Anda di halaman 1dari 103

Laporan kasus

I. ANAMNESA
A. Identitas Penderita
Nama : Tn. Mahmud
Umur : 46
tahun Jenis Kelamin : Laki-
laki Agama : Islam
Pekerjaan : Tani
Alamat : Wih lah pegasing Aceh Tengah
No. RM : 158456
Masuk RS : 04 Septembe 2017
Pemeriksaan : 04 September 2017

B. Keluhan Utama
Sesak Napas

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan bahwa dalam 1 minggu terakhir pasien
sering merasa sesak terutama saat beraktivitas seperti berjalan ke kamar
mandi, menaiki tangga, atau mengangkat barang. Namun, sesak berkurang
saat pasien beristirahat. Riwayat terbangun malam hari karena sesak (-),
pasien lebih nyaman tidur dengan 2 bantal, batuk (-), pilek (-), nyeri dada (-),
berdebar-debar (-), keringat dingin (-).
Pasien juga mengeluh bengkak di kedua kakinya yang muncul sejak 2 hari
yang lalu. Bengkak semakin hari bertambah berat dan dirasakan tidak pernah
berkurang. Selain itu, pasien juga mengeluh bahwa badannya lemas sejak 1 hari SMRS.
Lemas tidak berkurang dengan istirahat maupun pemberian makan. Lemas tidak
disertai pusing, demam, maupun berkunang-kunang. Kadang pasien juga merasa mual,
muntah (+) 3x yaitu 1 hari SMRS nafsu makan menurun tetapi tidak ada penurunan
berat badan drastis dalam beberapa bulan terakhir
Pasien tidak mengetahui bahwa ia memiliki penyakit gula dan hipertensi
tetapi pasien merasakan sejak beberapa bulan terakhir sering merasa lapar dan
mudah haus meskipun sudah makan secara teratur, serta sering kencing
terutama di malam hari. Pasien menyangkal adanya penurunan berat badan.
Serta mengeluh pandangan kabur (+) sejak beberapa bulan yang lalu, rasa tebal
di kaki (+) sejak 1 bulan SMRS, nyeri perut (-).
Pasien BAB 1x/hari, konsistensi lunak padat, warna kecoklatan, BAB
hitam (-). BAK jarang dan sedikit warna kuning, darah (-), nanah (-), pasir (-),
nyeri saat BAK (-).

D. Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
2. Riwayat sakit gula : disangkal
3. Riwayat asma : disangkal
4. Riwayat alergi : disangkal
5. Riwayat sakit jantung : disangkal
6. Riwayat sakit ginjal : disangkal
7. Riwayat stroke : disangkal
8. Riwayat sakit maagh : disangkal

E. Riwayat Penyakit pada Anggota Keluarga


1. Riwayat penyakit serupa : disangkal
2. Riwayat sakit gula : disangkal
3. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
4. Riwayat asma : disangkal
5. Riwayat sakit jantung : disangkal
6. Riwayat sakit ginjal : disangkal
7. Riwayat keganasan : disangkal

F. Riwayat Kebiasaan
1. Riwayat minum obat herbal : disangkal
2. Riwayat minum obat bebas : disangkal
3. Riwayat merokok : sering
4. Riwayat minum alkohol : disangkal
5. Riwayat olahraga : jarang

G. Riwayat Sosial dan Ekonomi


Pasien adalah seorang laki-laki berusia 46 tahun dengan pekerjaan sebagai seorang
petani. Pasien tinggal di rumah bersama istri dan ketiga anaknya. Pasien dirawat di
RSUD Datu Beru Takengon Aceh Tengah
H. Anamnesis Sistemik
1. Keluhan Utama : Sesak Napas
2. Kulit : kuning (-), kering (-), pucat (-), menebal(-), gatal (-),
bercak-bercak kuning (-), luka (-), keringat di malam hari
(-), badan panas sumer-sumer (-).
3. Kepala : pusing (-), nyeri kepala (-), kepala terasa berat (-),
perasaan berputar-putar (-), rambut mudah rontok (-)
4. Mata : mata berkunang kunang (-), pandangan kabur (+), gatal
(-), mata kuning (-), mata merah (-/-)
5. Hidung : tersumbat (-), keluar darah (-), keluar lendir atau air
berlebihan (-), gatal (-).
6. Telinga : pendengaran berkurang (-), keluar cairan atau darah (-),
telinga berdenging (-).
7. Mulut : bibir kering (-), gusi mudah berdarah (-), sariawan (-), gigi
mudah goyah (-), sulit berbicara (-)
8. Tenggorokan : rasa kering dan gatal (-), nyeri untuk menelan (-), sakit
tenggorokan (-), suara serak (-).
9. Leher : Benjolan (-)
10. Sistem respirasi : sesak nafas (+), batuk (-), dahak (-), batuk disertai
bercak darah (-), nyeri dada (-), mengi (-).
11. Sistem kardiovaskuler : nyeri dada (-), terasa ada yang menekan (-),
sering pingsan (-), berdebar-debar (-), keringat
dingin (-), ulu hati terasa panas (+), denyut
jantung meningkat (-), bangun malam karena
sesak nafas (-).
12. Sistem gastrointestinal : mual (+), muntah (+), perut sebah (-), rasa
penuh di perut (-), nafsu makan berkurang
(+), nyeri ulu hati (+), BAB cair (-), sulit BAB (-
), BAB berdarah (-), perut nyeri setelah makan
(-), BAB warna seperti dempul (-), BAB warna
hitam (-).
13. Sistem muskuloskeletal : lemas (+),
kaku sendi (-), nyeri sendi (-), bengkak sendi (-),
nyeri otot (-), kaku otot (-), kejang (-), leher
cengeng (-), nyeri tulang (-)
14. Sistem genitouterina : nyeri saat BAK (-), panas saat BAK (-), BAK
sedikit (+), sering buang air kecil (-), air
kencing warna seperti teh (-), BAK darah (-),
nanah (-), anyang-anyangan (-), sering menahan
kencing (-), rasa pegal di pinggang, rasa gatal
pada saluran kencing (-), rasa gatal pada alat
kelamin (-), gangguan seksual (-).
15. Ekstremitas :
Atas : luka (-/-), kesemutan (-/-), rasa tebal (-/-), tremor (-/-), ujung jari
terasa dingin (-/-), bengkak (-/-), lemah (-/-), nyeri (-/-),
lebam-lebam kulit (-/-)
Bawah : luka (-/-), kesemutan (-/-), rasa tebal (+/+), tremor (-/-), ujung
jari terasa dingin (-/-), bengkak (+/+), lemah (-/-), nyeri (-/-),
lebam-lebam kulit (-/-)

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 17 Maret 2014
A. Keadaan Umum : Pasien tampak lemah, Compos mentis GCS E4V5M6
B. Tanda Vital
Tensi : 200/100 mmHg
Nadi : 90x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi nafas : 24x/menit, thorakoabdominal
Suhu : 36,90C
C. Status gizi :
BB : 70 kg
TB : 170 cm
D. Kulit : warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-),
kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-),
ekimosis (-)
E. Kepala : bentuk mesocephal, rambut warna putih, mudah rontok
(-), luka (-), atrofi m. temporalis (-).
F. Mata : mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (+/+), sklera
ikterik (-/-), perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor
dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+),
edema palpebra (-/-), strabismus (-/-)
G. Telinga : sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-)
H. Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
I. Mulut : sianosis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-), gusi
berdarah (-), luka pada sudut bibir (-), oral thrush (-)
J. Leher : JVP R + 4 cm, trakea di tengah, simetris, pembesaran
kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonodi cervical (-),
leher kaku (-), distensi vena-vena leher (-)
K. Axilla : rambut axilla rontok (-)
L. Thorax : bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan
= kiri, venektasi (-), retraksi intercostal (-), spider nevi (-
), pernafasan torakoabdominal, sela iga melebar (-),
pembesaran KGB axilla (-/-), atrofi m. Pectoralis (-).
1. Jantung
Inspeksi : ictus kordis tidak tampak
Palpasi : ictus kordis teraba di ICS V linea medioclavicularis
sinistra
Perkusi :
- Batas jantung kanan atas: ICS II linea sternalis dextra
- Batas jantung kanan bawah: ICS IV linea parasternalis dekstra
- Batas jantung kiri atas: ICS II linea sternalis sinistra
- Batas jantung kiri bawah: ICS V linea medioklavicularis sinistra
konfigurasi jantung kesan melebar caudolateral
Auskultasi : bunyi jantung I-II murni, intensitas normal, reguler, bising (-),
gallop (-).
2. Pulmo
a. Depan
Inspeksi
normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi
simetris
pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi
sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada ICS VI
linea medioclavicularis dextra, pekak pada batas absolut
paru hepar
sonor, sesuai batas paru jantung pada ICS VI
linea medioclavicularis sinistra
Auskultasi
- Kanan : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing (-
), ronkhi basah kasar (-),ronkhi basah halus (+) di basal
paru, krepitasi (-)
- Kiri : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing (-
), ronkhi basah kasar (-),ronkhi basah halus (+) di basal
paru, krepitasi (-)
b. Belakang
Inspeksi
normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga tidak
mendatar
pengembangan dada simetris kanan=kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi
simetris
pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan =kiri
Perkusi
- Kanan : Sonor.
- Kiri : Sonor.
Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing (-
), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (+) di
basal paru, krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing (-
), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (+) di
basal paru, krepitasi (-)
M. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding thorak, ascites (-), venektasi (-),
sikatrik (-), striae (-), caput medusae (-), ikterik (-)
Auskultasi : bising usus (+) 10x/menit, bruit hepar (-), bising epigastrium
(-)
Perkusi : timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (-); hepar dan lien tidak teraba
N. Ekstremitas
Akral dingin _ _ Oedem - -
_ _ + +
TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT TERAPI
05/09/2017 S/ kesadaran : compos mentis Diet jantung III
Mudah lelah (+) sesak (-) lemas (+) Ivfd dex 5% 10 gtt/i
bak (+)N BAB (-) 3 hari Inj furosemide amp/12 jam
O/ TD : 170/80 mmHg RR : 23x/i Inj pantoprazole 1gr/hari
HR : 80x/I T : 36,5 C Bisoprolol 1x1
Pf/ mata : konjungtiva pucat -/- Irbesartan 1x 500mg
T/H/T : dalam batas normal Amlodipine 1x10 mg
Thorax : ves +/+
Zypraz 1 x malam
Abd : peristaltic (+)
Domperidon 3x1
Ext : udem (-)
Lacoon syr 3 x c 1

Ass/ CHF nyha III-IV + HHD + Konstipasi


06/09/2017 S/ S/ kesadaran : compos mentis Diet jantung III
Mudah lelah (+) sesak (-) lemas (+) nafsu Ivfd dex 5% 10 gtt/i
makan menurun, tangan dan kaki terasa Inj furosemide amp/12 jam
kebas (+) Inj pantoprazole 1gr/hari
bak (+)N BAB (-) 3 hari Inj meticobalamin 1 amp/8 jam
O/ TD : 110/70 mmHg RR : 20x/i Inj citicolin 250mg/ hari
HR : 80x/I T : 36,5 C
Bisoprolol 1x1
Pf/ mata : konjungtiva pucat -/-
Irbesartan 1x 500mg
T/H/T : dalam batas normal
Amlodipine 1x10 mg
Thorax : ves +/+
Zypraz 1 x malam
Abd : peristaltic (+)
Domperidon 3x1
Ext : udem (-)
Lacoon syr 3 x c 1

Ass/ CHF nyha III-IV + HHD + Konstipasi


P/ DR
+ neuropati
USG Ginjal
RO Thorax
Cholesterol
Kgds
Fungsi ginjal

Darah rutin 06/09/2017


HGB 6,9 gr/dl WBC 19,97 L
RBC 2,67 L EO% 0,4 %
HCT 21.1 % BASO% 0,3 %
MCV 79.0 fL NEUT% 82,6 %
MCHC 32,7 gr/dl LYMPH % 9,5 %
RDW-SD 47,6 fL MONO % 7,2 %
RDW-CV 16,5 % PLT 430 L

USG ginjal 06/09/2017 RO Thorax

Cormembesar
Kesan : PNC Bilateral dengan
CTR= 60%,
Kesimpulan :
Kardiomegali

Kimia darah 06-09-2017


LEMAK
Trigliserid 73 mg/dl
Cholesterol total 118 mg/dl
HDL- Cholesterol 37 mg/dl
LDL - Cholesterol 46 mg/dl
KARBOHIDRAT
Glukosa sewaktu 184 mg/dl
FUNGSI GINJAL
Ureum 64,6 mg/dl
Creatinin 1,9 mg/dl
URIC ACID 12,7 mg/dl

06/09/2017 S/ penurunan kesadaran O2 4-5 L/I


Jam 21.50 wib O/ GCS E1 V1 M4 Inj furosemide 1 amp/8jam
TD : 110/70 mmHg Insulin humolog R 6-6-6
Nadi : 100x/I RR : 32x/I PINDAH ICCU
KGDS : 285 gr/dl

P/ CEK ELEKTROLIT
Ass / CHF Nyha III-IV +HHD +
Konstipasi + Neuropati
Elektrolit dan gas darah 06-09-2017
Natrium 132 meq/l
Natrium 3,6 meq/l
Chloride 99 meq/l

07-09-2017 S/ Puasa (+) sesak (+) Diet jantung III + diet


KU : tidak kooperarif DM 2000 kcal
Kesadaran : Somnolen (+) Ivfd Nacl 0,9% 15
O/ TD : 137/120 mmHg T : 35,5 C gtt/i
RR : 27x/I HR : 80x/I (+) Ivfd kidmin 1 gr/hari
SPO2 : 99 Kgds 285 mg/dl (+) Inj meropenem 1
Pf/ mata : konjungtiva pucat +/+
Has T/H/T : dalam batas normal gr/12jam
il Thorax : ves +/+ Inj furosemide amp/12
pe Abd : peristaltic (+) jam
mer Ext : udem (-) Inj pantoprazole 1gr/hari
iksa Kekuatan otot 5 5 Inj meticobalamin 1
an 2 2 amp/8 jam
imu Ass/ sepsis + CHF Nyha III-IV + HHD + Inj citicolin 250mg/ hari
nol Konstipasi + Neuropati + CKD ec PNC (+) Humolog R 4-4-4
ogi
Bisoprolol 1x1 (STOP)
07- P/ HD Irbesartan 1x 500mg
09- CEK HIV DAN HBSAg
Amlodipine 1x10 mg
201
Zypraz 1 x malam
7
Domperidon 3x1
HB
Lacoon syr 3 x c 1
SAg
(-) HIV (-)

08-09-2017 S/ sesak (-) batuk (-) nyeri perut (+) Diet jantung III + diet DM
KU : tidak kooperarif 2000 kcal
Kesadaran : Somnolen (+) Ivfd Nacl 0,9% 15 gtt/i
O/ TD : 136/73 mmHg T : 36,2 C (+) Ivfd kidmin 1 gr/hari
RR : 27x/I HR : 95x/I (+) Inj meropenem 1
SPO2 : 92 % gr/12jam
Pf/ mata : konjungtiva pucat +/+ Inj furosemide amp/12
T/H/T : dalam batas normal jam
Thorax : ves +/+ Inj pantoprazole 1gr/hari
Abd : peristaltic (+) Inj meticobalamin 1 amp/8
Ext : udem (-) jam
Kekuatan otot 5 5
Inj citicolin 250mg/ hari
2 2 (12j)
Ass/ sepsis + CHF Nyha III-IV + HHD +
(+) Humolog R 4-4-4
Konstipasi + Neuropati + CKD ec PNC Bisoprolol 1x1 (STOP)
Irbesartan 1x 500mg
Amlodipine 1x10 mg
Zypraz 1 x malam
(STOP)
Domperidon 3x1
Lacoon syr 3 x c 1
(+) Aricef 2x1 tab

P/ CEK DARAH RUTIN

Darah rutin 08/09/2017


HGB 9,8 gr/dl WBC 11,59 L
RBC 3,59 L EO% 0,0 %
HCT 29,4 % BASO% 0,3 %
MCV 81,9 fL NEUT% 86,1 %
MCHC 33,3 gr/dl LYMPH % 8,4 %
RDW-SD 50,6 fL MONO % 5,2 %
RDW-CV 16,6 % PLT 471 L

09-09-2017 S/ sesak (-) batuk (-) nyeri perut (-) Diet DM 2000 kcal
KU : tidak kooperarif Ivfd Nacl 0,9% 15 gtt/i
Kesadaran : Somnolen Ivfd kidmin 1 gr/hari
O/ TD : 154/100 mmHg T : 36,2 C Inj meropenem 1 gr/12jam
RR : 20x/I HR : 84x/I Inj furosemide amp/12 jam
SPO2 : 91 % Inj pantoprazole 1gr/hari
Pf/ mata : konjungtiva pucat +/+ Inj meticobalamin 1 amp/8
T/H/T : dalam batas normal jam
Thorax : ves +/+ Inj citicolin 250mg/12j
Abd : peristaltic (+) Humolog R 4-4-4
Ext : udem (-) Irbesartan 1x 500mg
Kekuatan otot 5 5 Amlodipine 1x10 mg
2 2
Domperidon 3x1
Ass/ sepsis + CHF Nyha III-IV + HHD +
Lacoon syr 3 x c 1
CKD ec PNC + Konstipasi + Neuropati +
Aricef 2x1 tab
DM tpe II

