gejala. Melumuri kulit tangan
dan kaki dengan tanah kotor mengakibatkan cacing-cacing halus menembusi kulit sehingga kulit itu terasa
panas dan gata, kemudian timbullah luka-luka dan bisul berkerak pada kulit. ini disebut gatal tanah, gatal
tambang, kaki gatal, ibu jari kaki gatal, gatal embun atau gatal air. Sementara parasit yang belum dewasa itu
bergerak menuju paru-paru, penderita akan batuk-batuk, sakit kerongkongan dan dahaknya bercampur
darah.
Sementara parasit itu bergantung pada dinding usus, dia bertumbuh menjadi dewasa san timbullah gejala
seperti menceret, perut gembung dan rasa tidak enak. Kemudian badan lemah, pucatm berat badan
berkurang, kurang darah dan susah bernafas. Pada anak-anak yang sedang betumbh, perkembangan mental
dan petumbuhan sangat lambat. Dalam hal jumlah cacing yang terlalu banyak, kaki akan membengkak,
demikian juga tubuh, cairan akan betumpuk di dalam rongga perut. Penderita yang sudah mendapat gejala
itu tidak dapat hidup lama kecuali cacing-cacing itu dikeluarkan dari dalam badannya.

Pencegahan penyakit cacing tambang begitu penting. Orang yang sudah ketularan harus ditolong untuk
membuang cacing-cacing itu dari dalam ususnya dan kemudian diajar untuk memcegah infeksi berikut.
Janganlah menjamah tanah yang telah ketularan cacing dan pakailah alas kaki di daerah panas. Yang paling
utama ialah membuang segala jenis kotoran manusia di dalam tempat tertutup agar tanah itu tidak ditulari
cacing. Kakus-kakus modern atau yang dibangun menurut aturan kesehatan akan menolong membasmi
penyakit cacing tambang.
Harus disebutkan disini satu penyakit yang disebabkan oleh pemindahan jentik-jentik cacing dari anjing atau
kucing yang memiliki cacing tambang. Cacing ini menembusi kulit manusia dan berpindah-pindah di kulit
itu sendiri, biasanya tidak menembus lebih dalam atau tidak bergerak lebih jauh dari beberapa inchi.
Perpindahan itu menimbulkan rasa gatal yang sangat hebat dan luka-luka merah yang bertahan sampai
beberapa bulan, tetapu cacing petualang itu akhirnya mati dan diserap oleh jaringan. Kalau jumlahnya terlalu
besar, akibatnya sangat buruk, apalagi kalau daerah operasinya di bawah kulit, sang dokter harus
menggunakan metode khusu untuk membasminya. Kalau cacing itu menyusup lebih dalam, tidak ada yang
dapat dilakukan kecuali mengobati gejalanya dan menunggu saat kematian cacing-cacing itu.

Gejala Klinis dan Patologi


1. Stadium Larva
Bila banyak filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch,
dan kelainan pada paru biasanya ringan.

2. Stadium Dewasa
Gejala tergantung pada:
a. Spesies dan jumlah cacing
b. Keadaan gizi penderita
Gejala klinik yang timbul bervariasi bergantung pada beratnya infeksi, gejala yang sering muncul adalah
lemah, lesu, pucat, sesak bila bekerja berat, tidak enak perut, perut buncit, anemia, dan malnutrisi. Tiap
cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005 0,1 cc sehari, sedangkan A.
duodenale 0,08 0,34 cc. biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer. Disamping itu juga terdapat
eosinofilia.
Anemia karena Ancylostoma duodenale dan Necator americanus biasanya berat. Hemoglobin biasanya
dibawah 10 (sepuluh) gram per 100 (seratus) cc darah jumlah erythrocyte dibawah 1.000.000 (satu
juta)/mm3. Jenis anemianya adalah anemia hypochromic microcyic. Bukti adanya toksin yang menyebabkan
anemia belum ada biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja
menurun.

