I. ANAMNESA
A. Identitas Penderita
Nama : Tn. Mahmud
Umur : 46
tahun Jenis Kelamin : Laki-
laki Agama : Islam
Pekerjaan : Tani
Alamat : Wih lah pegasing Aceh Tengah
No. RM : 158456
Masuk RS : 04 Septembe 2017
Pemeriksaan : 04 September 2017
B. Keluhan Utama
Sesak Napas
F. Riwayat Kebiasaan
1. Riwayat minum obat herbal : disangkal
2. Riwayat minum obat bebas : disangkal
3. Riwayat merokok : sering
4. Riwayat minum alkohol : disangkal
5. Riwayat olahraga : jarang
Cormembesar
Kesan : PNC Bilateral dengan
CTR= 60%,
Kesimpulan :
Kardiomegali
P/ CEK ELEKTROLIT
Ass / CHF Nyha III-IV +HHD +
Konstipasi + Neuropati
Elektrolit dan gas darah 06-09-2017
Natrium 132 meq/l
Natrium 3,6 meq/l
Chloride 99 meq/l
08-09-2017 S/ sesak (-) batuk (-) nyeri perut (+) Diet jantung III + diet DM
KU : tidak kooperarif 2000 kcal
Kesadaran : Somnolen (+) Ivfd Nacl 0,9% 15 gtt/i
O/ TD : 136/73 mmHg T : 36,2 C (+) Ivfd kidmin 1 gr/hari
RR : 27x/I HR : 95x/I (+) Inj meropenem 1
SPO2 : 92 % gr/12jam
Pf/ mata : konjungtiva pucat +/+ Inj furosemide amp/12
T/H/T : dalam batas normal jam
Thorax : ves +/+ Inj pantoprazole 1gr/hari
Abd : peristaltic (+) Inj meticobalamin 1 amp/8
Ext : udem (-) jam
Kekuatan otot 5 5
Inj citicolin 250mg/ hari
2 2 (12j)
Ass/ sepsis + CHF Nyha III-IV + HHD +
(+) Humolog R 4-4-4
Konstipasi + Neuropati + CKD ec PNC Bisoprolol 1x1 (STOP)
Irbesartan 1x 500mg
Amlodipine 1x10 mg
Zypraz 1 x malam
(STOP)
Domperidon 3x1
Lacoon syr 3 x c 1
(+) Aricef 2x1 tab
09-09-2017 S/ sesak (-) batuk (-) nyeri perut (-) Diet DM 2000 kcal
KU : tidak kooperarif Ivfd Nacl 0,9% 15 gtt/i
Kesadaran : Somnolen Ivfd kidmin 1 gr/hari
O/ TD : 154/100 mmHg T : 36,2 C Inj meropenem 1 gr/12jam
RR : 20x/I HR : 84x/I Inj furosemide amp/12 jam
SPO2 : 91 % Inj pantoprazole 1gr/hari
Pf/ mata : konjungtiva pucat +/+ Inj meticobalamin 1 amp/8
T/H/T : dalam batas normal jam
Thorax : ves +/+ Inj citicolin 250mg/12j
Abd : peristaltic (+) Humolog R 4-4-4
Ext : udem (-) Irbesartan 1x 500mg
Kekuatan otot 5 5 Amlodipine 1x10 mg
2 2
Domperidon 3x1
Ass/ sepsis + CHF Nyha III-IV + HHD +
Lacoon syr 3 x c 1
CKD ec PNC + Konstipasi + Neuropati +
Aricef 2x1 tab
DM tpe II
11-09-2017 S/ sesak (-) batuk (-) nyeri perut (-) Diet DM 2000 kcal
KU : tidak kooperarif Ivfd Nacl 0,9% 15 gtt/i
Kesadaran : Somnolen Ivfd kidmin 1 gr/hari
O/ TD : 143/98 mmHg T : 36,4 C Inj meropenem 1 gr/12jam
RR : 20x/I HR : 80x/I Inj furosemide amp/12 jam
SPO2 : 91 % KGDS : 159 GR/DL (8 jam)
Pf/ mata : konjungtiva pucat +/+ Inj pantoprazole 1gr/hari
T/H/T : dalam batas normal Inj mecobalamin 1 amp/8
Thorax : ves +/+ jam
Abd : peristaltic (+) Inj citicolin 250mg/12j
Ext : udem (-) (+) inj neurotam 1gr/12j
Kekuatan otot 5 5 (+) inj metronidazole 1 fls/12
2 2 jam
Ass/ sepsis + CHF Nyha III-IV + HHD + Humolog R 4-4-4
CKD ec PNC + Konstipasi + Neuropati + Irbesartan 1x 500mg
DM tpe II Amlodipine 1x10 mg
Domperidon 3x1
Lacoon syr 3 x c 1
Aricef 2x1 tab
12-09-2017 S/ sesak (-) batuk (-) nyeri perut (-) Diet DM 2000 kcal
KU : tidak kooperarif Ivfd Nacl 0,9% 15 gtt/i
Kesadaran : Somnolen Ivfd kidmin 1 gr/hari
O/ TD : 119/79 mmHg T : 36,2 C Inj meropenem 1 gr/12jam
RR : 20x/I HR : 92x/I (H5) AFF
SPO2 : 91 % kgds : 167 gr/dl Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
Pf/ mata : konjungtiva pucat +/+ (H1)
T/H/T : dalam batas normal Inj furosemide amp/12 jam
Thorax : ves +/+ Inj pantoprazole 1gr/hari
Abd : peristaltic (+)
Inj meticobalamin 1 amp/8
Ext : udem (-)
jam
Kekuatan otot 2 2
Inj citicolin 250mg/12j-
1 1
500mg
Ass/ sepsis + CHF Nyha III-IV + HHD +
Humolog R 4-4-4
CKD ec PNC + Konstipasi + Neuropati + Irbesartan 1x 500mg
DM tpe II Amlodipine 1x10 mg
Domperidon 3x1
Lacoon syr 3 x c 1
Aricef 2x1 tab
Inj dexametason 1 amp /12
jam
P/ pasang NGT
KONSUL NEUROLOGI
13-09-2017 S/ sesak (-) batuk (-) nyeri perut (-) Diet sonde
KU : tidak kooperarif Ivfd Nacl 0,9% 15 gtt/i
Kesadaran : Somnolen Ivfd kidmin 1 gr/hari
O/ TD : 127/89 mmHg T : 36,5 C Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
RR : 20x/I HR : 97x/I (H2)
SPO2 : 91 % kgds : 198 gr/dl Inj furosemide amp/12 jam
Pf/ mata : konjungtiva pucat +/+ Inj pantoprazole 1gr/hari
T/H/T : dalam batas normal Inj meticobalamin 1 amp/8
Thorax : ves +/+ jam
Abd : peristaltic (+)
Inj citicolin 500mg/12j
Ext : udem (-)
Humolog R 4-4-4
Kekuatan otot 2 2
Irbesartan 1x 500mg
1 1
Amlodipine 1x10 mg
Ass/ sepsis + CHF Nyha III-IV + HHD +
Domperidon 3x1
CKD ec PNC + Konstipasi + Neuropati +
Lacoon syr 3 x c 1
DM tpe II dd ensefalitis
Aricef 2x1 tab
Inj dexametason 1 amp /12
jam
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit ginjal kronik atau cronic kidney disease (CKD) adalah suatu proses
patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi
ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.
Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan
terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis atau transplantasi ginjal.1
Kriteria
1. Kerusakan ginjal >3 bulan yang didefinisikan sebagai struktur dan
fungsi ginjal yang abnormal, dengan atau tanpa penurunan GFR, dengan
manifestasi:
- Abnormalitas patologi
- Tanda-tanda kerusakan ginjal, meliputi kelainan komposisi
dalam darah atau urin, atau kelainan dalam imaging tests
2. GFR <60 ml/menit/1.73 m2 selama >3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal
Beberapa individu tanpa kerusakan ginjal dan dengan GFR normal atau
meningkat dapat beresiko menjadi CKD, sehingga harus dilakukan pemeriksaan
lanjutan untuk menentukan apakah individu-individu ini menderita CKD atau tidak.
Berikut kondisi-kondisi yang meningkatkan risiko terjadinya CKD.
