Anda di halaman 1dari 31

MIE UBI UNGU (Ipomoea batatas L.

Poir) SEBAGAI ALTERNATIF PRODUK


PANGAN FUNGSIONAL KAYA AKAN ANTIOKSIDAN

Diajukan sebagai bentuk ujian akhir semester pada mata kuliah teknologi
pengolahan serealia kacang dan umbi dengan dosen pengampu Mustika N.H.,
S.TP.,M.Pd

oleh:
Yanni Handayani 1306681

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNOLOGI AGROINDUSTRI


FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2015
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya
Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan laporan penelitian ini. Shalawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad saw,. Amin.
Laporan ini dibuat sebagai bentuk ujian akhir semester pada mata kuliah
Teknologi Pengolahan Serealia Kacang dan Umbi. Laporan ini membahas mengenai
salah satu pemanfaatan ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L. Poir) sebagai produk
pangan fungsional yaitu mie kering yang memiliki kandungan antosianin sebagai zat
antioksidan yang tinggi. Dalam proposal ini juga dibahas mengenai cara pembuatan
mie kering dengan bahan utama tepung ubi ungu.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun diperlukan agar
proposal ini bisa menjadi lebih baik. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Amin.
Terimakasih pada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan
laporan ini.

Bandung, Juni 2015

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i


DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii
BAB IPENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................................... 2
BAB IITINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 3
2.1 Ubi Jalar .......................................................................................................................... 3
2.2 Ubi Jalar Ungu ................................................................................................................ 5
2.3 Antosianin ....................................................................................................................... 7
2.4 Serat pangan dan oligosakarida....................................................................................... 8
2.5 Mie .................................................................................................................................. 9
BAB IIIMETODE PENELITIAN .......................................................................................... 12
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................................................... 12
3.2 Alat dan Bahan.............................................................................................................. 12
3.3 Prosedur Kerja .............................................................................................................. 12
3.3.1Proses Pembuatan Tepung Ubi Ungu ............................................................ 12
3.3.2 Proses Pembuatan Mie Kering ..................................................................... 13
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................. 15
4.1 Hasil Pengamatan.......................................................................................................... 15
4.2 Pembahasan................................................................................................................... 16
BAB VPENUTUP .................................................................................................................. 25
4.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 25
4.2 Saran ................................................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 26
LAMPIRAN FOTO ................................................................................................................ 28

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kecenderungan dan pola hidup masyarakat modern menuntut makanan siap saji.
Bahan pangan yang umum dikonsumsi masyarakat sebagai bahan pangan siap saji
pengganti nasi adalah mie. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) adalah jenis umbi-umbian
yang memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan umbi-umbi yang lain dan
merupakan sumber karbohidrat keempat di Indonesia, setelah beras, jagung, dan ubi
kayu. Sebagai sumber energi, tiap 100 g ubi jalar mampu menyediakan energi sebesar
123 kalori.
Keunggulan lain dari ubi jalar yaitu memiliki harga yang relatif murah dan
memiliki indeks glikemik sebesar 54 sehingga cocok dikonsumsi bagi penderita
diabetes (Widyaningtyas, 2015). Pemanfaatan ubi jalar yang rendah disebabkan
masih sedikitnya teknologi pengolahan pascapanen yang diterapkan. Pengolahan ubi
jalar di Indonesia masih cukup sederhana dan pengolahannya masih dalam bentuk ubi
segar seperti dipanggang, direbus, dan digoreng. Salah satu pemanfaatan ubi jalar
menjadi produk awetan (tepung) bertujuan mempertahankan mutu dan kualitas
produk.
Mie kering merupakan suatu jenis makanan hasil olahan tepung yang sudah
dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dan sudah dijadikan bahan pangan
pokok selain beras. Sejauh ini, pangsa pasar mie kering secara nasional mencapai 70
sampai 80% sehingga terjadi pergeseran konsumsi dari mie basah ke mie kering
(Widyaningtyas, 2015).
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan pembuatan mie kering dari tepung ubi
jalar. Pembuatan mie kering dari tepung ubi jalar dimaksudkan untuk meningkatkan
pemanfaatan komoditas lokal ubi jalar, menambah diversifikasi produk pangan, dan
menggantikan terigu pada produk mie kering.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana tahapan pembuatanmie kering ubi ungu?
2. Bagaimana karakteristik fisik produk mie kering ubi ungu?
3. Bagaimana formula yang paling baik untuk menghasilkan mie kering dengan
kualitas yang baik?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui tahapan pembuatan mie kering ubi ungu.
2. Untuk mengetahuikarakteristik fisik produk mie kering ubi ungu.
3. Untuk mengetahui formula yang paling baik untuk menghasilkan mie kering
dengan kualitas yang baik.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Mengaplikasikan ilmu pengetahuan teknologi pengolahan pangan yang telah
dipelajari diperkuliahan
2. Memberikan alternatif tambahan produk pangan fungsional berbahan dasar
umbi lokal (ubi jalar ungu)
3. Mengetahui karakteristik produk mie dengan menggunakan substitusi tepung
ubi jalar ungu dan tepung terigu.

1.5 Bagi mahasiswa (pemberi jasa) 1. Sebagai salah satu wujud pelaksanaan Tri Dharma
perguruan tinggi, 2. Meningkatkan kemandirian dan kreativitas mahasiswa dalam melakukan
kegiatan kewirausahaan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ubi Jalar


Ubi jalar (Ipomoea batatas (L.) Lamb) merupakan salah satu komoditi
pertanian yang mempunyai prospek untuk dikembangkan di lahan yang kurang subur
dan sebagai bahan olahan ataupun sebagai bahan baku industri. Menurut sejarahnya,
tanaman ubi jalar berasal dari Amerika Tengah tropis, namun ada yang berpendapat
lain yaitu dari Polinesia. Tanaman ubi jalar masuk ke Indonesia diduga dibawa oleh
para saudagar rempah-rempah (Iriani, 1996 dalam Apriliyanti 2010).
2.1.1 Taksonomi
Dalam budi daya dan usaha pertanian, ubi jalar tergolong tanaman palawija.
Tanaman ini membentuk umbi di dalam tanah. Umbi itulah yang menjadi produk
utamanya. Adapun kedudukan tanaman ubi jalar dalam tatanama (sistematika)
sebagai berikut:
Divisio : Spermatophyta
Sub-diivisio : Angiospermae (tumbuhan berbunga)
Kelas : Dicotyledoneae (berbiji belah atau berkeping dua)
Bangsa : Tubiflorae
Famili : Convolvulaceae (kangkung-kangkungan)
Genus : Ipomoea
Spesies : Ipomoea batatas (L.) Lamb.
Famili Convolvulaceae yang sudah umum dibudidayakan selain ubi jalar
adalah kangkung air (Ipomoea aquatica) dan kangkung darat (Ipomoea reptans).
Tidak hanya itu, masih ada kangkung pagar atau kangkung hutan (Ipomoea fistulosa),
rincik bumi (Ipomoea quamoqlit), dan Ipomoea triloba yang tumbuh liar.
2.1.2. Morfologi
Ubi jalar termasuk tanaman dikotiledon (biji berkeping dua). Selama
pertumbuhannya, tanaman semusim ini dapat berbunga, berbuah, dan berbiji. Sosok
pertumbuhannya terlihat seperti semak atau menjalar bagai liana. Ciri tanaman ubi
jalar yaitu sebagai berikut:

