Anda di halaman 1dari 16

Latar belakang

Keamanan pangan diartikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain
yang
dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.
Pangan yang
aman serta bermutu dan bergizi tinggi sangat penting peranannya bagi
pertumbuhan,
pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan
kecerdasan
masyarakat (Saparinto dan Hidayati, 2006).
Pada umumnya dalam pengelolaan makanan selalu diusahakan untuk
menghasilkan produk makanan yang disukai dan berkualitas baik. Makanan
yang
tersaji harus tersedia dalam bentuk dan aroma yang lebih menarik, rasa enak,
warna
dan konsistensinya baik serta awet. Untuk mendapatkan makanan seperti
yang
diinginkan maka sering pada proses pembuatannya dilakukan penambahan
Bahan
Tambahan Pangan (BTP) yang disebut zat aktif kimia (food additive)
(Widyaningsih, 2006). BTP ditambahkan untuk memperbaiki karakter pangan
agar
memiliki kualitas yang meningkat. BTP pada umumnya merupakan bahan
kimia yang
telah ditelit`````i dan diuji sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang ada.
Pemerintah
sendiri telah mengeluarkan berbagai aturan yang diperlukan untuk mengatur
pemakaian BTP secara optimal (Syah, 2005).

Ada bahan kimia berbahaya yang bukan ditujukan untuk makanan, justru
ditambahkan kedalam makanan. Hal ini tentu saja akan sangat membahayakan
konsumen (Yuliarti, 2007).

Adapun bahan kimia berbahaya yang bukan ditujukan untuk makanan, justru
ditambahkan kedalam makanan adalah formalin, boraks, rhodamin B, methanil
yellow. Diantara beberapa jenis bahan kimia berbahaya tersebut yang paling
sering
digunakan secara bebas di masyarakat adalah formalin dan boraks.
Boraks adalah senyawa kimia turunan dari logam berat boron (B). Boraks
merupakan anti septik dan pembunuh kuman. Bahan ini banyak digunakan
sebagai
bahan anti jamur, pengawet kayu, dan antiseptik pada kosmetik13.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh BPOM pada tahun 2005 bahwa bahan
makanan yang menduduki peringkat teratas mengandung formalin dan boraks
adalah
ikan laut, mie basah, tahu dan bakso..
Tipus boraks

2.1 pengertian dan karakteristik boraks

Asam borat atau boraks (boric acid) merupakan zat pengawet berbahaya yang
tidak diizinkan digunakan sebagai campuran bahan makanan. Boraks adalah
senyawa
kimia dengan rumus Na2B4O7 10H2O berbentuk kristal putih, tidak berbau dan stabil
pada suhu dan tekanan normal. Dalam air, boraks berubah menjadi natrium
hidroksida dan asam borat (Syah, 2005).

Asam borat (H3BO3) merupakan senyawa bor yang dikenal juga dengan nama
borax. Di Jawa Barat dikenal juga dengan nama bleng, di Jawa Tengah dan Jawa
Timur dikenal dengan nama pijer. Digunakan/ditambahkan ke dalam pangan/bahan
pangan sebagai pengental ataupun sebagai pengawet (Cahyadi, 2008). Karekteristik
boraks antara lain (Riandini, 2008):
a) Warna adalah jelas bersih
b) Kilau seperti kaca
c) Kristal ketransparanan adalah transparan ke tembus cahaya
d) Sistem hablur adalah monoklin
e) Perpecahan sempurna di satu arah
f) Warna lapisan putih
g) Mineral yang sejenis adalah kalsit, halit, hanksite, colemanite, ulexite dan
garam asam bor yang lain.
h) Karakteristik yang lain: suatu rasa manis yang bersifat alkali.
Senyawa-senyawa asam borat ini mempunyai sifat-sifat kimia sebagai berikut : jarak lebur
sekitar 171oC. Larut dalam 18 bagian air dingin, 4 bagian air mendidih, 5 bagian gliserol 85%,
dan tidak larut dalam eter. Kelarutan dalam air bertambah dengan penambahan asam klorida,
asam sitrat atau asam tartrat. Mudah menguap dengan pemanasan dan kehilangan satu
molekul airnya pada suhu 1000C yang secara perlahan berubah menjad asam metaborat
(HBO2). Asam borat merupakan asam lemah dengan garam alkalinya bersifat basa,
mempunyai bobot molekul 61,83 berbentuk serbuk halus kristal transparan atau granul putih
tak berwarna dan tak berbau serta agak manis (Khamid, 2006).