Penyebab Insidens
Diabetes mellitus 44 %
- Tipe 1 (7%)
- Tipe 2 (37 %)
Glomerulonefritis 10 %
Nefritis interstisial 4%
Neoplasma 2%
Tidak diketahui 4%
Penyakit lain 4%
Glomerulonefritis 46,39 %
Hipertensi 8,46 %
Table 4. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia tahun 2000
Ket:
Scr = kreatinin serum (mg/dL)
K = 0.7 (jika wanita) ; 0.9 (jika pria)
= 0.329 (untuk wanita) ; -0.411 (untuk pria)
minimal = mengindikasikan Scr/k,1 minimum
maks = mengindikasikan Scr/k,1 maksimum
Pada umumnya penderita CKD stadium 1-3 tidak mengalami gejala apapun
atau tidak mengalami gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, endokrin dan
metabolik yang tampak secara klinis (asimtomatik). Gangguan yang tampak secara
klinis biasanya baru terlihat pada CKD stadium 4 dan 5. Pada LFG 60 %
asimtomatik. Pada LFG 30% terdapat keluhan seperti urin sedikit, lemah, mual,
nafsu makan turun dan penurunan berat badan. Pada LFG <30% terdapat
manifestasi klinis antara lain gejala uremia nyata: anemia, peningkatan TD,
gangguan metabolism fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, mudah terkena
infeksi, gangguan keseimbangan volume (hipo/hipervolemia) dan gangguan
keseimbangan elektrolit (natrium dan kalium). Sedangkan pada LFG <15% timbul
gejala komplikasi serius yang memerlukan terapi pengganti ginjal (dialysis atau
transplantasi ginjal), pada keadaan ini terjadi stadium gagal ginjal.
b. Gambaran Laboratoris
c. Gambaran Radiologis
Pada pasien DM
- Kontrol gula darah hindari pemakaian metformin dan obat-obat
sulfonil urea dengan masa kerja panjang
- Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal
tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20 22 mEq/l. control
dislipidemia dengan target LDL <100 mg/dl dianjurkan dengan
golongan statin.
4) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Meliputi pengendalian DM, hipertensi, dislipidemia, anemia,
hiperfosfatemia dan terapi kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan
elektrolit.
5) Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
a. Anemia
Oleh karena defisiensi eritropoietin, defisiensi besi, kehilangan
darah (perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit
yang pendek akibat hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan
sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut atau
kronik.
Evaluasi anemia dimulai saat Hb 10 g% atau Ht 30%, meliputi
evaluasi status besi (kadar besi serum/serum iron), kapaitas ikat
besi total, feritin serum, mencari sumber perdaragan,
morfologieritrosit, kemungkinan hemolisis, dsb
Transfusi yang tidak cermat kelebihan cairan tubuh,
hiperkalemi dan perburukan fungsi ginjal
Sasaran Hb 11 12 g/dl
b. Osteodistrofi ginjal mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian
hormone kalsitriol
c. Hipoerfosfatemia
Pembatasan fosfat (diet rendah fosfat, tinggi kalori, rendah protein
dan rendah garam). Asupan fosfat 600 800 mg/hari.
Pemberian pengikat fosfat garam kalsium, alumunium
hidroksida, garam magnesium.
Indikasi dialisis
1. Uremia >200 mg%
2. Asidosis dengan pH darah < 7,2
3. Hiperkalemia > 7 meq/liter
4. Kelebihan/retensi cairan dengan tanda gagal jantung / edema paru
5. Klinis uremia, kesadaran menurun (koma)
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomosistinemia
Cenderung
hiperkalemia
Dislipidemia
Uremia
Tujuan terapi
Keterangan:
Efek implementasi dari modifikasi diatas bergantung pada dosis dan waktu, dan
lebih baik pada beberapa orang.
2. Terapi farmakologi
Obat antihipertensi
Kelas Obat (Nama Dagang) Dosis Frekuensi
Penggunaan Penggunaan/hari
(Mg/hari)
Diuretik Tiazide Klorotiazide (Diuril) 125-500 1-2
Klortalidone (generik) 12,5-25 1
Hidroklorotiazide (Mikrozide, HidroDIURIL ) 12,5-50 1
Polythiazide (Renese) 2-4 1
Indapamide (Lozol ) 1,25-2,5 1
Metalazone (Mykrox) 0,5-1,0 1
Metalazone (Zaroxolyn) 2,5-5 1
FAKTOR DASAR
RESIKO REKOMENDASI OBAT PERCOBAAN
INDIKASI KLINIK
(PENYAKIT Diuretik Beta AC ARB CCB ALDOANT
YANG bloker EI
MENYERTAI)
ACC/AHA
Gagal Jantung Heart Failure
Guideline,
MERIT-HF,
COPERNICUS
, CIBIS,
SOLVD, AIRE,
TRACE,
ValHEFT,
RALES
Infark Post- ACC/AHA
miokard Post-MI
Guideline,
BHAT,
SAVE,
Capricorn,
EPHESUS
Resiko Tinggi ALLHAT,
PJK HOPE,
ANBP2, LIFE,
CONVINCE
Diabetes NKF-ADA
Guideline,
UKPDS,
ALLHAT
Gagal Ginjal NFK Guideline,
Kronik Captopril Trial,
RENAAL,
IDNT, REIN,
AASK
Pencegahan PROGRESS
Stroke
Berulang
Tabel 12. Pedoman Penggunaan Beragam Obat Antihipertensi Pada Pasien Dengan (Penyakit
Yang Menyertai)
1. Gagal jantung
Disfungsi ventrikel dalam sistolik atau diastolic. Penilaian tekanan
darah dan control kolesterol adalah pencegahan utama dalam risiko gagal
jantung. Pada individu yang asimtomatik dengan disfungsi ventrikel,
direkomendasikan penggunaan ACEI dan beta bloker. Untuk indivudu dengan
gejala disfungsi ventrikel atau dengan penyakit jantung stadium akhir, maka
yang direkomendasikan adalah ACEI, beta bloker, ARB dan aldosteron bloker
dan loop diuretik.
2. Diabetes
Kombinasi dari dua atau lebih obat biasanya dibutuhkan untuk
mencapai target tekanan darah <130/80 mmHg. Diureetik tiazid, beta bloker,
ACEI, ARB dan CCB bermanfaat untuk mengurangi kejadian CVD dan
stroke pada pasien dengan diabetes. ACEI dan ARB menyebabkannefropati
diabetic dan mengurangi albuminuria dan ARB mengurangi
makroalbuminuria secara progresif.
3. Chronic kidney disease
Pada pasien dengan CKD, dengan penurunanekskresi dengan GFR
dibawah 60 ml/menit per 1,73 m2 (kreatinin >1,5 mg/dL pada pria atau >1,3
mg.dL pada wanita) atau terdapat albuminuria (>300 mg/hari atau 200 mg
albumin/g kreatinin), tujuan terapi adalah untuk memperlambat kerusakan
fungsi ginjal dan mencegah CVD. Hipertensi sering muncul pada pasien
CKD, terapi yang diberikan adalah tiga atau lebih obat untuk mencapai target
tekanan darah <130/80 mmHg. ACEI dan ARB menunjukkan efektifitas yang
progresif. Peningkatan kreatinin serum 35% tetap diberikan ACEI atau ARB
kecuali terdapat hiperkalemia. Pada pasien dengan CKD (GFR <30 ml/menit
1,73 m2, dengan kreatinin serum 2,5 3 mg/dl) dapat dinaikkan dosis loop
diuretic dan diberikan tambahan kombinasi obat.
4. CVD
Risiko dan manfaat dari menurunkan tekanan darah dakam serangan
stroke masih belum jelas. Control tekanan darah pada intermediate level
(160/100 mmHg) sampai kondisi pasien stabil atau membaik. Pada pasien
dengan kejadian stroke berulang, dapat diberikan kombinasi obat ACEI dan
diuretic tiazid.
2.5 Etiologi
Penyebab gagal jantung antara lain adalah infark miokardium, miopati jantung, defek
katup, malformasi congenital dan hipertensi kronik. Penyebab spesifik gagal jantung kanan
adalah gagal jantung kiri, hipertensi paru, dan PPOK (Corwin, 2001). Berikut adalah etiologi
gagal jantung akibat etiologi penyebabnya:
Pengisian volume yang abnormal:
Inkompetensi aorta
Inkompetensi mitral
Inkompetensi trikuspidal
Overtransfusi
Pirau kiri ke kanan
Hipervolemia sekunder
Tekanan pengisian yang abnormal:
Stenosis aorta
Hipertrofi Idiopatik
Stenosis Subaorta
Koarktasio aorta
Hipertensi
Disfunsi miokard:
Kardiomiopati
Miokarditis
Penyakit arteri koroner
Iskemik
Infark
Disritmia
Presbikardia
Gangguan pengisian
Stenosis mitral
Stenosis tricuspid
Tamponade jantung
2.6 Patofisiologi
Jantung yang normal dapat berespon terhadap peningkatan kebutuhan metabolism dengan
menggunakan mekanisme kompensasi yang bervariasi untuk mempertahankna cardiac output
(volume darah yang dipompa oleh ventrikel per menit). Cardiac output dipengaruhi oleh
perputaran denyut jantung dan pengaturan curah sekuncup. Mekanisme kompensai meliputi 1).