FUNGSI GINJAL (09-09-2017)


ureum 139 mg/dl
creatinin 1,1 mg/dl

11-09-2017 S/ sesak (-) batuk (-) nyeri perut (-) Diet DM 2000 kcal
KU : tidak kooperarif Ivfd Nacl 0,9% 15 gtt/i
Kesadaran : Somnolen Ivfd kidmin 1 gr/hari
O/ TD : 143/98 mmHg T : 36,4 C Inj meropenem 1 gr/12jam
RR : 20x/I HR : 80x/I Inj furosemide amp/12 jam
SPO2 : 91 % KGDS : 159 GR/DL (8 jam)
Pf/ mata : konjungtiva pucat +/+ Inj pantoprazole 1gr/hari
T/H/T : dalam batas normal Inj mecobalamin 1 amp/8
Thorax : ves +/+ jam
Abd : peristaltic (+) Inj citicolin 250mg/12j
Ext : udem (-) (+) inj neurotam 1gr/12j
Kekuatan otot 5 5 (+) inj metronidazole 1 fls/12
2 2 jam
Ass/ sepsis + CHF Nyha III-IV + HHD + Humolog R 4-4-4
CKD ec PNC + Konstipasi + Neuropati + Irbesartan 1x 500mg
DM tpe II Amlodipine 1x10 mg
Domperidon 3x1
Lacoon syr 3 x c 1
Aricef 2x1 tab

12-09-2017 S/ sesak (-) batuk (-) nyeri perut (-) Diet DM 2000 kcal
KU : tidak kooperarif Ivfd Nacl 0,9% 15 gtt/i
Kesadaran : Somnolen Ivfd kidmin 1 gr/hari
O/ TD : 119/79 mmHg T : 36,2 C Inj meropenem 1 gr/12jam
RR : 20x/I HR : 92x/I (H5) AFF
SPO2 : 91 % kgds : 167 gr/dl Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
Pf/ mata : konjungtiva pucat +/+ (H1)
T/H/T : dalam batas normal Inj furosemide amp/12 jam
Thorax : ves +/+ Inj pantoprazole 1gr/hari
Abd : peristaltic (+)
Inj meticobalamin 1 amp/8
Ext : udem (-)
jam
Kekuatan otot 2 2
Inj citicolin 250mg/12j-
1 1
500mg
Ass/ sepsis + CHF Nyha III-IV + HHD +
Humolog R 4-4-4
CKD ec PNC + Konstipasi + Neuropati + Irbesartan 1x 500mg
DM tpe II Amlodipine 1x10 mg
Domperidon 3x1
Lacoon syr 3 x c 1
Aricef 2x1 tab
Inj dexametason 1 amp /12
jam

P/ pasang NGT
KONSUL NEUROLOGI

13-09-2017 S/ sesak (-) batuk (-) nyeri perut (-) Diet sonde
KU : tidak kooperarif Ivfd Nacl 0,9% 15 gtt/i
Kesadaran : Somnolen Ivfd kidmin 1 gr/hari
O/ TD : 127/89 mmHg T : 36,5 C Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
RR : 20x/I HR : 97x/I (H2)
SPO2 : 91 % kgds : 198 gr/dl Inj furosemide amp/12 jam
Pf/ mata : konjungtiva pucat +/+ Inj pantoprazole 1gr/hari
T/H/T : dalam batas normal Inj meticobalamin 1 amp/8
Thorax : ves +/+ jam
Abd : peristaltic (+)
Inj citicolin 500mg/12j
Ext : udem (-)
Humolog R 4-4-4
Kekuatan otot 2 2
Irbesartan 1x 500mg
1 1
Amlodipine 1x10 mg
Ass/ sepsis + CHF Nyha III-IV + HHD +
Domperidon 3x1
CKD ec PNC + Konstipasi + Neuropati +
Lacoon syr 3 x c 1
DM tpe II dd ensefalitis
Aricef 2x1 tab
Inj dexametason 1 amp /12
jam
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Chronic Kidney Disease (CKD)


II.1.1. Definisi CKD

Penyakit ginjal kronik atau cronic kidney disease (CKD) adalah suatu proses
patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi
ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.
Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan
terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis atau transplantasi ginjal.1

Menurut kdigo clinical practice guidelines, CKD diartikan sebagai struktur


dan fungus ginjal yang abnormal, yang berlangsung lebih dari 3 bulan dengan
implikasi kesehatan.

Pasien memiliki salah satu kriteria berikut:

Kriteria
1. Kerusakan ginjal >3 bulan yang didefinisikan sebagai struktur dan
fungsi ginjal yang abnormal, dengan atau tanpa penurunan GFR, dengan
manifestasi:
- Abnormalitas patologi
- Tanda-tanda kerusakan ginjal, meliputi kelainan komposisi
dalam darah atau urin, atau kelainan dalam imaging tests
2. GFR <60 ml/menit/1.73 m2 selama >3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal

Tabel 1. Definisi CKD

II.1.2. Epidemiologi CKD

Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens CKD


diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar
8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat
1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya,
insiden ini diperkirakan sekiar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun.1

II.1.3. Faktor risiko CKD

Beberapa individu tanpa kerusakan ginjal dan dengan GFR normal atau
meningkat dapat beresiko menjadi CKD, sehingga harus dilakukan pemeriksaan
lanjutan untuk menentukan apakah individu-individu ini menderita CKD atau tidak.
Berikut kondisi-kondisi yang meningkatkan risiko terjadinya CKD.

Clinical factors Sociodemographic factors


- Diabetes - Usia tua
- Hipertensi - Etnik : African American,
- Penyakit autoimun American Indian, asian atau
- Infeksi sistemik pacific
- Batu saluran kencing - Low income / edukasi
- Obstruksi saluran kemih
bagian bawah
- Neoplasia
- Riwayat keluarga CKD
- Masa penyembuhan dari
acute kidney failure
- Bayi dengan berat badan lahir
rendah
- Anak-anak dengan riwayat
gagal ginjal akut akibat
hipoksia perinatal atau
serangan akut lainnya pada
ginjal
- Penggunaan jangka panjang
OAINS

Tabel 2. Faktor risiko CKD


II.1.4. Etiologi CKD
Etiologi CKD sangat bervariasi antara satu negara dengan negara yang lain.
Tabel 1 menunjukkan penyebab utama dan insidens CKD di Amerika Serikat.

Penyebab Insidens

Diabetes mellitus 44 %
- Tipe 1 (7%)
- Tipe 2 (37 %)

Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27 %

Glomerulonefritis 10 %

Nefritis interstisial 4%

Kista dan penyakit bawaan lain 3%

Penyakit sistemik (misalnya lupus dan 2%


vaskulitis)

Neoplasma 2%

Tidak diketahui 4%

Penyakit lain 4%

Tabel 3. Penyebab Utama CKD di Amerika Serikat (1995-1999)

Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Penefri) tahun 2000 mencatat


penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialysis di Indonesia, seperti pada tabel
4.
Penyebab Insidens

Glomerulonefritis 46,39 %

Diabetes Melitus 18,65 %

Obstruksi dan infeksi 12,85 %

Hipertensi 8,46 %

Sebab lain 13,65 %

Table 4. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia tahun 2000

Dikelompokkan pada sebab lain di antaranya, nefritis lupus, nefropati urat,


intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak
diketahui.

II.1.5. Patogenesis CKD


Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai
oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh
proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis rennin-
angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya
hiperfiltrasi, sklerosis dan progresivitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis
rennin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factors seperti
transforming growth factors (TGF-). Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas CKD adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya
sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial.
Pada stadium dini CKD, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal
reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 60 %, pasien masih belum merasakan keluhan
(asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di
bawah 30 %, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti
anemis, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolism fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah, dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi
seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna.
Juga akan terjadi gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium.
Pada LFG di bawah 15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan
pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement theraphy)
antara lain dialysis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan
sampai pada stadium gagal ginjal.

II.1.6. Klasifikasi dan Stadium CKD


Klasifikasi CKD didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat (stage)
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung
dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :

LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 - Umur) x Berat Badan (kg) *)


72 x kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85

eGFR CKD-EPI formula:


GFR = 141 x minimal (Scr/k, 1) x max (Scr/k, 1) 1.209 x 0.993Age x
1.018 (jika wanita) x 1.159 (jika kulit berwarna)

Ket:
Scr = kreatinin serum (mg/dL)
K = 0.7 (jika wanita) ; 0.9 (jika pria)
= 0.329 (untuk wanita) ; -0.411 (untuk pria)
minimal = mengindikasikan Scr/k,1 minimum
maks = mengindikasikan Scr/k,1 maksimum

Klasifikasi derajat CKD tersebut tampak pada tabel 3.

Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau > 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60-89

3 Kerusakan ginjal dengan LFG sedang 30-59

4 Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15-29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialysis


Table 5. Klasifikasi CKD atas Dasar Derajat Penyakit

Klasifikasi atas dasar diagnosis, tampak pada tabel 6.


Penyakit Tipe Mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik,
diabetes obat, neoplasma)
Penyakit vascular (penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronis, batu,
obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada Rejeksi kronik
transplantasi Keracunan obat ( siklosporin / takrolimus )
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplantasi glomerulopathy

Table 6. Klasifikasi CKD atas Dasar Diagnosis Etiologi

II.1.7. Manifestasi Klinis CKD

Pada umumnya penderita CKD stadium 1-3 tidak mengalami gejala apapun
atau tidak mengalami gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, endokrin dan
metabolik yang tampak secara klinis (asimtomatik). Gangguan yang tampak secara
klinis biasanya baru terlihat pada CKD stadium 4 dan 5. Pada LFG 60 %
asimtomatik. Pada LFG 30% terdapat keluhan seperti urin sedikit, lemah, mual,
nafsu makan turun dan penurunan berat badan. Pada LFG <30% terdapat
manifestasi klinis antara lain gejala uremia nyata: anemia, peningkatan TD,
gangguan metabolism fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, mudah terkena
infeksi, gangguan keseimbangan volume (hipo/hipervolemia) dan gangguan
keseimbangan elektrolit (natrium dan kalium). Sedangkan pada LFG <15% timbul
gejala komplikasi serius yang memerlukan terapi pengganti ginjal (dialysis atau
transplantasi ginjal), pada keadaan ini terjadi stadium gagal ginjal.

II.1.8. Diagnosis CKD


a. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien CKD meliputi :
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya seperti diabetes mellitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurekemi, lupus
eritomatosus sistemik (LES), dan lain sebagainya;
b. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;
c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah jantung, asidosis metabolic, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, khlorida).

b. Gambaran Laboratoris

Gambaran laboratorium CKD meliputi :


a. Sesuai dengnan penyakit yang mendasarinya;
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk
memperkirakan fungsi ginjal;
c. Kelainan biokimia darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic;
d. Kelainan urinalisis, meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isostenuria.

c. Gambaran Radiologis

Pemeriksaan radiologis CKD meliputi :


a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak;
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan;
c. Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi;
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi.
d. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal

Biopsi dan pemeriksaan hito patologi ginjal dilakukan pada pasien


dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara
noninvasive tidak bisa ditegakkan.

CKD harus ditegakkan berdasarkan adanya kerusakan ginjal dan tingkat


fungsi ginjal (GFR), tanpa memperhatikan diagnosis. Pada pasien dengan CKD,
stadium penyakitnya harus ditentukan berdasarkan tingkat fungsi ginjal menurut
klasifikasi CKD dari K/DOQI. CKD stadium awal dapat dideteksi melalui
pemeriksaan laboratorium rutin. Penghitungan GFR merupakan pemeriksaan
terbaik dalam menentukan fungsi ginjal. Dalam praktek klinis, GFR umumnya
dihitung dengan menggunakan klirens kreatinin atau konsenstrasi kreatinin serum.
Namun pengukuran klirens kreatinin seringkali sulit dilakukan dan seringkali tidak
akurat karena membutuhkan sampel urin 24 jam. Kreatinin serum dipengaruhi oleh
faktor lain selain GFR, terutama produksi kreatinin, yang berhubungan dengan
ukuran tubuh, khususnya massa otot. Pada banyak pasien GFR harus turun sampai
setengah dari nilai normal, sebelum kreatinin serum meningkat di atas nilai normal
sehingga sangat sulit untuk menilai tingkat fungsi ginjal dengan tepat atau untuk
mendeteksi CKD pada stadium awal.

Urinalisis dapat dilakukan untuk menapis pasien yang dicurigai mengalami


gangguan pada ginjalnya. Peningkatan ekskresi protein (proteinuria) persisten
umumnya merupakan penanda untuk kerusakan ginjal. Peningkatan ekskresi
albumin (albuminuria) merupakan penanda sensitif CKD yang disebabkan diabetes,
penyakit glomerular, dan hipertensi. Pada banyak kasus, penapisan dengan
menggunakan metode dipstick dapat diterima untuk mendeteksi proteinuria. Pasien
dengan hasil tes protein dipstick positif (+1 atau lebih) harus dikonfirmasi melalui
pengukuran kuantitatif (rasio protein terhadap kreatinin atau rasio albumin terhadap
kreatinin) dalam 3 bulan. Pasien dengan 2 atau lebih hasil tes kuantitatif positif
dengan jeda waktu 1 sampai 2 minggu harus didiagnosis menderita proteinuria
persisten dan diperiksa lebih lanjut.

Pemeriksaan sedimen urin mikroskopis, terutama bersamaan dengan


pemeriksaan proteinuria, berguna dalam mendeteksi CKD dan mengenali jenis
penyakit ginjal. Dipstick urin dapat mendeteksi sel darah merah/hemoglobin
(hematuria), neutrophil dan eosinofil (piuria) dan bakteri (nitrit), namun tidak dapat
mendeteksi sel epitel tubular, lemak, cast di urin. dilakukan untuk mendeteksi
keberadaan sel darah merah, sel darah putih, cast, kristal, fungi dan bakteri.
Pemeriksaan sedimen urin mikrospkopis dilakukan untuk mendeteksi halhal yang
tidak dapat dideteksi dipstick. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk melihat
kemungkinan adanya anemia sebagai salah satu manifestasi klinis kronis CKD.
Pemeriksaan kimiawi serum menilai kadar ureum dan kreatinin sebagai yang
terutama dalam diagnosis dan monitoring, sedangkan pemeriksaan kadar natrium,
kalium, kalsium, fosfat, bikarbonat, alkalin fosfatase, hormon paratiroid, kolesterol,
fraksi lipid yang berguna dalam terapi dan pencegahan komplikasi.

Pemeriksaan pencitraan ginjal sebaiknya dilakukan pada pasien dengan


CKD dan pada individu-individu yang beresiko mengalami CKD. Hasil abnormal
pada pemeriksaan pencitraan dapat menunjukkan penyakit ginjal vaskuar, urologis
atau intrinsik. Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang berguna
pada beberapa kondisi, dan tidak dihubungkan dengan risiko terpapar radiasi atu
kontras. Prosedur invasif lainnya, seperti voiding cystourography dan biopsy ginjal
dapat berguna pada kasus-kasus tertentu.

II.1.9. Diagnosis Banding CKD


Diagnosis banding untuk CKD adalah gagal ginjal akut. Penting untuk
membedakan CKD dari gagal ginjal akut karena gagal ginjal akut dapat
reversibel. USG abdomen umumnya dilakukan dan dilakukan pengukuran ukuran
ginjal. Ginjal dengan CKD biasanya lebih kecil (<9 cm) dari ginjal normal dengan
pengecualian seperti di nefropati diabetes dan penyakit ginjal polikistik. Petunjuk
lain diagnostik yang membantu membedakan CKD dan gagal ginjal akut
merupakan kenaikan bertahap dalam kreatinin serum (lebih dari beberapa bulan
atau tahun) sebagai lawan peningkatan mendadak dalam serum kreatinin
(beberapa hari minggu).

