Anda di halaman 1dari 96

Pankreatitis

A. Definisi
Pankreatitis adalah penyakit peradangan yang dapat berlangsung akut ataupun kronis
Pankreatitis akut proses inflamasi akut yang terjadi pada organ pancreatitis (
Lewis,2007 )

B. Anatomi-Fisiologi Pankreas
1. Anatomi
Pankreas adalah kelenjar majemuk bertandan. Strukturnya sangat mirip dengan
kelenjar ludah, panjangnya kira-kira 15 cm, mulai dari duodenum sampai limpa, dan
dilukiskan terdiri atas tiga bagian.
a. Caput (kepala) pankreas, yang paling lebar, terletak di sebelah kanan rongga abdomen
dan di dalam lekukan duodenum dan melingkarinya.
b. Corpus (badan) pankreas, merupakan bagian utama pada organ itu dan letaknya di
belakang lambung, di depan vertebra lumbalis pertama.
c. Caudal (ekor) adalah bagian yang runcing di sebelah kiri, dan menyentuh limpa.
Jaringan pankreas terdiri atas lobula sel sekretari yang tersusun mengitari saluran-
saluran halus. Saluran-saluran ini mulai dari persambungan saluran-saluran kecil dari
lobula yang terletak di dalam ekor pankreas dan berjalan melalui badannya dari kiri ke
kanan. Saluran-saluran kecil itu menerima saluran dan lobula lain dan kemudian
bersatu unstuk membentuk saluran utama, yaitu duktus wirsungi.

2. Fisiologi
Pankreas dapat disebut sebagai organ rangkap karena mempunyai 2 fungsi. Fungsi
eksokrin dilaksanakan oleh sel sekretari lobulanya, yang membentuk getah pankreas
dan yang berisi enzim dan elektrolit. Cairan pencerna itu berjalan melalui saluran
ekskretori halus dan akhirnya dikumpulkan oleh dua saluran, yaitu yang utama disebut
duktus wirsungi dan sebuah saluran lain, yaitu duktus santorini, yang masuk ke dalam
duodenum.
Saluran utama bergabung dengan saluran empedu di Ampula Vater. Isi enzim dalam
getah pankreas yaitu amilase, lipase, dan tripsin. Enzim ini bersifat alkalis.
Pankreas dilintasi oleh saraf vagus dan dalam beberapa menit setelah menerima
makanan, arus getah pankreas bertambah. Kemudian setelah isi lambung masuk ke
dalam duodenum, maka dua hormon, sekretin dan pankreozimin dibentuk di dalam
mukosa duodenum dan yang kemudian merangsang arus getah pankreas. Fungsi
endokrin tersebar di antara alveoli pankreas, terdapat kelompok-kelompok kecil sel
epitelium, yang jelas terpisah.
Kelompok ini adalah pulau-pulau kecil atau kepulauan langerhans, yang bersama-sama
membentuk organ endokrin.
Persarafan didapati dari saraf vagus dan persediaan darah dan saluran kapiler besar.

C. Klasifikasi Pankreatitis
1. Pankreatitis akut
2. Pankreatitis kronis.
1. Pankreatitis akut

Definisi
Pankreatitis akut dapat berupa episode tunggal atau dapat berupa serangan-serangan
berulang.
Pankreatitis akut terjadi akibat respon pankreas terhadap trauma atau akibat suatu
peradangan difusi. Penyebab tersering antara lain penyakit sistem empedu, alkoholik
dan penyebab idiopatik. Umumnya diketahui bahwa duktus pankreatikus tersumbat
disertai oleh hipersekresi enzim-enzim eksokrin dari pankreas. Enzim-enzim ini
memasuki saluran empedu serta diaktifkan di sana, dan kemudian bersama-sama getah
empedu mengalir balik (refluks). Ke dalam duktus pankreatikus sehingga terjadi
pankreatitis.
Pankreatitis akut (inflamasi pada pankreas) terjadi akibat proses tercernanya organ ini
oleh enzim-enzimnya sendiri, khususnya oleh tripsin. Sekitar 80% penderita
pankreatitis akut mengalami penyakit pada traktus biliaris, dan 5% penderita batu
empedu mengalami pankreatitis. Batu empedu memasuki duktus koleduktus dan
terperangkap dalam saluran pada daerah ampula vater menyumbat aliran getah
pankreas atau menyebabkan aliran balik getah dari duktus koleduktus ke dalam duktus
pankreatikus mengaktifkan enzim yang kuat dalam pankreas dalam keadaan normal
enzim-enzim ini berada dalam bentuk inaktif sampai getah pankreas mencapai lumen
duodenum. Spasme dan edema pada ampula vater yang terjadi akibat duodenalis
menyebabkan pankreatitis.

Etiologi
1. Alkoholisme
2. Penyakit saluran empedu
3. Trauma
4. Infeksi
yebab lain :
infeksi bakteri atau virus atau virus parotitis, trauma tumpul abdomen, penyakit ulkus
peptikum. Penyakit vaskuler iskemik, hiperlipidemia, hiperkalsemia, penggunaan
kortikosteroid, preparat diuretik tiazida, serta kontrasepsi oral ternyata berkaitan
dengan peningkatan insiden pankreatitis.
Pankreatitis idiopatik akut merupakan penyebab 10-30% kasus pankreatitis akut.
Kematian terjadi akibat syok, anoksia, hipotensi, atau gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit.
Pankreatitis akut bisa sembuh, bisa juga terjadi pankreatitis kronik.

Tanda dan Gejala


Terbagi menjadi serangan ringan, sedang dan berat.
Pankreatitis akut serangan ringan
- Nyeri perut akut
- Tanda perut :
ringan
selama beberapa hari.
- Gejala dan tanda sistemik : kurang dan minimal.
Pankreatitis akut serangan sedang
- Nyeri perut : akut, hebat.
- Tanda perut
Kembung/distensi
Nyeri tekan
Defans muskuler ringan/sedang
Peristaltik (-) / ileus paralitik.
- Gejala dan tanda sistemik : tachicardia.
Pankreatitis akut serangan berat
- Nyeri perut : akut, berat sekali.
- Tanda perut :
Peritonitis umum : kembung, nyeri tekan abdomen
Defans muskuler ringan/sedang
Peristaltik (-) / ileus paralitik berat.
- Gejala dan tanda sistemik
Syok dalam
Toksemia berat
Sindrom distres paru akut (ARDS).

Patofisiologi
Timbulnya pankreatitis akut disebabkan oleh auto digesti enzim pankreas. Duktus
pankreatikus dan duktus koledukus bermuara ke tempat yang sama yaitu ampula vateri,
menyumbat aliran getah empedu dari duktus koledukus ke dalam duktus pankreatikus,
dan dengan demikian akan mengaktifkan tripsinogen menjadi tripsin. Tripsin
memegang peranan penting timbulnya pankreatitis akut. Dengan terjadinya refleks
enzim terutama tripsin, ke dalam duktus pankreatikus, maka akan terjadi edema pada
pankreas. Tripsin tidak merusak jaringan, tetapi mengaktivasi dua macam enzim lain
yaitu fosfolipase A dan B, yang pada waktu sekresi empedu akan mengubah lesitin
menjadi lisolesitin. Lisolesitin akan merusak lapisan membran fosfolipid. Tripsin juga
mengaktivasi elestase. Elestase menyebabkan gangguan vaskularisasi yang hebat
sehingga timbul perdarahan hebat pada pankreas.
Tripsin terdapat di dalam duodenum dalam bentuk tidak aktif yaitu tripsinogen dan
baru aktif setelah kontak dengan enterokinase.

Komplikasi
Komplikasi pankreatitis akut dapat timbul pada saat serangan pertama kali atau selama
sakit. Adapun komplikasi yang sering terjadi ialah :

1. Shock (renjatan)
Renjatan merupakan komplikasi yang tersering. Pankreatitis akut menyebabkan
bertambahnya eksudasi pankreas ke dalam ruang retroperitoneal dan intraperitoneal
yang dapat mempengaruhi volume intravaskuler sehingga timbul hipotensi dan
renjatan.

2. Perdarahan gastrointestinal
Perdarahan dapat timbul sebagai akibat terlalu seringnya muntah-muntah sehingga
timbul sindrom Mallory Weiss. Dapat juga terjadi perdarahan difus di duodenum
sebagai akibat rangsangan edema kaput pankreas yang sedang dalam keadaan
inflamasi.
3. Hepatitis
Hepatitis juga dapat timbul pada pankreatitis akut, sebagai akibat proses kolestasis
ekstrahepatik.
4. Obstruksi saluran empedu
Sebagai akibat pankreatitis akut, terjadi edema pada pankreas. Bila edema di kaput
pankreas demikian hebat, maka dapat menyebabkan obstruksi di saluran empedu.
Selain itu obstruksi ini juga dapat timbul karena adanya batu di duktus koledukus
sendiri.
5. Komplikasi di paru
Komplikasi di paru dapat timbul pada waktu serangan pertama pankreatitis akut, yaitu
timbul efusi pleura sebagai akibat ekstravasasi cairan pankreas ke dalam pleura.
6. Komplikasi pada jantung
Komplikasi pada jantung dapat berupa iskemia, miokarditis, infark miokard.
7. Komplikasi pada kolon
Sebagai akibat eksudasi pankreas, menyebabkan spasme pada kolon transversum. Pada
keadaan penyakitnya bertambah berat, dapat terjadi stenosis di kolon transversum
terutama di dekat fleksura hepatis.
8. Komplikasi pada intestin
Eksudasi pankreas dapat juga mempengaruhi intestin, dan menyebabkan timbulnya
tanda-tanda ileus. Eksudasi pankreas dapat juga melalui mesentrium dan kemungkinan
menyebabkan obstruksi pada duodenum, sehingga timbul sindrom arteria mesentrika
superior.

Prognosis
Pankreatitis akut mungkin dapat digolongkan sebagai penyakit yang sedang, bila
disertai dengan edema interstisial dari kelenjar; atau dapat pula merupakan penyakit
berat dan fatal bila disertai dengan nekrosis masif atau perdarahan.

Pemeriksaan Laboratorium
Darah. Ditemukan kenaikan jumlah leukosit sekitar 10.000/mm3, jarang sekali
melebihi 30.000/mm3. Apabila dijumpai anemia, maka biasanya menunjukkan tanda
perdarahan yang berat. Kenaikan serum bilirubin di atas 1,5 mg% dijumpai pada 50%
atau lebih penderita dengan etiologi kelainan traktus biliaris.
Kadar amilase. Rata-rata 2 jam setelah timbulnya gejala pankreatitis, terjadi
kenaikan kadar serum amilase. Kadar ini tetap tinggi selama 24-48 jam, sedang
kadarnya dalam urine tetap tinggi sampai 72 jam. Kenaikan kadar serum amilase bila
lebih dari 10 hari harus dipertimbangkan adanya komplikasi atau nekrosis pankreas.
Bila kadar amilase dalam serum seseorang sebesar 5 kali normalnya, dapat dipastikan
orang tersebut menderita pankreatitis akut.
Kadar lipase. Kadar lipase dalam serum juga meninggi. Kenaikan kadar lipase ini
paralel dengan kenaikan serum amilase.
Kadar kalsium. Timbulnya hipokalsemia pada hari kedua atau lebih menunjukkan
adanya nekrosis pankreas. Apabila kadar kalsium lebih rendah dari 7,0 mg, berarti
prognosisnya jelek. Dengan timbulnya hipokalsemia akan timbul tanda-tanda tetani.
Tidak adanya kalsium dalam urin dapat dipakai sebagai diagnosis dini pankreatitis akut.
Kadar gula darah. Kadar gula darah meninggi pada 15-25% penderita. Hal ini
disebabkan karena terdapat kenaikan sekresi glukagon.

Pemeriksaan penunjang diagnostik lain


Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan sebagai saran penunjang diagnostik, yaitu :

1. Radiologis
Pemeriksaan foto rontgen polos perut paling mudah dilaksanakan. Tampak
adanya dilatasi di kolon transversum atau dilatasi di kolon asenden, disebut tanda colon
cut off. Hal ini disebabkan terjadinya eksudasi pankreas sehingga timbul spasme di
tempat tersebut di atas. Karena eksudasi pankreasi, maka usus halus di sekitar pankreas
mengalami dilatasi dan terisi udara, disebut tandasentinel loop.
Pada gastroduodenografi akan dapat dilihat pelebaran kurve duodenal, yang
disebabkan oleh edema kaput pankreas.
2. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mudah dilaksanakan. Gambaran ultrasonografi pankreatitis akut
tampak pelebaran menyeluruh dari pankreas. Karena edema pada pankreas, maka
tampak densitas gema menurun. Secara ultrasonografi dapat diikuti perkembangan
pankreatitis.
3. Computed tomography
Hasil pemeriksaan CT, tampak pankreas yang lebih melebar daripada normalnya.

2. Pankreatitis kronis
Definisi
Pankreatitis kronis merupakan kelainan inflamasi yang ditandai oleh kehancuran
anatomis dan fungsional yang progresif pada pankreas. (Brunner & Suddarth, 2002 :
1348).
Pankreatitis kronis yaitu reaksi peradangan pankreas yang kronik. (Makmun &
Hardjodisastro, 2001 : 38).

Etiologi
1) Alkoholisme
2) Penyakit pada saluran empedu (mis: batu empedu).
3) Faktor mekanik (mis: neoplasma)
4) Faktor nutrisi malnutrisi dari hiperlipidemia.
5) Faktor autoimun.
6) Sebab-sebab lain :
- Infeksi (mis: bakteri tifus abdominalis, virus morbili)
- Obat-obatan (mis: klorotiazid, steroid)
- Hormon.

Tanda dan Gejala


Insiden pankreatitis kronis meningkat pada laki-laki dewasa dan ditandai oleh serangan
nyeri yang hebat di daerah abdomen bagian atas dan punggung, disertai muntah.
Serangan nyeri sering sangat hebat sehingga pemberian preparat narkotik, sekalipun
dengan dosis tinggi, tidak mampu meredakan nyeri tersebut. Dengan semakin
berlanjutnya penyakit, serangan nyeri yang berulang-ulang tersebut terasa semakin
hebat, semakin sering, lama. Sebagian pasien mengeluhkan nyeri hebat; yang lain
merasakan nyeri tumpul, konstan dan menghebat. Resiko ketergantungan opiat akan
meningkat pada pankreatitis karena sifatnya yang kronis dan hebatnya rasa nyeri.
Penurunan berat merupakan masalah utama, lebih dari 75% pasien mengalami
penurunan BB yang bermakna, yang biasanya disebabkan oleh penurunan asupan
makanan akibat anoreksia atau perasaan takut makan akan memicu serangan
berikutnya. Proses pencernaan bahan makanan, khususnya protein dan lemak, akan
terganggu. Defekasi akan terjadi lebih sering dan feces menjadi berbuih serta berbau
busuk karena gangguan pencernaan lemak yang menyebabkan terjadinya steatorrhea.
Dengan semakin lanjutnya proses penyakit, kalsifikasi pada kelenjar pankreas dan
terbentuknya batu kalsium di dalam saluran kelenjar dapat terjadi.

Komplikasi
a. Malnutrisi
b. Abses pankreas
c. Kanker pankreas
d. Perdarahan.

Test Diagnostik
1) ERCP (Endoscopic Retrograde Cholongio Pancreatography)
Merupakan pemeriksaan yang paling tepat untuk menegakkan diagnosis pankreatitis
kronis. Pemeriksaan ini akan merinci anatomi pankreas dan saluran pankreas serta
empedu.
2) Tes toleransi glukosa : dapat mengevaluasi fungsi sel pulau langerhans pankreas; untuk
menentukan apakah perlu operasi reseksi pankreas.
3) Pengukuran kadar enzim-enzim :
Amilase serum hasil pemeriksaan meningkat.
Bilirubin direk, conjugated meningkat
Glukosa meningkat.

Therapy/Penatalaksanaan
1) Non Bedah
Penatalaksanaan pankreatitis kronis bergantung pada kelainan yang mungkin menjadi
penyebab.
a. Pasien dengan nyeri dan gangguan rasa nyaman pada abdomen :
- Pemberian analgetik
- Penggunaan metode non opioid
- Menghindari alkohol serta makanan lain yang oleh pasien sendiri dirasakan cenderung
menimbulkan nyeri.
b. Pasien dengan Diabetes Mellitus
- Diatasi dengan diet.
- Pemberian insulin atau obat-obat hipoglikemik oral.
c. Pasien dengan malabsorbsi
- Obat-obat pengganti enzim pankreas.
2) Pembedahan
Umumnya dilakukan untuk mengurangi nyeri abdomen serta gangguan rasa nyaman,
memulihkan drainase sekresi pankreas. Tindakan bedah yang akan dilakukan
tergantung pada kelainan anatomis dan fungsional pankreas yang mencakup :
- Lokasi penyakit di dalam pankreas.
- Keberadaan penyakit diabetes.
- Insufisiensi eksokrin
- Stenosis bilier
- Pseudo kista pankreas.
a. Pankreatikojejunostomi
Dengan anastomosis side to side atau penyambungan duktus pankreatikus dengan
jejunum memungkinkan drainase sekresi pankreas ke dalam jejunum.
b. Ototransplantasi atau implantasi sel-sel pulau langerhans dari pasien sendiri untuk
memelihara fungsi endokrin pankre

Kanker Hati, Pankreatitis dan Koleosistitis

Kanker Hati
Definisi
Karsinoma Hepato Selular (KHS) atau hepatoma merupakan
tumor ganas hati primer yang berasal dari hepatosit yang
paling sering ditemukan dibandingkan dengan tumor ganas
primer hati lainnya seperti limfoma maligna, fibrosarkoma dan
hemangioendotelioma.
KHS ditemukan di seluruh dunia, tapi paling banyak di Sub-
Sahara Afrika dan Asia Tenggara. Laki-laki lebih banyak
dibanding wanita dengan rasio 4:1. Di Afrika seperti
Mosambique, dan Asia Tenggara seperti Singapura kebanyakan
pasien KHS berumur antara 20-40 tahun, sedangkan di Eropa
dan Amerika jarang sebelum umur 60 tahun. Menurut WHO,
insidensi KHS di Asia Tenggara termasuk kategori tinggi. Di
Indonesia angka kejadiannya belum dapat dikemukakan tapi
diperkirakan tidak berbeda jauh dengan negara-negara
tetangga seperti Singapura dan Thailand. Penelitian Noer dkk,
menunjukkan KHS di Indonesia paling banyak ditemukan pada
umur antara 50-60 tahun, pria lima kali lebih banyak dibanding
wanita, terdapat 10-20% dari seluruh penyakit hati dan 2-3%
dari seluruh pasien yang dirawat di bagian Ilmu Penyakit
Dalam periode 1976-1980. Akil, Junus di Ujung Pandang
mendapatkan KHS 16,8% dari seluruh penyakit hati menahun
yang dirawat pada tahun 1978.
Umumnya diagnosis KHS terlambat ditegakkan. Untuk
mendiagnosis KHS dapat dipakai berbagai macam sarana
diagnostik baik yang sifatnya invasis maupun yang tidak
invasif. Sarana diagnostik invasif antara lain angiografi, biopsi
hati, laparaskopi dan laparatomi. Sedangkan yang tidak invasif
antara lain pemeriksaan fisis, ultrasonografi, CT-scan dan
laboratorium.
Pada KHS selain faal hati yang terganggu, tumor dapat
memproduksi sunstansi-substansi yang mengakibatkan
peningkatan kadar hemoglobin, kolesterol, kalsium dan alfa
feto protein yang disebut sebagai manifestasi paraneo-plasma.
Klasifikasi
Karsinoma hati primer dibedakan atas:
Karsinoma yang berasal dari:
- Sel-sel hati disebut karsinoma hepato-selular.
- Sel-sel saluran empedu disebut karsinoma kolangioselular.
- Campuran kedua sel tersebut disebut kolangiohepatoma.
Karsinoma yang berasal dari jaringan ikat :
- Fibrosarkoma
- Hemangioma-endotelioma maligna
- Limfoma maligna
- Leiomiosarkoma
Menurut MC Kew, 1982 karsinoma hati primer dibagi menjadi:
Karsinoma yang berasal dari epitelial
- Karsinoma hepatoselular
- Kolangiokarsinoma
- Kistadenokarsinoma biliaris
- Karsinoma squamosa
- Karsinoma mukoepidermoid
Karsinoma yang berasal dari mesenkim
- Hemangiosarkoma
- Fibrosarkoma
- Lelomiosarkoma
- Leiomioblastoma
karsinoma bentuk campuran
- Hepatoblastoma
- Karsinosarkoma
Secara makroskopis dibedakan atas:
1. Tipe masif : biasanya di lobus kanan, batas tegas, dapat
disertai nodul-nodul kecil di sekitar massa tumor, bisa dengan
atau tanpa sirosis.
2. Tipe nodular : terdapat nodul-nodul tumor dengan ukuran
yang bervariasi tersebar di seluruh hati.
3. Tipe difus : secara makroskopis sukar ditentukan daerah
massa tumor.
Walaupun karsinoma hati primer banyak jenisnya, tapi yang
paling sering ditemukan di Indonesia adalah karsinoma
kolangioselular. Hal ini sama dengan yang didapatkan di Afrika
sub-Sahara, Asia Timur Jauh dan Asia Tenggara. Karsinoma
hati sekunder paling sering berasal dari karsinoma saluran
cerna, payudara dan paru.

Kategori kanker hati :


1. Localized resectable
Kanker hanya pada satu titik di liver dan tidak berpotensi
menyebar. Dapat dianggap.
2. Localized unresectable
Sel kanker masih pada satu bagian liver, tidak bisa diangkat.
3. Advanced
Sel kanker menyebar di liver dan kemungkinan besar juga
mempengaruhi organ lain di dalam tubuh.
4. Reccurent
Kanker kembali timbul padahal sudah dilakukan perawatan.

Stadium Kanker Hati


Sebelum menyarankan opsi pengobatan bagi Anda, dokter
biasanya perlu mengetahui stadium kanker hati.
Ada empat tahap kanker hati:
# Stadium I: kanker hati bersifat lokal dan bisa
diangkat/dioperasi. Tumor berukuran 2 cm atau kurang,
terletak di daerah tunggal hati dan dapat dilakukan
pembedahan.

# Stadium II: Kanker hati masih bersifat lokal dan dapat


dioperasi. Pada tahap ini, kanker hadir dalam satu atau lebih
lokasi di hati tetapi tidak menyebar ke kelenjar getah bening
atau pembuluh darah yang berdekatan.

# Stadium III: pada tahap ini, kanker belum menyebar ke


organ tubuh lainnya atau kelenjar getah bening. Biasanya
ukuran tumor sudah > 2 cm.

# Stadium IV: Pada tahap ini, kanker hadir di lebih dari satu
lobus hati, mungkin sudah menyebar ke kelenjar getah bening
yang berdekatan, organ lain (tapi bukan kantong empedu) dan
struktur (seperti peritoneum), dan tumbuh ke dalam atau di
sekitar pembuluh darah utama.
Penyebab
Penyebab KHS belum diketahui secara pasti, beberapa faktor
yang diduga sebagai penyebabnya adalah infeksi/penyakit hati
kronik akibat virus hepatitis, sirosis, beberapa macam parasit
seperti Clonorchis sinensis, predisposisi herediter, ras dan zat
hepatoksik terutama aflatoksin yang berasal dari makanan
yang tercemar Aspergillus Flavus dan obat-obatan.

Virus Hepatitis B
Virus hepatitis B banyak dihubungkan sebagai penyebab
hepatitis kronik, sirosis hati bentuk makronodular atau post
nekrotik dan selanjutnya berkembang menjadi KHS. Banyak
bukti-bukti epidemiologis yang menunjang peran virus hepatitis
B sebagai faktor risiko terjadinya KHS.
Epidemologis
Secara epidemologis antara virus hepatitis B dan KHS:
* Terdapat hubungan geografis infeksi virus hepatitis B dengan
KHS, misalnya di Afrika dan Asia Tenggara prevalensi hepatitis
virus B cukup tinggi pada pasien KHS.
* Pada pasien pengidap HBsAG setelah dievaluasi beberapa
tahun, terdapat risiko yang tinggi untuk terjadinya KHS.
* Prevalensi HBsAg positif didapatkan cukup tinggi pada
pasien-pasien KHS.
* Dari sediaan biopsi hati pasien KHS ditemukan HBsAg.

Sirosis Hati
Sirosis hati sering disebut-sebut sebagai faktor predisposisi
untuk terjadinya KHS, bahkan tidak jarang diemukan sirosis
hati bersama-sama dengan KHS.
Edmonson, 1954 dalam penelitiannya menemukan bahwa
89,2% pasien KHS disertai dengan sirosis hati.
Kemungkinan timbuknya KHS pada sirosis hati adalah adanya
hiperplasia nodular yang berubah menjadi adenomata multipel
dan kemudian berubah menjadi karsinoma yang multipel.
Namun demikian tidak semua jenis sirosis hati mempunyai
risiko menjadi KHS. Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa
sirosis hati makronodular (post-nekrotik) sering ditemukan
pasien KHS. Penelitian lain mengatakan bahwa sirosis hati
mempunyai beberapa faktor agen sebagai karsinogenik primer.
Aflatoksin
Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang dihasilkan oleh jamur
Aspergilus Flavus yang biasanya tumbuh pada bahan makanan.
Dikenal beberapa macam spesies Aspergilus dan Penicilium
yang dapat menghasilkan aflatoksin yaitu B1, B2, G1, dan G2
yang masing-masing mempunyai daya toksis yang berbeda.
Yang paling toksis adalah aflatoksin B1, di Indonesia dijumpai
pada kacang tanah, tembakau beberapa bahan makanan dan
jamur.
Infeksi
Infeksi clonorchiasis dan sistosomasis dapat menyebabkan
trrjadinya KHS atu karsinoma kolangioselular. Patogenesis
terjadinya karsinoma pada infeksi ini belum diketahui.
Keturunan dan Ras
Faktor keturunan ini diasumsikan karena banyaknya insidensi
KHS di benua Afrika, orang-orang Afrika yang tinggal di
Amerika jarang sekali menderita KHS.