Respon sistem saraf simpatik terhadap baroreseptor atau kemoreseptor, 2) Pengencangan dan
pelebaran otot jantung untuk menyesuaikan terhadap peningkatan volume, 3) vasokontriksi arteri
renal dan aktivitas sistem rennin angiotensin, 4) respon-respon terdap serum sodium dan regulasi
ADH dari reabsorbsi cairan. Kegagalan mekanisme kompensasi dapat dipercepat oleh adanya
volume darah sirkulasi yang dipompakan untuk menentang peningkatan resistensi vaskuler oleh
pengencangan jantung. Kecepatan jantung memperpendek waktu pengisian ventrikel dan arteri
koronaria, menurunkan cardiac output dan menyebabkan oksigenasi yang tidak adekuat ke
miokardium.
Peningkatan tekanan dinding akibat dilatasi menyebabkan peningkatan tuntutan oksigen
dan pembesaran jantung (hipertropi) terutama pada jantung iskemik atau kerusakan yang
menyebabkan kegagalan mekanisme pemompaan. Dengan kata lain, apabila kebutuhan oksigen
tidak terpenuhi maka serat otot jantung semakin hipoksia, sehingga kontraktilitas berkurang.
Hipertensi sistemik yang kronik akan menyebabkan ventrikel kiri mengalami hipertropi
dan melemah. Hipertensi paru yang berlangsung lama akan menyebabkan ventrikel kanan
mengalami hipertropi dan melemah.
Ventrikel kiri yang melemah akan menyebabkan darah kembali ke atrium kiri, lalu ke sirkulasi
paru, ventrikel kanan dan atrium kanan, maka darah akan mulai terkumpul di sistem vena perifer.
Hasil akhirnya adalah semakin berkurangnya volume darah dalam sirkulasi dan menurunnya
tekanan darah serta perburukan siklus gagal jantung.
Kenaikan tekanan vena pulmo mengakibatkan terjadinya transudasi cairan dari kapiler ke
dalam jaringan alveoli dan hal ini menyebabkan sesak napas. Pegurangan curah jantung dan
volume darah arteri berakibat perubahan aliran darah ginjal. Pengaktifan sistem saraf simpatik
dan sistem angiotensin menyebabkan vasokonstriksi arteriola dan pemintasan aliran darah
menjauhi kortek perifer. Jadi kadar filtrasi glomeruli seiring dengan peningkatan reabsoprsi
tubuli proksimal dan keduanya menyebabkan retensi garam dan air.
Bila ventrikel kanan tidak mampu berkompensasi, terjadi dilatasi dari ruang, peningkatan
volume dan tekanan pada diastolic akhir ventrikel kanan, tahanan untuk mengisi ventrikel dan
peningkatan tekanan ini sebaliknya memantulkan ke hulu vena kava dan dapat diketahui dengan
peningkatan pada tekanan vena jugularis.
Retensi natrium dan air dapat terakumulasi pada rongga abdominal akibat peningkatan
tekanan intravaskuler yang mendorong cairan keluar dari sirkulasi portal, yang dikenal sebagai
ascites. Hal ini menimbulkan manifestasi seperti mual, muntah, atau anoreksia.
2.7 Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Fisik dan Diagnosis
Tanda dan gejala gagal jantung kiri adalah adanya dispnea, ortopnea, dispnea nocturnal
paroksismal, batuk iritasi, oedema pulmonal akut, penurunan curah jantung, irama gallop, crakles
paru, disritmia, pernapasan cheyne stoke. Untuk gagal jantung kanan ditandai dengan curah
jantung rendah, distensi vena jugularis, edema, dependen disritmia, penurunan bunyi napas.
Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan jika terdapat 2 gejala mayor atau 1 gejala
mayor dan ditambah dengan dua gejala minor. New York Heart Association (NYHA)
menetapkan klasifikasi sesak napas berdasarkan aktifitas:
Derajat I : Tidak ada gejala bila melakukan kegiatan fisik biasa
Derajat II : Timbul gejala bila melakukan aktifitas fisik biasa
Derajat III: Timbul gejala sewaktu melakukan kegiatan fisik ringan
Derajat IV : Timbul gejala pada saat istirahat
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Terapi Medikamentosa
Obat yang mempengaruhi kerja angiotensin II
Gagal jantung fase kompensata terjadi akibat aktifitas baik sistem simpatis
maupun sistem rennin angiotensin aldosteron, disini angiotensin II dan aldosteron merupakan
respon neuro-humoral yang mengakibatkan gangguan pada jantung, sehingga sesudah
sewajarnya diperlukan agen yang mampu menghambat aktifitas keduanya. ACE adalah suatu zat
yang diperlukan dalam konversi dari angiotensin I menjadi angiotensin II di dalam sistem RAA.
Sistem ini juga berpengaruh terhadap hipertensi, namun yang lebih penting lagi adalah efek
remodeling pada target organ sehingga menimbulkan gangguan fungsi target organ.
Diuretika
Diuretika dianjurkan diberikan pada semua gagal jantung kongestif dimana agen ini lebih
bersifat simptomatis daripada proteksi di organ target. Pada gagal jantung kongestif loop
diuretika (furosemid) lebih dianjurkan dibandingkan golongan tiazid . Namun demikian
pemakaian lama diuretika jenis ini dapat mengakibatkan aritmia yang ganas. Sebaliknya
kombinasi furosemid dengan spironolakton (diuretic hemat kalium) tidak meningkatkan risiko
aritmia ganas. Bahkan spironolakton direkomendasikan untuk diberikan pada gagal jantung berat
(NYHA III-IV) guna memperbaiki baik angka kesakitan maupun angka kematian.
Penghambat Beta
Pada masa yang lalu penghambat beta merupakan kontraindikasi pada semua klas fungsional
gagal jantung dan telah dibuktikan dapat menurunkan baik angka kematian maupun angka
kesakitan pada gagal jantung. Pada penelitian CIBIS II, penambahan bisoprolol pada terapi
dengan diuretika dan penghambat ACE pada pengobatan penderita gagal jantung dapat
menurunkan angka kematian oleh sebab apapun sebesar 32%, kematian mendadak 45%, masuk
rumah sakit 29% dengan tanpa efek samping yang berarti. Namun demikian beberapa keadaan
seperti asma bronkiale dan bradikardi tidak dianjurkan pemberian penghambat beta.
Digitalis
Dahulu digitalis merupakan indikasi utama pada pengobatan gagal jantung, akan
tetapi akhir-akhir ini sudah tidak merupakan indikasi utama walaupun masih bisa digunakan
sebagai tambahan terapi pada penderita gagal jantung yang dengan pemberian obat
konvensional masih belum membaik. Saat ini digitalis lebih dipakai untuk tujuan mengontrol
frekuensi ventrikel yang terlalu cepat baik pada atrial takikardi, flutter, maupun fibrilasi.
Anti koagulan
Pemberian anti koagulan warfarin pada pasien gagal jantung berat dengan irama sinus masih
merupakan kontroversi. Oleh karena itu perlu pertimbangan masak terapi anti koagulan pada
gagal jantung, dan mesti sangat dipertimbangkan efek dan risikonya. Pada gagal jantung
dengan atrial fibrilasi, warfarin dapat member manfaat menurunkan risiko terjadinya trombo-
emboli maupun stroke. Tidak semua pusat rumah sakit yang menangani gagal jantung
memakai anti koagulan secara rutin untuk semua pasiennya dengan gangguan fungsi ventrikel
sedang sampai berat dimana tidak ada kontraindikasinya.
Ada banyak terapi tambahan yang lain dan biasanya dilakukan di negara maju maupun yang
sedang berkembang termasuk di Indonesia, diantaranya pemasangan defibriliator secara
implant, biventricular pacing, ventricular assist devices. Demikian juga tindakan bedah
seperti transplantasi jantung, Coronary Artery Bypass Grafting (CABG), rekonstruksi katup
mitral pada disfungsi ventrikel kiri, Ventricular Reduction Surgery.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Diabetes Melitus tipe 2, disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik,
kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk
metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta
pankreas, maka diabetes mellitus tipe 2 dianggap sebagai non insulin dependent diabetes
mellitus. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan
75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui
DM setelah usia 30 tahun.
B. Epidemiologi
Prevalensi DM sulit ditentukan karena standar penetapan diagnosisnya berbeda-beda.
Berdasarkan kriteria American Diabetes Asociation tahun 2012 (ADA 2012), sekitar 10,2
juta orang di Amerika Serikat menderita DM. Sementara itu, di Indonesia prevalensi DM
sebesar 1,5-2,3% penduduk usia >15 tahun,bahkan di daerah Manado prevalensi DM sebesar
6,1%.
Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki. Wanita lebih berisiko
mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa
tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2008, menunjukan
prevalensi DM di Indonesia membesar sampai 57%, pada tahun 2012 angka kejadian
diabetes melitus di dunia adalah sebanyak 371 juta jiwa, dimana proporsi kejadian diabetes
melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang menderita diabetes mellitus dan hanya
5% dari jumlah tersebut menderita diabetes mellitus tipe 1.
Pemeriksan laboratorium bagi penderita DM diperlukan untuk menegakan diagnosis
serta memonitor terapi dan timbulnya komplikasi. Dengan demikian, perkembangan penyakit
bisa dimonitor dan dapat mencegah komplikasi.
C. Klasifikasi
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat kerusakan dari
sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing (terutama malam hari),
sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal
atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat
normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa
tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi
hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan
dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional
D. Anatomi Pankreas
Pankreas adalah organ pipih yang terletak dibelakang dan sedikit di bawah lambung
dalam abdomen. Organ ini memiliki 2 fungsi: fungsi endokrin dan fungsi eksokrin. Bagian
eksokrin dari pankreas berfungsi sebagai sel asinar pankreas, memproduksi cairan pankreas
yang disekresi melalui duktus pankreas ke dalam usus halus. Pankreas terdiri dari 2 jaringan
utama, Sloane (2003), yaitu:
- Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
- Pulau langerhans yang mengeluarkan sekretnya keluar. Tetapi, menyekresikan insulin dan
glukagon langsung ke darah.
Sel endokrin dapat ditemukan dalam pulau-pulau langerhans, yaitu kumpulan kecil sel
yang tersebar di seluruh organ. Ada 4 jenis sel penghasil hormon yang teridentifikasi dalam
pulau-pulau tersebut:
- Sel alfa, jumlah sekitar 20-40 %, memproduksi glukagon yang menjadi faktor
hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai antiinsulin like activity.
- Sel beta menyekresi insulin yang menurunkan kadar gula darah.
- Sel delta menyekresi somastatin, hormon penghalang hormon pertumbuhan yang
menghambat sekresi glukagon dan insulin.
- Sel F menyekresi polipeptida pankreas, sejenis hormon pencernaan untuk fungsi yang
tidak jelas.
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel
beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin
disintesis dan kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai dengan kebutuhan tubuh untuk
keperluan regulasi glukosa darah.
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk prepoinsulin (precursor hormon insulin) pada
retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, prepoinsulin mengalami
pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung-
gelembung (secretory vesicle) dalam sel tersebut. Di sini, dengan bantuan enzim peptidase,
proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk
disekresikan secara bersamaan melalui membran sel.
Ada beberapa tahapan dalam sekresi insulin, setelah molekul glukosa memberikan
rangsangan pada sel beta. Pertama, proses untuk dapat melewati membran sel yang
membutuhkan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang
terdapat dalam berbagai sel yang berperan proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai
"kenderaan" pengangkut glukosa masuk dari luar ke dalam jaringan tubuh. Glucose
transforter 2(GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta misalnya, diperlukan dalam proses
masuknya glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke dalam sel. Proses ini merupakan
langkah penting, agar selanjutnya ke dalam sel, molekul glukosa tersebut dapat mengalami
proses glikolisis dan fosforilasi yang akan membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang
terbebas tersebut, dibutuhkan untuk mengaktifkan proses penutupan K channel yang terdapat
pada membran sel. Terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel menyebabkan
depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh proses pembukaan Ca channel.
Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga meningkatkan kadar ion
Ca intrasel, suasana yang dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme yang
cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan.
E. Fisiologi
Pengaturan Homeostasis Glukosa
Organ yang mengatur glukosa dan lipid berkomunikasi dengan mekanisme saraf dan
humoral dengan lemak dan otot memproduksi adipokines, myokines, dan metabolit yang
mempengaruhi fungsi hati. Dalam keadaan puasa, kadar insulin yang rendah meningkatkan
produksi glukosa dengan mempromosikan glukoneogenesis hepatik dan glikogenolisis dan
mengurangi penyerapan glukosa di jaringan sensitif insulin (otot rangka dan lemak),
sehingga meningkatkan mobilisasi prekursor disimpan seperti asam amino dan asam lemak
bebas (lipolisis).
Gambar 3. Regulasi Homeostasis Glukosa.
Glukagon, disekresikan oleh sel alfa pankreas ketika glukosa darah atau insulin tingkat
rendah, merangsang glikogenolisis dan glukoneogenesis oleh hati dan medula ginjal. Pada
saat postprandial, beban glukosa memunculkan kenaikan insulin dan penurunan glukagon,
mengarah ke pembalikan proses ini. Insulin, suatu hormon anabolik, mempromosikan
penyimpanan karbohidrat dan lemak dan sintesis protein. Bagian utama dari glukosa
postprandial digunakan oleh otot rangka, efek dari penyerapan glukosa yang dirangsang oleh
insulin. Jaringan lain, terutama otak, menggunakan glukosa dalam model insulin insulin.
Faktor-faktor yang disekresi oleh miosit skeletal (irisin), adiposit (leptin, resistin,
adiponektin, dll), dan tulang juga mempengaruhi homeostasis glukosa.
Biosintesis Insulin
Insulin diproduksi di sel beta dari pulau pankreas. Hal ini awalnya disintesis sebagai
rantai tunggal asam amino-86 prekursor polipeptida, preproinsulin. Pengolahan proteolitik
selanjutnya menghilangkan sinyal peptida terminal amino, sehingga menimbulkan proinsulin.
Proinsulin secara struktural terkait dengan faktor pertumbuhan seperti insulin I dan II, yang
mengikat lemah pada reseptor insulin. Pembelahan fragmen 31, residu internal dari
proinsulin menghasilkan peptida C dan A (21 asam amino) dan B (30 asam amino) rantai
insulin, yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Molekul insulin matang dan C peptida
disimpan bersama-sama dan untuk disekresikan dari butiran sekresi dalam sel beta. Karena C
peptida dibersihkan lebih lambat dari insulin, itu adalah penanda yang berguna sekresi
insulin dan memungkinkan diskriminasi sumber endogen dan eksogen insulin dalam evaluasi
hipoglikemia. Sel beta pankreas mensekresikan islet amyloid polypeptide (IAPP) atau
amylin, suatu peptida 37-asam amino, bersama dengan insulin. Peran IAPP dalam fisiologi
normal tidak lengkap ditetapkan, tetapi merupakan komponen utama dari fibril amiloid yang
ditemukan di pasien dengan diabetes tipe 2, dan analog kadang-kadang digunakan dalam
mengobati tipe 1 dan tipe 2 DM. Insulin manusia diproduksi oleh teknologi DNA
rekombinan; perubahan struktural pada satu atau lebih residu asam amino memodifikasi
karakteristik fisik dan farmakologinya.
Sekresi Insulin
Glukosa adalah tombol pengatur sekresi insulin oleh sel beta pankreas, meskipun asam
amino, keton, berbagai nutrisi, peptida gastro-intestinal, dan neurotransmitter juga
mempengaruhi sekresi insulin. Kadar glukosa >3,9 mmol L (70 mg/dL) merangsang sintesis
insulin, terutama dengan meningkatkan protein translation dan processing. Glukosa
menstimulasi sekresi insulin dimulai dengan transportasi ke dalam sel beta oleh transporter
glukosa fasilitatif.
Gambar 4. Mekanisme glukosa merangsang sekresi insulin dan kelainan pada diabetes.
Fosforilasi glukosa oleh glukokinase adalah langkah tingkat pembatas yang mengontrol
glukosa dalam regulasi sekresi insulin. Metabolisme selanjutnya glukosa-6-fosfat melalui
glikolisis menghasilkan ATP, yang menghambat aktivitas dari K sensitif ATP+ channel.
Kanal ini terdiri dari dua protein yang terpisah: satu adalah tempat pengikatan hipoglikemik
oral tertentu (misalnya, sulfonilurea, meglitinides); yang lain adalah dalam hati meluruskan
K + channel protein (Kir6.2). Penghambatan kanal K+ ini menginduksi depolarisasi
membran sel beta, yang membuka tegangan saluran kalsium tergantung (yang mengarah ke
masuknya kalsium) dan menstimulasi sekresi insulin. Insulin profil sekretori mengungkapkan
berdenyut pat-tern dari pelepasan hormon, dengan semburan yang keluar kecil terjadi sekitar
setiap 10 menit, ditumpangkan pada osilasi amplitudo lebih besar dari sekitar 80-150 menit.