Patogenesis
Cacing tambang memiliki alat pengait seperti gunting yang membantu melekatkan dirinya pada mukosa dan
submukosa jaringan intestinal. Setelah terjadi pelekatan, otot esofagus cacing menyebabkan tekanan negatif
yang menyedot gumpalan jaringan intestinal ke dalam kapsul bukal cacing. Akibat kaitan ini terjadi ruptur
kapiler dan arteriol yang menyebabkan perdarahan. Pelepasan enzim hidrolitik oleh cacing tambang akan
memperberat kerusakan pembuluh darah. Hal itu ditambah lagi dengan sekresi berbagai antikoagulan
termasuk diantaranya inhibitor faktor VIIa (tissue inhibitory factor).
Cacing ini kemudian mencerna sebagian darah yang dihisapnya dengan bantuan enzim hemoglobinase,
sedangkan sebagian lagi dari darah tersebut akan keluar melalui saluran cerna.28) Masa inkubasi mulai dari
bentuk dewasa pada usus sampai dengan timbulnya gejala klinis seperti nyeri perut, berkisar antara 1-3
bulan. Untuk meyebabkan anemia diperlukan kurang lebih 500 cacing dewasa. Pada infeksi yang berat dapat
terjadi kehilangan darah sampai 200 ml/hari, meskipun pada umumnya didapatkan perdarahan intestinal
kronik yang terjadi perlahanlahan. 22) Terjadinya anemia defisiensi besi pada infeksi cacing tambang
tergantung pada status besi tubuh dan gizi pejamu, beratnya infeksi (jumlah cacing dalam usus penderita),
serta spesies cacing tambang dalam usus. Infeksi A. duodenale menyebabkan perdarahan yang lebih banyak
dibandingkan N. americanus.28) Gejala klinis nekatoriasis dan ankilostomosis ditimbulkan oleh adanya
larva maupun cacing dewasa. Apabila larva menembus kulit dalam jumlah banyak, akan menimbulkan rasa
gatal-gatal dan kemungkinan terjadi infeksi sekunder. Gejala klinik yang disebabkan oleh cacing tambang
dewasa dapat berupa nekrosis jaringan usus, gangguan gizi dan gangguan darah

Diagnosa
Jika timbul gejala, maka pada pemeriksaan tinja penderita akan ditemukan cacing tambang. Jika dalam
beberapa jam tinja dibiarkan dahulu, maka telur akan mengeram dan menetas larva.
Pengobatan
Pengobatan penyakit cacing tambang dapat dilakukan dengan berbagai macam anthelmintik, antara lain
befenium hidroksinaftoat, tetraldoretilen, pirantel pamoat dan mebendazol. Bila cacing tambang telah
dikeluarkan, perdarahan akan berhenti, tetapi pengobatan dengan preparat besi (sulfas ferrosus) per os dalam
jangka waktu panjang dibutuhkan untuk memulihkan kekurangan zat besinya. Di samping itu keadaan gizi
diperbaiki dengan diet protein tinggi.

Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara Sanitasi lingkungan, diantaranya:
1. Hindari berjalan keluar rumah tanpa memakai alas kaki
Kebiasaan tidak memakai alas kaki merupakan faktor resiko yang kuat untuk terjadinya infeksi cacing
tambang.
2. Cuci tangan sebelum makan
Cuci tangan, pekerjaan ini adalah Awal yang terpokok jika anda ingin tetap sehat. Dimanapun dan kapanpun
selalau ada bakteri atau mikroorganisme yang siap masuk melawan tubuh kita 70 % perantara yang tepat
adalah dari tangan, untuk itu cuci tangan adalah salah satu tindakan preventif yang sangat tepat.
3. Hindari pemakaian feces manusia sebagai pupuk pada sayuran
Jika sayuran yang dimakan tidak bersih maka larva cacing akan ikut termakan karena sayuran dipupuk
menggunakan feces manusia yang telah terinfeksi.
4. Jika anda Ibu, awasi dan jaga anak anda main di Tanah
Dari sifat hidupnya, cacing tambang hidup pada tanah, sangat cepat menular melalui kulit, melewati
epidermis kulit teratas hingga terakhir, anak anak tentulah sangat mudah untuk dijadikan media untuk
hidup si cacing tambang. Untuk itu perlu awasi anak anda saat bermain di tanah atau di halaman rumah yang
memungkinkan adanya cacing tambang. Jika terlanjur memanjakan anak anda, lakukan kegiatan prefentif
yaitu bersihkan seluruh badan anak dari tanah sehabis main.
5. Bersih Pakaian dan tempat
Mikroba penyebab infeksi ada dimana mana, bahkan tempat maupun pakaian kita yang terlihat bersihpun
bisa saja terdapat kuman kuman yang membahayakan kesehatan. Dengan demikian Kebersihan atau
sanitasi dan higienis tempat anda sangat diperlukan untuk mempertahankan kesehatan anda dan keluarga.
TRICHURIS TRICHIURA
Epidemiologi
Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat,
tempat lembab, dan teduh dengan suhu optimum kira 30 derajat celcius. Di berbagai negeri pemakaian tinja
sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi. Di beberapa
daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara 30-90 %. Di daerah yang sangat endemik infeksi
dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang
sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik
sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negera-negera yang memakai tinja sebagai pupuk
(Gandahusada, 2000). Dahulu infeksi Trichuris trichiura sulit sekali diobati. Antihelminthik seperti
tiabendazol dan ditiazanin tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pengobatan yang dilakukan untuk
infeksi yang disebabkan oleh Trichuris trichiura adalah Albendazole, Mebendazole dan Oksantel pamoate

Morfologi dan Daur Hidup


Trichuris trichiura betina memiliki panjang sekitar 5 cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Hidup di kolon
asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor cacing betina diperkirakan
menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk
seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar
berwarna kekuningkuningan dan bagian di dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes
bersama tinja, telur menjadi matang dalam waktu 36 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Telur
matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi langsung terjadi bila telur
yang matang tertelan oleh manusia (hospes), kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke
dalam usus halus sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens
dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar
30-90 hari.
Cacing Trichuris pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon
asendens. Pada infeksi berat terutama pada anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-
kadang terlihat di mukrosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu
defekasi. Cacing ini memasukan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi tyrauma yang
menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya terjadi pendarahan. Di
samping ini ternyata cacing ini menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia.
Penderita terutama anak dengan infeksi Trichuris yang berat dan menahun, menunjukan gajala-gejala
nyata seperti diare yang sering diselingi dengan sindrom disehuris yang berat dan menahun, menunjukan
gajala-gejala nyata seperti diare yang sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia, berat badan turun
dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum. Infeksi berat Trichuris trichiura sering disertai dengan infeksi
cacing lainnya atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis jelas atau sma sekali
tanpa gejala, parasit ini ditemukan pada tinja secara rutin

Patofisiologi
Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga ditemukan di dalam kolon asendens.
Pada infeksi berat, terutama pada anak cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum, kadang-kadang
terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi.
Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi
dan peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Di samping itu
cacing ini juga mengisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia.

Gejala Klinik dan Diagnosis


Infeksi Trichuris trichiura yang ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali
tanpa gejala. Sedangkan infeksi berat dan menahun terutama pada anak menimbulkan gejala seperti diare,
disenteri, anemia, berat badan menurun dan kadang-kadang terjadi prolapsus rektum. Infeksi Trichuris
trichiura yang berat juga sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Diagnosa dibuat
dengan menemukan telur di dalam tinja

