\
.._--
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
~
w
l ) IJNIVERSITAS SRI\tVIJA YA
II. Palembang-Prabumulih Km. 32 Indralaya, Ogan Ilir, Kode Pos 30662
LEMBAR PENGESAH_AN
HASIL VALIDASI KARYA ILMIAH DOSEN
-:-:=- 5 :.ert.andatangan di bawah ini Rektor Universitas Sriwijaya rnenyatakan dengan sebenarnya
:::: :'7, 2: karya ilmiah yang diajukan untuk kenaikan pangkat dalarn jabatan yang sarna (Lektor
Kepala) atas nama:
~;~?_ Dosen Pengusul : dr. Abla Ghanie, Sp.THT-KLCK)
: 195301121977102002
: Kedokteran
-=:-:::la;d:'i_periksa/divalidasi dan hasilnya telah memenuhi kaidah ilmiah, norma akademik,
dan norma hukum sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 17 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi.
{. { prO~izade, ~.Il.A
~~ NIP. 195307071979032001
~-:E: PenelitianIKarya Ilmiah Atlas Berwarna Teknik Pemeriksaan Kelainan Xi, 109 him. ; 14 x 21 em.
:.--=-'"' g dipublikasikan dalam Telinga Hidung Tenggorokan ISBN 978-979-448-909-3
::::::nk Majalah Nasional yang
~ Terakreditasi
"?"..3il PenelitianIKarya Ilmiah Diagnosis dan Penatalaksanaan Tumor ISSN 2086-3845 Vol. 39
. - dipublikasikan dalam Neuroektodermal Primitif di Regio Sinonasal No.2 Tahun 2009
~~'!( Majalah Nasional yang
3 Terakreditasi
?.3il Penelitian/ karya ilmiah Evaluasi Operatif pada Penderita Otitis Media Pertemuan Ilmiah tahunan
! ~g dipublikasikan dalam Supuratif Kronik di Departemen THT Rumah VII Perhimpunan Dokter
= =;::;:inar Ilrniah Sakit M. Hoesin Palembang Spersialis Telingan
Hidung Tenggorokan
Bedah Kepala Leher
Indonesia, 28 Juli - 01
Agustus 2008 di Bandung_
~ T
!! ::: -
Penelitian/ karya ilmiah Penatalaksanaan Rhinitis Elergi Terkini Temu Ilmiah Akbar
__. ....
-~5
-
~~Ilmiah
dipublikasikan dalam Lustrum IX (Dies Natalies
ke 45) FK Unsri
: nd
- :-roil Penelitian/ karya ilmiah Paresis Saraf Fasial karena Otitis Media 2 End Head & Neck
"\- g dipublikasikan dalam SufuratifKronik dengan Kolesteatoma. Surgery Conference and
Seminar Ilmiah 3rd Annual Otologi
Meeting (PITO 3)
13-15 November 2008 di
Jakarta
- ". H--il
Penelitian/ karya ilmiah Terapi OperatifFistula Preaurikula Kongenital. 2
nd
End Head & Neck
I. dipublikasikan
0
dalam Surgery Conference and
Sem'"inar Ilmiah 3rd Annual Otologi
Meeting (PITO 3) 13-15
November 2008 di Jakarta
Hasil Penelitian/ karya ilmiah Delayed Speech. KONAS PERHA TI-KL
v ans dipublikasikan dalam XV, Makassar, 7 - 9 Juli
- Seminar
'" Ilmiah i/f
2010
S Hasil Penelitian/ karya ilmiah Epidemioligy, Preoperative Evaluations and Combined 5ID Otology
yang dipublikasikan dalam Surgical Findings in CSOM Annual Scientific Meeting
Seminar Ilmiah (PITO-5) and The 3'd
Asean Academy of
Neurotology, Otology &
Audiology (AANOA-3)
Congress, Yogyakarta,
II 28 - 30 Oktober 2010
9 Hasil Penelitian/ karya ilmiah Abses Otak Otogenik di RSUP Dr. Mohammad Pertemuan Ilmiah
yang dipublikasikan dalam Hoesin Palembang Tahunan Otologi (PITO)
Seminar Ilmiah 4, Pal em bang, 29 - 30
Oktober 2009
Hasil Penelitian/ karya ilmiah Penatalaksanaan Kista Dermoid Orofaring Pada 3'0 Orl Head and Neck
. cmg dipublikasikan dalam Infant Oncology Conference,
~--::::±nzr Ilmiah Surabaya, 4 - 5 Juni 2011
· . Hasil
- Penelitianl karya ilmiah Penatalaksanaan Otitis Media Akut Pada Anak. Pendidikan Kedokteraan
yang dipublikasikan dalam Berkelanjutan IV Ilmu
Seminar Ilmiah Kesehatan Anak Tahun
2010, Palembang, 12 - 14
November 20 I 0
r_- Hasil Penelitianl karya Ilmiah
ilmiah Vertigo Posisi Paroksismal Jinak Simposium
yang dipublikasikan dalam Kedokteran "Tata Laksana
Seminar Ilrniah Vertigo dan Migren
Terkini, Palembang, 10
i September 2011
-~ benar karya saya sendiri atau bukan plagiat hasil karya orang lain dan saya ajukan sebagai bahan penilaian
::e::aapan angka kredit dan kenaikan pangkat dari Pembina (Gol. IV/a) menjadi Pembina Tingkat 1 (Gol. IVIb).
_-,,-:-::':'i!d.aikemudian hari terbukti bahwa karya ilmiah ini bukan karya saya sendiri atau plagiat hasil karya orang lain,
-='- saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Materai
.~
iIO::::=;; Z·:. Edil I dr. Ablo Ghani., SP.THT-KL.(KJ\Pernyotoon Keobsohan Koryo IImioh.doc
: ~
LEMBAR
HASIL PENILAIAN SEJAWAT SEBIDANG AT AU PEER REVIEW
KARY A ILMIAH: MAKALAH ILMIAH
_ f-:o'<alah : Paresis Saraf Fasial karena Otitis Media Sufuratif Kronik dengan
Kolesteatoma.
.A':m:.25 ~/[akalah Ilmiah a. Judul Makalah : Paresis Saraf Fasial karena Otitis Media
Sufuratif Kronik dengan Kolesteatoma
b. ISBN
c. Tahun Terbit : 2008
d. Penerbit : 2nd End Head & Neck Surgery Conference
and 3rd Annual Otologi Meeting (PITO 3)
e. Jumlah halaman
-
ponen yang dinilai Nilai Maksimal Makalah Ilmiah Nilai Akhir
Yang
diperoleh
Internasional Nasional
c:::J [Jl]
'"
_ •. I
-.
,*pan unsur lSI buku
l6
,'~
:=
gkup dan kedalaman
r
:e=.:2::asan (30%)
"" _' -_
~1v
- - dan kemutakhiran
_- - ~- rmasi dan
metodologi ~O~
~:""11
~~,-=- ::-i-~' an
~
unsur
~- penerbit(30%)
dan
'"
~%
Vm> ~.
_':T_- 100%) it
-I Review 1
LrrJ'-
• !.~~
r~f}-(,
.... ~~ .. ~.~:.,
lA or ';}o VI) 1'2-
~-{l.t.
f . ..Sr.,.. ~.'!'f.~/. 'W. f«:-!A ~if
"U:()
NIP. l0p9 tt to !).ow 12-. rOD I
- ~---"-~- -. 'TIi<"'-tel. Unit Kerja : 'J}.j[::-:-:~t: ..
.
:. ~.;; .:- -~- .E::ii' &. Ab.Io Ghonie, SP.THT.KL.(K)\Peer Review Mak%h IImioh.doc
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNSRI
PERPUSTAKAAN
Zona F, Gedung I, Kampus Unsri lndralaya, OKl, 30662, Sumatera Selatan, Indonesia, Tel.0711-580061
atau / or Jl.Mayor Mahidin Komp.RSUP Palembang 30126, Indonesia, TeI.0711-352342, Fax.0711-373438, email fkunsri
Palembang. Wasantara.Indonet.id
SURA T KETERANGAN
Nomor :014b IH9 14/PFKlT/2010.
