Anda di halaman 1dari 5

Goodenough-Harris / Draw A Person Test

Tes intelligensi anak-anak dengan cara menggambar. Bermaksud untuk mengukur


intelegensi anak-anak sampai 18 tahun, tetapi bersifat proyektif. Sebuah
pendekatan yang berbeda terhadap testing non verbal diilustrasikan untuk
membuat gambar seorang pria, buatlah gambar terbaik yang bisa anda lakukan.
Nilai diberikan untuk menggambarkan juga bagian-bagian tubuh, rincian pakaian,
proporsi, perspektif, dan segi-segi serupa. Total dari 73 soal yang bisa diskor dan
diseleksi berdasarkan diferensiasi umur, hubungan dengan skor-skor pada tes, dan
hubungan dengan skor tes intelegensi kelompok. Terlepas dari data analisis soal
yang dikumpulkan dalam pengembangan skala-skala ini, informasi yang
menyangkut validasi konstruk tes ini diberikan oleh korelasi dengan tes-tes
inteligensi lainnya. Korelasi-korelasi ini amat bervariasi, tetapi mayoritas ada
diatas 0,50. Untuk anak-anak yang berada di taman kanak-kanak, draw a man test
berkorelasi lebih tinggi dengan kemampuan numerik dan lebih rendah dengan
kecepatan perseptual dan keakuratan daripada anak-anak kelas empat. Temuan-
temuan ini menunjukkan bahwa tes ini bisa mengukur fungsi-fungsi yang agak
berbeda pada umur yang berbeda.

Sumber: buku bu eva

Tes kecerdasan nonverbal yang dapat dilakukan secara individual ataupun


kelompok adalah G-HDT. G-HDT merupakan tes yang paling cepat, paling
mudah dan paling terjangkau yang dapat dilakukan diantara semua tes
kemampuan. Oleh karena itu tes ini banyak digunakan di lingkup pendidikan,
klinis, dan lainnya. Satu-satunya alat yang dibutuhkan dalam tes ini adalah pensil
dan kertas ptih polos. Subjek diminta untuk menggambar seorang manusia secara
utuh dan diminta untuk melakukannya sebaik mungkin. G-HDT distandarisasi
dengan menentukan karakteristik gambar bentuk manusia yang membedakan
kisaran usia subjek dari subjek lainnya. Subjek akan mendapatkan nilai untuk
setiap bagian (yang diinstruksikan untuk digambar) yang terdapat di gambarnya.
Aturan pada tes ini adalah memberikan satu poin pada setiap detail dengan poin
maksimal sebesar 70 poin. Sebagai contoh, jika subjek hanya menggambar sebuah
muka polos tanpa ada pelengkapnya maka subjek akan mendapatkan satu poin.
Poin ditambahkan untuk setiap pelengkap atau fitur pada muka dan pakaian yang
berhasil digambar.

G-DHT pertama kali distandarisasi pada tahun 1926 dan kemudian distandarisasi
ulang pada tahun 1963 menurut Harris, 1963 dalam (Kaplan & Sacuzzo, 1993).
Penilaian pada G-DHT didasarkan pada prinsip perbedaan usia- anak-anak yang
lebih tua usianya akan mendapatkan poin lebih untuk keakuratan dan detail pada
gambar. Oleh karena itu seseorang dapat menentukan usia mental dengan
membandingkan skor pada sampel normative yang tersedia. Skor kasar dapat
dikonversikan ke skor standar dengan rerata 100 dan simpangan baku 15.
Koefisien reabilitas belah-separuh, tes-retes, dan antar penyekor pun bagus,
dengan kisaran pada batas atas 0,60-an dan batas bawah 0,90-an baik bentuk awal
maupun bentuk yang direvisi menurut Dunn, 1972 dalam (Kaplan & Sacuzzo,
1993). Skor terlihat mendatar pada tingkat usia 14-15 tahun, sehingga penggunaan
G-DHT dibatasi pada anak-anak dan semakin baik hasilnya pada anak-anak yang
lebih muda menurut Scott, 1981(dalam , ). Meskipun norma secara relative
ketinggalan zaman, skor G-HDT terkait secara signifikan dengan skor IQ
Wechsler menurut Abell, Horkheimer, & Nguyen, 1988; Alexopoulos, Haritos-
Fatouros, Sakkas, Skaltsas, & Vlanchos dalam (Kaplan & Sacuzzo, 1993).

Karena mudahnya administrasi dan singkatnya waktu administrasi, G-HDT dan


tes menggambar bentuk manusia lainnya digunakan secara luas dalam rangkaian
tes. Tes ini memungkinkan penguji untuk mendapatkan estimasi kasar inteligensi
seorang anak dalam waktu singkat. G-HDT sangat cocok digunakan bersama
informasi lainnya yang diperoleh dari tes yang lain . Penggunaan G-HDT ini
sendiri tanpa didikung dengan tes lainnya dengan tes lainnya tidak dianjurkan
karena hasilnya dapat menyesatkan menurut Abell dkk., 1998 dalam (Kaplan &
Sacuzzo, 1993)
Robert M. Kaplan & Dennis P. Saccuzzo, 1993. Phsycological Testing principles,
application, and issues; Brooks/Cole Publishing Company, Pacific Grove,
California, p: 126