3
a. Batang tidak berkayu
b. Daun berbentuk jantung atau hati
c. Bunga berbentuk terompet
d. Berbuah kapsul dan berbiji pipih
e. Berakar serabut dan berakar lumbung
f. Umbi bervariasi
Berdasarkan warna umbi, ubi jalar dibedakan menjadi beberapa golongan sebagai
berikut:
a. Ubi jalar putih yakni ubi jalar yang memiliki daging umbi berwarna putih.
Misalnya, varietas tembakur putih, varietas tembakur ungu, varietas Taiwan dan
varietas MLG 12659-20P.
b. Ubi jalar kuning, yaitu jenis ubi jalar yang memiliki daging umbi berwarna
kuning, kuning muda atau putih kekuningan. Misalnya,varietas lapis 34,
varietas South Queen 27, varietas Kawagoya, varietas Cicah 16 dan varietas Tis
5125-27.
c. Ubi jalar orange yaitu jenis ubi jalar yang memiliki daging umbi berwarna
jingga hingga jingga muda. Misalnya, varietas Ciceh 32, varietas mendut dan
varietas Tis 3290-3.
d. Ubi jalar ungu yakni ubi jalar yang memiliki daging umbi berwarna ungu
hingga ungu muda (Juanda, 2000dalam Apriliyanti 2010).
2.1.4. Kandungan Gizi
Berikut disajikan tabel kandungan kimia yang terdapat pada beberapa
jenis umbi, yaitu sebagai berikut:

4
Dari Tabel diatas dapat dilihat bahwa ubi jalar ungu memiliki kandungan gizi
yang sangat kompleks, dengan mengonsumsi ubi jalar ungu dapat membantu
kebutuhan kita akan nutrisi, karbohidrat pada ubi jalar ungu tidak mudah diubah
menjadi gula, sehingga cocok bagi penderita diabetes. Berbeda dengan sifat
karbohidrat asal beras dan jagung yang mudah diubah menjadi gula.
Kadar protein ubi jalar ungu berkisar 0,19-1,8%. Rendahnya kadar gula dapat
disebabkan protein yang larut dalam air. Ubi jalar ungu merupakan sumber vitamin
A, vitamin C, vitamin B-6, vitamin B-12, vitamin E, dan vitamin K yang merupakan
mikronutrien penting bagi tubuh. Vitamin E yang terdapat pada ubi jalar ungu
berfungsi sebagai antioksidan untuk melawan radikal bebas.

2.2 Ubi Jalar Ungu


Ubi jalar ungu merupakan salah satu jenis ubi jalar yang banyak ditemui di
Indonesia selain yang berwarna putih, kuning, dan merah (Lingga, 1995 dalam
Hardoko 2010). Ubi jalar ungu jenis Ipomoea batatas L. Poir memiliki warna ungu
yang cukup pekat pada daging ubinya, sehingga banyak menarik perhatian. Menurut
Bridle (1982) dalam Hardoko (2010) warna ungu pada ubi jalar disebabkan oleh
adanya pigmen ungu antosianin yang menyebar dari bagian kulit sampai dengan
daging ubinya. Konsentrasi antosianin inilah yang menyebabkan beberapa jenis ubi
ungu mempunyai gradasi warna ungu yang berbeda (Gadi, 2008 dalam Hardoko
2010).
Menurut Bridle (1982) dalam Hardoko (2010), antosianin pada ubi jalar ungu
mempunyai aktivitas sebagai antioksidan. Perbedaan aktivitas antioksidan pada ubi

5
jalar merah dan merah adalah pada jenis zat warnanya. Pada ubi jalar merah yang
ditemukan dominan adalah jenis pelargonidin-3-rutinoside-5-glucoside, sedangkan
pada ubi jalar ungu adalah antosianin dan peonidin glikosida yang mempunyai
aktivitas antioksidan lebih kuat. Dengan demikian ubi jalar ungu mempunyai potensi
besar sebagai sumber antioksidan alami dan sekaligus sebagai pewarna ungu alami.
Selanjutnya, Shahidi (1995) dalam Hardoko (2010) menyatakan bahwa
senyawa antioksidan alami mampu memperlambat, menunda, ataupun mencegah
proses oksidasi. Kandungan antosianin pada ubi jalar ungu cukup tinggi, seperti yang
dilaporkan oleh Kumalaningsih (2008) dalam Hardoko (2010) kandungannya
mencapai 519 mg/100g berat basah, sehingga berpotensi besar sebagai sumber
antioksidan untuk kesehatan manusia.
Secara nutrisi, ubi jalar pada umumnya didominasi oleh karbohidrat yang
dapat mencapai 27,9% dengan kadar air 68,5% (Depkes, 1981), sedang dalam bentuk
tepung karbohidratnya mencapai 85,26% dengan kadar air 7,0%. Selain itu, Zuraida
(2008) dalam Hardoko (2010) menyatakan bahwa tepung ubi jalar mempunyai kadar
abu dan kadar serat yang lebih tinggi, serta kandungan karbohidrat dan kalori yang
hampir setara dengan tepung terigu. Hal ini mendukung pemanfaatan tepung ubi jalar
sebagai alternatif sumber karbohidrat yang dapat disubtitusikan pada produk terigu
dan turunannya yang bernilai tambah bagi kesehatan
Ubi jalar ungu mengandung antosianin berkisar 519 mg/100 gr berat basah.
Kandungan antosianin yang tinggi pada ubi jalar tersebut dan stabilitas yang tinggi
dibanding anthosianin dari sumber lain, membuat tanaman ini sebagai pilihan yang
lebih sehat dan sebagai alternative pewarna alami. Beberapa industri pewarna dan
minuman berkarbonat menggunakan ubi jalar ungu sebagai bahan mentah penghasil
anthosianin (Kumalaningsih, 2006 dalam Apriliyanti 2010).
Ubi jalar ungu yang rasanya manis mengandung antosianin yang berfungsi
sebagai antioksidan, antimutagenik, hepatoprotektif antihipertensi dan
antihiperglisemik (Suda et al, 2003 dalam Aprriliyanti 2010). Kandungan antosianin
pada ubi jalar ungu lebih tinggi daripada ubi yang berwarna putih, kuning, dan jingga.
Di antara ubi jalar ungu, kultivar Ayamurasaki dan Murasakimasari merupakan

6
sumber pigmen antosianin dengan produksi dan kestabilan warna yang tinggi (Suardi,
2005 dalam Aprriliyanti 2010).
Berdasarkan hasil penelitian Kobori (2003) dalam Apriliyanti (2010) tentang
pigmen antosianin dan pengaruhnya pada penghancuran penyakit kanker
menunjukkan bahwa ekstrak ubi jalar berpengaruh terhadap penekanan pertumbuhan
HL60 sel leukemia pada manusia hingga mencapai 35- 55% dibanding kontrol.

