Anda di halaman 1dari 36

TUGAS TOKSIKOLOGI

ANALISIS GOLONGAN OBAT (Antiaritmia, Antikoagulan,


Bronkolitikum, dan Antagonis Kalsium)

Nama Anggota :
1. Aditya Imas Cahya Oktafiana (14040056)
2. Vidya Nuristika (14040049)
3. Wida Widiaturrohmah (14040050)
4. Yerli (14040053)
5. Yuli Yanti (14040055)

PROGRAM S1 FARMASI
SEKOLAH TINGGI FARMASI MUHAMMADIYAH
TANGERANG
2017
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga
makalah tentang Analisis Golongan Obat (Antiaritmia, Antikoagulan,
Bronkolitikum, dan Antagonis kalsium) dapat memberikan manfaat dan dapat
digunakan dalam perkuliahan.

Penyusun

Tangerang, 31 Oktober 2017

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I LATAR BELAKANG.................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 1
1.3 Tujuan ............................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 3
2.1 Definisi Obat .................................................................................. 3
2.2 Antiaritmia .................................................................................... 3
2.3 Bronkolitikum ................................................................................ 8
2.4 Antikoagulan ................................................................................. 16
2.5 Antagonis Kalsium ........................................................................ 20
BAB III KESIMPULAN ............................................................................ 32
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Obat adalah bahan atau zat yang berasal dari tumbuhan, hewan,
mineral maupun zat kimia tertentu yang dapat digunakan untuk mengurangi
rasa sakit, memperlambat proses penyakit dan atau menyembuhkan
penyakit. Obat harus sesuai dosis agar efek terapi atau khasiatnya bisa kita
dapatkan.
Golongan obat adalah penggolongan yang dimaksud untuk
peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan distribusi yang terdiri
dari obat bebas, obat keras, psikotropika dan narkotika, obat bebas terbatas
yang akan dibahas secara mendetail pada pembahasan selanjutnya.
Dalam suatu analisa farmasi, yang ditentukan bukan hanya untuk uji
kualitas, tetapi juga untuk uji kuantitasnya. Atau dengan kata lain
menentukan adanya suatu zat dalam sediaan dan menentukan seberapa besar
kandungan zat aktifnya.
Analisa kualitatif dan kuantitatif suatu senyawa obat yang diproduksi
sangat penting untuk dilakukan, karena obat-obat yang beredar dipasaran
harus diketahui kadar dan mutunya secara pasti. Senyawa atau bahan kimia
obat harus sesuai dengan yang tercantum dalam Farmakope dan buku-buku
resmi lainnya. Dan untuk mengawasi penggunaan obat oleh rakyat serta
untuk menjaga keamanan penggunaannya, maka pemerintah
menggolongkan obat.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan obat dan penggolongan obat ?
2. Apa yang dimaksd dengan golongan obat antiaritmia ?
3. Apa yang dimaksud dengan golongan obat antikoagulan ?
4. Apa yang dimaksd dengan golongan obat bronkolitikum ?
5. Apa yang dimaksud dengan golongan obat antagonis kalsim ?

1
1.3. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari obat.
2. Mengetahui pengertian golongan obat antiaritmia.
3. Mengetahui pengertian golongan obat antikoagulan.
4. Mengetahui pengertian golongan obat bronkolitikum.
5. Mengetahui pengertian golongan obat antagonis kalsium.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Obat


Menurut PerMenKes 917/Menkes/Per/x/1993, obat (jadi) adalah
sediaan atau paduan-paduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki secara fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan
dan kontrasepsi.
Obat dalam arti luas ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi
proses hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas
cakupannya. Namun untuk seorang dokter, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu
agar dapat menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan
pengobatan penyakit. Selain itu, agar mengerti bahwa penggunaan obat
dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit. (Bagian Farmakologi,
Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia).
Obat merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap untuk
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau
keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi
(Kebijakan Obat Nasional, Departemen Kesehatan RI, 2005).
Golongan obat adalah penggolongan yang dimaksudkan untuk
peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan
distribusi yang terdiri dari obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib
apotek, obat keras, psikotropika dan narkotika yang diatur dalam Peraturan
Mentri Kesehatan RI Nomor 949/Menkes/Per/VI/2000.

2.2. Antiartmia
2.1.1. Pengertian Antiartmia
Antiaritmia (antiaritmia jamak) sebuah obat yang
memperlakukan atau mencegah (jantung) aritmia (denyut tidak
teratur). Obat-obat anti aritmia dapat diklasifikasikan secara klinik
menjadi kelompok obat untuk aritmia supraventrikel (misal
verapamil), kelompok obat untuk aritmia supraventrikel maupun

3
aritmia ventrikel (misal disopiramid), dan kelompok obat untuk
aritmia ventrikel (misal lidokain). Obat-obat aritmia juga dapat
diklasifikasikan berdasarkan efeknya pada aktivitas listrik sel
miokard:
1. Kelas Ia, b, c : obat-obat yang mensta- bilkan membran
(misal berturut - turut kinidin, lidokain,
flekainid).
2. Kelas II : beta-bloker.
3. Kelas III : amiodaron, dan sotalol (juga kelas II).
4. Kelas IV : antagonis kalsium (misal verapamil, tapi
bukan golongan dihidropiridin).
5. Klasifikasi terakhir ini (klasifikasi Vaughan Williams) kurang
dimanfaatkan dalam praktek klinik.

2.1.2. Pengobatan non farmakologis


1. Kurangi merokok
2. Kurangi stress
3. Kurangi minuman beralkohol
4. Diet

2.1.3. Pengobatan Farmakologi


Biasa digunakan klasifikasi Singh-Vaughan Williams yang
didasarkan hanya pada kanal atau reseptor yang terpengaruh, atau
dengan menggunakan obat obat anti Aritmia. Obat antiaritmia
telah lama dibagi atas empat golongan yang berbeda atas dasar
mekanisme kerjanya. Golongan I terdiri atas penghambat saluran
natrium, semuanya memiliki sifat seperti anestesi lokal. Golongan I
sering dibagi menjadi sub bagian tergantung pada kelangsungan
kerja potensial; Golongan IA memperpanjang, IB memperpendek,
dan IC tidak mempunyai efek atau dapat meningkatkan sedikit
berlangsungnya kerja potensial. Obat yang mengurangi aktivitas

4
adrenalin merupakan Golongan II. Golongan III terdiri atas obat
yang memperpanjang periode refrakter efektif oleh suatu
mekanisme berbeda daripada hambatan saluran natrium.

1. Obat Penghambat Saluran Natrium (Golongan I)


a. Kuinidin (Golongan IA)
Kuinidin merupakan obat paling umum yang
digunakan secara oral sebagai antiaritmia di Amerika
Serikat. Kuinidin menekan kecepatan pacu jantung serta
menekan konduksi dan ekstabilitas terutama pada jaringan
yang mengalami depolarisasi. Kuinidin bersifat penghambat
adrenoseptor alfa yang dapat menyebabkan atau
meningkatkan refleks nodus sinoatrial. Efek ini lebih
menonjol setelah pemberian intravena. Biasanya diberikan
peroral dan segera diserap oleh saluran cerna. Digunakan
pada hamper segala bentuk aritmia.
b. Prokainamid (Golongan IB)
Efek elektrofisiologik prokainamid sama seperti
kuinidin. Obat ini mungkin kurang efektif pada penekanan
aktivitas pacu ektopik yang abnormal tetapi lebih efektif
pada penghambatan saluran natrium pada sel yang
mengalami depolarisasi. Prokainamid mempunyai sifat
penghambat ganglion. Dengan konsetrasi teraupeutik, efek
pembuluh darah perifernya kurang menonjol daripada
dengan kuinidin. Prokainamid aman diberiakan intravena
dan intamuskular serta diabsorbsi baik melalui oral dengan
75% keberadaan bilogik sistemik.