Pencegahan dan Pengendalian


Pencegahan ditujukan untuk memutuskan salah satu mata rantai dari siklus hidup Trichuris trichiura,
antara lain dengan melakukan pengobatan penderita Trichuris trichiura, dimaksudkan untuk menghilangkan
sumber infeksi; pendidikan kesehatan terutama mengenai kebersihan makanan dan pembuangan tinja
manusia; dianjurkan agar buang air besar tidak pada sembarangan tempat serta mencuci tangan sebelum
makan, memasak makanan, sayuran, dan air dengan baik. Air minum jarang merupakan sumber infeksi
ascariasis (Natadisastra, 2005).
Pencucian yang tidak sempurna akan mempengaruhi mikroorganisme patogen yang terdapat pada
sayuran. Penelitian Astrawan juga menunnjukkan adanya beberapa mikroorganisme serta pestisida yang
tidak hilang akibat pencucian, apalagi kalo tidak dilakukan dengan tekhnik yang benar. Untuk lebih
amannya, mencuci sayuran dengan air matang atau air mengalir khusus untuk sayuran dan buah-buahan.
Tetanus
Tetanus adalah penyakit menular disebabkan oleh kontaminasi luka dari bakteri yang hidup di tanah.
Bakteri Clostridium tetani adalah organisme penyebab penyakit tetanus yang mampu hidup bertahun-tahun
di tanah dalam bentuk spora. Bakteri ini pertama kali diisolasi pada tahun 1899 oleh S. Kitasato ketika ia
sedang bekerja dengan R. Koch di Jerman. Kitasato juga menemukan toksin tetanus dan bertanggung jawab
untuk mengembangkan vaksin pelindung pertama melawan penyakit tetanus.
Tetanus terjadi ketika luka menjadi terkontaminasi dengan spora bakteri. Infeksi akan berlangsung
ketika spora menjadi aktif dan berkembang menjadi bakteri gram positif yang berkembang biak dan
menghasilkan toksin yang sangat kuat (racun) kemudian mempengaruhi otot. Spora tetanus ditemukan di
seluruh lingkungan, biasanya di tanah, debu, dan kotoran hewan. Lokasi yang biasa bagi bakteri untuk
masuk ke tubuh oleh luka tusuk, seperti yang disebabkan oleh paku berkarat, pecahan, atau gigitan serangga.
Tetanus membuat kejang otot tidak terkendali, kadang-kadang disebut kejang mulut. Dalam kasus yang
berat, otot-otot yang digunakan untuk bernapas bisa kejang, menyebabkan kekurangan oksigen ke otak dan
organ lain yang mungkin bisa mengakibatkan kematian.
Penyakit pada manusia adalah hasil dari infeksi luka dengan spora bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini
menghasilkan toksin tetanospasmin yang bertanggung jawab untuk menyebabkan tetanus. Tetanospasmin
mengikat saraf motorik yang mengontrol otot, memasuki akson (filamen yang memanjang dari sel-sel saraf),
dan perjalanan dalam akson sampai mencapai tubuh saraf motorik di sumsum tulang belakang atau otak
(proses transportasi intraneuronal disebut retrograde). Kemudian toksin bermigrasi ke dalam sinaps (ruang
kecil antara sel-sel saraf penting untuk transmisi sinyal di antara sel saraf) di mana ia mengikat
ke terminal saraf presynaptic dan menghambat atau menghentikan pelepasan neurotransmitter inhibisi
tertentu (glisin dan asam gamma-aminobutyric).
Karena saraf motorik tidak memiliki hambat sinyal dari saraf lainnya, sinyal kimia pada saraf motorik
dari otot semakin intensif, menyebabkan otot untuk memperketat kontraksi terus-menerus atau kejang. Jika
tetanospasmin mencapai aliran darah atau pembuluh limfatik dari situs luka, dapat disimpan di banyak
terminal presynaptic berbeda sehingga efek yang sama pada otot lain.

Triad Epidemiologi penyakit tetanus


Tetanus tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT
(Diphtheria, Pertussis and Tetanus) yang rendah. Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung
kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat tinggi. Spora kuman Clostridium
tetaniyang tahan kering dapat bertebaran di mana-mana.
Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga melalui :
1) Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar
2) Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik
3) OMP, caries gigi
4) Pemotongan tali pusat yang tidak steril
5) Penjahitan luka robek yang tidak steril
6) Luka bekas suntikan narkoba.

1. Agent
Tetanus disebabkan oleh infeksi bakteri Clostridium tetani. Clostridium tetanimarupakan bakteri
berbentuk batang lurus, langsing, berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Bakteri ini
membentuk eksotoksin yang disebut tetanospasmin. Kuman ini terdapat di tanah terutama tanah yang
tercemar tinja manusia dan binatang, seperti kotoran kuda, domba, sapi, anjing, kucing, tikus, dan
babi. Clostridium tetanitermasuk bakteri gram positif, anaerobic (tidak dapat bertahan hidup dalam
kehadiran oksigen), berspora, dan mengeluarkan eksotoksin. Costridium tetani menghasilkan 2 eksotosin
yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Tetanospamin-lah yang dapat menyebabkan penyakit tetanus, sedangkan
untuk tetanolisin belum diketahui dengan jelas fungsinya. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar
toksin (tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk 70 kilogram
(154lb) manusia.
Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah protein dan tidak
memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol
positif.
Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan bahan kimia, seperti etanol, phenol, dan
formalin. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8F (121C) selama 1015 menit,
juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan
beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia
akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.
2. Host
Host penyakit tetanus adalah manusia dan hewan, khususnya hewan vertebrata, seperti kucing, anjing,
dan kambing
3. Enviroment
Tetanus merupakan penyakit infeksi yang prevalensi dan angka kematiannya masih tinggi. Tetanus
terjadi di seluruh dunia, terutama di daerah tropis, daerah dengan cakupan imunisasi DPT
(Diphtheria,Pertussis and Tetanus) yang rendah dan di daerah peternakan.
Tetanus merupakan infeksi berbahaya yang bisa mengakibatkan kematian yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini ditemukan di tanah dan feses manusia dan binatang. Karena itulah,
daerah peternakan merupakan daerah yang rentan untuk terjadinya kasus tetanus.
Pada tahun 2001, diperkirakan 282.000 orang di seluruh dunia meninggal karena tetanus, yang terbesar
terjadi di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, yang merupakan daerah tropis.