Demikian surat keterangan ini dibuat agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
tl ~
--
I~/
R.M.RIDWA .D
NIP. 19531112 19800310 1 9
TEMBUSAN:
1. Subag. Kepegawaian FK.UNSRI
2. Arsip
I-
-- ~
.....
«
..J
~
I
l-
X
~
-L L l -
~
e .
«
- UJ
.. -
8
oC J)
.e-
al
ns :i
t-
o::
. c
e
co
w
0..
-
. c
W «
en ..
i
r;
BABI
PENDAHULUAN
1
Intervensi dini dan tepat dapat memperbaiki kualitas hidup dan
produktifitas pasien dengan rinitis alergi dan juga dapat meningkatkan
kemampuan akademik penderita rinitis alergi anak serta dapat menurunkan
terjadinya komplikasi pada saluran napas bawah.3
Tujuan terapi adalah menghambat proses patofisiologik yang menyebabkan
terjadinya inflamasi kronik alergik.' Berdasarkan keadaan tersebut diatas maka
diperlukan suatu tahapan penatalaksanaan yang bersifat holistik berupa edukasi,
penghindaran terhadap alergen, farmakoterapi secara tepat dart rasional dan
mungkin imunoterapi.i Dalam hal pemberian terapi, diperlukan pengetahuan yang
memadai mengenai patogenesis, patofisiologi rinitis alergi sebagai landasan dalam
pemilihan obat yang tepat .
2
1
3
BABII
lSI
2. 1. Definisi
Menurut Von Pirquet, rinitis alergi merupakan Penyakit inflamasi
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi
dengan alergen yang sarna serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi
paparan ulang dengan alergen spesifik tersebut.
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hi dung terpapar alergen yang diperantarai oleh
1
IgE.
2. 2. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase, yaitu
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai satu jam setelahnya, dan Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang
berlangsung 2 sampai 4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktiftas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Pada kontak pertama dengan
alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel
penyaji akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.
Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk peptida MHC (Mayor Hisf!JcompatibililjJ
Complex) kelas II, yang kemudian dipresentasikan pada sel T-helper (Th 0).
/I'
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin I (IL-1) yang akan
mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Kemudian Th 2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13. IL-4 dan IL-13
dapat diikat oleh reseptomya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah
4
akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.4
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk, terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan
prostaglandin leukotrin D4, leukotrin C4, brakinin, platelet activating factor dan
berbagai sitokin. Inilah yang disebut reaksi alergi fase cepat. Histamin akan
merangsang reseptor HI pada ujung vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada
hidung dan bersin-bersin. Histamin juga menyebabkan kelenjar mukosa dan sel
goblet mengalami hipersekresi dan permeabiltas kapiler meningkat sehingga terjadi
rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung syaraf vidianus juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran inter celluler adhesion molecule 1
(ICAM 1).4
Pada reaksi alergi fase lambat, sel mastosit akan melepaskan molekul
kemotaktik yang akan menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan
target. Respon ini tidak berhenti disini saja, tapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam, setelah pemaparan. Pada reaksi ini, ditandai dengan penambahan
jenis danjumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit
di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3 , IL4 dan IL5, dan
granulocyte macrophag colony stimulating factor (GMCSF) dan ...,ICAM 1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperre,sponsif hidung adalah
akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya. Pada fase ini selain
faktor spesitk (alergen), iritasi oleh faktor nonspesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara
yang tinggi."
4
... ...,.....-..r. -.:-..'\
• -c,
';)
I!'ti\l~'<$'rlh
Alkrg:~H r
i':;tuu:~t (-_J
E)\f.t4, ...u,',,-~
Re-ex posure
1.;);1," Pl!:Jll;,,,'
&frn-r)t."\_E~~ilJi;:
,\k,j,,,,,,,, fni1;imm~'lilm
!I&:r::."'k;:l,'th~
11)\~:': i~·~'"kHtS.
l~U~_;{J\tl~!lK~
!L·_'
lI~h
5
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran sehingga
memberi gejala campuran, misalnya debu rurnah yang memberi gejala asma
bronkhial dan rhinitis alergi.
Dengan masuknya antigen asing di dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen. Reaksi ini bersifat nonspesifik
dan dapat berakhir sampai disini. Bila antigen tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila antigen
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila antigen masih ada atau
sudah ada defek dari sistem imunologi maka reaksi akan berlanjut menjadi
respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologi yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi antigen oleh
tubuh.
Gell dan Coomb mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau
reaksi anafilaksis (hipersensitifitas tipe cepat), tipe 2 atau reaksi sitotoksik Isitolitik,
tipe3 atau reaksi kompleks imun, dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (hipersensitifitas
'"
tipe lambat).
I
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT
adalah tipe I yaitu rhinitis alergi.
~ 3. KlasifIkasil
Rhinitis alergi sebelumnya dibagi berdasarkan waktu pajanan menjadi rhinitis
musiman (seasonal), sepanjang tahun (perennial) dan akibat kerja. Pembagian ini
ternyata tidak memuaskan. Maka disusunlah klasifikasi bam rhinitis alergi menurut
WHO-ARIA (2001):
• Menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup
• Berdasarkan atas lamanya, dan dibagi dalam penyakit "intermiten" atau
"persisten"
• Berdasarkan derajat berat penyakit, dan dibagi dalam "ringan" atau "sedang-
berat" tergantung dari gejala dan kualitas hidup
I.. Persisten
I'~J !
> 4 hari/minggu
I'~~d~Jl>.4 minggu
., Ringan Sedang·Serat
~,: Tidur normal (1 atau > gejala)
I ./'!! Aktivitas sehari-hari, saat ~I! Tidur terganggu
olah raga & santai normal ~~ Aktivitas sehari-hari, olah raga,
,)4,: 8ekerja & sekolah normal santai terganggu
Tidak ada keluhan yg J )l_)~ Masalah saat kerja dan sekolah
mengganggu ~.~Ada keluhan yang mengganggu
------
Red" itdhM,
~I:atery :eyes
Sijeez,ng"
tot1:gestin:n!
irurmy [nos:e
l W
~ ~l~"A'V!"I..~
Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah
bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala
ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok
bidung karena gatal dengan punggung bidung. Keadaan ini disebut sebagai allergic
salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan
timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut
allergic crease.
2. 5. Diagnosis
2. 5. 1. Anamnesis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan rinoskopi anterior
atau nasoendoskopi, dan pemeriksaan penunjang.
Allergic Rhinitis
"
• Hidung tersumbaumenetap/berganti-ganti)
• Hiposmialanosmia
• Adanya variasi diurnal (memburuk pada pagi hari-siang dan membaik pada saat
malam hari)
• Penyakit penyerta: sakit kepala berhubungan dengan tekanan hidung dan sinus
akibat sumbatan yang berat, kelelahan, penurunan konsentrasi, gejala radang
tenggorokan, mendengkur, gejala sinusitis, gejala sesak nafas dan asma.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan gambaran ~ang khas pada anak berupa
allergic shiner ( bayangan gelap dibawah kelopak mata karena sumbatan pembuluh
darah vena ), allergic salute karena anak sering menggosok-gosok hidung dengan
punggung tangan ke arah atas karena gatal dan allergic crease berupa garis
melintang di dorsum nasi sepertiga bawah karena sering menggosok hidung. Pada
-::-.?":,, dengan sumbatan hi dung kronik dapat menimbulkan facies adenoid karena
:eeng bernafas lewat mulut. Hal ini menyebabkan lengkung palatum yang tinggi dan
g:zn&,cruanpertumbuhan gigi sehingga terjadi penonjolan kedepan dari gigi seri atas.
Pasien sering menggerak-gerakkan mulut dan gigi saat tidur terutama pada anak
tuk mengatasi gejala rasa penuh di telinga akibat sumbatan tuba. Kadang-kadang
6
ditemukan adanya krusta dan kulit yang kasar di daerah lubang hidung. ,7
2. 5. 3. pemeriksaan Penunjang
2. 5. 3. 1. Pemeriksaan in vitro
Secara umum, kadar Ig E total serum rendah pada orang normal dan
meningkat pada penderita atopi, tetapi kadar Ig E normal tidak menyingkirkan
adanya rinitis alergi. Pada orang normal, kadar Ig E meningkat dari lahir (O-lKU/L)
sampai pubertas dan menurun secara bertahap dan menetap setelah usia 20-30 tahun.
Pada orang dewasa kadar > 100-150 KU/L dianggap lebih dari normal. Kadar
meningkat hanya dijumpai pada 60% penderita rinitis alaergi dan 75% penderita
asma. Terdapat berbagai keadaan dimana kadar Ig E meningkat yaitu infeksi parasit,
penyakit kulit (dermatitis kronik, penyakit pemfigoid bulosa) dan kadar menurun
pada imunodefisiensi serta multi pel mieloma. Kadar Ig E dipengaruhi juga oleh ras
dan umur, sehingga pelaporan hasil hams melampirkan nilai batas normal sesuai
golongan usia. Pemeriksaan ini masih dapat dipakai sebagai pemeriksaan penyaring,
tetapi tidak digunakan lagi untuk menegakkan diagnosis.
2. 5. 4. Pemeriksaan Lain
14
pemeriksaan diagnosis primer (tes kulit) dengan gejala klinik. Secara umurn, tes ini
.ebih sulit untuk diulang dibandingkan dengan tes kulit dan pemeriksaan Ig E
spesifik, Tes provokasi menempatkan penderita pada situasi beresiko untuk
terjadinya reaksi anafilaksis.
~
anlL!.."O;'1
2. 5. 4. 6. Pemeriksaan radiology
Pemeriksaan foto polos sinus paranasal, CT Scan maupun MRI (bila fasilitas
15
tersedia) tidak dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis rhinitis alergi, tetapi untuk
menyingkirkan adanya kelainan patologi atau komplikasi rhinitis alergi terutarna bila
respon pengobatan tidak memuaskan. Pada pemeriksaan foto polos dapat ditemukan
penebalan mukosa sinus (gambaran khas sinus akibat alergi), perselubungan
homogen serta gambaran batas udara cairan di sinus maksila.
2.5.4.7. Tes cukit/tusuk (prick test)
Tes kulit digunakan secara luas sebagai salah satu alat untuk menegakkan
diagnosis alergi terhadap alergen dan merupakan indikator yang arnan, mudah
dilakukan, hasil cepat didapat, biaya yang relatif murah dengan sensitifitas tinggi
serta dapat dipakai sebagai pemeriksaan penyaring. Tes cukit dapat mendiagnosis
rhinitis alergi akibat allergen inhalasi berderajat sedang sarnpai berat, tetapi pada
penderita dengan sensitifitas rendah, kemungkinan tidak terdeteksi walaupun tedapat
korelasi dengan gejala klinik. Bila pada anamnesis terdapat kecurigaan adanya
alergi, sedangkan tes kulit negative, tindakan yang perlu dilakukan adalah: 1. periksa
obat-obatan yang dapat mempengaruhi hasil tes. 2. periksa adakah penyebabhasil
negative palsu.3. observasi pasien selarna adanya paparan allergen yang tinggi. 4.
lakukan tes provokasi atau tes intradermal (bila fasilitas tersedia).':"
16
2. 5. 4. 8. Tes intradermal
Tes ini rnerniliki sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tes cukit,
walaupun reaksi positif palsu atau reaksi anafilaksis lebih sering terjadi. Sebaiknya
yang dilakukan tes intradermal hanya yang rnernberikan hasil negatif pada tes cukit.
2. 6. Penatalaksanaan
I'
Secara garis besar, penatalaksanaan rinitis alergi terdiri dari 3 cara yaitu
rnenghindari atau elirninasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi dan
imunoterapi, sedangkan tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi
komplikasi seperti sinusitis dan polip hidung.
17
2. 6. 1. Menghindari atau eliminasi alergen
Pada dasamya penyakit alergi dapat dieegah dan dibagi menjadi 3 tahap,
yaitu:
1) Pencegahan primer untuk meneegah sensitisasi atau proses pengenalan dini
terhadap allergen. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang mempunyai
risiko atopi. Pada ibu hamil diberikan diet retriksi ( tanpa susu, telur, ikan laut dan
kacang ) mulai trimester III dan selama menyusui. dan bayi mendapat ASI eksklusif
selama 5 - 6 bulan. Selain itu kontrollingkungan dilakukan untuk mencegah pajanan
terhadap allergen dan polutan.
2) Pencegahan sekunder untuk meneegah manifestasi klinis alergi pada anak
berupa asma dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi tahap
awal berupa alergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan dengan
penghindaran terhadap pajanan allergen inhalan dan makanan yang dapat diketahui
dengan uji kulit.
3) Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya
penyakit alergi dengan penghindaran allergen dan pengobatan.i'
1. Penghindaran alergen.
Cara ini bertujuan mencegah terjadinya kontak antara alergen dengan IgE
spesifik yang terdapat dipermukaan sel mast atau basofil sehingga degranulasi tidak
terjadi dan gejala dapat dihindarkan. Perjalanan dan beratnya penyakit berhubungan
dengan konsentrasi alergen di lingkungan." Walaupun konsep pengobatan ini sangat
rasional, namun dalam praktek adalah sangat sulit dilakukan. Di negara tropis,
alergen utamanya adalah debu rumah dan serpihan kulit seranggaJ tungau antara la~n
Dermatophagoides pteronysinus dan farinae yang hidup pada debu rumah.,
Ii
karpet, kasur, kapuk, selimut, tumpukan pakaian dan buku lama. Disamping itu
terdapat partikel alergen lain yang menempel pada debu rumah misalnya kotoran
kecoa, serpihan bulu kucing dan anjing yang juga berperan aktif.1,2,3,8,9 Jamur yang
terdapat dalam rumah sepelti jenis Aspergillus den Penicillium sering ditemukan
pada daerah yang lembab seperti kamar mandi, dapur, gudang, serta atap yang
boeor?
Peneegahan kontak dengan alergen dapat dilakukan dengan menjaga
kebersihan rumah. menghindari penggunaan karpet, memperbaiki ventilasi dan
kelembaban udara. Edukasi terhadap penderita perlu diberikan seeara teratur
mengenai penyakit, penatalaksanaan, kepatuhan dalam berobat baik seeara lisan
maupun pertanyaan."
Untuk mengurangi populasi tungau dan paparan terhadap alergen, terdapat
beberapa eara yang harus dilakukan yaitu
1. Tidak menggunakan karpet. kapuk dan menyingkirkan mainan berbulu
dari kamar tidur.
2. meneuei selimut, bed cover, sprei, sarung bantal dan guling serta kain
kordin pada suhu 60° C.
3 Melapisi kasur, bantal dan guling dari bahan yang impermeabel/anti tembus
tungau
4. Menggunakan perabot yang mudah dibersihkan seperti dari kayu, plastik
atau logam dan hindari sofa dari kain.
5. Pembersihan yang sering dan teratur dengan penghisap debu atau dengan
lap basah.
6. Hindari binatang peliharaan 1,2,8,9
19
Gambar 10. Alergen yang menyebabkan RA
2. 6. 2. Farmakoterapi
Histamin merupakan mediator utama timbulnya gejala rinitis alergi pada fase
cepat dan dibentuk di dalam sel mast dan basofil (preformed mediator), Histamin
dapat dikeluarkan dalam berapa menit, mempunyai efek vasoaktif yang poten dan
kontraksi otot polos melalui HI reseptor pada target organ. Secara klinis, histamin
dapat menyebabkan vasodilatasi, peninqkatan permeabilitas vaskuler, menurunkan
viskositas mukus, bronkokonstriksi dan stimulasi saraf sensoris. Hal inilah yang
menyebabkan gejala bersin, rinore dan gatal pada hi dung, mata dan palatum. II
21
sawar darah otak dan plasenta, bersifat selektif mengikat reseptor HI, tidak
mempunyai efek anti kolinergik, anti adrenergik dan efek pada SSP sangat minimal
sehingga tidak mempengaruhi penampilan (performance). Yang termasuk kelompok
ini adalah loratadin, astemisol, azelastin, terfenadin dan cetirisin. Terfenadin dan
astemisol menyebabkan penghambatan pada jalur ion Kalium yang menyebabkan
perpanjangan interval QT pada EKG. Bila dikombinasikan dengan obat lain yang
dimetabolisme di hati melalui enzim sitokrom P450 misalnya antibiotik golongan
makrolid dan antijamur golongan azol, ke dua obat ini dapat menyebabkan
timbulnya torsades de pointes serta aritmia ventrikel, sehingga kedua obat ini sudah
Saat ini terdapat 2 sediaan antihistamin topikal untuk rinitis alergi yaitu
azelastin dan levocabastin. Kedua jenis obat ini secara efektif dan spesifik bekerja
sebagai HI reseplor antagonis untuk mengatasi gejala bersin dan gatal pada hidung
dan mata (rinokonjungtivitis alergi). Bila digunakan 2 kali sehari dapat
mencegah timbulnya gejala.v' 1
2. 6. 2. 2. Dekongestan
22
dengan efedrin, tetapi memiliki efek minimal terhadap tekanan darah atau
jantung dan SSP. Pemberian pseudoefedrin dapat mengatasi hiperemi jaringan,
edem mukosa dan meningkatkan patensi jalan napas hidung. Obat ini berguna
untuk mengatasi rinitis alergi bila dikombinasikan dengan antihistamin.1,2,3
Efek samping dekongestan oral terhadap SSP yaitu gelisah, insomnia,
iritabel, sakit kepala dan terhadap kardiovaskuler seperti palpitasi, takikardi,
meningkatkan tekanan darah, dapat menghambat aliran air seni. Penggunaan
obat ini harus hati-hati pada orang tua karena dapat meningkatkan tekanan darah
dan jangan diberikan pada pasien rinitis alergi dengan kelainan jantung koroner
dan glaukcma.V
Preparat dekongestan topikal seperti oxymetazolin, fenilefrin,
xylometazolin, nafazolin dapat mengatasi gejala sumbatan hi dung lebih cepat
dibandingkan preparat oral karena efek vasokontriksi dapat menurunkan aliran
darah ke sinusoid dan dapat mengurangi udem mukosa hidung. Namun
pemberian secara topikal hanya beberapa hari saja ( 3 - 5 hari ) untuk mencegah
terjadinya rebound fenomena ( sumbatan hidung tetap terjadi ) setelah
penghentian obat dan rinitis medikamentosa.v=' Penggunaan obat ini tidak
dianjurkan untuk mengatasi gejala sumbatan hidung yang timbul pada fase
lambat rinitis alergi.'
23
hanya dengan antihistamin saja. 14
2. 6. 2. 4. Ipratropium bromida
Ipratropium bromida topikal merupakan salah satu preparat pilihan dalam
mengatasi rinitis alergi. Obat ini merupakan preparat antikolinergik yang dapat
mengurangi sekresi (rinore) dengan cara menghambat reseptor kolinergik pada
permukaan sel efektor, tetapi tidak ada efek untuk mengatasi gejala lainnya. Preparat
ini berguna pada penderita rinitis alergi dengan rinore yang tidak dapat diatasi
dengan kortikosteroid intranasal maupun dengan antihistamin.v'
Efek samping yang sering ditemukan adalah iritasi hidung, pembentukkan
krusta dan kadang epistaksi ringan. 1,2
Obat ini mempunyai efek untuk mengatasi bersin, rinore dan gatal pada
hidung hidung dan mata, bila digunakan 4 kali sehari. Preparat ini bekerja dengan
cara menstabilkan membran mastosit dengan menghambat influks ion kalsium
2
sehingga pelepasan mediator tidak teljadi. ,8 Selain itu, obat ini juga bekerja pada
respon fase lambat rinitis alergi dengan menghambat proses inflamasi terhadap
aktivasi sel eosinofil. Dengan dosis pemberian 4 kali sehari, kemungkinan
kepatuhan penderita berkurang. Obat ini baik digunakan sebagai preventif sebelum
gejala alergi muncul seperti pada rinitis alergi musiman sebelum musim polen
terjadi, dan dapat diberikan dengan aman pada anak, wanita hamil dan penderita usia
lanjut'
24
metaanalisis membuktikan, kcrtikosteroid topikal efektif untuk mengatasi gejala
1
rinitis alergi terutama sumbatan hidung yang timbul pada fase lambat. Saat mulai
kerjanya lambat (12 jam) dan efek maksimum dicapai dalam beberapa hari sampai
minggu."