Tes menggambar figur manusia

Sebagian besar anak suka menggambar figure manusia dan mereka sering
melakukannya secara spontan. Sejak awal 1900 an, para psikolog telah mencoba
memanfaatkan perilaku yang hampir-hampir instingtif ini sebagai landasan untuk
mengukur perkembangan intelektual. Orang pertama yang menggunakan teknik
menggambar figure manusia (human figure drawing; HFD) sebagai suatu tes
inteligensi terstandarisasi adalah Florence Goodenough (1926). Tes ciptaanya,
yang dikenal dengan tes Draw a man direvisi oleh Harris (1963) dan dinamai
Goodenough-Harris Drawing Test. Belakangan, teknik HFD diadaptasi oleh
Naglieri (1988). Kami perlu menjelaskan sebelumnya bahwa menggambar figur
manusia digunakan secara luas sebagai sarana pengukuran penyesuaian
emosional, namun hal tersebut tidak dibahas dalam buku ini.

Goodenough-Harris Drawing test adalah sebuah tes inteligensi non verbal yang
durasinya singkat, yang dapat diadministrasikan secara perorangan maupun dalam
kelompok. Goodenough (1926) menerbitkan edisi pertama tes ini, sedangkan
Harris (1963) memberikan perbaikan penting dalam hal skoring dan standarisasi,
termasuk juga penggunaan IQ deviasi. Tes Goodenough-Harris sebenarnya tidak
memnuhi kriteria tes nirbahasa karena penguji harus memberikan sejumlah
instruksi dalam bahasa inggris (atau melalui penerjemah). Meskipun demikian,
instruksinya singkat dan sederhana (saya minta anda menggambar sebuah
gambar laki-laki atau perempuan; buatlah sebaik yang anda bisa). Dengan
demikian, bila ditinjau dari tujuan praktisnya, tes Goodenough-Harris merupakan
tes nirbahasa.

Tujuan tes Goodenough-Harris adalah mengukur kemasakan individual, bukan


keterampilan artistik. Dengan demikian, panduan skoring memberikan penekanan
pada ketepatan observasi dan perkembangan pemikiran konseptual. Sang anak
mendapatkan poin bila ia menyertakan bagian-bagian tubuh dan detail-detailnya,
selain menggambar dalam perspektif yang logis, proporsi yang realistik dan
menunjukkan adanya kebebasan bergerak.

Tujuh puluh tiga item/soal yang dapat diskor selanjutnya ditransformasi ke sebuah
skor terskala dengan mean umum sebesar 100 dan deviasi standar sebesar 15.
Tentu saja, norma-norma tersebut, yang disusun pada tahun 1960-an, pada
masaekarang ini sudah ketinggalan zaman. Meskipun demikian sejumlah beasr
riset sepakat bahwa tes inimengungkap sesuatu yang penting. Sebagai contoh,
Frederickson (1985) melaporkan korelasi antara skor Goodenough-Harris
Drawing test dan WPPSI Full Scale dalam rentang 0,72 hingga 0,80. Dalam
sejumlah studi lainnya, korelasi dengan tes-tes IQ individual lebih bervariasi,
namun mayoritas diatas 0,50 (Abell, Briesen, & Watz, 1996; Anastasi, 1975).

Sebagai respons atas kritik terhadap Goodenough-Harris Drawing test, Naglieri


(1988) mengembangkan system skoring kuantitatif dan melakukan reka ulang
terhadap norma prosedur tes menggambar figure manusia. Sistem skoring
ciptaannya, The Draw A person: a quantitative scoring system (DAP), dirancang
berdasarkan sampel 2.622 partisipan berusia 5 hingga 17 tahun yang diperoleh
dari data sensus amerika tahun 1980, dan distratifikasi berdasarkan usia, jenis
kelamin, ras, lokasi geografis, kelompok etnik, kelas sosial, dan ukuran
komunitas. DAP menghasilkan skor standar dengan mean umum sebesar 100 dan
deviasi standar sebesar 15. Dalam sebuah studi terhadap 61 subjek berusia 6
hingga 16 tahun, DAP berkorelasi sebesar 0,51 dengan IQ WISC-R dan
menghasilkan skor total yang serupa, dengan IQ mean sebesar 100 versus skor
DAP sebesar 95 (Wisniewski & Naglieri, 1989). Lassiter dan Bardos (1995)
menemukan bahwa skor DAP kurang akurat dalam memprediksiskor IQ yang
diperoleh dari WPPSI-R dan K-BIT pada sampel 50 anak-anak TK dan kelas 1 SD
(skor DAP memberikan prediksi yang lebih rendah diabndingkan skor IQ WPPSI-
R dan K-BIT).
Sejumlah peninjau memberikan pujian terhadap DAP berdasarkan system
skoringnya yang jelas, reliabilitas yang kuat, dan standarisasi yang cermat
(cosden,1992). Meskipun demikian, hasil-hasil studi validitas memberikan
sejumlah peringatan. Harrison & Schok (1994) mencermati bukti-bukti yang
semakin banyak jumlahnya bahwa tes-tes HFD mengindikasikan validitas
prediktif yang rendah hingga sedang. Terlepas dari popularitas dan daya tariknya,
tes-tes HFD tidak mampu secara efektif mengidentifikasi anak yang mengalami
kesukaran belajar atau hambatan perkembangan, dan tes-tes tersebut juga tidak
valid untuk digunakan sebagai instrument penyaringan.

Sumber: Gregory

Anda mungkin juga menyukai