Hubungan penjamu, bibit penyakit dan lingkungan penyakit tetanus


Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah populasi masyarakat
yang tidak kebal, tingkat pencemaran biologik lingkungan peternakan/pertanian, dan adanya luka pada kulit
atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar diseluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi dengan
cakupan imunisasi DPT yang rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaan
aktivitas fisiknya. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia.

Perjalanan penyakit Tetanus


Tetanus tidak ditularkan dari orang ke orang. Luka, baik besar ataupun kecil, menjadi jalan masuknya
bakteri menyebab tetanus (Clostridium tetani), sekaligus menjadi tempat berkembang dan menghasilkan
racun. Tetanus dapat mengikuti operasi elektif, luka bakar, luka tusuk yang dalam, luka menghancurkan,
otitis media, infeksi gigi, gigitan hewan, aborsi, dan kehamilan.
Pengguna heroin, terutama mereka yang menggunakan jarum suntik secara subkutan dengan kina-
potong heroin, berisiko tinggi terkena tetanus. Kina digunakan untuk mencairkan heroin dan benar-benar
dapat mendukung pertumbuhan bakteri Clostridium tetani.
Selama 1998-2000, cedera akut atau luka seperti tusukan, laserasi, dan lecet menyumbang 73% dari
kasus dilaporkan tetanus pada rakyat AS yang bekerja di bidang yang mempunyai risiko untuk tertusuk,
luka, dan lecet.

Masa inkubasi dan klinis


Masa inkubasi berkisar dari 2 hari sampai sebulan, dengan sebagian besar (rata-rata) kasus terjadi dalam 14
hari. Pada neonatus, masa inkubasi biasanya 5-14 hari. Secara umum, periode inkubasi pendek berhubungan
dengan terkontaminasi luka, penyakit lebih parah, dan prognosis yang buruk.
Masa inkubasi berkisar antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Semakin pendek masa inkubasi,
semakin tinggi peluang kematian, biasanya kurang dari 72 jam. Dalam gejala tetanus neonatorum, biasanya
muncul 4-14 hari setelah kelahiran, rata-rata sekitar 7 hari.
Karakteristik/gejalan klinis tetanus:
1) Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
2) Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
3) Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
4) Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.
5) Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme otot masetter.
6) Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )
7) Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut mulut tertarik
keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
8) Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan
9) Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
10) Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan dapat
terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).

Tetanus tidak bisa segera terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung hingga 21 hari setelah
masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala
penyakit tetanus bisa dibagi dalam tiga tahap, yaitu:
a. Tahap pertama
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan gejala awal penyakit ini.
Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita juga mengalami kesulitan menelan.
Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus masih berlangsung.
b. Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah (Trismus). Gejala tahap kedua
ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak
bisa dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan
terlihat menyeringai ( Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut.Selain itu, otot-otot
perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala
penderita akan tertarik ke belakang (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami
luka.
Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit bergerak,
termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah
karena berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatu berat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi
terbatas.
c. Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang refleks. Biasanya hal
ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan
dari luar, bisa juga karena adanya rangsangan dari luar, misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan
sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih
lama dan dengan frekuensi yang lebih sering.

Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat menyebabkan sulit buang air
kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot
hebat. Pernafasan juga dapat terhenti karena kejang otot, sehingga beresiko menyebabkan kematian. Hal ini
disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk
tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan.
Masa laten dan periode infeksi
Tetanus tidak menular dari orang ke orang. Tetanus dicegah dengan vaksin penyakit yang menular, DTP
(difteri, tetanus, and pertusis), tapi tidak menular. Luka, baik besar maupun kecil, adalah jalan
bakteri Clostridium tetanimasuk ke dalam tubuh. Tetanus dapat disebabkan oleh luka bakar, luka tusuk yang
dalam, otitis media, infeksi gigi, gigitan hewan, aborsi, dan persalinan yang tidak steril.
Tetanus tidak mempunyai periode infeksius karena tetanus tidak menular dari orang ke orang. Tetanus
merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin, tapi tidak menular.