II.1.10. Penatalaksanaan CKD

Pasien dengan CKD harus dievaluasi untuk menentukan.:


Diagnosis (jenis penyakit ginjal)
Kondisi komorbid (mis. hiperlipidemia)
Derajat keparahan, dinilai menggunakan fungsi gunjal
Komplikasi, berhubungan dengan derajat kerusakan ginjal
Risiko hilangnya fungsi ginjal
Risiko penyakit kardiovaskular
Penanganan CKD sebaiknya meliputi: Terapi spesifik, sesuai dengan
diagnosis
Evaluasi dan penanganan kondisi komorbid
Memperlambat hilangnya fungsi ginjal
Pencegahan dan penatalaksanaan penyakit kardiovaskular
Pencegahan dan penatalaksanaan komplikasi akibat berkurangnya fungsi
ginjal (mis. hipertensi, anemia, asidosis, gagal tumbuh) Persiapan untuk
terapi gagal ginjal
Penggantian fungsi ginjal melalui dialisis dan transplantasi, jika terdapat tanda
dan gejala uremia

Rencana tindakan klinis harus dibuat untuk tiap pasien berdasarkan


klasifikasi stadium penyakit yang dibuat K/DOQI. Evaluasi ulang pengobatan
sebaiknya dilakukan pada setiap kunjungan terhadap penyesuaian dosis
berdasarkan tingkat fungsi ginjal, deteksi efek samping potensial terhadap fungsi
ginjal atau komplikasi CKD, deteksi interaksi obat, pengawasan obat terapetik.
Penatalaksanaan CKD berdasarkan derajatnya:

Derajat LFG (ml/mnt/1,73 m2) Rencana tatalaksana


1 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi perburukan (progression) fungsi
ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular

2 60 89 Menghambat perburukan fungsi ginjal

3 30 59 Evaluasi dan terapi komplikasi

4 15 29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

5 <15 Terapi pengganti ginjal

Tabel 7. Penatalaksanaan CKD berdasarkan derajat

1) Terapi spesifik terhadap penyakitnya

Waktu paling tepat adalah sebelum terjadi penurunan LFG sehingga


perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal
secara USG, biopsy dan pemeriksaan histopatologi dapat menentukan indikasi
yang tepat terhadap terapi spesifik.
2) Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid

Perlu pencatatan kecepatan penurunan LFG, untuk mengetahui kondisi


komorbid. Faktor komorbid antara lain: gangguan keseimbangan cairan,
hipertensi tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus
urinarius, obat-obatan nefrotoksik, bahan kontras atau peningkatan penyakit
dasarnya.
3) Menghambat perburukan fungsi ginjal

Faktor utama hiperfiltrasi glomerulus, ada 2 cara untuk menguranginya,


yaitu:
a. Terapi non farmakologis
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan saat LFG 60
ml/menit.
- Pasien non dialisis 0,6 0,75 gram/kgBB/hari sesuai CCT dan
toleransi pasien
- Pasien hemodialisis 1 1,2 gram/kgBB ideal/hari
- Pasien peritoneal dialysis 1,3 gram/kgBB/hari
Pengaturan asupan kalori 35 kal/kgBB ideal/hari
Pengaturan asupan lemak 30 40% dari kalori total dan
mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan
tak jenuh.
Pengaturan asupan karbohidrat 50 60% dari total kalori
Garam NaCl 2 3 gram/hari
Kalsium 1400 1600 mg/hari
Besi 10 18 mg/hari
Magnesium 200 300 mg/hari
Asam folat pasien hemodialisis 5mg
Air jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible water loss)
b. Terapi farmakologis
Kontrol tekanan darah
- Penghambat ACE atau antagonis reseptor angiotensin II
evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan
kreatinin >35% atau timbul hiperkalemi harus dihentikan
- Penghambat kalsium
- Diuretik

Pada pasien DM
- Kontrol gula darah hindari pemakaian metformin dan obat-obat
sulfonil urea dengan masa kerja panjang
- Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal
tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20 22 mEq/l. control
dislipidemia dengan target LDL <100 mg/dl dianjurkan dengan
golongan statin.
4) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Meliputi pengendalian DM, hipertensi, dislipidemia, anemia,
hiperfosfatemia dan terapi kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan
elektrolit.
5) Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
a. Anemia
Oleh karena defisiensi eritropoietin, defisiensi besi, kehilangan
darah (perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit
yang pendek akibat hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan
sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut atau
kronik.
Evaluasi anemia dimulai saat Hb 10 g% atau Ht 30%, meliputi
evaluasi status besi (kadar besi serum/serum iron), kapaitas ikat
besi total, feritin serum, mencari sumber perdaragan,
morfologieritrosit, kemungkinan hemolisis, dsb
Transfusi yang tidak cermat kelebihan cairan tubuh,
hiperkalemi dan perburukan fungsi ginjal
Sasaran Hb 11 12 g/dl
b. Osteodistrofi ginjal mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian
hormone kalsitriol
c. Hipoerfosfatemia
Pembatasan fosfat (diet rendah fosfat, tinggi kalori, rendah protein
dan rendah garam). Asupan fosfat 600 800 mg/hari.
Pemberian pengikat fosfat garam kalsium, alumunium
hidroksida, garam magnesium.

Garam kalsium yang banyak dipakai kalsium karbonat &


kalsium asetat.
Pemberian bahan kalsium memetik (menghambat reseptor Ca pada
kelenjar paratiroid)
d. Pemberian kalsitriol kadar fosfat normal, kadar hormon paratiroid
>2,5 kali normal
e. Pembatasan cairan dan elektrolit cairan masuk = cairan keluar
f. Terapi pengganti ginjal (hemodialisis, peritoneal dialysis atau
transplant ginjal) stadium 5 (LFG <15 ml/menit)

Indikasi dialisis
1. Uremia >200 mg%
2. Asidosis dengan pH darah < 7,2
3. Hiperkalemia > 7 meq/liter
4. Kelebihan/retensi cairan dengan tanda gagal jantung / edema paru
5. Klinis uremia, kesadaran menurun (koma)

II.1.11. Komplikasi CKD

Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt) Komplikasi

1 Kerusakan ginjal dengan LFG >90 -


normal

2 Kerusakan ginjal dengan 60-89 Tekanan darah mulai


penurunan LFG ringan

3 Kerusakan ginjal sedang dengan 30-59 Hiperfosfatemia


penurunan LFG sedang
Hipokalsemia

Anemia

Hiperparatiroid

Hipertensi

Hiperhomosistinemia

4 Kerusakan ginjal dengan 15-29 Malnutrisi


penurunan LFG berat
Asidosis metabolic

Cenderung
hiperkalemia
Dislipidemia

5 Gagal ginjal < 15 Gagal jantung

Uremia

Tabel 8. Komplikasi Chronic Kidney Disease

II.1.12. Prognosis CKD

Prognosis pasien dengan penyakit ginjal kronis berdasarkan data


epidemiologi telah menunjukkan bahwa semua penyebab kematian (tingkat
kematian secara keseluruhan) meningkat sesuai dengan penurunan fungsi
ginjalnya. Penyebab utama kematian pada pasien dengan penyakit ginjal kronis
adalah penyakit kardiovaskuler, dengan atau tanpa ada kemajuan ke stage 5.
Sementara terapi penggantian ginjal dapat mempertahankan pasien tanpa
waktu dan memperpanjang hidup, kualitas hidup adalah sangat terpengaruh.
Transplantasi Ginjal meningkatkan kelangsungan hidup pasien CKD stage 5
secara signifikan bila dibandingkan dengan pilihan terapi lainnya. Namun,
transplasntasi ginjal ini terkait dengan mortalitas jangka pendek yang meningkat
(akibat komplikasi dari operasi). Selain transplantasi, intensitas yang tinggi dari
home hemodialysis tinggi tampak terkait dengan peningkatan ketahanan hidup
dan kualitas hidup yang lebih besar, bila dibandingkan dengan cara konvensional
yaitu hemodialiasis dan dialysis peritonial yang dilakukan tiga kali seminggu.
II.2. Hipertensi
III.2.1. Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi Tekanan Tekanan Modifikasi Obat Awal


Tekanan Darah Darah gaya hidup
Tanpa indikasi Dengan
Darah Sistolik Diastolik
indikasi
mmHg mmHg
Normal <120 <80 Anjuran Tidak perlu Gunakan obat
menggunakan obat yang spesifik
Prehipertensi 120 139 80 - 89 Ya
antihipertensi dengan
indikasi resiko
Hipertensi 140 - 159 90 99 Ya Untuk semua kasus Gunakan obat
grade1 gunakan diuretik yang spesifik
jenis thiazide, dengan
pertimbangkan indikasi
ACEi, ARB, BB, (resiko).
CCB, atau Kemudian
kombinasikan tambahkan
obat
Hipertensi > 160 > 100 Ya Gunakan
antihipertensi
grade 2 kombinasi 2 obat
(diretik,
(biasanya diuretik
ACEi, ARB,
jenis thiazide dan
BB, CCB)
ACEi/ARB/BB/CC
seperti yang
B
dibutuhkan
Tabel 9. Klasifikasi Dan Penanganan Tekanan Darah Tinggi Pada Orang Dewasa

III.2.2. Penatalaksanaan Hipertensi

Tujuan terapi

Tujuan dari terapi antihipertensi adalah untuk mengurangi angka


morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular dan ginjal. Pasien dengan
hipertensi, terutama usia >50tahun, tujuan utama adalah pencapaian target
tekanan darah sistolik. Tekanan darah target adalah <140/90 mmHg yang
berhubungan dengan penurunan risiko CVD. Dan target tekanan darah pada
pasien hipertensi dengan diabetes dan penyakit ginjal adalah <130/80 mmHg.
Untuk pencapaian target tekanan darah, maka dapat dilakukan dengan dua cara
sebagai berikut:
1. Modifikasi gaya hidup

Modifikasi gaya hidup terbukti dapat menurunkan tekanan darah


termasuk penurunan berat badan pada pasien overweight atau obese.
Berdasarkan DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension), perencanaan
diet yang dilakukan berupa makanan tinggi kalium dan kalsium, rendah
natrium, olahraga, dan mengurangi konsumsi alcohol. Modifikasi gata hidup
dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan efektivitas obat antihipertensi
dan menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Contohnya, konsumsi
natrium 1600 mg memiliki efek yang sama dengan pengobatan tunggal.
Kombinasi dua atau lebih modifikasi gaya hidup dapat memberikan hasil yang
lebih baik.

Modifikasi Rekomendasi Perkiraan penurunan


tekanan darah

Menurunkan tekanan Memelihara berat badan 5-20 mmHg / 10 kg


darah normal (indeks massa penurunan berat badan
tubuh 18,5 24,9 kg/m2)
Mengkonsumsi makanan
Melakukan pola diet 8 14 mmHg
yang kaya dengan buah-
berdasarkan DASH
buahan, sayuran, produk
makanan yang rendah
lemak, dengan kadar
lemak total dan saturasi
yang rendah.
Menurunkan Intake
Diet rendah natrium 2 -8 mmHg
Garam sebesar 2-8 mmHg
tidak lebih dari 100 mmol
per-hari (2.4 gr Natrium
atau 6 gr garam).
Melakukan Kegiatan
Olahraga 4 9 mmHg
Aerobik fisik secara
teratur, seperti jalan cepat
(paling tidak 30 menit
per-hari, setiap hari dalam
seminggu).
Membatasi konsumsi
Membatasi penggunaan 2 4 mmHg
alkohol tidak lebih dari 2
alcohol
gelas ( 1 oz atau 30 ml
ethanol; misalnya 24 oz
bir, 10 oz anggur, atau 3
0z 80 whiski) per-hari
pada sebagian besar laki-
laki dan tidak lebih dari 1
gelas per-hari pada wanita
dan laki-laki yang lebih
kurus.

Tabel 10. Modifikasi gaya hidup pada pasien hipertensi

Keterangan:

Untuk mengurangi risiko kardiovaskular berhenti merokok

Efek implementasi dari modifikasi diatas bergantung pada dosis dan waktu, dan
lebih baik pada beberapa orang.

2. Terapi farmakologi

Berdasarkan data dari hasil percobaan klinik, membuktikan tekanan


darah dapat diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi, seperti
angiotensin converting enzim inhibitor (ACEI), angiotensin reseptor bloker
(ARB), beta-bloker, calcium channer blocker (CCB), dan diuretic tiazide
dapat mengurangi komplikasi hipertensi.
Diuretik tiazide telah menjadi dasar pengobatan antihipertensi pada
beberapa percobaan. Diuretic tiazid dapat mencegah komplikasi
kardiovaskular. Selain itu diuretic efektif dalam pencapaian target tekanan
darah, dan lebih terjangkau dibandingkan dengan obat antihipertensi lain.

Diuretic tiazid dapat diberikan sebagai terapi inisial pada pasien


hipertensi, tanpa atau dengan kombinasi dengan satu obat antihipertensi
lainnya (ACEI, ARB, beta-bloker, CCB) yang memperlihatkan manfaat pada
hasil percobaan yang terkontrol.

Kebanyakan pasien hipertensi membutuhkan dua atau lebih obat


antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah. Penambahan obat kedua
dari golongan yang berbeda dimulai pada saat penggunaan obat tunggal
dengan dosis yang adekuat gagal untuk mencapai target tekanan darah. Saat
tekanan darah lebihdari 20/10 duatas target, maka harus diberikan terapi
dengan kombinasi dua obat, baik dalam resep yang terpisah atau dalam
kombinasi obat yang tetap. Pengobatan awal dengan menggunakan lebih dari
satu obat antihipertensi dapat mencapai target tekanan darah, tatapi berisiko
terjadi hipotensi ortostatik, risiko sering terjadi pada pasien dengan diabetes,
difungsi otonom dan pada orang tua.

Obat antihipertensi
Kelas Obat (Nama Dagang) Dosis Frekuensi
Penggunaan Penggunaan/hari
(Mg/hari)
Diuretik Tiazide Klorotiazide (Diuril) 125-500 1-2
Klortalidone (generik) 12,5-25 1

Hidroklorotiazide (Mikrozide, HidroDIURIL ) 12,5-50 1
Polythiazide (Renese) 2-4 1

Indapamide (Lozol ) 1,25-2,5 1
Metalazone (Mykrox) 0,5-1,0 1
Metalazone (Zaroxolyn) 2,5-5 1

Loop Diuretik Bumetanide (Bumex) 0,5-2 2



Furosemide (Lasix ) 20-80 2
Torsemid (Demadex) 2,5-10 1
Diuretik Hemat Amiloride (Midamor) 5-10 1-2
Kalium Triamterene (Dyrenium) 50-100 1-2
Aldosteron Reseptor Eplerenone (Inspra) 50-100 1

Bloker Spironolakton (Aldactone ) 25-50 1
Beta bloker Atenolol (Tenormin) 25-100 1
Betaxolol (Kerione) 5-20 1

Bisoprolol (Zebeta ) 2,5-10 1
Metaprolol (Lopressor) 50-100 1-2
Metoprolol Extended Release (Toprol XL) 50-100 1

Nadolod (Corgard ) 40-120 1

Propanolol (Indera l) 40-160 2
Propanolol Long acting (Inderal LA) 60-180 1

Timolol (Blocadren ) 20-40 2
Beta bloker aktivitas Acebutolol (Sectral) 200-800 2
simpatomimetik Penbutolol (Levatol) 10-40 1
intrinsic Pindolol (Generik) 10-40 2
Kombinasi Alpha dan Carvedilol (Coreg) 12,5-50 2
Beta Bloker Labetolol (Normodyne, Trandate) 200-800 2

ACEI Benazepril (Lotensin ) 10-40 1
Captopril (Capoten) 25-100 2

Enalapril (Vasotec ) 5-40 1-2
Fosinopril (Monopril) 10-40 1
lisinopril (Prinivil, Zestril) 10-40 1
moexipril (Univasc) 7.5-30 1
perindopril (Aceon) 4-8 1
quinapril (Accupril) 10-80 1
ramipril (Altace) 2.5-20 1
trandolapril (Mavik) 1-4 1
Angiotensin II candesartan (Atacand) 8-32 1
Antagonis eprosartan (Teveten) 400-800 1-2
irbesartan (Avapro) 150-300 1
losartan (Cozaar) 25-100 1-2
olmesartan (Benicar) 20-40 1
telmisartan (Micardis) 20-80 1
valsartan (Diovan) 80-320 1-2
CCB Non Diltiazem extended release 180-420 1
Dihidropiridin (Cardizem CD, Dilacor XR, Tiazac) 120-540 1
diltiazem extended release (Cardizem LA) 80-320 2
verapamil immediate release (Calan, Isoptin) 120-480 1-2
verapamil long acting (Calan SR, Isoptin SR) 120-360 1
verapamilCoer, Covera HS, Verelan PM)
CCB- Dihidropiridin amlodipine (Norvasc) 2,5-10 1
felodipine (Plendil) 2,5-20 1
isradipine (Dynacirc CR) 2,5-10 2
nicardipine sustained release (Cardene SR) 60-120 2
nifedipine long-acting 30-60 1
(Adalat CC, Procardia XL) 10-40 1
nisoldipine (Sular)
Alpha 1 Bloker doxazosin (Cardura) 1-16 1
prazosin (Minipress) 2-20 2-3
terazosin (Hytrin) 1-20 1-2
Alpha 2 agonis clonidine (Catapres) 0,1-0,8 2
sentral dan obat clonidine patch (Catapres-TTS) 0,1-0,3 1 Minggu
lainnya yang bekerja methyldopa (Aldomet) 250-1000 2
sentral reserpine (generic) 0,1-0,25 1
guanfacine (Tenex) 0,5-2 1
Vasodilator hydralazine (Apresoline) 25-100 2
Langsung minoxidil (Loniten) 2,5-80 1-2

Tabel 11. Obat antihipertensi


Algoritme penanganan hipertensi menurut JNC 7

Modifikasi gaya hidup

Tak mencapai sasaran TD (<140/90 mmHg atau


<130/80n mmHg pada penderita DM atau
penyakit ginjal kronis)