5
c. Disopiramid (Golongan IA)
Disopiramid fosfat erat hubungannya dengan
isopropamid, obat yang telah lama digunakan dengan sifat
antimuskariniknya. Efek antimuskarinik terhadap jantung
bahkan lebih jelas daripada kuinidin. Karenannya, obat
yang memperlambat hantaran atrioventrikular harus
diberikan bersama-sama dengan disopiramid pada
pengobatan kepak serambi atau fibrilasi atrium.
d. Imipramin (Golongan IA)
Imipramin adalah antidepresan trisiklik yang juga
mempunyai aktivitas antiaritmia. Kerja elektrofisiologik
dan aktivitas dalam klinik adalah sama dengan kuinidin.
Dosis permulaan sebaiknya lebih kecil, sebab efek samping
obat ini sangat menonjol dan dikurangi sambil
meningkatkan dosis perlahan-lahan.
e. Amiodaron (Golongan I, II, III, & IV)
Sangat efektif terhadap bermacam-macam aritmia,
tetapi efek samping yang menonjol dan sifat farmakokinetik
yang tidak biasa menyebabkan penggunaannya dibatasi di
Amerika Serikat.
f. Lidokain (Golongan IB)
Lidokain adalah obat antiaritmia yang paling lazim
dipakai dengan pemberian secara intravena. Insidens
toksisitasnya rendah dan mempunyai efektivitas tinggi pada
aritmia dengan infark otot jantung akut. Lidokain
merupakan penghambat kuat terhadap aktivitas jantung
yang tidak normal, dan tampaknya selalu bekerja pada
saluran natrium. Karena obat ini merupakan metabolisme
hati pada lintas pertama, hanya 3% lidokain yang diberikan
per oral terdapat dalam plasma. Lidokain adalah obat

6
pilihan untuk menekan takikardia ventrikel dan fibrilasi
setelah kardioversi.
g. Tokainid & Meksiletin (Golongan IB)
Tokainid & Meksiletin adalah turunan lidokain yang
tahan terhadap metabolisme hati pada lintasan pertama.
Karena itu dapat digunakan melalui oral. Kedua obat
menyebabkan efek samping neurologik, termasuk tremor,
penglihatan kabur, dan letargik.
h. Fenitoin (Golongan IB)
Karena efektivitasnya terbatas, maka hanya
dipertimbangkan sebagai obat barisan kedua pada
pengobatan aritmia.
i. Flekainid (Golongan IC)
Flekainid adalah penghambat saluran natrium yang
kuat terutama digunakan untuk pengobatan aritmia
ventricular. Flekainid dipakai sebagai cadangan mutakhir
untuk pasien takiaritmia ventricular yang berat dengan
resiko rasio manfaat lebih menguntungkan.
j. Propafenon (Golongan IC)
Mempunyai struktur mirip dengan propranolol dan
mempunyai aktivitas penghambat beta yang lemah.
Spectrum kerjanya mirip dengan kuinidi. Potensi
penghambat saluran natrium mirip dengan flekainid.
k. Morisizin (Golonga IC)
Menghasilkan berbagai metabolit pada manusia,
beberapa diantaranya mungkin aktif dan mempunyai waktu
paruh yang panjang. Efek samping yang lazim terjadi
adalah kepala pusing dan mual.

7
2.3. Bronkolitikum
2.3.1. Definisi Alergi
The World Allergy Organization (WAO) pada Oktober
2003 telah menyampaikan revisi nomenklatur penyakit alergi
untuk digunakan secara global. Alergi adalah reaksi hipersentivitas
yang diperantarai oleh mekanisme imunologi. Pada keadaan
normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular
tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh
antigen atau gangguan mekanisme ini akan menimbulkan suatu
keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Hipersensitivitas sendiri berarti gejala atau tanda yang secara
objektif dapat ditimbulkan kembali dengan diawali oleh pajanan
terhadap suatu stimulus tertentu pada dosis yang ditoleransi oleh
individu yang normal. Menurut Gell dan Coombs, reaksi
hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I, II, III dan
IV. Reaksi hipersensitivitas tipe I yang disebut juga reaksi
anafilaktik atau reaksi alergi.

2.3.2. Etiologi Alergi


Reaksi alergi timbul akibat paparan terhadap bahan yang
pada umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam
lingkungan, disebut alergen. Antibiotik dapat menimbulkan reaksi
alergi anafilaksis misalnya penisilin dan derivatnya, basitrasin,
neomisin, tetrasiklin, streptomisin, sulfonamid dan lain-lain. Obat-
obatan lain yang dapat menyebabkan alergi yaitu anestesi lokal
seperti prokain atau lidokain serta ekstrak alergen seperti rumput-
rumputan atau jamur, Anti Tetanus Serum (ATS), Anti Diphtheria
Serum (ADS), dan anti bisa ular juga dapat menyebabkan reaksi
alergi. Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur
diagnosis dan dapat menimbulkan alergi misalnya zat radioopak,
bromsulfalein, benzilpenisiloilpolilisin.

8
Selain itu, makanan, enzim, hormon, bisa ular, semut, udara
(kotoran tungau dari debu rumah), sengatan lebah serta produk
darah seperti gamaglobulin dan kriopresipitat juga dapat
merangsang mediator alergi sehingga timbul manifestasi alergi.
Alergi makanan biasanya terjadi pada satu tahun pertama
kehidupan dikarenakan maturitas mukosa usus belum cukup
matang, sehingga makanan lain selain ASI (Air Susu Ibu),
contohnya susu sapi, jika diberikan pada bayi 0-12 bulan akan
menimbulkan manifestasi penyakit alergi. Hal ini disebabkan
makanan yang masuk masih dianggap asing oleh mukosa usus di
saluran pencernaan yang belum matur sehingga makanan tidak
terdegradasi sempurna oleh enzim pencernaan kemudian
menimbulkan hipersensitivitas.
2.3.3. Patofisiologi Alergi
1. Mediator Lain
Reaksi alergi terjadi akibat peran mediator-mediator
alergi. Yang termasuk sel mediator adalah sel mast, basofil,
dan trombosit. Sel mast dan basofil mengandung mediator
kimia yang poten untuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat.
Mediator tersebut adalah histamin, newly synthesized
mediator, ECF-A, PAF, dan heparin.15 Mekanisme alergi
terjadi akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen
tertentu, yang berikatan dengan mediator alergi yaitu sel
mast.2,3,11 Reaksi alergi dimulai dengan cross-linking dua
atau lebih IgE yang terikat pada sel mast atau basofil dengan
alergen. Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan
sistem nukleotida siklik yang meninggikan rasio cGMP
terhadap cAMP dan masuknya ion Ca++ ke dalam sel.
Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan mediator lain.
Mediator histamin dapat menyebabkan kontraksi otot
polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Pada