2.2 fungsi boraks

Boraks bisa didapatkan dalam bentuk padat atau cair (natrium hidroksida atau
asam borat). Baik boraks maupun asam borat memiliki sifat antiseptik dan biasa
digunakan oleh industri farmasi sebagai ramuan obat, misalnya dalam salep, bedak,
larutan kompres, obat oles mulut dan obat pencuci mata. Selain itu boraks juga
digunakan sebagai bahan solder, pembuatan gelas, bahan pembersih/pelicin
porselin,
pengawet kayu dan antiseptik kayu (Aminah dan Himawan, 2009).
Asam borat dan boraks telah lama digunakan sebagai aditif dalam berbagai
makaan. Sejak asam borat dan boraks diketahui efektif terhadap ragi,jamur dan
bakteri, sejak saat itu mulai digunakan untuk mengawetkan produk makanan. Selain
itu, kedua aditif ini dapat digunakan untuk meningkatkan elastisitas dan kerenyahan
makanan serta mencegah udang segar berubah menjadi hitam.
Asam borat dapat dibuat dengan menambahkan asam sulfat atau klorida pada boraks.
Larutannya dalam air (3%) digunakan sebagai obat cuci mata yang dikenal sebagai boorwater.
Asam borat juga digunakan sebagai obat kumur, semprot hidung dan salep luka kecil. Tetapi
bahan ini tidak boleh diminum atau digunakan pada bekas luka luas, karena beracun bila
terserap oleh tubuh (Winarno dan Rahayu, 1994).

Efek negatif dari penggunaan boraks dalam pemanfaatannya yang salah pada
kehidupan dapat berdampak sangat buruk pada kesehatan manusia. Boraks
memiliki
efek racun yang sangat berbahaya pada sistem metabolisme manusia sebagai
halnya
zat-zat tambahan makanan lain yang merusak kesehatan manusia.
Sering mengkonsumsi makanan berboraks akan menyebabkan gangguan
otak,
hati, lemak dan ginjal. Dalam jumlah banyak, boraks menyebabkan demam,
anuria
(tidak terbentuknya urin), koma, merangsang sistem saraf pusat, menimbulkan
depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal, pingsan
bahkan
kematian (Widyaningsih dan Murtini, 2006).
Penggunaan boraks
apabila dikonsumsi secara terus-menerus dapat mengganggu gerak
pencernaan usus,
kelainan pada susunan saraf, depresi dan kekacauan mental. Dalam jumlah
serta dosis
tertentu, boraks bisa mengakibatkan degradasi mental, serta rusaknya saluran
pencernaan, ginjal, hati dan kulit karena boraks cepat diabsorbsi oleh saluran
pernapasan dan pencernaan, kulit yang luka atau membran mukosa (Saparinto
dan
Hidayati, 2006).

2.3 ciri makanan yang mengandung boraks

Meskipun bukan pengawet makanan, boraks sering pula digunakan sebagai


pengawet makanan. Selain sebagai pengawet, bahan ini berfungsi pula
mengenyalkan
makanan. Makanan yang sering ditambahkan boraks diantaranya adalah bakso,
lontong, mie, kerupuk, dan berbagai makanan tradisional seperti lempeng dan
alen-alen. Di masyarakat daerah tertentu boraks juga dikenal dengan sebutan
garam
bleng, bleng atau pijer dan sering digunakan untuk mengawetkan nasi untuk
dibuat makanan yang sering disebut legendar atau gendar (Yuliarti, 2007).
Ciri-ciri mi basah mengandung boraks: Teksturnya kenyal, lebih mengkilat, tidak lengket,
dan tidak cepat putus.
- Ciri bakso mengandung boraks: Teksturnya sangat kenyal, warna tidak kecokelatan seperti
penggunaan daging namun lebih cenderung keputihan.
-Ciri-ciri jajanan (seperti lontong) mengandung boraks: Teksturnya sangat kenyal, berasa
tajam, seperti sangat gurih dan membuat lidah bergetar dan memberikan rasa getir.
- Ciri-ciri kerupuk mengandung boraks: teksturnya renyah dan bisa menimbulkan rasa getir.

2.4 karakteristik bahan yang digunakan

a. sosis

Sosis merupakan makanan yang dibuat dari daging maupun ikan yang
telah dicincang, dihaluskan, diberi bumbu-bumbu, lalu dimasukkan ke
dalam pembungkus berbentuk bulat panjang (casing) berupa usus hewan
atau pembungkus buatan. Sosis dapat dikonsumsi dengan memasak, tanpa
dimasak, dengan atau tanpa diasap. Daging segar dapat diolah oleh
konsumen menjadi produk olahan daging yang siap saji, seperti sosis
(Prayitno, dkk., 2009).
Sosis adalah daging lumat yang dicampur dengan bumbu atau rempahrempah kemudian
dimasukkan dan dibentuk dalam pembungkus atau casing. Bahan-bahan yang digunakan
untuk pembuatan sosis terdiri dari : daging, lemak, bahan pengikat, bahan pengisi, air, garam
dapur dan bumbu (ketaren, 2008).

b. cilok

Menurut Rohmah (2013), pentol cilok adalah makanan ringan menyerupai


pentol yang terbuat dari tepung kanji dengan atau tanpa ditambahkan daging
cincang yang dibentuk bulat dan direbus hingga matang, memiliki rasa gurih dan
kenyal serta disajikan dengan saus. Perlu
diwaspadai akan kemanan pangan dari pentol cilok tersebut, karena biasanya
pentol cilok dijual dalam keadaan terbuka dan dibiarkan dalam waktu yang lama,
sehingga memungkinkan terjadinya cemaran oleh mikroba. Cemaran oleh
mikroba pada pentol cilok juga dipengaruhi oleh sanitasi selama proses
pengolahan serta higiene dari penjamah makanan. Selain cemaran oleh mikroba,
keamanan pangan pentol cilok juga dipengaruhi oleh bahan-bahan yang
digunakan, kualitas dari bahan-bahan tersebut, penggunaan bahan tambahan
makananan serta keberadaan bahan berbahaya dalam pembuatan pentol cilok.
Cilok biasanya ada yang tidak memiliki isi cirinya ukurannya kecil seperti
kelereng sedangkan cilok yang memiliki isi biasanya dengan ukuran bulat yang
lebih besar dari kelereng. Isi cilok biasanya telur atau daging cincang di
dalamnya, karena terbuat dari bahan dasar tapioka maka cilok terasa kenyal saat
dikonsumsi.

Cilok terbuat dari campuran tepung tapioka, tepung terigu, potongan seledri,
dan bumbu-bumbu seperti bawang putih, garam, serta merica. Cilok yang beredar
di masyarakat hanya terbuat dari tepung tapioka dimana kurang mengandung zat
gizi. Kandungan zat gizi tepung tapioka kalori 362,00 kal; protein 0,50 gr; lemak
0,30 gr; karbohidrat 86,90 gr; air 12,00 gr per 100 gram (Lies Suprapti, 2005).
Bumbu yang digunakan dalam pembuatan cilok digunakan untuk menambah rasa,
penyedap, dan pengawet alami.
c. kerupuk

Kerupuk merupakan makanan kudapan yang bersifat kering, ringan yang terbuat
dari bahan yang mengandung pati yang cukup tinggi. Kerupuk merupakan makanan
kudapan yang popular, mudah cara membuatnya beragam warna dan rasa, disukai
oleh segala lapisan usia (Wahyuni, 2007).
Kerupuk adalah makanan ringan yang dibuat dari adonan tepung tapioca
dicampurbahan perasa seperti udangatau ikan. Kerupuk dibuat dengan mengukus
adonan sebelum dipotong tipis-tipis, dikeringkan di bawah sinar mataharidan
digoreng dengan minyak gorengyang banyak (Soemarmo, 2009).
Kerupuk pada dasarnya dibagi menjadi dua jenis yaitu kerupuk halus dan kerupukkasar.
Kerupuk kasar dibuat hanya dari bahan pati yang ditambahkan bumbu, sedangkan kerupuk
halus ditambah lagi dengan bahan berprotein seperti ikan sebagai bahan tambahan. Kerupuk
tapioka mempunyai kandungan protein yang rendah. Hal ini dikarenakan kadar protein bahan
baku yang digunakan (tepung tapioka) rendah Penambahan ikan, tepung udang dan sumber
protein lainnya pada adonan kerupuk diharapkan akan meningkatkan kandungan protein
kerupuk yang dihasilkan (Wijandi et al., 1975).

d. ayam potong atau daging ayam

Daging ayam broiler banyak diminati masyarakat disebabkan oleh teksturnya yang elastis,
artinya jika ditekan dengan jari, daging dengan cepat akan kembali seperti semula. Jika ditekan
daging tidak terlalu lembek dan tidak berair. Warna daging ayam segar adalah kekuning-
kuningan dengan aroma khas daging ayam broliler tidak amis tidak berlendir dan tidak
menimbulkan bau busuk (Kasih et al. 2012).

