Anda di halaman 1dari 13

Pendekatan Diagnostik pada

Seorang Penderita dengan Hepatitis Autoimun


Krisna Wiweka
Gatot Soegiarto

PENDAHULUAN
Hepatitis autoimun (HAI) adalah penyakit hati kronik yang berkaitan dengan
autoreaktivitas dan predisposisi genetik tertentu yang sampai saat ini belum diketahui pasti
penyebabnya. Penyakit ini ditandai dengan adanya inflamasi dan nekrosis sel – sel hepar yang
berkelanjutan dan progresif menuju pada keadaan sirosis hepatis (Sherlock and Dooley, 2002A;
Raqhuraman, 2004). Gambaran histopatologi hepar berupa interface hepatitis dan infiltrasi sel
plasma, sedangkan pada pemeriksaan serum didapatkan hipergamaglobulinemia dan autoantibodi
(Cjaza and Freese, 2002).

HAI merupakan penyakit yang jarang. Di Amerika Serikat kejadian HAI berkisar 11-
23% diantara penderita penyakit hati kronik, sedangkan di Eropa Barat prevalensinya kurang
lebih 0,69 kasus per 100.000 penduduk. Prevalensi di Eropa Utara merupakan paling tinggi di
dunia, diperkirakan ± 170 kasus per 1 juta penduduk. Hal ini diduga terkait dengan tingginya
frekuensi alela HLA-DR3 dan HLA-DR4 di daerah tersebut (Vogel, 2003; Raqhuraman, 2004).

HAI lebih sering dijumpai pada wanita daripada pria, dengan rasio 3,6 : 1. Onset
terjadinya umumnya pada masa anak-anak dan dewasa muda antara usia 15 – 25 tahun atau
sekitar masa menopause antara usia 45 – 60 tahun (Czaja and Freese, 2002; Lindsay, 2004).
Sekitar 40% kasus HAI menunjukkan onset penyakit yang akut berupa keadaan fulminan yang
ditandai dengan ensefalopati hepatik yang dapat terjadi dalam 8 minggu sejak munculnya gejala
awal. Suatu studi prospektif menunjukkan bahwa 40% penderita HAI yang tidak diterapi akan
meninggal dalam 6 bulan (Czaja and Freese, 2002).

Berikut ini dilaporkan pendekatan diagnostik pada seorang penderita dengan hepatitis
autoimun yang akhirnya meninggal karena sepsis dan ensefalopati hepatik.

KASUS
Seorang penderita wanita, Ny N, 55 tahun, agama Islam, suku Jawa, alamat Rejosari,
Benowo, Surabaya, masuk rumah sakit (MRS) di Ruang Interna Wanita RSU Dr Soetomo
melalui Poli Interna II pada tanggal 25 April 2005 dengan keluhan utama gatal-gatal di
seluruh tubuh.

Laporan Kasus Bagian–SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR-RSU Dr.Soetomo


Surabaya, 17 Oktober 2006

1
Dari anamnesis riwayat penyakit sekarang didapatkan bahwa penderita mengalami
gatal-gatal sejak dua minggu sebelumnya, dirasakan di seluruh tubuh. Sudah diobati dengan
bedak dan minum pil CTM namun gatal-gatal tetap dan bahkan dirasakan makin memberat sejak
3 hari sebelum MRS. Mata kuning dirasakan sejak tiga minggu sebelum MRS, mula-mula sedikit
makin lama makin memenuhi putih mata. Sekujur tubuh juga menguning. Penderita juga
mengeluh nyeri ulu hati dan mual, namun tidak muntah. Nafsu makan menurun, demam tidak
dirasakan. Sejak sakit ini berat badan dirasakan menurun, lemas dan tidak bertenaga serta sering
mengeluh nyeri kepala. Badan terasa pegal-pegal. Buang air kecil lancar, jumlah cukup, tidak
keruh, warna coklat tua seperti teh. Buang air besar lancar, warna kuning, tidak seperti dempul.
Sempat berobat ke dokter praktek swasta dan disarankan opname.

Dari riwayat penyakit dahulu tidak didapatkan riwayat diabetes mellitus, hipertensi,
atau sakit liver. Tidak didapatkan riwayat pemakaian obat-obatan jangka lama maupun riwayat
kebiasaan minum alkohol. Riwayat penyakit keluarga tidak ada yang mengalami penyakit
serupa.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran penderita komposmentis. GCS 456,