9
sistem vaskular menyebabkan dilatasi venula kecil, sedangkan
pada pembuluh darah yang lebih besar menyebabkan 15
konstriksi karena kontraksi otot polos. Selanjutnya histamin
meninggikan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler.
Perubahan vaskular ini menyebabkan respon wheal-flare (triple
respons dari Lewis) dan bila terjadi sistemik dapat
menimbulkan hipotensi, urtikaria dan angioderma. Pada traktus
gastrointestinalis histamin meninggikan sekresi mukosa
lambung dan bila penglepasan histamin terjadi sistemik maka
aktivitas otot polos usus dapat meningkat menyebabkan diare
dan hipermotilitas.
Newly synthesized mediator terdiri dari leukotrien,
prostaglandin dan tromboksan. Leukotrien dapat menimbulkan
efek kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas dan
sekresi mukus. Prostaglandin A dan F menyebabkan kontraksi
otot polos dan juga meningkatkan permeabilitas kapiler,
sedangkan prostaglandin E1 dan E2 secara langsung
menyebabkan dilatasi otot polos bronkus. Eosinophyl
chemotacting factor-anaphylazsis (ECF-A) dilepaskan segera
waktu degranlasi. ECF-A menarik eosinofil ke daerah tempat
reaksi alergi untuk memecah kompleks antigen-antibodi dan
menghalangi aksi newly synthesized mediator dan histamin.
Plateletes Activating Factor (PAF) menyebabkan
bronkokonstriksi dan meninggikan permeabilitas pembuluh
darah. PAF juga mengaktifkan faktor XII yang akan
menginduksi pembuatan bradikinin. Bradikinin dapat
menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular secara
lambat, lama dan hebat. Serotonin tidak ditemukan dalam sel
mast manusia tetapi dalam trombosit dan dilepaskan waktu
agregasi trombosit yang juga akan menyebabkan kontraksi otot
bronkus tapi hanya sebentar.

10
2. Fase Sensitisasi
Alergen memasuki tubuh manusia melalui berbagai
rute diantaranya kulit, saluran nafas, dan saluran pencernaan.
Ketika masuk, alergen akan dijamu serta diproses oleh Antigen
Presenting Cells (APCs) di dalam endosom. Kemudian APC
akan mempresentasikan Major Histocompatibility Complex
(MHC) kelas II kepada sel limfosit T helper (Th0) di dalam
limfe sekunder. Sel Th0 akan mengeluarkan Interleukin-4 (IL-
4) yang merubah proliferasi sel Th menjadi Th2. Sel Th2 akan
menginduksi sel limfosit B (sel B) untuk memproduksi 17
Imunoglobulin (Ig).Pada orang dengan alergi, Th1 tidak cukup
kuat menghasilkan interferon gamma (IFN-) untuk
mengimbangi aktivitas Th2, sehingga Th2 akan lebih aktif
memproduksi IL-4. Hal ini menyebabkan sel B menukar
produksi antibodi IgM menjadi IgE. IgE akan menempel pada
reseptor IgE berafinitas tinggi (FcRI) pada sel mast, basofil
dan eosinofil.
3. Fase Reaksi
Beberapa menit setelah paparan ulang alergen, sel mast akan
mengalami degranulasi yaitu suatu proses pengeluaran isi
granul ke lingkungan ekstrasel yang berupa histamin,
prostaglandin, serta sitokin-sitokin yang menimbulkan gejala
klinis.
4. Fase Reaksi Rambut
Fase ini dimulai pada 2-6 jam setelah paparan alergen dan
puncaknya setelah 6-9 jam. Mediator inflamasi akan
menginduksi sel imun seperti basofil, eosinofil dan monosit
bermigrasi ke tempat kontak dengan paparan alergen. Selsel
tersebut akan mengeluarkan substansi inflamasi spesifik yang
menyebabkan aktivitas imun berkepanjangan serta kerusakan
jaringan.

11
2.3.4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Uji Kulit Alergi
Uji kulit membantu mendiagnosis suatu alergi. Sejumlah kecil
allergen yang dicurigai disuntikkan ke bawah kulit . Orang
yang alergi terhadap allergen tersebut akan bereaksi dengan
memperlihatkan eritema yang mencolok, pembengkakan, dan
gatal di tempat penyuntikan.
Analisis imunologis serum dapat mengisyaratkan peningkatan
hitungan basofil dan eusinofil. Uji kulit dapat dilakukan
dengan uji gores (scratch test), uji tusuk (prick test) dan uji
suntik intradermal (intrademal test).
b. Uji Kulit Intradermal ( intra dermal test )
Sejumlah 0,02 ml ekstrak alergen dalam 1 ml spuit tuberkulin
disuntikkan secara superfisial pada kulit sehingga timbul 3 mm
gelembung. Dimulai dengan konsentrasi terendah yang
menimbulkan reaksi, kemudian ditingkatkan berangsur
masing-masing dengan konsentrasi 10 kali lipat sampai
menimbulkan indurasi 5-15 mm. Setelah beberapa waktu, jika
ternyata positif, maka pada alergen tersebut akan timbul
indurasi yang dikelilingi bercak merah. Tergantung garis
tengah indurasi masing-masing, maka gradasi atau tingkat
kepekaan terhadap alergen tersebut disebutkan dengan:
negatif/tidak pasti/lemah/positif/ positif kuat atau dengan - /
(+) / + / ++ / +++ / ++++ Uji intradermal ini seringkali
digunakan untuk titrasi alergen pada kulit.
c. Uji tusuk (pricktest)
Uji tusuk dapat dilakukan dalam waktu singkat dan sesuai
untuk anak. Tempat uji kulit yang paling baik adalah pada
daerah volar lengan bawah dengan jarak 2 cm dari lipat siku
dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin
(50% gliserol) diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan

12
superfisial kulit ditusuk dan dicungkil ke atas memakai lanset
atau jarum yang dimodifikasi, atau dengan menggunakan
jarum khusus untuk uji tusuk. Ekstrak alergen yang digunakan
1.000-10.000 kali lebih pekat daripada yang digunakan untuk
uji intradermal. Dengan menggunakan sekitar 5 ml ekstrak
pada kulit, diharapkan risiko terjadinya reaksi anafilaksis akan
sangat rendah. Uji tusuk mempunyai spesifitas lebih tinggi
dibandingkan dengan uji intradermal, tetapi sensitivitasnya
lebih rendah pada konsentrasi dan potensi yang lebih rendah.
Faktor yang mempengaruhi
Antihistamin dapat mengurangi reaktivitas kulit. Oleh karena
itu, obat yang mengandung antihistamin harus dihentikan
paling sedikit 3 hari sebelum uji kulit. Pengobatan
kortikosteroid sistemik mempunyai pengaruh yang lebih kecil,
cukup dihentikan 1 hari sebelum uji kulit dilakukan. Obat
golongan agonis juga mempunyai pengaruh, akan tetapi
karena pengaruhnya sangat kecil maka dapat diabaikan. Usia
pasien juga mempengaruhi reaktivitas kulit walaupun pada
usia yang sama dapat saja terjadi reaksi berbeda. Makin muda
usia biasanya mempunyai reaktivitas yang lebih rendah. Uji
kulit terhadap alergen yang paling baik adalah dilakukan
setelah usia 3 tahun.
d. Tes eksposisi inhalatif
Pada penderita yang dicurigai menderita ekstrinsik atau alergik
bronkial asma, seharusnya dilaksanakan tes eksposisi inhalatif
dengan alergen tertentu (inhalatif provokatif tes spesifik),
karena hasil tes intra- atau epikutan yang positif belum
membuktikan seratus persen, bahwa sistem pernafasan sudah
terkena. Kecuali jika dalam anamnesa sudah benar-benar
nyata, bahwa pada eksposisi dengan alergen tersebut penderita
menderita sesak nafas. Dalam hal ini bahkan tes eksposisi