Daging ayam mengandung gizi yang tinggi, protein pada ayam yaitu 18,2 g / 100 g daging ayam
broiler, sedangkan lemaknya berkisar 25,0 g. (Depkes, 1996). Menurut Soeparno (1994), kadar
air daging broiler sebesar 68-75%. Daging broiler mengandung protein 21%, lemak 19%, dan zat
mineral 3,2%.

Daging ayam termasuk mengandung gizi yang tinggi, selain dari proteinnya
juga daging ayam mengandung lemak. Protein pada ayam yaitu 18,2 g, sedangkan
lemaknya berkisar 25,0 g.
Tabel 1. Komposisi Kimia Daging Ayam dalam 100 g bahan
Komponen Jumlah
Kalori (g) 30,2
Protein (g) 18,2
Lemak (g) 25,0
Karbohidrat (g) 0
Kalsium (mg) 14
Fosfor (mg) 200
Besi (mg) 1,5
Vitamin A (SI) 810
Vitamin B1 (mg) 0,08
Vitamin C (mg) 0
Air (g) 55,9
Bdd (%) 58
Sumber : Departemen Kesehatan RI., (1996).

e.rumput laut
2.5 reaksi kimiayang terjadi

Metode Easy Test Boraks


Metode easy test boraks merupakan cara uji kandungan boraks secara
kualitatif pada makanan yang mempunyai prosedur paling sederhana. Alat uji yang
digunakan adalah Tes Kit Borax. Test Kit Borax (Boraks) dalam makanan adalah
alat
uji cepat kualitatif untuk mendeteksi kandungan boraks dalam makanan dalam waktu
10 menit dengan batas sensitivitas deteksi 100 mg/Kg (100 ppm).
Adapun cara kerjanya adalah sebagai berikut:
1) Ambil 5 gr bakso yang akan diamati
2) Lumatkan bakso tersebut pada cawan porselin
3) Ambil dimasukkan beaker glass 25 ml
4) Tambahkan reagen test kit boraks EASY TES sebanyak 4 tetes
5) Tambahkan air mendidih 5 ml, aduk sampai padatan bakso dapat bercampur rata
dengan cairan sampai menyerupai bubur
6) Biarkan dingin, lalu ambil kertas uji dan celupkan kertas uji dengan campuran
tersebut, jika kertas uji yang semula berwarna kuning berubah menjadi merah
bata maka bakso tersebut positif mengandung boraks dan jika warna kertas uji
tetap maka bakso tersebut negatif kadungan boraksnya.

Bab 5

Pada praktikum uji boraks pada sampel yang pertama kali dilakukan pada adalah
menyiapkan sampel dan bahan-bahan lainnya serta alat yang akan digunakan. Pada uji boraks
ini menggunakan lima (5) sampel yaitu bakso, pempek, krupuk, cilok, dan pindang.
Disiapkan bahan 10 gram dari masing-masing sampel, setelah itu masing-masing sampel
dicincang halus agar kandungan dalam sampel lebih mudah terekstrak. Sampel diberi 2
perlakuan yaitu dengan direndam air mendidih dan tanpa perendaman. Perendaman
menggunakan air mendidih bertujuan untuk mengetahui keefektifan air dalam
melarutkan boraks sehingga kandunagn boraks yang terdapat pada sampel dapat
berkurang, karena boraks dapat larut dalam air. Selanjutnya sampel yang direndam
ditiriskan terlebih dahulu. Kedua sampel dari dua perlakuan ditambah dengan air mendidih
sebanyak 10 ml lalu dilakukan pengadukan agar homogen. Kemudian ditambahkan dengan
5ml HCl dan 4 tetes reagent cair. Penambahan reagent bertujuan untuk mengkondisikan
ekstrak agar dapat menunjukkan indikator perubahan apabila sampel terdeteksi positif
sedangkan penambahan HCl bertujuan agar pH bekstrak mendekati asam, sehingga
dapat terdeteksi saat diuji menggunakan kertas kit. Kertas uji dicelupkan sebagian
kedalam larutan suspensi lalu dikering anginkan untuk dapat mengetahui perubahan warna
pada kertas. Kertas uji yang sudah kering kemudian diamati apakah terjadi perubahan warna
atau tidak. Jika kertas uji berubah warna menjadi merah bata maka hal itu
menunjukkan bahwa sampel positif terdeteksi mengandung boraks.
Pada praktikum uji kandungan boraks, pertama disiapkan sampel sebanyak 10 gram.
Sampel yang digunakan yaitu tahu, lontong, ikan asin, cilok, mie basah dan bakso. Sampel
tersebut diberi dua perlakuan yang berbeda yaitu dilakukan perendaman dengan
menggunakan air panas dan tanpa perendaman dengan menggunakan air panas. Perbedaan
perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perendaman terhadap kandungan boraks
dalam sampel. Selanjutnya sampel dicincang dan dihaluskan menggunakan mortar dan
alu agar zat-zat yang terdapat dalam sampel bisa cepat larut atau mempermudah
pelarutan. Kemudian sampel tersebut ditambahkan 10 ml air mendidih. Hal ini
bertujuan untuk mempermudah pelarutan zat-zat yang terdapat di dalam sampel.
Selanjutnya ditambahkan asam klorida (HCl) sebanyak 5 ml. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan kelarutan boraks dan mempermudah identifikasi, sehingga apabila pada
sampel mengandung boraks maka akan lebih larut. Selain itu juga ditambahkan 4 tetes
reagent cair. Reagent cair ini berfungsi sebagai pereaksi. Setelah dilakukan pencampuran
bahan-bahan tersebut, maka dicelupkan kertas uji sampai terendam sebagain. Kertas uji
tersebut digunakan sebagai indikator untuk menentukan ada atau tidaknya kandungan boraks
pada sampel. Kemudian kertas uji dikering anginkan agar cepat terjadi reaksi perubahan
warna. Terakhir adalah dilakukan pengamatan perubahan warna yang terjadi pada kertas uji.
Apabila kertas uji warnanya berubah menjadi warna merah maka sampel yang diuji
positif mengandung boraks.

Dapus

nonim. 2008. Peranan Penjamah Makanan.


(http://k3lh.com/2006/06/perananpenjamah-
makanan.html) [18 Desember 2010]
Aminah dan Himawan. 2009. Bahan-Bahan Berbahaya dalam Kehidupan. Bandung:
Salamadani
BPS Kabupaten Jember. 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010 Data Agregat per
Kecamatan Kabupaten Jember. Jember: Badan Pusat Statistik
Budiarto, 2004. Metodologi Penelitian Kedokteran Sebuah Pengantar. Jakarta: EGC
Budiyanto, AK. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Malang:Universitas Muhammadiyah
Malang.
Cahyadi, W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan Edisi 2
Cetakan I. Jakarta:. Bumi Aksara
Depkes R.I, dan Dirjen POM. 1988. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
722/Menkes/Per/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Makanan. Jakarta
Depkes R.I. 1999. Permenkes RI No.1168/Menkes/Per/X/1999 tentang Bahan
Tambahan Pangan. Jakarta
Depkes R.I. 2001. Pedoman Program Perbaikan Gizi di Indonesia. Jakarta
Depkes R.I. 2002. Pedoman Penggunaan Bahan Tambahan Pangan bagi Industri.
Jakarta
Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat. 2006 .Keamanan Pangan Asal Unggas.
http://www.disnak.jabarprov.go.id/images/artikel/poster-keamanan-pangan4
.doc [12 Oktober 2010]
65
Fardiaz, S. 2007. Bahan Tambahan Makanan. Institut Pertanian Bogor. Bandung.
http://perpustakaan.pom.go.id/KoleksiLainnya/Buletin%20Info%20POM/011
0.pdf [18 Mei 2010]
Hughes, Christopher C. 1987. The Additive Guide. Photographics. Britain: Honiton,
De Great.
Hardinsyah dan Sumali, 2001. Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan. Jakarta :
Koswara
Hikmawati, S. 1994. Studi Kandungan Boraks pada Makanan Jajanan Bakso yang
Beredar di Pasar di Wilayah Kodia Semarang. Skripsi. Semarang:Universitas
Diponegoro
Janny, MS.MA. 2009. Asam borat dan Borax di Makanan.
http://www.cfs.gov.hk/english/multimedia/multimedia_pub/multimedia_pub_f
sf.html [12 Januari 2011]
Juliana, A.M. 2005. Identifikasi Boraks pada Bakso Sapi Bermerek yang Dijual di
Pasar Swalayan Kota Semarang. Skripsi. Semarang: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang.
Komariah, dkk. 2005. Aneka Olahan Daging Sapi. Jakarta:Agromedia
Laurie, R.A. 2003. Ilmu Daging Edisi Kelima. Jakarta: Universitas Indonesia Press
Margono .1997. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta:Rineka Cipta.
Mukono, H.J. 2004. Hygiene Sanitasi Hotel dan Restoran. Surabaya: Airlangga
University Press.
Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.
Notoadmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Panjaitan, L. 2010. Pemeriksaan dan Penetapan Kadar Boraks dalam Bakso di
Kotamadya Medan. http://Repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17273/
7/Cover.pdf [18 Mei 2010]
66
Putra, A.K. 2009. Formalin dan Boraks pada Makanan. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Rohman, A dan Sumantri. 2007. Analisis Makanan. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Raike. 2007. Borax-Struktur. http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Borax-
Struktur.jpg. [16 Agustus 2008]
Riandini, N. 2008. Bahan Kimia dalam Makanan dan Minuman. Shakti Adiluhung.
Bandung.
Rohman, A. dan Sumantri. 2007. Analisis Makanan. Institut Teknologi Bandung.
Bandung.
Saparinto, C. Hidayati, D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius
Suklan H., Apa dan Mengapa Boraks Dalam Makanan. Penyehatan Air dan Sanitasi
(PAS). 2002; Vol . IV Nomor 7
Syah, D. dkk. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Bogor:
Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB
Sugiarto et al.2003. Tehnik sampling. Jakarta: PT.Gramedia Puataka Utama
Seto, S. 2001. Pangan dan Gizi Ilmu Teknologi Industri dan Perdagangan
Internasional. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian
Svehla, G.. 1985. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro,
Terjemahan: Setiono dan A. Hadyana Pudjatmaka. Jakarta: PT. Kalman
Media Pustaka
Tabrany, Herman. 2001. Pengaruh Proses Pelayuan Terhadap Keempukan Daging
(Suatu Tinjauan Filsafat Sains). http://tumoutou.net3sem1012hermant.
htm.htm. [25 November 2010]
Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan. http://bkp.deptan.go.id/sites/default
/files/UU_NO_7_ 1996_TENTANG_PANGAN_0.pdf. [12 Januari 2011]
Wibowo, S. 2000. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Jakarta: Penebar
Swadaya
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta :Gramedia Pustaka Utama
Widyaningsih, T.D. dan Murtini, ES. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada
Produk Pangan. Jakarta: Trubus Agrisarana
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Yuliarti, N. 2007. Awas Bahaya Di Balik Lezatnya Makanan. Yogyakarta: Andi