Pilihan obat untuk terapi permulaan

Hipertensi tanpa Hipertensi dengan


indikasi khusus indikasi khusus

Hipertensi derajat 1 (TD Hipertensi derajat 2 (TD Obat-obatan untuk


sistolik 140-159 mmHg sistolik 160 mmHg indikasi khusus
atau TD diastolik 90-99 atau TD diastolik 100 Obat anti hiipertensi
mmHg) Umumnya mmHg) Umumnya lainnya (diuretik,
diberikan diuretik gol. diberikan kombinasi 2 penghambat EKA, ARB,
Thiazide.Bisa macam obat (biasanya penyekat , antagonis
dipertimbangkan diuretik gol. Thiazide dan Ca) sesuai yang
pemberian penghambat penghambat EKA, atau diperlukan
EKA, ARB, penyekat , ARB atau penyekat ,
antagonis Ca atau atau antogonis Ca
III.2.3. Penyakit penyerta

FAKTOR DASAR
RESIKO REKOMENDASI OBAT PERCOBAAN
INDIKASI KLINIK
(PENYAKIT Diuretik Beta AC ARB CCB ALDOANT
YANG bloker EI
MENYERTAI)
ACC/AHA
Gagal Jantung Heart Failure
Guideline,
MERIT-HF,
COPERNICUS
, CIBIS,
SOLVD, AIRE,
TRACE,
ValHEFT,
RALES
Infark Post- ACC/AHA
miokard Post-MI
Guideline,
BHAT,
SAVE,
Capricorn,
EPHESUS
Resiko Tinggi ALLHAT,
PJK HOPE,
ANBP2, LIFE,
CONVINCE
Diabetes NKF-ADA
Guideline,
UKPDS,
ALLHAT
Gagal Ginjal NFK Guideline,
Kronik Captopril Trial,
RENAAL,
IDNT, REIN,
AASK
Pencegahan PROGRESS
Stroke
Berulang
Tabel 12. Pedoman Penggunaan Beragam Obat Antihipertensi Pada Pasien Dengan (Penyakit
Yang Menyertai)

1. Gagal jantung
Disfungsi ventrikel dalam sistolik atau diastolic. Penilaian tekanan
darah dan control kolesterol adalah pencegahan utama dalam risiko gagal
jantung. Pada individu yang asimtomatik dengan disfungsi ventrikel,
direkomendasikan penggunaan ACEI dan beta bloker. Untuk indivudu dengan
gejala disfungsi ventrikel atau dengan penyakit jantung stadium akhir, maka
yang direkomendasikan adalah ACEI, beta bloker, ARB dan aldosteron bloker
dan loop diuretik.
2. Diabetes
Kombinasi dari dua atau lebih obat biasanya dibutuhkan untuk
mencapai target tekanan darah <130/80 mmHg. Diureetik tiazid, beta bloker,
ACEI, ARB dan CCB bermanfaat untuk mengurangi kejadian CVD dan
stroke pada pasien dengan diabetes. ACEI dan ARB menyebabkannefropati
diabetic dan mengurangi albuminuria dan ARB mengurangi
makroalbuminuria secara progresif.
3. Chronic kidney disease
Pada pasien dengan CKD, dengan penurunanekskresi dengan GFR
dibawah 60 ml/menit per 1,73 m2 (kreatinin >1,5 mg/dL pada pria atau >1,3
mg.dL pada wanita) atau terdapat albuminuria (>300 mg/hari atau 200 mg
albumin/g kreatinin), tujuan terapi adalah untuk memperlambat kerusakan
fungsi ginjal dan mencegah CVD. Hipertensi sering muncul pada pasien
CKD, terapi yang diberikan adalah tiga atau lebih obat untuk mencapai target
tekanan darah <130/80 mmHg. ACEI dan ARB menunjukkan efektifitas yang
progresif. Peningkatan kreatinin serum 35% tetap diberikan ACEI atau ARB
kecuali terdapat hiperkalemia. Pada pasien dengan CKD (GFR <30 ml/menit
1,73 m2, dengan kreatinin serum 2,5 3 mg/dl) dapat dinaikkan dosis loop
diuretic dan diberikan tambahan kombinasi obat.
4. CVD
Risiko dan manfaat dari menurunkan tekanan darah dakam serangan
stroke masih belum jelas. Control tekanan darah pada intermediate level
(160/100 mmHg) sampai kondisi pasien stabil atau membaik. Pada pasien
dengan kejadian stroke berulang, dapat diberikan kombinasi obat ACEI dan
diuretic tiazid.

2.2 Congestive Heart Failure (CHF)


2.3 Definisi
Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis yang berasal dari ketidakmampuan jantung
untuk memompa darah yang cukup terorganisasi untuk memenuhi kebutuhan metabolism tubuh
(Nettina, 2002).
Gagal jantung adalah termin umum yang dipakai untuk menggambarkan keadaan secara
patofisologik dimana terjadi gangguan fungsi jantung yang diakibatkan oleh ketidakmampuan
ventrikel memompa darah sesuai dengan venous return sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan
metabolism jaringan dari berbagai sistem organ di dalam tubuh.
2.4 Epidemiologi
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang sangat luas baik di negara maju
maupun negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan jumlah penderita gagal jantung
mencapai beberapa juta, sedangkan di USA sekitar 4,8 juta dan rata-rata 400.000-700.000
penderita baru tiap tahunnya. Diperkirakan hampir 23 juta orang di dunia ini menderita gagal
jantung.
Angka kematian di rumah sakit akibat gagal jantung akut mencapai 5-8% dan angka
kematian 1 tahun setelah keluar dari rumah sakit mencapai 60%. Dari tahun 1990 sampai dengan
1999 jumlah penderita gagal jantung yang dirawat di rumah sakit meningkat dari sekitar 810.000
menjadi lebih dari 1 juta dimana gagal jantung sebagai diagnose primer dan dari 2,4 juta menjadi
3,6 juta baik sebagai diagnose primer atau sekunder (Cleland, 2001)
Jumlah kematian akibat gagal jantung baik primer maupun sekunder meningkat sampai 6
kalinya dalam kurun waktu 40 tahun belakangan ini, pada gagal jantung derajat ringan risiko
kematian setiap tahunnya meningkat menjadi derajat yang lebih tinggi dari 5%-10% menjadi
sektiar 30%-40% (Cleland, 2001).

2.5 Etiologi
Penyebab gagal jantung antara lain adalah infark miokardium, miopati jantung, defek
katup, malformasi congenital dan hipertensi kronik. Penyebab spesifik gagal jantung kanan
adalah gagal jantung kiri, hipertensi paru, dan PPOK (Corwin, 2001). Berikut adalah etiologi
gagal jantung akibat etiologi penyebabnya:
Pengisian volume yang abnormal:
Inkompetensi aorta
Inkompetensi mitral
Inkompetensi trikuspidal
Overtransfusi
Pirau kiri ke kanan
Hipervolemia sekunder
Tekanan pengisian yang abnormal:
Stenosis aorta
Hipertrofi Idiopatik
Stenosis Subaorta
Koarktasio aorta
Hipertensi
Disfunsi miokard:
Kardiomiopati
Miokarditis
Penyakit arteri koroner
Iskemik
Infark
Disritmia
Presbikardia
Gangguan pengisian
Stenosis mitral
Stenosis tricuspid
Tamponade jantung

2.6 Patofisiologi
Jantung yang normal dapat berespon terhadap peningkatan kebutuhan metabolism dengan
menggunakan mekanisme kompensasi yang bervariasi untuk mempertahankna cardiac output
(volume darah yang dipompa oleh ventrikel per menit). Cardiac output dipengaruhi oleh
perputaran denyut jantung dan pengaturan curah sekuncup. Mekanisme kompensai meliputi 1).
Respon sistem saraf simpatik terhadap baroreseptor atau kemoreseptor, 2) Pengencangan dan
pelebaran otot jantung untuk menyesuaikan terhadap peningkatan volume, 3) vasokontriksi arteri
renal dan aktivitas sistem rennin angiotensin, 4) respon-respon terdap serum sodium dan regulasi
ADH dari reabsorbsi cairan. Kegagalan mekanisme kompensasi dapat dipercepat oleh adanya
volume darah sirkulasi yang dipompakan untuk menentang peningkatan resistensi vaskuler oleh
pengencangan jantung. Kecepatan jantung memperpendek waktu pengisian ventrikel dan arteri
koronaria, menurunkan cardiac output dan menyebabkan oksigenasi yang tidak adekuat ke
miokardium.
Peningkatan tekanan dinding akibat dilatasi menyebabkan peningkatan tuntutan oksigen
dan pembesaran jantung (hipertropi) terutama pada jantung iskemik atau kerusakan yang
menyebabkan kegagalan mekanisme pemompaan. Dengan kata lain, apabila kebutuhan oksigen
tidak terpenuhi maka serat otot jantung semakin hipoksia, sehingga kontraktilitas berkurang.
Hipertensi sistemik yang kronik akan menyebabkan ventrikel kiri mengalami hipertropi
dan melemah. Hipertensi paru yang berlangsung lama akan menyebabkan ventrikel kanan
mengalami hipertropi dan melemah.
Ventrikel kiri yang melemah akan menyebabkan darah kembali ke atrium kiri, lalu ke sirkulasi
paru, ventrikel kanan dan atrium kanan, maka darah akan mulai terkumpul di sistem vena perifer.
Hasil akhirnya adalah semakin berkurangnya volume darah dalam sirkulasi dan menurunnya
tekanan darah serta perburukan siklus gagal jantung.
Kenaikan tekanan vena pulmo mengakibatkan terjadinya transudasi cairan dari kapiler ke
dalam jaringan alveoli dan hal ini menyebabkan sesak napas. Pegurangan curah jantung dan
volume darah arteri berakibat perubahan aliran darah ginjal. Pengaktifan sistem saraf simpatik
dan sistem angiotensin menyebabkan vasokonstriksi arteriola dan pemintasan aliran darah
menjauhi kortek perifer. Jadi kadar filtrasi glomeruli seiring dengan peningkatan reabsoprsi
tubuli proksimal dan keduanya menyebabkan retensi garam dan air.
Bila ventrikel kanan tidak mampu berkompensasi, terjadi dilatasi dari ruang, peningkatan
volume dan tekanan pada diastolic akhir ventrikel kanan, tahanan untuk mengisi ventrikel dan
peningkatan tekanan ini sebaliknya memantulkan ke hulu vena kava dan dapat diketahui dengan
peningkatan pada tekanan vena jugularis.
Retensi natrium dan air dapat terakumulasi pada rongga abdominal akibat peningkatan
tekanan intravaskuler yang mendorong cairan keluar dari sirkulasi portal, yang dikenal sebagai
ascites. Hal ini menimbulkan manifestasi seperti mual, muntah, atau anoreksia.
2.7 Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Fisik dan Diagnosis
Tanda dan gejala gagal jantung kiri adalah adanya dispnea, ortopnea, dispnea nocturnal
paroksismal, batuk iritasi, oedema pulmonal akut, penurunan curah jantung, irama gallop, crakles
paru, disritmia, pernapasan cheyne stoke. Untuk gagal jantung kanan ditandai dengan curah
jantung rendah, distensi vena jugularis, edema, dependen disritmia, penurunan bunyi napas.

Pemeriksaan penunjang untuk CHF dapat bermacam-macam. Diantaranya adalah:


o EKG: Hipertropi atrial atau ventrikel, penyimpangan aksis dan iskemia
o Sonogram: Dapat menunjukkan dimensi perbesaran bilik, perubahan dalam fungsi
struktur katup atau area penurunan kontraktilitas ventrikuler.
o Rontgen dada: dapat menunjukkan perbesaran jantung, bayangkan mencerminakan
dilatasi/hipertropi bilik
o Enzim hepar: meningkat dalam gagal/kongestif hepar
o Elektrolit: mungkin berubah karena penurunan fungsi ginjal
o Analisa gas darah: gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis respiratorik ringan atau
hiposemia
o BUN: peningkatan BUN menandakan penurunan fungsi ginjal
o Kreatinin: Peningkatan merupakan indikasi gagal jantung

Kriteria Framingham untuk diagnosis CHF adalah sebagai berikut:


Kriteria Mayor
Paroksismal nocturnal dispnea
Distensi vena leher
Kardiomegali pada gambaran radiologis
Edema paru akut
Ronki paru
Gallop S3
Refleks hepatojugular
Didapatkan edema paru, kongesti visceral, atau kardiomegali pada otopsi
Peninggian tekanan vena jugularis
Kriteria Minor
Edema tungkai bilateral
Batuk malam hari
Sesak napas saat beraktifitas normal
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Dispnea deffort
Takikardia (>120/menit)

Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan jika terdapat 2 gejala mayor atau 1 gejala
mayor dan ditambah dengan dua gejala minor. New York Heart Association (NYHA)
menetapkan klasifikasi sesak napas berdasarkan aktifitas:
Derajat I : Tidak ada gejala bila melakukan kegiatan fisik biasa
Derajat II : Timbul gejala bila melakukan aktifitas fisik biasa
Derajat III: Timbul gejala sewaktu melakukan kegiatan fisik ringan
Derajat IV : Timbul gejala pada saat istirahat

2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Terapi Medikamentosa
Obat yang mempengaruhi kerja angiotensin II
Gagal jantung fase kompensata terjadi akibat aktifitas baik sistem simpatis
maupun sistem rennin angiotensin aldosteron, disini angiotensin II dan aldosteron merupakan
respon neuro-humoral yang mengakibatkan gangguan pada jantung, sehingga sesudah
sewajarnya diperlukan agen yang mampu menghambat aktifitas keduanya. ACE adalah suatu zat
yang diperlukan dalam konversi dari angiotensin I menjadi angiotensin II di dalam sistem RAA.
Sistem ini juga berpengaruh terhadap hipertensi, namun yang lebih penting lagi adalah efek
remodeling pada target organ sehingga menimbulkan gangguan fungsi target organ.

Diuretika
Diuretika dianjurkan diberikan pada semua gagal jantung kongestif dimana agen ini lebih
bersifat simptomatis daripada proteksi di organ target. Pada gagal jantung kongestif loop
diuretika (furosemid) lebih dianjurkan dibandingkan golongan tiazid . Namun demikian
pemakaian lama diuretika jenis ini dapat mengakibatkan aritmia yang ganas. Sebaliknya
kombinasi furosemid dengan spironolakton (diuretic hemat kalium) tidak meningkatkan risiko
aritmia ganas. Bahkan spironolakton direkomendasikan untuk diberikan pada gagal jantung berat
(NYHA III-IV) guna memperbaiki baik angka kesakitan maupun angka kematian.

Penghambat Beta
Pada masa yang lalu penghambat beta merupakan kontraindikasi pada semua klas fungsional
gagal jantung dan telah dibuktikan dapat menurunkan baik angka kematian maupun angka
kesakitan pada gagal jantung. Pada penelitian CIBIS II, penambahan bisoprolol pada terapi
dengan diuretika dan penghambat ACE pada pengobatan penderita gagal jantung dapat
menurunkan angka kematian oleh sebab apapun sebesar 32%, kematian mendadak 45%, masuk
rumah sakit 29% dengan tanpa efek samping yang berarti. Namun demikian beberapa keadaan
seperti asma bronkiale dan bradikardi tidak dianjurkan pemberian penghambat beta.

Digitalis
Dahulu digitalis merupakan indikasi utama pada pengobatan gagal jantung, akan
tetapi akhir-akhir ini sudah tidak merupakan indikasi utama walaupun masih bisa digunakan
sebagai tambahan terapi pada penderita gagal jantung yang dengan pemberian obat
konvensional masih belum membaik. Saat ini digitalis lebih dipakai untuk tujuan mengontrol
frekuensi ventrikel yang terlalu cepat baik pada atrial takikardi, flutter, maupun fibrilasi.

Agen anti aritmia


Pada umumnya anti aritmia dipakai pada gagal jantung dengan atrial fibrilasi
dimana respon ventrikelnya sangat cepat. Disini fungsi anti aritmia hanyalah mengontrol
frekuensi ventrikel sehingga masa diastolnya lebih panjang oleh karenanya isi ventrikel saat
diastole makin besar dan strok volume akan meningkat. Anti aritmia yang paling sering dipakai
adalah amiodaron, namun amiodaron ini punya efek toksik pada paru, hepar, dan tiroid dan
juga mempunyai efek inotropik negative sehingga tidak tepat untuk gagal jantung berat.

Anti koagulan
Pemberian anti koagulan warfarin pada pasien gagal jantung berat dengan irama sinus masih
merupakan kontroversi. Oleh karena itu perlu pertimbangan masak terapi anti koagulan pada
gagal jantung, dan mesti sangat dipertimbangkan efek dan risikonya. Pada gagal jantung
dengan atrial fibrilasi, warfarin dapat member manfaat menurunkan risiko terjadinya trombo-
emboli maupun stroke. Tidak semua pusat rumah sakit yang menangani gagal jantung
memakai anti koagulan secara rutin untuk semua pasiennya dengan gangguan fungsi ventrikel
sedang sampai berat dimana tidak ada kontraindikasinya.

2.8.2 Terapi lainnya

Ada banyak terapi tambahan yang lain dan biasanya dilakukan di negara maju maupun yang
sedang berkembang termasuk di Indonesia, diantaranya pemasangan defibriliator secara
implant, biventricular pacing, ventricular assist devices. Demikian juga tindakan bedah
seperti transplantasi jantung, Coronary Artery Bypass Grafting (CABG), rekonstruksi katup
mitral pada disfungsi ventrikel kiri, Ventricular Reduction Surgery.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikan dengan


hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan
oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya. Hiperglikemia kronis pada
diabetes melitus akan disertai dengan kerusakan,ganguan fungsi beberapa organ tubuh
khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Walaupun pada diabetes melitus
ditemukan ganguan metabolisme semua sumber makanan tubuh kita, kelainan metabolisme
yang paling utama ialah kelainan metabolisme karbohidarat. Oleh karena itu diagnosis
diabetes melitus selalu berdasarkan tinginya kadar glukosa dalam plasma darah.