Manifestasi Klinis
Keluhan
Pada awal penyakit kadang-kadang tidak ada keluhan, atau
keluhannya samar-samar, sehingga pasien tidak sadar sampai
pada suatu saat tumor sudah besar. Kebanyakan pasien datang
ke dokter sudah dalam keadaan lanjut, dengan ukuran tumor
yang sudah besar.
Keluhan yang sering dirasakan adalah adanya perasaan sakit
atau nyeri yang sifatnya tumpul, tidak terus-menerus, tersa
penuh diperut kanan atas, tidak ada nafsu makan karena perut
selalu teraa kenyang sehingga berat badan menurun secara
dratis.
Pasien merasakan adanya pembengkakan perut kanan atas
atau daerah epigastrium, kadang-kadang ada keluhan seperti
peritonitis lokal atau difus. Dalam keadaan seperti itu perlu
dipikirkan perdarahan intra-abdominal.
Gejala Klinis dan Komplikasi
Gejala klinis bervariasi, pada umumnya dibedakn atas enam
tipe:
1. Klasik :ditandai dengan malaise anoreksia, berat badan
menurun, perut tersa penuh, yeri epigsrium, hati membesar,
berbebjol, asites.
2, Demam : gejala utama demam menggil, perasaan lemah,
nyeri perurt kanan atas. Hal ini timbul oleh karena nekrosis
sentarl tumor atau perdarahan.
3. Abdomen akut : mula-mula idak bergejala, kemudian tiba-
tiba terjadi nyeri perut hebat, mual, muntah, tekanan darah
menurun samapi terjadi renjatan. Biasanya hal ini karena
adanya perdarahan tumor.
4, Ikterus : tumoe meberi gejala ikterus obstruktif.
5. Metastatik : Tanda metastasis pada tulang, kadang-kadang
tanpa teraba massa tumor di hati.
6. Tersamar : ditemukan secara kebetulan pada llaparatomi
dan pada pemeriksaan lain.
Kebanyakkan pasien KHS disertai dengan sirosis hati sebagai
penyakit dasarnya. Sering paien pada awalnya mengeluh sakit
daerah epigsantrium seperti keluhan sakit lambung, dan pada
perabaan perut kanan ats ditemukan pembesaran hati dengan
konsistensi keras, berbenjol.
Gejala yang dijumpai tergantung pada keadaan pasien pada
waktu datang ke dokter. Seperti dikatakan dia atas, pada tahap
awal biasnya tidak ada keluhan dan gejala yang khas, tapi
kalau sudah sampai stadium lanjut baru teraba hati membesar
dengan konsistensi keras, sering berbenjol. Gejala ini yang
paling banyak ditemukan di samping adanya asitesm ikterus,
pembesaran limpa, dan bising arteri.
Komplikasi
Paraneoplastik
Pada KHS manifestasi paraneoplastik antara lain eritrositosis,
hiperkalsemia, hiperkolesterolemia, peningkatan kadar alfa feto
protein dan des gamma carboxy prothrombin.
1. Eritrositosis
Patogenesis eritrositosis pada KHS belum jelas. Eritropoetin
atau zat yang menyerupai eritropoetin diduga diproduksi dan
disekresi oleh tumor. Tapi teori ini tidak dapat menjelaskan
mengapa pada sejumlah kasus tidak ditemukan adanya
eritropoetin jaringan. Beberapa teori lain menerangkan
terjadinya eritropoetin antara lain karena tumor memproduksi
sejumlah besar globulin yang berinteraksi dengan
erithropoesies stimulating factor sehingga produksi eritropoetin
meningkat. Hipoksia sel hati akibat penekanan tumor,
merangsang ginjal untuk membuat eritropoetin.
2. Hiperkalsemia
Kalsium dalam tubuh ditemukan terbanyak dalam tulang
(98%) selebihnya terdapat dalam sel dan cairan diluar sel
termasuk plasma. Hiperkalsemia didapatkan pada 0,1-0,6 %
populasi umum dengan penyebab terbanyak adalah
hiperparatiroidisme dan tumor ganas termasuk KHS.
Mekanisme terjadinya hiperkalsemia pada KHS diperkirakan
karena terjadi peningkatan resorpsi tulang oleh sebab
kerusakan langsung pada tulang akibat metastasis atau melalui
jalur peningkatan berbagai hormon antara lain : parathyroid
like substance, prostaglandin dan osteoclastic activating factor.
3. Hiperkolesterolemia
Terlihat adanya hubungan antara KHS dan hiperkolesterolemia,
hal ini dimungkonkan karena peningkatan sintetis kolesterol
oleh tumor, hal ini oleh karena hilangnya mekanisme umpan
balik negatif. Lebih dari 90% kolesterol yang diproduksi akibat
hilangnya kontrol ini. Kemungkinan lain yang menyebabkan
peningkatan kolesterol adalah cacat pada pengambilan dari
kilomikron remnant oleh karena kurangnya reseptor pada
permukaan membran sel dan kerusakan pada peningkatan
intraseluler dari kolesterol.
Menurut Durrington peningkatan kolesterol pada KHS sebagian
akibat obstruksi biliaris. Pada keadaan ini ditemukan suatu
lipoprotein yang densitasnya sama dengan LDL dan disebut
sebagai Lipoprotein X.

Diagnosis
Pada pusat-pusat pendidikan untuk mendiagnosis secara dini
KhS pada saat ini tidak sukar. Dengan pemeriksaan
ultrasonografi realtime linier sonography diketahui tumor hati
dengan diameter kurang dari 3 cm.
Untuk menegakkan diagnosis KHS selain
anamnesin/pemerikasaan fisis, diperlukan beberapa
pemeriksaan tambahan antara lain pemeriksaan radiologi,
ultrasonografi, CT scan (computed tomography scanning) ,
peritoneoskopi dan laboratorium. Diagnosis yang pasti
ditegakkan dengan pemeriksaan jaringan melalui biopsi hati.
Ultrasonografi
Ultrasonografi merupakan suatu pemeriksaan pencitraan yang
banyak dipakai umtuk mendiagnosis tumor hati. Pemeriksaan
ultrasonografi adalah sejenis pemeriksaan yang tidak invasif,
aman, tidak memberikan efek samping kepada pasien dan
pemeriksaan, dapat dilakukan setiap saat tanpa persiapan
khsusu, serta ketepannya tinggi.Saat ini ultrasonografi tidak
Hanya memberikan dua macam warna hitam putih saja, tapi
dapat memberikan gradasi warna dari hitam, hitam pekat,
keabu-abuan, sedikit putih sampai putih bersih. Bahkan warna
pembuluh darah arteri maupun vena dapat terlihat sebagai
warna merah dan biru. Ketepatan ultrasonografi untuk
mendeteksi KHS bervariasi. Shinagawa dkk melaporkan 92,2%,
Regan 70-80%. Cotton dkk bahwa pemeriksaan ultrasonografi
mempunyai sensitivitas 90%, sedangkan Hadi. S melaporkan
100%.
Gambaran ultrasonografi pada KHS bervariasi, seperti yang
dilaporkan oleh beberapa penelitian antara lain : Shinagawa
dkk, pada KHS diameter kecil pada umumnya hipoekoik, batas
jelas dengan parenkim sekitarnya atau terlihat adanya rim
sonolusen. Pada KHS diameter besar gambarannya adalah
hiperekoik.
Cotton dkk meneliti KHS yang disertai sirosis hati,
mendapatkan hipoekoik 60%, hiperekoik 26%, dan campuran
4%.
Yoshida dkk membedakan KHS primer dan sekunder dengan
pemeriksaan ultrasonografi. Pada KHS primer gambarannya
hipoekoik, sedangkan pada KHS sekunder hiperekoik homogen.
Hal ini terjadi karena KHS sekunder banyak mengandung
stroma interselular dan kurang pembuluh darah.
Hadi S melaporkan juga gambaran ultrasonografi pada KHS
primer dan sekunder. Pada KHS primer : nodul gema
berdensitas rendah homogen atau heterogen, berbatas tegas
disertai bayangan samping berbentuk pita bebas gema dan
ditemukan trombus dalam vena porta terutama pada KHS
lanjut. Pada KHS sekunder : nodul dengan diameter kecil gema
berdensitas tinggi dikelilingi oleh gema berdensitas rendah
sehingga berbentuk seperti mata sapi, sedangkan nodul
berdiameter besar gema berdensitas tinggi yang disertai
daerah bebas gema dibagian sentralnya dan gambaran gema
kasar heterogen yang difus tanpa disertai tanda-tanda trombus
dalam vena porta.
Kesulitan yang timbul dengan pemeriksaan ini ialah pada
pasien-pasien KHS yang disertai dengan sirosis yang juga
disertai asites masif.
CT-scan dan Anglografi
Kedua jenis pemeriksaan ini dapat mendeteksi tumor hati
dengan diameter 2 cm. Dengan media kontras lipiodol yang
disuntikkan ke dalam arteri hepatika, lipiodol ini dapat masuk
ke dalam nodul KHS melalui arteri hepatika. Juga kemudian
dilakukan pemeriksaan arteriografi dan diikuti dengan
pemeriksaan CT-scan, maka ketepatan diagnosis karsinoma
hati akan lebih tinggi.
Laboratorium
Beberapa pemeriksaan laboratorium serum pasien dapat
membantu diagnosis KHS. Pemeriksaan tersebut antara lain uji
faal hati yang terganggu, sindrom para neoplastik karena
tumor memproduksi beberapa jenis hormon.
Uji Faal Hati
KHS dapat menyebabkan obstruksi saluran empedu atau
merusak sel-sel hati akibat penekanan oleh massa tumor atau
invasi sel-sel tumor sehingga terjadinya gangguan faal hati.
Gangguan faal hati tersebut antara lain peningkatan kadar
SGOT dan SGPT, fosfatase alkali, laktat dehidrogenase dan
peningkatan alfa-L- fukosidase. Gangguan faal hati tersebut
hanya memberi petunjuk kemungkinan adanya KHS tapi tidak
spesifik sebagai petanda tumor.
Pengobatan
KHS pada umumnya sukar diobati baik dengan operasi maupun
dengan sitostatika, sebab biasanya pasien datang pada
stadium lanjut dan sudah terjadi metastatis ke organ-organ
sekitarnya.
Dengan kemajuan diagnostik dan kesadaran pasien untuk
memeriksakan setiap keluhan/gejala lebih awal, maka harapan
hidup akan jauh lebih baik.
Kemoterapi :
Obat-obat sitostatik bukan merupakan pengobatan yang efektif
pada KHS. Yang banyak dipergunakan adalah 5 flourourasil (5
FU) dan adriamisin, yang diberikan secara intra-vena dengan
memasang selang polietilen melalui arteri femoralis, obat
sitostatik tersebut disuntikkan secara teratur setiap minggu,
hasilnya kurang memberikan harapan.
Dicoba pula dengan cara pemberian langsung melalui arteri
hepatika. Dengan cara demikian diharapkan di dalam sirkulasi
hati konsentrasi obat tersebut cukup tinggi, namun hasilnya
masih belum memuaskan. Terakhir dengan cara implantable
pump memakai obat 5 fluoro-2-deoksirubin (FUBR), yaitu
dengan memasang pompa subkutan.
Jenis-Jenis kemoterapi regional, antara lain:
1. Hepatic Artery Chemoembolization: Perawatan ini
menggunakan obat antikanker yang disuntikkan ke dalam
arteri hati untuk memblokir aliran darah yang masuk ke
hati/liver. Penyumbatan ini bisa bersifat sementara atau
permanen, dan memungkinkan obat untuk membunuh sel
kanker dengan cara menghentikan pasokan darah kaya oksigen
dan nutrisi ke tumor. Namun, pendekatan ini tidak merusak
bagian hati lainnya, yang terus menerima darah dari vena
portal. Efek samping yang paling umum dari metode ini adalah
adalah: mual, muntah, demam, sakit perut, kelelahan, infeksi
atau masalah dengan perangkat pompa (yang digunakan).
2. Hepatic Arterial Infusion: merupakan pilihan pengobatan di
mana agen-agen kemoterapi diinfuskan dalam arteri hati. Obat
secara periodik dimasukkan melalui kateter.
3. Isolated Liver Perfusion: metode ini masih dalam uji klinis.
Tujuannya adalah untuk mengekspos hati dengan kemoterapi
dosis tinggi dimana pasokan darah ke hati untuk sementara
dihentikan. Treatment ini memerlukan operasi kompleks
dimana kateter dimasukkan ke dalam arteri hati, portal vena
dan dan vena hati.
4. Injeksi 11perkutaneus dengan Ethanol: adalah prosedur
inovatif dengan tingkat kematian rendah dimana kanker hati
dibunuh oleh etanol (alkohol). Zat ini diinjeksikan ke dalam
tumor. Alkohol menghancurkan tumor dengan mendehidrasi sel
kanker dan mengubah struktur protein selular. Efek samping
yang paling umum dari perawatan ini adalah demam dan rasa
sakit yang disebabkan oleh kebocoran alcohol pada permukaan
hati dan ke rongga perut.
5. Embolisasi Portal Vena: adalah pendekatan perawatan di
mana pasokan portal vena darah tersumbat. Perawatan ini
memiliki dua manfaat: 1) secara substansial mengurangi satu
bagian dari hati (di mana biasanya tumor terletak) dan 2)
menyebabkan organ hati yang tersisa untuk tumbuh. Metode
embolisasi ini adalah langkah pra-operasi untuk pasien yang
membutuhkan operasi tetapi ukuran tumornya terlalu besar
untuk diangkat.

Radiasi :
Pada umumnya tidak banyak perannya, sebab KHS tidak
sensitif terhadap radiasi, dan sel hati yang normal sangat peka
terhadap radiasi.
Embolisasi :
Akhir-akhir ini dikembangkan suatu cara embolisasi
transkateter arteri hepatik (TAE= transcatheter hepatic artery
embolization). Cara ini merupakan pilihan pada pasien-pasien
yang tidak mungkin dilakukan operasi, yaitu dengan cara
menyuntikkan gel-foam melalui arteri hepatika. Jaringan tumor
yang mendapat aliran darah dari arteri tersebut akan mati oleh
karena tidak mendapat suplai makanan.
Cara ini tidak boleh dilakukan kalau ada trombus vena porta
oleh tumor, oleh karena terjadi kehilangan suplai darah total
dan terjadi kegagalan hati dengan cepat.
Penyuntikan alkohol : cara ini yang disebut percutaneous
alcohol injection (PAI) yaitu penyuntikan alkohol etanol
langsung ke dalam tumor dengan tuntunan ultrasonografi.
Pembedahan :
Seperti pada tumor ganas lainnya, pengobaan terbaik adalah
pembedahan. Pembedahan berhasil baik kalau tumor relatif
kecil dan hanya pada satu lobus. Disamping itu keberhasilan
pembedahan dipengaruhi pula oleh faktor-faktor misalnya
lokasi tumor, besarnya tumor, obstruksi vena porta intra
hepatika oleh invasi tumor, adanya nodul-nodul matastasis,
tidak terdapat tanda-tanda sirosis. Pembedahan yang dilakukan
dengan cara segmentektomi atau sub-segmentegtomi
sebaiknya dengan tuntunan ultrasonografi intra-operasi.
Dengan cara ini kita dapat mengontrol banyaknya jaringan hati
yang masih bisa ditinggalkan, yang nantinya akan menjalankan
fungsi hati.
Pada follow up sesudah operasi perlu diperiksa ultrasonografi
dan alfa feto protein secara berkala.

Jenis-jenis pembedahan bagi penderita kanker hati:

1. Hepatektomi parsial: pembedahan yang hanya mengangkat


tumornya saja (sebagian dari hati).

2. Hepatektomi total: operasi yang kompleks di mana seluruh


hati/liver akan diangkat. Prosedur ini diikuti dengan
transplantasi hati karena tubuh tidak dapat hidup tanpa hati.

3. Transplantasi hati: Prosedur operasi ini melibatkan dua


langkah. Organ hati/liver sehat akan diambil dari donor (orang
yang mati otak) dan kemudian ditanamkan ke dalam tubuh
untuk menggantikan organ hati/liver pasien yang rusak.
Transplantasi hati tergolong tindakan yang cukup mahal
biayanya.

Efek samping utama transplantasi hati termasuk:


o Resiko tinggi infeksi.
o Perdarahan yang disebabkan oleh ketidakmampuan organ
hati baru memproduksi protein pembekuan darah
o Pembekuan dalam pembuluh darah utama yang mensupply
darah ke hati
o Penolakan hati hasil transplantasi (tidak diterima oleh tubuh)
4. Cryosurgery: adalah prosedur invasif minimal (untuk
membunuh sel kanker dengan cara dibekukan), secara
substansial meminimalkan rasa sakit dan bekas luka pasca
operasi sehingga pasien lebih cepat pulih. Namun ada beberapa
risiko terkait, seperti kerusakan jaringan sehat di dekatnya dan
jaringan saraf.
5. Radiofrekuensi Ablasi (RFA): adalah metode invasif minimal
lain yang tingkat kesuksesannya tinggi dalam mengangkat
kanker hati. Metode ini bekerja membunuh sel kanker dengan
"memasak" mereka. Caranya adalah: mengalirkan listrik
melalui frekuensi radio ke organ hati untuk mengangkat
tumor.

Prognosis
Pada umumnya prognosis KHS adalah jelek. Tanpa pengobatan
biasanya terjadi kematian kurang dari satu tahun sejak keluhan
pertama. Pada pasien KHS stadium dini yang dilakukan
pembedahan dan diikuti dengan pemberian sitostatik, umur
pasien dapat diperpanjang antara 4-6 tahun, sebaliknya pasien
KHS stadium lanjut mempunyai masa hidup yang lebih pendek.
Diet
Diet Penyakit Hati
Menurut Atmarita (2005), terdapat 3 jenis diet khusus penyakit
hati. Hal ini didasarkan pada gejala dan keadaan penyakit
pasien. Jenis diet penyakit hati tersebut adalah Diet Hati I (DH
I), Diet Hati II (DH II), dan Diet Hati III (DH III). Selain itu
pada diet penyakit hati ini juga menyertakan Diet Garam
Rendah I.
1. Diet Garam Rendah I (DGR I)
Diet garam rendah I diberikan kepada pasien dengan edema,
asites dan atau atau hipertensi berat. Pada pengolahan
makanannya tidak menambahkan garam dapur. Dihindari
bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya. Kadar Natrium
pada Diet garam rendah I ini adalah 200-400 mg Na.
2. Diet Hati I (DH I)
Diet Hati I diberikan bila pasien dala keadaan akut atau bila
prekoma sudah dapat diatasi dan pasien sudah mulai
mempunyai nafsu makan. Melihat keadaan pasien, makanan
diberikan dalam bentuk cincang atau lunak. Pemberian protein
dibatasi (30 g/hari) dan lemak diberikan dalam bentuk mudah
dicerna. Formula enteral dengan asam amino rantai cabang
(Branched Chain Amino Acid /BCAA) yaitu leusin, isoleusin, dan
valin dapat digunakan. Bila ada asites dan diuresis belum
sempurna, pemberian cairan maksimal 1 L/hari.
Makanan ini rendah energi, protein, kalsium, zat besi, dan
tiamin; karena itu sebaiknya diberikan selama beberapa hari
saja. Menurut beratnya retensi garam atau air, makanan
diberikan sebagai Diet Hati I Garam rendah. Bila ada asites
hebat dan tanda-tanda diuresis belum membaik, diberikan Diet
Garam Rendah I. Untuk menambah kandungan energi, selain
makanan per oral juga diberikan makanan parenteral berupa
cairan glukosa.
3. Diet Hati II (DH II)
Diet hati II diberikan sebagai makanan perpindahan dari diet
hati II kepada pasien dengan nafsu makannya cukup. Menurut
keadaan pasien, makanan diberikan dalam bentuk lunak /
biasa. Protein diberikan 1 g/Kg berat badan dan lemak sedang
(20-25% dari kebutuhan energi total) dalam bentuk yang
mudah dicerna. Makanan ini cukup mengandung energi, zat
besi, vitamin A & C, tetapi kurang kalsium dan tiamin. Menurut
beratnya retensi garam atau air, makanan diberikan sebagai
diet hati II rendah garam. Bila asites hebat dan diuresis belum
baik, diet mengikuti pola Diet Rendah garam I.
4. Diet Hati III (DH III)
Diet Hati III diberikan sebagai makanan perpindahan dari Diet
Hati II atau kepada pasien hepatitis akut (Hepatitis
Infeksiosa/A dan Hepatitis Serum/B) dan sirosis hati yang
nafsu makannya telah baik, telah dapat menerima protein,
lemak, mi9neral dan vitamin tapi tinggi karbohidrat. Menurut
beratnya tetensi garam atau air, makanan diberikan sebagai
Diet Hati III Garam Rendah I.
Syarat Diet
1. Energi tinggi untuk mencegah pemecahan protein, yang
diberikan bertahap sesuai kemampuan pasien, yaitu 40-45
kkal/Kg BB.
2. Lemak cukup, yaitu 20-25% dari kebutuhan energo total,
dalam bentuk yang mudah dicerna atau dalam bentuk emulsi.
Bila pasien mengalami steatorea, gunakan lemak dengan asam
lemak rantai sedang. Pemberian lemak sebanyak 45 Kg dapat
mempertahankan fungsi imun dan proses sintesis lemak.
3. Protein agak tinggi, yaitu 1.25-1.5 g/Kg BB agar terjadi
anabolisme protein. Asupan minimal protein 0.8-1g/Kg BB,
protein nabati memberikan keuntungan karena kandungan
serat yang dapat mempercepat pengeluaran amoniak melalui
feses.
4. Vitamin dan mineral diberikan sesuai dengan tingkat
defisiensi. Bila perlu, diberikan suplemen vitamin B kompleks,
C, dan K serta mineral Zn dan Fe bila ada anemia.
5. Natrium diberikan rendah, tergantung tingkat edema dan
asites. Bila pasien mendapat diuretika, garam natrium dapat
diberikan lebih leluasa.
6. Cairan diberikan lebih dari biasa, kecuali bila ada
kontraindikasi.
7. Bentuk makanan lunak bila ada keluhan mual dan muntah,
atau makanan biasa sesuai kemampuan saluran cerna.

Bahan Makanan yang Dibatasi:


Bahan makanan yang dibatasi untuk Diet Hati I, II, dan III
adalaha dari sumber lemak, yaitu semua makanan dan daging
yang banyak mengandung lemak dan santan serta bahan
makanan yang menimbulkan gas seperti ubi, kacang merah,
kol, sawi, lobak, ketimun, durian, dan nangka.

Bahan Makanan yang tidak dianjurkan:


Bahan makanan yang tidak dianjurkan untuk Diet Hati I, II, III
adalah makanan yang mengandung alkohol, teh atau kopi
kental.
PANKREATITIS

Definisi
Pankreatitis adalah reaksi peradangan pankreas (inflamasi
pankreas). Pankreatitis merupakan penyakit yang serius pada
pankreas dengan intensitas yang dapat berkisar mulai dari
kelainan yang relatif ringan dan sembuh sendiri hingga
penyakit yang berjalan dengna cepat dan fatal yang tidak
bereaksi terhadap berbagai pengobatan.
Pada pankreatitis yang berat, enzim-enzim pankreas, bahan-
bahan vasoaktif dan bahan-bahan toksik lainnya keluar dari
saluran-saluran pankreas dan masuk ke dalam ruang pararenal
anterior dan ruang-ruang lain seperti ruang-ruang pararenal
posterior, lesser sac, dan rongga peritoneum. Bahan-bahan ini
mengakibatkan iritasi kimiawi yang luas. Penyulit yang serius
dapat timbul seperti kehilangan cairan yang banyak
mengandung protein, hipovolemia, dan hipotensi.
Bahan-bahan tersebut dapat memasuki sirkulasi umum melalui
jalur getah bening retroperitonial dan jalur vena dan
mengakibatkan berbagai penyulit sistemik seperti gagal
pernafasan, gagal ginjal, dan kolaps kardiovaskular.
Faktor-faktor yang menentukan beratnya pankreatitis akut
sebagian besar belum diketahui. Pada hampir 80% kasus
pankreatitis akut, jaringan pankreas mengalami imflamasi
tetapi masih hidup, keadaan ini disebut pankreatitis interstisial,
sisanya 20% mengalami nekrosis pankreas atau peripankreas
yang merupakan komplikasi yang berat, mengancam jiwa dan
memerlukan perawatan intensif. Nekrosis peripankreas diduga
terjadi akibat aktivitas lipase pankreas pada jaringan lemak
peripankreas,sedangkan penyebab nekrosis pankreas multi
faktor, termasuk kerusakan mikrosirkular dan efek langsung
enzim-enzim pankreas pada parenkim pankreas. Pasien dengan
pankreatitis interstisial dapat juga menunjukan toksisitas
sistemikyang jelas dengan gagal pernafasan, tetapi pada
umumnnya keadaan toksik ini self limited bila tidak terdapat
nekrosis pankreas.
Bilamana pankreas mengalami nekrosis apalagi bila
nekrosisnya luas, keadaan toksik yang sistemik ini akan
menetap. Penyebeb keadaan ini belum jelas, tetapi yang pasti
adalah adanya enzim-enzim pankreas serta toksin-toksin dan
timbulnya infeksi sekunder pada jaringan pankreas yang
mengalami nekrosis. Kematian terbesar pasien pankreatitis
akut terdapat pada pasien-pasien pankreastitis akut dengan
nekrosis pankreas yang mengalami infeksi ini.

Klasifikasi

Berdasarkan The Second International Symposium on the


Classification of
Pancreatitis (Marseilles, 1980), pankreatitis dibagi atas:
a. Pankreatitis akut (fungsi pankreas kembali normal lagi).
b. Pankreatitis kronik (terdapat sisa-sisa kerusakan yang
permanen).