13
inhalatif dengan alergen tersebut tidak dianjurkan, karena jelas
berbahaya.
Tes eksposisi inhalatif spesifik ini tentunya harus dilaksanakan
dengan persiapan yang teliti, terutama persiapan untuk kedaan
gawat-darurat yang bisa terjadi, yaitu reaksi yang parah dengan
sesak nafas berat yang bisa sampai menyebabkan kematian.
Karena itu sebelum tes ini harus dipastikan, bahwa obat-obatan
seperti kortison, antihistaminikum, epinefrin, cairan infus serta
alat-alat untuk resusitasi termasuk intubasi sudah tersedia
lengkap.
Pelaksanaan tes eksposisi inhalatif :
Setelah persiapan-persiapan di atas, pemeriksaan dimulai
dengan pelaksanaan spirometri. Jika ternyata pada pasien
sudah dapat dibuktikan adanya obstruksi bronkial, maka tes
tidak boleh dilaksanakan. Kecuali kalau obstruksinya hanya
ringan sekali. Dalam hal ini dan jika tidak ada obstruksi, maka
tes bisa dimulai dengan menyemprotkan alergen ke lubang
hidung atau pasien harus menghirup alergen tersebut dari
nebulizer.
Tes provokasi inhalatif Spirometri. Setelah beberapa waktu,
spirometri diulangi lagi dan jika tenyata timbul obtsruksi,
maka harus diberikan bronkolitikum/betamimetikum. Tes ini
bisa dilakukan di praktik, tetapi sebaiknya pasien tidak
diijinkan pulang selama 1 - 2 jam untuk menjaga-jaga
timbulnya reaksi lambat, yang terkadang juga bisa berat.
e. Uji provokasi Makanan Persiapan
Sebelum melakukan uji provokasi makanan, harus diberikan
penjelasan rinci kepada pasien atau orang tua pasien tentang
prosedur pemeriksaan, keuntungan dan kegunaan pemeriksaan,
serta komplikasi yang mungkin terjadi.

14
Eliminasi makanan. Eliminasi makanan diperlukan sebelum
melakukan provokasi. Eliminasi dilakukan selama 3 minggu
dengan bentuk diet yang disesuaikan dengan anamnesis,
pemeriksaaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium. Ada 5
bentuk diet yang telah disebutkan di dalam bab tentang alergi
makanan. Jika diet eliminasi berhasil menyembuhkan semua
gejala alergi maka setelah 3 minggu dari awal diet dapat
dilakukan uji provokasi.
Penghentian obat tertentu. Menjelang provokasi maka
beberapa jenis obat yang dapat mengganggu penilaian uji
provokasi makanan harus disingkirkan dalam selang waktu
tertentu, yaitu antihistamin (96 jam), agonis ( 12 jam),
teofilin ( 12 jam), dan kromolin ( 12 jam).
Metode dan cara uji provokasi. Ada 2 macam cara uji
provokasi makanan, yaitu uji provokasi makanan terbuka
(open food challenge), dan uji provokasi makanan buta ganda
(double blind placebo controlled food challenge=DBPCFC).
1. Uji provokasi makanan terbuka. Jika uji kulit negatif dan
riwayat reaksi terhadap makanan meragukan maka uji
provokasi makanan terbuka dapat dilakukan setelah
melakukan diet eliminasi selama 3 minggu.
2. Uji provokasi makanan buta ganda. Cara ini merupakan
cara yang ideal untuk menentukan adanya reaksi terhadap
makanan. Untuk memenuhi persyaratan buta ganda maka
vehikulum harus memenuhi syarat sebagai berikut, 1)
menghilangkan bau, 2) menghilangkan rasa, 3)
menghilangkan penampilan, dan 4) dapat memuat
sejumlah banyak makanan hingga dapat dilak provokasi
multipel dalam beberapa jam. Vehikulum tersebut dapat
berupa kapsul, es kering, es krim, saus apel, hamburger,
atau campuran tapioka dengan buah dan sop. Kapsul yang

15
dipakai umumnya ukuran 00 terbuat dari gelatin buram
dengan bintik-bintik titanium oksida. Untuk 5 gram tepung
telur kering biasanya memerlukan 10-15 kapsul. Setelah
diisi, kapsul disalut dengan bubuk gula sehingga rasanya
sama dengan kapsul plasebo. Plasebo yang dipilih sesuai
dengan vehikulum yang dipakai.

2.4. Antikoagulan
Antikoagulan adalah zat yang mencegah penggumpalan darah
dengan cara mengikat kalsium atau dengan menghambat pembentukan
trombin yang diperlukan untuk merubah fibrinogen menjadi fibrin dalam
proses pembekuan. Atas dasar ini antikoagulan diperlukan untuk mencegah
terbentuk dan meluasnya trombus dan emboli, maupun untuk mencegah
bekunya darah in vitro. Pada trombus yang sudah terbentuk, antikoagulan
hanya mencegah membesarnya trombus dan mengurangi kemungkinan
terjadinya emboli, tetapi tidak memperkecil trombus.
2.4.1. Jenis Antikoagulan
Ada berbagai jenis antikoagulan, masing-masing digunakan dalam
jenis pemeriksaan tertentu yaitu :

1. EDTA (ethylene diaminetetr aacetic acid)


Umumnya tersedia dalam bentuk garam sodium
(natrium) atau potassium (kalium), mencegah koagulasi dengan
cara mengikat atau mengkhelasi kalsium. EDTA memiliki
keunggulan dibanding dengan antikoagulan yang lain, yaitu
tidak mempengaruhi sel-sel darah, sehingga ideal untuk
pengujian hematologi, seperti pemeriksaan hemoglobin,
hematokrit, KED, hitung lekosit, hitung trombosit, retikulosit,
apusan darah, dsb.
K2EDTA biasanya digunakan dengan konsentrasi 1 -
1,5 mg/ml darah. Penggunaannya harus tepat. Bila jumlah
EDTA kurang, darah dapat mengalami koagulasi. Sebaliknya,
bila EDTA kelebihan, eritrosit mengalami krenasi, trombosit
membesar dan mengalami disintegrasi. Setelah darah

16
dimasukkan ke dalam tabung, segera lakukan
pencampuran/homogenisasi dengan cara membolak-balikkan
tabung dengan lembut sebanyak 6 kali untuk menghindari
penggumpalan trombosit dan pembentukan bekuan darah.
Ada tiga macam EDTA, yaitu dinatrium EDTA
(Na2EDTA), dipotassium EDTA (K2EDTA) dan tripotassium
EDTA (K3EDTA). Na2EDTA dan K2EDTA biasanya
digunakan dalam bentuk kering, sedangkan K3EDTA biasanya
digunakan dalam bentuk cair. Dari ketiga
jenis EDTA tersebut, K2EDTA adalah yang paling baik dan
dianjurkan oleh ICSH (International Council for
Standardization in Hematology) dan CLSI (Clinical and
Laboratory Standards Institute). Tabung EDTA tersedia dalam
bentuk tabung hampa udara (vacutainer tube) dengan tutup
lavender (purple) atau pink seperti yang diproduksi oleh Becton
Dickinson.
2. Trisodium citrate dihidrat
Citrat bekerja dengan mengikat atau mengkhelasi
kalsium. Trisodium sitrat dihidrat 3.2% buffered natrium sitrat
(109 mmol/L) direkomendasikan untuk pengujian koagulasi
dan agregasi trombosit. Penggunaannya adalah 1 bagian citrate
+ 9 bagian darah. Secara komersial, tabung sitrat dapat
dijumpai dalam bentuk tabung hampa udara dengan tutup
berwarna biru terang.
Spesimen harus segera dicampur segera setelah
pengambilan untuk mencegah aktivasi proses koagulasi dan
pembentukan bekuan darah yang menyebabkan hasil tidak
valid. Pencampuran dilakukan dengan membolak-balikkan
tabung sebanyak 4-5 kali secara lembut, karena pencampuran
yang terlalu kuat dan berkali-kali (lebih dari 5 kali) dapat
mengaktifkan penggumpalan platelet dan mempersingkat
waktu pembekuan.
Darah sitrat harus segera dicentrifuge selama 15 menit
dengan kecepatan 1500 rpm dan dianalisa maksimal 2 jam
setelah sampling. Natrium sitrat konsentrasi 3,8% digunakan
untuk pemeriksaan erythrocyte sedimentation rate (ESR) atau

17
KED/LED cara Westergreen. Penggunaannya adalah 1 bagian
sitrat + 4 bagian darah.
3. Heparin
Antikoagulan ini merupakan asam mukopolisacharida
yang bekerja dengan cara menghentikan pembentukan trombin
dari prothrombin sehingga menghentikan pembentukan fibrin
dari fibrinogen. Ada tiga macam heparin: ammonium heparin,
lithium heparin dan sodium heparin. Dari ketiga macam
heparin tersebut, lithium heparin paling banyak digunakan
sebagai antikoagulan karena tidak mengganggu analisa
beberapa macam ion dalam darah.
Heparin banyak digunakan pada analisa kimia darah,
enzim, kultur sel, OFT (osmotic fragility test). Konsentrasi
dalam penggunaan adalah : 15IU/mL +/- 2.5IU/mL atau 0.1
0.2 mg/ml darah. Heparin tidak dianjurkan untuk pemeriksaan
apusan darah karena menyebabkan latar belakang biru.
Setelah dimasukkan dalam tabung, spesimen harus
segera dihomogenisasi 6 kali dan dicentrifuge 1300-2000 rpm
selama 10 menit kemudian plasma siap dianalisa. Darah
heparin harus dianalisa dalam waktu maksimal 2 jam setelah
sampling.
4. Oksalat
Natrium Oksalat (Na2C2O4). Natrium oksalat bekerja
dengan cara mengikat kalsium. Penggunaannya 1 bagian
oksalat + 9 bagian darah. Biasanya digunakan untuk pembuatan
adsorb plasma dalam pemeriksaan hemostasis. Kalium Oksalat
NaF. Kombinasi ini digunakan pada pemeriksaan glukosa.
Kalium oksalat berfungsi sebagai antikoagulan dan NaF
berfungsi sebagai antiglikolisis dengan cara menghambat kerja
enzim Phosphoenol pyruvate dan urease sehingga kadar
glukosa darah stabil.
Antikoagulan, sering disebut pengencer darah,
merupakan pengobatan yang memperlambat pembekuan darah.
Sebenarnya obat ini bukanlah mengencerkan darah tapi
memperlama waktu yang dibutuhkan agar terbentuk bekuan
darah. Antikoagulan bisa mencegah makin menumpuk dan

18
membesarnya bekuan darah yang ada. Selain itu obat ini juga
bisa mencegah deep vein blood clot atau mengobati berbagai
kondisi tertentu pada pembuluh darah, jantung, atau paru.

2.4.2. Hal Yang Dilakukan Selama Menggunakan Antikoagulan

Berikut Hal-hal yang Bisa Anda Lakukan Selama


Menggunakan Antikoagulan:
1. Gunakan obat pada waktu yang sama setiap hari.
2. Konsultasi dengan dokter sebelum menggunakan obat bebas,
terutama yang mengandung aspirin.
3. Waspada dengan tanda-tanda terjadinya pendarahan, dan segera
beritahukan dokter Anda bila terjadi gejala berikut: Ditemukan
darah dalam urin atau feses ,Pendarahan dari hidung dan gusi
atau meludah mengeluarkan darah, Pendarahan baru,
berlebihan, dan lama dari vagina, Bercak-bercak merah yang
sering dan memar parah pada kulit.
4. Bicarakan dengan dokter anda tentang obat yang Anda gunakan
untuk mencari tahu seberapa sering harus melakukan tes darah.
Jika Anda menggunaka ticlopidine, lakukan tes darah untuk
mengecek jumlah sel darah putih selama 3 bulan pertama
pengobatan.
Antikoagulan Tromboemboli merupakan salah satu
penyebab sakit dan kematian yang banyak terjadi. Kelainan sering
menyertai penyakit lain misalnya gagal jantung, diabetes mellitus,
varises vena dan kerusakan arteri.
Faktor-faktor yang menimbulkan tromboemboli : trauma,
kebiasaan merokok, kehamilan, atau obat-obat yang mengandung
estrogen.
Obat yang digunakan untuk mengatasi tromboemboli adalah obat
yang mempengaruhi mekanisme pembekuan darah, yaitu :
antikoagulan, antitrombotik, dan trombolitik.

19
2.5. Antagonis Kalsium
Kalsium Antagonis dalah kelas obat heterogen dan golongan obat
penurun tekanan darah atau anti hipertensi yang bekerja dengan cara
menghambat pemasukan ion kalsium ke dalam sel otot vaskular perifer
sehingga menimbulkan vasodilatasi, sedangkan pada sistem konduksi
jantung, kalsium antagonis memperpanjang masa konduksi dan masa
refrakter AV node serta menekan otomatisitas SA node.

2.5.1. Klasifikasi
Kalsium antagonis di bagi menjadi 2 golongan yaitu
Antagonis kalsium Dihidropiridin dan Non Dihidropiridin.
1. Dihidropiridin :
Golongan dihidropiridin terutama bekerja pada arteri sehingga
dapat berfungsi sebagai obat antihipertensi.
Contohnya : Nifedipine, Amlodipine, felodipin, isradipin,
nikardipin, dan nisoldipin
a. Nifedipin : merelaksasi otot polos vaskular sehingga
mendilatasi arteri koroner dan perifer. Obat ini lebih
berpengaruh pada pembuluh darah dan kurang
berpengaruh pada miokardium dari pada verapamil. Tidak
seperti verapamil, nifedipin tidak mempunyai aktivitas
antiaritmia. Nifedipin jarang menimbulkan gagal jantung,
karena efek inotropik negatifnya diimbangi oleh
pengurangan kerja ventrikel kiri. Sediaan nifedipin kerja
pendek tidak dianjurkan untuk pengobatan jangka panjang
hipertensi, karena menimbulkan variasi tekanan darah
yang besar dan refleks takikardia.
b. Amlodipin dan felodipin : menunjukkan efek yang serupa
dengan nifedipin dan nikardipin, tidak mengurangi
kontraktilitas miokard dan tidak menyebabkan perburukan
pada gagal jantung. Obat ini mempunyai masa kerja yang

20
lebih panjang, dan dapat diberikan sekali sehari. Nifedipin,
nikardipin, amlodipin, dan felodipin digunakan untuk
pengobatan angina atau hipertensi. Semuanya bermanfaat
pada angina yang disertai dengan vasospasme koroner.
Efek samping akibat efek vasodilatasinya adalah muka
merah dan sakit kepala, dan edema pergelangan kaki
(yang hanya memberikan respons parsial terhadap
diuretika).

2. Non dihidropinin :
Golongan non dihidropinin ini mempengaruhi sistem
konduksi jantung dan cenderung melambatkan denyut jantung.
Efek hipertensinya melalui vasodilatasi perifer dan penurunan
resistensi perifer. Contohnya : Veramil dan Diltiazem
a. Verapamil digunakan untuk pengobatan angina, hipertensi,
dan aritmia. Obat ini merupakan antagonis kalsium dengan
kerja inotropik negatif yang poten, mengurangi curah
jantung, memperlambat denyut jantung, dan mengganggu
konduksi AV. Dengan demikian verapamil dapat
mencetuskan gagal jantung, memperburuk gangguan
konduksi, dan menyebabkan hipotensi pada dosis tinggi.
Karena itu obat ini tidak boleh digunakan bersama dengan
beta-bloker. Efek samping utamanya berupa konstipasi.
b. Diltiazem efektif untuk sebagian besar angina. Selain itu,
sediaan kerja panjangnya juga digunakan untuk terapi
hipertensi. Senyawa ini dapat digunakan untuk pasien yang
karena sesuatu sebab tidak dapat diberikan beta-bloker.
Efek inotropik negatifnya lebih ringan dibanding verapamil
dan jarang terjadi depresi miokardium yang bermakna.
Meskipun demikian, karena risiko bradikardinya, tetap

21
diperlukan kehati-hatian bila digunakan bersama beta-
bloker.
2.5.2. Mekanisme Kerja
Antagonis kalsium bekerja dengan cara menghambat
pemasukan ion kalsium ke dalam sel otot vaskular perifer sehingga
menimbulkan vasodilatasi, sedangkan pada sistem konduksi
jantung, kalsium antagonis memperpanjang masa konduksi dan
masa refrakter AV node serta menekan otomatisitas SA node.
Antagonis kalsium menghambat arus masuk ion kalsium melalui
saluran lambat membran sel yang aktif. Golongan ini
mempengaruhi sel miokard jantung, dan sel otot polos pembuluh
darah, sehingga mengurangi kemampuan kontraksi miokard,
pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung, dan
tonus vaskuler sistemik atau koroner.
Antagonis kalsium (AK) bekerja dengan cara menghambat
masuknya kalsium ke dalam sel melalui chanel-L. AK dibagi 2
golongan besar, yaitu AK non-dihidropiridin (kelas fenilalkilamin
dan benzotiazepin) dan AK dihidropiridin (1,4-dihidropiridin).
Golongan dihidropiridin terutama bekerja pada arteri sehingga
dapat berfungsi sebagai OAH, sedangkan golongan non-
dihidropiridin mempengaruhi sistem konduksi jantung dan
cenderung melambatkan denyut jantung, efek hipertensinya
melalui vasodilatasi perifer dan penurunan resistensi perifer.
Antagonis kalsium bekerja dengan menghambat influks
kalsium pada sel otot polos pembuluh darah dan miokard. Di
pembuluh darah, antagonis kalsium terutama menimbulkan
relaksasi arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi. Penurunan
resistensi perifer ini sering diikuti efek takikardia dan
vasokonstriksi, terutama bila menggunakan golongan obat
dihidropirin (Nifedipine). Sedangkan Diltiazem dan Veparamil
tidak menimbulkan takikardia karena efek kronotropik negatif

22
langsung pada jantung. Contoh antihipertensi dari golongan ini
adalah Amlodipine, Diltiazem, Verapamil, Nifedipine. Antagonis
kalsium menghambat arus masuk ion kalsium melalui saluran
lambat membran sel yang aktif. Golongan ini mempengaruhi sel
miokard jantung, dan sel otot polos pembuluh darah, sehingga
mengurangi kemampuan kontraksi miokard, pembentukan dan
propagasi impuls elektrik dalam jantung, dan tonus vaskuler
sistemik atau koroner.

2.5.3. Indikasi
1. Antagonis Kalsium sebagai Obat bagi penderita Hipertensi

Hipertensi atau Darah Tinggi adalah keadaan dimana


seseorang mengalami peningkatan tekanan darah diatas
normal atau kronis (dalam waktu yang lama). Pada
penderrita hipertensi Antagonis kalsium (AK) bekerja
dengan cara menghambat masuknya kalsium ke dalam sel
melalui chanel-L. Calcium Antagonists (antagonis
kalsium). Kalsium menyebabkan dinding arteri berkontraksi.
Hal ini menyebabkan arteri menyempit, dan tekanan darah
meningkat. Golongan obat ini menghambat pengambilan
kalsium ke dalam dinding pembuluh darah. Sebagai

23
akibatnya kontraksi arteri berkurang, arteri melebar, dan
tekanan darah turun. Contoh golongan obat ini adalah
amlodipin.
Sering digunakan obat jantung jenis antihipertensi
yang melebarkan pembuluh darah (vasodilator), yang bisa
melebarkan arteri, vena atau keduanya. Pelebar arteri akan
melebarkan arteri dan menurunkan tekanan darah, yang
selanjutnya akan mengurangi beban kerja jantung.Pelebar
vena akan melebarkan vena dan menyediakan ruang yang
lebih untuk darah yang telah terkumpul dan tidak mampu
memasuki bagian kanan jantung.Hal ini akan mengurangi
penyumbatan dan mengurangi bebanjantung.Obat jantung
jenis antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah
ACE-inhibitor (angiotensin converting enzyme
inhibitor).Obat ini tidak hanya meringankan gejala tetapi
juga memperpanjang harapan hidup penderita. ACE-
inhibitor melebarkan arteri dan vena; sedangkan obat
terdahulu hanya melebarkan vena saja atau arteri saja
(misalnya nitroglycerin hanya melebarkan vena, hydralazine
hanya melebarkan arteri).
AK dibagi 2 golongan besar, yaitu AK non-
dihidropiridin (kelas fenilalkilamin dan benzotiazepin) dan
AK dihidropiridin (1,4-dihidropiridin). Golongan
dihidropiridin terutama bekerja pada arteri sehingga dapat
berfungsi sebagai OAH, sedangkan golongan non-
dihidropiridin mempengaruhi sistem konduksi jantung dan
cenderung melambatkan denyut jantung, efek hipertensinya
melalui vasodilatasi perifer dan penurunan resistensi perifer.
Penelitian yang membandingkan efek antihipertensi AK
dengan obat lain menunjukkan efek antihipertensi yang
sama baiknya pada pasien dengan hipertensi ringan dan

