Anda di halaman 1dari 3

Hakikat Pendidikan dan Budaya

1. Pengertian Pendidikan

Secara ontologis, sasaran obyek pendidikan adalah manusia. Karena Manusia mengandung banyak aspek dan
sifatnya yang kompleks, karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak ada sebuah batasan yang cukup
memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Batasan pendidikan yang dirumuskan oleh para
ahli sangat beraneka ragam, dan kandungannyapun berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh orientasinya,
konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan atau karena falsafah yang melandasi luasnya aspek
yang dibina oleh pendidikan.[1]

Kegiatan pendidikan dalam garis besarnya dapat dibagi tiga: (1) kegiatan pendidikan oleh diri sendiri. (2)
kegiatan pendidikan oleh lingkungan, dan (3) kegiatan pendidikan oleh orang lain terhadap orang tertentu.
Adapun binaan pendidikan dalam garis besarnya mencakup tiga daerah; (1) daerah jasmani (2) daerah akal, dan
(3) daerah hati. Tempat pendidikan juga ada tiga yang pokok; (1) di dalam rumah tangga, (2) di masyarakat, dan
(3) di sekolah.[2]

Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai usaha pemberian informasi dan pembentukan ketrampilan saja,
namun diperluas, sehingga mencakup usaha untuk mewujudkan keinginan, kebutuhan dan kemampuan individu
sehingga tercapai pola hidup pribadi dan sosial yang memuaskan. Pendidikan bukan semata-mata sebagai
sarana untuk persiapan kehidupan yang akan datang, tetapi untuk kehidupan anak sekarang yang sedang
mengalami perkembangan menuju ke tingkat kedewasaan.

Dalam pengertian yang sederhana atau umum makna pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan
dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang
ada di dalam masyarakat dan kebudayaan.[3]

Pendidikan haruslah ditafsirkan secara luas, kini pendidikan dibatasi hanya sebagai schoolling, oleh sebab itu
tanggung jawab pendidikan oleh masyarakat telah dilimpahkan semuanya oleh sekolah. Hal ini telah
menyebabkan terasingnya pendidikan dari kehidupan nyata dan terlemparnya masyarakat dari tanggung jawab
pendidikan.

Pendidikan adalah suatu proses menaburkan benih-benih budaya dan peradaban manusia yang hidup dan
dihidupi oleh nilai-nilai atau visi yang berkembang di dalam suatu masyarakat. Inilah pendidikan suatu proses
pembudaya.[4]

Pendidikan ternyata tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan hidup masyarakat atau dengan kata lain merupakan
sebagian dari kebudayaan. Dengan demikian tujuan pendidikan yang selama ini hanya pembentukan intelektual
semata-mata haruslah diubah, meliputi pembentukan spektrum intelegensi manusia. Oleh sebab itu program
pendidikan sekolah tidak hanya ditujukan kepada sekelompok kecil anak-anak yang memiliki intelegensi
akademik, tetapi juga harus meliputi perkembangan berbagai macam intelegensi seperti intelegensi emosional,
intelegensi estetik, intelegensi interpersonal, dan seterusnya.[5]

Dengan tinjauan di atas, maka tujuan pendidikan bukan hanya manusia yang cerdas di dalam arti menguasai
kecerdasan akademik, tetapi yang terpenting adalah ia haruslah manusia yang berbudaya (cerdas dan beradab).
Selain itu dapat kita rumuskan kembali definisi pendidikan nasional adalah sebagai proses hominisasi dan
humanisasi seseorang berlangsung dalam lingkungan kehidupan keluarga dan masyarakat yang berbudaya kini
dan masa depan.[6]

Defisini yang sederhana di atas mengimplementasikan beberapa pengertian pendidikan. Pertama-tama ialah
bahwa pendidikan bukan hanya menjadikan manusia itu berbeda dengan binatang yang dapat makan, minum,
berpakaian dan mempunyai tempat tinggal, tetapi juga merupakan suatu proses humanisasi atau proses
pemanusiaan seseorang. Hal ini berarti bahwa inti pendidikan ialah memiliki dan melaksanakan nilai-nilai
kemanusiaan yang berlaku di dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Nilai-nilai tersebut hidup dan
berkembang, dikembangkan di lingkungan keluarga dan masyarakat yang berbudaya. Orientasi kebudayaan
tersebut merupakan tuntutan kehidupan masa depan termasuk kehidupan global.