Bila hidung sangat tersumbat, kortikosteroid topikal tidak mudah mencapai
mukosa hidung, sehingga kadang diperlukan pemakaian dekongestan topikal
misalnya oxymetazolin
atau kortikosteroid oral selama kurang dari seminggu
sebelum pemakaian kortikosteroid topikal. 8
Efek spesifik kortikosteroid topikal antara lain menghambat fase cepat dan
lambat dari rinitis alergi, menekan produksi sitokin Th2, sel mast dan basofil,
mencegah switching dan sintesis IgE oleh sel B, menekan pengerahan lokal lokal
dan migrasi transepitel dari sel mast, basofil dan eosinofil, menekan ekspresi GM-
CSF, IL-6, IL-8, RANTES, sitokin, kemokin, mengurangi jumlah eosinofil di
mukosa hi dung dan juga menghambat pembentukan, fungsi ,adhesi, kemotaksis dan
apoptosis eosinofiI. 1,2,3,8,9
2. 6. 3. Imunoterapi
Imunoterapi hanya diberikan pada penderita rinitis alergi yang tidak ada
respons terhadap farmakoterapi , bila penghindaran terhadap alergen tidak dapat
25
dilakukan atau bila terdapat efek samping dari pemakaian obat. 1,2
Imunoterapi akan meningkatkan sel Thl dalam memproduksi IFN y,
sehingga aktifitas sel B akan terhambat dan selanjutnya pembentukan IgE akan
tertahan.". Selain itu imunoterapi akan menurunkan produksi molekul inflamasi
seperti IL-4, IL-5, PAP, IeAM 1 dan akumulasi sel eosinofi1.9
IL-5 reseptor antagonis dan lL-5 monoklonal antibodi sudah dapat digunakan
untuk penderita asma dan mungkin dapat berperan juga dalam mengatasi rinitis
alergi.1,2 Kombinasi antihistamin dengan anti leukotrien lebih efektif untuk
mengatasi rhinitis alergi dibandingkan hanya menggunakan satu obat saja.1,9 Anti
IgE terapi berupa recombinant humanized monoclonal JgG antibodi bekerja
langsung pada Fe dari IgE sehingga terjadi penurunan IgE di sirkulasi.'
26
KESIMPULAN
5. Tempi bam yang berkembang akan membantu penderita rinitis alergi derajat
berat untuk dapat menikmati hidup.
27
DAFTAR PUSTAKA
28
Century. Jakarta 2000: 1-21.
10. Dykewicz M. emerging treatments III Seasonal Allergic Rhinitis. A
Comprehensive Approach for The Different Facets of Allergy.
Symposium EAACI. Lisbon 2000: 2 - 9.
11. Kunkel G. The Role of Antihistamine in Allergic Rhinitis preferable
Perenial Rhinitis. Symposium Allergic Rhinitis at the tum of the Century.
APCACI Manila 1998; 4-5.
12. Simons E. Are the AntiAllergic Property of HI Antihistamine of any
Clinical Relevance. New Controversies in Allergy: An Interactive Quiz
the Experts Symposium EAACI, Brussels 1999;4
13. Gonzalez MA, Estes KS. Pharmacokinetic Overview of Oral Second
Generation HI Antihistamines. Int. J of Clin. Pharmacology &
Therapeutics 1998:36;292-300.
14. Corren J, Harris AG, Aaronson D. Efficacy and safety of Loratadine and
pseudoephedrine in patients with Seasonal Allergic Rhinitis and Mild
Asthma. J. Allergy Clin. Immunol. 1997:100;781-8.
29