Untuk menyempurnakan klasifikasi tersebut, pada tahun 1992


diadakan simposium internasional di Atlanta, Georgia, untuk
mengembangkan sistem klasifiaksi yang telah berorientasi
klinis.
Terdapat dua hal penting yang dicetuskan pada simposium
tersebut, yakni :
1. Indikator beratnya pankreatitis akut yang terpenting adalah
adanya gagal organ yakni adanya renjatan, insufisisiensi paru
(PaO <60 mmHg), gangguan ginjal (kreatinin >2mg/dl) dan
perdarahan saluran cerna bagian atas (>500ml/24jam).
Adanya penyakit lokal seperti nekrosis, pseuokista atau abses
harus dimasukkan sehingga komponen sekunder dalam
penentuan beratnya pankreatitis.
Sebelum timbulnya gagal organ atau nekrosis pankreas,
terdapat 2 kriteria dini yang haru s diukur yanki kriteria Ranson
dan APACHE II.
Pentingnya kriteria-kriteria tersebut adalah untuk dapat
memberikan informasi sedini mungkin, pasien mana yang
paling besar kemungkinannya untuk berkembang menjadi
pankreatitis berat. Adanya tanda-tanda Ranson >48 jam
pertama dan atau > dari APACHE II merupakan tanda-tanda
dini yang berharga mengenai beratnya pankreatitis.
2. Pankreatitis interstisial dapat dibedakan dari pankreatitis
nekrosis dengan menggunakan CT scan abdomen. Perbedaan
ini secara klinis sangat penting karena pada umumnya
pankreatitis nekrosis lebih berat daripada pankreatitis
interstisial, dan disertai dengan gagal organ yang lebih lama,
mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk infeksi dan disertai
dengan mortalitas yang lebih tinggi.
Pankreatitis dapat merupakan episode tunggal atau berulang.
Tergantung pada beratnya proses peradangan dan luasnya
nekrosis parenkim dapat dibedakan : 1. Pankreatitis akut tipe
interstisial; terdapat nekrosis lemak di tepi pankreas dan
edema interstisial; biasanya ringan dan self limited. 2.
Pankreatitis akut dengan nekrosis yang dapat setempat atau
difusi; terdapat kolerasi antara derajat nekrosisi pankreas
dengan beratnya serangan serta manifestasi sistemiknya.
Diantara kedua tipe ini terdapat bentuk antara yang secara
klinis beratnya penyakit sedang-sedang saja, nekrosis hanya
sebagian dan sebagian besar pankreas edem dan
membengkak. Keadaan ini sering menjurus kepada timbulnya
pseudokista dangan fungsi pankreas baik eksokrin dan
endokrin terganggu selama beberapa waktu.

Epidemiologi
Frekuensi dan penyebab
Insidensi pankreatitis sangat bervariasi dari satu negara ke
negara lain dan juga di satu tempat lain di dalam negara yang
sama. Hal ini disebabkan selain karena faktor-faktor
lingkungan yang sebenarnya (alkoholisme, batu empedu, dll),
juga karena tidak adanya keseragaman pengumpulan dan
pencatatan data, serta perbedaan kriteria diagnosis yang
dipakai, misalnya pencampuradukan antara diagnosis
pankreatitis akut dan pankreatitis kronik.
Di negara Barat penyakit ini sering kali ditemukan dan
berhubungan erat dengan penyalahgunaan pemakain alkohol
dan penyakit hepatobilier. Frekuensi berkisar antara 0,14%-1%
atau 10-15 pasien pada 100.000 penduduk.
Terdapat kecenderungan meningkatnya insidensi pankreatiti
akut dengan etiologi alkohol sebagai akibat pankreatitis akut
makin bertambah di negara-negara yang konsumsi alkoholnya
meningkat. Walaupun demikian batu empedu masih
merupakan faktor resiko penting.
Di Indonesia penyakit ini sudah banyak dilaporkan, sebelumnya
jarang dilaporkan mungkin karena adanya dugaan bahwa
tingkat konsumsi alkohol masih sangat rendah sehingga
penyakit ini tidak terpikirkan.
Pasien-pasien dengan nyeri ulu hati hebat pada waktu yang
lalu kebanyakan didiagnosis sebagai gastritis akut atau tukak
peptik.
Di negara Barat penyebab utama adalah pemakaian alkohol
(80-90% pada pria) dan batu empedu (75% pada
perempuan), kelompok ketiga (25%) penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik, mikrolitiasis). Ketiga penyebab ini
merupakan 90% penyebab pankreatitis akut. Sisanya 10% (8)
antara lain karena trauma pada pankreas (tumpul atau tajam
atau pada pembedahan abdomen), tukak peptik yang
menembus pankreas, obstruksi saluran pankreas oleh fibrosis
atau konkrema, penyakit-penyakit metabolik, antara lain
hiperlipoproteinemia, hiperkalsimia (sarkoidosis, metastatis
tulang, hiperparatiroidisme), diabetes, gagal ginjal,
hemokromatosis, pankreatitis herediter, kehamilan(0,025%),
pemakaian obat-obat tertentu (tiazid, furosemid, steroid,
azatrioprin, isoniasid, tetrasiklin, salazoprin,asparginase,
indometasid), infeksi virus, penyakit vaskular primer (misalnya
SLE, periarteritis nodosa), akibat ERCP.
Di negara barat , pankreatitisa jarang tejadi pada anak-anak
dan dewasa muda, dan kebanyakkan disebabkan oleh infeksi
(parotitis, infeksi parasit misalnya ascaris, giardia, klonorkis),
trauma tumpul abdomen, kelainna bilier atau obat-obatan.
Frekuensi berdasarkan kelamin
Di negara barat bilamana batu empedu merupakan penyebab
utama pankreatitis akut, maka usia terbanyak terdapat sekitar
60 tahun dan terdapat lebih banyak pada perempuan (75%),
bila dihubungkan dengan penyebab pemakaian alkohol yang
berlebih pria lebih banyak (80-90%)
Distribusi Umur

Patofisiologi
Pankreatitis akut merupakan penyakit seistemik yang terdiri
dari dua fase. Pertama, fase awal yang disebabkan efek
sistemik pelepasan mediator inflamasi, disebut sindrom
respons inflamasi sistemik atau systemic inflamatory response
syndrome (SIRS) yang berlangsung sekitar 72 jam. Gambaran
klinisnya menyerupai sepsis, tetapi tidak ada bukti-bukti
infeksi. Kedua, fase lanjut merupakan kegagalan sistem
pertahanan tubuh alami yang menyebabkan keterlibatan
sampai kegagalan multiorgan, yang biasanya dimulai pada
awal minggu kedua. Kegagalan fungsi salah satu organ
merupakan penanda beratnya penyakit dan buruknya faktor
prognosis.
Patogenesis
Sebagai kontras adanya berbagai fakror etiologi yang
menyertai pankreatitis akut, terdapat rangkaian kejadian
patofisiologis yang uniform yang terjadi pada timbulnya
penyakit ini. Kejadian ini didasarkan pada aktivasi enzim di
dalam pankreas yang kemudian mengakibatkan autodigesti
organ.
Dalam keadaan normal pankreas pankreas terlindung dari efek
enzimatik enzim digestinya sendiri. Enzim ini disintesis sebagai
zimogen yang inaktif dan diaktivasi dengan pemecahan rantai
peptid secara enzimatik.
Selain itu terdapat inhibitor di dalam jaringan pankreas, cairan
pankreas dan
serum sehingga dapat menginaktivasi protease yang diaktivasi
terlalu dini. Dalam proses aktivasi di dalam pankreas, peran
penting terletak pada tripsin yang mengaktivasi semua
zimogen pankreas yang terlihat dapam proses autodigesti
(kimotripsin, proelastase, fosfolipase A).
Hanya lipase yang aktif yang tidak terganting pada tripsin.
Aktivasi zimogen secara normal dimulai oleh enterokinase di
duodenum. Ini mengakibatkan mulanya aktivasi tripsin yang
kemudian mengaktivasi zimogen yang lain. Jadi diduga bahwa
aktivasi dini tripsinogen menjadi tripsin adalah pemicu bagi
kaskade enzim dan autodigesti pankreas.
Faktor etiologik (penyakit billier, alkoholisme, tak diketahui, dll)
Proses yang memulai (refluks empedu, refluks duodenum, dll)
Kerusakan permulaan pankreas (edema, kerusakan vaskular,
pecahnya saluran pankreas asinar)
Aktivasi enzim digestif
Adapun mekanisme yang memulai aktivasi enzim antara lain
adalah refluks isi duodenum dan refluks cairan empedu,
akticasi sistem komplemen, stimulasi, sekresi enzim yang
berlebihan. Isis duodenum merupakan campuran enzim
pankreas yang aktif, asam empedu, lisolesitin dan lemak yang
telah mengalami emulsifikasi; semuanya ini mampu
manginduksi pankreatitis akut. Asam empedu mempunyai efek
detergen pada sel pankreas, meningkatkan aktivasi lipase dan
fosfolipase A, memecah lesitin menjadi lisolesitin dan asam
lemak dan menginduksi spontan sejumlah kecil proenzim
pankreas yang lain. Selanjutnya perfusi asam empedu ke
dalam duktus pankreatikus yang utama menambah
permeabilitas sehingga mengakibatkan perubahan struktural
yang jelas. Perfusi 16,16 dimetil prostaglandin E2 mengubah
penemuan histologik pankrataitis tipe edema ke tipe
hemoragik.
Kelainan histologis utama yang ditemukan pada pankreatitis
akut adalah nekrosis keoagulasi parenkim dan poknosis inti
atau kariolisis yang cepat diikut oleh degradasi asini yang
nekrotik dan absopsi debris yang timbul. Adanya edema,
perdarahan dan trombosis menunjukkan kerusakan vaskular
yang terjadi bersamaan.

PANKREATITIS AKUT
A. Definisi
Pankreatitis akut adalah suatu proses peradangan di pankreas
yang timbulnya secara akut serta dapat mengalami perbaikan
klinis dan biologis dengan sempurna. Tidak ada gejala klinis
ikutan yang menyertai seperti pada pankreatitis kronik.

B. Etiologi
Banyak hal yang dapat menyebabkan timbulnya pankreatitis
akut antara lain : alkoholisme, penyakit saluran empedu,
hiperlipidemia, trauma, hiperparatiroidisme dan hiperkalsemia,
infeksi, kelainan vaskular, trauma pada perut bagian atas, dan
lain-lain. Sebagian besar pankreatitis akut ditemukan pada
penderita alkoholisme atau mempunyai penyakit saluran
empedu.
Alkoholisme
Di Amerika Serikat tercatat, bahwa insiden pankreatitis
alkoholikdi Veterans Administration Hospital adalah tertinggi,
sebaliknya di rumah sakit kecil di Amerika ditemukan bahwa
penyebab utamanya ialah adanya penyakit pada saluran
empedu sebagai faktor predisposisi pankreatitis akut masih
belum jelas.

Penyakit pada saluran empedu


Adanya kelainan di saluran empedu karena di antaranya
obstruksi, dapat menyebabkan terjadi imflamasi. Timbulnya
spasme atau batu yang lokalisasinya di ampula vateri, sfingter
oddi, dapat menyebabkan terjadinya sumbatan pengeluaran
getah pankreas, hal ini menimbulkan kenaikan tekanan pada
duktus pankreatikus, yang juga akan menghambat sekresi
enzim tersebut ke dalam cairan interstisial. Bilamana tekanan
duktus biliaris naik melampaui tekanan duktus pankreatikus,
maka enzim tersebut akan mengaktivasi refleks bilier dan
timbullah muntah.
Trauma
Pankreatitis akut dapat pula terjadi setelah ada trauma, tapi
hal ini jarang terjadi. Misalnya pada laserasi, maserasi, dan
devaskularisasi pankreasaa yang dapat terjadi akibat trauma,
akan dapat menyebabkan timbulnya pankreatitis.
Infeksi
Beberapa sarjana menemukan bakteri di dalam empedu, yang
diguna merupakan penyebab yang mengaktivasi enzim
pankreas. Beberapa bakteri yang diduga menyebabkan
pankreatitis adalah : Proteus vulgaris, Aerobacter aerogenes,
streptococcus pyogenes, Pseudomonas aeroginosa. Dengan
penyuntikan Escherchia coli atau mengadakan ligasi duktus
pankreatikus dapat menimbulkan nekrosis pankreas akut.
Selain itu, infeksi virus mungkin pula menyebabkan
pankreatitis akut, seperti pada morbili tang dapat disertai
dengan pankreatitis, begitu pula pada hepatitis virus aktif.
Dari berbagai penyebab tersebut, diduga yang terbanyak
menimbulkan pankreatitis akut ialah penyakit bilier dan
alkoholime. Tetapi bagaimana mekanisme terjadinya, sampai
saat ini masih belum jelas benar.

C. Patofisiologi
Berbagai macam teori telah dikemukakan untuk menerangkan
timbulnya pankreatitis akut, tetapi banyak penelitian yang
sependapat bahwa timbulnya pankreatitis akut disebabkan oleh
autodigesti enzim pankreas.
Sebagaimana diketahui bahwa duktus pankreatikus dan duktus
koledokus bermuara pada tempat yang sama, yaitu ampula
vateri. Berdasarkan penelitian pada binatang percobaan
dengan melakukan penyumbatan di ampula, maka terjadi
refluks empedu dari duktus koledokus ke dalam duktus
pankreatikus. Ada dugaan bahwa empedu tersebutakan
mengaktivasi tripsinogen menjadi tripsin. Tripsin inilah yang
diduga memegang peranan penting timbulnya pankreatitis
akut. Dengan terjadinya refluks enzim, terutama tripsin, ke
dalam duktus pankreatikus maka terjadi edema pada pankreas.
Tripsin sendiri tidak merusak jaringan, tetapi mengaktivasi dua
macam enzim lain, yaitu fosfolipase A dan B, yang pada waktu
sekresi empedu akan mengubah lesitin menjadi lisolesitin.
Lisolesitin akan merusak lapisan memban fosfolipid. Tripsin
juga mengaktifasi elastase. Elastase menyebabkan gangguan
vaskularisasi yang hebat sehingga timbul perdarahan hebat
pada pankreatitis.
Tripsi sendiri terdapat di dalam duodenum dalam bentuk tidak
aktif yaitu tripsinogen, dan baru aktif setelah kontak dengan
enterokinase. Dan adanya refluks di dalam duodenum yang
mengandung enzim-enzim , termasuk tripsin, ke duktus
pankreatikus, maka dapattimbul pankreatitis. Jadi
kesimpulannya ialah dengan terjadinya refluks tipsin ke dalam
saluran pankreas akan mengaktivasi fosfolipaseA dan elastase
yang menimbulkan terjadinya edema, nekrosis dan perdarahan
pada pankreas.
D. Gejala klinis
Gambaran khas pankreatitis akut ialah, timbulnya selalu
mendadak berat, dengan keluhan nyeri yang hebat di daerah
epigastrum. Sifat nyeri timbulnya mendadak dan terus
menerus, seperti tertusuk-tusuk dan terbakar, yang mulai di
epigastrum kemudian menjalar ke punggung, kadang-kadng
sampai ke bahu kanan. Beberapa jam kemudian perasaan nyeri
tersebut menjalar ke seluruh perut dan dirasakan tegang,
kadang-kadang pindah ke hipokondrium kanan (sehingga
mudah keliru dengan kolesistitis), atau juga ke perut bagian
bawah. Untuk mengurangi perasaan nyeri, penderita tidur
membungkukkan badan. Sebagai faktor presipitasi biasanya
ialah, makan terlalu banyak atau terlalu banyak minum
alkohol, gangguan emosi, berbagai macam stress psikis.
Timbul demam disertai dengan mual dan muntah. Kadang-
kadang ada obtipasi pada hari-hari pertama serangan. Rasa
dingin pada ekstremitas. Pada penderita yang berat, timbul
sianosis pada ekstremitas.
Pada pemeriksaan fisis,tampak penderita yang kesakitan di
daerah perut. Terdapat kenaikan suhu badan sekitar 39,
tetapi tidak pernah melebihi 40C. Pada penderita sakit berat,
nadi teraba cepat, volum nadi menurun, tensi menurun, kulit
penderita menjadi dingin dan lembab. Pada penderita yang
dalm keadaan kritis, mungkin terjadi perubahan warna kulit,
ada yang menjadi pucat, kebiru-biruan, sampai bercak-bercak
kuning kecoklatan karena ekimosis. Hal tersebut mungkin
dapat dijumpai di daerah pinggang yang disebut tanda Gray
Turner. Atau juga dapat terlihat di sekitar umbilikus, dan
disebut tanda Cullen, yang biasanya baru terlihat pada hari ke
5-7 dari saat mulainya penyakit. Gambaran semacam ini
menandakan timbulnya pankreatitis hemoragik. Pada penderita
yang akaut biasanya di sertai dengan ikterus yanng ringan,
yang akan menghilang dalam beberapa hari. Hal ini mungkin
disebabkan karena adanya kompresi duktus koledokus.
Kompresi tersebut akan menghilang bila edema di pankreas
menghilang.
Dinding perut terlihat tegang, mula-mula di epigastrum, yang
kemudian menjalas ke seluruh perut dan terjadilah nyeri tekan.
Adanya massa di epigastrum ditemukan pada 10-20%
penderita.
Pada auskultasi biasanya terdapat peristaltik yang normal. Tapi
pada 20% penderita, peristaltik usus terdengar makin
berkurang atau menghilang terutama pada penderita dengan
nekrosis yang berat.
E. Laboratorium
Darah. -Ditemukan kenaikan jumlah leukosit sekitar
10.000/mm, jarang sekali melebihi 30.000/mm. Apabila
dijumpai anemia, maka biasanya menunjukan tanda
perdarahan yang berat. Kenaikan serum bilirubin di atas
1,5mg% dijumpai pada 50% atau lebih penderita dengan
etiologi kelainan traktus biliaris.
Kadar amilase. Rata-rata 2 jam setelah timbulnya gejala
pankreatitis, terjai kenaikan kadar serum amilase. Kadar ini
tetap tinggi pada 24-48 jam, sedangkan kadarnya dalam urin
tetap tinggi sampai 72 jam. Kenaikan kadar amilase bila lebih
dari 10 hari harus dipertimbangkan adanya kompikasi atau
nekrosis pankreas. Bila kadar amilase dalam serum seseorang
sebesar 5 kali nilai normalnya, dapat dipastikan orang tersebut
menderita pankreatitis akut.
Kadar lipase. Kadar lipase dalam serum juga meninggi.
Kenaikan kadar lipase ini paralel dengan kenaikan serum
amilase.
Kadar kalsium. Timbulnya hipokalsimia pada hari kedua atau
lebih menunjukan adanya nekrosis pankreas. Apabila kadar
kalsium lebih rendah dari 7,0 mg, berarti prognosisnya jeles.
Dengan timbulnya hipokalsimia akan timbul tanda-tanda tetani.
Tidak adanya kalsium dalam urin dipakai sebagia diagnosis dini
pankreatitis akut.
Kadar gula darah. Kadar gula darah meninggi pada 15-25%
penderita. Hal ini disebabkan karena terdapat kenaikan kadar
glukagon.
F. Pemeriksaan penunjang diagnostik lain
Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan sebagai saran
penunjang diagnostik, yaitu :
Radiologis
Pemeriksaan foto rontgen polos perut paling mudah
dilaksanakan. Tampak adanya dilatasi di kolon transversum
atau dilatasi di kolon asenden, disebut tanda colon cut off. Hal
ini disebabkan terjadinya eksudasi pankreas sehingga timbul
spasme di tempat tersebut di atas. Karena eksudasi pankreas,
maka usus halus di sekitar pankreas mengalami dilatasi dan
terisi udara, disebut tanda sentinel loop. Pada
gastroduodenografi akan dapat dilihat pelebaran kurve
duodenal, yang disebabkan oleh edema kaput pankreas.
Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mudah dilaksanakan. Gambaran ultrasonografi
pankreatitis akut tampak pelebaran menyeluruh pankreas ,
maka tampak densitas gema menurun. Secara ultrasonografi
dapat diikuti perkembangan pankreatitis.
Computed tomograpi
Hasil pemeriksaan CT, tampak pankreas yang lebih melebar
dari normalnya.
Diagnosis banding
Pankreatitis akut dapat digolongkan pada kelainan abdomen
akut, oleh karena itu perlu dipertimbangkan dengan penyakit
lain, yaitu:
-perforasi ulkus peptik
-kelainan empedu dan salurannya (kolesistitis akut, kolelitiasis
yang memberi keluhan kolik)
-apendisitis retrosekal
-infark miokard dinding inferior
Terapi
Terapi dibagi 2 bagian, yaitu terapi konservatif, pembedahan
Terapi konservatif
Bertujuan untuk
-mengurangi rasa nyeri
Petidin dapat mengurangi spasme sfingter. Di sampingitu perlu
diberi pula atropi sulfat, yang merupakan kombinasi yang baik
dengan petidin.
-mengurangi sekresi pankreasperlu dilakukan pengurasan isi
lambung untuk mengurangi rangsangan asam lambung.
Selama beberapa hari penderita jangan diberikan makan
peroral, yang bertujuan mencegah rangsangan pada lambung
dan duodenum. Penderita perlu diberi propantelin 15-30 mg
dengan maksud mencegah sekresi asam lambung dan sekresi
enzim-enzim pankreas.
-mencegah infeksi sekunder
Pemberian antibiotik tak berpengaruh terhadap penyakitnya
sendiri, tapi diperlukan untuk mencegah kemungkinan renjatan
septik. Tertasiklin dapat diberikan secara oral. Pemberian
aprotinin (trasilol) pada penderita pankreatitis akut merupakan
obat pilihan. Dosis trasilol yang diberikan ialah, pada
permulaannya diberikan 500.000KIU intravena, kemudian
disusul 200.000 KIU intravena tiap 6 jam, selama 5 hari
-menghilangkan shock / renjatan akibat gangguan elektrolit
yang mungkin timbul.
Untuk menghilangkan rejatan perlu diberikan cairan infus pada
penderida dan perlu diberi transfusi darah, ekspander plasma.
Atau bila perlu diberi non-adrenalin untuk menaikkan tekanan
darah. Bila ditemukan hipokalsemimia, maka penderita perlu
diberi kalsium glukonat 10%.
G. Komplikasi
Komplikasi pankreatitis akut dapat timbul pada saat serangan
pertama kali atau selama sakit. Adapun komplikasi yang sering
terjadi ialah:
Shock (renjatan)
Renjatan merupakan komplikasi yang tersering. Pankreatitis
akut menyebabkan bertambahnya eksudasi pankreas ke dalam
ruang retroperitoneal dan intraperitoneal yang dapat
mempengaruhi volum intravaskular sehingga timbul hipotensi
dan renjatan.
Perdarahan gastrointestinal
Perdarahan dapat timbul sebagai akibat terlalu seringnya
muntah-muntah sehingga timbul sindrom Mallory Weiss. Dapat
juga terjadi perdarahan difus di duodenum sebagai akibat
rangsangan edema kaput pankreas yang sedang dalam
keadaam inflamasi.
Hepatitis
Hepatitis juga dapat timbul pada pankreatitis akut, sebagai
proses kolestasis ekstra hepatik.
Komplikasi di paru
Komplikasi di paru dapat timbul pada waktu serangan pertama
pankreatitis akut, yaitu timbul efusi pleura sebagai akibat
ekstravasasi cairan pankreas ke dalam pleura.
Obstruksi saluran empedu
Sebagai akibat pankreatitis akut, terjadi edema pada pankreas.
Bila edema di kaput pankreas demikian hebat, maka dapat
menyebabkan obstruksi di saluran empedu. Selain itu obstruksi
ini juga timbul karena adanya batu di duktus koledokus sendiri.
Komplikasi pada jantung
Komplikasi pada jantung dapat berupa iskemia, miokarditis,
infark miokard.
Komplikasi pada kolon
Sebagi akibat eksudasi pankreas, menyebabkan spasme pada
kolon transversum terutama di dekat fleksura hepatis.
Komplikasi pada intestin
Eksudasi pada pankreas dapat juga mempengaruhi intestin dan
menyebabkan timbulnya tanda-tanda ileus. Eksudasi pankreas
dapat juga melalui mesenterium dan kemungkinan
menyebabkan obstruksi pada duodenum, sehingga timbul
sindrom arteria mesentrika superior.
H. Prognosis
Pankreatitis akut mungkin dapat digolongkan sebagai penyakit
yang sedang, bila disertai dengan edema interstisial dari
kelenjar; atau dapat pula meupakan penyakit berat dan fatal
bola disertai dengan nekrosis masif atau perdarahan. Pada
penyakit yang disertai dengan edema interstisial, angka
kematiannya 5%. Tetapi pada penyakit dengan perdarahan
atau nekrosis yangmasif, angka kematian dapat sampai 85%.
Prognosis jelek pada penderita yang lanjut usianya atau
pankreatitis yang disusul dengan tindakan pembedahan.
Prognosis juga jelek juga bila penderita juga menderita
penyakit kardiovaskular.

PANKREATITIS KRONIK
A. Definisi
Pankreatitis kronik adalah suatu proses inflamasi kronik pada
pankreas disertai salh astu fungsi gejala, yaitu kalsifikasi,
diabetes melitus, steatorea. Penyakit ini dapat disamakan
dengan penyakit ginjal yang kronik atau penyakit hati yang
kronik yang sudah lanjut, yang bersifat ireversibel, progresif,
sklerotik, dengan berbagai macam penyebab penyakit.
Pankreatitis kronik dapat timbul sendiri sejak permulaan sakit
sebagai penyakit yang kronik,atau merupakan kelanjutan dari
suatu relapsing pankreatitis akut atau kalau ada sebagai akibat
kelanjutan dari pankreatitis akut, sesuatu yang jarang terjadi.
Penyakit ini memberikan cacad (sequelle) baik anatomis
maupun fungsional, meskipun penyakitnya telah hilang. Jadi
pankreatitis kronik memberikan satu atau lebih gejala yang
menyertainya, yaitu kalsifikasi, diabetes, steatoria.
B. Etiologi
Pada umumnya penyebab pankreatitis kronik adalah sama
seperti penyebab dari pankreatitis akut. 10-30% penyebabnya
tak diketahui jelas. Yang sering disebut-sebut ialah karena
alkoholisme dan karena kelainan atau penhyakit pada saluran
empedu.
1. Alkoholisme
Di negara yang banyak ditemukan alkoholisme, juga banyajk
ditemukan penderita pankreatitis kronik
2. Penyakit pada saluran empedu
Penderita dengan kelainan saluran empedu misalnya adanya
batu dalam saluran, terutama yang lokalisasinya di ampula
vateri, menyebabkan terjadinya sumbatan pada duktus
pankretikus, sehingga sekresi enzim akan berlebihan dan
mengakibatkan perangsangan yang berlebihan pada pankreas,
terjadilah pankreatitis.
3. Faktor mekanis
Adanya sumbatan pada saluran pankreas dari luar misalnya
oleh neoplasma (ekstraduktal), dapat merangsang timbulnya
pankreatitis kronik.
4. Faktor nutrisi
Di negara yang sedikit meminum alkohol, faktor nutrisi
merupakan faktor penyebab timbulnya pankreatitis kronik.
Bagaimana mekanisme timbulnya penyakit ini yang disebabkan
malnutrisi dan hiperlipidemia, sampai sekarang masih belum
jelas.
5. Faktor autoimun
Terbukti pada penderita pankreatitis, di dalam darahnya
ditemukan auto-antibodi yang khas. Teori ini diperkuat dengan
penemuan peninggian kadar glukagon dalam serum penderita
diabetes melitus yang disertai dengan pankreatitis kronik.
6. Sebab-sebab lain
a. Infeksi; misalnya infeksi oleh bakteri tifus, abdominalis, atau
karena virus morbili.
b. Obat-obat; misalnya krolotiazid, steroid dan lain-lainnya.
c. Hormon; misalnya pada penderita hiperparatirodisme akan
timbul deposit kalsium dalam pankreas yang akan menyumbat
duktus pankreatikus sehingga timbul pankreatitis kronik.