Pencegahan Penyakit Tetanus


Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan artinya dia mempunyai
kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak
pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ia sembuh dikarenakan toksin
yang masuk ke dalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin ( kaena
tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi yang minimal,
yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan).
Vaksinasi adalah cara pencegahan terbaik terhadap tetanus. Komite Penasehat untuk Praktik Imunisasi
(ACIP) merekomendasikan bahwa semua anak menerima serangkaian rutin dari 5 dosis difteri dan vaksin
tetanus pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan, dan 4-6 tahun. Dosis booster difteri dan tetanus toxoid harus diberikan
dimulai pada usia 11-12 tahun (minimal 5 tahun sejak dosis terakhir) dan diulangi setiap 10 tahun
sesudahnya. Saat ini, DTaP dan DT harus digunakan pada orang kurang dari tujuh tahun, sedangkan Td
diberikan kepada mereka yang berusia tujuh tahun atau lebih. Jadwal catch-up imunisasi Td bagi mereka
dimulai pada usia tujuh tahun atau lebih terdiri dari tiga dosis. Dosis kedua biasanya diberikan 1-2 bulan
setelah dosis pertama, dan dosis ketiga diberikan 6 bulan setelah dosis kedua. Aselular formulasi vaksin
pertusis bagi remaja dan orang dewasa yang berlisensi dan dikombinasikan dengan difteri dan tetanus-
toxoid. Jadwal yang disarankan untuk Tdap belum ditentukan, tetapi vaksin ini harus diterima dalam kondisi
yang tepat.
Untuk pencegahan tetanus neonatorum, langkah-langkah pencegahan, selain imunisasi ibu, adalah
program imunisasi untuk gadis remaja dan wanita usia subur serta pelatihan yang tepat bidan dalam
rekomendasi untuk imunisasi dan teknik aseptik dan pengendalian infeksi. Maternal and Neonatal Tetanus
Elimination (MNTE) merupakan program eliminasi tetanus pada neonatal dan wanita usia subur termasuk
ibu hamil. Strategi yang dilakukan untuk mengeliminasi tetanus neonatorum dan maternal adalah
1) pertolongan persalinan yang aman dan bersih; 2) cakupan imunisasi rutin TT yang tinggi dan merata; dan
3) penyelenggaraan surveilans. Beberapa permasalahan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada wanita usia
subur yaitu pelaksanaan skrining yang belum optimal, pencatatan yang dimulai dari kohort WUS (baik
kohort ibu maupun WUS tidak hamil) belum seragam, dan cakupan imunisasi TT2 bumil jauh lebih rendah
dari cakupan K4. Cakupan imunisasi TT2 selama tahun 2003-2007 tidak mengalami perkembangan,
bahkan cenderung menurun. Namun sejak dua tahun terakhir terjadi peningkatan cakupan imunisasi TT2+,
dari 26% pada tahun 2007 menjadi 42,9% pada tahun 2008, kemudian meningkat lagi menjadi 62,52% pada
tahun 2009 (Kemenkes RI. 2009).
Data dari WHO menunjukkan bahwa, dari tahun ke tahun cakupan imunisasi DTP3 mengalami
kenaikan. Semakin tingginya cakupan imunisasi, baik imunisasi DTP3 maupun TT2, menunjukkan
penurunan pada terjadinya kasus tetanus, tetanus neonatorum.
STRONGYLOIDES STERCORALIS
Epidemiologi
Daerah yang panas, kelembaban tinggi dan sanitasi yang kurang, sangat menguntungkan
cacing Stongyloides sehingga terjadi daur hidup yang tidak langsung. Tanah yang baik untuk pertumbuhan
larva ialah tanah gembur, berpasir dan humus. Frekuensi di Jakarta pada tahun 1956 sekitar 10-15%,
sekarang jarang ditemukan. Pencegahan strongiloidiasis terutama tergantung pada sanitasi pembuangan tinja
dan melindungi kulit dari tanah yang terkontaminasi, misalnya dengan memakai alas kaki. Penerangan
kepada masyarakat mengenai cara penularan dan cara pembuatan serta pemakaian jamban juga penting
untuk pencegahan strongiloidiasis.