Diabetes Melitus tipe 2, disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik,
kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk
metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta
pankreas, maka diabetes mellitus tipe 2 dianggap sebagai non insulin dependent diabetes
mellitus. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan
75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui
DM setelah usia 30 tahun.

B. Epidemiologi
Prevalensi DM sulit ditentukan karena standar penetapan diagnosisnya berbeda-beda.
Berdasarkan kriteria American Diabetes Asociation tahun 2012 (ADA 2012), sekitar 10,2
juta orang di Amerika Serikat menderita DM. Sementara itu, di Indonesia prevalensi DM
sebesar 1,5-2,3% penduduk usia >15 tahun,bahkan di daerah Manado prevalensi DM sebesar
6,1%.
Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki. Wanita lebih berisiko
mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa
tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2008, menunjukan
prevalensi DM di Indonesia membesar sampai 57%, pada tahun 2012 angka kejadian
diabetes melitus di dunia adalah sebanyak 371 juta jiwa, dimana proporsi kejadian diabetes
melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang menderita diabetes mellitus dan hanya
5% dari jumlah tersebut menderita diabetes mellitus tipe 1.
Pemeriksan laboratorium bagi penderita DM diperlukan untuk menegakan diagnosis
serta memonitor terapi dan timbulnya komplikasi. Dengan demikian, perkembangan penyakit
bisa dimonitor dan dapat mencegah komplikasi.

C. Klasifikasi

Klasifikasi Diabetes Melitus, yaitu:


1. Diabetes Melitus Tipe 1

DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat kerusakan dari
sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing (terutama malam hari),
sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal
atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. Diabetes Melitus Tipe 2

DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat
normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa
tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi
hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan
dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional

D. Anatomi Pankreas
Pankreas adalah organ pipih yang terletak dibelakang dan sedikit di bawah lambung
dalam abdomen. Organ ini memiliki 2 fungsi: fungsi endokrin dan fungsi eksokrin. Bagian
eksokrin dari pankreas berfungsi sebagai sel asinar pankreas, memproduksi cairan pankreas
yang disekresi melalui duktus pankreas ke dalam usus halus. Pankreas terdiri dari 2 jaringan
utama, Sloane (2003), yaitu:
- Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
- Pulau langerhans yang mengeluarkan sekretnya keluar. Tetapi, menyekresikan insulin dan
glukagon langsung ke darah.

Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologi dari pankreas tersebar di


seluruh pankreas dengan berat hanya 1-3 % dari berat total pankreas. Pulau langerhans
berbentuk opoid dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang
terkecil adalah 50, sedangkan yang terbesar 300, terbanyak adalah yang besarnya 100-
225. Jumlah semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan antara 1-2 juta.

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Pankreas

Sel endokrin dapat ditemukan dalam pulau-pulau langerhans, yaitu kumpulan kecil sel
yang tersebar di seluruh organ. Ada 4 jenis sel penghasil hormon yang teridentifikasi dalam
pulau-pulau tersebut:
- Sel alfa, jumlah sekitar 20-40 %, memproduksi glukagon yang menjadi faktor
hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai antiinsulin like activity.
- Sel beta menyekresi insulin yang menurunkan kadar gula darah.
- Sel delta menyekresi somastatin, hormon penghalang hormon pertumbuhan yang
menghambat sekresi glukagon dan insulin.
- Sel F menyekresi polipeptida pankreas, sejenis hormon pencernaan untuk fungsi yang
tidak jelas.

Gambar 2. Pulau Langerhans

Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel
beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin
disintesis dan kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai dengan kebutuhan tubuh untuk
keperluan regulasi glukosa darah.

Sintesis insulin dimulai dalam bentuk prepoinsulin (precursor hormon insulin) pada
retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, prepoinsulin mengalami
pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung-
gelembung (secretory vesicle) dalam sel tersebut. Di sini, dengan bantuan enzim peptidase,
proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk
disekresikan secara bersamaan melalui membran sel.

Mekanisme secara fisiologis di atas, diperlukan bagi berlangsungnya proses


metabolisme glukosa, sehubungan dengan fungsi insulin dalam proses utilasi glukosa dalam
tubuh. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang memberi
rangsangan terhadap sel beta memproduksi insulin, meskipun beberapa jenis asam amino dan
obat-obatan, juga dapat memiliki efek yang sama. Mekanisme sintesis dan sekresi insulin
setelah adanya rangsangan terhadap sel beta cukup rumit, dan belum sepenuhnya dipahami
secara jelas.

Ada beberapa tahapan dalam sekresi insulin, setelah molekul glukosa memberikan
rangsangan pada sel beta. Pertama, proses untuk dapat melewati membran sel yang
membutuhkan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang
terdapat dalam berbagai sel yang berperan proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai
"kenderaan" pengangkut glukosa masuk dari luar ke dalam jaringan tubuh. Glucose
transforter 2(GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta misalnya, diperlukan dalam proses
masuknya glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke dalam sel. Proses ini merupakan
langkah penting, agar selanjutnya ke dalam sel, molekul glukosa tersebut dapat mengalami
proses glikolisis dan fosforilasi yang akan membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang
terbebas tersebut, dibutuhkan untuk mengaktifkan proses penutupan K channel yang terdapat
pada membran sel. Terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel menyebabkan
depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh proses pembukaan Ca channel.
Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga meningkatkan kadar ion
Ca intrasel, suasana yang dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme yang
cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan.

E. Fisiologi
Pengaturan Homeostasis Glukosa

Homeostasis glukosa mencerminkan keseimbangan antara produksi glukosa hepatik


dan pengambilan glukosa perifer dan pemanfaatannya. Insulin adalah regulator terpenting
dari keseimbangan metabolisme ini, tapi sinyal saraf, sinyal metabolik, dan hormon lainnya
(misalnya, glukagon) menghasilkan pengontrolan terpadu untuk pasokan dan pemanfaatan
glukosa.

Organ yang mengatur glukosa dan lipid berkomunikasi dengan mekanisme saraf dan
humoral dengan lemak dan otot memproduksi adipokines, myokines, dan metabolit yang
mempengaruhi fungsi hati. Dalam keadaan puasa, kadar insulin yang rendah meningkatkan
produksi glukosa dengan mempromosikan glukoneogenesis hepatik dan glikogenolisis dan
mengurangi penyerapan glukosa di jaringan sensitif insulin (otot rangka dan lemak),
sehingga meningkatkan mobilisasi prekursor disimpan seperti asam amino dan asam lemak
bebas (lipolisis).
Gambar 3. Regulasi Homeostasis Glukosa.
Glukagon, disekresikan oleh sel alfa pankreas ketika glukosa darah atau insulin tingkat
rendah, merangsang glikogenolisis dan glukoneogenesis oleh hati dan medula ginjal. Pada
saat postprandial, beban glukosa memunculkan kenaikan insulin dan penurunan glukagon,
mengarah ke pembalikan proses ini. Insulin, suatu hormon anabolik, mempromosikan
penyimpanan karbohidrat dan lemak dan sintesis protein. Bagian utama dari glukosa
postprandial digunakan oleh otot rangka, efek dari penyerapan glukosa yang dirangsang oleh
insulin. Jaringan lain, terutama otak, menggunakan glukosa dalam model insulin insulin.
Faktor-faktor yang disekresi oleh miosit skeletal (irisin), adiposit (leptin, resistin,
adiponektin, dll), dan tulang juga mempengaruhi homeostasis glukosa.
Biosintesis Insulin

Insulin diproduksi di sel beta dari pulau pankreas. Hal ini awalnya disintesis sebagai
rantai tunggal asam amino-86 prekursor polipeptida, preproinsulin. Pengolahan proteolitik
selanjutnya menghilangkan sinyal peptida terminal amino, sehingga menimbulkan proinsulin.
Proinsulin secara struktural terkait dengan faktor pertumbuhan seperti insulin I dan II, yang
mengikat lemah pada reseptor insulin. Pembelahan fragmen 31, residu internal dari
proinsulin menghasilkan peptida C dan A (21 asam amino) dan B (30 asam amino) rantai
insulin, yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Molekul insulin matang dan C peptida
disimpan bersama-sama dan untuk disekresikan dari butiran sekresi dalam sel beta. Karena C
peptida dibersihkan lebih lambat dari insulin, itu adalah penanda yang berguna sekresi
insulin dan memungkinkan diskriminasi sumber endogen dan eksogen insulin dalam evaluasi
hipoglikemia. Sel beta pankreas mensekresikan islet amyloid polypeptide (IAPP) atau
amylin, suatu peptida 37-asam amino, bersama dengan insulin. Peran IAPP dalam fisiologi
normal tidak lengkap ditetapkan, tetapi merupakan komponen utama dari fibril amiloid yang
ditemukan di pasien dengan diabetes tipe 2, dan analog kadang-kadang digunakan dalam
mengobati tipe 1 dan tipe 2 DM. Insulin manusia diproduksi oleh teknologi DNA
rekombinan; perubahan struktural pada satu atau lebih residu asam amino memodifikasi
karakteristik fisik dan farmakologinya.
Sekresi Insulin

Glukosa adalah tombol pengatur sekresi insulin oleh sel beta pankreas, meskipun asam
amino, keton, berbagai nutrisi, peptida gastro-intestinal, dan neurotransmitter juga
mempengaruhi sekresi insulin. Kadar glukosa >3,9 mmol L (70 mg/dL) merangsang sintesis
insulin, terutama dengan meningkatkan protein translation dan processing. Glukosa
menstimulasi sekresi insulin dimulai dengan transportasi ke dalam sel beta oleh transporter
glukosa fasilitatif.

Gambar 4. Mekanisme glukosa merangsang sekresi insulin dan kelainan pada diabetes.

Fosforilasi glukosa oleh glukokinase adalah langkah tingkat pembatas yang mengontrol
glukosa dalam regulasi sekresi insulin. Metabolisme selanjutnya glukosa-6-fosfat melalui
glikolisis menghasilkan ATP, yang menghambat aktivitas dari K sensitif ATP+ channel.
Kanal ini terdiri dari dua protein yang terpisah: satu adalah tempat pengikatan hipoglikemik
oral tertentu (misalnya, sulfonilurea, meglitinides); yang lain adalah dalam hati meluruskan
K + channel protein (Kir6.2). Penghambatan kanal K+ ini menginduksi depolarisasi
membran sel beta, yang membuka tegangan saluran kalsium tergantung (yang mengarah ke
masuknya kalsium) dan menstimulasi sekresi insulin. Insulin profil sekretori mengungkapkan
berdenyut pat-tern dari pelepasan hormon, dengan semburan yang keluar kecil terjadi sekitar
setiap 10 menit, ditumpangkan pada osilasi amplitudo lebih besar dari sekitar 80-150 menit.
Incretins dilepaskan dari sel-sel neuroendokrin dari saluran pencernaan setelah asupan
makanan dan memperkuat sekresi insulin glukosa-dirangsang dan menekan sekresi glukagon.
Glukagon-like peptide 1 (GLP-1), incretin paling ampuh, dilepaskan dari sel-sel L di usus
kecil dan merangsang sekresi insulin hanya ketika glukosa darah di atas tingkat puasa.
Incretin analog atau agen farmakologis yang memperpanjang aktivitas endogen GLP-1
meningkatkan sekresi insulin.
Aksi Insulin

Setelah insulin disekresikan ke dalam sistem vena portal, ~50% dihapus dan
terdegradasi oleh hati. Insulin yang tak terekstraksi memasuki sirkulasi sistemik di mana ia
mengikat reseptor di situs sasaran. Insulin mengikat reseptor yang akan merangsang
aktivitas tyrosine kinase intrinsik, yang mengarah ke autofosforilasi reseptor dan perekrutan
molekul sinyal intracellular, seperti substrat reseptor insulin (IRS). IRS dan protein adaptor
lainnya menginisiasi kaskade kompleks reaksi phosphorylation dan defosforilasi,
mengakibatkan metabolisme luas dan efek mitogenik insulin. Sebagai contoh, aktivasi dari
fosfatidilinositol-3'-kinase (PI-3-kinase) jalur merangsang translokasi dari transporter
glukosa fasilitatif (misalnya, GLUT4) ke permukaan sel, sebuah acara yang sangat penting
untuk penyerapan glukosa oleh otot rangka dan lemak. Aktivasi jalur reseptor insulin
signaling lainnya menginduksi sintesis glikogen, sintesis protein, lipogenesis, dan regulisasi
berbagai gen dalam sel insulin responsif.

F. Patofisiologi DM Tipe II

Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan

insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu:

a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia, dll)

b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas

c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.


Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu:
- Resistensi insulin
- Disfungsi sel B pancreas

DM tipe 2 mungkin mencakup berbagai gangguan dengan fenotipe umum dari


hiperglikemia.
- Pertimbangan Genetik

DM tipe 2 memiliki komponen genetik yang kuat. Kesesuaian DM tipe 2 pada kembar
identik adalah antara 70 dan 90%. Individu dengan orangtua dengan DM tipe 2 memiliki
peningkatan risiko diabetes; jika kedua orang tua memiliki DM tipe 2, risiko mendekati 40%.
Resisten insulin, seperti yang ditunjukkan oleh penggunaan glukosa berkurang di otot
rangka, hadir dalam banyak kerabat nondiabetes, pertama-tingkat individu dengan DM tipe 2.
Penyakit ini poligenik dan multifaktor, karena selain kerentanan genetik, faktor lingkungan
(seperti obesitas, gizi, dan aktivitas fisik) memodulasi fenotip. Lingkungan di dalam rahim
juga berkontribusi, dan baik ditambah atau dikurangi berat badan lahir meningkatkan risiko
DM tipe 2 di usia dewasa. Gen yang mempengaruhi mengetik 2 DM yang tidak lengkap
diidentifikasi, namun studi asosiasi genome baru-baru ini telah mengidentifikasi sejumlah
besar gen yang menyampaikan risiko yang relatif kecil untuk tipe 2 DM (>70 gen, masing-
masing dengan risiko relatif 1,06-1,5). Paling menonjol adalah varian dari faktor transkripsi
7, seperti 2 gen yang telah dikaitkan dengan DM tipe 2 di beberapa populasi dan dengan IGT
dalam satu populasi berisiko tinggi untuk diabetes. Polimorfisme genetik yang terkait dengan
DM tipe 2 juga telah ditemukan dalam gen yang mengkode peroksisom proliferator-activated
receptor , ke dalam meluruskan kanal kalium, transporter Zinc, IRS, dan calpain 10.
Mekanisme lokus genetik yang meningkatkan kerentanan untuk DM tipe 2 masih tidak jelas,
tetapi kebanyakan diperkirakan mengubah fungsi pulau atau pengembangan atau sekresi
insulin. Meskipun kerentanan genetik untuk DM tipe 2 sedang diselidiki aktif (sejauh ini
diperkirakan <10% dari risiko genetik ditentukan oleh lokus), saat ini tidak mungkin untuk
menggunakan kombinasi dari lokus genetik yang dikenal untuk memprediksi DM tipe 2.

DM tipe 2 ditandai dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin, produksi


glukosa hepatik yang berlebihan, dan metabolisme lemak yang abnormal. Obesitas, terutama
visceral atau pusat (yang dibuktikan dengan rasio pinggul-pinggang), adalah sangat umum di
DM tipe 2 (80% dari pasien mengalami obesitas). Pada tahap awal dari gangguan, toleransi
glukosa tetap mendekati normal, meskipun resistensi insulin, karena sel-sel beta pankreas
mengimbanginya dengan meningkatkan produksi insulin.

Gambar 5. Perubahan metabolik selama pengembangan diabetes mellitus tipe 2.

Sebagai resistensi insulin dan kemajuan kompensasi hiperinsulinemia, pulau pankreas


pada individu tertentu tidak dapat mempertahankan keadaan hiperinsulinemia. IGT, ditandai
dengan peningkatan glukosa postprandial. Penurunan lebih lanjut dalam sekresi insulin dan
peningkatan hepatik memimpin produksi glukosa untuk diabetes yang nyata dengan
hiperglikemia puasa. Pada akhirnya, kegagalan sel beta terjadi kemudian. Meskipun kedua
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin berkontribusi pada patogenesis DM tipe 2,
kontribusi relatif dari masing-masing bervariasi dari individu ke individu.
- Abnormalitas Metabolik

Abnormalitas Metabolisme Jaringan Otot dan Lemak

Resistensi insulin, penurunan kemampuan insulin untuk bertindak secara efektif pada
jaringan target (terutama otot, hati, dan lemak), merupakan fitur yang menonjol dari DM tipe
2 dan hasil dari kombinasi kerentanan genetik dan obesitas. Resistensi insulin relatif, karena
beredarnya tingkat insulin yang supranormal akan menormalkan glukosa plasma. Pada kurva
respon dosis insulin menunjukkan pergeseran ke kanan, menunjukkan berkurangnya
sensitivitas, dan respon maksimal berkurang, menunjukkan penurunan secara keseluruhan
dalam penggunaan glukosa maksimum (30-60% lebih rendah dari pada individu normal).
Resistensi insulin mengganggu penggunaan glukosa oleh jaringan sensitif insulin dan
meningkatkan output glukosa hepatik; kedua efek berkontribusi pada terjadinya
hiperglikemia.