C. Patologi
Pada permulaan penyakit terlihat berbagai macam gambaran
patologis, tetapi pada stadium akhir penyakit ini diperoleh
gambaran, di antaranya:
1. Sirosis pankreas
Terjadi pengerasan organ pankreas, terutama pada kaputnya.
Mula-mula terjadi pembesaran dan mengalami fibrosis
kemudian mengecil dan mengers seperti batu. Pada keadaan
demikian si penderita umumnya dapat tidak mempunyai
keluhan sama sekali.
2. Pankreatolitiasis
Banyak ditemukan pada penderita peminum alkohol (90%).
Komponennya terdiri atas garam karbonat yang tertimbun,
terutama di saluran pankreas. Jarang ada yang tertimbun
dalam parenkim.

D. Gejala klinis
Pankreatitis kronik biasanya ditenukan pada usia 30-40
tahun.tetapi dapat juga ditemukan pada masa kanak-kanak
atau pada usia >40 tahun.
Kaum pria biasanya lebih sering menderita penyakit ini
dibanding kaum wanita.
Penderita biasanya mengeluh nyeri diperut bagian atas. Sifat
nyeri seperti kolik yang kemudian menetap dengan ekserbasi
yang tidak menentu munculnya. Lokalisasi rasa nyeri ialah di
daerah epigastrum yang menjalar ke punggung atau bahu.
Rasa nyeri hebat tersebut disertai dengan mualdan muntah,
yang kadang-kadang disertai menggigil dan takikardia. Ada
kalanya penderita mengeluh sesak nafas, yang timbul karena
bertambahnya gas di dalam perut yang menekan ke atas.
Seringkali keluhan di perut hanya samar- samar, berupa rasa
tak enak atau nyeri yang tak khas di perut bagian atas. Pada
proses yang sudah lanjut akan timbul kalsifikasi, steatorea dan
diabetes melitus. Jadi pada keadaan demikian penderita akan
mengeluh sering mengalami diare atau steatorea, serta
keluhan seorang penderita diabetes melitus. Berat badan
penderita makin menurun.
Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan penderita yang
tampak kesakitan, gelisah pada saat timbul serangan. Gizi
yang kurang, kurus, suhu badan sedikit meninggi, dan
takikardia. Mungkib pula ditemukan seorang penderita dalam
keadaan shock atau tetani atau penderita dengan tanda-tanda
dehidrasi, yaitu bila keadaan sudah lanjut. Pada 15%
penderita ditemukan ikterus yang ringan, disebabkan
penekanan duktus koledokus oleh pembengkakan pankreas.
Pemeriksaan di abdomen menunjukan rasa nyeri tekan
terutama di perut bagian atas. Dinding perut agak tegang,
meteoristik.
E. Laboratorium
Darah. tak diperoleh tanda yang khas. Jumlah leukosit juga
sedikit meninggi pada penderita. Walaupun demikian
terdapat berbagai perubahan lain sebagai berikut :
Kadar serum amilase. Terdapat kenaikan kadar serum amilase.
Pada 67,7% penderita ditemukan kenaikan sekitar 600-800
satuan sommogyl. Puncak peninggian kadar amilase darah
dicapai 24-72 jam setelah serangan sakit dan turun kembali
sampai normal setelah 6 hari. Selain peninggian amilase serum
juga disertai peninggian amilase pada urin. Peninggian amilase
dalam urin mempunyai arti bila melebihi 900 satua sommogyl.
Kadar kalsium. Kadar kalsium serum biasanya menurun.
Penurunan kalsium baru terjadi pada hari ke 5-10.
Pemeriksaan ini menentukan prognosis daripada diagnosis.
Kadar tripsin. Kadar serum tripsin meninggi.
SGOT. SGOT meninggi 2/3 penderita.
Kadar gula darah. Pada keadaan yang sudah lanjut, terdapat
peninggian gula darah.
Tinja. Dalam tinja ditemukan bertambahnya kadar lemak, hal
ini berati danya tanda-tanda steatore. Tinja berbau lemak
busuk,dan tampak terapung.
Urin. Pada pemeriksaan urin rutin, bila ditemukan redukdi
positif berarti diabetes melitus yang menyertai pankreatitis
kronik.
Pemeriksaan sarana penunjang diagnostik
1. Radiologi
Pada foto polos abdomen kadang-kadang tidak ditemukan
kelainan. Tetapi pada keadaan yang lanjut akn ditemukan
kelainan berupa kalkuli dan kalsifikasi pada saluran panreas
atau pada parenkimnya.
2. Ultrasonografi
Gambaran pankreatitis kronik secara ultrasonografi akan
tampak pembengkakan seluruh bagian pankreas dengan gema
yang heterogen, disertai pelebaran saluran pankreas yang
melebar berkelok-kelok. Selain itu, kadng-kadang ditemukan
kalsifikasi pankreas, yang secara ultrasonografi tampak sebagai
massa berdensitas tinggi yang disertai bayangan akustik.
3. Computed tomografy (CT)
Secara CT tampak pembengkakan seluruh bagian pankreas
denganpelebaran saluran pankreas yang terisi kalsifikasi.
4. Endoscopic retrograde choledocho pancreaticography (ERCP)
Gambaran pankreatitis kronik secara ERCP tampak pelebaran
saluran pankreas yang berkelok-kelok, ditemukan kalsifikasi
intraduktal. Selain itu dengan cara ini pula dapat diaspirasi
cairan pankreas untuk pemeriksaan biokimia dan sitologi.
F. Komplikasi
Komplikasi pada umumnya terjadi pada stadium akhir
pankreatitis kronik, dan juga bergantung pada luasnya
kerusakan pankreas. Komplikasi yang sering terjadi yaitu :
1. Gangguan metabolisme
Pada pankreatitis kronik yang disertai steatorea akan terjadi
defisiensi vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E,K),
sehingga timbul keluhan karenanya, antara lain terjadi
gangguan fungsi retina akibat defisiensi vitamin A, timbul
gejala tetani akibat defisiensi vitamin D, da lain-lain. Selain itu
jugadapat terjadi gangguan metabolisme bahan mineral,
antara lain kalsium, magnesium.
2. Komplikaso pada gastrointestinal
Sebagai akibat fibrosis di kaput pankreas dapat menybabkan
obstruksi saluran empedu, sehingga timbul gejala ikterus
obstruksi. Pankreatitis kronik dengan kalsikasi mungkin dapat
menyebabkan timbulnya trombosis di vena porta, vena lienalis,
sehingga dapat terjadi sistem kolateral, ang mungkin dapat
menyebabkan timbulnya perdarahan varises esofagus atau
lambung.
3. Komplikasi diabetes
Pankreatitis kronik yang disertai tanda-tanda diabetes melitus,
dapat timbul komplikasi sebagai akibat dari diabetesnya
sendiri.
4. Karsinoma pankreas
Adanya kalsifikasi yang menyertai pankreatitis kronik,
merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya karsinoma.
5. Komplikasi lain
Komplikasi lain yaitu terjadinya kista semu (pseudocyst),
abses, nekrosis pankreas (agak jarang terjadi).

G. Diagnosis banding
Apabila penderitanya merasakan nyeri di abdomen bagian atas,
perlu dipikirkan kemungkinan kolesistitis/ kolelitiasis, ulkus
peptik yang mengalami perforasi, obstruksi usus halus,
trombosis mesenterium, apendistitis retrosekal.
Pada penderita pankreatitis kronik dengan steotorea perlu
dipikirkan adult coeliac disease, karsinoma pankreas, penyakit
whipple.
Apabila pada penderita ditemukan kalkuli dan kalsifikasi, maka
perlu dipikirkan kemungkinan batu saluran empedu,
nefrolitiasis, kalsifikasi kelenjar getah bening.
Diagnosis
Diagnosis pankreatitis kronik sering sekali sulit ditentukan,
terutama pada permulaan serangan. Tetapi pada keadaan yang
sudah lanjut,selain adanya rasa nyeri di perut bagian atas juga
disertai gejala trias yaitu adanya diabetes melitus, steatorea
dan kalsifikasi maka dalam keadaan demikian tidak sulit untuk
membuat diagnosis.
Walaupun belum timbul gejala trias seperti tersebut, tetapi bila
ditemukan penderita dengan rasa nyeri hebat di epigastrum
yang menjalar ke belakang, dengan kelainan laboratorium
berupa peninggian kadar amilase darah dan urin, kadar
kalsium menurun, maka perlu dipikirkan kemungkinan
pankreatitis. Lebih-lebih lagi bila disertai tanda diabetes
melitus dan steatorea, maka diagnosis pankreatitis kronik
makin pasti.
Pada gastroduodenografi terdapat pelebaran suodenal loop,
terutama bila ditemukan kalsifikasi atau kalkuli maka makin
pasti diagnosis pankreatitiskronik.
H. Terapi
Terapi untuk pankreatitis kronik dapat dibagi atas 2 bagian
yaitu konservatif dan pembedahan.
Terapi konservatif
Cara terapi ini dilakukan sebagai berikut :
1. Untuk menghilangkan rasa nyeri dapat diberikan petidin, dan
disamping itu dapat pula dikombinasikan dengan atropi sulfat.
2. Diet, pada saat serangan sebaiknya penderita jangan diberi
makan dan minum, tetapi diberikan cairan infus. Bila serangan
nyeri hilang, dapat diberi makanan cair, lembek, tapi jangan
sampai kenyang. Lemak dibatasi 50-70 gr/hari. Protein
diberikan sampai 120 gr/hari. Penderita dilarang makan atau
minum yang umengandung alkohol.
3. Obat-obat, diberikan antasid/antikolenergiktiap jam
sebelum makan atau sebelum tidur. Maksudnya untuk
mengurangi sekresi asam lambung, sehingga perangsangan
terhadap pankreas juga berkurang. Perlu jyga diberikan
substitusi enzim pankreas, untuk mencegah terjadinya
steatorea. Selain itu sedatif perlu diberikan agar penderita
dapat istirahat.
Tindakan pembedahan
Tindakan pembedahan perlu dilakukan, apabila penderita
terdapat indikasi :
1. Serangan semakin sering timbul dan makin berat, atau
2. Timbulnya komplikasi kista semu atau abses pada pancreas.

Kolesistitis
Definisi
Kolesistitis adalah proses inflamasi atau peradangan akut pada
kandung empedu yang umumnya terjadi akibat penyumbatan
pada saluran empedu disertai nyeri perut kanan atas, nyeri
tekan dan panas badan.
Epidemiologi
Sejauh ini belum ada data epidemiologis penduduk. insidensi
kolesistitis di Negara Indonesia relative lebih rendah di banding
negara-negara barat.
Etiologi
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis
adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia
dinding kandung empedu.Adapun penyebab lainnya seperti
kepekatan cairan empedu,kolesterol,lisolesitin dan
progstaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung
empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.
Patogenesis
Umumnya kolesistitis sangat berhubungan dengan kolelithiasis.
Kolesistitis dapat terjadi sebagai akibat dari jejas kimiawi oleh
sumbatan batu empedu yang menjadi predisposisi terjadinya
infeksi atau dapat pula terjadi karena adanya
ketidakseimbangan komposisi empedu seperti tingginya kadar
garam empedu atau asam empedu, sehingga menginduksi
terjadinya peradangan akibat jejas kimia.
Kolesistitis Akut
A. Definisi
Kolesistitis Akut adalah peradangan dari dinding kandung
empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri
tekan, dan demam (Pridady, 2006).
B. Etiologi
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis
akut adalah statis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia
dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut
adalah batu empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus
yang menyebabkan statis cairan empedu, sedangkan sebagian
kecil kasus timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut
akalkulus). Bagaimana statis di duktus sistikus dapat
menyebabkan kolesistitis akut, masih belum jelas. Diperikan
banyak faktor yang berpengaruh, seperti kepekatan cairan
empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak
lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh inflamasi
dan supurasi.
Kolesistitis akut akalkulus dapat timbul pada pasien yang
dirawat cukup lama dan mendapat nutrisi secara parenteral,
pada sumbatan karena keganasan kandung empedu, batu di
saluran empedu atau merupakan salah satu komplikasi
penyakit lain demam tifoid dan diabetes mellitus (Pridady,
2006).
C. Patofisiologi
- Kolesistitis akut (AC) merupakan suatu peradangan akut dari
kandung empedu (GB), disebabkan oleh banyak hal oleh
terhalangnya saluran kistik, menyebabkan inflamasi akut dari
dinding kandung empedu; yang biasa penyebab obstruksi
adalah batu empedu. AC adalah salah satu komplikasi utama
cholelithiasis. Proses peradangan diawali dengan terhalang
calculous di duktus cystikus dan colum kandung empedu.
Mekanisme yang tepat mulainya peradangan kandung empedu
tidak diketahui.
- Mikroorganisme diidentifikasi dalam 80% kasus awal dalam
perjalanan penyakit; Escherichia coli merupakan organisme
utama yang ditemukan; organisme lain meliputi batang aerobik
gram negatif, enterococci, dan sejumlah Anaerob. Invasi
bakteri tidak dianggap sebagai acara utama, karena dalam
20% dari pasien, tidak ada pertumbuhan bakteri terjadi pada
spesimen bedah. 2 konsensus umum bahwa infeksi bakteri
sekunder adalah peristiwa, bukan memulai satu.
- Faktor-faktor yang dapat memulai proses peradangan
meliputi pembentukan mediator peradangan (misalnya,
lysolecithin dan prostaglandin); peningkatan tekanan
intralumen kompromi berkaitan dengan suplai darah dan iritasi
kimia oleh asam empedu.
- Resolusi spontan AC dapat terjadi dalam waktu 5-7 hari
setelah onset gejala, karena pembentukan kembali dari paten
saluran kistik. Pada sebagian besar kasus seperti itu, terjadi
penebalan dinding fibrotic GB; ini adalah karakteristik dari
kolesistitis kronis. Di lebih dari 90% dari spesimen
kolesistektomi, maka pola histologis adalah satu di mana AC
adalah kolesistitis kronis. Jika patency duktus cystikus tidak
dibangun kembali, infiltrasi sel inflamasi dari dinding GB
berkaitan dengan mural dan hemoragik nekrosis mukosa
berikut. Gangren kolesistitis dapat dilihat dalam sebanyak 21%
kasus.
- Acalculous kolesistitis terjadi dalam pengaturan klinis yang
berbeda. Hal ini terjadi lebih sering pada laki-laki (biasanya
anak-anak) dan orang yang lebih tua dari 65 tahun.
Patofisiologi kolesistitis acalculous belum dipahami dengan baik
tetapi mungkin multifaktor. Ini mungkin bahwa kolesistitis
acalculous terjadi melalui efek gabungan dari reaksi mediator
inflamasi sistemik; lokal atau iskemia jaringan umum; dan
stasis empedu.
- Sering kali, faktor predisposisi tempat orang-orang yang
beresiko stasis empedu; faktor-faktor tersebut mencakup
kelaparan; penggunaan nutrisi parenteral; penggunaan
analgesik narkotika dan kurangnya mobilitas di negara-negara
pasca-operasi. Hipovolemia dan syok prediposisi pasien untuk
iskemia jaringan. Iskemia, seperti terjadi dalam hubungan
dengan vaskulitis pembuluh darah kecil, mungkin menjadi
penyebab utama acalculous AC; iskemia dapat juga terjadi
sebagai komplikasi chemoembolization hepatik. Sering kali,
obstruksi duktus kistikus fungsional hadir; halangan tersebut
berhubungan dengan peradangan dan viskos empedu.
Kompresi ekstrinsik mungkin memainkan peran dalam
pengembangan stasis empedu.
- Pada sebagian besar pasien dengan colesistitis akut
acalculous, terjadi infeksi sekunder oleh flora enteric gram
negative, namun pada pasien dengan demam tifoid, infeksi
oleh organisme Salmonella telah diidentifikasi sebagai acara
utama. Kolesistitis terkait AIDS dan cholangiopathy dapat
terjadi infeksi sekunder oleh sitomegalovirus (CMV) dan infeksi
organisme Cryptosporidium.
- Pada pasien kolesistitis emphysematous, iskemia dari dinding
GB diikuti oleh infeksi dengan pembentukan gas oleh
organisme yang memproduksi gas dalam lumen GB, di dinding
GB, atau keduanya. Pada 30-50% pasien, diabetes melitus
sudah ada sebelumnya hadir; laki-laki-wanita rasio 5:1. Gas
mungkin akan terbatas pada GB, namun, dalam 20% kasus,
gas juga terlihat di seluruh dari cabang bilier. Batu empedu
tidak terdapat dalam 30-50% kasus, dan angka kematian
adalah 15%. Ada kecenderungan untuk pembentukan gangren
dan perforasi, namun gejala klinis ringan; gejala-gejala
tersebut dapat menipu. Emphysematous cholecystitis may
occur after chemoembolization performed as palliation for
hepatocellular carcinoma; after atheromatous embolism during
aortography; and after GB hypoperfusion during
cardiorespiratory resuscitation. Kolesistitis emphysematous
bisa terjadi setelah dilakukan chemoembolization sebagai
terapi paliatif untuk karsinoma hepatocellular; setelah emboli
atheromatous selama aortography; dan setelah hypoperfusi GB
selama resusitasi cardiorespirasi (Nawaz Khan, 2009).

D. Gejala dan Tanda


Tanda awal dari peradangan kandung empedu biasanya berupa
nyeri di perut kanan bagian atas. Nyeri bertambah hebat bila
penderita menarik nafas dalam dan sering menjalar ke bahu
kanan. Biasanya terdapat mual dan muntah.
Jika menekan perut kanan sebelah atas, penderita akan
merasakan nyeri tajam. Dalam beberapa jam, otot-otot perut
sebelah kanan menjadi kaku. Pada mulanya, timbul demam
ringan, yang semakin lama cenderung meninggi.
Biasanya serangan nyeri berkurang dalam 2-3 hari dan
kemudian menghilang dalam 1 minggu.
Gejala lain yang mungkin terjadi meliputi:
Perut kepenuhan
Feses seperti dempul
Demam
Mual dan muntah
Ikterus
( Elsevier, 2007)

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis
serta kemungkinan peninggian serum transaminase dan
fosfatase alkali. Apabila keluhan nyeri bertambah hebat disertai
suhu tinggi dan menggigil serta leukositosis berat,
kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu
perlu dipertimbangkan (Pridady, 2006).
Foto polos abdomen tidak memperlihatkan gambaran
kolesistitis akut. Hanya pada 15% pasien kemungkinan dapat
terlihat batu yang tidak tembu pandang (radiopak) oleh karena
menganding kalisium cukup banyak.
Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran
kandung empedu bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini
tidak bermanfaat untuk kolesisititis akut.
Pemeriksaan USG sebaiknya di kerjakan secara rutin dam
sangat bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk,
penebalan dinding empedu, batu dan saluran empedu ekstra
hepatic. Nilai kepekaan dan ketepatan USG 90-95%.
Skintigrafi saluran empedu menggunakan zat radioaktif HIDA
ata 99n Tc6 iminodiacetik acid mempunyai nilai sedikit lebih
rendah dari USG tapik teknik ini tidak mudah. Terlihatnya
gambaran duc.koledokus tanpa gambaran kandung empedu
pada pemeriksaan kolesistografi oral dan scintigrafi sangat
menyongkong kolesistitis akut.
Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitive dan mahal tapi
mampu memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang
masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG
(Pridady, 2006).

F. Komplikasi
Demam tinggi, menggigil, peningkatan jumlah leukosit dan
berhentinya gerakan usus (ileus) dapat menunjukkan
terjadinya abses, gangren atau perforasi kandung empedu.
Serangan yang disertai jaundice (sakit kuning) atau arus
balik dari empedu ke dalam hati menunjukkan bahwa saluran
empedu telah tersumbat sebagian oleh batu empedu atau oleh
peradangan.
Jika pemeriksaan darah menunjukkan peningkatan kadar
enzim amilase, mungkin telah terjadi peradangan pankreas
(pankreatitis) yang disebabkan oleh penyumbatan batu
empedu pada saluran pankreas (duktus pankreatikus).

G. Prognosis
Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun
kandung empedu menjadi tebal, fibrotic, penuh dengan batu
dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang menjadi kolesistitis
rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang secara
cepat menjadi gangrene, empiema dan perforasi kandung
empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum. Hal ini dapat
dicegah dengan pemberian antibiotic yang adekuat pada awal
serangan. Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (>75 th)
mempunyai prognosis yang jelek di samping kemugkinan
banyak timbul komplikasi paska bedah (Pridady, 2006).
H. Pengobatan
Pengobatan umum termasuk istirahat total, pemberian nutrisi
parenteral, diet ringan, obat penghilang rasa nyeri seperti
petidin dan antispasmodic. Pemberian antibiotic pada fase awal
sangat penting untuk mencegah komplikasi peritonitis,
kolangitis, dan septicemia. Golongan ampisilin, sefalosporin
dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman-
kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti
E.coli, Strep. Faecalis dan Klebsiella (Pridady, 2006)
Penderita dengan kolesistitis akut pada umumnya dirawat di
rumah sakit, diberikan cairan dan elektrolit intravena dan tidak
diperbolehkan makan maupun minum. Mungkin akan dipasang
pipa nasogastrik untuk menjaga agar lambung tetap kosong
sehingga mengurangi rangsangan terhadap kandung empedu.
Antibiotik diberikan sesegera mungkin jika dicurigai kolesistitis
akut.
Jika diagnosis sudah pasti dan resikonya kecil, biasanya
dilakukan pembedahan untuk mengangkat kandung empedu
pada hari pertama atau kedua. Jika penderita memiliki penyakit
lainnya yang meningkatkan resiko pembedahan, operasi
ditunda dan dilakukan pengobatan terhadap penyakitnya. Jika
serangannya mereda, kandung empedu bisa diangkat 6 minggu
kemudian atau lebih. Jika terdapat komplikasi (misalnya abses,
gangren atau perforasi kandung empedu), diperlukan
pembedahan segera.
Sebagian kecil penderita akan merasakan episode nyeri yang
baru atau berulang, yang menyerupai serangan kandung
empedu, meskipun sudah tidak memiliki kandung empedu.
Penyebab terjadinya episode ini tidak diketahui, tetapi mungkin
merupakan akibat dari fungsi sfingter Oddi yang abnormal.
Sfingter Oddi adalah lubang yang mengatur pengaliran empedu
ke dalam usus halus.
Rasa nyeri ini mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan di
dalam saluran yang disebabkan oleh penahanan aliran empedu
atau sekresi pankreas. Untuk melebarkan sfingter Oddi bisa
digunakan endoskopi. Hal ini biasanya akan mengurangi gejala
pada penderita yang memiliki kelainan sfingter, tetapi tidak
akan membantu penderita yang hanya memiliki nyeri tanpa
disertai kelainan pada sfingter. (anonim, 2008).
KOLESISTITIS KRONIK
A. Definisi
Kolesititis kronik lebih sering dijumpai dan sangat erat
hubungannya dengan... dan lebih sering timbul secara
perlahan-lahan.
B. Gejala klinis
Diagnosis kolesititis kronok sering sulit ditegakkan oleh karena
gejala sangat minimal dan tidak menonjol seperti dispepsia,
rasa penuh di epigastrum dan nausea khususnya setelah
makan makanan berlemak tinggi, yang kadang-kadang hilang
setelah bersendawa. Riwayat penyakit batu empedu di
keluarga, ikterus dan kolik berulang, nyeri lokal di daerah
kandung empedu disertai tanda Murphy positif, dapat
mendukung diagnosis.
Diagnosisi banding seperti intoleransi lemak, ulkus peptik,
kolon spastik, karsinoma kolon kanan, pankreastitis kronik dan
kelainan duktus koledokus perlu dipertimbangkan sebelum
diputuskan untuk melakukan kolesistektomi.
C. Diagnosis
Pemeriksaan kolesistografi oral, ultrasonografi dan
kolangiografi dapat memperlihatkan koletiasis dan afungsi
kandung empedu. Endoscopik retrograde
choledochopankreaticography (ERCP) sangat bermanfaat untuk
memperlihatkan batu di kandung empedu dan duktus
koledokus.
D. Pengobatan
Pada sebagian besar pasien kolesititis kronik dengan atau
tanpa batu kandung empedu yang simtomatik, dianjurkan
untuk kolesistektomi. Keputusan untuk kolesistektomi agak
sulit untuk pasien dengan keluhan minimal atau disertai
penyakit lain yang mempertinggi risiko operasi.

1. Pankreatitis
A. PENGERTIAN

Pankreatitis (inflamasi pankreas) merupakan penyakit yang serius pada pankreas dengan intensitas yang
dapat berkisar mulai dari kelainan yang relatif ringan dan sembuh sendiri hingga penyakit yang berjalan
dengan cepat dan fatal yang tidak bereaksi terhadap berbagai pengobatan. (Brunner & Suddart, 2001;
1338)

Pankreatitis adalah kondisi inflamasi yang menimbulkan nyeri dimana enzim pankreas diaktifasi secara

prematur mengakibatkan autodigestif dari pankreas. (Doengoes, 2000;558)


Pankreatitis akut adalah inflamasi pankreas yang biasanya terjadi akibat alkoholisme dan penyakit

saluran empedu seperti kolelitiasis dan kolesistisis. (Sandra M. Nettina, 2001)

B. ETIOLOGI

Batu saluran empedu


Infeksi virus atau bakteri
Alkoholisme berat
Obat seperti steroid, diuretik tiazoid
Hiperlipidemia, terutama fredericson tipe V
Hiperparatiroidisme
Asidosis metabolik
Uremia
Imunologi seperti lupus eritematosus
Pankreatitis gestasional karena ketidakseimbangan hormonal
Defisiensi proteinToksin
Lain-lain seperti gangguan sirkulasi, stimulsi vagal ( Arief Mansjoer, 2000)

C. KLASIFIKASI

1. Pankreatitis akut atau inflamasi pada pankreas terjadi akibat tercernanya organ ini oleh enzim-

enzimnya sendiri, khususnya oleh tripsin. (Brunner & Suddart, 2001:1339)

2. Pankreatitis kronik merupakan kelainan inflamasi yang ditandai oleh kehancuran anatomis dan

fungsional yang progresif pada pankreas. (Brunner & Suddart, 2001:1348)

D. TANDA DAN GEJALA KLINIS

Nyeri abdomen yang hebat merupakan gejala utama pankreatitis yang menyebabkan pasien datang
ke rumah sakit. Rasa sakit dan nyeri tekan abdomen yang disertai nyeri pada punggung, terjadi
akibat iritasi dan edema pada pankreas yang mengalami inflamasi tersebut sehingga timbul rangsangan
pada ujung-ujung saraf. Peningkatan tekanan pada kapsul pankreas dan obstruksi duktus pankreatikus
juga turut menimbulkan rasa sakit.

Secara khas rasa sakit yang terjadi pada bagian tengah ulu hati (midepigastrium). Awitannya
sering bersifat akut dan terjdi 24-48 jam setelah makan atau setelah mengkonsumsi minuman keras; rasa
sakit ini dapat bersifat menyebar dan sulit ditentukan lokasinya. Umumnya rasa sakit menjadi semakin
parah setelah makan dan tidak dapat diredakan dengan pemberian antasid. Rasa sakit ini dapat
disertai dengan distensi abdomen, adanya massa pada abdomen yang dapat diraba tetapi batasnya tidak
jelas dan dengan penurunan peristatis. Rasa sakit yang disebabkan oleh pankreatitis sering disertai
dengn muntah.

Pasien tampak berada dalam keadaan sakit berat defens muskuler teraba pada abdomen. Perut
yang kaku atau mirip papan dapat terjadi dan merupakan tanda yang fatal. Namun demikian abdomen
dapat tetap lunak jika tidak terjadi peritonitis. Ekimosis (memar) didaerah pinggang dan disekitar
umbilikus merupakan tanda yang menunjukkan adanya pankreatitis haemoragik yang berat.

Mual dan muntah umumnya dijumpai pada pankreatitis akut. Muntahan biasanya berasal dari isi lambung
tetapi juga dapat mengandung getah empedu. Gejala panas, ikterus, konfusidan agitasi dapat terjadi.

Hipotensi yang terjadi bersifat khas dan mencerminkan keadaan hipovolemia serta syok yang
disebabkan oleh kehilangan sejumlah besar cairan yang kaya protein, karena cairan ini mengalir
kedalam jaringan dan rongga peritoneum. Pasien dapat mengalami takikardia, sianosis dan kulit yang
dingin serta basah disamping gejala hipotensi. Gagal ginjal akut sering dijumpai pada keadaan ini.

Gangguan pernafasan serta hipoksia lazim terjadi, dan pasien dapat memperlihatkan gejala infiltrasi paru
yang difus, dispnoe, tachipnoe dan hasil pemeriksaan gas darah abnormal. Depresi
miokard, hipokalsemia, hiperglikemia dan koagulopati intravaskuler diseminata dapat pula terjadi
pada pankreatitis akut (Brunner & Suddart, 2001:1339)

E. KOMPLIKASI

Timbulnya Diabetes Mellitus


Tetani hebat
Efusi pleura (khususnya pada hemitoraks kiri)
Abses pankreas atau psedokista.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Scan-CT : menentukan luasnya edema dan nekrosis

2. Ultrasound abdomen: dapat digunakan untuk mengidentifikasi inflamasi pankreas, abses,

pseudositis, karsinoma dan obstruksi traktus bilier.

3. Endoskopi : penggambaran duktus pankreas berguna untuk diagnosa fistula, penyakit obstruksi bilier
dan striktur/anomali duktus pankreas. Catatan : prosedur ini dikontra indikasikan pada fase akut.

4. Aspirasi jarum penunjuk CT : dilakukan untuk menentukan adanya infeksi.


5. Foto abdomen : dapat menunjukkan dilatasi lubang usus besar berbatasan dengan pankreas
atau faktor pencetus intra abdomen yang lain, adanya udara bebas intra peritoneal disebabkan
oleh perforasi atau pembekuan abses, kalsifikasi pankreas.

6. Pemeriksaan seri GI atas : sering menunjukkan bukti pembesaran pankreas/inflamasi.

7. Amilase serum : meningkat karena obstruksi aliran normal enzim pankreas (kadar normal tidak
menyingkirkan penyakit).
8. Amilase urine : meningkat dalam 2-3 hari setelah serangan.
9. Lipase serum : biasanya meningkat bersama amilase, tetapi tetap tinggi lebih lama.

10. Bilirubin serum : terjadi pengikatan umum (mungkin disebabkan oleh penyakit hati alkoholik atau
penekanan duktus koledokus).

11. Fosfatase Alkaline : biasanya meningkat bila pankreatitis disertai oleh penyakit bilier.

12. Albumin dan protein serum dapat meningkat (meningkatkan permeabilitas kapiler dan transudasi
cairan kearea ekstrasel).

13. Kalsium serum : hipokalsemi dapat terlihat dalam 2-3 hari setelah timbul penyakit (biasanya
menunjukkan nekrosis lemak dan dapat disertai nekrosis pankreas).

14. Kalium : hipokalemia dapat terjadi karena kehilangan dari gaster; hiperkalemia dapat terjadi sekunder
terhadap nekrosis jaringan, asidosis, insufisiensi ginjal.

15. Trigliserida : kadar dapat melebihi 1700 mg/dl dan mungkin agen penyebab pankreatitis akut.

16. LDH/AST (SGOT) : mungkin meningkat lebih dari 15x normal karena gangguan bilier dalam hati.

17. Darah lengkap : SDM 10.000-25.000 terjadi pada 80% pasien. Hb mungkin menurun
karena perdarahan. Ht biasanya meningkat (hemokonsentrasi) sehubungan dengan muntah atau
dari efusi cairan kedalam pankreas atau area retroperitoneal.

18. Glukosa serum : meningkat sementara umum terjadi khususnya selama serangan awal atau
akut. Hiperglikemi lanjut menunjukkan adanya kerusakan sel beta dan nekrosis pankreas dan
tanda aprognosis buruk. Urine analisa; amilase, mioglobin, hematuria dan proteinuria mungkin
ada (kerusakan glomerolus).

19. Feses : peningkatan kandungan lemak (seatoreal) menunjukkan gagal pencernaan lemak dan

protein (Dongoes, 2000).

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tidak ada terapi yang diketahui dapat menghentikan siklus aktivasi enzim pankreas dengan inflamasi dan
nekrosis kelenjar. Tetapi definitif ditujukan pada penyebab gangguan. Prioritas keperawatan dan medis
untuk penatalaksanaan pendukung dari pankreatitis akut termasuk sebagai berikut:

- Penggantian cairan dan elektrolit

Penggantian cairan menjadi prioritas utama dalam penanganan pankreatitis akut. Larutan
yang diperintahkan dokter untuk resusitasi cairan adalah koloid atau ringer laktat. Namun dapat
pula diberikan plasma segar beku atau albumin. Tanpa memperhatikan larutan mana yang
dipergunakan. Penggantian cairan digunakan untuk memberikan perfusi pankreas, yang hal ini diduga
mengurangi perkembangan keparahan rasa sakit. Ginjal juga tetap dapat melakukan perfusi dan ini dapat
mencegah terjadinya gagal ginjal akut. Pasien dengan pankreatitis hemorragia kut selain mendapat terapi
cairan mungkin juga membutuhkan sel-sel darah merah untuk memulihkan volume. Pasien dengan
penyakit

Parah yang mengalami hipertensi, gagal memberikan respon terhadap terapi cairan
mungkin membutuhkan obat-obatan untuk mendukung tekanan darah. Obat pilihannya adalah dopamin
yang dapat dimulai pada dosis yang rendah (2-5 ug/kg/menit). Keuntungan obat ini adalah bahwa
dosis rendah dapat menjaga perfusi ginjal sementara mendukung tekanan darah. Pasien hipokalsemia
berat ditempetkan pada situasi kewaspdaan kejang dengan ketersediaan peralatan bantu nafas.
Perawatbertanggung jawab untuk memantau kadar kalsium, terhadap pemberian larutan pengganti
dan pengevaluasian respon pasien terhadap kalsium yang diberikan. Penggantian kalsium harus
didifusikan melalui aliran sentral, karena infiltrasi perifer dapat menyebabkan nekrosis jaringan. Pasien
juga harus dipantau terhadap toksisitas kalsium. Hipomagnesemia juga dapat timbul bersama
hipokalsemia dan magnesium yang juga perlu mendapat penggantian. Koreksi terhadap magnesium
biasanya dibutuhkan sebelum kadar kalsium menjadi normal. Kalium adalah elektrolit lain yang perlu
diganti sejak awal sebelum regimen pengobatan karena muntah yang berhubungan dengan pangkreatitis
akut. Kalium dalam jumlah yang berlebihan juga terdapat dalam getah pankreas. Kalsium harus diberikan
dalam waktu lambat lebih dari satu jam lebih dengan menggunakan pompa infus. Pada beberapa
kasus,hiperglikemia dapat juga berhubungan dengan dehidrasi atau ketidakseimbangan elektrolit
lainnya. Mungkin diperintahkan pemberian insulin lainnya dengan skala geser, insulin ini perlu
diberikan dengan hati-hati, karena kadar glukagon sementara pada pankreatitis akut (Hudak dan Gallo,
1996).

- Pengistirahatan pankreas

Suction nasogastric digunakan pada kebanyakan pasien dengan pankreatitis akut untuk menekan sekresi
eksokrin pankreas dengan pencegahan pelepasan sekretin dari duodenum. Mual, muntah dan nyeri
abdomen dapat juga berkurang bila selang nasogastric ke suction lebih dini dalam perawatan. Selang
nasogastrik juga diperlukan pasien dengan illeus, distensi lambung berat atau penurunan
tingkat kesadaran untuk mencegah komplikasi akibat aspirasi pulmoner. Puasa ketat (tak ada masukan
peroral) harus dipertahankan sampai nyeri abdomen reda dan kadar albumin serum kembali normal.
Namun parenteral total dianjurkan untuk pasien pankreatitis mendadak dan parah yang tetap dalam
status puasa jangka panjang dengan suction nasogastrik dengan illeus paralitik, nyeri abdomen terus-
menerus atau komplikasi pankreas. Lipid tidak boleh diberikan karena dapat meningkatkan kadar
trigliserida lebih jauh dan memperburuk proses peradangan. Pada pasien dengan pankreatitis ringan
cairan peroral biasanya dapat dimulai kembali dalam 3-7 hari dengan penggantian menjadi padat sesuai
toleransi. Status puasa yang diperpanjang dapat menyulitkan pasien. Perawatan mulut yang sering dan
posisi yang sesuai serta memberikan pelumasan pada selang nasogastric menjadi penting
denganmempertahankan integritas kulit dan memaksimalkan kenyamanan pasien. Dianjurkan tirah
baring untuk mengurangi laju metabolisme basal pasien. Hal ini selanjutnya akan mengurangi
rangsangan dari sekresi pankreas (Hudak dan Gallo, 1996).

- Penatalaksanaan nyeri

- Analgesik diberikan untuk kenyamanan pasien maupun untuk mengurangi rangsangan saraf yang
diinduksi stress atau sekresi lambung dan pankreas. Meferidan (dimerol) digunakan menggantikan morfin
karena morfin dapat menginduksi spasme sfingter oddi (Sabiston, 1994).

- Pencegahan komplikasi

- Karena sebab utama kematian adalah sepsis maka antibiotika diberikan. Antasid biasanya diberikan
untuk mengurangi pengeluaran asam lambung dan duodenum dan resiko perdarahan sekunder terhadap
gastritis atau duodenitis (Sabiston, 1994).

- Diet

- Tinggi kalori tinggi protein rendah lemak (Barabara C. long, 1996).

- Pemberian enzim pankreas : pankreatin (viakose), pankrelipase (cotozym), pankrease (Barbara

C. long, 1996).

- Fiberoscopy dengan kanulisasi dan spingterotomi oddi (Barbara C. long,1996).

- Intervensi bedah

Terapi bedah mungkin diperlukan dalam kasus pankreatitis akut yang menyertai penyakit batu
empedu. Jika kolesistisis atau obstruksi duktus komunistidak memberikan respon terhadap terapi
konservatif selama 48 jam pertama, maka kolesistosyomi, koleastektimi atau dekompresi duktus
komunis.mungkin diperlukan untuk memperbaiki perjalanan klinik yang memburuk secara progresif.
Sering adanyakolesistisis gangrenosa atau kolengitis sulit disingkirkan dalam waktu singkat dan
intervensi yang dini mungkin diperlukan, tetapi pada umumnya terapi konservatif dianjurkan sampai
pankreatitis menyembuh, dimana prosedur pada saluran empedu bisa dilakukan dengan batas
keamanan yang lebih besar (Sabiston, 1994).

H. DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan nyeri perutnya yang khas, terutama pada orang yang menderita
penyakit batu empedu atau pada alkoholik. Pada pemeriksaan fisik, otot dinding perut tampak kaku. Pada
pemeriksan dengan stetoskop, suara pergerakan usus terdengar berkurang.
Kadar enzim yang dihasilkan oleh pankreas (amilase dan lipase) biasanya meningkat pada hari
pertama namun segera kembali normal pada hari ke3 dan ke7.
Kadang-kadang, kadar enzim ini tidak meningkat karena begitu banyaknya bagian pankreas yang dirusak
sehingga hanya sedikit yang tertinggal dan menghasilkan enzim.
Penderita pankreatitis akut berat memiliki jumlah sel darah merah yang lebih kecil dari normal, karena
adanya perdarahan ke dalam pankreas dan perut.

Pemeriksaan foto rontgen perut standar bisa memperlihatkan pelebaran usus atau memperlihatkan
satu atau lebih batu empedu.
Pemeriksaan USG bisa menunjukkan adanya batu empedu di kandung empedu dan kadang-kadang
dalam saluran empedu, selain itu USG juga bisa menemukan adanya pembengkakan pankreas.

Skening dengan tomografi bisa menunjukkan perubahan ukuran dari pankreas dan digunakan
pada kasus-kasus yang berat dan kasus-kasus dengan komplikasi (misalnya penurunan tekanan darah
yang hebat).
Gambaran yang sangat jelas pada tomografi, membantu dokter dalam menegakkan diagnosis yang
tepat.

Pada pankreatitis akut yang berat, skening tomografi (CT scan) membantu menentukan ramalan
penyakitnya (prognosis). Bila pankreas tampak hanya membengkak ringan, prognosisnya bagus. Bila
tampak kerusakan pada sebagian besar pankreas, maka prognosisnya tidak begitu baik.

Endoskopi kolangiopankreatografi rertograd (tehnik sinar X yang menunjukan struktur dari


saluran empedu dan saluran pankreas) biasanya dilakukan hanya jika penyebabnya adalah batu empedu
pada saluran empedu yang besar.
Endoskopi dimasukkan melalui mulut pasien dan masuk ke dalam usus halus lalu menuju ke sfingter
Oddi. Kemudian disuntikkan zat warna radioopak ke dalam saluran tersebut. Zat warna ini terlihat pada
foto rontgen.
Bila pada rontgen tampak batu empedu, bisa dikeluarkan dengan menggunakan endoskop.

2. Kanker Pankreas (Ca Pankreas)

A. Pengertian

Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua fungsi utama: menghasilkan
enzim pencernaan serta beberapa hormon penting seperti insulin. Pankreas terletak pada bagian
posterior perut dan berhubungan erat dengan duodenum (usus dua belas jari). (Sylvia, 2006). Kanker
berawal dari kerusakan materi genetika atau DNA (Deoxyribo Nuclead Acid) sel. Satu sel saja yang
mengalami kerusakan genetika sudah cukup untuk menghasilkan suatu jaringan baru, sehingga kanker
disebut juga penyakit seluler (Tjokronegoro, 2001). Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan gangguan pertumbuhan seluler dan merupakan kelompok penyakit dan bukan hanya
penyakit tunggal. (Doegoes, 2000).
Kanker Pankreas merupakan tumor ganas yang berasal dari sel-sel Yang melapisi saluran pankreas.
Sekitar 95% tumor ganas pankreas merupakan adenokarsinoma. Tumor-tumor ini lebih sering terjadi
pada laki-laki dan agak lebih sering menyerang orang kulit hitam. Tumor ini jarang terjadi sebelum usia
50 tahun dan rata-rata penyakit ini terdiagnosis pada penderita yang berumur 55 tahun. (Brunner &
Suddarth, 2001).

B. Etiologi

Adapun etiologi dari Kanker Pankreas yaitu :


1. Faktor Resiko Eksogen
Merupakan adenoma yang jinak dan adenokarsinoma yang ganas yang berasal dari sel parenkim
(asiner atau sel duktal) dan tumor kistik. Yang termasuk factor resiko eksogen adalah makanan tinggi
lemak dan kolesterol, pecandu alkohol, perokok, orang yang suka mengkonsumsi kopi, dan beberapa zat
karsinogen.
2. Faktor Resiko Endogen
Contohnya : Penyakit DM, pankreatitis kronik, kalsifikasi pankreas (masih belum jelas, Setyono, 2001)
Penyebaran kanker/tumor dapat langsung ke organ di sekitarnya atau melalui pembuluh darah kelenjar
getah bening. Lebih sering ke hati, peritoneum, dan paru. Tapi agak jarang pada adrenal, Lambung,
duodenum, limpa. Kolestasis Ekstrahepatal. Kanker di kaput pankreas lebih banyak menimbulkan
sumbatan pada saluran empedu disebut Tumor akan masuk dan menginfiltrasi duodenum sehingga
terjadi perdarahan di duodenum. Kanker yang letaknya di korpus dan kauda akan lebih sering mengalami
metastasis ke hati, bisa juga ke limpa. (Setyono, 2001).

C. Insiden

Insiden kanker pankreas terus meningkat sejak 20 hingga 30 tahun yang lalu, khususnya pada orang-
orang yang bukan kulit putih. Kanker pankreas merupakan penyebab kematian terkemuka pada urutan
ke-4 di Amerika Serikat dan paling sering ditemukan pada usia 60 70an tahun. Kebiasaan merokok,
kontak dengan zat kimia industri atau toksin dalam lingkungan, serta diet tinggi lemak,daging atau pun
keduanya. Memiliki hubungan dengan peningkatan insidens kanker pankreas meskipun peranannya
dalam menyebabkan kelainan keganasan ini masih belum jelas seluruhnya. Risiko kanker pankreas akan
meningkat bersamaan dengan tingginya kebiasaan merokok. Pankreas dapat pula menjadi tempat
metastasis dari tumor lain. (KMB Brunner & Suddarth, 2001).

D. Gejala Klinis

Penyakit kanker pankreas dapat tumbuh pada setiap bagian pankreas, adalah pada bagian kaput,
korpus atau kauda dengan menimbulkan gejala klinis yang bervariasi menurut lokasi lesinya dan
bagaiman pulau langerhans yang mensekresikan insulin.
Tumor yang berasal dari kaput pankreas (yang merupakan lokasi paling sering) akan memberikan
gambaran klinik tersendiri. Dalam kenyataannya, karsinoma pankreas memiliki angka keberhasilan hidup
5 tahunan, paling rendah bila dibandingkan dengan karsinoma lainnya. (Tjokronegoro, 2001)
Gejala khas yaitu :Nyeri pada abdomen yag hebat khususnya pada epigastrium. Rasa sakit dan
nyeri tekan pada abdomen yang juga disertai nyeri pada punggung, terjadi akibat iritasi dan edema pada
pankreas sehingga timbul rangsangan pada ujung-ujung saraf. Karena sumbatan pada duktus koledikus
Ikterus .
Kadang-kadang timbul perdarahan gastrointestinal yang terjadi akibat erosi pada duodenum yang
disebabkan oleh tumor pankreas.Gangguan rasa nyaman menyebar sebagai rasa nyeri yang
menjengkelkan ke bagian tengah punggung dan tidak berhubungan dengan postur tubuh maupun
aktivitassinoma pankreas. Serangan nyeri dapat dikurangi dengan duduk membungkuk. Dimana sel-sel
ganas dari kanker pancreas.
Umumnya terjadi ansietas sering terlepas dan masuk ke dalam rongga peritoneum sehingga
meningkatkan kemungkinan terjadinya metastasis. Timbulnya gejala defisiensi insulin yang terdiri atas
glukosuria, Diabetes dapat hiperglikemia dan toleransi glukosa yang abnormal menjadi tanda dini kanker
pankreas.

E. Pemeriksaan Diagnostik

1. Laboratorium
Anemia karena terjadi defisiensi zat besi, nutrisi, perdarahan per anal.
- Amylase serum meningkat.
- TES faal hati bilirubin, serum, SGT, SGOT
- Kadar glukosa darah > 20 %.
2. Pemeriksaan Abdomen
Pada pemeriksaan abdomen akan terasa suatu massa epigastrium. Letak tumor pada peritoneal. Pada
beberapa pasien dapat di raba adanya pembesaran kandung empedu, hepatomegali (akibat
bermetastasis). Bila ditemukan asites maka akan terjadi invasi ke peritoneum.
3. Pemeriksaan Radiologi
ong Pancreatography).Yang paling baik adalah dengan menggunakan ERCP (Endoscopic Retrogade
Cholangi
Dengan memasukkan media control ke dalam canula melalui papilla vateri PTCmerupakan
tindakan Duodenoskop ke dalam duktus pankreatikus. lain yang dapat dilakukan(Percutaneous
Transhepatic Cholangiography) untuk mengenali obstruksi saluran empedu oleh tumor pankreas.
Apabila ada tanda kolestasis ekstrahepatik di ujung duktus koledikus yang tumpul. Ultrasonografi
a. Tanda Primer yaitu pembesaran local pankreas, densitas gema massa yang tampak rendah homogen,
pelebaran saluran pankreas pada kaput timbul gejala pelebaran saluran empedu.
b. Tanda sekunder
4. Pemeriksaan Endoskopi
Akan tampak pendesakan antrum lambung ke ventral.
a. Duodenoskopi
Bila terlihat pembesaran organ di sekitar kurva duodenal yang berbenjol, dengan disertai vaskularisasi.
b. Laparaskopi
5. Pemeriksaan CT
Dapat dilakukan untuk menentukan apakah tumor tersebut masih dapat diangkat melalui pembedahan.
Pada pelebaran saluran pankreas sebagai akibat sumbatan di kaput.
6. Terapi dengan Suportif
Untuk pasien yang sudah memperlihatkan tanda kolestasis ekstrahepatik maka dilakukan dekompresi
dengan cara pengisapan cairan empedu.
7. Prognosis
Pada fase lanjut, prognosis jelek terutama pada pasien yang sama sekali Bila yang masih dikpresi,
hidupnyatidak mendapatkan terapi apapun. dapat diperpanjang.

F. Penatalaksanaan

Tindakan bedah yang harus dilakukan biasanya cukup luas jika kita ingin mengangkat tumor
terlokalisir yang masih dapat direseksi. Namun demikian, terapi bedah yaitu definitive (eksisi total lesi) .
sering tidak mungkin dilakukan karena pertumbuhan yang sudah begitu luas. Tindakan bedah tersebut
sering terbatas pada tindakan paliatif.
Meskipun tumor pankreas mungkin resisten terhadap terapi radiasi standar, pasien dapat diterapi dengan
radioterapi dan kemoterapi (Fluorourasil, 5-FU) . jika pasien menjalani pembedahan, terapi radiasi
introperatif (IORT = Intraoperatif Radiation Theraphy) dapat dilakukan untuk memberikan radiasi dosisi
tinggi pada jaringan tumor dengan cedera yang minimal pada jaringan lain serta dapat mengurangi nyeri
pada terapi radiasi tersebut.
anker Pankreas (Ca pancreas )

G. Diagnosa Keperawatan

Adapun diagnosa keperawatan pada pasien kanker pankreas yaitu :


1. Nyeri berhubungan dengan obstruksi pankreas.
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan obstruksi saluran cerna.
3. Nutrisi, perubahan berhubungan dengan penurunan pemasukan oral.
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan salah interpretasi penyakit atau ketidaktahuan tentang
penyakit tersebut.

H. Intervensi

a. Diagnosa Keperawatan 1
Tujuan : Kontrol nyeri maksimum dengan pengaruh minimum
Kriteria Hasil : Klien mengungkapkan tidak ada nyeri
Intervensi :
1) Tentukan riwayat nyeri, mis: Lokasi nyeri, frekuensi, durasi dan intensitas.
2) Evaluasi terapi tertentu, mis : pembedahan,radiasi, kemoterapi.
3) Berikan tindakan kenyamanan dasar (mis : reposisi) dan aktivitas hiburan Informasi memberikan data
dasar untuk mengevaluasi kebutuhan.
4) Evaluasi penghilang nyeri/control.
b. Diagnosa Keperawatan 2
Tujuan : Kebutuhan jaringan metabolic di tingkatkan begitu juga dengan cairan
Dapat mentriger respons mual/muntah. Mual/muntah psikogenik terjadi sebelum kemoterapi mulai secara
umum tidak berespons terhadap obat antiemetic
Kriteria Hasil : Klien mengungkapkan perasaan nyaman dan bertenaga
Intervensi :
1) Pantau masukan makanan setiap hari, biarkan pasien menyimpan buku harian tentang makanan
sesuai indikasi.
2) Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori kaya nutrient, dengan masukan cairan adekuat.
3) Control faktor lingkungan
4) Mengidentifiksikan kekuatan/defisiensi nutrisi
5) Identifikasi pasien yang mengalami mual/muntah yang di antisipasi.
c. Diagnosa Keperawatan 3
Tujuan : Membantu dalam memelihara kebutuhan cairan dan menurunkan resiko efek samping yg
membahayakan.
Kriteria Hasil : Menunjukkan keadekuatan volume sirkulasi.
Intervensi :
1) Pantau masukan dan haluan dan berat jenis.
2) Pantau tanda vital.
3) Dorong peningkatan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi individu. Keseimbangan
cairan negative terus-menerus, menurunkan haluan renal.
4) Observasi terhadap kecenderungan perdarahan.
d. Diagnosa Keperawatan 4
Tujuan : Membantu mengidentifikasi ide, sikap, rasa takut, kesalahan konsepsi, dan kesenjangan
Kriteria Hasil : Klien mengungkapkan rasa keingintahuannya tentang penyakit yang dideritanya dan klien
mengerti tentang penyakitnya.
Intervensi :
1) Tinjau ulang pasien/orang terdekat pemahaman diagnosa.
2) Tentukan persepsi pasien tentang kanker dan pngobtan kanker.
3) Berikan pedoman antisipasi pada pasien/orang terdekat mengenai menvalidasi tingkat pemahaman
saat ini.
4) Mengidentifikasi kebutuhan belajar.
5) Membantu mengidentifikasi ide, sikap, rasa takut, kesalahan konsepsi
3. Insulinoma

A. DEFINISI
Insulinoma merupakan tumor pankreas yang jarang terjadi, dimana tumor ini menghasilkan insulin,
suatu hormon yang berfungsi menurunkan kadar gula dalam darah. Hanya 10% insulinoma yang bersifat
ganas.

B. PENYEBAB
Penyebabnya tidak diketahui, tetapi resiko terjadinya insulinoma meningkat pada penderita neoplasia
endokrin multipel tipe I.

C. GEJALA
Gejala-gejalanya disebabkan oleh rendahnya kadar gula dalam darah. Gejala ini muncul jika penderita
tidak makan selama berjam-jam, dan paling sering timbul di pagi hari setelah puasa semalaman.

Gejalanya mirip dengan kelainan psikis dan kelainan saraf, yaitu:


- sakit kepala
- linglung
- gangguan penglihatan
- kelemahan otot
- goyah
- perubahan kepribadian.

Rendahnya kadar gula darah bisa menyebabkan penurunan kesadaran, kejang dan koma.
Gejala-gejala yang menyerupai kecemasan atau panik adalah:
- pingsan
- lemah
- gemetar
- palpitasi (jantung berdebar-debar)
- berkeringat
- rasa lapar
- gugup.

D. DIAGNOSA
Diagnosis insulinoma mungkin agak sulit. Penderita biasanya diminta untuk berpuasa minimal selama
24 jam, kadang sampai 72 jam dan dipantau secara ketat, kalau perlu dirawat di rumah sakit. Setelah
berpuasa, biasanya gejala-gejala akan muncul dan dilakukan pemeriksaan darah untuk mengukur kadar
gula dan kadar insulin. Adanya insulinoma ditunjukkan dengan kadar gula yang sangat rendah dan kadar
insulin yang tinggi. Lokasi dari insulinoma ditentukan melalui pemeriksaan CT scan dan USG.

E. PENGOBATAN
Insulinoma diobati melalui pembedahan.
4. Ketoasidosis diabetik
A. Pengertian Diabetik Ketoasidosis

Ketoasidosis diabetik merupakan akibat dari defisiensi berat insulin dan disertai gangguan metabolisme
protein, karbohidrat dan lemak. Keadaan ini terkadang disebut akselerasi puasa dan merupakan
gangguan metabolisme yang paling serius pada diabetes ketergantungan insulin.

B. Etiologi Diabetik Ketoasidosis

Ketoasidosis diabetik dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu akibat hiperglikemiadan akibat ketosis,
yang sering dicetuskan oleh faktor-faktor :

- Infeksi

- Stress fisik dan emosional; respons hormonal terhadap stress mendorong peningkatan proses
katabolik .

- Menolak terapi insulin

C. Diagnosa Keperawatan Diabetik Ketoasidosis

1. Defisit volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik akibat hiperglikemia, pengeluaran cairan
berlebihan : diare, muntah; pembatasan intake akibat mual, kacau mental

2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakcukupan insulin, penurunan
masukan oral, status hipermetabolisme

3. Resiko tinggi terhadap infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa, penurunan
fungsi lekosit, perubahan pada sirkulasi

4. Resiko tinggi terhadap perubahan sensori-perseptual berhubungan dengan ketidkseimbangan


glukosa/insulin dan/atau elektrolit

5. Kelelalahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik, insufisiensi insulin,


peningkatan kebutuhan energi : status hipermetabolik/infeksi

6. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang, ketergantungan pada orang lain

7. Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosis, dan pengoobatan berhubungan dengan


kesalahan menginterpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi

D. Rencana Keperawatan

1. Defisit volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik akibat hiperglikemia, pengeluaran cairan
berlebihan : diare, muntah; pembatasan intake akibat mual
Batasan karakteristik :

- Peningkatan urin output

- Kelemahan, rasa haus, penurunan BB secara tiba-tiba

- Kulit dan membran mukosa kering, turgor kulit jelek

- Hipotensi, takikardia, penurunan capillary refill

Kriteria Hasil :

- TTV dalam batas normal

- Pulse perifer dapat teraba

- Turgor kulit dan capillary refill baik

- Keseimbangan urin output

- Kadar elektrolit normal

E. Intervensi :

1.Kaji riwayat durasi/intensitas mual, muntah dan berkemih berlebihan

Rasional :

Membantu memperkirakan pengurangan volume total. Proses infeksi yang menyebabkan demam dan
status hipermetabolik meningkatkan pengeluaran cairan insensibel.

2.Monitor vital sign dan perubahan tekanan darah orthostatik

Rasional :

Hypovolemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia. Hipovolemia berlebihan dapat
ditunjukkan dengan penurunan TD lebih dari 10 mmHg dari posisi berbaring ke duduk atau berdiri.

3.Monitor perubahan respirasi: kussmaul, bau aceton

Rasional :

Pelepasan asam karbonat lewat respirasi menghasilkan alkalosis respiratorik terkompensasi pada
ketoasidosis. Napas bau aceton disebabkan pemecahan asam keton dan akan hilang bila sudah
terkoreksi

4.Observasi kualitas nafas, penggunaan otot asesori dan cyanosis


Rasional :

Peningkatan beban nafas menunjukkan ketidakmampuan untuk berkompensasi terhadap asidosis

5.Observasi ouput dan kualitas urin.

Rasional :

Menggambarkan kemampuan kerja ginjal dan keefektifan terapi

6.Timbang BB

Rasional :

Menunjukkan status cairan dan keadekuatan rehidrasi

7.Pertahankan cairan 2500 ml/hari jika diindikasikan

Rasional :

Mempertahankan hidrasi dan sirkulasi volume

8.Ciptakan lingkungan yang nyaman, perhatikan perubahan emosional

Rasional :

Mengurangi peningkatan suhu yang menyebabkan pengurangan cairan, perubahan emosional


menunjukkan penurunan perfusi cerebral dan hipoksia

9.Catat hal yang dilaporkan seperti mual, nyeri abdomen, muntah dan distensi lambung

Rasional :

Kekurangan cairan dan elektrolit mengubah motilitas lambung, sering menimbulkan muntah dan
potensial menimbulkan kekurangan cairan & elektrolit

10.Obsevasi adanya perasaan kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi tidak teratur dan
adanya distensi pada vaskuler

Rasional :

Pemberian cairan untuk perbaikan yang cepat mungkin sangat berpotensi menimbulkan beban cairan
dan GJK

Kolaborasi:

-Pemberian NS dengan atau tanpa dextrosa

Rasional :
Pemberian tergantung derajat kekurangan cairan dan respons pasien secara individual

-Albumin, plasma, dextran

Rasional :

Plasma ekspander dibutuhkan saat kondisi mengancam kehidupan atau TD sulit kembali normal

-Pertahankan kateter terpasang

Rasional :

Memudahkan pengukuran haluaran urin

-Pantau pemeriksaan lab :

Hematokrit. Rasional : Mengkaji tingkat hidrasi akibat hemokonsentrasi

BUN/Kreatinin, Rasional : Peningkatan nilai mencerminkan kerusakan sel karena dehidrasi atau awitan
kegagalan ginjal

Osmolalitas darah, Rasional : Meningkat pada hiperglikemi dan dehidrasi

Natrium, Rasional : Menurun mencerminkan perpindahan cairan dari intrasel (diuresis osmotik), tinggi
berarti kehilangan cairan/dehidrasi berat atau reabsorpsi natrium dalam berespons terhadap sekresi
aldosteron

Kalium, Rasional : Kalium terjadi pada awal asidosis dan selanjutnya hilang melalui urine, kadar absolut
dalam tubuh berkurang. Bila insulin diganti dan asidosis teratasi kekurangan kalium terlihat

-Berikan Kalium sesuai indikasi

Rasional :

Mencegah hipokalemia

-Berikan bikarbonat jika pH <7,0

Rasional :

Memperbaiki asidosis pada hipotensi atau syok

-Pasang NGT dan lakukan penghisapan sesuai dengan indikasi

Rasional :

Mendekompresi lambung dan dapat menghilangkan muntah

2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakcukupan


insulin, penurunan masukan oral, status hipermetabolisme

Batasan karakteristik :

- Klien melaporkan masukan butrisi tidak adekuat, kurang nafsu makan

- Penurnan berat badan, kelemahan, tonus otot buruk

- Diare

Kriteria hasil :

- Klien mencerna jumlah kalori/nutrien yang tepat

- Menunjukkan tingkat energi biasanya

- Mendemonstrasikan berat badan stabil atau penambahan sesuai rentang normal

Intervensi :

1.Pantau berat badan setiap hari atau sesuai indikasi

Rasional :

Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat termasuk absorpsi dan utilitasnya

2.Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dihabiskan

Rasional :

Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapetik

3.Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen/perut kembung, mual, muntahan makanan yang
belum dicerna, pertahankan puasa sesuai indikasi

Rasional :

Hiperglikemia dan ggn keseimbangan cairan dan elektrolit dapat menurunkan motilitas/fungsi lambung
(distensi atau ileus paralitik)yang akan mempengaruhi pilihan intervensi.

4.Berikan makanan yang mengandung nutrien kemudian upayakan pemberian yang lebih padat yang
dapat ditoleransi

Rasional :

Pemberian makanan melalui oral lebih baik jika pasien sadar dan fungsi gastrointestinal baik

5.Libatkan keluarga pasien pada perencanaan sesuai indikasi

Rasional :
Memberikan informasi pada keluarga untuk memahami kebutuhan nutrisi pasien

6.Observasi tanda hipoglikemia

Rasional :

Hipoglikemia dapat terjadi karena terjadinya metabolisme karbohidrat yang berkurang sementara tetap
diberikan insulin , hal ini secara potensial dapat mengancam kehidupan sehingga harus dikenali

7.Kolaborasi :

Pemeriksaan GDA dengan finger stick. Rasional : Memantau gula darah lebih akurat daripada reduksi
urine untuk mendeteksi fluktuasi

Pantau pemeriksaan aseton, pH dan HCO3. Rasional : Memantau efektifitas kerja insulin agar tetap
terkontrol

Berikan pengobatan insulin secara teratur sesuai indikasi. Rasional : Mempermudah transisi pada
metabolisme karbohidrat dan menurunkan insiden hipoglikemia

Berikan larutan dekstrosa dan setengah salin normal. Rasional : Larutan glukosa setelah insulim dan
cairan membawa gula darah kira-kira 250 mg/dl. Dengan mertabolisme karbohidrat mendekati normal
perawatan harus diberikan untuk menhindari hipoglikemia

5. Hipoglikemia

A. Pengertian

Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah (glukosa) secara abnormal rendah.
Dalam keadaan normal, tubuh mempertahankan kadar gula darah antara 70-110 mg/dL. Pada diabetes,
kadar gula darah terlalu tinggi; pada hipoglikemia, kadar gula darah terlalu rendah. Kadar gula darah
yang rendah menyebabkan berbagai sistem organ tubuh mengalami kelainan fungsi. Hypoglikemi adalah
konsentrasi glukose darah di bawah 40mg/100ml. Hypoglikemi merupakan keadaan yang serius dan
keadaan semakin gawat jika anak semakin muda.

Sel otak tidak mampu hidup jika kekurangan glukose. Hypoglikemi dapat terjadi berkaitan dengan banyak
penyakit, misalnya pada neonatus dengan ibu diabetes dan mengalami Hyperglikemi in utero, atau
sebagai komplikasi cidera dingin. Selama masa menggigil simpanan glikogen tubuh tidak mencukupi,
tetapi jika dihangatkan terjadi peningkatan kebutuhan glikogen. Simpanan glikogen menurun dan
cadangan tidak dapat memenuhi kebutuhan pada pemanasan (Rosa M Sacharin, 1986).

Otak merupakan organ yang sangat peka terhdap kadar gula darah yang rendah karena glukosa
merupakan sumber energi otak yang utama.
Otak memberikan respon terhadap kadar gula darah yang rendah dan melalui sistem saraf, merangsang
kelenjar adrenal untuk melepaskan epinefrin (adrenalin). Hal in akan merangsang hari untuk melepaskan
gula agar kadarnya dalam darah tetap terjaga. Jika kadarnya menurun, maka akan terjadi gangguan
fungsi otak.

B. Etiologi

Etiologi Hypoglikemi pada diabetes militus (DM)

1. Hypoglikemi pada DM stadium dini

2. Hypoglikemi dalam rangka pengobatan DM

a. Penggunaan insulin

b. Penggunaan sulfonilura

c. Bayi yang lahir dari ibu pasien DM

3. Hypoglikemi yang tidak berkaitan dengan DM

a. Hiperinsulinisme alimeter pascagastrektomi

b. Insulinoma

c. Penyakit hati berat

d. Tumor ekstrapankreatik.: fibrosarkoma, karsinoma ginjal

e. Hipopituitarisme

C. Faktor Predisposisi (Arif Masjoer, 2001)

Faktor predisposisi terjadi hipoglikemia pada pasien yang mendapat pengobatan insulin atau
sulfonilurea:

1. Faktor-faktor yang berkaitan dengan pasien

a. Pengurangan / keterlambatan makan

b. Kesalahan dosis obat

c. Latihan jasmani yang berlebihan

d. Perubahan tempat suntikan insulin

e. Penurunan kebutuhan insulin

1) Penyembuhan dari penyakit


2) Nefropati diabetik

3) Penyakit Addison

4) Hipotirodisme

5) Hipopituitarisme

f. Hari-hari pertama persalinan

g. Penyakit hati berat

h. Gastroparesis diabetik

2. Faktor-faktor yang berkaitan dengan dokter

a. Pengendalian glukosa darah yang ketat

b. Pemberian obat-obat yang mempunyai potensi hipogliklemik

c. Penggantian jenis insulin

D. Patogenesis (Arif Masjoer, 2001)

Pada waktu makan cukup tersedia sumber energi yang diserap dari usus. Kelebihan energi
disimpan sebagai makromolekul dan dinamakan fase anabotik. 60% dari glukosa yang di serap usus
dengan pengaruh insulin akan di simpan di hati sebagai glikogen, sebagian dari sisanya akan disimpan di
jaringan lemak dan otot sebagai glikogen juga. Sebagian lagi dari glukosa akan mengalami metabolisme
anaerob maupun aerob untuk energi seluruh jaringan tubuh terutama otak sekitar 70% pemakaian
glukosa berlangsung di otak tidak dapat menggunakan asam lemak bebas sebagai sumber energi.

Pencernaan dan penyerapan protein akan menimbulkan peningkatan asam amino di dalam
darah yang dengan bantuan insulin akan disimpan di hati dan otak sebagai protein. Lemak diserap dari
usus melalui saluran limfe dalam bentuk kilomikron yang kemudian akan dihidrolasi oleh lipoprotein
lipase menjadi asam lemak. Asam lemak akan mengalami esterifikasi dengan gliserol membentuk
trigliserida, yang akan disimpan di jaringan lemak. Proses tersebut berlangsung dengan bantuan insulin.

Pada waktu sesudah makan atau sesudah puasa 5-6 jam, kadar glukosa darah mulai turun keadaan ini
menyebabkan sekresi insulin juga menurun, sedangkan hormon kontraregulator yaitu glukagon, epinefrin,
kartisol, dan hormon pertumbuhan akan meningkat. Terjadilah keadaan kortison sebaliknya (katabolik)
yaitu sintetis glikogen, protein dan trigliserida menurun sedangkan pemecahan zat-zat tersebut akan
meningkat.

Pada keadaan penurunan glukosa darah yang mendadak: glukogen dan epinefrilah yang sangat
berperan. Kedua hormon tersebut akan memacu glikogenolisis, glukoneogenisis, dan proteolisis di otot
dan lipolisis di jaringan lemak. Dengan demikian tersedia bahan untuk glukoneogenesis yaitu asam
amino terutama alanin, asam laktat, piruvat, sedangkan hormon, kontraregulator yang lain berpengaruh
sinergistk glukogen dan adrenalin tetapi perannya sangat lambat. Secara singkat dapat dikatakan dalam
keadaan puasa terjadi penurunan insulin dan kenaikan hormon kontraregulator. Keadaan tersebut akan
menyebabkan penggunaan glukosa hanya di jaringan insulin yang sensitif dan dengan demikian glukosa
yang jumlahnya terbatas hanya disediakan untuk jaringan otak.

Walaupun metabolik rantai pendek asam lemak bebas, yaitu asam asetoasetat dan asam
hidroksi butiran (benda keton) dapat digunakan oleh otak untuk memperoleh energi tetapi pembentukan
benda-benda keton tersebut memerlulan waktu beberapa jam pada manusia. Karena itu ketogenesis
bukan merupakan mekanisme protektif terhadap terjadinya hipoglikemia yang mendadak.

Selama homeostatis glukosa tersebut di atas berjalan, hipoglikemia tidak akan terjadi.
Hipoglikemia terjadi jika hati tidak mampu memproduksi glukosa karena penurunan bahan pembentukan
glukosa, penyakit hati atau ketidakseimbangan hormonal.

E. Manifestasi klinis (Arif Masjoer 2001)

Gejala-gejala hipoglikemia terjadi dari dua fase, yaitu:

1. fase I gejala-gejala akibat aktifitas pusat autonom di hipotalomus sehingga hormon epinefrin
dilepaskan. Gejala awal ini merupakan peringatan karena saat itu pasien masih sadar sehingga dapat
diambil tindakan yang perlu untuk mengatasi hipoglikemia lanjutan.

2. fase II, gejala-gejala yang terjadi akibat mulai terganggunya fungsi otak, karena itu dinamakan gejala
neurologis.

Penelitian pada orang bukan diabetes menunjukkan adanya gangguan fungsi otak yang lebih
awal dari fase I dan dinamakan gangguan fungsi otak subliminal. Di samping gejala peringatan dan
neurologist, kadang-kadang hipoglikemia, menunjukan gejala yang tidak khas. Peringatan kadang-
kadang gejala fase adrienergik tidak muncul dan pasien langsung jatuh pada fase gangguan fungsi otak.
Terdapat dua jenis hilangnya kewaspadaan yaitu akut dan kronik.

Hipoglikemia bisa disebabkan oleh:

Pelepasan insulin yang berlebihan oelh pankreas

Dosis insulin atau obat lainnya yang terlalu tinggi, yang diberikan kepada penderita diabetes untuk
menurunkan kadar gula darahnya

Kelainan pada kelenjar hipofisa atau kelenjar adrenal

Kelaiana pada penyimpanan karbohidra atau pembentukan glukosa di hati.

Secara umum, hipogklikemia dapat dikategorikan sebagai yang berhubungan dengan obat dan yang
tidak berhubungan dengan obat. Sebagian besar kasus hipoglikemia terjadi pada penderita diabetes dan
berhubungan dengan obat.

Hipoglikemia yang tidak berhubungan dengan obat lebih jauh dapat dibagi lagi menjadi:

- Hipoglikemia karena puasa, dimana hipoglikemia terjadi setelah berpuasa


- Hipoglikemia reaktif, dimana hipoglikemia terjadi sebagai reaksi terhadap makan, biasanya karbohidrat.

Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh insulin atau obat lain (sulfonilurea) yang diberikan
kepada penderita diabetes untuk menurunkan kadar gula darahnya. Jika dosisnya lebih tinggi dari
makanan yang dimakan maka obat ini bisa terlalu banyak menurunkan kadar gula darah.

Penderita diabetes berat menahun sangat peka terhadap hipoglikemia berat.

Hal ini terjadi karena sel-sel pulau pankreasnya tidak membentuk glukagon secara normal dan
kelanjar adrenalnya tidak menghasilkan epinefrin secara normal. Padahal kedua hal tersebut merupakan
mekanisme utama tubuh untuk mengatasi kadar gula darah yang rendah.

Pentamidin yang digunakan untuk mengobati pneumonia akibat AIDS juga bisa menyebabkan
hipoglikemia. Hipoglikemia kadang terjadi pada penderita kelainan psikis yang secara diam-diam
menggunakan insulin atau obat hipoglikemik untuk dirinya.

Pemakaian alkohol dalam jumlah banyak tanpa makan dalam waktu yang lama bisa
menyebabkan hipoglikemia yang cukup berat sehingga menyebabkan stupor. Olah raga berat dalam
waktu yang lama pada orang yang sehat jarang menyebabkan hipoglikemia. Puasa yang lama bisa
menyebabkan hipoglikemia hanya jika terdapat penyakit lain (terutama penyakit kelenjar hipofisa atau
kelenjar adrenal) atau mengkonsumsi sejumlah besar alkohol. Cadangan karbohidrat di hati bisa
menurun secara perlahan sehingga tubuh tidak dapat mempertahankan kadar gula darah yang adekuat.

Pada orang-orang yang memiliki kelainan hati, beberapa jam berpuasa bisa menyebabkan
hipoglikemia. Bayi dan anak-anak yang memiliki kelainan sistem enzim hati yang memetabolisir gula bisa
mengalami hipoglikemia diantara jam-jam makannya.

Seseorang yang telah menjalani pembedahan lambung bisa mengalami hipoglikemia diantara jam-jam
makannya (hipoglikemia alimenter, salah satu jenis hipoglikemia reaktif). Hipoglikemia terjadi karena gula
sangat cepat diserap sehingga merangsang pembentukan insulin yang berlebihan. Kadar insulin yang
tinggi menyebabkan penurunan kadar gula darah yang cepat.

Hipoglikemia alimentari kadang terjadi pada seseorang yang tidak menjalani pembedahan.
Keadaan ini disebut hipoglikemia alimentari idiopatik.

Jenis hipoglikemia reaktif lainnya terjadi pada bayi dan anak-anak karena memakan makanan yang
mengandung gula fruktosa dan galaktosa atau asam amino leusin. Fruktosa dan galaktosa menghalangi
pelepasan glukosa dari hati; leusin merangsang pembentukan insulin yang berlebihan oleh pankreas.

Akibatnya terjadi kadar gula darah yang rendah beberapa saat setelah memakan makanan yang
mengandung zat-zat tersebut.

Hipoglikemia reaktif pada dewasa bisa terjadi setelah mengkonsumsi alkohol yang dicampur
dengan gula (misalnya gin dan tonik). Pembentukan insulin yang berlebihan juga bisa menyebakan
hipoglikemia. Hal ini bisa terjadi pada tumor sel penghasil insulin di pankreas (insulinoma). Kadang tumor
diluar pankreas yang menghasilkan hormon yang menyerupai insulin bisa menyebabkan hipoglikemia.

Penyebab lainnya adalah penyakti autoimun, dimana tubuh membentuk antibodi yang
menyerang insulin. Kadar insulin dalam darah naik-turun secara abnormal karena pankreas
menghasilkan sejumlah insulin untuk melawan antibodi tersebut. Hal ini bisa terjadi pada penderita atau
bukan penderita diabetes. Hipoglikemia juga bisa terjadi akibat gagal ginjal atau gagal jantung, kanker,
kekurangan gizi, kelainan fungsi hipofisa atau adrenal, syok dan infeksi yang berat. Penyakit hati yang
berat (misalnya hepatitis virus, sirosis atau kanker) juga bisa menyebabkan hipoglikemia.

F. Gejala

Pada awalnya tubuh memberikan respon terhadap rendahnya kadar gula darh dengan
melepasakan epinefrin (adrenalin) dari kelenjar adrenal dan beberapa ujung saraf. Epinefrin merangsang
pelepasan gula dari cadangan tubuh tetapi jugamenyebabkan gejala yang menyerupai serangan
kecemasan (berkeringat, kegelisahan, gemetaran, pingsan, jantung berdebar-debar dan kadang rasa
lapar) tiba-tiba.

Hal ini paling sering terjadi pada orang yang memakai insulin atau obat hipoglikemik per-oral.
Pada penderita tumor pankreas penghasil insulin, gejalanya terjadi pada pagi hari setelah puasa
semalaman, terutama jika cadangan gula darah habis karena melakukan olah raga sebelum sarapan
pagi. Pada mulanya hanya terjadi serangan hipoglikemia sewaktu-waktu, tetapi lama-lama serangan
lebih sering terjadi dan lebih berat.

G. Diagnosa

Gejala hipoglikemia jarang terjadi sebelum kadar gula darah mencapai 50 mg/dL. Diagnosis
hipoglikemia ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya dan hasil pemeriksaan kadar gula darah.
Penyebabnya bisa ditentukan berdasarkan riwayat kesehatan penderita, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium sederhana. Jika dicurigai suatu hipoglikemia autoimun, maka dilakukan
pemeriksaan darah untuk mengetahui adanya antibodi terhadap insulin.

Untuk mengetahui adanya tumor penghasil insulin, dilakukan pengukuran kadar insulin dalam darah
selama berpuasa (kadang sampai 72 jam).

Pemeriksaan CT scan, MRI atau USG sebelum pembedahan, dilakukan untuk menentukan lokasi tumor.

H. Pengobatan

Gejala hipoglikemia akan menghilang dalam beberapa menit setelah penderita mengkonsumsi
gula (dalam bentuk permen atau tablet glukosa) maupun minum jus buah, air gula atau segelas susu.
Seseorang yang sering mengalami hipoglikemia (terutama penderita diabetes), hendaknya selalu
membawa tablet glukosa karena efeknya cepat timbul dan memberikan sejumlah gula yang konsisten.

Baik penderita diabetes maupun bukan, sebaiknya sesudah makan gula diikuti dengan makanan yang
mengandung karbohidrat yang bertahan lama (misalnya roti atau biskuit). Jika hipoglikemianya berat dan
berlangsung lama serta tidak mungkin untuk memasukkan gula melalui mulut penderita, maka diberikan
glukosa intravena untuk mencegah kerusakan otak yang serius.

Seseorang yang memiliki resiko mengalami episode hipoglikemia berat sebaiknya selalu
membawa glukagon. Glukagon adalah hormon yang dihasilkan oleh sel pulau pankreas, yang
merangsang pembentukan sejumlah besar glukosa dari cadangan karbohidrat di dalam hati. Glukagon
tersedia dalam bentuk suntikan dan biasanya mengembalikan gula darah dalam waktu 5-15 menit. Tumor
penghasil insulin harus diangkat melalui pembedahan.

Sebelum pembedahan, diberikan obat untuk menghambat pelepasan insulin oleh tumor (misalnya
diazoksid). Bukan penderita diabetes yang sering mengalami hipoglikemia dapat menghindari serangan
hipoglikemia dengan sering makan dalam porsi kecil

6.SOP PERAWATAN LUKA GANGREN

Luka kotor adalah luka yang terinfeksi. Gangren adalah luka yang terinfeksi disertai dengan adanya
jaringan yang mati. Oleh karena itu perlu diganti balutan secara khusus gunanya untuk :

- Mencegah meluasnya infeksi

- Memberi rasa nyaman pada klien

Operasional dilakukan pada :

- Luka terbuka / kotor

- Luka gangren

PERSIAPAN

Persiapan Alat

a. Alat Seteril ( bak instrument bersisi ) :

- 2 Pinset anatomi

- 2 pinset chirurgis

- 1 klem arteri

- 1 gunting jaringan

- 1 klem kocher

- Kassa dan deppers seteril

a. Alat Tidak Seteril

- Bethadine

- Larutan NaCl 0,9 %


- Handscone

- Kom kecil

- Verban dan plester

- Perlak

- Tempat cuci tangan

- Bengkok berisi larutan desinfektan ( Lysol )

- Sampiran jika perlu

- Masker jika perlu

- Schort bila perlu

- Obat-obatan sesuai program medis

Persiapan Pasien

Pasien diberi penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan dan klien disiapkan pada posisi yang
nyaman

PELAKSANAAN

1. Seperangkat instrument didekatkan pada pasien

2. Pasien diberitahu tentang tindakan yang akan dilakukan

3. Perawat cuci tangan dan pasang sampiran

4. Memasang perlak dibaeah daerah yang akan diganti balutanya

5. Memakai hansscone

6. Membuka balutan dan membuang balutan lama ke tempat sampah yang telah disediakan

7. Membersihkan luka demaksud dengan kassa seteril yang telah di basahi dengan NaCl dan bethadine
kemudian membuang bagian-bagian yang kotor atau jaringan nekrotik

8. Membersihkan dengan arah kedalam dan keluar

9. Mengompres luka dengan bethadine atau dengan obat yang ditentukan oleh dokter, sampai tertutup
semuanya
10. menutup luka dengan kassa seteril kering

11. Membalut luka dengan verban

12. Meletakan alat-alat yang telah selesai dipergunakan kedalam bengkok yang berisi dengan laritan
desinfektan

13. Alat alat dibereskan dan dikembalikan ketempatnya semula

1. Perawat cuci tangan

EVALUASI

Mencatat hasil tindakan perawatan luka darin pada dokumen keperawatan :

Perhatian :

- Perhatikan teknik asepthik dan antiseptik

- Jaga privasi klien

- Perhatikan jika ada pus / jaringan nekrotik

7. Cara pemberian insulin


Insulin kerja singkat :

IV, IM, SC
Infus ( AA / Glukosa / elektrolit )
Jangan bersama darah ( mengandung enzim merusak insulin )
Insulin kerja menengah / panjang :
Jangan IV karena bahaya emboli.
Pemberian insulin secara sliding scale dimaksudkan agar pemberiannya lebih efisien dan tepat karena
didasarkan pada kadar gula darah pasien pada waktu itu. Gula darah diperiksa setiap 6 jam sekali.
Dosis pemberian insulin tergantung pada kadar gula darah, yaitu :

Gula darah

< 60 mg % = 0 unit

< 200 mg % = 5 8 unit

200 250 mg% = 10 12 unit

250 - 300 mg% = 15 16 unit


300 350 mg% = 20 unit

> 350 mg% = 20 24 unit

Teknik Penyuntikan Insulin

Sebelum menggunakan insulin, diabetesein ataupun keluarga tentunya perlu untuk diberikan
pengetahuan dan wawasan mengenai cara dan prosedur menyuntikkan insulin eksogen;

1 Sebelum menyuntikkan insulin, kedua tangan dan daerah yang akan disuntik haruslah bersih.
Bersihkanlah dengan cairan alkohol 70% dengan menggunakan kapas bersih dan steril.

2 Tutup vial insulin harus diusap dengan cairan alkohol 70%.

3 Untuk semua insulin, kecuali insulin kerja cepat, harus digulung-gulung secara perlahan-lahan denga
kedua telapak tangan. Hal ini bertujuan untuk melarutkan kembali suspensi. (Jangan dikocok).

4 Ambillah udara sejumlah insulin yang akan diberikan. Lalu suntikkanlah ke dalam vial untuk mencegah
terjadi ruang vakum dalam vial. Hal ini terutama diperlukan bila akan dipakai campuran insulin.

5 Bila mencampur insulin kerja cepat dengan kerja cepat harus diambil terlebih dahulu.

6 Setelah insulin masuk ke dalam alat suntik, periksa apakah mengandung gelembung atau tidak. Satu
atau dua ketukan pada alat suntik dalam posisi tegak akan dapat mengurangi gelembung tersebut.
Gelembung yang ada sebenarnya tidaklah terlalu membahayakan, namun dapat mengurangi dosis
insulin.

7 Penyuntikan dilakukan pada jaringan bawah kulit (subkutan). Pada umumnya suntikan dengan sudut
90 derajad. Pada pasien kurus dan anak-anak, kulit dijepit dan insulin disuntikkan dengan sudut 45
derajat agar tidak terjadi penyuntikkan otot (intra muskular).

Perlu diperhatikan daerah mana saja yang dapat dijadikan tempat menyuntikkan insulin. Bila kadar
glukosa darah tinggi, sebaiknya disuntikkan di daerah perut dimana penyerapan akan lebih cepat. Namun
bila kondisi kadar glukosa pada darah rendah, hindarilah penyuntikkan pada daerah perut.

Secara urutan, area proses penyerapan paling cepat adalah dari perut, lengan atas dan paha. Insulin
akan lebih cepat diserap apabila daerah suntikkan digerak-gerakkan. Penyuntikkan insulin pada satu
daerah yang sama dapat mengurangi variasi penyerapan.

Penyuntikkan insulin selalu di daerah yang sama dapat merangsang terjadinya perlemakan dan
menyebabkan gangguan penyerapan insulin. Daerah suntikkan sebaiknya berjarak 1inchi (+ 2,5cm) dari
daerah sebelumnya.

Lakukanlah rotasi di dalam satu daerah selama satu minggu, lalu baru pindah ke daerah yang lain.
Bila proses penyuntikkan terasa sakit atau mengalami perdarahan setelah proses penyuntikkan, maka
daerah tersebut sebaiknya ditekan selama 5-8 detik. Untuk mengurangi rasa sakit pada waktu
penyuntikkan dapat ditempuh usaha-usaha sebagai berikut:

1. Menyuntik dengan suhu kamar


2. Pastikan bahwa dalam alat suntik tidak terdapat gelembung udara
3. Tunggulah sampai alkohol kering sebelum menyuntik
4. Usahakanlah agar otot daerah yang akan disuntik tidak tegang
5. Tusuklah kulit dengan cepat
6. Jangan merubah arah suntikkan selama penyuntikkan atau mencabut suntikan
7. Jangan menggunakan jarum yang sudah tampak tumpul

Jenis alat suntik (syringe) insulin

1. Siring (syringe) dan jarumSiring dari bahan kaca sulit dibersihkan, mudah pecah dan sering menjadi
kurang akurat.Siring yang terbaik adalah siring yang terbuat dari plastik sekali pakai. Walaupun banyak
pasien diabetes yang menggunakan lebih dari sekali pakai, sangat disarankan hanya dipakai sekali saja
setelah itu dibuang.

2. Pena insulin (Insulin Pen)Siring biasanya tertalu merepotkan dan kebanyakan pasien diabetes lebih
suka menggunakan pena insulin. Alat ini praktis, mudah dan menyenangkan karena nyaris tidak
menimbulkan nyeri. Alat ini menggabungkan semua fungsi didalam satu alat tunggal.

3. Pompa insulin (Insulin Pump)Pompa insulin (insulin pump) diciptakan untuk mneyediakan insulin
secara berkesinambungan. Pompa harus disambungkan kepada pasien diabetes (melalui suatu tabung
dan jarum). Gula (Glucose) darah terkontrol dengan sangat baik dan sesuai dengan kebutuhan.
Penyimpanan Insulin Eksogen

Bila belum dipakai :

Sebaiknya disimpan 2-8 derajat celcius (jangan sampai beku), di dalam gelap (seperti di lemari
pendingin, namun hindari freezer.

Bila sedang dipakai :

Suhu ruang 25-30 derajat celcius cukup untuk menyimpan selama beberapa minggu, tetapi janganlah
terkena sinar matahari.

Sinar matahari secara langsung dapat mempengaruhi percepatan kehilangan aktifitas biologik sampai
100 kai dari biasanya.

Suntikkan dalam bentuk pena dan insulin dalam suntikkan tidak perlu disimpan di lemari pendingin
diantara 2 waktu pemberian suntikkan.

Bila tidak tersedia lemari pendingin, simpanlah insulin eksogen di tempat yang teduh dan gelap.

Efek samping penggunaan insulin

Hipoglikemia
Lipoatrofi
Lipohipertrofi
Alergi sistemik atau lokal
Resistensi insulin
Edema insulin
Sepsis
Hipoglikemia merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan dapat terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian antara diet, kegiatan jasmani dan jumlah insulin. Pada 25-75% pasien yang diberikan
insulin konvensional dapat terjadi Lipoatrofi yaitu terjadi lekukan di bawah kulit tempat suntikan akibat
atrofi jaringan lemak. Hal ini diduga disebabkan oleh reaksi imun dan lebih sering terjadi pada wanita
muda terutama terjadi di negara yang memakai insulin tidak begitu murni. Lipohipertrofi yaitu
pengumpulan jaringan lemak subkutan di tempat suntikan akibat lipogenik insulin. Lebih banyak
ditemukan di negara yang memakai insulin murni. Regresi terjadi bila insulin tidak lagi disuntikkan di
tempat tersebut.
Reaksi alergi lokal terjadi 10x lebih sering daripada reaksi sistemik terutama pada penggunaan sediaan
yang kurang murni. Reaksi lokal berupa eritem dan indurasi di tempat suntikan yang terjadi dalam
beberpa menit atau jam dan berlagsung.

Selama beberapa hari. Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu sesudah pengobatan insulin dimulai.
Inflamasi lokal atau infeksi mudah terjadi bila pembersihan kulit kurang baik, penggunaan antiseptiK yang
menimbulkan sensitisasi atau terjadinya suntikan intrakutan, reaksi ini akan hilang secara spontan.
Reaksi umum dapat berupa urtikaria, erupsi kulit, angioudem, gangguan gastrointestinal, gangguan
pernapasan dan yang sangat jarang ialah hipotensi dan shock yang diakhiri kematian.
Interaksi

Beberapa hormon melawan efek hipoglikemia insulin misalnya hormon pertumbuhan, kortikosteroid,
glukokortikoid, tiroid, estrogen, progestin, dan glukagon. Adrenalin menghambat sekresi insulin dan
merangsang glikogenolisis. Peningkatan hormon-hormon ini perlu diperhitungkan dalam pengobatan
insulin.

Guanetidin menurunkan gula darah dan dosis insulin perlu disesuaikan bila obat ini ditambahkan /
dihilangkan dalam pengobatan. Beberapa antibiotik (misalnya kloramfenikol, tetrasiklin), salisilat dan
fenilbutason meningkatkan kadar insulin dalam plasma dan mungkin memperlihatkan efek hipoglikemik.

Hipoglikemia cenderung terjadi pada penderita yang mendapat penghambat adrenoseptor , obat ini juga
mengaburkan takikardi akibat hipoglikemia. Potensiasi efek hipoglikemik insulin terjadi dengan
penghambat MAO, steroid anabolik dan fenfluramin.

Pankreatitis akut adalah peradangan yang terjadi di dalam pankreas dalam waktu yang
cukup singkat.

Pankreas sendiri merupakan sebuah organ berukuran kecil yang terletak di belakang
organ lambung dan di bawah tulang iga. Organ ini memproduksi enzim-enzim yang
berfungsi mencerna karbohidrat, lemak, dan protein dari makanan yang kita makan,
dan membantu metabolisme dalam tubuh melalui produksi hormon.

Meskipun berlangsung relatif singkat, peradangan yang ditimbulkan oleh pankreatitis


akut dapat menyebabkan kerusakan serius pada pankreas serta komplikasi fatal.
Penyebab pankreatitis akut
Secara umum, enzim-enzim pencernaan yang diproduksi pankreas hanya akan
teraktivasi saat sudah mencapai usus halus. Dalam kasus pankreatitis akut, enzim
tersebut teraktivasi di dalam pankreas dan memicu reaksi kimia yang dapat
mengakibatkan peradangan pada pankreas. Meskipun terdapat beberapa faktor yang
dipercaya menjadi pemicu utama, seperti penyumbatan batu empedu dan minuman
beralkohol, belum ada bukti spesifik yang mendukung mengapa hal tersebut terjadi.
Selain konsumsi minuman beralkohol dan penyumbatan batu empedu, ada beberapa
hal lain yang diduga bisa menyebabkan pankreatitis akut terjadi. Di antaranya adalah
kerusakan pankreas akibat cedera atau operasi di bagian perut, hipertrigliserida (kadar
trigliserida darah yang tinggi), kadar kalsium tinggi dalam darah, infeksi, parasit, efek
samping antibiotik dan kemoterapi, kelainan autoimun, serta penyakit fibrosis kistik.

Pankreatitis akut bisa diderita oleh segala kelompok usia, meskipun umumnya terjadi
pada kelompok usia paruh baya hingga tua. Pada laki-laki, penyakit ini biasanya terkait
dengan konsumsi minuman beralkohol. Sedangkan pada perempuan, pankreatitis akut
biasanya terkait dengan batu empedu. Risiko terkena pankreatitis akut berat pun
meningkat jika sudah memasuki usia di atas 70 tahun, perokok, pecandu minuman
beralkohol, dan penderita obesitas.

Gejala Pankreatitis Akut


Pankreatitis akut biasanya ditandai dengan gejala berupa:

Nyeri tumpul hebat (rasa sakit seperti ditekan atau diremas) di sekitar bagian perut atas. Nyeri
ini bisa bertambah buruk dan menjalar sepanjang punggung hingga bagian bawah tulang
belikat kiri.

Demam.

Mual atau muntah.

Diare.

Perut terasa sakit saat disentuh atau mengalami pembengkakan.

Kulit dan bagian putih mata menjadi menguning (penyakit kuning).


Rasa nyeri yang dirasakan bisa terasa memburuk dengan cepat, apalagi saat penderita berbaring,
makan (terutama makanan berlemak), dan minum.

Pada kasus yang disebabkan oleh alkohol, gejala nyeri pankreatitis akut biasanya muncul dalam
waktu enam hingga 12 jam setelah penderita mengonsumsi minuman beralkohol. Sedangkan
pada kasus pankreatitis akut yang dipicu oleh batu empedu, gejala nyeri biasanya muncul setelah
penderita mengonsumsi makanan dalam porsi besar.

Selain itu, gejala dehidrasi atau hipotensi dapat terjadi ketika kondisi memburuk dan
mempengaruhi organ tubuh lainnya, seperti jantung, paru-paru, atau ginjal. Segera temui dokter
jika gejala terus dialami agar dapat dilakukan pemeriksaan.

Diagnosis Pankreatitis Akut


Selain menanyakan gejala yang dirasakan pasien dan melakukan pemeriksaan fisik pada area
yang dirasa sakit, pemeriksaan lebih spesifik juga perlu dilakukan. Dokter akan melakukan
pemeriksaan lanjutan untuk menentukan tingkat keparahan pankreatitis akut serta risiko adanya
masalah serius atau komplikasi lainnya, misalnya gagal organ.

Beberapa pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan tersebut di antaranya adalah:

Pemeriksaan darah untuk menentukan kadar amilase dan lipase pankreas.


Pemindaian dengan USG, CT scan, atau MRI.
Endoskopi pankreas (ERCP), yaitu metode pemeriksaan menggunakan selang khusus berkamera yang
dimasukkan ke dalam saluran pankreas melalui mulut. Metode ini umumnya akan dilanjutkan dengan
pengambilan foto Rontgen atau biopsi apabila diperlukan.

Pengobatan Pankreatitis Akut


Pankreatitis akut diobati dan dipantau di rumah sakit. Pengobatan suportif, seperti oksigen dan
cairan infus, akan diberikan. Selain itu juga obat-obatan pereda sakit atau antibiotik apabila
jaringan di sekitar pankreas terinfeksi.

Pada kasus yang cukup berat, pasien tidak boleh mengonsumsi makanan padat karena akan
membuat pankreas bekerja keras, sehingga memerlukan pemberian nutrisi cair lewat selang yang
dimasukkan melalui hidung. Biasanya makanan padat tidak akan diberikan sampai pasien pulih
sepenuhnya.

Sebagian besar pasien pankreas akut diperbolehkan pulang ke rumah setelah menjalani
perawatan selama lima hingga sepuluh hari. Untuk kasus parah (terutama yang telah berkembang
menjadi komplikasi), pengobatan akan membutuhkan waktu lebih lama dan mungkin dilakukan
di ruang perawatan intensif atau ICU.

Setelah kondisi pasien stabil, penyebab yang mendasari perlu ditangani. Jika pankreatitis akut
disebabkan oleh penyumbatan batu empedu, maka prosedur pengangkatan batu empedu melalui
pembedahan biasa ataupun bedah endoskopik perlu dilakukan. Pengobatan batu empedu
biasanya dilakukan di rumah sakit melalui rawat inap, sehingga memudahkan dokter untuk
memantau kondisi pasien, serta mencegah kondisi menjadi semakin memburuk.

Jika pankreatitis akut disebabkan oleh kecanduan minuman beralkohol, maka pasien akan
diminta untuk menghentikan kebiasaan tersebut, misalnya melalui rehabilitasi, konseling rutin,
atau pemberian obat acamprosate yang dapat menurunkan keinginan mengonsumsi minuman
beralkohol.

Komplikasi Pankreatitis Akut


Beberapa komplikasi yang bisa muncul akibat pankreatitis akut adalah:

Pankreatitis kronis atau kondisi dimana pankreas mengalami peradangan dan kerusakan secara permanen.

Pseudocysts atau munculnya kantung-kantung cairan di permukaan pankreas yang dapat menimbulkan
gejala perut kembung, nyeri perut, dan gangguan pencernaan.
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), yaitu menyebarnya peradangan pankreas ke seluruh
tubuh sehingga menyebabkan satu atau lebih organ mengalami kegagalan fungsi. Kondisi ini ditandai
dengan napas dan detak jantung cepat, serta demam tinggi.
Nekrosis pankreas atau kematian jaringan pankreas akibat terganggunya pasokan darah ke organ tersebut.
Jaringan yang mati ini rentan terhadap infeksi bakteri. Jika tidak segera ditangani maka efeknya bisa
seperti SIRS yang mana bakteri dapat menyebar melalui darah dan merusak organ lainnya.

Pencegahan Pankreatitis Akut


Karena pankreatitis akut erat kaitannya dengan konsumsi minuman beralkohol dan penyumbatan
batu empedu, maka langkah pencegahan yang paling efektif adalah dengan cara menghindari dua
faktor risiko tersebut, misalnya:

Mengurangi atau menghentikan konsumsi minuman beralkohol.

Menghindari atau membatasi makanan berkolesterol tinggi guna mencegah terbentuknya batu empedu,
seperti daging berlemak, makanan berminyak, dan makanan-makanan yang mengandung banyak
mentega.

Mengonsumsi makanan yang kaya akan serat, seperti sayur, buah, dan biji-bijian utuh.

Pankreatitis akut juga rentan dialami penderita obesitas, karena itu penerapan diet dan olahraga
secara teratur diperlukan sebagai langkah pencegahan.
Chronic Metabolic Acidosis Destroys Pancreas

Peter Melamed, Felix Melamed

Biotherapy Clinic of San Francisco. San Francisco, CA, USA

ABSTRACT

One primary reason for the current epidemic of digestive disorders might be chronic metabolic
acidosis, which is extremely common in the modern population. Chronic metabolic acidosis primarily
affects two alkaline digestive glands, the liver, and the pancreas, which produce alkaline bile and
pancreatic juice with a large amount of bicarbonate. Even small acidic alterations in the bile and
pancreatic juice pH can lead to serious biochemical/biomechanical changes. The pancreatic digestive
enzymes require an alkaline milieu for proper function, and lowering the pH disables their activity. It
can be the primary cause of indigestion. Acidification of the pancreatic juice decreases its antimicrobial
activity, which can lead to intestinal dysbiosis. Lowering the pH of the pancreatic juice can cause
premature activation of the proteases inside the pancreas with the potential development of
pancreatitis. The acidification of bile causes precipitation of the bile acids, which irritate the entire
biliary system and create bile stone formation. Aggressive mixture of the acidic bile and the pancreatic
juice can cause erratic contractions of the duodenums walls and subsequent bile reflux into the
stomach and the esophagus. Normal exocrine pancreatic function is the core of proper digestion.
Currently, there is no effective and safe treatment for enhancing the exocrine pancreatic function.
Restoring normal acid-base homeostasis can be a useful tool for pathophysiological therapeutic
approaches for various gastrointestinal disorders. There is strong research and practical evidence that
restoring the HCO3- capacity in the blood can improve digestion.

Introduction

Over the last sixty years, there has been an increase in digestive disorders, especially in the
U.S. and developed countries. This increase cannot be explained solely by genetic factors,
so the environmental causes come to the light of scientists and doctors. The Burden of
Digestive Diseases in the United States might illustrate the medical statistic [1-4].
Researchers from the Mayo Clinic College of Medicine USA, in the study of more than
21,000 Americans, found that the prevalence of an average of one or more upper GI
symptoms during the last 3 months was 44.9% [5].
There are 60 to 70 million people affected by digestive diseases in the U.S. [1]. This is an
official medical statistic of the number of Americans seeking medical care at doctor offices
and hospitals, but this number is only the tip of the iceberg. This statistic does not include
people without medical insurance, people who use alternative methods of treatment, or
individuals who simply accept their symptoms as normal and do not seek medical help.

The food revolution has had a significant impact on preparing, conserving, preserving, and
dispensing modern food for the last 60 years. This decreases the amount of essential
enzymes, vitamins, minerals, and bicarbonate in the foods. A deficiency of minerals such as
potassium, magnesium, calcium, zinc, cobalt, and bicarbonates in modern food products
shifts the bodys internal environment from slightly alkaline to acidic causing chronic
metabolic acidosis.

The modern processed foods have been available for only several generations; therefore,
genetic adaptation to these foods in such a short period is highly unlikely. Sugars, refined
white flour and white rice, soft drinks and trans fats are man-made artificial acid-formed
products that have an extraordinary impact on the digestive system and on the content of
the pancreatic juice and bile.

Pathophysiology of Metabolic Acidosis

Metabolic acidosis is a condition that arises when the body generates too much acid or when
the organs, which are liable for the elimination of acidic radicals, cannot remove or
neutralize enough acids from the organism.

What causes the body to be acidic? The main factors are:

The production of too many acidic substances, such as carbonic acid, lactic acid, ketenes,
by human cells;
The production of too many acidic substances by microorganisms that reside inside the
body, for example, constant fermentation in case of dysbiosis (Candida-yeast overgrowth or
small intestine bacterial overgrowth (SIBO))
The consumption of processed, acid-forming foods such as sugars, sodas, white flour,
white rice, red meat;

Acute or chronic intoxication from acid producing substances including alcohol,


chemicals, some acidosis-forming medications;
Low or improper function of the lungs, kidneys, liver and GI organs;

Dehydration and/or poor microcirculation;

Low capacity of buffer systems in the blood, mainly a low capacity of bicarbonate buffer.

Body acids are produced as the end products of cellular metabolism. The average person
generates from 50 to 100 mEq of acid per day from the metabolism of protein,
carbohydrates, and fats, and from the loss of alkaline substances in the stools [6]. To
maintain a normal pH, an equivalent amount of acid must be neutralized or excreted. The
lungs, kidneys, blood, bones, skin, liver, gallbladder, stomach, and pancreas are involved in
the regulation of the bodys acid-alkaline balance [7]. Many body functions are designed to
regulate the acid-base balance, including respiration, excretion, circulation, digestion, and
cellular metabolism.

The human body has a complicated, multifunctional mechanism to neutralize these acids or
remove them from the body via (CO2) carbon dioxide, a gas that is eliminated by the lungs
or, by keeping bicarbonate ions (HCO3-) in the blood by the kidneys. The kidneys and lungs
are the principal organs that help manage the blood concentrations of CO 2 and the
bicarbonate ion (HCO3-), helping to control the pH of the blood.
The blood is normally slightly alkaline with a pH range of 7.35 to 7.45. The constancy of the
blood pH is important for the body's capability to maintain a relatively unchanging internal
milieu. The pH of the blood is constant, and the organism struggles to keep it constant to
protect the brain, lungs, and the heart, which completely stop functioning if the pH in the
blood falls even slightly.

In the bloodstream, there are substances identified as buffers, which act chemically to resist
changes in the pH. The major buffer system in the blood is the CO 2-bicarbonate buffer
system (the bicarbonate buffer). It is the most powerful blood buffer for metabolic acids.
It works in the following manner:
Lung CO2 + H2O <==> H2CO3 <==> H+ + HCO3- kidney

The formation of bicarbonate ions (HCO3-) occurs by the following reactions:

Hydration of CO2: CO2 + H2O => H2CO3

Dissociation of H2CO3: H2CO3 => H+ + HCO3-

The H2CO3 / HCO3- - combination acts as the primary buffer in the blood.

The bicarbonate buffering system is essential in many different processes including:

- It is one of the key buffering systems used to maintain the pH of human blood;

- It protects the lumen of the stomach during the formation of hydrochloric acid;

- It neutralizes the pH of the chyme leaving the stomach and entering the duodenum;

- This is the main factor of alkalinity of pancreatic juice and bile.