keadaan umum lemah, BB 45 kg, TB 155 cm. Tensi 120/80 mmHg, nadi 88 x/menit, suhu axila
37°C, pernapasan 20 x/menit. Pada pemeriksaan kepala / leher didapatkan konjungtiva tidak
anemis, sklera mata ikterik, tidak sianosis, tidak ada dispneu, tidak ada pembesaran kelenjar
getah bening dan distensi vena jugularis. Kulit muka normal, tidak didapatkan hiperpigmentasi,
rambut normal, tidak ada alopesia. Pemeriksaan rongga mulut tidak didapatkan ulkus. Pada
pemeriksaaan thoraks didapatkan bentuk normal, tidak didapatkan spider nevi maupun
kolateral. Pemeriksaan jantung didapatkan apeks jantung teraba di ICS V-MCLS, S1-S2
tunggal, tidak ada suara tambahan. Pemeriksaan paru didapatkan gerakan simetris pada kedua
dinding dada. Suara napas vesikuler pada kedua lapangan paru, tidak didapatkan rhonchi
maupun wheezing. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan soepel, tidak distended, tidak
didapatkan ascites, kolateral, maupun meteorismus. Hepar dan limpa tidak teraba. Bising usus
nomal. Pemeriksaan ekstremitas didapatkan akral hangat, tidak ada edema tungkai, tidak
didapatkan eritema palmaris. Pada pemeriksaan kulit didapatkan ikterus dan bekas-bekas
garukan.

Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 21 April 2005 didapatkan Hb 13,3 g/dl;


lekosit 9.980/µL; trombosit 440.000/µL, hematokrit 36,21%, LED 52 mm/jam, Glukosa darah
acak 75 mg/dl, BUN 22,3 mg/dl; kreatinin serum 1,1 mg/dl; bilirubin direk 9,24 mg/dl;
bilirubin total 18,17 mg/dl; SGOT 597 U/L; SGPT 502 U/L; alkali fosfatase 326 U/L;
albumin 3,8 g/dl; globulin 4,6 g/dl; protein total 8,4 g/dl; HBs Ag (Elisa) negatif. Pemeriksaan
urinalisis : pH 6,5; berat jenis 1,010; nitrit (−); protein (−); glukosa (−); keton (−); urobilin (+);
bilirubin (+); lekosit (−); eritrosit (−); warna kuning tua; jernih.

2
Sedimen urine: eritrosit 0-1 /lpb; lekosit 0-1 /lpb; epitel 1-2 /lpb. Pemeriksaan USG abdomen
tanggal 21 April 2005 : menyimpulkan tak tampak kelainan; dengan catatan bahwa ikterus
dicurigai karena penyakit parenkim hati. Pemeriksaan EKG tanggal 25 April 2005
menunjukkan irama sinus 88 x/menit, dengan aksis normal.

Berdasarkan data-data yang tersedia maka diagnosis kerja saat itu : ikterus
parenkimatous pro evaluasi, curiga hepatitis akut. Planning diagnosis : pemeriksaan marker
virus (IgM anti HAV, Anti HCV), ulangan SGOT/SGPT, bilirubin direk / total, alkali fosfatase,
albumin / globulin, elektrolit serum, urine lengkap, foto thoraks, review USG abdomen, dan
konsultasi ke Divisi Gastroenterohepatologi. Planning terapi : tirah baring, roborantia 3 x 1 tab,
kolestiramin 3 x 4 g, diet Hati I 2100 kalori. Planning monitoring : tanda-tanda vital, dan
keluhan penderita.

Perjalanan penyakit (saat MRS I)


Tanggal 26 April 2005 (hari ke-2):
Keluhan gatal tetap, kencing tetap seperti teh. Kesadaran komposmentis, tekanan darah
120/80 mmHg, nadi 80 x/menit, suhu 36,8°C, pernapasan 19 x/menit. Pemeriksaan laboratorium
didapatkan : bilirubin direk 11,4 mg/dl; bilirubin total 17,1 mg/dl; SGOT 756 U/L; SGPT
499 U/L. IgM anti HAV negatif, hasil anti HCV menyusul. Urinalisis : urobilinogen +++;
bilirubin ++; protein (−); lekosit (−). Sedimen urine: eritrosit (−); lekosit 0-1; epitel 1-2.
Kesimpulan pemeriksaan foto thoraks tanggal 26 April 2005 dalam batas normal. Diagnosa
kerja : ikterus parenkimatus pro evaluasi, curiga hepatitis akut. Planning diagnosa : tunggu hasil
anti HCV, rencana konsultasi Divisi Gastroenterohepatologi. Planning terapi: tetap, ditambahkan
UDCA 2 x 250 mg. Planning monitoring: tanda –tanda vital dan keluhan penderita.

Tanggal 29 April 2005 (hari ke-5) :


Keluhan tetap. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa kadar bilirubin dan
transaminase makin meningkat. Bilirubin direk 20,79 mg/dl; bilirubin total 25,21 mg/dl;
SGOT 935 U/L; SGPT 653 U/L; alkali fosfatase 350 U/L; albumin 3,4 g/dl, globulin 4,4 g/dl.
Urinalisis : urobilinogen ++; bilirubin ++. Anti HCV negatif. Pemeriksaan laboratorium
lainnya tidak menunjukkan kelainan. Hasil review USG abdomen: tidak terdapat pelebaran
IHBD dan CBD, lain-lain tak tampak kelainan. Konsultasi ke Divisi Gastroenterohepatologi
telah dilaksanakan sebanyak 3 kali (tanggal 29 April, 2 Mei, dan 10 Mei 2005) dengan
kesimpulan ikterus parenkimatosa yang disebabkan oleh penyakit hati akut dengan
diagnosis banding hepatitis autoimun. Disarankan pemeriksaan Ig M anti HBc dan biopsi
hati. Terapi suportif dilanjutkan. Planning diagnosis : IgM anti HBc. Planning terapi : diet Hati
II 2100 kalori, lain-lain tetap. Planning monitoring : tetap.