Incretins dilepaskan dari sel-sel neuroendokrin dari saluran pencernaan setelah asupan
makanan dan memperkuat sekresi insulin glukosa-dirangsang dan menekan sekresi glukagon.
Glukagon-like peptide 1 (GLP-1), incretin paling ampuh, dilepaskan dari sel-sel L di usus
kecil dan merangsang sekresi insulin hanya ketika glukosa darah di atas tingkat puasa.
Incretin analog atau agen farmakologis yang memperpanjang aktivitas endogen GLP-1
meningkatkan sekresi insulin.
Aksi Insulin
Setelah insulin disekresikan ke dalam sistem vena portal, ~50% dihapus dan
terdegradasi oleh hati. Insulin yang tak terekstraksi memasuki sirkulasi sistemik di mana ia
mengikat reseptor di situs sasaran. Insulin mengikat reseptor yang akan merangsang
aktivitas tyrosine kinase intrinsik, yang mengarah ke autofosforilasi reseptor dan perekrutan
molekul sinyal intracellular, seperti substrat reseptor insulin (IRS). IRS dan protein adaptor
lainnya menginisiasi kaskade kompleks reaksi phosphorylation dan defosforilasi,
mengakibatkan metabolisme luas dan efek mitogenik insulin. Sebagai contoh, aktivasi dari
fosfatidilinositol-3'-kinase (PI-3-kinase) jalur merangsang translokasi dari transporter
glukosa fasilitatif (misalnya, GLUT4) ke permukaan sel, sebuah acara yang sangat penting
untuk penyerapan glukosa oleh otot rangka dan lemak. Aktivasi jalur reseptor insulin
signaling lainnya menginduksi sintesis glikogen, sintesis protein, lipogenesis, dan regulisasi
berbagai gen dalam sel insulin responsif.
F. Patofisiologi DM Tipe II
insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu:
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia, dll)
DM tipe 2 memiliki komponen genetik yang kuat. Kesesuaian DM tipe 2 pada kembar
identik adalah antara 70 dan 90%. Individu dengan orangtua dengan DM tipe 2 memiliki
peningkatan risiko diabetes; jika kedua orang tua memiliki DM tipe 2, risiko mendekati 40%.
Resisten insulin, seperti yang ditunjukkan oleh penggunaan glukosa berkurang di otot
rangka, hadir dalam banyak kerabat nondiabetes, pertama-tingkat individu dengan DM tipe 2.
Penyakit ini poligenik dan multifaktor, karena selain kerentanan genetik, faktor lingkungan
(seperti obesitas, gizi, dan aktivitas fisik) memodulasi fenotip. Lingkungan di dalam rahim
juga berkontribusi, dan baik ditambah atau dikurangi berat badan lahir meningkatkan risiko
DM tipe 2 di usia dewasa. Gen yang mempengaruhi mengetik 2 DM yang tidak lengkap
diidentifikasi, namun studi asosiasi genome baru-baru ini telah mengidentifikasi sejumlah
besar gen yang menyampaikan risiko yang relatif kecil untuk tipe 2 DM (>70 gen, masing-
masing dengan risiko relatif 1,06-1,5). Paling menonjol adalah varian dari faktor transkripsi
7, seperti 2 gen yang telah dikaitkan dengan DM tipe 2 di beberapa populasi dan dengan IGT
dalam satu populasi berisiko tinggi untuk diabetes. Polimorfisme genetik yang terkait dengan
DM tipe 2 juga telah ditemukan dalam gen yang mengkode peroksisom proliferator-activated
receptor , ke dalam meluruskan kanal kalium, transporter Zinc, IRS, dan calpain 10.
Mekanisme lokus genetik yang meningkatkan kerentanan untuk DM tipe 2 masih tidak jelas,
tetapi kebanyakan diperkirakan mengubah fungsi pulau atau pengembangan atau sekresi
insulin. Meskipun kerentanan genetik untuk DM tipe 2 sedang diselidiki aktif (sejauh ini
diperkirakan <10% dari risiko genetik ditentukan oleh lokus), saat ini tidak mungkin untuk
menggunakan kombinasi dari lokus genetik yang dikenal untuk memprediksi DM tipe 2.
Resistensi insulin, penurunan kemampuan insulin untuk bertindak secara efektif pada
jaringan target (terutama otot, hati, dan lemak), merupakan fitur yang menonjol dari DM tipe
2 dan hasil dari kombinasi kerentanan genetik dan obesitas. Resistensi insulin relatif, karena
beredarnya tingkat insulin yang supranormal akan menormalkan glukosa plasma. Pada kurva
respon dosis insulin menunjukkan pergeseran ke kanan, menunjukkan berkurangnya
sensitivitas, dan respon maksimal berkurang, menunjukkan penurunan secara keseluruhan
dalam penggunaan glukosa maksimum (30-60% lebih rendah dari pada individu normal).
Resistensi insulin mengganggu penggunaan glukosa oleh jaringan sensitif insulin dan
meningkatkan output glukosa hepatik; kedua efek berkontribusi pada terjadinya
hiperglikemia.
Mekanisme molekuler yang tepat mengarah ke resistensi insulin pada DM tipe 2 belum
dijelaskan. Tingkat reseptor insulin dan aktivitas tyrosine kinase di otot rangka berkurang,
tetapi perubahan ini kemungkinan besar akibat hiperinsulinemia sekunder dan bukan defek
primer. Oleh karena itu, defek "postreseptor" pada insulin diatur oleh fosforilasi/defosforilasi
tampaknya memainkan peran dominan dalam resistensi insulin. Kelainan termasuk
akumulasi lipid dalam miosit skeletal, yang dapat mengganggu fosforilasi oksidatif
mitokondria dan mengurangi insulin merangsang produksi ATP mitokondria. Gangguan
oksidasi asam lemak dan akumulasi lipid dalam miosit tulang juga dapat menghasilkan
spesies oksigen reaktif seperti peroksida lipid. Dari catatan, tidak semua jalur transduksi
sinyal insulin resisten terhadap efek insulin (misalnya, mereka mengendalikan pertumbuhan
sel dan diferensiasi menggunakan mitogenik jalur activated protein kinase). Akibatnya,
hiperinsulinemia dapat meningkatkan aksi insulin melalui jalur ini, berpotensi mempercepat
kondisi diabetes terkait seperti aterosklerosis.
Obesitas menyertai DM tipe 2, khususnya di lokasi pusat atau visceral, dianggap bagian
dari proses patogenik. Selain ini depot lemak putih, manusia sekarang diakui memiliki lemak
coklat, yang memiliki kapasitas termogenik yang jauh lebih besar. Upaya sedang dilakukan
untuk meningkatkan kegiatan atau kuantitas lemak coklat (mis, myokine, irisin, dapat
mengkonversi putih untuk lemak coklat). Massa adiposit meningkat menyebabkan
peningkatan kadar beredar asam lemak bebas dan produk sel lemak lainnya. Misalnya,
adipocytes mengeluarkan sejumlah produk biologis (asam lemak bebas nonesterified, retinol-
binding protein 4, leptin, TNF-, resistin, IL-6, dan adiponektin). Selain mengatur berat
badan, nafsu makan, dan pengeluaran energi, adipokines juga memodulasi sensitivitas
insulin. Peningkatan produksi asam lemak bebas dan beberapa adipokines dapat
menyebabkan resistensi insulin di otot rangka dan hati. Misalnya, asam lemak bebas merusak
pemanfaatan glukosa di dalam otot rangka, meningkatkan produksi glukosa oleh hati, dan
merusak fungsi sel beta. Sebaliknya, produksi oleh adiposit adiponektin, suatu peptida yang
peka terhadap insulin, berkurang pada obesitas, dan ini dapat menyebabkan resistensi insulin
hepatik. Produk adiposit dan adipokines juga memproduksi keadaan peradangan dan
mungkin menjelaskan mengapa tanda peradangan seperti IL-6 dan protein C-reaktif sering
meningkat pada DM tipe 2. Selain itu, sel-sel inflamasi ditemukan menginfiltrasi jaringan
adiposa. Penghambatan jalur sinyal inflamasi seperti jalur nuklir faktor-kB (NF-kB) muncul
untuk mengurangi resistensi insulin dan meningkatkan hiperglikemia pada model binatang
dan sedang diuji pada manusia.
Sekresi insulin dan sensitivitas saling terkait. Pada DM tipe 2, sekresi insulin awalnya
meningkatkan respons terhadap resistensi insulin untuk menjaga toleransi glukosa normal.