24
moderat. Efek anti hipertensi AK berhubungan dengan
dosis, bila dosis ditambah maka efek antihipertensi semakin
besar dan tidak menimbulkan efek toleransi. AK tidak
dipengaruhi asupan garam sehingga berguna bagi orang
yang tidak mematuhi diet garam. Menurut beberapa studi
penggunaan AK dalam hipertensi secara umum tidak
berbeda dalam efektivitas, efek samping, atau kualitas hidup
dibandingkan dengan OAH lain. Ditinjau dari mortalitas,
tidak ada perbedaan bermakna antara diuretik, AK dan
penghambat ACE dalam pengobatan hipertensi. Hanya
mungkin ada sedikit perbedaan dalam respons terapi sesuai
usia dan kelompok suku bangsa atau
warna kulit. AK sebagai OAH banyak dipakai pada
pasien dengan hipertensi esensial, pasien dengan hipertensi
renovaskular, hipertensi pada pasien kulit hitam (dimana
respons penyakit terhadap b blocker atau ACE biasanya
kurang memuaskan) dan pasien hipertensi dengan diabetes
mellitus, hipertensi dengan asma bronkhial, serta hipertensi
dengan hipertrofi ventrikel kiri.AK mempunyai efek
tambahan yang menguntungkan pasien. AK dan penghambat
ACE lebih baik dari penghambat beta dan diuretik dalam
mengurangi kejadian hipertrofi ventrikel kiri yang
merupakan risiko independen pada hipertensi Banyak studi
menunjukkan AK mempunyai efek proteksi vaskular dengan
mengurangi remodelling vaskular dan memperbaiki faal
endothelium. Beberapa studi jangka panjang pada
penggunaan AK (kelompok diltiazem) sebagai OAH
menunjukkan hasil bahwa AK dapat mengurangi kejadian
stroke sampai 20%. Kontraindikasi utama penggunaan AK
adalah gangguan konduksi (heart block) gagal jantung berat
dan sindrom sick sinus. Semua AK menyebabkan

25
vasodilatasi. Potensi relatif sebagai vasodilator bervariasi
dengan nifedipin dianggap paling poten sedangkan
verapamil dan diltiazem kurang poten. Pada penelitian in
vitro, diketahui bahwa beberapa AK (nifedipin, nisoldipin,
isradipin) berikatan di saluran.
Kalsium tipe L di pembuluh darah dengan beberapa
sifat selektif, sedangkan verapamil berikatan sama baiknya
di saluran kalsium tipe L pada jantung dan pembuluh
darah.Semua kelas AK menurunkan aktivitas sinus jantung
dan memperlambat konduksi arterioventrikular (AV),
sedangkan di klinik, hanya verapamil dan diltiazem yang
menghambat konduksi AV atau menyebabkan berkurangnya
aktivitas sinus.
Semua kelas AK menyebabkan kontraksi otot
jantung yang tergantung konsentrasi pada in vitro,
sedangkan in vivo hanya verapamil dan diltiazem yang
menunjukan hal tersebut. Perbedaan in vitro dan in vivo
mungkin dapatdijelaskan dengan aktivasi simpatis yang
terjadi sebagai respons terhadap vasodilatasi yang diinduksi
oleh dihidropiridin, yang mengurangi efek kronotropik dan
inotropik negatif.
2. Antagonis Kalsium sebagai Obat bagi penderita Angina
pektoris

26
Angina Pectoris adalah suatu syndrom klinis dimana
terjadi sakit dada yang khas, yaitu seperti tertekan atau
terasa berat di dada yang sering menjalar ke lengan kiri.
Antagonis kalsium disini di pakai pada pengobatan jangka
panjang untuk mengurangi frekuensi serangan pada
beberapa bentuk angina, dengan cara kerja memperbaiki
spasme koroner dengan cara menghambat tonus
vasometer.bekerja dengan cara menghambat masuknya
kalsium pada saluran kalsium,yang akan menyebabkan
relaksai otot polos pembuluh darah sehingga terjadi
vasodilatasi pada pebuluh darah epikardial dan sistemik.
Antagonis kalsium yang efektif dalam pengobatan baik
pectoris angina klasik dan vasospastic lebih jarang, atau
varian, angina (Angina varian) . Di Amerika Serikat,
amlodipine, diltiazem, nicardipine, nifedipine, dan
verapamil disetujui untuk pengobatan angina .Selain itu,
bepridil diindikasikan hanya untuk pasien dengan angina
yang refrakter terhadap pengobatan dengan obat lain.
Dengan pengecualian dari formulasi yang cepat bertindak,
yang kadang-kadang memperburuk angina, masing-masing
obat ini secara substansial memperpanjang waktu untuk
timbulnya angina selama latihan, mengurangi frekuensi

27
episode angina, atau mengurangi kebutuhan untuk
nitrogliserin short-acting di pasien yang membutuhkan
pemberian oral jangka panjang nitrogliserin. Meskipun
antagonis kalsium efektif sebagai monoterapi untuk angina,
pengobatan dikombinasikan dengan antagonis kalsium,
nitrat, dan beta-blocker dapat memiliki aditif effect.
kombinasi Terutama efektif untuk pasien dengan angina
stabil termasuk baik dihidropiridin dan beta-blocker atau
verapamil atau diltiazem dalam kombinasi dengan nitrat,
diikuti oleh penambahan beta-blocker pada pasien dengan
kontrol yang tidak memuaskan dari angina. terapi kalsium-
antagonis saja tidak efektif pada pasien dengan angina.
tidak stabil.
Efek komparatif pada morbiditas atau mortalitas
terapi jangka panjang dengan berbagai antagonis kalsium
pada pasien dengan angina stabil tidak diketahui. Sebuah
tinjauan retrospektif data telah menyebabkan kekhawatiran
bahwa risiko kematian mungkin sedikit lebih tinggi di
antara pasien yang menerima kalsium dihidropiridin
antagonists.
3. Antagonis Kalsium sebagai Obat bagi penderita Disritmia
Supraventrikuler
Distritmia (aritmia) jantung didefinisikan sebagai
setiap penyimpangan frekuensi atau pola denyut jantung yang
normal; termasuk denyut jantung terlalu lambat (bradikardia),
terlalu cepat (takikardia), atau tidak teratur. Kalsium
Antagonis di sini bekerja dengan cara menghambat
perangsangan adrenergik dari jantung, menekan eksitabilitas
dan kontraktilitas dari miokardium, Menurunkan kecepatan
hantaran pada jaringan jantung, Meningkatkan masa
pemulihan (repolarisasi) dari miokardium, Menekan

28
otomatisitas (depolarisasi spontan untuk memulai denyutan).
Verapamil dan diltiazem disetujui untuk pengobatan pasien
dengan aritmia supraventrikular - khusus untuk jangka
pendek dan jangka panjang pengobatan fibrilasi atrium,
flutter atrium, dan atrioventrikular masuk kembali nodal pada
pasien tanpa saluran pintas aksesori.
Verapamil dan diltiazem lambat konduksi melalui
node atrioventrikular dan meningkatkan periode refrakter
nodal atrioventrikular, yang, pada gilirannya, hasil dalam
memperlambat laju respons ventrikel pada fibrilasi atrium
atau bergetar atau konversi atrioventrikular takiaritmia masuk
kembali ke irama sinus nodal oleh gangguan dari waktu
sirkuit masuk kembali. Seperti efek lain dari verapamil pada
blokade L-jenis saluran kalsium, ini adalah efek
stereospesifik, dengan S -verapamil menyebabkan
keterlambatan dalam konduksi nodal atrioventrikular dan R -
verapamil memiliki sedikit effect. Kemampuan verapamil
dan diltiazem untuk memblokir tindakan node
atrioventrikular lebih diucapkan di lebih cepat dari denyut
jantung lebih lambat, properti disebut "menggunakan
ketergantungan" atau "ketergantungan frekuensi." Verapamil
dan diltiazem juga dapat menyebabkan sinus-node depresi.
Pada dosis klinis ditoleransi, antagonis kalsium dihidropiridin
tidak memperpanjang atrioventrikular konduksi atau refrakter
atau menyebabkan sinus-node depresi dan oleh karena itu
tidak diindikasikan untuk pengobatan aritmia
supraventrikuler. Efek elektropsikologi yang berbeda
mungkin karena efek yang berbeda pada tegangan dan
menggunakan ketergantungan antara phenylalkylamine dan
benzothiazepine obat, di satu sisi, dibandingkan dengan obat
dihidropiridin, di sisi lain. Atau, perbedaan mungkin

29
berkaitan dengan perbedaan antara berbagai golongan obat
dalam aksi mereka pada T-jenis saluran kalsium, yang lebih
menonjol dalam struktur nodal jantung.
4. Antagonis Kalsium sebagai Obat bagi penderita Gagal Ginjal
AK kelas dihidropiridin kerja pendek menyebabkan
peningkatan infark miokard sedangkan kerja panjang risiko
kematiannya serupa dengan obat antihipertensi yang lain.
Pada gagal ginjal kronis tampaknya terdapat milieu (suasana)
biokimia yang berbeda dengan populasi umum. Pengambilan
kesimpulan mengenai penggunaan AK pada populasi umum
tidak dapat disamakan dengan pasien gagal ginjal, karena
pada beberapa penelitian, AK justru memberi keuntungan
pada pasien uremia. AK merupakan obat antihipertensi yang
sangat efektif untuk menurunkan tekanan darah pada pasien
gagal ginjal yang dianggap resisten terhadap obat
antihipertensi lain. AK terutama dihidropiridin meningkatkan
ekskresi natrium dan air, sebagian dengan menurunkan
reabsorbsi natrium pada tubulus proksimal.
Mekanisme itu menguntungkan terutama pada pasien
gagal ginjal karena tidak meretensi air dan garam
(mengurangi edema). Dihidropiridin mungkin juga
menghambat reabsorbsi protein di tubulus. Setelah pemberian
nifedipin terjadi peningkatan ekskresi beta 2 mikroglobulin
pada urin (petanda reabsorbsi protein di tubulus
proksimal).Keuntungan lain AK yaitu tidak menyebabkan
hiperkalemia seperti golongan penghambat ACE dan
antagonis angiotensin (AA) II. Solomon et al,12 melaporkan
pada pasien gagal ginjal terminal penggunaan AK diltiazem
meningkatkan pengeluaran kalium. Pada penelitian the
United States Renal Data system Dialysis Morbidity and
Mortality Study Wave II (USRDS DMMS II), yang

30
melibatkan 4065 pasien gagal ginjal terminal yang menjalani
dialisis, ternyata penggunaan AK menurunkan mortalitas
yang bermakna dibandingkan dengan obat antihipertensi lain
(penghambat ACE, penyekat beta). Risiko kematian yang
lebih rendah pada penggunaan AK pada pasien gagal ginjal
tersebut dihubungkan dengan peran AK yaitu menurunkan
tekanan darah, mengurangi kejadian hipertrofi ventrikel kiri
dan memperbaiki kalsium intrasel yang menguntungkan
pasien gagal ginjal terminal.

31
BAB III

KESIMPULAN

Obat dalam arti luas ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses
hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya.
Golongan obat adalah penggolongan yang dimaksudkan untuk peningkatan
keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi yang terdiri dari
obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek, obat keras, psikotropika dan
narkotika yang diatur dalam Peraturan Mentri Kesehatan RI Nomor
949/Menkes/Per/VI/2000.
Penggolongan obat yang dibahas dalam makalah ini adalah, golongan obat
antiaritmia, antikoagulan, bronkolitikum dan antagonis kalsium. Golongan obat
antiaritmia (antiaritmia jamak) sebuah obat yang memperlakukan atau mencegah
(jantung) aritmia (denyut tidak teratur). Obat antiaritmia dibagi menjadi 4 kelas,
yaitu kelas Ia, b dan c, kelas II, kelas III dan IV.
Bronkolitikum (alergi) adalah reaksi hipersentivitas yang diperantarai oleh
mekanisme imunologi. Pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik
humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Untuk
pemeriksaan alergi yang digunakan yaitu uji kulit alergi, uji kulit intradermal, uji
tusuk, tes eksposisi inhalatif, dan uji provokasi makanan persiapan.
Antikoagulan adalah zat yang mencegah penggumpalan darah dengan cara
mengikat kalsium atau dengan menghambat pembentukan trombin yang
diperlukan untuk merubah fibrinogen menjadi fibrin dalam proses pembekuan.
Pemeriksaan antikoagulan dilakukan dengan cara peeriksaan menggunakan
EDTA, trisodium citrate dihidrta, heparin dan oksalat.
Kalsium Antagonis dalah kelas obat heterogen dan golongan obat penurun
tekanan darah atau anti hipertensi yang bekerja dengan cara menghambat
pemasukan ion kalsium ke dalam sel otot vaskular perifer.

32
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk


Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa
Hanafi B. Trisnohadi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Ed. 3. Jakarta
Balai Penerbit FKUI ; 2001
I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999
Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Alih
bahasa Peter Anugrah. Editor Caroline Wijaya. Ed. 4. Jakarta : EGC ;
1994.
http://asuhankeperawatans.blogspot.com/2010/11/asuhan-keperawatan-aritmia-
gangguan.html, diakses 01 desember 2017
Kaplan NM, Clinical hypertension, 7ed. Baltimore: William and Wilkins; 1998.
Guidelines subcommittee. WHO-ISH Guidelines for the Manage- ment of
Hypertension. J Hypertension 1999;17:151-83.
Trisnohadi HB. Peran antagonis kalsium dalam hipertensi: Sym- posium
pendekatan holistic penyakit kardiovaskular III & Karimun III. Jakarta; 2004.

33

Anda mungkin juga menyukai