3
Tanggal 10 Mei 2005 (hari ke -16) :
Keluhan penderita tetap. Pemeriksaan IgM anti HBc negatif. Penderita menyatakan
menolak dilakukan biopsi hati. Karena itu kemudian disarankan untuk memeriksa ANA test.
Planning terapi dan monitoring tetap.

Tanggal 16 Mei 2005 (hari ke 22) :


Keluhan penderita tetap. Komposmentis, tanda-tanda vital dalam batas normal.
Pemeriksaan laboratorium tidak banyak berubah. Bilirubin direk 18,0 mg/dl; bilirubin total
27,1 mg/dl; SGOT 639 U/L; SGPT 359 U/L. Urinalisis : urobilin ++; bilirubin +++. Pada hari
itu penderita pulang paksa dengan alasan ingin dirawat di rumah.

Tanggal 21 Mei 2005 (hari ke-1 , MRS II)


Lima hari setelah pulang paksa, penderita MRS kedua kali melalui IRD dengan keluhan
utama kesadaran menurun.

Anamnesis / Heteroanamnesis (anak penderita): kesadaran menurun sejak 2 hari


sebelum MRS. Penderita awalnya gelisah, ngomong ngelantur, tidak mengenali diri dan
lingkungannya. Tidak ada demam, didapatkan mual dan muntah. Nafsu makan menurun, buang
air kecil lancar, warna masih tetap kuning tua seperti teh. Buang air besar lancar, warna kuning.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran penderita somnolens, GCS 446 dengan
keadaan umum lemah. Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 100 kali/menit, pernapasan 20
kali/menit, suhu axilla 36,7ºC. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan perubahan yang berarti
dibandingkan dengan saat terakhir di rawat di Ruang Interna Wanita.

Pemeriksaan laboratorium tanggal 21 Mei 2005 didapatkan data: Hb10,5 g/dl; lekosit
10.200/µL; trombosit 283.000/µL; hematokrit 30%; glukosa darah acak 108 mg/dl; BUN
8 mg/dl; kreatinin serum 1,28 mg/dl; SGOT 304 U/L; SGPT 134 U/L; bilirubin direk 18,28
mg/dl; bilirubin total 22,51 mg/dl; kalium 2,52 meq/L; natrium 135 meq/L. Dari
pemeriksaan analisa gas darah didapatkan pH 7,493; pCO2 39,7 mmHg; pO2 91,9 mmHg;
HCO3− 29,8 mmol/L; BE 6,5 mmol/L; O 2 sat 97,6; CtCO2 31,0. Pemeriksaan urinalisis
didapatkan protein (−); urobilin ++; bilirubin ++. Sedimen urine : eritrosit 1-3 /lpb ; lekosit
2-4 /lpb; epitel 2-4 /lpb. Pemeriksaan EKG didapatkan sinus takikardi 100 kali/menit dengan
aksis normal. Pemeriksaan foto thoraks posisi AP tanggal 21 Mei 2005 didapatkan kesan
kardiomegali (kurang inspirasi). Pemeriksaan USG abdomen cito di IRD disimpulkan sebagai
suatu kolesistitis akut (dan disarankan untuk mengkorelasikan dengan data klinis dan
laboratorium penderita).

Diagnosis kerja saat itu : Ikterus obstruktif pro evaluasi, hipokalemia, dan
ensefalopati hepatik grade I-II. Planning diagnosis : ulangan kalium post koreksi, faal

4
hemostasis, dan biopsi hati. Planning terapi : koreksi hipokalemia dengan KCl 50 meq/500 cc
PZ/ 24 jam, infus PZ : D10 : AARC = 1:1:1, diet EH 2 1400 kalori, vit K 3 x 1 ampul i.v.,
kolestiramin 3 x 1 sachet, laktulosa 3 x C II, roboransia 3 x 1 tab. Planning monitoring : tanda-
tanda vital, GCS, elektrolit serum. Pemeriksaan laboratorium tanggal 22 Mei 2005 didapatkan
hasil kalium post koreksi adalah 4,31 mmol/L, natrium 136,1 mmol/L.

Perjalanan penyakit (saat MRS II)


Tanggal 23 Mei 2005 ( hari ke-3 ):
Keluhan : kesadaran menurun. BAB tak lancar. Keadaan umum lemah, somnolens, GCS
345. Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 100 x/m, pernapasan 20 x/m, suhu axilla 38,2°C.
Produksi urine 1500 ml/24 jam. Pemeriksaan laboratorium : PPT 13,29 detik (kontrol 10,73
detik); KPTT 36,45 detik (kontrol 33,51 detik). Diagnosis kerja : curiga hepatitis autoimun,
sepsis (kausa belum jelas), ensefalopati hepatik grade III. Planning diagnosis: ANA test,
elektroforesis protein serum, kultur darah dan kultur urine, konsultasi ke Divisi
Gastroenterohepatologi. Planning terapi : O2 2 L/m , diet EH 3 1200 kalori (6 x 200 ml) per
sonde, infus PZ : D10 : AARC = 1:1:1 , Cefotaxim 3 x 1 g i.v., kolestiramin 3 x 1 sachet, UDCA
2 x 250 mg, Laktulosa 3 x C II, kompres dingin, lavement tiap 12 jam. Planning monitoring :
tanda-tanda vital dan keluhan penderita. Hasil konsultasi ke Divisi Gastroenterohepatologi :
dicurigai hepatitis autoimun, disarankan untuk melanjutkan pemeriksaan ANA test, dan
biopsi hepar.
Tanggal 25 Mei 2005 (hari ke-5) :
Kondisi penderita makin memburuk. Kesadaran menurun. GCS 111. Produksi urine 1500
ml/24 jam. Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 100 x/m, pernapasan 24 x/m. Pemeriksaan
laboratorium didapatkan Hb 10,6 g/dl; lekosit 14.980 / µL; trombosit 140.000/µL; hematokrit
27,50%; LED 32 mm/jam; kalium 3,8 mmol/L; natrium 136 mmol/L; GDP 93 mg/dl; Analisa gas
darah: pH 7,45; pCO2 19,6 mmHg; pO2 65 mmHg; HCO3− 13,9 mmol/L; BE -10,3 mmol/L; Sat
O2 90,7. Planning diagnosis: tunggu hasil ANA test dan elektroforesis protein serum. Planning
terapi dan monitoring: tetap.

Tanggal 26 Mei 2005 (hari ke-6) :


Penderita meninggal dunia pada pukul 03.00 WIB. Dugaan kausa mortis adalah syok
septik yang memperberat ensefalopati hepatiknya. Diagnosis akhir: suspek hepatitis
autoimun, ensefalopati hepatik grade IV, sepsis dan syok septik. Biopsi hati post mortem
sempat coba dilakukan namun gagal mendapatkan spesimen jaringan hepar.

Hasil laboratorium lainnya :


Pemeriksaan elektroforesis protein serum tanggal 24 Mei 2005 (hasil keluar tanggal 26
Mei 2005) didapatkan : Albumin 2,67 g/dl (N: 3,80 – 5,00); Alpha 1 globulin 0,17 g/dl (N: 0,10

5
– 0,30); Alpha 2 globulin 0,27 g/dl (N: 0,60 – 1,00); Beta globulin 0,68 g/dl (N : 0,70 – 1,40);
Gamma globulin 3,41 g/dl (N: 0,70 – 1,60). A/G ratio: 0,59; Total protein 7,2 g/dl.
Pemeriksaan ANA test tanggal 25 Mei 2005 (hasil keluar tanggal 31 Mei 2005)
didapatkan ANA test + titer ≥ 1 : 320 Homogenous pattern.

PEMBAHASAN

Ikterus merupakan tanda yang sering muncul pada penyakit hati. Namun sering ikterus
tidak menjadi keluhan utama penderita. Penderita datang berobat lebih disebabkan karena
keadaan sakit lainnya seperti demam, menggigil, nyeri perut, flu like symptoms, gatal-gatal dan
penurunan berat badan (Roche, 2004).

Ikterus disebabkan oleh kelainan pre hepatal, intrahepatal, atau post hepatal. Peningkatan
kadar bilirubin terkonjugasi dapat disebabkan oleh kolestasis intrahepatal maupun obstruksi
ekstra hepatal (Roche, 2004). Investigasi awal terhadap penderita dengan ikterus dengan
laboratorium faal hati yang menunjukkan pola kolestasis adalah dengan ultrasonografi (Ryder
and Beckingham, 2001; Sherlock and Dooley, 2002B). Ultrasonografi (USG) dapat mendeteksi
apakah obstruksi bilier terjadi pada tingkat ekstrahepatal atau intrahepatal. USG memiliki
sensitivitas ± 75% untuk mendeteksi adanya dilatasi saluran bilier (Saini, 1997).

Penderita Ny. N MRS dengan keluhan utama gatal-gatal di seluruh tubuh. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan ikterus. Pemeriksaan laboratorium awal (darah dan urine) pada
saat MRS I menyokong tanda- tanda ikterus parenkimatus. Hal ini juga didukung data
pemeriksaan USG abdomen beberapa kali yang konsisten menyebutkan tidak adanya kelainan
pada sistem hepatobilier (tidak ada tanda-tanda pelebaran IHBD dan CBD).

Gejala kelainan parenkim hati dapat ditandai dengan demam, hepatic tenderness, lemah
badan, nausea, rasa tak nyaman di sekitar epigastrium, anoreksia, mialgia, pruritus, artralgia dan
penurunan berat badan (Ryder and Beckingham, 2001; Krawitt, 2006). Pada pemeriksaan fisik
bisa tidak tampak kelainan, namun bisa juga ditemukan hepatomegali, splenomegali, ikterus,
dan tanda - tanda penyakit hati menahun (Krawitt, 2006). Pemeriksaan laboratorium dapat
menunjukkan adanya peningkatan SGOT/ SGPT, bilirubin direk dan bilirubin total. Juga bisa
terjadi peningkatan alkali fosfatase beberapa kali diatas normal pada tipe kolestasis (Roche,
2004).

Pada penderita Ny N. didapatkan keluhan utama gatal-gatal (pruritus), nyeri ulu hati,
mual, mialgia, anoreksia, dan penurunan berat badan. Dari pemeriksaan fisik hanya didapatkan
ikterus, tidak dijumpai hepatomegali, maupun tanda-tanda penyakit hati kronik lainnya. Pada
pemeriksaaan laboratorium dijumpai peningkatan bilirubin direk dan bilirubin total,
peningkatan SGOT / SGPT, dan peningkatan alkali fosfatase. Kesimpulan dari pemeriksaan
klinis dan laboratorium faal hati mengarah pada suatu hepatitis akut tipe kolestasis.

6
Virus, alkohol, dan kelainan autoimun merupakan penyebab tersering hepatitis. Begitu
pula peran beberapa obat yang juga sering menyebabkan hepatitis (hepatitis imbas obat) seperti:
asetaminofen, penisilin, kontrasepsi oral, klorpromazin, dan lain-lain. Oleh karena itu investigasi
selanjutnya diarahkan pada beberapa faktor penyebab tersebut (Sherlock and Dooley, 2002A;
Roche, 2004).

Kemungkinan alkohol dan obat-obatan sebagai agen penyebab hepatitis dapat


disingkirkan melalui anamnesa yang dapat dipercaya (Limdi and Hyde, 2003). Berikutnya
dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium berupa marker virus (Ig M anti HAV, HBs Ag,
anti HBc, dan anti HCV ) guna menyingkirkan kemungkinan infeksi virus. Jika hasilnya negatif,
maka pemeriksaan marker – marker penyakit autoimun harus dipertimbangkan mengingat
kemungkinan adanya hepatitis autoimun (Sherlock and Dolley, 2002A ; Roche, 2004).
Semua pemeriksaan seromarker virus hepatitis A, B, dan C telah dilakukan dengan hasil
negatif. Pada anamnesa tidak didapatkan riwayat pemakaian obat-obatan dalam jangka lama.
Juga tidak didapatkan riwayat mengkonsumsi alkohol. Kesimpulannya, kecurigaan adanya
hepatitis oleh karena virus ,obat, dan alkohol dapat disingkirkan. Dengan demikian evaluasi
diarahkan untuk membuktikan adanya HAI.

Gambaran klinik HAI sangat bervariasi. Perjalanan penyakitnya ditandai dengan periode
meningkat atau menurunnya aktivitas penyakit. Spektrum gambaran kliniknya mulai dari
asimptomatik sampai dengan simptomatik, bahkan dapat terjadi gagal hepar fulminan (Krawitt,
2006). Gambaran klinis HAI dapat berupa gejala klinik hepatitis akut, hepatitis kronik atau
sirosis hepatis. Sebagian besar gambaran kliniknya hampir sama dengan hepatitis virus kronik.
Onset penyakitnya dapat insidius atau mendadak sehingga tampak seperti gambaran hepatitis
virus akut (Sukerek, 2004; Dienstag and Isselbacher, 2005).
Satu gambaran laboratorium yang khas pada HAI adalah peningkatan kadar globulin
serum khususnya gamma globulin dan Ig G (Pratt and Kaplan, 2000; Lindsay, 2004; Krawit,
2006). Pada pemeriksaan elektroforesis protein serum dijumpai peningkatan fraksi gamma
globulin lebih dari 80% penderita HAI. Peningkatan lebih dari 2x nilai normal sangat
mendukung diagnosa HAI (Pratt and Kaplan, 2000; Lindsay, 2004).
Pemeriksaan elektroforesis protein serum pada penderita ini menunjukkan peningkatan
gamma globulin serum yang sangat tinggi. Nilai gamma globulin = 3,41 g/dl (normal : 0,70-
1,60 g/d ) yang berarti peningkatan lebih dari 2 x nilai normal. Hasil pemeriksaan ini sangat
mendukung kecurigaan adanya HAI.
Pada penderita dengan kecurigaan HAI pemeriksaan autoantibodi harus dikerjakan. Titer
antibodi berguna untuk melengkapi temuan-temuan lain yang mendukung diagnosa HAI. Titer
antibodi yang rendah tidak menyingkirkan diagnosa HAI. Demikian pula titer antibodi yang

7
tinggi tidak menegakkan diagnosa bila tidak didapatkan adanya temuan-temuan pendukung
lainnya (Czaja and Freese, 2002).
Keberadaan Anti nuclear antibody (ANA) pada serum penderita merupakan satu dari
kriteria diagnostik HAI. ANA ditemukan pada serum pada ± 80% penderita HAI dengan pola
homogeneous (diffuse) atau speckled dengan metode imunoflorescen (Sherlock and Dolley,
2002A). Deteksi adanya autoantibodi ini merupakan dasar dari diagnosa HAI. Untuk mendukung
kriteria diagnostik HAI, titer autoantibodi ini minimal 1 : 80 pada dewasa dan 1 : 20 pada anak-
anak (Lindsay, 2004).
Penderita adalah seorang wanita berusia 55 tahun. Hasil pemeriksaan tes ANA
menunjukkan tes ANA + (positive) dengan titer 1: 320 dengan pola homogenous, mengarah
pada HAI .
Pada penderita wanita dengan tes ANA positif dan manifestasi gangguan hepar perlu
dipikirkan adanya kemungkinan penyakit jaringan ikat seperti lupus eritematosus sistemik (LES)
dengan manifestasi penyakit hepar (Raqhuraman, 2004; Dienstag and Isselbacher, 2005).
Demam, athralgia, malaise, penurunan nafsu makan, dan ikterus sering dijumpai pada penderita
HAI dan LES. Karena itu harus dicari manifestasi klinis LES lainnya sesuai kriteria ACR
(Abraham et al, 2004).
Pada penderita ini didapatkan tes ANA (+) yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi pada penderita LES. Namun pada pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak
dijumpai tanda – tanda LES sehingga pemikiran diagnosa LES dengan manifestasi kelainan
hepar dapat disingkirkan.
Biopsi hepar merupakan tes yang paling spesifik dan sangat penting dilakukan untuk
mendiagnosa/ mengevaluasi tingkat keparahan penyakit, dan memonitor pengobatan suatu
penyakit hati (Bravo et al, 2001; Czaja and Freese, 2002; Vogel et al, 2003). Salah satu indikasi
dilakukan biopsi hepar ialah jika ditemukan suatu kelainan pada hasil pemeriksaan laboratoris tes
biokimia hepar dan tes serologi yang tidak mengarah pada diagnosa tertentu (Bravo et al, 2001).
Gambaran histologi pada HAI sama dengan hepatitis konis, dan walaupun terdapat
perubahan-perubahan tertentu yang khas, namun tak ada yang spesifik dan membuktikan
diagnosa HAI (Vogel et al, 2003; Krawitt, 2006). Gambaran histopatologinya berupa interface
hepatitis yaitu hepatitis periportal dengan infiltrasi limposit, sel-sel plasma, dan nekrosis
piecemeal. Pada kebanyakan kasus HAI, terjadi fibrosis dan bridging necrosis dan nekrosis
panlobuler/ multilobuler yang berakhir dengan sirosis (Luxon, 2003; Vogel et al, 2003).
Indikasi biopsi hepar pada penderita adalah adanya hasil evaluasi laboratorium baik tes
biokimia hepar dan serologi yang tidak mengarah pada suatu diagnosa pasti. Pada penderita
sudah direncanakan pelaksanaan biopsi hepar, namun penderita dan keluarga menolak. Pada
saat penderita meninggal dicoba melakukan biopsi hepar post mortem, sayangnya biopsi tidak
menghasilkan spesimen yang diharapkan.

8
Dengan pertimbangan banyak temuan klinis dan gambaran histologis yang sering
didapatkan pada kelainan hepar, maka pada tahun 1992, The International Autoimmune Hepatitis
Group (IAIHG) merekomendasikan istilah ”Hepatitis Autoimun” dan menetapkan kriteria
diagnostik hepatitis autoimun (lihat lampiran) berdasarkan sistem skor (Luxon, 2003; Vogel et
al, 2003). Pada sistem ini, penderita dievaluasi berdasarkan penjumlahan sejumlah marker
biokimia, epidemiologi, dan klinis sebelum dan setelah terapi. Skor yang tinggi >15 sebelum
terapi kortikosteroid dan >17 setelah terapi kortikosteroid menandakan diagnosa HAI yang
“definite “. Diagnosa HAI yang “probable “, bila skor akhir 10 – 15 sebelum terapi dan 12 -17
setelah terapi. Penderita dengan skor <10 mungkin bukan suatu HAI (Luxon, 2003; Vogel et al,
2003).
Sistem skor IAIHG ini sudah divalidasi pada sejumlah besar penderita di Amerika
Serikat, Eropa, dan Asia. Sensitivitasnya untuk mendiagnosa suatu HAI yang “probable “ dan “
definite “ mencapai 97 -100%, sedangkan spesifisitasnya mencapai 66 - 92% (Luxon, 2003).
Berdasarkan penghitungan skor kriteria diagnostik menurut IAIHG, didapatkan skor
akhir 16 sebelum pemberian terapi yang menginterpetasikan bahwa penderita masuk dalam
kriteria HAI yang “definite”.
Penegakan diagnosa HAI sangatlah penting, sebab pemberian preparat imunosupresif
seperti prednison dan azathioprine menghasilkan remisi yang lama dan prognosa yang sangat
baik (Ryder and Beckingham, 2001). Secara umum HAI sangat responsif dengan terapi
imunosupresan, dan HAI merupakan penyakit hati kronik yang pertama kali dimana terapi
medis memberikan harapan hidup yang baik (Vogel et al, 2003).
Tujuan terapi HAI yaitu : terjadinya remisi baik secara klinis, biokimia, dan histologi.
Hal ini dapat dicapai pada kurang lebih 80% penderita. Terapi inisial HAI berupa monoterapi
prednison atau kombinasi dengan azatioprin. Kedua-duanya mempunyai efektifitas yang sama
(Vogel et al, 2003).
Seharusnya penderita mendapatkan penatalaksanaan monoterapi prednison atau
kombinasi prednison dan azathioprine, namun karena diagnosa HAI saat MRS belum tegak,
maka terapi yang diberikan berupa terapi suportif berupa diet Hati, kolestiramin 3 x 4 g, UDCA
2 x 250 mg, dan roboransia 3 x 1 tablet.
Perjalanan Hepatitis autoimun biasanya progresif dan menuju pada keadaan end –stage
liver disease jika tidak diterapi dengan imunosupresi. Progresifitas penyakit dapat menuju pada
keadaan gagal hepar akut yang ditandai dengan koagulopati dan ikterus. Ascites dan
encephalopati hepatik dapat terjadi juga (Raqhuraman, 2004).
Suatu studi prospektif mengindikasikan bahwa sejumlah 40% penderita HAI tanpa terapi
akan meninggal dalam 6 bulan. 40% penderita yang bertahan hidup akan menjadi sirosis hepatis,
dan 54% dari penderita ini memberikan penyulit varises esofagus dalam 2 tahun. Kurang lebih
20% penderita varises esofagus meninggal karena perdarahan (Czaja and Freese, 2002).

9
Onset penyakit yang akut dari HAI terjadi pada 40% kasus, dan presentasinya berupa
keadaan fulminan yang ditandai dengan ensefalopati hepatik yang mungkin dapat terjadi dalam
8 minggu dari onset penyakitnya (Czaja and Freese, 2002). Kondisi hipokalemi, alkalosis
metabolik, dan adanya infeksi sering menjadi pemicu terjadinya ensefalopati hepatik, baik pada
penyakit hati yang akut maupun kronik (Riordan and William, 1997).
Dalam waktu ± 6 minggu perjalanan penyakitnya, akhirnya penderita jatuh pada
keadaan ensefalopati hepatik. Walaupun ditemukan ikterus dan ensefalopati, namun tidak
ditemukan tanda – tanda gangguan faal koagulasi, sehingga dugaan terjadi gagal hepar akut
dapat disingkirkan. Penyebab terjadinya ensefalopati hepatik mungkin karena progresifitas
penyakit heparnya dan atau juga diperberat oleh hipokalemia, alkalosis metabolik , dan sepsis.
Prognosa penderita yang buruk diawali dari penegakan diagnosa yang kurang dini sehingga
pengobatannya pun menjadi terlambat. Penyulit ensefalopati hepatik yang dipicu oleh
hipokalemi, alkalosis metabolik, dan ditambah dengan adanya sepsis semakin memperburuk
keadaan sehingga berakhir dengan kematian.

RINGKASAN
Telah dilaporkan seorang penderita Ny N, 55 tahun MRS dengan keluhan utama gatal-
gatal. Pada pemeriksaan fisik dijumpai ikterus, sedangkan pada pemeriksaan laboratorium
dijumpai kelainan pada fungsi hati. Awalnya diagnosa diarahkan pada dugaan hepatitis virus
akut, namun semua hasil pemeriksaan seromarker virus negatif. Dalam perkembangan
selanjutnya dugaan mengarah pada diagnosa hepatitis autoimun, sehingga direncanakan biopsi
hepar dan pemeriksaan tes ANA. Biopsi hepar gagal dilaksanakan, sedangkan tes ANA
menunjukkan hasil positif. Berdasarkan kriteria diagnostik yang ditetapkan oleh IAIHG,
penderita masuk dalam kriteria “definite” diagnosis. Namun sayangnya, karena permasalahan
penegakan diagnosis HAI, terapi tidak dapat diberikan sejak dini. Akhirnya penderita jatuh pada
kondisi sepsis dan ensefalopati, dan berakhir dengan kematian.

DAFTAR PUSTAKA
1. Abraham S, Begum S, Isenberg D (2004). Hepatic manifestations of autoimmune rheumatic
diseases. Annals of the Rheumatic Diseases 63, 123
2. Bravo AA, Sheth SG, Chopra S (2001). Liver biopsy. N Engl J Med 344, 495
3. Cjaza AJ, Freese DK (2002). Diagnosis and treatment of autoimmune hepatitis. Hepatology
36, 479
4. Dienstag JL, Isselbacher KJ (2005). Chronic hepatitis. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL eds. Harrison’s principles of internal medicine. 15th
edition. New York. Mc Graw –Hill Company, p. 1844

10
5. Krawitt EL(2006). Autoimmune hepatitis. N Engl J Med 354, 54
6. Limdi JK, Hyde GM (2003). Evaluation of abnormal liver function tests. Postgrad Med J
79, 307
7. Lindsay KL, Hoofnagle JH (2004). Chronic hepatitis. Goldman L, Ausiello D eds. Cecil
Textbook of Medicine. 22nd Edition. Philadelphia. Saunders, p. 917
8. Luxon BA (2003). Autoimmune hepatitis: Making sense of all those antibodies. Post grad
Med J 114, 79
9. Pratt DS, Kaplan MM (2000). Evaluation of abnormal liver-enzyme results in asymptomatic
patients. N Engl J Med 342, 1266
10. Raqhuraman UV (2004). Autoimmune hepatitis. Available at www.eMedicine.com.
Accessed on June 2nd , 2005
11. Riordam SM, William R (1997). Treatment of hepatic encephalopathy. N Engl J Med 337,
473
12. Roche SP (2004). Jaundice in adult patient. Am Fam Phys 69, 299
13. Ryder SD, Beckingham IJ (2001). ABC of diseases of liver, pancreas, and biliary system:
Other causes of parenchymal liver disease. BMJ 322, 290
14. Saini S (1997) Imaging of the hepatobiliary tract. N Engl J Med 336, 1889
15. Sherlock S, Dooley J (2002A). Chronic hepatitis: General features, and autoimmune chronic
disease. Sherlock S, Dooley J eds. Diseases of the liver and biliary system.11 th edition. Milan.
Blackwell Publishing Company, p. 321
16. Sherlock S, Dooley J (2002B). Ultrasound, computed tomography and magnetic resonance
imaging. Sherlock S, Dooley J eds. Diseases of the liver and biliary system.11 th edition.
Milan. Blackwell Publishing Company, p. 67
17. Sukerek HH (2004). Autoimmune chronic active hepatitis. Available at
www.eMedicine.com. Accessed on January 6th , 2006
18. Vogel A, et al (2003). Autoimmune hepatitis. Gershwin ME, Vierling JM, Mann MP eds.
Liver immunology. Philadelphia. Hanley and Belfus inc, p. 329

------o0o-------

11
Lampiran 1
International diagnostic criteria for the diagnosis of autoimmune hepatitis
Parameter Score
Gender
Female +2
Male 0
Serum biochemistry
Ratio of elevation of serum alkaline
Phospatase vs aminotransferase
>3.0 -2
1.5 – 3.0 0
< 1.5 +2
Total serum globulin, γ-globulin or IgG
Times upper normal limit
> 2.0 +3
1.5 - 2.0 +2
1.0 – 1.5 +1
< 1.0 0
Auto antibodies (titers by
immunoflorescence on rodent tissues )
Adults
ANA,SMA or LKM-1
> 1 : 80 +3
1 : 80 +2
1: 40 +1
< 1 : 40 0
Anti mitochondrial antibody
Positive -4
Negative 0
Hepatitis virus markers
Negative +3
Positive -3
Other etiological factors
History of drug usage
Yes -4
No +1
Alcohol ( average consumption )
<25 g/day +2
>60 g/day -2
Genetic factors : HLA DR3 or DR4 +1
Other autoimmune diseases +2
Response to therapy : Complete +2
Relapse +3
Liver histology
Interface hepatitis +3
Plasma cells +1
Rosetting of liver cells +1
None of above -5
Billiary canges -3
Other changes -3
Seropositivity for other defined auto +1
antibodies

12
Lampiran 2
Parameter/ Reference Score Findings Patient
Gender
Female +2 yes Female 55 years
Male 0 old
Serum biochemistry
Ratio of elevation of serum alkaline
phospatase vs aminotransferase
>3.0 -2
1.5 – 3.0 0
< 1.5 +2 yes 326/502 = 0.65
Total serum globulin, γ-globulin or IgG γ-globulin :
Times upper normal limit 3.4 / 1.6 =2.12
> 2.0 +3 yes times
1.5 - 2.0 +2
2.0 – 1.5 +1
< 1.0 0
Autoantibodies (titers by immunoflorescence
on rodent tissues )
Adults
ANA,SMA or anti LKM-1
> 1 : 80 +3 yes ANA test
1 : 80 +2 positive, titer ≥
1: 40 +1 1:320,
< 1 : 40 0 homogenous
Antimitochondrial antibody pattern
Positive -4
Negative 0
Hepatitis virus markers IgM Anti HAV
Negative +3 yes (-), HBs Ag(-),
Positive -3 IgM anti HBc(-),
Anti HCV(-)
Other etiological factors
History of drug usage
Yes -4
No +1 Yes
Alcohol ( average consumption )
<25 gm/day +2 yes
>60 gm/day -2
Genetic factors : HLA DR3 or DR4 +1
Other autoimmune diseases +2 Not found
Response to therapy : Complete +2 No therapy
Relapse +3
Liver histology Failed to be done
Interface hepatitis +3
Plasma cells +1
Rosetting of liver cells +1
None of above -5
Billiary changes -3
Other changes -3
Seropositivity for other defined autoantibody +1 Not performed
Total score 16 Definite AIH

13

Anda mungkin juga menyukai