Awalnya, defek sekretori insulin ringan dan selektif melibatkan glukosa yang merangsang
sekresi insulin, termasuk penrunan pada fase sekretori pertama. Respon terhadap
secretagogues nonglucose lainnya, seperti arginin, yang diawetkan, tapi fungsi beta
keseluruhan berkurang sebanyak 50% pada awal DM tipe 2. Kelainan pada pengolahan
proinsulin tercermin dengan peningkatan sekresi proinsulin di DM tipe 2. Akhirnya, defek
sekretori insulin adalah progresif. Alasan penurunan kapasitas sekresi insulin dalam DM tipe
2 tidak jelas. Asumsinya adalah bahwa defek genetik kedua menyebabkan kegagalan sel beta.
Massa sel beta turun sekitar 50% pada individu dengan lama DM tipe 2. Islet amyloid
polipeptida atau amylin, disekresikan oleh sel beta, membentuk deposit amyloid fibril
ditemukan di pulau dari individu dengan berdiri lama DM tipe 2. Apakah deposit amyloid
pulau seperti peristiwa primer atau sekunder tidak diketahui. Lingkungan metabolik diabetes
juga dapat berdampak negatif terhadap fungsi islet. Misalnya, hiperglikemia kronik paradoks
merusak fungsi islet (toksisitas glukosa) dan mengarah ke memburuknya hiperglikemia.
Peningkatan kontrol glikemik sering dikaitkan dengan peningkatan fungsi islet. Selain itu,
ketinggian kadar asam lemak bebas (lipotoxicity) dan lemak dari makanan juga dapat
memperburuk fungsi pulau. Mengurangi GLP-1 tindakan dapat berkontribusi untuk sekresi
insulin berkurang.
Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama,
glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin karena kadar insulin
meningkat. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun
konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia
setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin
menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.
G. Faktor Resiko
1. Obesitas
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah, pada derajat
kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah menjadi
200mg%.
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak tepatnya
penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi
pembuluh darah perifer.
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen diabetes. Diduga
bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang bersifat homozigot dengan
gen resesif tersebut yang menderita Diabetes Mellitus.
4. Dislipedimia
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah (Trigliserida > 250
mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan rendahnya HDL (< 35
mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes.
5. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus adalah > 45
tahun.
6. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi > 4000 gram.
7. Alkohol dan Rokok
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut diabetes
melitus yaitu: Poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak
kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah namun berat badan turun
dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah.
Gejala kronik diabetes melitus yaitu: Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti
tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk, pandangan
mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun bahkan pada
pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin
dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg.
Patofisiologi gejala DM
Pada keadaan defisiensi insulin relatif, masalah yang akan ditemui terutama adalah
hiperglikemia dan hiperosmolaritas yang terjadi akibat efek insulin yang tidak adekuat.
Hiperglikemia pada diabetes melitus terjadi akibat penurunan pengambilan glukosa
darah ke dalam sel target, dengan akibat peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300
sampai 1200 mg per 100ml. Hal ini juga diperberat oleh adanya peningkatan produksi
glukosa dari glikogen hati sebagai respon tubuh terhadap kelaparan intrasel. Keadaan
defisiensi glukosa intrasel ini juga akan menimbulkan rangsangan terhadap rasa lapar
sehingga frekuensi rasa lapar meningkat (polifagi).
I. Diagnosis
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200
mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam
setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal
untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan
dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tetapi punya resiko DM (usia
> 45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang,
melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida 250 mg/dl). Uji
diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa
oral (TTGO) standar.
glukosa
J. Tatalaksana
Tujuan Tatalaksana
- Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan
mencapai target pengendalian glukosa darah.
- Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati.
- Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Resistensi insulin merupakan dasar dari diabetes tipe 2, dan kegagalan sel mulai
terjadi sebelum berkembangnya diabetes yaitu dengan terjadinya ketidakseimbangan antara
resistensi insulin dan sekresi insulin. De Fronzo menyatakan bahwa fungsi sel menurun
sebesar kira-kira 20% pada saat terjadi intoleransi glukosa. Dengan demikian jelas bahwa
pendekatan pengobatan DM tipe 2 harus memperbaiki resistensi insulin dan memperbaiki
fungsi sel .
Hal yang mendasar dalam pengel olaan Diabetes mellitus tipe 2 adalah perubahan pola
hidup yaitu pola makan yang baik dan olahraga teratur. Dengan atau tanpa terapi
farmakologik, pola makan yang seimbang dan olahraga teratur (bila tidak ada kontraindikasi)
tetap harus dijalankan.
Target Glikemik
Penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan Studi Kumamoto
pada pasien DM tipe 2 menunjukkan target glikemik terapi DM tipe 2 yang menghasilkan
perbaikan prognosis jangka panjang. Hasil penelitian klinik dan epidemiologik menunjukkan
bahwa dengan menurunkan kadar glukosa maka kejadian komplikasi mikrovaskuler dan
neuropati akan menurun. Target kadar glukosa darah yang terbaik berdasarkan pemeriksaan
harian dan A1c sebagai index glikemia kronik belum diteliti secara sistematik. Tetapi hasil
penelitian DCCT (pada pasien diabetes tipe 1) dan UKPDS (pada pasien diabetes tipe 2)
mengarahkan gol pencapaian kadar glikemik pada rentang nondiabetik. Akan tetapi pada
kedua studi tersebut bahkan pada grup pasien yang mendapat pengobatan intensif, kadar A1c
tidak dapat dipertahankan pada rentang nondiabetik . Stu di tersebut mencapai kadar rata-rata
A1c ~7% yang merupakan 4SD diatas rata-rata non diabetik.
Target glikemik yang paling baru adalah dari ADA (American Diabetes Association)
yang dibuat berdasarkan kepraktisan dan projeksi penurunan kejadian komplikasi, yaitu A1c
<7%.
Pilar Penatalaksanaan DM
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
5. Cangkok pankreas
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (24 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan
insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung
kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria,
insulin dapat segera diberikan.
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk
dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan
perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa
darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat
pelatihan khusus.
2. Terapi Nutrisi Medis
- Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim
(dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya).
- Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya
guna mencapai sasaran terapi.
- Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada penyandang diabetes perlu
ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah
makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau
insulin.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
- Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 4565% total asupan energi.
- Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
- Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
- Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama
dengan makanan keluarga yang lain.
- Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
- Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas aman
konsumsi harian (Accepted-Daily Intake)
- Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari. Kalau
diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori sehari.
Lemak
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 2025% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan melebihi
30% total asupan energi.
- Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk).
- Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
Protein
- Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.
- Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe.
- Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan pro-tein menjadi 0,8 g/KgBB perhari
atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologiktinggi.
Natrium
- Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok
teh) garam dapur.
- Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
- Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti
natrium benzoat dan na-trium nitrit.
Serat
- Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes di-anjurkan mengonsumsi cukup
serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat,
karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
- Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari.
Pemanis alternative
- Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.
Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol danfruktosa.
- Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol danxylitol.
- Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
- Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek samping pada
lemak darah.
- Pemanis tak berkaloriyang masih dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin,
acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
- Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily Intake /
ADI).
Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 2530 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor
seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah
sbb:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm 100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus
dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks massa tubuh
dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT*
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,522,9
BB Lebih 23,0
*WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:RedefiningObesity and its
Treatment.
Dengan risiko 23,024,9
Obes I 25,029,9
Obes II > 30
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25
kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/kg BB.
- Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade antara 40 dan
59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas
usia 70 tahun.
- Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada
pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas
sangat berat.
- Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 2030% tergantung kepada tingkat kegemukan. Bila kurus
ditambah sekitar 2030% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan
penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 10001200 kkal perhari
untuk wanita dan 12001600 kkal perhari untuk pria.
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani secara teratur (34 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit). Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.
Tabel 2. Aktivitas Sehari-hari
4. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan
kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan
pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat
yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion.
1) Tiazolidindion
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di
samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada
penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasienpasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain
itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal
penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa (Acarbose).
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai
efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek
samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan
flatulens.
e. DPPIV inhibitor.
Glucagon-like peptide-1(GLP1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh sel L
di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk
ke dalam saluran pencernaan. GLP1 merupakan
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon.
Namun demikian, secara cepat GLP1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase4 (DPP4),
menjadi metabolit GLP1(9,36)amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan
GLP1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2. Peningkatan
konsentrasi GLP1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim
DPP4 (penghambat DPP4), atau memberikan hormon asli atau analognya (analog
incretin=GLP1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP4 inhibitor, mampu
menghambat kerja DPP4 sehingga GLP1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam
bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan
glukagon.
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP1 merupakan pendekatan baru untuk pengobatan
DM. Agonis GLP1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang tidak
menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP1 bahkan mungkin
menurunkan berat badan. Efek agonis GLP1 yang lain adalah menghambat penglepasan
glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan
binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang
timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian
dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan
pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO
tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah
ataupun fixed-combinationdalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari
kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah
belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau
kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat
menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO
dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada
malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin kerja menengah adalah 610 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan
harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.
Penilaian Hasil Terapi
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah. Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
- Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
- Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi. Guna
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa,
glukosa 2 jam post prandial, atau glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala
sesuai dengan kebutuhan.
b. Pemeriksaan A1C
Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting terutama
pada penyandang DM tipe 2 yang terkendali buruk (kadar glukosa darah>300 mg/dL). Peme-
riksaan benda keton juga diperlukan pada penyandang diabe-tes yang sedang hamil. Tes
benda keton urin mengukur kadar asetoasetat, sementara benda keton yang penting adalah
asam beta hidroksibutirat. Saat ini telah dapat dilakukan pemeriksaan kadar asam beta
hidroksibutirat dalam darah secara langsung dengan menggunakan strip khusus. Kadar asam
beta hidroksibutirat darah <0,6 mmol/L dianggap normal, di atas 1,0 mmol/L disebut ketosis
dan melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD. Pengukuran kadar glukosa darah dan benda
ke-ton secara mandiri, dapat mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya KAD.
Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diper-lukan pengendalian DM yang
baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah
mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang
diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah.
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar
glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan sesudah makan 145-180
mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan kriteria
pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga
untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia dan interaksi obat.
Table 3. Target Pengendalian DM
K. Penyulit Diabetes Mellitus
Penyulit Akut
1) Ketoasidosis diabetik (KAD)
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa
darah yang tinggi (300600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan
plasma keton(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300320 mOs/mL) dan terjadi
peningkatan anion gap.
2) Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (6001200 mg/dL),
tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330380 mOs/mL),
plasma keton (+/), anion gap normal atau sedikit meningkat. Catatan: kedua keadaan (KAD
dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Memerlukan
perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.
3) Hipoglikemia
TINJAUN PUSTAKA
A. Definisi
Hipertensi merupakan silent killer (pembunuh diam-diam) yang secara luas dikenal
sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat umum. Dengan meningkatnya tekanan darah dan
gaya hidup yang tidak seimbang dapat meningkatkan faktor risiko munculnya berbagai
penyakit seperti arteri koroner, gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal. Salah satu studi
menyatakan pasien yang menghentikan terapi anti hipertensi maka lima kali lebih besar
kemungkinannya terkena stroke.1
Hipertensi dianggap sebagai faktor risiko utama stroke, dimana stroke merupakan
penyakit yang sulit disembuhkan dan mempunyai dampak yang sangat luas terhadap
kelangsungan hidup penderita dan keluarganya. Hipertensi sistolik dan distolik terbukti
berpengaruh pada stroke. Dikemukakan bahwa penderita dengan tekanan diastolik di atas 95
mmHg mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk terjadinya infark otak dibanding dengan
tekanan diastolik kurang dari 80 mmHg, sedangkan kenaikan sistolik lebih dari 180 mmHg
mempunyai risiko tiga kali terserang stroke iskemik dibandingkan dengan dengan tekanan
darah kurang 140 mmHg. Akan tetapi pada penderita usia lebih 65 tahun risiko stroke hanya
1,5 kali daripada normotensi.3,4
B. Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Pada
kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui (essensial atau hipertensi
primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol. Kelompok
lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal
sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun
eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-
pasien ini dapat disembuhkan secara potensial.5
1. Hipertensi primer (essensial)
C. Klasifikasi Hipertensi
Ada beberapa klasifikasi dari hipertensi, diantaranya menurut The Seventh Report of
The Joint National Committee on Prevention, Detection, Eveluation, and Tretment of High
Blood Pressure (JNC7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi
kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2 (dilihat tabel 2), menurut
World Health Organization (WHO) dan International Society Of Hypertension Working
Group (ISHWG) (dilihat tabel 3).2
pra hipertensi
Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang semakin besar
risiko terserang hipertensi. Umur lebih dari 40 tahun mempunyai risiko terkena
hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga
prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan
kematian sekitar 50 % diatas umur 60 tahun. Arteri kehilangan elastisitasnya atau
kelenturannya dan tekanan darah seiring bertambahnya usia, kebanyakan orang
hipertensinya meningkat ketika 50an dan 60an.8
Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat angka yang
cukup bervariasi. Dari laporan Sugiri di Jawa Tengah didapatkan angka prevalensi 6,0%
untuk pria dan 11,6% untuk wanita. Prevalensi di Sumatera Barat 18,6% pria dan 17,4%
perempuan, sedangkan daerah perkotaan di Jakarta (Petukangan) didapatkan 14,6% pria
dan 13,7% wanita.10
c. Riwayat Keluarga
Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan peningkatan berat badan
yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan risiko
aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi
lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan
peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran,
biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan
darah.14
d. Penggunaan Jelantah
Jelantah adalah minyak goreng yang sudah lebih dari satu kali dipakai untuk
menggoreng, dan minyak goreng ini merupakan minyak yang telah rusak. Bahan dasar
minyak goreng bisa bermacam-macam seperti kelapa, sawit, kedelai, jagung dan lain-
lain. Meskipun beragam, secara kimia isi kendungannya sebetulnya tidak jauh berbeda,
yakni terdiri dari beraneka asam lemak jenuh (ALJ) dan asam lemak tidak jenuh
(ALTJ). Dalam jumlah kecil terdapat lesitin, cephalin, fosfatida, sterol, asam lemak
bebas, lilin, pigmen larut lemak, karbohidrat dan protein. Hal yang menyebabkan
berbeda adalah komposisinya, minyak sawit mengandung sekitar 45,5% ALJ yang
didominasi oleh lemak palmitat dan 54,1% ALTJ yang didominasi asam lemak oleat
sering juga disebut omega-9. minyak kelapa mengadung 80% ALJ dan 20% ALTJ,
sementara minyak zaitun dan minyak biji bunga matahari hampir 90% komposisinya
adalah ALTJ.10
e. Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman Beralkohol
h. Stres
Stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu dan bila stres
sudah hilang tekanan darah bisa normal kembali. Peristiwa mendadak menyebabkan
stres dapat meningkatkan tekanan darah, namun akibat stress berkelanjutan yang dapat
menimbulkan hipertensi belum dapat dipastikan.11
i. Penggunaan Estrogen
E. Patogenesis Hipertensi
Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi dilakukan
oleh aksi memompa dari jantung (cardiac output/CO) dan dukungan dari arteri (peripheral
resistance/PR). Fungsi kerja masing-masing penentu tekanan darah ini dipengaruhi oleh
interaksi dari berbagai faktor yang kompleks. Hipertensi sesungguhnya merupakan
abnormalitas dari faktor-faktor tersebut, yang ditandai dengan peningkatan curah jantung dan
/ atau ketahanan periferal.17
Endotelium
Exces Reduce stress Genetic obesity
derived
sodium nephrone alteration
factors
intake number
Fluid Venous
volume constiction
Autoregulation
Gambar 1. Beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan darah.11
Menurut Elizabeth J. Corwin, sebagian besar tanpa disertai gejala yang mencolok dan
manifestasi klinis timbul setelah mengetahui hipertensi bertahun-tahun berupa:
1. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat tekanan darah
intrakranium.
2. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi.
3. Ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan syaraf.
4. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus.
5. Edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler.8
G. Diagnosis Hipertensi
Data yang diperlukan untuk evaluasi tersebut diperoleh dengan cara anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang. Peninggian
tekanan darah kadang sering merupakan satu-satunya tanda klinis hipertensi sehingga
diperlukan pengukuran tekanan darah yang akurat. Berbagai faktor yang mempengaruhi hasil
pengukuran seperti faktor pasien, faktor alat dan tempat pengukuran.7
Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat hipertensi dan lama menderitanya, riwayat
dan gejala-gejala penyakit yang berkaitan seperti penyakit jantung koroner, penyakit
serebrovaskuler dan lainnya. Apakah terdapat riwayat penyakit dalam keluarga, gejala yang
berkaitan dengan penyakit hipertensi, perubahan aktifitas atau kebiasaan (seperti merokok,
konsumsi makanan, riwayat dan faktor psikososial lingkungan keluarga, pekerjaan, dan lain-
lain). Dalam pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah dua kali atau lebih
dengan jarak dua menit, kemudian diperiksa ulang dengan kontrolatera.18
Menurut Roger Watson, tekanan darah diukur berdasarkan berat kolum air raksa yang
harus ditanggungnya. Tingginya dinyatakan dalam millimeter. Tekanan darah arteri yang
normal adalah 110-120 (sistolik) dan 65-80 mm (diastolik). Alat untuk mengukur tekanan
darah disebut spigmomanometer. Ada beberapa jenis spigmomanometer, tetapi yang paling
umum terdiri dari sebuah manset karet, yang dibalut dengan bahan yang difiksasi disekitarnya
secara merata tanpa menimbulkan konstriksi. Sebuah tangan kecil dihubungkan dengan
manset karet ini. Dengan alat ini, udara dapat dipompakan kedalamnya, mengembangkan
manset karet tersebut dan menekan akstremita dan pembuluh darah yang ada didalamnya.