Cahyadi, W. 2009. Analisis & Aspek


Kesehatan Bahan Tambahan Pangan, Edisi
Kedua. Jakarta: Bumi Aksara.
Eka, R. 2013. Rahasia Mengetahui Makanan
Berbahaya. Jakarta: Titik Media Publisher
Nurkholidah,, Ilza, M. & Jose, C. 2012.
Analisis Kandungan Boraks Pada jajanan
Bakso Tusuk di Sekolah Dasar di
Kecamatan Bangkinang Kabupaten
Kampar. Jurnal Ilmu Lingkungan, (Online),
6(2): 134-145,
(http://ejournal.unri.ac.id/index.php Diakses
pada 23 April 2014)
Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 Tentang
Bahan Tambahan Pangan.
Pongsavee, M. 2009. Effect Of Borax on
Immune Cell Proliferation and Sister
Chromatid Exchange In Human
Chromosomes. Journal of Occupational
Medicine and Toxicology, (Online), 4(27):
1-6, (http://www.occup-med.com/content/)
Diakses pada 4 Oktober 2014)
Sahara, E., Purawisastra, S. 2011. Penyerapan
Formalin Oleh Beberapa Jenis Bahan
Makanan Serta Penghilangannya Melalui
Perendaman dalam Air Panas. Jurnal
Penelitian Gizi dan Makanan, (Online),
34(1): 63-74,
(http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.p
hp/.../3078. Diakses pada 30 September
2014)
Saparinto, C. dan Hidayati, D. 2010. Bahan
Tambahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius

Khusna, D. A. Pengaruh Penggunaan Tepung Daun Kelor Sebagai Bahan


Pensubtitusi Tepung Tapioka Terhadap Tingkat Kekenyalan Dan Daya
Terima Cilok. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Rohmah, N. K. 2013. Kajian Kemanan Pangan Pentol Cilok Di Desa Blawirejo
Kecamatan Kedungpring Lamongan. Surabaya: Universitas Negeri
Surabaya.
Suprapti, Lies. 2005. Tepung Tapioka Pembuatan dan Pemanfaatannya.
Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Sutardi dan Supriyanto., 1996. Sifat Tepung Sukun dan Kesesuaiannya untuk
Diolah Menjadi Berbagai Produk Olahan Makanan Kecil. Jakarta: Majalah
Pangan No.2 Vol. VII.
Wadcharat, C., T. Masubon and O. Naivikul. 2006. Characterization of
pregelatinized and heat moisture treated rice flours. Kasetsart J.
40 (Suppl): 144-153.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Winarno, F.G. 1995. Enzim Pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi 111. Jakarta:

Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan

Depkes R.I. 1999. Permenkes RI No.1168/Menkes/Per/X/1999 tentang Bahan

Tambahan Pangan. Jakarta

Fadilah. 2006. Identifikasi Kandungan Bahan Tambahan Makanan (BTM) Pada


Makanan Jajanan Anak SDN Kompleks Kota Palopo Tahun 2006.
Skripsi. Makassar: Universitas Hasauddin.

Rohman, A dan Sumantri. 2007. Analisis Makanan. Bandung: Institut Teknologi

Bandung
Suhanda, Rikky. 2012. Higiene Sanitasi Pengolahan dan Analisa Boraks pada
Bubur Ayam yang Dijual diKecamatan Medan Sunggal Tahun
2012.Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara

Wahyuni, M. 2007. Kerupuk Tinggi Kalsium: Nilai Tambah Limbah Cangkang \ Kerang
Hijau Melalui Aplikasi Teknologi Tepat Guna
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Astawan, M. 1999. Membuat mie dan Bihun. Jakarta : Penebar Swadaya.
Balai Besar POM. 2007. Instruksi kerja : Identifikasi Boraks Dalam Makanan. Medan.
British Pharmacopoeia. 1988. British Pharmacopoeia, Volume I & II. London: Medicines and
Healthcare Products Regulatory Agency (MHRA). Page 4788.
BSNI. 1998. SNI 01-3142-1998 : Syarat Mutu Tahu. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional
Indonesia.
Cahyadi, W. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta : Penerbit
Bumi Aksara.
Clarke, E. G. C., Moffat, A. C., Osselton, M. D., Widdop, B. 2004. Clarkes Analysis of Drugs and
Poisons. London : Pharmaceutical Press.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan : Jakarta.
Djarijah, A.S. 1995. Pakan ikan alami . Yogyakarta : Kanisius.
Helrich, K.C., (ed), 1990, Official Methods of Analysis Association of Official Analytical Chemist
(AOAC) 15th Ed., 780-781, Association of Official Analytical Chemicts Inc, USA.
Kastyanto, F.W.1999. Membuat Tahu. Jakarta : Penebaran Swadaya.
Khamid, 1993. Bahaya Boraks Bagi Kesehatan. Jakarta : Penerbit Kompas
Khamid, I.R. 2006. Bahaya Boraks Bagi Kesehatan. Jakarta. Penerbit Kompas.
Sarwono,S dan Saragih Y.P.2003. Membuat Aneka Tahu. Jakarta : Penebar Swadaya.
Shurtleff W, Aoyagi A. 2001. Tofu and Soymilk Producton, The Book of Tofu Vol II. Lafayete:
Soyinfo Center.
United State Pharmacopeia. 1990. USP 29-NF 24. Rockville.
Vepriati,N. 2007. Surveilans Bahan Berbahaya pada Makanan di Kabupaten Kulon Progo. Kulon
Progo : Dinkes Kulon Progo.
Widyaningsih, D.T., Murtini, E.S. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan.
Surabaya : Trubus Agriarana.
Winarno F.G, Rahayu TS. 1994. Bahan Tambahan Untuk Makanan dan Kontaminan. Jakarta:
Pustaka Sinar.
Zulharmita A. 1995. Kandungan Boraks pada Makanan Jenis Mie yang Beredar di Kotamadya
Padang : Cermin Dunia Kedokteran. Padang Universitas Andalas.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, sampel cireng menunjukan hasil
positif jadi sampel tersebut mengandung boraks. Hal ini disebabkan karena terjadi
perubahan warna pada kertas curcuma menjadi kemerahan yang membuktikan bahwa
sampel tersebut mengandung boraks. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Nurkholidah
(2012) bahwa Sekarang ini banyak ditemukan makanan jajanan yang mengandung
boraks dan salah satu adalah cireng.
Boraks sering disalahgunakan oleh produsen nakal untuk pembuatan makanan,
padahal fungsi boraks yang sebenarnya adalah digunakan dalam dunia industri non
pangan sebagai bahan solder, bahan pembersih, pengawet, kayu, antiseptic dan kecoa
(Suhanda, 2012). Sering mengkonsumsi makanan mengandung boraks akan
menyebabkan gangguan otak, hati, lemak dan ginjal. Dalam jumlah banyak, boraks
menyebabkan deman, anuria, koma, menimbulkan depresi, apatis, pingsan bahkan
kematian (Widyaningsih, 2006).
Menurut Sugiyatmi (2006) mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks tidak
langsung berakibat buruk terhadap kesehatan, tetapi senyawa tersebut diserap dalam
tubuh akan menyebabkan timbulnya gejala pusing, muntah, mencret, dank ram perut.
Oleh karena itu berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88
dilarang menggunakan boraks sebagai bahan campuran dan pengawet makanan.