Morfologi
Cacing ini disebut cacing benang, terdapat bentuk bebas di alam dan bentuk parasitik di dalam
intestinum vertebrata. Bentuk parasitik adalah parthenogenetik dan telur dapat berkembang di luar tubuh
hospes, langsung menjadi larva infektif yang bersifat parasitik atau dapat menjadi bentuk larva bebas yang
jantan dan betina. Bentuk bebas ditandai dengan adanya cacing jantan dan betina dengan esofagus
rabditiform, ujung posterior cacing betina meruncing ke ujung vulva terletak di pertengahan tubuh. Bentuk
parasitik ditandai dengan esofagus filariform tanpa bulbus posterior, larva infektif dari generasi parasitik
mampu menembus kulit dan ikut aliran darah.
Cacing dewasa betina hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyunum. Cacing betina berbentuk
filiform, halus, tidak berwarna dan panjangnya kira-kira 2 mm. Cacing dewasa betina memiliki esofagus
pendek dengan dua bulbus dan uterusnya berisi telur dengan ekor runcing. Cara berkembang biaknya adalah
secara parthenogenesis. Telur bentuk parasitik diletakkan di mukosa usus, kemudian menetas menjadi larva
rabditiform yang masuk ke rongga usus serta dikeluarkan bersama tinja. Cacing dewasa jantan yang hidup
bebas panjangnya kira-kira 1 mm, esophagus pendek dengan 2 bulbus, ekor melingkar dengan spikulum.
Larva rabditiform panjangnya 225 mikron, ruang mulut: terbuka, pendek dan lebar. Esophagus dengan 2
bulbus, ekor runcing. Larva Filariform bentuk infektif, panjangnya 700 mikron, langsing, tanpa sarung,
ruang mulut tertutup, esophagus menempati setengah panjang badan, bagian ekor berujung tumpul berlekuk.

Siklus hidup
Parasit ini mempunyai tiga macam daur hidup :
1) Siklus langsung
Sesudah 2 3 hari di tanah, larva rabditiform, berubah menjadi larva filaform dengan bentuk
langsing.Bila larva ini menembus kulit manusia, larva tumbuh,masuk ke dalam peredaran darah veha
kemudian melalui jantung sampai ke paru-paru. Dari paru, parasit yang mulai dewasa,menembus alveolus,
masuk ke trakea dan laring.Sesudah sampai di laring,tarjadi refleks batuk, sehingga parasit tertelan,
kemudian sampai di usus halus dan menjadi dewasa.
2) Siklus tidak langsung
Pada siklus ini, larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan betina.Cacing betina
berukuran 1mm x 0,06mm, dan yang jantan berukuran 0,75 mm x 0.04 mm. Cacing betina mengalami
pembuahan dan menghasilkan larva rabditiform yang kemudian menjadi larva filaform. Larva ini masuk ke
dalam hospes baru. Siklus tidak langsung ini terjadi apabila lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai
dengan keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negeri-negeri tropik
beriklim rendah.
3) Autoinfeksi
Telur menetas menjadi larva rabditiform di dalam mukosa usus -> di dalam usus larva rabditiform
tumbuh menjadi larva filariform -> larva filariform menembus mukosa usus, tumbuh menjadi cacing dewasa

Patologi
Bila larva filaroform dalam jumlah besar menembus kulit, timbul kelainan kulit yang dinamakan creeping
eruption yang sering disertai rasa gatal yang hebat. Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa
usus halus. Infeksi ringan Strongyloides pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak
mungkin menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah
epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada mual dan muntah; diare dan konstipasi saling
bergantian. Pada stongiloidiasis dapat terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing dewasa
yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan diseluruh traktusdigestivus dan larvanya dapat ditemukan
diberbagai alat dalam (paru, hati, kandung empedu). Pada pemeriksaan darah mungkin ditemukan
eosinofilia tau hipereosinofilia meskipun pada banyak kasus jumlah eosinofil normal

Pencegahan dan pengendalian


Penularan strongiloidasisdapat dicegah dengan cara menghindari kontak dengan tanah, tinja atau genangan
air yang diduga terkontaminasi oleh larva infektif. Tindakan pencegahannya dilakukan sesuai dengan
pencegahan penularan infeksi cacing tambang pada umumnya seperti memakai alat-alat yang menyehatkan
untuk pembuangan kotoran manusia dan memakai sepatu atau alas kaki waktu bekerja di kebun. Upaya
pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai cara
penularan, cara pembuatan serta pemakaian jamban.
Pengendalian bisa dilakukan yaitu apabila diketahui seseorang positif terinfeksi, orang itu harus segera
diobati. Pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat mebendazol, pirantel pamoat dan levamisol
walaupun hasilnya kurang memuaskan. Saat ini obat yang banyak dipakai adalah tiabendazol.

Anda mungkin juga menyukai