Bantalan ini juga dihubungkan juga dengan sebuah manometer yang mengandung air raksa
sehingga tekanan udara didalamnya dapat dibaca sesuai skala yang ada.19
Untuk mengukur tekanan darah, manset karet difiksasi melingkari lengan dan denyut
pada pergelangan tangan diraba dengan satu tangan, sementara tangan yang lain digunakan
untuk mengembangkan manset sampai suatu tekanan, dimana denyut arteri radialis tidak lagi
teraba. Sebuah stetoskop diletakkan diatas denyut arteri brakialis pada fosa kubiti dan tekanan
pada manset karet diturunkan perlahan dengan melonggarkan katupnya. Ketika tekanan
diturunkan, mula-mula tidak terdengar suara, namun ketika mencapai tekanan darah sistolik
terdengar suara ketukan (tapping sound) pada stetoskop (Korotkoff fase I). Pada saat itu tinggi
air raksa didalam namometer harus dicatat. Ketika tekanan didalam manset diturunkan, suara
semakin keras sampai saat tekanan darah diastolik tercapai, karakter bunyi tersebut berubah
dan meredup (Korotkoff fase IV). Penurunan tekanan manset lebih lanjut akan menyebabkan
bunyi menghilang sama sekali (Korotkoff fase V). Tekanan diastolik dicatat pada saat
menghilangnya karakter bunyi tersebut.13
Menurut Lany Gunawan, dalam pengukuran tekanan darah ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan, yaitu:
1. Pengukuran tekanan darah boleh dilaksanakan pada posisi duduk ataupun berbaring.
Namun yang penting, lengan tangan harus dapat diletakkan dengan santai.
2. Pengukuran tekanan darah dalam posisi duduk, akan memberikan angka yang agak lebih
tinggi dibandingkan dengan posisi berbaring meskipun selisihnya relatif kecil.
3. Tekanan darah juga dipengaruhi kondisi saat pengukuran. Pada orang yang bangun tidur,
akan didapatkan tekanan darah paling rendah. Tekanan darah yang diukur setelah berjalan
kaki atau aktifitas fisik lain akan memberi angka yang lebih tinggi. Di samping itu, juga
tidak boleh merokok atau minum kopi karena merokok atau minum kopi akan
menyebabkan tekanan darah sedikit naik.
4. Pada pemeriksaan kesehatan, sebaiknya tekanan darah diukur 2 atau 3 kali berturut-turut,
dan pada detakan yang terdengar tegas pertama kali mulai dihitung. Jika hasilnya berbeda
maka nilai yang dipakai adalah nilai yang terendah.
5. Ukuran manset harus sesuai dengan lingkar lengan, bagian yang mengembang harus
melingkari 80 % lengan dan mencakup dua pertiga dari panjang lengan atas.13
I. Penatalaksanaan Hipertensi
1. Penatalaksanaan Non Farmakologis
Selain untuk menjaga berat badan tetap normal, olahraga dan aktifitas fisik
teratur bermanfaat untuk mengatur tekanan darah, dan menjaga kebugaran tubuh.
Olahraga seperti jogging, berenang baik dilakukan untuk penderita hipertensi.
Dianjurkan untuk olahraga teratur, minimal 3 kali seminggu, dengan demikian dapat
menurunkan tekanan darah walaupun berat badan belum tentu turun.11
Menurut Dede Kusmana, beberapa patokan berikut ini perlu dipenuhi sebelum
memutuskan berolahraga, antara lain:
a. Penderita hipertensi sebaiknya dikontrol atau dikendalikan tanpa atau dengan obat
terlebih dahulu tekanan darahnya, sehingga tekanan darah sistolik tidak melebihi 160
mmHg dan tekanan darah diastolik tidak melebihi 100 mmHg.
b. Alangkah tepat jika sebelum berolahraga terlebih dahulu mendapat informasi
mengenai penyebab hipertensi yang sedang diderita.
c. Sebelum melakukan latihan sebaiknya telah dilakukan uji latih jantung dengan beban
(treadmill/ergometer) agar dapat dinilai reaksi tekanan darah serta perubahan
aktifitas listrik jantung (EKG), sekaligus menilai tingkat kapasitas fisik.
d. Pada saat uji latih sebaiknya obat yang sedang diminum tetap diteruskan sehingga
dapat diketahui efektifitas obat terhadap kenaikan beban.
e. Latihan yang diberikan ditujukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan tidak
menambah peningkatan darah.
f. Olahraga yang bersifat kompetisi tidak diperbolehkan.
g. Olahraga peningkatan kekuatan tidak diperbolehkan.
h. Secara teratur memeriksakan tekanan darah sebelum dan sesudah latihan.
i. Salah satu dari olahraga hipertensi adalah timbulnya penurunan tekanan darah
sehingga olahraga dapat menjadi salah satu obat hipertensi.
j. Umumnya penderita hipertensi mempunyai kecenderungan ada kaitannya dengan
beban emosi (stres). Oleh karena itu disamping olahraga yang bersifat fisik dilakukan
pula olahraga pengendalian emosi, artinya berusaha mengatasi ketegangan emosional
yang ada.
k. Jika hasil latihan menunjukkan penurunan tekanan darah, maka dosis/takaran obat
yang sedang digunakan sebaiknya dilakukan penyesuaian (pengurangan).20
3. Perubahan pola makan
a. Mengurangi asupan garam
Stres menjadi masalah bila tuntutan dari lingkungan hampir atau bahkan sudah
melebihi kemampuan kita untuk mengatasinya. Cara untuk menghilangkan stres yaitu
perubahan pola hidup dengan membuat perubahan dalam kehidupan rutin sehari-hari
dapat meringankan beban stres. Perubahan-perubahan itu ialah:
a. Rencanakan semua dengan baik. Buatlah jadwal tertulis untuk kegiatan setiap hari
sehingga tidak akan terjadi bentrokan acara atau kita terpaksa harus terburu-buru
untuk tepat waktu memenuhi suatu janji atau aktifitas.
b. Sederhanakan jadwal. Cobalah bekerja dengan lebih santai.
c. Bebaskan diri dari stres yang berhubungan dengan pekerjaan.
d. Siapkan cadangan untuk keuangan
e. Berolahraga.
f. Makanlah yang benar.
g. Tidur yang cukup.
h. Ubahlah gaya. Amati sikap tubuh dan perilaku saat sedang dilanda stres.
i. Sediakan waktu untuk keluar dari kegiatan rutin.
j. Binalah hubungan sosial yang baik.
k. Ubalah pola pikir. Perhatikan pola pikir agar dapat menekan perasaan kritis atau
negatif terhadap diri sendiri.
l. Sediakan waktu untuk hal-hal yang memerlukan perhatian khusus.
m. Carilah humor.
n. Berserah diri pada Yang Maha Kuasa. 15
2. Penatalaksanaan Farmakologis
Gagal jantung
kongestif, pasca
Diuretika (anti infark Gagal ginjal,
aldosteron) miokardium hiperkalemia
penyekat
Angina pectoris,
pasca infark
myocardium
Asma, penyakit
Penyakit pembuluh
gagal jantung
paru obstruktif darah perifer,
kongestif,
menahun, A-V intoleransi
kehamilan,
block glukosa, atlit atau
takiaritmia
pasien yang aktif
secara fisik
Calcium Antagonist
Usia lanjut, isolated Takiaritmia, gagal
(dihydropiridine) systolic jantung kongestif
hypertension,
angina pectoris,
penyakit
pembuluh darah
perifer,
aterosklerosis
karotis,
kehamilan
Angina pectoris,
aterosklerosis
Calcium Antagonist
karotis,
(verapamil,
takikardia A-V block, gagal
diltiazem)
supraventrikuler jantung
kongestif
Nefropati DM tipe
2,
mikroalbumiuria
Angiotensi II Kehamilan,
diabetic,
reseptor hiperkalemia,
proteinuria,
antagonist (AT1- stenosis arteri
hipertrofi
blocker) renalis bilateral
ventrikel kiri,
batuk karena
ACEI
Adapun Tatalaksana hipertensi menurut menurut JNC7 dapat dilihat pada tebel 5
dibawah ini :
Diuretika
Bloker ARB
Bloker CCB