..

Pada Pengujian kandungan boraks, bahan sampel yang diuji adalah bakso dan tahu. Untuk
bakso yang diuji merupakan produk rumahan sedangkan tahu yang didapat berasal dari
pasar. Jenis pengujian yang dilakukan adalah uji kualitatif. Yakni hanya sekadar
mengetahui ada tidaknya kandungan boraks pada sampel. Langkah pertama yang
dilakukan adalah mengambil ekstrak bakso dan tahu dengan cara menghaluskan masing-
masing bahan dan mencampurkan air panas ke dalamnya. Setelah itu, 5 ml filtrat masing-
masing bahan dipisahkan kedalam tabung reaksi. Kemudian, masing-masing filtrat
ditetesi 4 tetes reagent cair dan 5 ml larutan HCl. Untuk mengetahui ada tidaknya
dilakukan dengan memasukkan indikator uji yaitu kertas turmeric (kunyit) ke dalam
kedua larutan uji. Kertas yang dimasukkan hanya sebagiannya saja, sehingga perubahan
warna yang terjadi dapat diamati. Hasil positif menunjukkan perubahan warna kertas
menjadi merah bata.
Dalam praktikum, uji kandungan boraks terhadap tahu menunjukkan hasil positif, dimana
warna larutan filtrat dari ekstrak tahu tetap berwarna kuning. Sedangkan pada sampel uji
bakso menghasilkan hasil positif, dimana terdapat garis merah pada kertas kunyit yang
dimasukkan ke dalam filtrat.
Boraks (Na2B4O7) dengan nama kimia natrium tetra borat, natrium biborat, natrium
piroborat merupakan senyawa kimia yang berbentuk kristal dan berwarna putih dan jika
dilarutkan dalam air menjadi natrium hidroksida serta asam boraks. Dalam pengujian,
tidak hanya menggunakan reagent saja, tapi juga menggunakan larutan HCl. Reaksi
antara Natrium tetraborat dengan HCl akan menghasilkan garam NaCl dan asam
tetraborat yang sifatnya asam. Penggunaan kertas kunyit dilakukan sebagai indikator
perubahan warna yang terjadi jika percobaan menunjukkan hasil positif, yaitu berwarna
merah.

Daftar Pustaka

Depkes RI. 1988. Peraturan Menteri Kesehatan RI No : 722/Menkes/Per/IX/1988 Tentang


Bahan Tambahan Pangan. DepKes RI : Jakarta.
Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No : 2897.a/PD.670.320/L/10/07 tentang
Pedoman Pengambilan Sampel dalam Rangka Monitoring Hama dan Penyakit
Hewan Karantina pada Hewan dan Bahan Asal Hewan serta Hasil Bahan Asal
Hewan di Daerah Pemasukan/Pengeluaran dan Daerah Penyebaran Esk Pemasukan.
Nurkholidah., Ilza, M., Jose, C. 2012. Analisis Kandungan Boraks pada Jajanan Bakso
Tusuk di Sekolah Dasar di Kecamatan Bangkinang Kabupaten Kampar. Universitas
Riau. Riau
Sugiyatmi, S. 2006. Analisis Faktor-Faktor Resiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks dan
Pewarna pada Makanan Jajanan Tradisional yang Dijual di Pasar-pasar Dikota
Semarang Tahun 2006. Universitas Dipenogoro. Semarang.
Suhanda, Rikky. 2012. Higiene Sanitasi Pengolahan dan Analisa Boraks pada Bubur Ayam
yang dijual di Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2012. Universitas Sumatra Utara.
Medan.
Widyaningsih, Tri D dan Murtini, ES. 2006. Alternatif Pengganti Formalin pada Produk
Pangan. Trubus Agrisarana. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai