Anda di halaman 1dari 11

Brown tumor merupakan lesi jinak pada tulang yang terdiri atas jaringan fibrosa, osteoklas dan

darah. Kandungan hemosiderin, memberikan warna coklat yang khas, memberikan nama pada
tumor ini.

Brown Tumor merupakan penyakit tulang yang terjadi akibat komplikasi hiperparatiroid kronis.
Keadaan ini dapat timbul pada hiperparatiroid primer, namun dapat pula terlihat pada
hiperparatiroid sekunder akibat gagal ginjal kronik sebagai kelanjutan dari renal osteodistrofi yang
tidak tertangani dengan baik.

Pengobatan Brown tumor ditujukan pada pengontrolan kadar paratiroid sesuai dengan penyebab
hiperparatiroid. Pada gagal ginjal, brown tumor dapat ditatalaksana secara medikamentosa melalui
pembatasan asupan fosfor, pemberian pengikat fosfor, pemberian supplement vitamin D, dan
hemodialisa untuk kasus gagal ginjal berat. Umumnya brown tumor dapat hilang dengan
pengontrolan tersebut, sehingga tidak diperlukan tindakan operasi. Pada kasus yang berat, dimana
telah terbentuk massa kistik, terkadang diperlukan tindakan operasi untuk mencegah terjadi fraktur
patologis dan deformitas.

Oleh karena itu, proses screening, diagnosis dini dan tatalaksana awal yang optimal pada
hiperparatiroid sekunder akibat gagal ginjal kronis penting, baik untuk mencegah terjadinya brown
tumor maupun dalam penanganan brown tumor sehingga tidak menimbulkan komplikasi.

Dalam makalah ini, penulis mencoba mengulas mengenai definisi, patogenesis hiperparatiroid
sekunder pada gagal ginjal, patogenesis brown tumor, gambaran klinis serta pemeriksaan penunjang
dalam rangka penegakan diagnosis. Dalam makalah ini, penulis juga mencoba mengulas secara
singkat mengenai tatalaksana medikamentosa dan pembedahan pada kasus brown tumor dan
hiperparatiroid sekunder.

Fulltext

Brown Tumor pada Gagal Ginjal Kronik

Brown tumor merupakan suatu lesi litik pada tulang sebagai akibat keadaan hiperparatiroid kronis.
Lesi litik yang terjadi disebabkan oleh peningkatan aktivitas osteoklas dan pembentukan fibrosis
peritrabekular. Lesi ini berupa akumulasi lokal dari jaringan fibrosa dan sel raksasa multinuklear.
Pada keadaan lanjut dapat mengalami nekrosis, sehingga menghasilkan gambaran seperti kista.
Proses ini lebih mengarah pada suatu proses reparasi sel dari pada suatu proses neoplasia.

Istilah Tumor Brown pertama kali digunakan untuk menerangkan lesi yang terjadi pada
hiperparatiroid primer.[i] Baru pada tahun 1963, istilah ini digunakan pada lesi yang terjadi akibat
hiperparathiroid sekunder, yang dapat terjadi pada gagal ginjal kronis, terutama yang telah lama
menjalani hemodialisis [ii]

Brown tumor pada pasien gagal ginjal merupakan kelanjutan dari renal osteodistrofi yang tidak
tertangani dengan baik[iii]. Tumor ini umumnya terjadi pada tulang panjang, iga dan pelvis, namun
dapat terjadi pada tulang lain seperti pada rahang, dan vertebra3.

Epidemiologi
Brown tumor lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Insidennya meningkat seiring
dengan peningkatan usia. Dilaporkan insiden brown tumor berkisar 1,5 sampai 13% pada gagal ginjal
kronis [iv].

Pathogenesis

Brown tumor merupakan kelainan tulang pada sekresi hormon paratiroid yang berlebih dalam
jangka panjang. Keadaan ini disebut sebagai hiperparatiroid. Hiperparatiroid dapat terjadi primer
dan sekunder. Hiperparatiroid primer dapat ditemukan pada adenoma paratiroid, hyperpalasia
parathyorid dan carcinoma paratiroid.

Hiperparatiroid sekunder secara umum terjadi sebagai reaksi tubuh terhadap penurunan kadar
kalsium dalam darah dalam jangka panjang. Keadaan ini umumnya dapat ditemukan pada gagal
ginjal kronis, terutama pada pasien yang tergantung pada dialisis [v],[vi]. Hiperparatiroid sekunder
juga dapat ditemukan pada keadaan kekurangan asupan kalsium dan kekurangan asupan vitamin D5.

Beberapa faktor yang berperan terhadap timbulnya hiperparatiroid pada gagal ginjal meliputi
peningkatan retensi fosfat, resistensi tulang terhadap hormon paratiroid, malabsorbsi kalsium di
saluran cerna dan inhibisi produksi 1,25(OH)2D5,[vii].

Gangguan pengeluaran fosfat yang terjadi pada penyakit gagal ginjal kronik, mengakibatkan
peningkatan kadar fosfat dalam darah. Peningkatan ini menyebabkan penurunan kalsium bebas
dalam darah5. Selain itu, pada gagal ginjal kronis juga terjadi gangguan produksi 1,25(OH)2D3
(bentuk aktif dari vitamin D) yang kemudian mengakibatkan penurunan absorpsi kalsium pada
saluran cerna. Kombinasi keadaan ini memperberat keadaan hipakalsemia yang ada, sehingga terjadi
mekanisme kompensasi tubuh dengan meningkatkan produksi hormon paratiroid7.

Hormon paratiroid berperan penting dalam metabolisme kalsium. Hormon ini dihasilkan oleh
kelenjar paratiroid. Pada tulang, hormon paratiroid merangsang pelepasan kalsium, sedangkan pada
ginjal, hormon paratiorid merangsang reabsorpsi kalsium dan menghambat reabsorpsi fosfat. Selain
itu, hormon paratiroid juga merangsang produksi 1-hirdoksilase oleh ginjal, sehingga terjadi
peningkatan absorpsi kalsium di usus. Hasil dari semua aksi hormo paratiroid ini adalah peningkatan
kadar kalsium didarah darah dan penurunan kadar fosfat di dalam darah.

Mekanisme kerja hormon paratiroid pada tulang yaitu dengan cara meningkatkan pengambilan
kalsium pada proses turn-over tulang, yang melibatkan pengaturan aktivitas osteoklas dan
osteoblas. Pada keadaan hiperparatiroid, terjadi peningkatan aktivitas osteoklas sehingga
mengakibatkan abnormalitas pada tulang. Abnormalitas tulang yang terjadi pada hiperparatiroid
sekunder lebih ringan dibanding pada hiperparatiroid primer.

Peningkatan proses turn-over tulang, yang terjadi pada hiperparatiorid, ditandai dengan
peningkatan resorpsi tulang, melalui peningkatan aktivitas osteoklas, sehingga menyebabkan
penipisan korteks. Pada saat yang bersamaan, juga terjadi akumulasi jaringan ikat fibrosa dan sel
raksasa multinuklear serta penumpukan osteoid yang membentuk fibrosis peritrabekular. Bila
keadaan ini dibiarkan, dapat terjadi nekrosis sentral dan pembentukan kista4. Keadaan fibrosis
peritrabekular ini disebut sebagai osteitis fibros cystic5.

Adanya mikro-fraktur, sebagai akibat dari penipisan korteks, mengakibatkan perdarahan sekunder
dan penumpukan hemosiderin sehingga membuat tampilan makroskopik massa tersebut berwarna
kecoklatan. Massa inilah yang kemudian dinamakan brown tumor.[i] Bila proses ini terus berlanjut,
maka dapat menimbulkan fraktur patologis[ii],[iii]

Tampilan makroskopis brown tumor terlihat sebagai massa rapuh berwarna coklat kemerahan yang
menggantikan struktur normal tulang 5,[iv] seperti yang dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. potongan tumor brown pada iga memperlihatkan gambaran lesi multilokular, meluas dan
hemoragik11

Gejala klinis

Secara klinis, hiperparatiroid tampil sebagai stones, bones and groans. Stones mengacu pada batu
ginjal berulang. Bone mengacu pada lesi pada tulang yang terjadi pada kasus yang berat dan lama.
Groans menggambarkan gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, ulkus peptikum dan
pankreatitis.7

Brown tumor ditemukan lebih sering pada wanita di bandingkan pria. Insiden kejadian meningkat
sesuai dengan umur. Pada wanita usia diatas 50 tahun, insidennya tiga kali lebih sering dibandingkan
pria.

Gejala klinis yang terjadi tergantung pada ukuran dan lokasi tumor. Brown tumor umumnya bersifat
asimtomatik dan tidak memerlukan pengobatan.2 Pada kasus tertentu, dapat timbul gejala berupa
nyeri, kaku, edema, dan deformitas.

Brown tumor dapat mengenai semua tulang, timbul sebagai massa lembut dan elastis pada palpasi.
Lokasi terbanyak terjadi pada metafisis dan diafisis tulang panjang, pelvis. Pada beberapa literatur
juga dilaporkan timbul pada rahang, iga, tangan dan pada vertebra.[i],[ii]

Brown tumor pada wajah dapat tumbuh progresif sehingga menimbulkan kecacatan berat, gangguan
mengunyah, sampai dengan gangguan nafas.12 Dilaporkan pula, brown tumor pada vertebra dapat
mengakibatkan kompresi saraf bahkan sampai fraktur kompresi5.

Pemeriksaan penunjang

Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dibutuh pada kasus brown tumor meliputi pemeriksaan kadar
kalsium, fosfor, dan hormon paratiroid. Pemeriksaan tersebut dilakukan dalam rangka penegakan
diagnosis dan evaluasi tatalaksana

Dalam darah, kalsium terdapat dalam bentuk ion bebas, dan berikatan dengan albumin. Sekresi
hormon paratiroid dipengaruhi oleh bentuk bebas kalsium. Oleh karena itu, hasil diperlukan
penyesuaian nilai hasil pemeriksaan kalsium dengan rumus ((0.8x(4-albumin)+ Ca yang terukur).
Pada hiperparatiroid sekunder, umumnya didapatkan peningkatan kadar kalsium darah sebagai hasil
dari peningkatan hormon paratiroid. Tetapi pada beberapa kasus, kadar kalsium plasma dapat
normal. Karena itu, kadar kalsium darah tidak dapat digunakan sepenuhnya penegakan diagnosa.

Kadar fosfor darah pada kasus hiperparatiroid meningkat oleh karena resistensi fosfor yang terjadi.
Pemeriksaan ini penting dalam pengawasan pengobatan.

Kadar hormon paratiroid penting dalam penegakan diagnosa dan evaluasi pengobatan brown tumor.
Pada pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis, direkomendasikan untuk mempertahankan
kadar hormon paratiroid pada tingkat 150-300 pg/ml level.[i]

Radiologis

Secara radiologis, brown tumor terlihat sebagai lesi litik berbatas tegas dengan bagian bersepta-
septa didalamnya dan dapat timbul pada tulang manapun. Gambaran korteks pada tumor menipis
dan terjadi perluasan. Pada stadium yang lanjut, dapat terjadi gambaran sklerosis.

Pada kasus yang mengenai vertebrae, secara radiologis sulit membedakan batas dari suatu tumor
brown oleh karena bayangan yang tumpang tindih. Sehingga diperlukan pemeriksaan CT scan.
Gambaran CT scan brown tumor didasarkan pada perbedaan nilai attenuasi yang berada antar darah
dan jaringan fibrosa2.

Pemeriksaan bone scan pada Brown tumors jarang dilakukan. Pada bone scan, tumor ini umumnya
hipervaskular, terlihat peningkatan aktivitas menyeluruh dengan uptake radionuklida yang menonjol
pada fase immediate blood flow. Pada bone scan 3 fase, penyagatan dapat terjadi pada ke-3 fase,
menandakan adanya perfusi regional, dan pembentukan osteoid [i],

Pada MRI, gambaran brown tumor terlihat sebagai lesi dengan intensitas rendah dengan fokus
intensitas yang meningkat2. Fokus tersebut berkaitan dengan spot perdarahan (hemosiderin).

Mikroskopis

Biopsi pada brown tumor cukup dengan menggunakan tru-cut needle. Pada hiperparatiroid primer,
tindakan biopsi diperlukan karena brown tumor dapat menjadi manifestasi awal dari penyakit.

Brown tumor pada gagal ginjal kronis tidak diperlukan biopsi karena perjalanan klinis dari
hiperparatiroid sekunder dan pemeriksaan laboratorium sudah cukup untuk menegakkan diagnosis.

Secara histologi, brown tumor terdiri atas jaringan ikat fibrosa dengan kelompok sel mononuklear,
sel raksasa mulinuklear dan peningkatan jumlah serta aktifitas osteoklas pada permukaan tulang
serta fokus-fokus hemosiderin 5,[ii].

Gambar 4. terlihat gambaran hiperselular sumsum tulang dengan fokus area fibrosis (kiri);
perdarahan lokal dan sel raksasa yang berkelompok merupakan gambaran khas brown tumor (H&E x
25 obj) (kanan)

Gambaran histologis tersebut mirip dengan tumor sel raksasa, granuloma sel raksasa dan kista
tulang aneurismal karena sama sama menampilkan gambaran makrofag multinuklear dengan
pertumbuhan jaringan ikat fibrosa sekunder [i],[ii]. Oleh karena itu, kadar hormon paratiroid
menentukan dalam penegakan diagnosis.

Pemeriksaan sitologi pada kasus brown tumor tidak dapat digunakan dalam penegakan diagnosis.
Pemeriksaan ini dapat menolong membedakan lesi ganas dan lesi jinak .[iii]

Diagnosis Banding

Pada brown tumor, Gambaran lokal resopsi tulang juga didapatkan pada penyakit neoplasia lain
seperti pada tumor sel raksasa (true giant cell tumors, giant cell granulomas) dan kista tulang
aneurismal

Pada tumor sel raksasa, sel spindel lebih bengkak, dan sel raksasa multinuklear (makrofag)
terdistribusi lebih merata dan cenderung tidak aggregates, juga tidak didapatkan perdarahan
intertitial 8.

Kista tulang aneurismal, lebih utama pada wanita, terjadi pada usia 10 sampai 20 tahun. Pada
pemeriksaan MRI, kelainan ini terdiri atas gambaran kista multilokular dengan adanya fluid level.

Dikarenakan terdapat kesamaan dalam gambaran radiologi dan histologi antara brown tumor,
dengan giant cell tumor (true giant cell tumors, giant cell granulomas) dan kista tulang aneurismal,
maka diagnosis brown tumour bergantung pada adanya keadaan hiperparatiroid.14

Tatalaksana

Tatalaksana brown tumor ditujukan untuk mengkoreksi kadar hormon paratiroid yang dicapai
dengan menggunakan medikamentosa atau dengan paratiroidektomi. Hiperparatiorid primer
diperlukan tindakan operasi untuk mengangkat neoplasma paratiroid. Sedangkan pada
hiperparatiroid sekunder, seperti yang terjadi pada gagal ginjal kronis, umumnya dapat ditatalaksana
medikamentosa.

Pada gagal ginjal kronik, brown tumor ditatalaksana dengan mengontrol kadar hormon paratiroid,
calcium dan fosfor yang dapat dicapai dengan hemodialisa, restriksi fosfat, dan pemberian
1,25(OH)2D atau dengan transplantasi ginjal. Tujuan dari tatalaksana ini ialah untuk mengembalikan
kelainan tulang yang ada dan mencegah penumpukan kalsium fosfat ekstra skeletal5

Rekomendasi target kadar kalsium, fosfor dan hormon paratiroid pada pasien gagal ginjal dapat
dilihat pada tabel 1

Parameter

Gagal ginjal stadium 3

Gagal ginjal stadium 4

Gagal ginjal stadium 5

Ca*

8,4-10,5
8,4-10,5

8,4-9,5

2,7-4,6

2,7-4,6

3,5-5,5

iPTH

35-70

70-110

150-300

*Coreccted Ca = [0.8x(4-albumin)] + Ca yang terukur

Tabel 1. Rekomendasi target pengobatan pada gagal ginjal kronik

Medikamentosa

Tatalaksana medikamentosa pada kasus hiperparatirod sekunder yang menjalani hemodialisis


mencakup modifikasi diet dengan suplementasi kalsium dan restriksi fosfat, pemberian pengikat
fosfat, supplementasi vitamin D.

Pada hiperparatiroid sekunder, kadar fosfor serum harus dikendalikan dengan diet rendah fosfor
(terutama daging dan susu). Asupan fosfor harian dianjurkan sebesar 400-900ml/hari. Sedangkan
asupan kalsium dari makanan dianjurkan sebesar 1000-1400mg/hari. Penurunan kadar fosfor dapat
meningkatkan konsentrasi 1,25(OH)2D dan penurunkan kadar hormon paratiroid melalui mekanisme
umpan balik yang ada.

Pada gagal ginjal terminal (GGK stage 5), dengan Laju Filtrasi Glomerulus < style=""> diperlukan
pemberian pengikat fosfor. Pengikat fosfor ini bekerja dengan mengikat fosfor makanan pada
saluran cerna sehingga terjadi penurunan absorpsi fosfat. Pengikat fosfat biasanya diminum 5-10
menit sebelum atau sesaat setelah makan.

Pengikat fosfor dapat dikategorikan dalam beberapa tipe yaitu: pengikat fosfor berbasis kalsium,
pengikat fosfor bebas-aluminium dan bebas kalsium, pengikat fosfor berbasis aluminium dan
pengikat fosfor berbasis magnesium.

Pengikat fosfor berbasis kalsium digunakan untuk menggantikan pengikat fosfor berbasis aluminium.
Obat ini juga dapat berfungsi sebagai suplemen kalsium. Terdapat dua jenis pengikat fosfat berbasis
kalsium yang beredar. Kalsium asetat dan Kalsium karbonat. Kadar kalsium harus dipantau dalam
penggunaan pengikat fosfor jenis ini. Kalsium dari kedua bahan pengikat tersebut dapat masuk ke
dalam aliran darah menyebabkan kerusakan organ.
Pengikat fosfor bebas-aluminium, bebas-kalsium merupakan jenis pengikat fosfat yang terbaru yang
efektif dalam mengontrol kadar fosfat karena tidak mengandung kadar aluminium dan kalsium.

Pengikat fosfor berbasis aluminium merupakan pengikat fosfat yang pertama kali digunakan. Obat
ini terbukti memiliki efek samping toxic yang menyebabkan risiko terjadinya demensia, efek samping
gastro intestinal, dan perubahan mineral tulang. Obat ini sudah sangat jarang diberikan. Obat ini
biasanya digunakan untuk jangka pendek, bila obat pengikat fosfor lain tidak efektif.

Pengikat fosfor berbasis magnesium dapat digunakan sebagai alternatif pengikat fosfat dimana
diperlukan restriksi asupan kalsium. Pengikat fosfat ini cocok untuk pasien dengan dialisis peritoneal
(PD), yang cenderung memiliki kadar magnesium yang rendah.

Asupan vitamin DTambahan asupan vitamin D diperlukan untuk mengatasi penurunan produksi
1,25(OH)2 vitamin D di ginjal, sehingga dapat meningkatkan absrobsi kalsium pada saluran cerna.
Vitamin D ini juga dapat menekan produksi hormon paratiroid. Beberapa literatur melaporkan
pemberian vitamin D dosis tinggi dapat mengobati brown tumor.2,[iv]

Meskipun suplementasi vitamin D memberikan hasil yang baik pada banyak kasus, beberapa pasien
memperlihatkan hiperparatiroid yang persisten ( paratiroid hormon lebih dari 800 to 1000 pg/mL).

Mekenisme yang berperan dalam penurunan respon vitamin D disebabkan oleh timbulnya hiperplasi
kelenjar paratiorid. Pada pasien dengan hiperpalasi kelenjar paratiroid, didapatkan penurunan yang
bermakna dari reseptor vitamin D dan reseptor pegontrol kalsium (Calcium sensing Receptor). Oleh
karena itu, pada awal stadium gagal ginjal, dapat diberikan vitamin D dalam dosis kecil guna
mencegah hiperplasia tersebut.

Terapi medikamentosa lain yaitu pemberian calcimimetik, zat yang dapat meniru efek kalsium ekstra
selular. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan sensitifitas reseptor kalsium sehingga
menyebabkan penurunan kadar paratiroid hormon yang cepat dalam beberapa jam. Dibandingkan
dengan penggunaan supplementasi kalsium dan vitamin D saja, penambahan calcimimetik dapat
mengurangi efek samping yang terjadi.

Pembedahan

Saat kadar hormon paratiroid dan gangguan metabolisme terkontrol, brown tumor dapat
menghilang. Pada beberapa kasus, terutama kasus yang berat atau yang telah terjadi degenerasi
kistik, tumor tidak hilang sempurna11. Sehingga perlu dilakukan reseksi tumor untuk menangani
defek yang timbul.

Pada kasus tertentu, reseksi tumor terkadang dilakukan sebelum tindakan medikametosa, seperti
pada kasus kompresi spinal cord oleh tumor brown pada tulang belakang. Sehingga membutuhkan
tindakan dekompresi segera [v]. Begitu pula pada kasus brown tumor pada wajah dengan gangguan
nafas.

Hiperparatiroid sekunder akibat gagal ginjal yang tidak respon terhadap pengobatan atau pada kasus
dengan tingkat kepatuhan yang rendah, dimana telah terjadi hiperplasi kelenjar paratiroid (
hiperparatiroid tersier), dapat dilakukan paratidektomi subtotal atau total untuk menurunkan kadar
paratiroid hormon.5,[vi],[vii]
Pada kasus dengan fraktur patologis, diperlukan pengontrolan yang ketat pada keseimbangan
mineral tulang (kadar fosfat, kalsium, hormon paratiroid) guna mendukung proses penyembuhan
tulang. Dilaporkan, terjadi gangguan penyembuhan fraktur pada kasus hiperparatiroid yang
disebabkan oleh gagal ginjal dengan gangguan metabolisme mineral tulang5.

Evaluasi Berkala

Evaluasi berkala terhadap hiperparatiroid penting dalam pencegahan dan tatalaksana Brown tumor.
Pada gagal ginjal kronis, evaluasi dilakukan melalui pemeriksaan kadar kalsium, kadar fosfat dan
kadar hormon paratiroid. Rekomendasi pemeriksaan berkala terhadap ketiga parameter tersebut
dapat dilihat pada tabel 2.

Parameter Laboratorium

Gagal Ginjal Stadium 3

Gagal Ginjal stadium 4

Gagal Ginjal stadium 5

Ca

Setiap 12 bulan

Setiap 3 bulan

Setiap bulan

Setiap 12 bulan

Setiap 3 bulan

Setiap bulan

iPTH

Setiap 12 bulan

Setiap 3 bulan

Setiap 3 bulan

Tabel 2. Rekomendasi frekuensi pemeriksaan berkala pada gagal ginjal kronis

Pada kasus hiperparatiroid pada gagal ginjal kronik, yang tidak respon terhadap pengobatan atau
dengan kepatuhan pasien yang rendah, diperlukan pemeriksaan USG paratiroid untuk melihat ada
tidaknya hiperplasi kelenjar paratiroid[viii].
[i] Burns Dennis K, Kumar Vinay. The musculoskeletal system in: basic pathology 6th ed. Philadelphia,
wb saunders 1992. Pg 670-3

[ii] Stevens alan, lowe james. Metabolic bone disease in: Phatology second ed. Mosby london 2000
pg 512-6.

- [iii] Pavlovic Sasha, Nagy Valyi tibor, Profirovic Jasmina, David Odile. Fine-needle aspiration of
brown tumor of bone: Cytologic feature with radiologic and histologic correlation. Diagnostic
Cytopathology 2009 (37): pg 136-9

[iv] Francisco AL. Secondary hyperparathyroidism: review of the disease and its treatment. Clin Ther
2004;26:1976-93.

[v] Bohlman M, Kim YC, Eagan J: Brown tumor in secondary hyperparathyroidism causing acute
paraplegia. Am J Med 81:545547, 1996.

[vi] Barlow IW, Archer IA: Brown tumor of the cervical spine. Spine 18:936937, 1993.

[vii] Daniele Di Nicola, Condo Stefano, Ferrannini Michele, Bertoli Marta, Rovella Valentina, Renzo Di
Laura, Lorenzo De Antonino. Brown tumor in a Pation with secondary hyperparathyroidism resistant
to medical therapy: Case report on successful treatment after subtotal parathyroidectomy.
International Journal of Endocrinology .2009

[viii] Schlosser K, Zielke A, Rothmund M. Medical and surgical treatment for secondary and tertiary
hyperparathyroidism. Scan J Surg 2004 93 288-97

[i] Jordan KG, Telepak RJ, Syaeth J: Detection of hypervascular brown tumors on threephase bone
scan. J Nucl Med 34:21882190, 1993.

[ii] Cotran R, Kumar V, Robbins SL: Robbins Pathologic Basis of Disease. Philadelphia: WB Saunders,
1989.
[i] Yalcin Mehmet Burak, Hiz Murat, unlu mehmet can, dervisoglu sergulen, kenberoglu kaya, bilge
ilmay, ercan oya. A case of brown tumor mimicking fibrous dysplasia in a patient with chronic renal
failure. Acta Orthop Traumatol Turc 2008 42(4) 296-301

[i] Pinar Sumer A, Arik N, Sumer M, Karagoz F. A rare complication of secondary


hyperparathyroidism. Brown tumor of the maxilla and mandible. Saudi Med J 2004;25:2010-20.

[ii] Peces R, Gil F, Gonzalez F, Ablanedo P. Multiple brown tumors in female hemodialyzed patient
with severe secondary hyperparathyroidism. Nefrologia 2002;22:79-82.

[i] Balon pecovnik breda, kavalar rajko. Brown tumor in associated with secondary
hyperparathyroidism. Am j nephrol 1998:18:460-463

[ii] Marx SJ. Hyperparathyroid and hypoparathyroid disorders. N Eng J Med 2000; 343: 1863-1875

[iii] Kalathas Theodoros, Kalatha Thalia, Boultoukas Evaggelos. Brown tumors: a possible pitfall in
diagnosing metastattic disease. Hell J Nucl Med 2010; 13(1) 15-7

[iv] Chew Felix S, Hellinger Frank Huang. Brown tumor. AJR 1993. 160: pg 752

[i] Brown Thomas W, Genant Harry K, Hattner Robert S, Orloff Sheldon, Potter Donald E. Multiple
Brown tumors in patient with chronic renal failure and secondary Hyperparathyroidism. Am J
Roentgenol 1977 128 : pg 131-4

[ii] Leal Christianne TS et al. Surgical approach anf clinical outcome of deforming brown tumor at the
maxilla in a patient with secondary hyperparathyroidism due to chronic renal failure. Arq Bras
Endocrinol Metab. 2006 . 50. Pg 963-7

[iii] Pinto correa marlene et al, brown tumor in a patient with hyperparathyroidism secondary to
chronic renal failure. Braz J otorhinolaryngol.2010 76(3)pg 404
[iv] Zuluaga german campuzano, perez william velasco, zuluaga juan ignacio marin. A g0-year-old
man with chronic renal failure and a costal mass : a case report and review of the literature. J Med
Case Reports 2009. 3 pg 7285-91

[v] Fineman igor, johnson Patrick, Patre Pier luigi, Sandhu Harvinder. Chronic Renal failure causing
brown tumors and myelopathy. Journal of neurosurgery 90(2). 1999

[vi] Marini M, Vidiri A, Guerrisi R: Progress of brown tumors in patients with chronic renal
insufficiency undergoing dialysis. Eur J Radiol 14:6771, 1992.

[vii] Slatopolsky Eduardo, Brown Alex, Dusso Adriana. Pathogenesis of secondary


hyperparathyoridism. Kidney int 1999: 56(S 73) pg S14-19

Anda mungkin juga menyukai