2. Pengertian Budaya

Dalam ilmu antropologi yang telah menjadikan berbagai cara hidup manusia dengan berbagai macam sistem
tindakan sebagai obyek penelitian dan analisisnya. Maka dalam memberikan batasan terhadap konsep
kebudayaan atau culture sering sangat berbeda dengan ilmu lain.

Ilmu antropologi mendefinisikan kebudayaan adalah : Keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.[7]
Definisi lainnya juga diajukan oleh beberapa ahli antropologi terkenal (C. Wisster, C. Kluchohn, A. Davis/ A.
Hoebel). Kebudayaan adalah segala tindakan yang harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar (Learned
Behavier).[8]

E.B. Taylor mengemukakan kebudayaan adalah : suatu keseluruhan yang kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan kecakapan-kecakapan serta kebiasaan-
kebiasaan yang lainnya diperoleh/ dihasilkan manusia sebagai anggota masyarakat.

Koentjaraningrat mengemukakan kebudayaan adalah seluruh keseluruhan hasil kelakuan manusia yang teratur
dari tata kelakuan yang diperoleh dengan belajar.

Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi mengemukakan kebudayaan adalah semua karya dari cipta rasa dan
karsa masyarakat.[9] Budaya juga didefinisikan seluruh hasil usaha manusia dengan budinya berupa segenap
jiwa, yakni : cipta, rasa dan karsa.[10]

Kata kebudayaan berasal dari kata Sanskarta Buddhayanah, ialah bentuk jamak dari budhi yang berarti budi
atau akal. Kemudian kebudayaan itu diartikan : Hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Ada
pendirian lain mengenai asal dari kata kebudayaan itu, ialah bahwa kata itu adalah suatu perkembangan dari
majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal.[11]

Kekayaan manusia yang paling penting adalah pikiran dan perasaan. Kekayaan dan perasaan manusia dapat
menghasilkan karya yang biasanya disebut kebudayaan, karena itu manusia disebut sebagai mahluk berbudaya,
yang dimaksud adalah mahluk yang senantiasa mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan,
karena yang membahagiakan hidup manusia itu hakikatnya sesuatu yang baik, benar dan adil, maka dapat
dikatakan hanya manusia yang selalu berusaha menciptakan kebaikan, kebenaran dan keadilan sajalah yang
berhak menyandang manusia berbudaya.[12]

Definisi dari kebudayaan di atas hanya salah satu diantara lebih dari 179 buah definisi lain yang pernah
dirumuskan di atas kertas. Bahwa ada sekian banyak definisi dari kebudayaan, karena kebudayaan merupakan
keseluruhan total dari apa yang pernah dihasilkan oleh manusia yang muncul di muka bumi ini, kira-kira empat
juta tahun yang lalu, sampai sekarang. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa konsep kebudayaan itu
sedemikian luas ruang lingkupnya, sehingga seolah-olah tak dapat dibatasi.

Para ahli antropologi pendidikan seperti TheodoreBrameld melihat keterkaitan yang sangat erat antara
pendidikan, masyarakat, dan kebudayaan.

Nilai budaya adalah ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat
yang bersifat abstrak dan luas ruang lingkupnya. Konsepsi-konsepsi serupa itu biasanya luas dan kabur, tetapi
walaupun demikian, atau justru karena kabur dan tidak rasional, biasanya berakar dalam emosional dari alam
jiwa manusia.[13]

Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga
masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu suatu sistem
nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia
lain yang tingkatnya lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, semua juga
berpedoman kepada sistem nilai budaya.[14]

Suatu sistem nilai budaya sering juga berupa pandangan hidup atau world view bagi manusia yang
menganutnya. Namun istilah pandangan hidup sebaiknya dipisahkan dari konsep sistem nilai budaya.
Pandangan hidup itu biasanya mengandung sebagian dari nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, yang
dipilih secara efektif oleh para individu dan golongan-golongan dalam masyarakat. Dengan demikian apabila
sistem nilai itu merupakan pedoman hidup yang dianut oleh sebagian besar oleh warga masyarakat. pandangan
hidup itu merupakan suatu sistem pedoman yang dianut oleh golongan-golongan lebih sempit lagi individu-
individu khusus dalam masyarakat. karena itu hanya ada pandangan hidup golongan/ individu tertentu, tetapi
tak ada pandangan hidup seluruh masyarakat.[15]

Clifford Geertz mengemukakan bahwa nilai budaya dapat mempersatukan masyarakat Indonesia terbagi-bagi
berdasarkan orientasi nilai budaya dan agama.[16]

Nilai budaya yang perlu dimiliki oleh lebih banyak manusia Indonesia dari semua lapisan masyarakat adalah
nilai budaya yang berorientasi kemasa depan, suatu sistem nilai budaya yang semacam itu akan mendorong
manusia untuk melihat dan merencanakan masa depannya dengan lebih seksama dan teliti, dan oleh karena itu
akan memaksa manusia untuk hidup berhati-hati terutama dalam berhemat. Kita semua tahu bahwa sifat hemat
yang meluas itu amat perlu untuk memungkinkan suatu bangsa menyisihkan sebagian pendapatannya untuk
mengakumulasi modal.
Suatu nilai budaya lain yang juga perlu adalah nilai budaya yang berhasrat untuk mengeksplorasi lingkungan
alam dan kekuatan-kekuatan alam. Suatu nilai semacam itu akan menambah kemungkinan inovasi, terutama
dalam teknologi, pembangunan yang memerlukan usaha mengintensifkan produksi tentu tidak harus
memanfaatkan teknologi yang makin lama semakin disempurnakan. Mungkin ada yang beranggapan bahwa kita
tidak perlu mengembangkan suatu mentalitas yang menilai tinggi inovasi, karena kita tidak perlu lagi
mengembangkan teknologi. Sudah banyak bangsa-bangsa maju yang telah melakukannya, sehingga kita tinggal
membeli saja teknologi yang telah mereka kembangkan. Namun banyak diantara kita sudah mengalami pahit
getirnya membeli teknologi asing itu. Lagi pula teknologi asing tidak bisa begitu saja kita pakai, tetapi
memerlukan suatu adaptasi yang seksama. Adapun usaha untuk melakukan adaptasi itu sering merupakan suatu
proses yang sama sulitnya dengan mengembangkan teknologi juga memerlukan usaha mentalitas yang menilai
tinggi hasrat bereksplorasi, tetapi juga mutu dan ketelitian.[17]

[1]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Prespektif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1994, hlm 26.

[2]Ibid.

[3]Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 2.

[4]HAR. Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Remaja Rosda Karya, Bandung,
1999, hlm. 9.

[5]HAR. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 53.

[6]Ibid, hlm. 54.

7]Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm. 180.

[8]Ibid, hlm. 180

[9]Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 16

[10]Djoko Widagdho, Op.cit, hlm,. 27.

[11]Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 2002, hlm. 9.

[12]Djoko Widagdho, et.al, Ilmu Budaya Dasar, Bumi Aksara, Jakarta, 1994, hlm. 24.

[13]Ibid, hlm. 11.

[14]Ibid, hlm. 25.

[15]Kontjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Op.cit, hlm. 193-194.

[16]Syafri Suirin, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia Perspektif Antropologi, Pustaka Pelajar, Jakarta,
2001, hlm. 5.

[17]Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Op.cit, hlm. 34.

Anda mungkin juga menyukai