Peningkatan output glukosa hepatik terutama menyumbang peningkatan tingkat GDP,


sedangkan penurunan hasil penggunaan glukosa perifer di hiperglikemia postprandial. Pada
otot rangka, ada penurunan lebih besar dalam penggunaan glukosa nonoxidative
(pembentukan glikogen) daripada metabolisme glukosa oksidatif melalui glikolisis.
metabolisme glukosa pada jaringan independen insulin tidak diubah dengan DM tipe 2.

Mekanisme molekuler yang tepat mengarah ke resistensi insulin pada DM tipe 2 belum
dijelaskan. Tingkat reseptor insulin dan aktivitas tyrosine kinase di otot rangka berkurang,
tetapi perubahan ini kemungkinan besar akibat hiperinsulinemia sekunder dan bukan defek
primer. Oleh karena itu, defek "postreseptor" pada insulin diatur oleh fosforilasi/defosforilasi
tampaknya memainkan peran dominan dalam resistensi insulin. Kelainan termasuk
akumulasi lipid dalam miosit skeletal, yang dapat mengganggu fosforilasi oksidatif
mitokondria dan mengurangi insulin merangsang produksi ATP mitokondria. Gangguan
oksidasi asam lemak dan akumulasi lipid dalam miosit tulang juga dapat menghasilkan
spesies oksigen reaktif seperti peroksida lipid. Dari catatan, tidak semua jalur transduksi
sinyal insulin resisten terhadap efek insulin (misalnya, mereka mengendalikan pertumbuhan
sel dan diferensiasi menggunakan mitogenik jalur activated protein kinase). Akibatnya,
hiperinsulinemia dapat meningkatkan aksi insulin melalui jalur ini, berpotensi mempercepat
kondisi diabetes terkait seperti aterosklerosis.

Obesitas menyertai DM tipe 2, khususnya di lokasi pusat atau visceral, dianggap bagian
dari proses patogenik. Selain ini depot lemak putih, manusia sekarang diakui memiliki lemak
coklat, yang memiliki kapasitas termogenik yang jauh lebih besar. Upaya sedang dilakukan
untuk meningkatkan kegiatan atau kuantitas lemak coklat (mis, myokine, irisin, dapat
mengkonversi putih untuk lemak coklat). Massa adiposit meningkat menyebabkan
peningkatan kadar beredar asam lemak bebas dan produk sel lemak lainnya. Misalnya,
adipocytes mengeluarkan sejumlah produk biologis (asam lemak bebas nonesterified, retinol-
binding protein 4, leptin, TNF-, resistin, IL-6, dan adiponektin). Selain mengatur berat
badan, nafsu makan, dan pengeluaran energi, adipokines juga memodulasi sensitivitas
insulin. Peningkatan produksi asam lemak bebas dan beberapa adipokines dapat
menyebabkan resistensi insulin di otot rangka dan hati. Misalnya, asam lemak bebas merusak
pemanfaatan glukosa di dalam otot rangka, meningkatkan produksi glukosa oleh hati, dan
merusak fungsi sel beta. Sebaliknya, produksi oleh adiposit adiponektin, suatu peptida yang
peka terhadap insulin, berkurang pada obesitas, dan ini dapat menyebabkan resistensi insulin
hepatik. Produk adiposit dan adipokines juga memproduksi keadaan peradangan dan
mungkin menjelaskan mengapa tanda peradangan seperti IL-6 dan protein C-reaktif sering
meningkat pada DM tipe 2. Selain itu, sel-sel inflamasi ditemukan menginfiltrasi jaringan
adiposa. Penghambatan jalur sinyal inflamasi seperti jalur nuklir faktor-kB (NF-kB) muncul
untuk mengurangi resistensi insulin dan meningkatkan hiperglikemia pada model binatang
dan sedang diuji pada manusia.

Gangguan Sekresi Insulin

Sekresi insulin dan sensitivitas saling terkait. Pada DM tipe 2, sekresi insulin awalnya
meningkatkan respons terhadap resistensi insulin untuk menjaga toleransi glukosa normal.
Awalnya, defek sekretori insulin ringan dan selektif melibatkan glukosa yang merangsang
sekresi insulin, termasuk penrunan pada fase sekretori pertama. Respon terhadap
secretagogues nonglucose lainnya, seperti arginin, yang diawetkan, tapi fungsi beta
keseluruhan berkurang sebanyak 50% pada awal DM tipe 2. Kelainan pada pengolahan
proinsulin tercermin dengan peningkatan sekresi proinsulin di DM tipe 2. Akhirnya, defek
sekretori insulin adalah progresif. Alasan penurunan kapasitas sekresi insulin dalam DM tipe
2 tidak jelas. Asumsinya adalah bahwa defek genetik kedua menyebabkan kegagalan sel beta.
Massa sel beta turun sekitar 50% pada individu dengan lama DM tipe 2. Islet amyloid
polipeptida atau amylin, disekresikan oleh sel beta, membentuk deposit amyloid fibril
ditemukan di pulau dari individu dengan berdiri lama DM tipe 2. Apakah deposit amyloid
pulau seperti peristiwa primer atau sekunder tidak diketahui. Lingkungan metabolik diabetes
juga dapat berdampak negatif terhadap fungsi islet. Misalnya, hiperglikemia kronik paradoks
merusak fungsi islet (toksisitas glukosa) dan mengarah ke memburuknya hiperglikemia.
Peningkatan kontrol glikemik sering dikaitkan dengan peningkatan fungsi islet. Selain itu,
ketinggian kadar asam lemak bebas (lipotoxicity) dan lemak dari makanan juga dapat
memperburuk fungsi pulau. Mengurangi GLP-1 tindakan dapat berkontribusi untuk sekresi
insulin berkurang.

Peningkatan Glukosa Hepatik dan Produksi Lipid


Pada DM tipe 2, resistensi insulin di hati mencerminkan kegagalan hiperinsulinemia
untuk menekan glukoneogenesis, yang menghasilkan puasa hiperglikemia dan penurunan
penyimpanan glikogen oleh hati di postprandial. Peningkatan produksi glukosa hepatik
terjadi di awal perjalanan diabetes, meskipun mungkin setelah timbulnya kelainan sekresi
insulin dan resistensi insulin di otot rangka. Sebagai hasil dari resistensi insulin pada jaringan
adiposa, lipolisis dan fluks asam lemak bebas dari adipocytes meningkat, yang menyebabkan
peningkatan lipid (very low density lipoprotein [VLDL] dan trigliserida) sintesis dalam
hepatosit. penyimpanan lipid ini atau steatosis di hati dapat menyebabkan penyakit hati
berlemak nonalkohol dan tes fungsi hati yang abnormal. Hal ini juga bertanggung jawab
untuk dislipidemia ditemukan pada DM tipe 2 (peningkatan trigliserida, mengurangi high
density lipoprotein [HDL], dan peningkatan padat low density lipoprotein [LDL] partikel
kecil).

Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama,
glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin karena kadar insulin
meningkat. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun
konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia
setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin
menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.

G. Faktor Resiko

Faktor Resiko Diabetes Melitus:

1. Obesitas

Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah, pada derajat
kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah menjadi
200mg%.
2. Hipertensi

Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak tepatnya
penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi
pembuluh darah perifer.

3. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus

Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen diabetes. Diduga
bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang bersifat homozigot dengan
gen resesif tersebut yang menderita Diabetes Mellitus.

4. Dislipedimia

Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah (Trigliserida > 250
mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan rendahnya HDL (< 35
mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes.

5. Umur

Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus adalah > 45
tahun.

6. Riwayat persalinan

Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi > 4000 gram.
7. Alkohol dan Rokok

Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan peningkatan frekuensi


DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini dihubungkan dengan peningkatan
obesitas dan pengurangan ketidakaktifan fisik, faktor-faktor lain yang berhubungan
dengan perubahan darilingkungan tradisional kelingkungan kebarat- baratan yang
meliputi perubahan-perubahan dalam konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan dalam
peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan mengganggu metabolisme gula darah terutama
pada penderita DM, sehingga akan mempersulit regulasi gula darah dan meningkatkan
tekanan darah.
H. Manifestasi Klinik

Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut diabetes
melitus yaitu: Poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak
kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah namun berat badan turun
dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah.

Gejala kronik diabetes melitus yaitu: Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti
tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk, pandangan
mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun bahkan pada
pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin
dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg.

Patofisiologi gejala DM
Pada keadaan defisiensi insulin relatif, masalah yang akan ditemui terutama adalah
hiperglikemia dan hiperosmolaritas yang terjadi akibat efek insulin yang tidak adekuat.
Hiperglikemia pada diabetes melitus terjadi akibat penurunan pengambilan glukosa
darah ke dalam sel target, dengan akibat peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300
sampai 1200 mg per 100ml. Hal ini juga diperberat oleh adanya peningkatan produksi
glukosa dari glikogen hati sebagai respon tubuh terhadap kelaparan intrasel. Keadaan
defisiensi glukosa intrasel ini juga akan menimbulkan rangsangan terhadap rasa lapar
sehingga frekuensi rasa lapar meningkat (polifagi).

Penimbunan glukosa di ekstrasel akan menyebabkan hiperosmolaritas. Pengeluaran


cairan tubuh berlebih akibat poliuria disertai dengan adanya hiperosmolaritas ekstrasel yang
menyebabkan penarikan air dari intrasel ke ekstrasel akan menyebabkan terjadinya dehidrasi,
sehingga timbul rasa haus terus-menerus dan membuat penderita sering minum (polidipsi).
Dehidrasi dapat berkelanjutan pada hipovolemia dan syok, serta AKI akibat kurangnya
tekanan filtrasi glomerulus. Jadi, salah satu gambaran diabetes yang penting adalah
kecenderungan dehidrasi ekstra sel dan intra sel, dan ini sering juga disertai dengan
kolapsnya sirkulasi. Dan perubahan volume sel akibat keadaan hiperosmotik ekstrasel yang
menarik air dari intrasel dapat mengganggu fungsi sel-sel dalam tubuh.
Kadar glukosa plasma yang tinggi (di atas 180 mg%) yang melewati batas ambang
bersihan glukosa pada filtrasi ginjal, yaitu jika jumlah glukosa yang masuk tubulus ginjal
dalam filtrat meningkat kira-kira diatas 225mg/menit, maka glukosa dalam jumlah bermakna
mulai dibuang atau terekskresi ke dalam urin yang disebut glukosuria. Keberadaan glukosa
dalam urin menyebabkan keadaan diuresis osmotik yang menarik air dan mencegah
reabsorbsi cairan oleh tubulus sehingga volume urin meningkat dan terjadilah poliuria.
Karena itu juga terjadi kehilangan Na dan K berlebih pada ginjal.

I. Diagnosis
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200
mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam
setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal
untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan
dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tetapi punya resiko DM (usia
> 45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang,
melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida 250 mg/dl). Uji
diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa
oral (TTGO) standar.

Gambar 6. Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi

glukosa

J. Tatalaksana
Tujuan Tatalaksana
- Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan
mencapai target pengendalian glukosa darah.
- Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati.
- Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Dasar-dasar Pengobatan Terapi DM Tipe 2

Resistensi insulin merupakan dasar dari diabetes tipe 2, dan kegagalan sel mulai
terjadi sebelum berkembangnya diabetes yaitu dengan terjadinya ketidakseimbangan antara
resistensi insulin dan sekresi insulin. De Fronzo menyatakan bahwa fungsi sel menurun
sebesar kira-kira 20% pada saat terjadi intoleransi glukosa. Dengan demikian jelas bahwa
pendekatan pengobatan DM tipe 2 harus memperbaiki resistensi insulin dan memperbaiki
fungsi sel .

Hal yang mendasar dalam pengel olaan Diabetes mellitus tipe 2 adalah perubahan pola
hidup yaitu pola makan yang baik dan olahraga teratur. Dengan atau tanpa terapi
farmakologik, pola makan yang seimbang dan olahraga teratur (bila tidak ada kontraindikasi)
tetap harus dijalankan.

Target Glikemik

Penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan Studi Kumamoto
pada pasien DM tipe 2 menunjukkan target glikemik terapi DM tipe 2 yang menghasilkan
perbaikan prognosis jangka panjang. Hasil penelitian klinik dan epidemiologik menunjukkan
bahwa dengan menurunkan kadar glukosa maka kejadian komplikasi mikrovaskuler dan
neuropati akan menurun. Target kadar glukosa darah yang terbaik berdasarkan pemeriksaan
harian dan A1c sebagai index glikemia kronik belum diteliti secara sistematik. Tetapi hasil
penelitian DCCT (pada pasien diabetes tipe 1) dan UKPDS (pada pasien diabetes tipe 2)
mengarahkan gol pencapaian kadar glikemik pada rentang nondiabetik. Akan tetapi pada
kedua studi tersebut bahkan pada grup pasien yang mendapat pengobatan intensif, kadar A1c
tidak dapat dipertahankan pada rentang nondiabetik . Stu di tersebut mencapai kadar rata-rata
A1c ~7% yang merupakan 4SD diatas rata-rata non diabetik.

Target glikemik yang paling baru adalah dari ADA (American Diabetes Association)
yang dibuat berdasarkan kepraktisan dan projeksi penurunan kejadian komplikasi, yaitu A1c
<7%.
Pilar Penatalaksanaan DM
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
5. Cangkok pankreas
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (24 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan
insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung
kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria,
insulin dapat segera diberikan.
1. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk
dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan
perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa
darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat
pelatihan khusus.
2. Terapi Nutrisi Medis
- Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim
(dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya).
- Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya
guna mencapai sasaran terapi.
- Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada penyandang diabetes perlu
ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah
makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau
insulin.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
- Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 4565% total asupan energi.
- Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
- Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
- Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama
dengan makanan keluarga yang lain.
- Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
- Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas aman
konsumsi harian (Accepted-Daily Intake)
- Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari. Kalau
diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori sehari.
Lemak
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 2025% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan melebihi
30% total asupan energi.
- Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk).
- Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
Protein
- Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.
- Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe.
- Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan pro-tein menjadi 0,8 g/KgBB perhari
atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologiktinggi.
Natrium
- Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok
teh) garam dapur.
- Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
- Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti
natrium benzoat dan na-trium nitrit.
Serat
- Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes di-anjurkan mengonsumsi cukup
serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat,
karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
- Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari.
Pemanis alternative
- Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.
Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol danfruktosa.
- Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol danxylitol.
- Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
- Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek samping pada
lemak darah.
- Pemanis tak berkaloriyang masih dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin,
acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
- Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily Intake /
ADI).
Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 2530 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor
seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah
sbb:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm 100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus
dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks massa tubuh
dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT*
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,522,9
BB Lebih 23,0
*WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:RedefiningObesity and its
Treatment.
Dengan risiko 23,024,9
Obes I 25,029,9
Obes II > 30

Faktorfaktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:


- Jenis Kelamin

Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25
kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/kg BB.
- Umur

Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade antara 40 dan
59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas
usia 70 tahun.
- Aktivitas Fisik atau Pekerjaan

Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada
pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas
sangat berat.
- Berat Badan

Bila kegemukan dikurangi sekitar 2030% tergantung kepada tingkat kegemukan. Bila kurus
ditambah sekitar 2030% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan
penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 10001200 kkal perhari
untuk wanita dan 12001600 kkal perhari untuk pria.
3. Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani secara teratur (34 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit). Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.
Tabel 2. Aktivitas Sehari-hari

4. Terapi Farmakologi

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

Obat Hipoglikemik Oral

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:


a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.
1) Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan
kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.

Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang


tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak
dianjur kan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
2) Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan
pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat
yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion.
1) Tiazolidindion

Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor


Gamma (PPARg), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas IIV
karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati.
Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati
secara berkala.
c. Penghambat glukoneogenesis (metformin).
1) Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di
samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada
penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasienpasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain
itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal
penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa (Acarbose).

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai
efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek
samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan
flatulens.
e. DPPIV inhibitor.

Glucagon-like peptide-1(GLP1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh sel L
di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk
ke dalam saluran pencernaan. GLP1 merupakan

perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon.
Namun demikian, secara cepat GLP1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase4 (DPP4),
menjadi metabolit GLP1(9,36)amide yang tidak aktif.

Sekresi GLP1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan
GLP1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2. Peningkatan
konsentrasi GLP1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim
DPP4 (penghambat DPP4), atau memberikan hormon asli atau analognya (analog
incretin=GLP1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP4 inhibitor, mampu
menghambat kerja DPP4 sehingga GLP1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam
bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan
glukagon.

Cara Pemberian OHO, terdiri dari:


- OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar
glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
- Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan
- Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
- Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
- Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
- Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
- DPPIV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
Suntikan
1) Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan:


- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
- Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:


- Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
- Insulin kerja pendek (short acting insulin)
- Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
- Insulin kerja panjang (long acting insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).

Efek samping terapi insulin


- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
- Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
Dasar pemikiran terapi insulin:
- Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin
diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.
- Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau
keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada
keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.
- Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi
yang terjadi.
- Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal
(puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin.
Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah insulin
basal (insulin kerja sedang atau panjang).
- Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan
menambah 24 unit setiap 34 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
- Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C belum
mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial (mealrelated).
Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah
insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi
insulin basal dengan insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali
insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial
(basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus).
- Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan glukosa
darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan
glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose).
- Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.
2) Agonis GLP-1

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP1 merupakan pendekatan baru untuk pengobatan
DM. Agonis GLP1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang tidak
menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP1 bahkan mungkin
menurunkan berat badan. Efek agonis GLP1 yang lain adalah menghambat penglepasan
glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan
binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang
timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian
dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan
pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO
tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah
ataupun fixed-combinationdalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari
kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah
belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau
kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat
menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO
dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada
malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin kerja menengah adalah 610 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan
harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.
Penilaian Hasil Terapi
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah. Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
- Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
- Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi. Guna
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa,
glukosa 2 jam post prandial, atau glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala
sesuai dengan kebutuhan.
b. Pemeriksaan A1C

Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau


hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang digunakan untuk
menilai efek perubahan terapi 812 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk
menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan setiap 3
bulan, minimal 2 kali dalam setahun.

c. Pemeriksaan Glukosa Urin


Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung. Hanya digunakan
pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa darah. Batas ekskresi
glu-kosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat bervariasi pada beberapa pasien, bahkan
pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama. Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada
fungsi ginjal dan tidak dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.

d. Pemantauan Benda Keton

Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting terutama
pada penyandang DM tipe 2 yang terkendali buruk (kadar glukosa darah>300 mg/dL). Peme-
riksaan benda keton juga diperlukan pada penyandang diabe-tes yang sedang hamil. Tes
benda keton urin mengukur kadar asetoasetat, sementara benda keton yang penting adalah
asam beta hidroksibutirat. Saat ini telah dapat dilakukan pemeriksaan kadar asam beta
hidroksibutirat dalam darah secara langsung dengan menggunakan strip khusus. Kadar asam
beta hidroksibutirat darah <0,6 mmol/L dianggap normal, di atas 1,0 mmol/L disebut ketosis
dan melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD. Pengukuran kadar glukosa darah dan benda
ke-ton secara mandiri, dapat mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya KAD.
Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diper-lukan pengendalian DM yang
baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah
mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang
diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah.
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar
glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan sesudah makan 145-180
mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan kriteria
pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga
untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia dan interaksi obat.
Table 3. Target Pengendalian DM
K. Penyulit Diabetes Mellitus
Penyulit Akut
1) Ketoasidosis diabetik (KAD)

Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa
darah yang tinggi (300600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan
plasma keton(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300320 mOs/mL) dan terjadi
peningkatan anion gap.
2) Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)

Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (6001200 mg/dL),
tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330380 mOs/mL),
plasma keton (+/), anion gap normal atau sedikit meningkat. Catatan: kedua keadaan (KAD
dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Memerlukan
perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.
3) Hipoglikemia

Hipoglikemia dan cara mengatasinya:


- Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL
- Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung
lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah
habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (2472 jam
atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan
terapi dengan OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal
yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran
mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih
lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.
- Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak keringat,
gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuroglikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun
sampai koma).
- Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Bagi pasien dengan
kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau
minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 gram melalui intravena.
Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa.
Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat.
- Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40%
intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab
menurunnya kesadaran.
Penyulit Menahun
1) Makroangiopati
- Pembuluh darah jantung
- Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes.
Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa
gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.
- Pembuluh darah otak
2) Mikroangiopati:
- Retinopati diabetic
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan memberatnya
retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati
- Nefropati diabetik
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan me-ngurangi risiko nefropati
- Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi
risikoterjadinya nefropati
3) Neuropati
- Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya
sensasi distal. Berisiko tinggi untukterjadinya ulkus kaki dan amputasi.
- Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa
sakit di malam hari.
- Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk
mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan
monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun.
- Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai akan
menurunkan risiko amputasi.
- Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik, atau
gabapentin.
- Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi
perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki.

TINJAUN PUSTAKA
A. Definisi

Hipertensi merupakan silent killer (pembunuh diam-diam) yang secara luas dikenal
sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat umum. Dengan meningkatnya tekanan darah dan
gaya hidup yang tidak seimbang dapat meningkatkan faktor risiko munculnya berbagai
penyakit seperti arteri koroner, gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal. Salah satu studi
menyatakan pasien yang menghentikan terapi anti hipertensi maka lima kali lebih besar
kemungkinannya terkena stroke.1

Hipertensi dianggap sebagai faktor risiko utama stroke, dimana stroke merupakan
penyakit yang sulit disembuhkan dan mempunyai dampak yang sangat luas terhadap
kelangsungan hidup penderita dan keluarganya. Hipertensi sistolik dan distolik terbukti
berpengaruh pada stroke. Dikemukakan bahwa penderita dengan tekanan diastolik di atas 95
mmHg mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk terjadinya infark otak dibanding dengan
tekanan diastolik kurang dari 80 mmHg, sedangkan kenaikan sistolik lebih dari 180 mmHg
mempunyai risiko tiga kali terserang stroke iskemik dibandingkan dengan dengan tekanan
darah kurang 140 mmHg. Akan tetapi pada penderita usia lebih 65 tahun risiko stroke hanya
1,5 kali daripada normotensi.3,4

Sasaran pengobatan hipertensi untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas


kardiovaskuler dan ginjal. Dengan menurunkan tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg,
diharapkan komplikasi akibat hipertensi berkurang. Klasifikasi prehipertensi bukan suatu
penyakit, tetapi hanya dimaksudkan akan risiko terjadinya hipertensi. Terapi non farmakologi
antara lain mengurangi asupan garam, olah raga, menghentikan rokok dan mengurangi berat
badan, dapat dimulai sebelum atau bersama-sama obat farmakologi.4

B. Etiologi

Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Pada
kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui (essensial atau hipertensi
primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol. Kelompok
lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal
sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun
eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-
pasien ini dapat disembuhkan secara potensial.5
1. Hipertensi primer (essensial)

Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial


(hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi essensial merupakan 95% dari
seluruh kasus hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk
terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas
menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun
dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang
peranan penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan
gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai
kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen
ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga di dokumentasikan adanya
mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric oxide,
ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen.6
2. Hipertensi sekunder

Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit


komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah (lihat tabel 1).
Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit
renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering.7 Obat-obat tertentu, baik
secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat
hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Obat-obat ini dapat dilihat pada tabel 1.
Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang
bersangkutan atau mengobati / mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah
merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder.5
Penyakit Obat Obat
1. penyakit ginjal kronis 1. Kortikosteroid, ACTH
2. hiperaldosteronisme primer 2. Estrogen (biasanya pil KB dg
3. penyakit renovaskular kadar estrogen tinggi)
4. sindroma Cushing 3. NSAID, cox-2 inhibitor
5. pheochromocytoma 4. Fenilpropanolamine dan analog
6. koarktasi aorta 5. Cyclosporin dan tacrolimus
7. penyakit tiroid atau paratiroid 6. Eritropoetin
7. Sibutramin
8. Antidepresan (terutama
venlafaxine)
Tabel 1. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi.5

C. Klasifikasi Hipertensi
Ada beberapa klasifikasi dari hipertensi, diantaranya menurut The Seventh Report of
The Joint National Committee on Prevention, Detection, Eveluation, and Tretment of High
Blood Pressure (JNC7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi
kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2 (dilihat tabel 2), menurut
World Health Organization (WHO) dan International Society Of Hypertension Working
Group (ISHWG) (dilihat tabel 3).2

Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7


Klasifikasi TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Tekanan Darah
Dan
Normal < 120 < 80
Atau
Prehipertensi 120 139 80 89
Atau
Hipertensi stadium 1 140 159 90 99
Atau
Hipertensi stadium 2 160 100
TDS = Tekanan Darah Sistolik, TDD = Tekanan Darah Diastolik
Tabel 3. Klasifikasi Tekanan Darah World Health Organization (WHO) dan International
Society Of Hypertension Working Group (ISHWG)

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Optimal < 120 Dan < 80

Normal < 130 Dan < 85

Normal tinggi / 130 139 Atau 85 89

pra hipertensi

Hipertensi derajat I 140 159 Atau 90 99

Hipertensi derajat II 160 179 Atau 100 109

Hipertensi derajat III 180 Atau 110

D. Faktor Risiko Hipertensi


1. Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol
a. Umur

Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang semakin besar
risiko terserang hipertensi. Umur lebih dari 40 tahun mempunyai risiko terkena
hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga
prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan
kematian sekitar 50 % diatas umur 60 tahun. Arteri kehilangan elastisitasnya atau
kelenturannya dan tekanan darah seiring bertambahnya usia, kebanyakan orang
hipertensinya meningkat ketika 50an dan 60an.8

Dengan bertambahnya umur, risiko terjadinya hipertensi meningkat. Meskipun


hipertensi bisa terjadi pada segala usia, namun paling sering dijumpai pada orang
berusia 35 tahun atau lebih. Sebenarnya wajar bila tekanan darah sedikit meningkat
dengan bertambahnya umur. Hal ini disebabkan oleh perubahan alami pada jantung,
pembuluh darah dan hormon. Tetapi bila perubahan tersebut disertai faktor-faktor lain
maka bisa memicu terjadinya hipertensi.9
b. Jenis Kelamin

Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat angka yang
cukup bervariasi. Dari laporan Sugiri di Jawa Tengah didapatkan angka prevalensi 6,0%
untuk pria dan 11,6% untuk wanita. Prevalensi di Sumatera Barat 18,6% pria dan 17,4%
perempuan, sedangkan daerah perkotaan di Jakarta (Petukangan) didapatkan 14,6% pria
dan 13,7% wanita.10
c. Riwayat Keluarga

Menurut Nurkhalida, orang-orang dengan sejarah keluarga yang mempunyai


hipertensi lebih sering menderita hipertensi. Riwayat keluarga dekat yang menderita
hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi terutama pada
hipertensi primer. Keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung
meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat. Jika kedua orang tua kita mempunyai
hipertensi, kemungkunan kita mendapatkan penyakit tersebut 60%.11
d. Genetik

Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan


ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot (satu sel
telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat
genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi
terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan
dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala.12

2. Faktor yang dapat diubah/dikontrol


a. Kebiasaan Merokok

Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Hubungan antara rokok dengan


peningkatan risiko kardiovaskuler telah banyak dibuktikan. Selain dari lamanya, risiko
merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari. Seseoramg lebih
dari satu pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan hipertensi dari pada mereka yang
tidak merokok.4
Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang diisap melalui
rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah
arteri dan mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi.11
b. Konsumsi Asin/Garam

Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis hipertensi.


Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam yang
minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan prevalensi hipertensi
yang rendah, sedangkan jika asupan garam antara 5-15 gram perhari prevalensi
hipertensi meningkat menjadi 15-20 %. Pengaruh asupan terhadap timbulnya hipertensi
terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah.13

Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik cairan


diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah.
Pada manusia yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang ditemukan tekanan darah
rata-rata rendah, sedangkan asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata
lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari setara
dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari.3,11

Menurut Alison Hull, penelitian menunjukkan adanya kaitan antara asupan


natrium dengan hipertensi pada beberapa individu. Asupan natrium akan meningkat
menyebabkan tubuh meretensi cairan yang meningkatkan volume darah.14
c. Konsumsi Lemak Jenuh

Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan peningkatan berat badan
yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan risiko
aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi
lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan
peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran,
biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan
darah.14
d. Penggunaan Jelantah

Jelantah adalah minyak goreng yang sudah lebih dari satu kali dipakai untuk
menggoreng, dan minyak goreng ini merupakan minyak yang telah rusak. Bahan dasar
minyak goreng bisa bermacam-macam seperti kelapa, sawit, kedelai, jagung dan lain-
lain. Meskipun beragam, secara kimia isi kendungannya sebetulnya tidak jauh berbeda,
yakni terdiri dari beraneka asam lemak jenuh (ALJ) dan asam lemak tidak jenuh
(ALTJ). Dalam jumlah kecil terdapat lesitin, cephalin, fosfatida, sterol, asam lemak
bebas, lilin, pigmen larut lemak, karbohidrat dan protein. Hal yang menyebabkan
berbeda adalah komposisinya, minyak sawit mengandung sekitar 45,5% ALJ yang
didominasi oleh lemak palmitat dan 54,1% ALTJ yang didominasi asam lemak oleat
sering juga disebut omega-9. minyak kelapa mengadung 80% ALJ dan 20% ALTJ,
sementara minyak zaitun dan minyak biji bunga matahari hampir 90% komposisinya
adalah ALTJ.10
e. Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman Beralkohol

Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Peminum alkohol berat cenderung


hipertensi meskipun mekanisme timbulnya hipertensi belum diketahui secara pasti.
Orangorang yang minum alkohol terlalu sering atau yang terlalu banyak memiliki
tekanan yang lebih tinggi dari pada individu yang tidak minum atau minum sedikit.14

Menurut Ali Khomsan konsumsi alkohol harus diwaspadai karena survei


menunjukkan bahwa 10 % kasus hipertensi berkaitan dengan konsumsi alkohol.
Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun
diduga, peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta
kekentalan darah merah berperan dalam menaikkan tekanan darah.11
f. Obesitas

Obesitas erat kaitannya dengan kegemaran mengkonsumsi makanan yang


mengandung tinggi lemak. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena
beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk
memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang
beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih
besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut
jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan insulin menyebabkan tubuh
menahan natrium dan air.10
Berat badan dan indeks Massa Tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan
tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi
pada orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya
normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30 % memiliki berat badan
lebih.11
g. Olahraga

Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena


meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung
mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus
bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung harus
memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri.15

h. Stres

Stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu dan bila stres
sudah hilang tekanan darah bisa normal kembali. Peristiwa mendadak menyebabkan
stres dapat meningkatkan tekanan darah, namun akibat stress berkelanjutan yang dapat
menimbulkan hipertensi belum dapat dipastikan.11
i. Penggunaan Estrogen

Estrogen meningkatkan risiko hipertensi tetapi secara epidemiologi belum ada


data apakah peningkatan tekanan darah tersebut disebabkan karena estrogen dari dalam
tubuh atau dari penggunaan kontrasepsi hormonal estrogen. MN Bustan menyatakan
bahwa dengan lamanya pemakaian kontrasepsi estrogen ( 12 tahun berturut-turut),
akan meningkatkan tekanan darah perempuan.16

E. Patogenesis Hipertensi

Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi dilakukan
oleh aksi memompa dari jantung (cardiac output/CO) dan dukungan dari arteri (peripheral
resistance/PR). Fungsi kerja masing-masing penentu tekanan darah ini dipengaruhi oleh
interaksi dari berbagai faktor yang kompleks. Hipertensi sesungguhnya merupakan
abnormalitas dari faktor-faktor tersebut, yang ditandai dengan peningkatan curah jantung dan
/ atau ketahanan periferal.17
Endotelium
Exces Reduce stress Genetic obesity
derived
sodium nephrone alteration
factors
intake number

Renal Decreased Sympathetic Renin - Cell Hyper


sodium Filtration nervous angiotensin membrane insulinemia
retentio surface overactivity excess alteration
n

Fluid Venous
volume constiction

Preload Contractability Functional Structural


constriction hypertrophy

BLOOD PRESURE = CARDIAC OUTPUT X PERIPHERAL RESISTANCE


Hypertension = Increased CO And/or Increased PR

Autoregulation
Gambar 1. Beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan darah.11

F. Gejala Klinis Hipertensi

Menurut Elizabeth J. Corwin, sebagian besar tanpa disertai gejala yang mencolok dan
manifestasi klinis timbul setelah mengetahui hipertensi bertahun-tahun berupa:
1. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat tekanan darah
intrakranium.
2. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi.
3. Ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan syaraf.
4. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus.
5. Edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler.8
G. Diagnosis Hipertensi

Menurut Slamet Suyono, evaluasi pasien hipertensi mempunyai tiga tujuan:


1. Mengidentifikasi penyebab hipertensi.
2. Menilai adanya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskuler, beratnya penyakit,
serta respon terhadap pengobatan.
3. Mengidentifikasi adanya faktor risiko kardiovaskuler yang lain atau penyakit penyerta,
yang ikut menentukan prognosis dan ikut menentukan panduan pengobatan.7

Data yang diperlukan untuk evaluasi tersebut diperoleh dengan cara anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang. Peninggian
tekanan darah kadang sering merupakan satu-satunya tanda klinis hipertensi sehingga
diperlukan pengukuran tekanan darah yang akurat. Berbagai faktor yang mempengaruhi hasil
pengukuran seperti faktor pasien, faktor alat dan tempat pengukuran.7

Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat hipertensi dan lama menderitanya, riwayat
dan gejala-gejala penyakit yang berkaitan seperti penyakit jantung koroner, penyakit
serebrovaskuler dan lainnya. Apakah terdapat riwayat penyakit dalam keluarga, gejala yang
berkaitan dengan penyakit hipertensi, perubahan aktifitas atau kebiasaan (seperti merokok,
konsumsi makanan, riwayat dan faktor psikososial lingkungan keluarga, pekerjaan, dan lain-
lain). Dalam pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah dua kali atau lebih
dengan jarak dua menit, kemudian diperiksa ulang dengan kontrolatera.18

H. Pengukuran Tekanan Darah

Menurut Roger Watson, tekanan darah diukur berdasarkan berat kolum air raksa yang
harus ditanggungnya. Tingginya dinyatakan dalam millimeter. Tekanan darah arteri yang
normal adalah 110-120 (sistolik) dan 65-80 mm (diastolik). Alat untuk mengukur tekanan
darah disebut spigmomanometer. Ada beberapa jenis spigmomanometer, tetapi yang paling
umum terdiri dari sebuah manset karet, yang dibalut dengan bahan yang difiksasi disekitarnya
secara merata tanpa menimbulkan konstriksi. Sebuah tangan kecil dihubungkan dengan
manset karet ini. Dengan alat ini, udara dapat dipompakan kedalamnya, mengembangkan
manset karet tersebut dan menekan akstremita dan pembuluh darah yang ada didalamnya.
Bantalan ini juga dihubungkan juga dengan sebuah manometer yang mengandung air raksa
sehingga tekanan udara didalamnya dapat dibaca sesuai skala yang ada.19

Untuk mengukur tekanan darah, manset karet difiksasi melingkari lengan dan denyut
pada pergelangan tangan diraba dengan satu tangan, sementara tangan yang lain digunakan
untuk mengembangkan manset sampai suatu tekanan, dimana denyut arteri radialis tidak lagi
teraba. Sebuah stetoskop diletakkan diatas denyut arteri brakialis pada fosa kubiti dan tekanan
pada manset karet diturunkan perlahan dengan melonggarkan katupnya. Ketika tekanan
diturunkan, mula-mula tidak terdengar suara, namun ketika mencapai tekanan darah sistolik
terdengar suara ketukan (tapping sound) pada stetoskop (Korotkoff fase I). Pada saat itu tinggi
air raksa didalam namometer harus dicatat. Ketika tekanan didalam manset diturunkan, suara
semakin keras sampai saat tekanan darah diastolik tercapai, karakter bunyi tersebut berubah
dan meredup (Korotkoff fase IV). Penurunan tekanan manset lebih lanjut akan menyebabkan
bunyi menghilang sama sekali (Korotkoff fase V). Tekanan diastolik dicatat pada saat
menghilangnya karakter bunyi tersebut.13

Menurut Lany Gunawan, dalam pengukuran tekanan darah ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan, yaitu:
1. Pengukuran tekanan darah boleh dilaksanakan pada posisi duduk ataupun berbaring.
Namun yang penting, lengan tangan harus dapat diletakkan dengan santai.
2. Pengukuran tekanan darah dalam posisi duduk, akan memberikan angka yang agak lebih
tinggi dibandingkan dengan posisi berbaring meskipun selisihnya relatif kecil.
3. Tekanan darah juga dipengaruhi kondisi saat pengukuran. Pada orang yang bangun tidur,
akan didapatkan tekanan darah paling rendah. Tekanan darah yang diukur setelah berjalan
kaki atau aktifitas fisik lain akan memberi angka yang lebih tinggi. Di samping itu, juga
tidak boleh merokok atau minum kopi karena merokok atau minum kopi akan
menyebabkan tekanan darah sedikit naik.
4. Pada pemeriksaan kesehatan, sebaiknya tekanan darah diukur 2 atau 3 kali berturut-turut,
dan pada detakan yang terdengar tegas pertama kali mulai dihitung. Jika hasilnya berbeda
maka nilai yang dipakai adalah nilai yang terendah.
5. Ukuran manset harus sesuai dengan lingkar lengan, bagian yang mengembang harus
melingkari 80 % lengan dan mencakup dua pertiga dari panjang lengan atas.13

I. Penatalaksanaan Hipertensi
1. Penatalaksanaan Non Farmakologis

Pendekatan nonfarmakologis merupakan penanganan awal sebelum penambahan


obat-obatan hipertensi, disamping perlu diperhatikan oleh seorang yang sedang dalam
terapi obat. Sedangkan pasien hipertensi yang terkontrol, pendekatan nonfarmakologis ini
dapat membantu pengurangan dosis obat pada sebagian penderita. Oleh karena itu,
modifikasi gaya hidup merupakan hal yang penting diperhatikan, karena berperan dalam
keberhasilan penanganan hipertensi.11
Pendekatan nonfarmakologis dibedakan menjadi beberapa hal:
1. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis.

Menurut Corwin berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka


panjang hipertensi karena asap rokok diketahui menurunkan aliran darah ke berbagai
organ dan dapat meningkatkan beban kerja jantung. Selain itu pengurangan makanan
berlemak dapat menurunkan risiko aterosklerosis.8

Penderita hipertensi dianjurkan untuk berhenti merokok dan mengurangi asupan


alkohol. Berdasarkan hasil penelitian eksperimental, sampai pengurangan sekitar 10 kg
berat badan berhubungan langsung dengan penurunan tekanan darah rata-rata 2-3
mmHg per kg berat badan.11
2. Olahraga dan aktifitas fisik

Selain untuk menjaga berat badan tetap normal, olahraga dan aktifitas fisik
teratur bermanfaat untuk mengatur tekanan darah, dan menjaga kebugaran tubuh.
Olahraga seperti jogging, berenang baik dilakukan untuk penderita hipertensi.
Dianjurkan untuk olahraga teratur, minimal 3 kali seminggu, dengan demikian dapat
menurunkan tekanan darah walaupun berat badan belum tentu turun.11

Olahraga yang teratur dibuktikan dapat menurunkan tekanan perifer sehingga


dapat menurunkan tekanan darah. Olahraga dapat menimbulkan perasaan santai dan
mengurangi berat badan sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Yang perlu diingat
adalah bahwa olahraga saja tidak dapat digunakan sebagai pengobatan hipertensi.13

Menurut Dede Kusmana, beberapa patokan berikut ini perlu dipenuhi sebelum
memutuskan berolahraga, antara lain:
a. Penderita hipertensi sebaiknya dikontrol atau dikendalikan tanpa atau dengan obat
terlebih dahulu tekanan darahnya, sehingga tekanan darah sistolik tidak melebihi 160
mmHg dan tekanan darah diastolik tidak melebihi 100 mmHg.
b. Alangkah tepat jika sebelum berolahraga terlebih dahulu mendapat informasi
mengenai penyebab hipertensi yang sedang diderita.
c. Sebelum melakukan latihan sebaiknya telah dilakukan uji latih jantung dengan beban
(treadmill/ergometer) agar dapat dinilai reaksi tekanan darah serta perubahan
aktifitas listrik jantung (EKG), sekaligus menilai tingkat kapasitas fisik.
d. Pada saat uji latih sebaiknya obat yang sedang diminum tetap diteruskan sehingga
dapat diketahui efektifitas obat terhadap kenaikan beban.
e. Latihan yang diberikan ditujukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan tidak
menambah peningkatan darah.
f. Olahraga yang bersifat kompetisi tidak diperbolehkan.
g. Olahraga peningkatan kekuatan tidak diperbolehkan.
h. Secara teratur memeriksakan tekanan darah sebelum dan sesudah latihan.
i. Salah satu dari olahraga hipertensi adalah timbulnya penurunan tekanan darah
sehingga olahraga dapat menjadi salah satu obat hipertensi.
j. Umumnya penderita hipertensi mempunyai kecenderungan ada kaitannya dengan
beban emosi (stres). Oleh karena itu disamping olahraga yang bersifat fisik dilakukan
pula olahraga pengendalian emosi, artinya berusaha mengatasi ketegangan emosional
yang ada.
k. Jika hasil latihan menunjukkan penurunan tekanan darah, maka dosis/takaran obat
yang sedang digunakan sebaiknya dilakukan penyesuaian (pengurangan).20
3. Perubahan pola makan
a. Mengurangi asupan garam

Pada hipertensi derajat I, pengurangan asupan garam dan upaya penurunan


berat badan dapat digunakan sebagai langkah awal pengobatan hipertensi. Nasihat
pengurangan asupan garam harus memperhatikan kebiasaan makan pasien, dengan
memperhitungkan jenis makanan tertentu yang banyak mengandung garam.
Pembatasan asupan garam sampai 60 mmol per hari, berarti tidak menambahkan
garam pada waktu makan, memasak tanpa garam, menghindari makanan yang sudah
diasinkan, dan menggunakan mentega yang bebas garam. Cara tersebut diatas akan
sulit dilaksanakan karena akan mengurangi asupan garam secara ketat dan akan
mengurangi kebiasaan makan pasien secara drastis.13,21
b. Diet rendah lemak jenuh

Lemak dalam diet meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis yang


berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh,
terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan
konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-
bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan
darah.22
c. Memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan dan susu rendah lemak.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa mineral bermanfaat


mengatasi hipertensi. Kalium dibuktikan erat kaitannya dengan penurunan tekanan
darah arteri dan mengurangi risiko terjadinya stroke. Selain itu, mengkonsumsi
kalsium dan magnesium bermanfaat dalam penurunan tekanan darah. Banyak
konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan mengandung banyak mineral, seperti
seledri, kol, jamur (banyak mengandung kalium), kacang-kacangan (banyak
mengandung magnesium). Sedangkan susu dan produk susu mengandung banyak
kalsium.11,21
4. Menghilangkan stress

Stres menjadi masalah bila tuntutan dari lingkungan hampir atau bahkan sudah
melebihi kemampuan kita untuk mengatasinya. Cara untuk menghilangkan stres yaitu
perubahan pola hidup dengan membuat perubahan dalam kehidupan rutin sehari-hari
dapat meringankan beban stres. Perubahan-perubahan itu ialah:
a. Rencanakan semua dengan baik. Buatlah jadwal tertulis untuk kegiatan setiap hari
sehingga tidak akan terjadi bentrokan acara atau kita terpaksa harus terburu-buru
untuk tepat waktu memenuhi suatu janji atau aktifitas.
b. Sederhanakan jadwal. Cobalah bekerja dengan lebih santai.
c. Bebaskan diri dari stres yang berhubungan dengan pekerjaan.
d. Siapkan cadangan untuk keuangan
e. Berolahraga.
f. Makanlah yang benar.
g. Tidur yang cukup.
h. Ubahlah gaya. Amati sikap tubuh dan perilaku saat sedang dilanda stres.
i. Sediakan waktu untuk keluar dari kegiatan rutin.
j. Binalah hubungan sosial yang baik.
k. Ubalah pola pikir. Perhatikan pola pikir agar dapat menekan perasaan kritis atau
negatif terhadap diri sendiri.
l. Sediakan waktu untuk hal-hal yang memerlukan perhatian khusus.
m. Carilah humor.
n. Berserah diri pada Yang Maha Kuasa. 15
2. Penatalaksanaan Farmakologis

Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan


oleh JNC 7:
a. Diuretic, terutama jenis Thiazide (Thiaz) Aldosteron Antagonist (Ald Ant)
b. Beta Blocker (BB)
c. Calcium channel blocker atau Calcium antagonist (CCB)
d. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
e. Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 Receptor angiotensint/ blocker (ARB).2

Tabel 4. Indikasi dan Kontraindikasi Kelas-kelas utama Obat Antihipertensi


Menurut ESH.

Kelas obat Indikasi Kontraindikasi

Mutlak Tidak mutlak

Diuretika Gagal jantung


gout kehamilan
(Thiazide) kongestif, usia
lanjut, isolated
systolic
hypertension,
ras afrika

Diuretika (loop) Insufisiensi ginjal,


gagal jantung
kongestif

Gagal jantung
kongestif, pasca
Diuretika (anti infark Gagal ginjal,
aldosteron) miokardium hiperkalemia
penyekat
Angina pectoris,
pasca infark
myocardium
Asma, penyakit
Penyakit pembuluh
gagal jantung
paru obstruktif darah perifer,
kongestif,
menahun, A-V intoleransi
kehamilan,
block glukosa, atlit atau
takiaritmia
pasien yang aktif
secara fisik

Calcium Antagonist
Usia lanjut, isolated Takiaritmia, gagal
(dihydropiridine) systolic jantung kongestif
hypertension,
angina pectoris,
penyakit
pembuluh darah
perifer,
aterosklerosis
karotis,
kehamilan

Angina pectoris,
aterosklerosis
Calcium Antagonist
karotis,
(verapamil,
takikardia A-V block, gagal
diltiazem)
supraventrikuler jantung
kongestif

Penghmbat ACE Gagal jantung


Kehamilan,
kongestif, hiperkalimea,
disfungsi stenosis arteri
ventrikel kiri, renalis bilateral
pasca infark
myocardium,
non-diabetik
nefropati,
nefropati DM
tipe 1,
proteinuria

Nefropati DM tipe
2,
mikroalbumiuria
Angiotensi II Kehamilan,
diabetic,
reseptor hiperkalemia,
proteinuria,
antagonist (AT1- stenosis arteri
hipertrofi
blocker) renalis bilateral
ventrikel kiri,
batuk karena
ACEI

-Blocker Hyperplasia prostat


Hipotensi Gagal jantung
(BPH), ortostatis kongestif
hiperlipidemia

Indikasi dan Kontraindikasi Kelas-kelas utama Obat Antihipertensi.2

Adapun Tatalaksana hipertensi menurut menurut JNC7 dapat dilihat pada tebel 5
dibawah ini :

Tabel 5. Tatalaksana hipertensi menurut menurut JNC7

Klasifikasi TDS TDD Perbaikan Pola Tanpa indikasi Dengan indikasi


Tekanan (mmHg) (mmHg) Hidup yang memaksa yang
Darah memaksa
Normal < 120 Dan <80 Dianjurkan

Prehipertensi 120-139 atau ya Tidak indikasi obatObat-obatan untuk


indikasi yang
80-89
memaksa

Hipertensi derajat 140-159 Atau ya Diuretic jenis


Obat-obatan untuk
1 Thiazide untuk indikasi yang
sebagian besar memaksa
90-99
kasus, dapat
Obat antihipertensi
dipertimbangka
lain (diuretika,
n ACEI, ARB,
ACEI, ARB,
BB, CCB, atau
BB, CCB)
kombinasi
sesuai
kebutuhan

Hipertensi derajat 160 Atau 100 ya Kombinasi 2 obat


2 untuk sebagian
besar kasus
umumnya
diuretika jenis
Thiazide dan
ACEI atau
ARB atau BB
atau CCB

Tatalaksana hipertensi menurut menurut JNC7.2


Masing-masing obat antihipertensi memliki efektivitas dan keamanan dalam
pengobatan hipertensi, tetapi pemilihan obat antihipertensi juga dipengaruhi beberapa
faktor, yaitu :
a. Faktor sosio ekonomi
b. Profil factor resiko kardiovaskular
c. Ada tidaknya kerusakan organ target
d. Ada tidaknya penyakit penyerta
e. Variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihipertensi
f. Kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang digunakan pasien untuk penyakit lain
g. Bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi yang akan digunakan dalam menurunkan
resiko kardiovasskular.2
Berdasarkan uji klinis, hampir seluruh pedoman penanganan hipertensi menyatakan
bahwa keuntungan pengobatan antihipertensi adalah penurunan tekanan darah itu sendiri,
terlepas dari jenis atau kelas obat antihipertensi yang digunakan. Tetapi terdapat pula
bukti-bukti yang menyatakan bahwa kelas obat antihipertensi tertentu memiliki kelebihan
untuk kelompok pasien tertentu. Untuk keperluan pengobatan, ada pengelompokan pasien
berdasar yang memerlukan pertimbangan khusus (special considerations), yaitu kelompok
indikasi yang memaksa (compelling indication) dan keadaan khusus lainnya (special
situations).2
Indikasi yang memaksa meliputi:
a. Gagal jantung
b. Pasca infark miokardium
c. Resiko penyakit pembuluh darah koroner tinggi
d. Diabetes
e. Penyakit ginjal kronis
f. Pencegahan strok berulang.2
Keadaan khusus lainnya meliputi :
a. Populasi minoritas
b. Obesitas dan sindrom metabolic
c. Hipertrofi ventrikel kanan
d. Penyakit arteri perifer
e. Hipertensi pada usia lanjut
f. Hipotensi postural
g. Demensia
h. Hipertensi pada perempuan
i. Hipertensi pada anak dan dewasa muda
j. Hipertensi urgensi dan emergensi.2
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan target
tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan untuk
menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang memberikan
efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan satu
jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan
ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis
rendah, dan kemudian darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah
meningkatnya dosis obat tertentu, atau berpindah ke antihipertensi lain dengan rendah.
Efek samping umumnya bisa dihindari dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal
maupun kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi
untuk mencapai target tekanan darah, tetapi kombinasi dapat meningkatkan biaya
pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah obat yang harus diminum
bertambah.2
Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien adalah :
a. dan ACEI atau ARB
b. CCB dan BB
c. CCB dan ACEI atau ARB
d. CCB dan diuretika
e. AB dan BB
f. Kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat.2

Diuretika

Bloker ARB

Bloker CCB

Gambar 2. Kemungkinan kombinasi obat antihipertensi.2

Anda mungkin juga menyukai