2.3 Antosianin
Antosianin merupakan kelompok pigmen yang dapat larut di dalam air dan
berperan memberi warna ungu, merah atau biru pada buah-buahan dan sayuran (Plata
et al. 2003 dalam Bouvell-Benjamin 2007 dalam Ginting 2011). Bagian utama
antosianin adalah rangka karbon dengan gugus hidrogen, hidroksil, dan metoksil yang
ditemukan dalam enam posisi berbeda. Seluruh senyawa antosianin merupakan
turunan dari kation flavium dan pada setiap inti flavium terdapat sejumlah molekul
yang berperan sebagai gugus pengganti yang berbeda untuk masing-masing jenis
antosianin.

Pigmen antosianin terdiri dari aglikon (antosianidin) yang teresterifikasi oleh


satu atau lebih gula (Francis 1985 dalam Ginting 2011). Identitas, nomor, jumlah, dan
posisi gula pada rangka karbon juga dapat menjadi penyebab perbedaan jenis
antosianin. Gula yang biasanya berada pada atom C3, C5 dan kadang-kadang C7
adalah glukosa, arabinosa, ramnosa atau galaktosa, baik dalam bentuk monoglikosida,
diglikosida maupun triglikosida. Delapan komponen utama antosianin dalam bentuk
asil (mono atau diasil) dari aglikon peonidin dan sianidin telah diidentifikasi pada
ubijalar ungu varietas Ayamurasaki asal Jepang yang tersubstitusi pada gugus C3 dan

7
C5 pada inti flavium dengan kelompok asil berupa kafeat, ferulat dan asam p
hidroksibenzoat (Yoshinaga et al. 2000 dalam Ginting 2011).
Di antara delapan penyusun antosianin yang terbanyak pada ubijalar ungu
adalah monoasil dari asam kafeat, sedangkan yang lainnya berupa diasil dari asam
kafeat dan phidroksibenzoat atau asam kafeat dan asam ferulat. Gugus kafeat
menentukan kemampuan antosianin dalam menangkap radikal bebas (Suda et al.
2003 dalam Ginting 2011). Antosianin memiliki kemampuan yang tinggi sebagai
antioksidan karena kemampuannya menangkap radikal bebas dan menghambat
peroksidasi lemak, penyebab utama kerusakan pada sel yang berasosiasi dengan
terjadinya penuaan dan penyakit degeneratif (Suda et al. 2003 dalam Ginting 2011).
Kemampuan antioksidan ubijalar ungu (4,6- 6,4 mol setara Trolox/g bb)
lebih tinggi dibanding ubijalar putih, kuning atau orange, seperti yang diamati pada
varietas Ayamurasaki (Furuta et al. 1998 dalam Ginting 2011), dan juga lebih tinggi
dibanding biji kedelai hitam (0,62-0,76 mol setara Trolox/g bb), beras hitam (3,0-
4,3 mol setara Trolox/g bb), dan terong ungu (3,3-4,4mol setara Trolox/g bb)
(Suda et al. 2003 dalam Ginting 2011). Antosianin juga dilaporkan sebagai
antimutagenik dan antikarsinogenik (Yamakawa, 2002 dalam Ginting, 2011), dan
dapat mencegah gangguan pada fungsi hati, antihipertensi, dan antihiperglikemik
(Suda et al. 2003dalam Ginting, 2011).

2.4 Serat pangan dan oligosakarida


Serat pangan (dietary fiber) merupakan polisakarida yang tidak dapat dicerna/
dihidrolisis oleh enzim pencernaan manusia dan sampai ke dalam usus besar dalam
keadaan utuh (Silalahi 2006 dalam Ginting 2011). Senyawa pektin, hemiselulosa, dan
selulosa merupakan serat pangan yang terdapat pada ubijalar dan berperan dalam
menentukan nilai gizinya Huang et al. (1999) dalam Ginting (2011) melaporkan
kadar serat pangan cukup tinggi, yakni 2,3-3,9 g/100 g bb pada ubijalar ungu dan 2,3-
3,3 g/100 g bb pada ubijalar kuning/putih. Widowati (2007) dalam Ginting (2011)
melaporkan angka yang lebih tinggi, yakni 7,96% bb pada ubijalar segar dan 11,46%
bb pada tepung ubijalar. Asupan serat pangan dianjurkan 25 g/hari. Konsumsi 100 g
ubijalar memenuhi 8% angka kecukupan asupan tersebut.

8
Menurut Silalahi (2006) dalam Ginting (2011), serat pangan larut air seperti
pektin mudah terfermentasi oleh bakteri usus yang menguntungkan, seperti
Bifidobacteria sp menghasilkan asam lemak rantai pendek yang dapat meningkatkan
keasaman usus, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri merugikan seperti E. coli
dan S. faecalis. Kedua bakteri tersebut memfermentasi protein dan asam amino yang
lolos sampai ke kolon, menghasilkan fenol, kresol, indol, amina, dan amonia yang
dapat meningkatkan risiko kanker kolon dan kelenjar empedu. Jenis serat ini juga
berhubungan dengan metabolism karbohidrat dan lemak melalui pengikatan
kelebihan lemak, gula dan kolesterol pada darah. Jenis serat yang tidak larut air
seperti sellulosa dan hemisellulosa mempunyai kemampuan mengikat air dan
memperbesar volume fases serta mengurangi waktu transitnya di dalam kolon,
sehingga mencegah terjadinya sembelit.
Senyawa oligosakarida (polisakarida dengan rantai pendek), di antaranya
raffinosa, stakhiosa, dan verbaskosa, tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan
manusia, sehingga merupakan media yang baik untuk difermentasi oleh bakteri
menguntungkan di dalam kolon dan meningkatkan populasinya, sehingga menekan
pertumbuhan bakteri merugikan. Oleh karena itu, oligosakarida disebut juga sebagai
prebiotik. Proses fermentasi ini juga menghasilkan gas H2 dan CO2, sehingga
memudahkan orang untuk buang angin. Hanya pada orang yang sensitif,
oligosakarida dapat menyebabkan kembung (flatulence) setelah mengkonsumsi
ubijalar (Yang 1984 dalam Ginting 2011) karena umbi segar maupun yang telah
dimasak, kandungan sellobiosanya hanya 0,23%-0,4%, raffinosa dan verbaskosa
jumlahnya sangat kecil dan tidak ditemui stakhiosa (Woolfe 1992 dalam Ginting
2011).

2.5 Mie
Definisi mie menurut SII adalah produk makanan yang dibuat dari tepung
gandum atau tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan
bahan tambahan makanan yang diijinkan, bentuk khas mie dan siap dihidangkan
setelah dimasak. Mie yang disukai masyarakat Indonesia adalah mie dengan warna
kuning, bentuk khas mie yaitu berupa pilinan panjang yang dapat mengembang

9
sampai batas tertentu dan lenting serta kalau direbus tidak banyak padatan yang
hilang. Semua ini termasuk sifat fisik mie yang sangat menentukan terhadap
penerimaan konsumen.
2.6.1 Jenis-jenis mie
Walaupun pada prinsipnya mie dibuat dengan cara yang sama, tetapi di
pasaran dikenal beberapa jenis mie seperti mie segar/mentah (raw chinese noodle),
mie basah (boiled noodle), mie kering (steam and fried noodle), dan mie instant
(instant noodle).
a) Mie Mentah
Mie mentah adalah mie yang tidak mengalami proses tambahan setelah
pemotongan dan mengandung air sekitar 35%. Oleh karena itu, mie ini cepat
rusak. Penyimpanan dalam refrigerator dapat mempertahankan kesegaran mie
ini hingga 50-60 jam. Setelah masa simpan tersebut, warna mie akan menjadi
gelap.
b) Mie Basah
Mie basah adalah jenis mie yang mengalami proses perebusan setelah
tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan. Kadar airnya dapat mencapai
52% sehingga daya tahan simpannya relatif singkat (40 jam pada suhu
kamar). Di Indonesia, mie basah dikenal sebagai mie kuning atau mie bakso.
c) Mie Kering
Mie kering adalah mie mentah yang telah dikeringkan hingga kadar airnya
mencapai 8-10%. Pengeringan umumnya dilakukan dengan penjemuran di
bawah sinar matahari atau dengan oven. Karena bersifat kering, maka mie ini
mempunyai daya simpan yang relatif panjang dan mudah penanganannya.
Mie kering sebelum dipasarkan biasanya ditambahkan telur segar atau tepung
telur sehingga mie ini dikenal dengan nama mie telur. Penambahan telur ini
merupakan variasi sebab secara umum mie oriental tidak mengandung telur.
Di Amerika Serikat, penambahan telur merupakan suatu keharusan karena
mie kering harus mengandung air kurang dari 13% dan padatan telur lebih
dari 5,5%.

10
d) Mie Instant
Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 3551-1994, mie instant
didefenisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu
dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan makanan
tambahan yang diizinkan, berbentuk khas mie dan siap dihidangkan setelah
dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 4 menit. Mie instant
dikenal sebagai mie ramen. Mie ini dibuat dengan penambahan beberapa
proses setelah diperoleh mie segar. Tahap-tahap tersebut yaitu pengukusan,
pembentukan dan pengeringan. Kadar air mie instant umumnya mencapai 5-
8% sehingga memiliki daya simpan yang cukup lama.

11
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini diselenggarakan sejak tanggal 11-16 Mei 2015 bertempat di
Laboratorium Pendidikan Teknologi Agroindustri FPTK UPI.

3.2 Alat dan Bahan


Alat
Alat yang digunakan untuk pembuatan produk antara lain pisau, panci, kain
saring, tampah atau nyiru, grinder, kompor gas, ayakan, seater, noodle maker,
blender, wajan, timbangan, baskom plastik, oven, dan sendok.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ubi jalar ungu, tepung
terigu sebagai pensubstitusi, air, garam dapur, dan telur.

3.3 Prosedur Kerja


3.3.1Proses Pembuatan Tepung Ubi Ungu
Ubi jalar ungu dicuci dan dikupas kemudian diiris tipis-tipis atau
dilakukan proses pengecilan ukuran. Kemudian dikeringkan dalam oven pada
suhu 60oC selama 5 jam (sampai kering), didinginkan sampai suhu ruang,
kemudian dihaluskan dengan menggunakan grinder dan disaring dengan ayakan
80 mesh, diperoleh tepung ubi jalar ungu

12
Ubi jalar ungu

Pencucian

Pengupasan kulit dan pengecilan Limbah kulit ubi


jalar ungu
ukuran

Pengeringan (60oC 5 jam)

Pendinginan

Penggilingan

Pengayakan (80 mesh)

Tepung ubi ungu

Gambar 1 Diagram alir pembutaan tepung ubi ungu

3.3.2Proses Pembuatan Mie Kering


Proses pembuatan mie kering dari ubi jalar terdiri dari tahapan sebagai
berikut: Bahan baku berupa tepung ubi jalar ditimbang (50%). Kemudian, bahan
tambahan berupa tepung terigu50 %, garam 4,4 %, airsecukupnya dan telur ayam
17,6% dicampurkan ke dalam campuran adonan. Seluruh campuran bahan diaduk
sekitar 15 menit sampai terbentuk adonan yang homogeny. Adonan dimasukkan
ke dalam alat penipis adonan (seater) hingga membentuk lempengan kemudian
dicetak dengan alat pemotong (noodle maker) hingga terbentuk pilinan mie.

13
Dilakukan pengukusan selama 10 menit pada suhu 100oC. Mie hasil pengukusan
kemudian dikeringkan dengan pengering cabinet suhu 60 C selama 5 jam
sehingga dihasilkan mie kering.

Tepung Ubi jalar ungu

Penimbangan

tepung terigu 50%,


garam 4,4 %, air Pencampuran dan
secukupnya, telur pengadukan (15 menit)
ayam 17,6%

Adonan kalis

Pemasukan ke alat penipis adonan (seater)

Pencetakan dengan alat pemotong (noodle maker)


terbentuk pilinan mie

pengukusan selama 10 menit pada suhu 100 oC

Pengeringan suhu 60 C selama 5 jam

Mie kering Ubi ungu

Gambar 2 Diagram alir pembuatan mie kering dengan tepung ubi jalar ungu

14
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan


Berikut tabel pembuatan mie kering ubi ungu dengan beberapa percobaan yang
dilakukan:
Percobaan 1 Tepung komposit : (Tepung Tapioka 15%, tepung ubi jalar ungu
85%), dari telur ayam utuh, air 30%, garam 0.5%
Percobaan 2 Tepung komposit : (Tepung Terigu 15%, tepung ubi jalar ungu
85%), dari telur ayam utuh, air 30%, garam 0.5%
Percobaan 3 Tepung komposit : (Tepung Terigu 50%, tepung ubi jalar ungu
50%), telur ayam 17,6%, air secukupnya, garam 4,4%
Hasil Akhir Hasil akhir pembuatan mie ubi ungu menggunakan referensi
percobaan 3

Berikut tabel hasil pengamatan karakteristik produk mie kering yang dihasilkan pada
masing-masing percobaan:
Atribut Percobaan 1 Percobaan 2 Percobaan 3 Hasil Akhir
Warna ungu Ungu Ungu Ungu
kecoklatn +++ kecoklatan +++ kecoklatan kecoklatan
Rasa Hambar Hambar Mie pas (tidak Mie pas (tidak
terlalu asin atau terlalu asin
kurang asin) atau kurang
asin)
Tekstur Tidak menyatu Menyatu Menyatu dan Menyatu dan
dan adonan namun kurang kenyal kenyal
mudah kenyal
terpisah
Aroma Tepung ubi Tepung ubi Aroma mie dan Aroma mie
ungu ungu ubi jalar dan ubi jalar

15
Berikut uji kesukaan panelis terhadap karakteristik mie ubi ungu:
Panelis Rasa Aroma Warna Tekstur Jumlah
1 4 4 4 4 16
2 4 4 4 4 16
3 3 3 3 3 12 Keterangan
4 3 4 2 2 11 1 tidak suka
5 4 3 3 2 12 2 agak suka
6 2 1 3 1 7 3 suka
7 3 2 3 2 10 4 sangat suka
Jumlah 23 21 22 18
Rata-rata 3,3 3 3,1 2,6

4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, pembuatan mie berbahan dasar
ubi jalar ungu ini dilakukan dengan tigak kali percobaan, dimana pada masing-
masing percobaan dihasilkan karaktersitik mie ubi ungu yang berbeda. Percobaan
dalam pembuatan mie ubi ungu kali ini didasarkan pada literatur yang digunakan
untuk memperoleh mie ubi ungu dengan karakteristik yang paling baik
Bahan baku mie kering ubi jalar dalam penelitian ini adalah umbi ubi jalar ungu
yang dijadikan tepung terlebih dahulu. Dalam penelitian lain yaitu Sarastani (2010),
ubi jalar yang digunakan dalam keadaan utuh, bukan dalam bentuk tepung ataupun
pati, sehingga menghemat waktu dan biaya. Namun, perlakuan ini memiliki
kekurangan yaitu daya simpan umbi lebih pendek daripada tepung atau pati, serta
umbi memerlukan sedikit lebih banyak ruang penyimpanan. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini digunakan tepung ubi jalar ungu sebagai bahan baku dalam pembuatan
mie.
Bahan baku lain yang digunakan dalam pembuatan mie ubi ini adalah tepung
terigu dan tepung tapioca sebagai tepung substitusi. Pembuatan mie dari tepung ubi
jalar memerlukan modifikasi dari proses pembuatan mie terigu karena tepung ubi
jalar tidak mengandung gluten. Sehingga memerlukan modifikasi proses untuk
memudahkan pembentukan untaian mie. Tujuan penggunaan tepung terigu adalah
pertimbangan kandungan protein terigu (glutein dan gliadin) yang membentuk gluten
dan akan menyumbang karakteristik elastis-kenyal pada produk mie. Pada percobaan

16
pertama dilakukan penambahan tepung tapioka atau sagu diharapkan kandungan
amilopektinnya yang tinggi dapat memberi efek kental dan lengket pada produk mie,
sehingga tidak pera atau keras. Namun ternyata hasil percobaan dengan penggunaan
tapung tapioka ini dihasilkan adonan yang keras dan ketika adonan dicetak untuk
membentuk lembaran mie, dihasilkan mie yang mudah patah.
Kadar amilosa tepung terigu lebih tinggi dibanding tepung ubi jalar ungu yaitu
sebesar 16 dibanding 18.8%, hal ini karena kandungan pati tepung terigu lebih besar
daripada kandungan pati ubi jalar ungu. Kandungan amilosa sebesar 12-24% dari
kandungan pati (Antarlina, 1999 dalam Widatmoko, 2015). Pati adalah polimer
glukosa yang terdiri dari amilosa dan amilopektin, hal ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi kadar pati maka semakin tinggi pula kadar amilosa dalam
amilopektin. Komponen yang paling banyak pada tepung ubi jalar ungu adalah pati
yaitu sebesar 48.6%. Kandungan pati tepung terigu yaitu sebesar 65 - 70%.
Penambahan telur diharapkan selain meningkatkan nutrisi mie, juga diharapkan
dapat memberikan karakter mie lebih kenyal, kompak, dan tidak lengket.
Penambahan garam pada adonan mie, memberikan karakter mie berasa gurih, tetapi
menghilangkan rasa dan aroma manis ubi. Formulasi akhir yang digunakan dalam
penelitian ini adalah tepung ubi jalar ungu 50%, tepung terigu 50%, garam, dan telur
atau pada percobaan tiga.

Pengolahan mie ubi


Pembuatan mie ubi ungu dilakukan dengan dua tahapan, yaitu pembuatan tepung
ubi jalar ungu, dan pembuatan mie ubi ungu. Pembuatan tepung ubi ungu diawali
dengan pencucian ubi ungu dengan air dan pengupasan kulit, kemudian dilakukan
pengecilan ukuran ubi ungu untuk memperbesar luas permukaan sehingga
mempermudah proses pengeringan. Pada saat penelitian, pengeringan ubi jalar ungu
dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 60 juga dilakukan pengeringan
secara alami di bawah sinar matahari untuk mengoptimalkan proses pengeringan.
Setelah diperoleh ubi jalar kering, kemudian dilakukan proses penghalusan dengan

17
menggunakan grinder, dan disaring hingga diperoleh tepung ubi jalar ungu halus
dengan kehalusan 80-100 mesh.
Tahapan selanjutnya yaitu pembuatan mie dengan tiga kali percobaan. Pada
penelitian pembuatan mie kering ini berdasarkan literatur yang digunakan tidak
terdapat proses pengukusan adonan. Sementara dalam penelitian Sugiyono (2011),
disebutkan bahwa parameter yang penting dalm proses pembuatan mie kering yang
menentukan kualitas produk adalah pengukusan pertama (gelatinisasi awal) dan
pengukusan kedua (gelatinisasi lanjutan). Proses pembuatan mie kering ubi jalar
terdiri dari tahapan pencampuran bahan, pengukusan pertama, pembentukan
lembaran, pembentukan mie, pengukusan kedua, dan pengeringan. Pengukusan
pertama dan pengukusan kedua merupakan tahapan kritis dalam pembuatan mie ubi
jalar. Pengukusan pertama dilakukan agar adonan mengalami gelatinisasi sebagian
sehingga memudahkan proses pembentukan lembaran. Pengukusan kedua dilakukan
untuk proses gelatinisasi lanjut. Tingkat gelatinisasi sangat menentukan tekstur dan
daya rehidrasi mie yang dihasilkan (Sugiyono, 2011).
Percobaan pertama yaitu subsitusi tepung yang digunakan antara 85% tepung ubi
jalar ungu dan 15% tepung tapioka, sedangkan perlakuan kedua yaitu substitusi
tepung yang digunakan antara 85% tepung ubi jalar ungu dan 15% tepung terigu.
Setelah dibentuk menjadi adonan terdapat perbedaan karakteristik kedua adonan
tersebut. Adonan pertama dengan substitusi tepung tapioka dihasilkan adonan yang
sulit dibentuk atau tidak kalis, sehingga pada saat dibentuk menjadi untaian mie
adonan mudah patah atau sulit dibentuk. Adonan kedua yaitu dengan subsitusi tepung
terigu dengan perbandingan tepung terigu 15% dan tepung ubi jalar ungu 85%
diperoleh adonan yang terlalu lembek sehingga sulit dibentuk. Untuk menyempurkan
adonan, kemudian tepung terigu ditambahkan hingga diperoleh formula antara tepung
ubi jalar ungu dan tepung terigu yang menghasilkan adonan yang kalis dan mudah
dibentuk dan tidak patah ketika dicetak menjadi untaian mie yaitu 50%:50%.
Pada tahap pembuatan adonan, ditambahkan telur sebanyak 17,6% dan garam
sebanyak 4,4% kemudian ditambahkan air secukupnya hingga diperoleh adonan yang
kalis. Penambahan telur dan garam ini untuk memperkuat tekstur mie juga menambah

18
cita rasa mie. Penambahan telur diharapkan dapat memberikan perbaikan kualitas
pada mie kering ubi jalar. Pemberian telur berguna untuk menambah rasa dan gizi,
memberi warna pada mie, menambah kualitas gluten, serta meningkatkan kelembutan
mie. Mie yang menggunakan telur rasanya lebih gurih, lebih kenyal, dan elastis.
Pemakaian minimal telur adalah 3-10 % dari berat tepung (Suyanti, 2010 dalam
Mulyadi, 2014). Kuning telur dipakai sebagai pengemulsi karena dalam kuning telur
terdapat lesitin. Selain sebagai pengemulsi, lesitin juga dapat mempercepat hidrasi air
pada tepung dan untuk mengembangkan adonan. Penambahan kuning telur juga akan
memberikan warna yang seragam (Astawan, 2003 dalam Mulyadi, 2014).
Berdasarkan literatur yang digunakan dalam pembuatan mie kering ini tidak
digunakan CMC sebagai bahan tambahan yang berfungsi untuk menghasilkan tekstur
mie dengan kekenyalan yang baik. Dari hasil penelitian Sugiyono et al., (2011) dalam
Mulyadi (2014), mie kering dari tepung ubi jalar memiliki kelemahan yaitu tekstur
dan warnanya kurang menarik. CMC berfungsi sebagai stabilizer yang
mengendalikan berpindahnya air dalam adonan mie pada saat dimasak, sehingga
adonan mie menjadi kompak dan tidak mudah hancur. CMC juga berfungsi untuk
mencegah terjadinya sinerisis, yakni pecahnya gel akibat perubahan suhu.
Selanjutnya dilakukan penipisan adonan atau pembuatan lembaran mie. Penipisan
dilakukan berulang, mulai dengan ketebalan besar sampai ketebalan semakin tipis,
yaitu sampai ketebalan yang diinginkan, yaitu 1-2 mm. ukuran ketebalan dapat diatur
dengan mengubah rongga/jarak alat penipis lembaran mie. Setelah lembaran tipis
terbentuk, dilanjutkan dengan pemotongan lembaran mie membentuk untaian mie.
Kekuatan untaian mie secara fisik dipengaruhi oleh kombinasi ketebalan dan lebar
lembaran mie, selain itu juga dipengaruhi oleh kandungan bahan adonan mie.
Untaian mie selanjutnya dikukus selama 10 menit. Sebaiknya pada proses
pengukusan mie ini untaian mie ubi diletakkan pada cetakan mie, untuk memberi
bentuk mie kering, mencegah mie basah lengket dengan alat kukus, dan memudahkan
pemindahan mie saat pengeringan, sehingga bentuk akhir mie kering seragam.
Karena pada penleitian yang dilakukan mie dikukus tidak dengan alat pencetak mie,
sehingga setelah pengukusan mie diperoleh lengket dan bentuknya tidak seragam,

19
sehingga dilakukan pemisahan secara manual. Setelah proses pengukusan dilakukan
proses pengeringan mie dengan menggunakan oven pada suhu 60 hingga mie
kering sempurna atau sekitar 4 jam.
Pada pengering oven gas, kestabilan suhu tidak terjamin karena keterbatasan
kemampuan alat yang mana tidak terdapat alat penstabil suhu. Pada alat oven, meski
di awal proses suhu pemanasan telah diatur sekitar 50-60, tetapi pada perjalanannya
suhu oven gas dapat jauh lebih tinggi dari suhu tersebut. Pengendalian suhu oven
hanya dapat dilakukan dengan buka/tutup pintu oven. Hal ini berakibat mie ubi yang
dihasilkan menjadi kecoklatan dan memiliki bentuk yang tidak seragam.
Karakteristik sensori mie
1. Warna
Warna adalah karakter visual yang dapat dinilai dengan mata, sehingga jika
dalam penyajian makanan kurang menarik akan mengurangi ketertarikan
konsumen. Hasil uji kesukaan karakteristik warna mie kering ubi ungu diperoleh
nilar rata-rata sebesar 3,1, hal ini menunjukkan bahwa panelis menyukai warna
mie kering ubi jalar ungu yang dihasilkan.
Berdasarkan hasil percobaan pada saat penelitian perbedaan substitusi tepung
yang digunakan sebagai bahan baku tidak memberikan hasil yang signifikan pada
karakteristik warna adonan mie yang dihasilkan, semua adonan mie berwarna
ungu kecoklatan. Warna ungu kecoklatan ini tentunya tidak diharapkan karena
pada penelitian pembuatan mie kering ini diharapkan warna mie ungu cerah.
Warna ungu kecoklatan ini disebabkan karena proses pengeringan ubi jalar pada
suhu yang tidak stabil seperti disebutkan di atas. Suhu oven yang digunakan
untuk pengeringan terkadang lebih dari 60, hal itu menyebabkan rusaknya
antosianin yang terdapat dalam ubi jalar ungu. Karena pigmen antosianin rentan
terhadap suhu tinggi. Pada saat penelitian, dilakukan percobaan dengan membuat
sari ubi jalar ungu yang digunakan sebagai zat warna. Namun, hal itu juga tidak
memberikan efek yang signifikan terhadap warna mie jalar ungu yang dihasilkan
atau warna mie ubi jalar ungu tetap ungu kecoklatan.

20
Pada penelitian ini tepung ubi jalar ungu yang digunakan pada awalnya 85%,
untuk memperbaiki tekstur penggunaan tepung ubi jalar hanya 50%. Berdasarkna
penelitian Nintami (2012), menyatakan bahwa variasi persentase substitusi tepung
ubi jalar ungu mempengaruhi tingkat kesukaan panelis dan menghasilkan warna
yang berbeda. Semakin banyak substitusi tepung ubi jalar ungu makan akan
menghasilkan warna ungu yang cerah. Hal ini dikarenakan warna ungu alami
pada mie kering berasal dari pigmen antosianin pada tepung ubi jalar ungu. Jenis
antosianin yang terdapat dalam ubi jalar ungu yaitu peonidin dan sianidin.
Antosianin bersifat tidak stabil dan mudah terdegradasi. Faktor yang
mempengaruhi kestabilan antosianin yaitu secara enzimatis dan non enzimatos.
Secara enzimatis, enzim polifenol oksidase mempengaruhi kestabilan antosianin
karena dapat merusak antosianin dan faktor yang mempengaruhi kestabilan
antosianin secara non enzimatis yaitu pH, suhu, cahaya, dan gula.
Selain itu menurut Sugiyono (2011), menyatakan bahwa warna mie akan
semakin gelap dengan perlakukan pengukusan. Hal ini disebabkan karena tingkat
gelatinisasi yang semakin tinggi menyebabkan warna mie lebih gelap. Selain itu
menurut Mulyadi (2014), perubahan warna menjadi kecoklatan juga dapat
disebabkan karena terjadinya reaksi pencoklatan ketika adonan mie dikukus.
2. Tekstur
Tekstur mie kering merupakan salah satu penentu kualitas mie kering yang
dihasilkan. Berdasarkan penelitian dengan penggunaan substitusi tepung yang
berbeda menghasilkan tekstur adonan dan tekstur mie yang dihasilkan. Pada
substitusi dengan tepung tapioka dihasilkan adonan yang tidak menyatu atau
mudah patah ketika akan dicetak, sedangkan pada substitusi dengan
menggunakan tepung terigu dihasilkan adonan yang menyatu dan kenyal.
Berdasarkan hasil uji kesukaan diperoleh nilai rata-rata tekstur mie kering sebesar
2,6. Nilai ini berada di rentang agak suka hingga suka. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa panelis masih menyukai tekstur mie kering yang dihasilkan.
Dalam penelitian Pratama (2014), disebutkan bahwa mie kering dengan
substitusi tepung ubi jalar ungu yang berbeda akan memiliki kekenyalan yang

21
berbeda. Mie dengan substitusi 30% tepung ubi ungu memiliki tekstur yang lebih
lembek. Hal ini disebabkan semakin banyak substitusi tepung ubi jalar ungu,
maka gluten dan amilopektin terigu menjadi berkurang. Kekenyalan ini
dipengaruhi oleh komposisi gluten dan fraksi amilopektin tepung terigu. Fraksi
amilopektin pada tepung terigu dapat menjadi perekat yang baik bagi komponen-
komponen penyusun mie sehingga menguatkan ikatan molekul yang menjadikan
mie tidak mudah terputus. Tepung terigu mampu membentuk gluten saat dibasahi
dengan air, akibat interaksi antara prolamin yang sedikit gugus polarnya dengan
glutelin yang banyak gugus polarnya (Rosa, 2004 dalam Pratama, 2014). Hal ini
terjadi karena adanya pembentukan ikatan antar molekul protein. Ikatan-ikatan ini
membentuk struktur tiga dimensi yang memberikan kekokohan pada adonan.
Hal ini dikarenakan semakin rendah tepung terigu yang digunakan sehingga
semakin rendah kadar protein gluten yang dihasilkan. Rendahnya kadar protein
ini akan menyebabkan turunnya daya putus mie kering masak. Elastisitas dari mie
kering masak dipengaruhi oleh gluten, di mana gluten memiliki sifat penting yaitu
apabila dibasahi dan diberi perlakuan mekanis maka akan terbentuk suatu adonan
yang elastis (Mardhatillah, 2008 dalam Pratama, 2014).
Kadar protein memiliki pengaruh terhadap daya patah mie kering yang
dihasilkan, semakin tinggi kadar protein, maka daya patah mie kering akan
semakin tinggi. Protein dalam tepung menghasilkan struktur mie yang kuat dan
dihasilkan dari adanya ikatan antara komponen pati dan protein, sehingga daya
patahnya juga meningkat (Singh, 2013 dalam Widatmoko, 2015). Gluten
memiliki sifat elastis dan plastis yaitu sifat yang digunakan untuk menghasilkan
mie yang tidak mudah putus (Suarni, 1999 dalam Widatmoko, 2015). Oleh
karena itu, semakin tinggi kandungan gluten mie kering ubi jalar ungu yang
terbentuk bagus dan tidak mudah patah. Protein di dalam tepung terigu untuk
pembuatan mie harus dalam jumlah yang tinggi supaya mie menjadi elastis dan
bagus (Suarni, 2000 dalam Widatmoko, 2015).
Oleh karena itu, berdasarkan hasil percobaan diperoleh perbandingan antara
tepung ubi jalar ungu dan tepung terigu yang digunakan yaitu 50%:50% sesuai

22
dengan teoeri di atas akan menghasilkan adonan yang elastis dan tidak mudah
putuh ketika akan dicetak menjadi untaian mie. Tingkat kekenyalan mie yang
belum efektif juga dapat dimaksimalkan dengan penambahan zat yang dapat
memberikan tekstur kenyal, seperti CMC. Penggunaan bahan tambahan seperti
CMC atau guar gum diharapkan dapat menyebabkan turunnya amilosa terlarut
sehingga fraksi amilosa yang mengalami retrogradasi juga lebih sedikit. Hal ini
menyebabkan tekstur mie menjadi lebih lunak (Kurniawati, 2006 dalam Mulyadi,
2014).
Selain itu penambahan telur dalam pembuatan mie kering juga berpengaruh
terhadap tekstur mie yang dihasilkan. Pemberian telur berguna untuk
meningkatkan kelembutan mie. Mie yang menggunakan telur rasanya lebih gurih,
lebih kenyal, dan elastis. Kuning telur dipakai sebagai pengemulsi karena dalam
kuning telur terdapat lesitin. Selain sebagai pengemulsi, lesitin juga dapat
mempercepat hidrasi air pada tepung dan untuk mengembangkan adonan
(Astawan, 2003 dalam Mulyadi, 2014).

3. Rasa
Rasa merupakan komponen sensori yang penting karena konsumen cenderung
menyukai makanan dengan cita rasa yang enak. Rasa merupakan rangsangan yang
ditimbulkan oleh bahan yang dimakan dan yang dirasakan oleh indera pengecap.
Terdapat empat jenis rasa yang dikenali yaitu manis, asin, asam, dan pahit
(Nintami, 2012). Berdasarkan hasil uji kesukaan panelis diperoleh nilai rata-rata
rasa mie ubi ungu sebesar 3,3, hal ini menunjukkan bahwa rasa mie ubi ungu
yang dihasilkan disukai oleh panelis.
Rasa yang dihasilkan dari percobaan ketiga yaitu rasa mie kering gurih, rasa
akan dihasilkan dari penggunaan bahan-bahan dalam pembuatan mie. Rasa gurih
berasal dari garam yang diberikan (Nintami, 2012). Selain itu rasa juga
disebabkan oleh penambahan telur pada pembuatan mie. Komposisi yang sesuai
akan menghasilkan mie dengan rasa yang pas.

23
4. Aroma
Aroma merupakan komponen bau yang ditimbulkan oleh suatu produk yang
terindentifikasi oleh indra pencium. Aroma merupakan penentu kualitas produk
terhadap diterima atau tidaknya produk tersebut. Timbulnya aroma disebabkan
oleh zat yang bersifat volatile (menguap), sedikit larut dalam air dan lemak.
Aroma yang dihasilkan pada percobaan tiga yaitu aroma mie dan ubi ungu,
sedangkan pada percobaan satu dan dua aroma tepung ubi ungu masih dominan.
Sedangkan uji kesukaan aroma mie terhadap panelis diperoleh nilai rata-rata
aroma sebesar 3, hal ini menunjukkan aroma mie kering ubi ungu yang dihasilkan
disukai panelis. Aroma yang dihasilkan disebabkan karena adanya penambahan
bahan tambahan dalam pembuatan mie juga proses pembuatan mie akan
menghasilkan aroma mie yang khas.
Pada penelitian lain diketahui penggunaan tepung ubi jalar ungu membuat
aroma mie kering menjadi berbau langu yang berasal dari oksidasi pada lemak,
sehingga menyebabkan timbulnya hidroperoksida saat proses pemanasan
(Nintami, 2012). Bau langu disebabkan oleh aktivitas enzim lipoksigenase akan
menyerang rantai asam lemak tidak jenuh dan menghasilkan sejumlah senyawa
yang lebih kecil bobot molekulnya, terutama senyawa aldehid dan keton (Wieser,
2003 dalam Pratama, 2014). Namun, hasil penelitian tidak dihasilkan mie kering
yang berbau langu.

24
BAB V
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Pembuatan mie kering ubi ungu secara umum dilakukan dengan duatahapan,
yaitu pembuatan tepung ubi jalar ungu dan pembuatan mie kering ubi jalar
ungu.
2. Karakteristik fisik produk mie kering ubi ungu yang dihasilkan berwana ungu
kecoklatan, dengan tekstur menyatu dan kenyal, rasa gurih, dan aroma mie.
3. Formula yang paling baik untuk menghasilkan mie kering dengan kualitas
yang baik yaitu pada penggunaan tepung ubi jalar ungu dan tepung terigu
50%:50%.

4.2 Saran
Perlu diperhatikan suhu pengeringan ubi jalar ungu, agar tidak terjadi reaksi
pencoklatan yang dapat mempengaruhi karakteristik warna yang dihasilkan.
Selain itu, perlu dilakukan lebih lanjut penelitian ini untuk mendapatkan
formulasi optimum mie kering ubi jalar ungu, termasuk untuk mendapatkan
karakteristik mie yang lebih baik. Serta perlu dilakukan uji kadar antosianin
dalam produk sehingga dapat diketahui fungsi bahan pangan sebagai pangan
fungsionalnya.

25
DAFTAR PUSTAKA

Apriliyanti, Tina. 2010. Kajian Sifat Fisikokimia dan Sensori Tepung Ubi Jalar Ungu
(Ipomoea Batatas Blackie) dengan Variasi Proses Pengeringan. Skripsi.
Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. [online] diakses pada 08 April
2015.
Departemen Kesehatan (Depkes). 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Penerbit
Bharata. Jakarta. [online] diakses pada 08 April 2015.
Ginting, Erliana dkk. Potensi Ubijalar Ungu sebagai Pangan Fungsional. [Online].
Tersedia di http://pangan.litbang.pertanian.go.id/files/09-erliana.pdf diakses
pada april 2015
Ginting, Erliana., dkk. 2011. Iptek Tanaman Pangan: Potensi Ubijalar Ungu sebagai
Pangan Fungsional.Vol. 6 No. 1 2011. Peneliti pada Balai Penelitian
Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. [online] diakses pada
08 April 2015.
Hardoko.,dkk. 2010. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan: Pemanfaatan Ubi Jalar
Ungu (Ipomoea batatas L. Poir) Sebagai Pengganti Sebagian Tepung Terigu
dan Sumber Antioksidan pada Roti Tawar. Vol. XXI. No. 1. Jurusan
Teknologi Pangan, Universitas Pelita Harapan. [online] diakses pada 08 April
2015.
Mulyadi, Arie Febrianto., Susinggih Wijana. Ika Atsari Dewi., dan Widelia Ika Putri.
2014. Karakteristik Organoleptik Produk Mie Kering Ubi Jalar Kuning
(Ipomoea batatas) (Kajian Penambahan Telur dan CMC). Jurnal Teknologi
Pertanian. Vol.15 No.1. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya.
Malang.
Nintami, Ayudya Luthfia. 2012. Kadar Serat, Aktivitas Antioksidan, Amilosa dan Uji
Kesukaan Mie Basah Dengan Substitusi Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomoea
batatas var Ayamurasaki) Bagi Penderita Diabetes Melitus Tipe-2. Artikel
Penelitian. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro. Semarang.
Pratama, Israzul Aji., Fithri Choirun Nisa. 2014. Formulasi Mie Kering Dengan
Substitusi Tepung Kimpul (Xanthosoma sagittifolium) dan Penambahan
Tepung Kacang Hijau (Phaseolus radiates L.) Jurnal Pangan dan
Agroindustri. Vol. 2 No.4. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas
Brawijaya. Malang.
Sarastani, Dewi. 2010. Mie Kering Berbahan Baku Ubi Jalar (Formulasi, Proses
Produksi, Karakteristik Produk). Institut Pertanian Bogor.
Sugiyono, Edi Setiawan, Elvira Syamsir, dan Hery Sumekar. 2011. Pengembangan
Produk Mi Kering Dari Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas) dan Penentuan
Umur Simpannya Dengan Metode Isoterm Sorpsi. Jurnal Teknologi dan

26
Industri Pangan. Vol. XXII No.2 Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Sukerti, Ni Wayan., Damiati., Marsiti, Istri Raka., Adnyawati. 2013. Pengaruh
Modifikasi Tiga Varietas Tepung UBi Jalar dan Terigu Terhadap Kualitas dan
Daya Terima Mie Kering. Jurnal Sains dan Teknologi. Vol.2 No.2. Fakultas
Teknik dan Kejuruan, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja.
Widatmoko, Roni Bagus., Teti Estiasih. 2015. Karakteristik Fisikokimia dan
Organoleptik Mie Kering Berbasis Tepung Ubi Jalar Ungu Pada Berbagai
Tingkat Penambahan Gluten. Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol.3 No.4.
Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Widyaningtyas, Mita., Wahono Hadi Susanto. 2015. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi
Hidrokoloid (Carboxy Methyl Cellulose, Xanthan Gum, dan Karagenan)
Terhadap Karakteristik Mie Kering Berbasis Pasta Ubi Jalar Varietas Ase
Kuning. Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol.3 No.2. Fakultas Teknologi
Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.

27
LAMPIRAN FOTO

28

Anda mungkin juga menyukai