Negative Action of the Metabolic Acidosis on Pancreatic Juice, Bile, and Entire
Digestive System

The pancreas and liver are alkaline glands because they produce pancreatic juice and bile,
which are normally alkaline solutions. The pancreatic juice has a pH of 8.0-8.3, and the pH
of liver bile is 7.8 [8]. The pancreas, liver, and gallbladder are the organs that are engaged
in the human beings acidbase balance. When acidity depletes the alkaline reserve in the
body, this process destroys the function of the liver, gallbladder, and pancreas. The liver
and the pancreas take the minerals and bicarbonates from the blood to create alkaline
pancreatic juice and bile.
During metabolic acidosis, the organism chooses to save the vital organs, such as the brain,
lung, and, heart at the expenses of peripheral less essential organs and tissues. The liver,
gallbladder, and pancreas are the organs that suffer the most from over acidity in the body.
In this situation, their capability to take minerals and bicarbonates from the blood becomes
low, and the pH of their secretions drops (acidic pancreas and bile). The biochemistry,
composition, and function of these organs change in a harmful way.

The Importance of Bicarbonate

The bicarbonate content is a prime factor of alkalinity in bile and pancreatic juice. It is
obvious that in bile and pancreatic juice, there is more bicarbonate than in the blood
plasma. Scientists found that the pancreas and liver take bicarbonate ions primary from the
blood. Intravenously injected bicarbonate labeled with the 11C radioisotope appears
promptly in the pancreatic juice. Scratcherd T and Case RM and other researchers
suggested that pancreatic secretion is directly related to the concentration of bicarbonate,
and experiments suggested most if not all the bicarbonate of pancreatic juice must come
from plasma [9-11]. Bicarbonate secretion in the pancreatic duct is decreased by chronic
systemic metabolic acidosis. The concentration of bicarbonate in pancreatic juice depends
on the concentration of bicarbonate ions in the plasma [9].

When the acidic chyme travels from the stomach into the duodenum, the secretion of
bicarbonate increases and then decreases, possibly because of the lowering of the amount
of bicarbonate capacity inside the pancreas. Infusing bicarbonate into the blood throughout
the digestive process promotes the increase of bicarbonate in the pancreatic juice. There is
considerable evidence that there is a decrease in the amount of bicarbonate in the
pancreatic juice and bile in patients with pancreatic diseases [12-13].

Lieb J II and Draganov PV (2008) considered that decreasing the amount of bicarbonate in
the pancreatic juice has practical clinical importance [14]. Duodenal acidity mostly depends
on a lower amount of bicarbonate in the pancreatic juice and bile. In chronic pancreatitis
patients who often suffer from pancreatic exocrine insufficiency, the duodenal pH is
persistently low [13, 15]. A defective capacity to secrete bicarbonate in patients with
pancreatic exocrine insufficiency is unfavourable for the digestive enzymes activity [16]. A
low pH in the duodenum is one of the essential factors known to influence the activity of all
the pancreatic enzymes [17].

Mc Clave SA believed that while healthy people have a high bicarbonate concentration in the
duodenum, patients with chronic pancreatitis have a low bicarbonate concentration. In this
situation, the acidic milieu in duodenum inactivates the pancreatic enzymes. Pancreatic
lipase stops working if the duodenal pH <4.5 [18].
Talamini G. (2005) focused on the connection between duodenal acidity and lower exocrine
pancreatic function [15]. He wrote that chronic pancreatitis patients often present with
pancreatic exocrine insufficiency combined with a steadily low duodenal pH in the
postprandial period. The duodenal acidity might increase the risk of pancreatic cancer in the
course of chronic pancreatitis (Table 1) [15].

Table 1. Content of bicarbonate (mEq/liter) in the


human plasma, pancreatic juice, and bile [56].

Bodily fluid Bicarbonate

Blood (plasma) 27

Pancreatic juice 92-145

Bile 45

Table 2. Optimal pH for activity of pancreatic


digestive enzymes [17].

Pancreatic enzymes Enzyme optimal pH

Lipase 8.0

Trypsin 7.8-8.7

Amylase 6.7-7.0

Metabolic Acidosis with a Low Concentration of Bicarbonate in the Plasma Negatively


Influences the Pancreatic Functions

The relationship between the rate of low pancreatic HCO3- secretion and high plasma H+-ion
concentration was studied in numerous experiments. A proportional, opposed correlation
was found between HCO3- secretion and an acidic shift in the plasma pH [10]. Different
relationships were found between pancreatic HCO3- secretion and plasma HCO3-
concentration in metabolic acidosis. Pancreatic HCO3- secretion falls to 414% of controls
during acidosis. Plasma H+-ion concentration seems to determine the rate of pancreatic
HCO3- secretion [19].

Nimmo J et al. (1970) found a lower amount of bicarbonate in the pancreatic juice in
patients with pancreatic disorders compared with healthy volunteers [20]. Studies show a
direct association between bicarbonate concentration and pancreatic juice flow. There is a
positive correlation between the elimination of enzymes and bicarbonate concentrations [21,
22]. The importance of plasma bicarbonate was demonstrated by in vivo experiments, in
which pancreatic secretion was studied under the conditions of metabolic acidosis. Canine
pancreatic secretion was halved when the plasma bicarbonate was lowered to 16 mEq/L [9].
Extremely low pH values result in the complete loss of activity for most pancreatic digestive
enzymes. The pH is a factor in enzyme stability. As with activity, there is a range of pH for
the optimal stability for each enzyme. Normally, digestive enzymes have a pH optimal for
maximum activity. Changes in the pH in the small intestine can alter the activity of the
pancreatic enzymes.

A decrease in the activity of the pancreatic enzymes due to metabolic acidosis is critical for
proper understanding of many symptoms of indigestion and functional gastrointestinal
disorders. Improperly digested foods accumulate in the small intestine and irritate the guts
walls. Bacteria and yeast ferment undigested foods by producing large quantities of gas
(hydrogen, methane) and other toxic substances. The organism tends to eliminate this
irritated and poisonous matter. There are only two directions for moving this undigested
mass: up to the stomach and down to the large intestine. Moving the mass upwards can
cause fullness, nausea, vomiting, heartburn, gas, bloating, cramps, and upper abdominal
pain. If the undigested mass moves down, it can cause flatulence, diarrhoea, constipation,
inferior abdominal pain. Many of these symptoms are remarkably similar to the symptoms
of functional dyspepsia and/or irritable bowel syndrome (IBS) (Table 2). Almost 35% of the
world population suffers from functional gastrointestinal disorders, involving approximately
40% of gastroenterologist and 12% of primary care practices [23].

In 1987, Worning H wrote in Digestion that the prevalence of pancreatic diseases as the
cause for dyspepsia varies in clinical materials between 0 and 25-30%. In his view,
pancreatic function and pancreatic diseases are connected to different gastrointestinal
diseases (duodenal ulcer, malabsorption syndromes, inflammatory bowel diseases, subtotal
and total gastrectomy and to some extent in patients with hepatobiliary diseases) [24].

Okada R et al. (2009) considered that mild functional pancreatic disorders might trigger
some cases of unexplainable chronic dyspepsia [25]. Lindstrm E et al. (1990) suggested
that altogether, 66% of patients with abdominal pain had morphological and/or functional
confirmation of pancreatic involvement [26]. Some researchers agree that the distinction
between functional dyspepsia and the early stages of chronic pancreatitis is difficult [27].
The early stages of chronic pancreatitis and decreasing exocrine pancreatic function are
commonly misdiagnosed.

According to the Second Giessen International Workshop on Interactions of Exocrine and


Endocrine Pancreatic Diseases in 2008 early chronic pancreatitis remains a diagnostic
challenge as there is no gold standard for the diagnosis and pancreatic biopsy is risky and
impractical. Reported data on the incidence and prevalence of chronic pancreatitis are
unreliable and extremely variable. Chronic pancreatitis is clearly underdiagnosed [28].
The diagnosis of the beginning of the pancreatic disorders might be missed in clinical
practice because the symptoms of severe exocrine pancreatic deficiency (malabsorption
syndrome and maldigestion) are not specific in the beginning of chronic pancreatitis. Early
chronic pancreatitis and low exocrine pancreatic function due to metabolic acidosis are
rarely suspected when the pain is mild or not present and when the symptoms are
nonspecific (dyspepsia) in the absence of steatorrhea.

About 80,000 cases of pancreatitis annually occur in the USA. This is only the tip of the
iceberg of digestive (pancreatic) diseases. Acute and chronic pancreatitis are diseases on
the rise.
The diagnosis of chronic pancreatitis can be challenging since laboratory studies and
imaging procedures may be normal, especially in the beginning of this process. Most attacks
of pancreatitis are mild and go undiagnosed.
The authors completely agree with John Alfred Lott, who wrote in his book Clinical
Pathology of Pancreatic Disorders that generally, pancreatic insufficiency is graded as mild
when only bicarbonate output is decreased, moderate when enzyme output is also
decreased and severe when fecal fat output is increased (steatorrhea) [29].
Trypsinogen Activity and pH

A well-known authority in the pancreatic diseases in the US, Professor Whitcomb DC, wrote
in 2004 about the activation of digestive enzymes inside the pancreas. Observations
suggest that the key to controlling digestive enzyme activation and pancreatic injury is to
control trypsin. The high pH in the duct inhibits activated trypsin by interfering with the
transition between trypsinogen and trypsin [30].

The suggestion that acidifying the pancreatic juice triggers the premature activation of
trypsinogen to trypsin in the pancreatic ducts is not new. In 1953, Green NM and Work E,
determined that the slow rate of reaction between a trypsin inhibitor and trypsin is pH
dependent because both proteins have alkaline isoelectric points. The more alkaline the
pancreatic juice, the higher the possibility of keeping trypsin inactive within the pancreas.
Even neutral pH 7.0 can promote this activation [31].

Niederau C and Grendellin JH (1988) proposed that acidifying the pancreatic juice might
play a role in the progression of acute pancreatitis [32]. Bhoomagoud M et al. (2009)
believed that metabolic acidosis can be a risk factor for developing pancreatitis. They
proved experimentally in vivo and in vitro that decreasing the pH (acidifying) raises the
sensitivity of the acinar cells to zymogen activation [33].

Both clinical and experimental observations suggest that acidosis may increase the risk of
developing acute pancreatitis. Hegyi P et al. (2011) emphasize that the failure of pancreatic
ductal bicarbonate secretion (i.e., the decrease of luminal pH) can increase the risk or lead
to pancreatitis [34].

Flushing Inactive Pancreatic Enzymes Prevents Their Premature Activation

An additional protective mechanism for preventing the premature activation of trypsinogen


to trypsin within the pancreatic duct is quickly sweeping zymogens out of the pancreas.
Flushing and draining pancreatic juice that contains inactive enzymes, zymogens
(trypsinogen), to the duodenum as soon as possible to prevent the premature activation of
digestive enzymes inside the pancreas is extremely important for protecting the pancreas
from the development of acute and chronic pancreatitis.
The pancreatic duct cells are responsible for fluid and bicarbonate secretion. A high
concentration of ions, including bicarbonate, promotes water entering the lumen by
osmosis. Water flushes the contents of the pancreatic duct lumen, including the zymogens,
out of the pancreas into the duodenum. Low bicarbonate production can reduce the amount
of water inside the pancreatic ducts. This increases the viscosity of pancreatic juice and
slows its elimination [32].
According to Matsuno S et al. (1991), bicarbonate plays a key role in the viscosity of
pancreatic juice in pancreatitis patients. They found that bicarbonate secretion and
bicarbonate output are decreased, and the viscosity of pancreatic juice was substantially
increased in pancreatitis. They believed that concentrated pancreatic juice could cause the
progression of chronic pancreatitis [35].

Acidification of Bile and Bile Refluxes

Normally, the alkalinity of bile depends on the amount of bicarbonate. A low amount of
bicarbonate and a lower pH (acidification of bile) cause many negative biochemical
alterations in the bile and biomechanical changes of bile elimination. If the bile becomes
acidic, it becomes aggressive. Evidence suggests that acidifying the bile leads to the
precipitation of the extremely corroded bile acids. For instance, 50% of the bile acids were
precipitated at a pH less than 5, compared with only 26% at a pH greater than 6 [36]. In
patients with chronic pancreatitis, there are often abnormalities of the motor interaction of
the biliary system, duodenum, and stomach, which can result in severe duodenogastric
reflux [16].

Precipitated bile acids and other aggressive components from the acidic bile irritate the
walls of the bile ducts, gallbladder, pancreatic duct, Sphincter of Oddi, Ampulla of Vater and
duodenum. This induces spasms, irritation, inflammation, ulcers, etc. Irritations of the
mucosa by precipitated bile acids initiate erosion, ulcers, and spasmodic contractions, which
affect the proper flow of aggressive bile/pancreatic juice mixture.

Aggressive bile often creates reflux, which is the backflow of bile into the pancreatic duct
or when bile runs upward from the duodenum into the stomach and oesophagus. Bile reflux
has an impact on the duodenum and stomach and leads to further inflammation, ulcers, and
cancer. Bile reflux often is associated with gastric acid reflux, and together they are terrible
and inflame the lining of the oesophagus and can raise the risk of oesophageal cancer [37-
39]. Biliary pancreatic reflux occurs when the bile goes back to the pancreatic duct and
might initiate acute pancreatitis and/or aggravate chronic pancreatitis.

Decreasing the bile pH is a predisposing factor for producing gallbladder stones. According
to Rege RV and Moore EW (1986), the acidification of bile is a key factor in developing
gallbladder stones, which can block the bile and pancreatic ducts leading to damage to the
liver, gallbladder, and pancreas [40, 41].

The Antimicrobial Activity of Pancreatic Juice is pH Dependent


A variety of factors controls the intestinal microbial homeostasis. Pancreatic juice plays an
essential role in keeping the number of microorganisms in the small intestine low.
Experiments on people with pancreatic fistulas or during endoscopic cannulation of the main
pancreatic duct showed that the pancreatic juice in healthy persons was virtually sterile [42,
43]. Conducted tests show that pancreatic juice destroys almost the entire spectrum of
microorganisms. Ramare F et al. (1993) uncovered a similarity between antibacterial factors
in the pancreatic juice with trypsin [44]. Acidification of the pancreatic juice and a decrease
in the pancreatic secretions make the pancreas more susceptible to infection.

Rubinstein, E et al. (1985) found that the antibacterial activity of pancreatic juice was pH
dependent [45]. The antibacterial activity of pancreatic juice is extremely sensitive to pH,
having an optimal activity at pH 8.5 (alkaline condition) and with a complete cessation of
action at pH 7.0 (neutral reaction of solution) [46]. Metabolic acidosis, acidification of the
pancreatic juice and the subsequent decreasing of the antibacterial activity of the pancreatic
juice can be a causative factor for small intestine bacterial overgrowth (SIBO). This can be a
reason for various symptoms of indigestion and abdominal pain.

Calcification

Chronic metabolic acidosis forces humans to obtain calcium from the bones into the blood to
neutralize over acidity. The concentration of calcium in the blood and bodily fluids increases
[47]. Calcium deposits in the blood vessels and internal organs (calcinosis) [7, 48.] This
might explain the common concurrent existence of osteoporosis, arteriosclerosis, and
calcification of the inner organs. Calcification of the pancreas is a significant symptom of
chronic pancreatitis [47, 49, 50].

The precipitation of calcium salts within the pancreatic duct leads to stones, which irritate or
block the pancreatic duct causing pancreatitis. The precipitation of calcium salts inside the
gallbladder results in stone manufacturing and possible obstruction of the bile ducts or
sphincter of Oddi. This raises the pressure inside the pancreatic duct, activates digestive
enzymes inside the pancreas, causing self-digestion and pancreatitis. In systems containing
Ca2+ ions and unconjugated bile acids, the pH is important because it is the key determinant
of the formation of the insoluble calcium salts, which are a component of bile stones [51].
Finally, normal exocrine pancreatic function is crucial for proper digestion. Metabolic acidosis
leads to decreased bicarbonate in the blood and in the pancreatic juice. Bicarbonate is a
main factor for the alkalinity of the pancreatic juice. In cases of metabolic acidosis, the pH
of the pancreatic juice decreases (acidification). Acidic changes in pancreatic secretion can
lead to the deterioration of the exocrine pancreatic functions, such as a low activity of
pancreatic digestive enzymes.

Acidification of the pancreatic juice can activate trypsin inside the pancreatic duct,
suppresses the flushing of the inactive pancreatic enzymes to prevent their premature
activation, and decreases the antimicrobial activity of the pancreatic juice. These negative
influences of metabolic acidosis, besides the pancreas, cause the acidification of bile with
the consequent precipitation of the aggressive insoluble bile acids and the formation
gallbladder stones. Many factors support that chronic metabolic acidosis can be a reason for
numerous digestive disorders.

Discussion: Clinical Implication


The authors presume that chronic metabolic acidosis destroys pancreas and entire
digestion. Questions arise from this. Does chronic metabolic acidosis have clinical value in
everyday practice? Is the chronic metabolic acidosis common condition in the modern
human? The authors strongly believe that the subclinical, low grade, chronic metabolic
acidosis is a rampant condition and can be considered as a disease of civilization.
Scientists have found that low grade chronic metabolic acidosis is a common problem in
modern societies, and acidemia is a hidden problem that causes the development of many
chronic degenerative diseases and accelerates the aging process [52-57]. Chronic metabolic
acidosis affects most of the worlds population because of urbanization and a western
lifestyle [58].
Researchers from the Department of Medicine and General Clinical Research Center,
University of California, San Francisco,Frassetto L et al. (1997) demonstrated low grade
chronic metabolic acidosis exists generally in humans eating ordinary diets. This diet yields
normal net rates of endogenous acid production (EAP) and that the degree of acidosis
increases with age [52].

Chronic metabolic acidosis is dangerous for humanity. It involves most of the global
population and might cause epidemic proportions of metabolic syndrome, diabetes,
osteoporosis, kidney and gallbladder stones, cardiovascular diseases, digestive disorders,
cancer, intestinal dysbiosis, and many other metabolic and degenerative diseases, which
have increased over the past 50 years [7, 58].

It is understandably difficult to think of metabolic acidosis when the standard lab tests for
the acid-base balance are in the range traditionally considered normal [52, 55]. Ordinary
tests cannot reveal the shift to acidity because humans have an enormous buffer capacity.
Mild chronic metabolic acidosis can occur despite normal blood pH and bicarbonate levels
[55]. In cases of metabolic acidosis, humans try to eliminate H + ions in body fluids.
Repeated measurements of the saliva and urine pH can indirectly estimate the acid-base
status. The saliva and urine pH, which are constant, lower than 6.6 can be a sign of chronic
metabolic acidosis. The degree of metabolic acidosis is mild as judged by the degree of the
blood acid-base imbalance, but it cannot be considered mild as judged by its negative
physiological effects [52, 55].

There are many reasons for chronic metabolic acidosis. Three can have substantial
implications on the health of the current world population.

1. Modern food

2. Alcohol consumption

Overusing of acidosis-formed medications

Modern Food and Metabolic Acidosis

It is recognized that humans had to function at their highest physical and mental
performance to survive for thousands of years. Weaker individuals or groups of people had
greater chances of being eaten by predators, taken over by aggressors, succumbing to
diseases and being annihilated by natural disasters. Theories surrounding the survival of
the fittest dictate that those who are fit well for their environment will survive. The
pancreatic and liver functions and the entire digestive system of our ancestors worked
perfectly well for millennia fitted for the hunter/fisher/gatherer natural diet. This diet
promoted slightly an alkaline state in the human body [7, 57, 59].

The human digestive system cannot absolutely adapt to modern, chemically modified,
artificial and often toxic products, which are staples of the current western diet. People
cannot properly digest the foods that they are usually eating. Net acid-producing animal
foods, sugars, and cereal grains have replaced alkali-rich fruits and vegetables. One of the
most prevalent and preventable results is low-grade chronic metabolic acidosis, which when
left untreated poses a substantial threat to human health.

The role of nutrition in human acid-base homeostasis has received growing attention in
recent years. The Second International Acid-Base Symposium, NutritionHealthDisease
was held in Munich, Germany, September 89, 2006. International researchers, doctors,
and scientists provided deeper understanding and updates in the scientific research of the
relation between diet, acid-base homeostasis, physiology, and pathophysiological
consequences. They said: Although in healthy humans, homeostatic mechanisms and the
kidneys' capacity to excrete acid equivalents can prevent strong diet-induced alterations in
blood pH, even moderate increases in blood hydrogen ion levels as a result of unfavourable
diet composition can have long-term consequences for the occurrence and progression of a
number of diseases [56].

Many nutrition scientists estimate the net systemic acid load supplied by the diet (net
endogenous acid production (NEAP)). The NEAP for 159 replicated pre-agricultural diets was
minus 8882 mEq/d; these were net base-producing. The NEAP for the standard American
diet (as recorded in the third National Health and Nutrition Examination Survey) was plus
48 mEq/d; these were net acid-producing [59].
It is clear that food is a primary cause of chronic acidity in the body. It has potential medical
significance because almost all the genes and epigenetic regulatory systems humans carry
today were originally selected for behaviourally modern people who appeared in Africa
between 100,000 and 50,000 years ago [7].

According to Sebastian A et al. (2002), The historical shift from negative to positive NEAP
was accounted for by the displacement of high-bicarbonate-yielding plant foods in the
ancestral diet by cereal grains and energy-dense, nutrient-poor foods in the contemporary
diet - neither of which is net base-producing [58].

Alcohol Consumption and Chronic Metabolic Acidosis

Alcohol causes inflammation to the stomach, liver, pancreas, and intestines, which impairs
the digestion and assimilation of food. In addition to the direct toxic effect on the liver and
pancreatic cells, alcohol is a strong acid productive agent that causes chronic metabolic
acidosis and the deterioration of the exocrine pancreatic function [60, 61]. Many studies
show that in Western countries, alcohol is the most frequent associated factor with chronic
pancreatitis (50-80% of cases) [7].

In the U.S., 10 to 20% of men and 5 to 10% of women sometime in their lives will meet the
criteria for alcoholism, depending on the criteria used. These rates are equal to the rates for
many countries in Western Europe [62].

Ethanol is metabolized by two pathways: the oxidative and non-oxidative pathway.


Acetaldehyde and reactive oxygen species (ROS) are the main by-products of the oxidative
metabolic pathway. The non-oxidative metabolism of ethanol is characterized by its
esterification with the production of fatty acid ethyl esters [63]. All three by-products of
ethanol metabolism are believed to be acid-forming substances [64].

Medications and Metabolic Acidosis


There is no extensive research about chronic metabolic acidosis and prolonged consumption
of the pharmaceutical drugs [65]. Clinical studies point at acute clear-cut cases of metabolic
acidosis that is confirmed by laboratory data in hospital. It could be presumed that this is
the only tip of the iceberg.
Several facts indicate that various over-the-counter and prescription medications can create
metabolic acidosis [66, 67].

Elevated serum pancreatic enzymes have been reported in patients treated with drugs. List
of drugs associated with pancreatic hyperenzymemia is presented in article of Frulloni L et
al. (2005) [68].

In the article Pharmacologically-Induced Metabolic Acidosis, Liamis G et al. (2010) wrote a


review about possible mechanism and medications that cause metabolic acidosis [69]. The
acid-forming actions of common medications via metabolic acidosis can negatively affect the
digestive organs and digestion. This is a large area for experimental and clinical studies.
Possible Correlations between the Prevalence of Metabolic Acidosis and Digestive Disorders

We did not find a medical statistic that shows the prevalence of low grade, chronic
metabolic acidosis in the modern population. If we consider the predominance of the acid-
forming, processed foods such as sugars, white flour and rice, meats, grains and dairy
products, the consumption of alcohol and acidosis-producing medications, it can be
presumed that the prevalence of low-grade, chronic metabolic acidosis can occur in
epidemic proportions. We strongly believe that the burden of the digestive diseases in the
United States and all over the world has long-term, pathophysiological consequences from
the epidemic of metabolic acidosis.
The practical clinical benefit of our hypothesis is simple: to improve pancreatic function and
entire digestion, beside other actions, normal acid-base homeostasis needs to be normalized
by supplying humans with minerals such as sodium, potassium, magnesium, calcium, and
bicarbonate. There are three natural ways for this to occur: alkaline-formed plant based
foods, healing mineral water, and mineral supplements.

There is no doubt about the therapeutic value of food or individual diets in the treatment of
digestive disorders. Bicarbonate and minerals for the correction of metabolic acidosis and/or
digestive disorders have been used in clinical practice for a long time.

For 500 hundred years, European doctors treated various digestive disorders in health
mineral spas. Using sodium-potassium-magnesium-bicarbonate healing mineral water for
the treatment of liver, gallbladder, and pancreatic diseases has a long tradition, solid
medical research, and positive clinical evidence. Within 3-4 weeks after drinking healing
mineral water, medical doctors confirmed clinical improvements in their patients. At this
time, many patients had increased bicarbonate levels in the blood and urine pH.
Unfortunately, doctors explain the therapeutic effectiveness of the healing mineral water by
other reasons but not the alkalizing action of this water [69-71].

Conclusion
Digestive disorders are common in the modern world. The conventional treatment of these
disorders is mostly symptomatic. The medical viewpoint on digestive disorders concentrates
on the hollow organs such as the stomach and large intestines, and there is little attention
paid to the solid digestive glands such as the pancreas and liver. There is no doubt that
without the proper quality and quantity of the pancreatic juice and bile, the normal digestive
process in the hollow chambers cannot occur. The pancreas is the core of the digestive
system because it secretes the digestive enzymes.
Scientific studies and clinical evidence prove that the pancreas and liver are more
vulnerable to a reduction in their functions because of metabolic acidosis. Acidifying the
pancreatic juice and diminishing the activity of the digestive pancreatic enzymes can cause
numerous digestive problems. The majority of the problems of the gastrointestinal tract
is directly or indirectlyrelated to the proper function of the pancreas. For that reason, a
clinical diagnosis of gastrointestinal disorders de factoassumes pancreatic involvement. For
now, there is not an effective and safe approach for improving the exocrine pancreatic
function. Our hypothesis that chronic metabolic acidosis destroys digestion might help to
identify other ways to solve the epidemic of gastrointestinal disorders and diseases.
Prospective clinical studies are required to confirm the preventive and treatment strategy of
normalizing the acid-base balance in digestive and pancreatic disorders.

Received June 24th, 2014 Accepted October 10th, 2014

Key words Acidosis; Digestive System; Pancreatic Juice; Pancreatitis

Conflict of interest Authors have no conflicts of interest

Correspondence
Peter Melamed
Biotherapy Clinic of San Francisco
2215 Post Street, Suite 1
San Francisco, CA 94115
USA
Phone: +1-415.377.6643
Fax: +1-415.409.3909
E-mail: petrmelamedsf@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai