Anda di halaman 1dari 7

ENDOMETRIOSIS

DR.Dr. Tedja Danudja O, SpOG

DEFINISI
Endometriosis : jaringan endometrium di luar cavum uteri, berhubungan siklus haid, jinak, dapat
menyerbu ke organ lain dan bersifat progresif.

ANGKA KEJADIAN
Prevalensi endometriosis pada tahun-tahun terakhir nampak meningkat. Untuk membuat
diagnosa diperlukan tindakan operatif sehingga angka kejadian ini hanya mencerminkan
endoemtriosis pada populasi tertentu yaitu wanita yang menjalani operasi bukan hasil populasi
wanita keseluruhannya.
Angka yang tepat sampai saat ini belum diketahui dengan pasti tetapi berbagai penelitian
frekuensi berkisar antara 1-2 % dari seluruh populasi wanita. Pada wanita yang emngalami
infertilitas kekerapan endometriosis berkisar antara 30-40 % sedangkan pada kasus dengan
infertilitas yang belum jelas sebabnya angka ekmatian menajdi 70 – 80 %.

GEJALA DAN TANDA


Gejala dan tanda pada endometriosis sangat bervariasi. Pasien dengan endoemtriosis berat
kadang-kadang tanpa egjala, sedangkan endometriosis minimal dapat menimbulkan keluhan yang
berat.
Gejala-gejala yang sering ditemukan pada endometriosis adalah sebagai berikut :
 Dismenorhea
 Infertilitas dengan laparoskopi diagnostik berkisar antara 30% - 40%. Sedangkan pada
infertilitas dengan sebab belum ejlas berkisar antara 70% - 80%.
 Nyeri panggul
 Dispareunia timbul pada saat koitus yang dirasakan di daerah kavum douglasi
 Perdarahan uterus disfungsional
 Nyeri perut merata atau nyeri pinggang
 Nyeri supra pubik, disuria, hematuria.
 Tidak ada gejala.

PATOGENESIS
Van Rokitansky merupakan orang pertama yang merinci dan memperkenalkan endometriosis
pada tahun 1860. Sejak saat itu bermunculan berbagai teori mengenai patogenesis endometriosis
yang pada prinsipnya bersepakat menganggap sebagai penyakit yang bersifat invasif non-neoplastik,
serta mengandung unsur stroma yang kelenjar endometrium yang bersifat responsif terhadap
pengaruh siklik hormonal (dikutip dari Donnez).
Bermacam-macam teori mengenai histogeensis kelainan ini antara lain :
1. Teori dari Sampson tentang regurgitasi haid, dimana darah menstruasi mengalir dan keluar dari
tuba disertai serpihan endometrium, diikuti implantasi dan pertumbuhan pada ovaria dan
ditempat lain di rongga panggul. Adanya defek imunologis, kemungkinan keterlibatan –
keterlibatan faktor herediter, serta rendahnya angka kejadian endometriosis (2-4 %) pada seluruh
populasi wanita, memebri kontribusi positif terhadap teori histogenesis ini.
2. Diseminasi introgenik. Peneybaran langsung jaringan endometrium dapat terjadi saat operasi,
misalnya endoetriosis yang terjadi pada tempat insisi setelah seksio sesaria, histerektomi, atau
episiotomi.
3. fenoemna induksi. Telah diketahui bahwa endometriosis melepaskan xat-zat tertentu ke aliran
darah dan mengaktifkan endometriosis.
4. Metaplasia selomik. Menurut teori ini endoemtrium yang menyimpang dari perkembangan biasa
sebagai akibat perubahan-perubahan diferensiasi yang abnormal dalam epitel germinal dan
berbagai bagian dari peritoneum, rongga panggul yang secara embriologi berasal dari epitel
selomik.
5. Teori penyebaran limfatik (Halbin). Jaringan yang menyimpang dari biasa berasal dari
endometrium yang memasuki pembuluh-pembuluh limfe dari uterus pada waktu menstruasi,
kemudian menyebar ke seluruh panggul.
6. Penyebaran endoetrium secara hematogen. Beberapa kasus endoemtriosis yang jarang dan sulit
untuk diterangkan dengan teori lain, dan mungkin dapat diterangkan dengan teori ini.
7. Sisa-sisa sel embrionik. Sel-sel dari paramesonefron (Muller) mungkin terdapat pada suatu
tempat di dalam badan. Diabwah rangsang hormon ovarium, sel sisa ini diaktiva membentuk
endometrium.
8. Ekstensi langsung. Telah diduga bahwa endometriosis berasal dari invasi yang jinak melalui
miometrium menembus lapisan-lapisannya dan merusak susunan anatomi rongga panggul.
9. Sisa mesonefron (Wolf). Sisa mesonefron disebutkan oleh Recklinghausen dalam tahun 1895
sebagai sumber endoemtriosis. Beberapa kasus endoemtriosis mungkin terjadi dari ekstensi
langsung melalui dinding tuba dan keluar ke kavum peritoneum.

Menurut penelitian Nisolle dan Donnez. Ternyata terdapat perebdaan patogenesis dari
berbagai lokasi dari endometriosis. Dibedakan tempat lokasi daerah peritonium, ovarium dan
rectovaginalis.
Lesi peritoneal berupa elsi merah dari darah haid yang mengalir lewat tuba falopi disertai
dengan serpihan endometrium dan disertai implantasi dan pertumbuhan. Kemudian terjadi reaksi
inflamasi yang menimbulkan skarifikasi dan kemudian lesi menjadi hitam karena menjadi fibrotik
berubah opak keputihan yang menjadi tidak aktif.
Lesi pada ovarium lebih mendekati teori metaplasia, sedangkan lesi pada rectovaginalis lebih
mungkin berasal dari mesodermal Mullery.

PATOLOGI
Endometriosis adalah jaringan ektopik yang mempunyai susunan histologis, kelenjar stroma
atau kedua-duanya, dengan lesi/susukan yang dapat dengan atau tidak termuati hemosiderin, dan
fungsi seperti endometrium, emmepunyai aktifitas siklik yang berhubungan dengan siklus haid,
bersifat non-neoplastik, akan tetapi invasif terhadap organ dan susunan lainnya. Di dalam
miometrium disebut sebagai adenomiosis endometriosis eksterna, dan di luar uterus disebut sebagai
endometriosis septum rektovaginal mempunyai asal patogenesis yang berbeda maka yang dimaksud
dengan endometriosis pada makalah ini adalah endometriosis pelvik.
Lesi atau susukan / implan endometriosis masing-masing memilikki karakteristik tersendiri
dan perlu dikenali dalam konteks meramal prognosis progesivitas penyakit (Lesi konvensional
Black puckerd) lazimnya mudah dan dapat segera dikenali karena warnanya yang kontras terhadap
jaringan peritoneum sekitar, akibat mengandung bintik-bintik pigmen. Secara histologis lesi ini
terdiri dari komponen kelenjar, stroma, jaringan fibrotik, pigmen hemosiderin. Dalam proses
evolusi, jenis lesi ini diduga merupakan bentuk akhir dari lesi-lesi lain.
Jansen & Russel pad atahun 1986 memperkenalkan jenis lesi nonpigmen yang berbeda baik
gambaran maupun sifat-sifatnya terhadap lesi konvensional. Tampilan pada temuan laparoskopi
dapat berupa lesi opak keputihan (white opacification), lesi merah (red flame-like lesion), dan
sebagainya. Elsi demikian diidentifikasi sebagai lesi awal yang memilikki potensi ekspansi besar,
sebelum pada akhirnya berubah menjadi elsi konvensional / membedak hitam.

Lesi non-pigmentasi lainnya adalah :


Lesi opak keputihan (White opacification). Lesi ini tampil dalam bentuk skarifikasi, dapat
berbata tegas maupun tidak, mengadakan penonjolan serta penebalan pada permukaan peritoneum.
Histologis merupakan struktur kelenjar retroperitonel yang berbaur dengan sedikit stroma serta
dikelilingi jaringan fibrotik.

Lesi merah (red flame-like lesion, red vesiculer excrecenses)


Lesi ini sering dijumpai pada daerah bawah uterus berbatasan dengan ligaemntum
sakrouterina dan kardinale. Suatu predileksi yang emmang lazim bagu susukan endometriosis
eksterna. Warna merah yang tampil, secara histologis disebabkan banyaknya endometriosis eksterna.
Warna merah yang tampil, secara histologis disebabkan banyaknya endometriosis aktif yang
dikelilingi stroma.

Glandular, excrecenses
Memberi tampilan selaput mukosa layaknya endometrium, yang translusen dan banyak
terdiri dari komponen kelenjar.

Adhesi subovarium
Perlekatan antara ovarium dengan peritoneum daerah fosa ovarika terkadang luput dari
observasi laparoskopis. Di daerah itu perlu diwaspadai adanya lesi non-pigmentasi yang
keberadaanyya dapat dieknali berupa jerat-jerat jaringan perekatan. Secara histologis akan tampak
sebagai jaringan ikat penghubung serta komponen kelenjar.

Lesi kuning kebiruan (Yellow Brown)


Lesi ini merupakan lesi opak keputihan yang sudah mengalami deposisi hemosiderin
diantara unsur storma.

Defek sirkuler peritoneum


Merupakan lesi peritoneum pada daerah sakro uteria atau ligamentum kardiale, yang kajian
histologisnya lebih sering menunjukkan adanya dominasi unsur komponen kelenjar.
Petekhie dan reaksi hipervaskularisasi peritoneum
Lesi ini dididentifikasikan oleh Donnez dan terutama banyak ditemukan dalam bentuk
hamparan bercak lebam did aerah buli-buli. Histologis terdiri dari banyak butiran sel darah merah
dengan sedikit unsur kelenjar.
Dari seluruh lesi/susukan non-pigmentasi terbukti bahwa lesi merah merupakan jenis yang
paling aktif serta memilikki potensi tumbuh kembang terbesar. Ketrampilan dalam emngenali jenis
lesi ini penting artinya disaat melakukan laparoskopi, mengingat prognosis perekmbangan penyakit
erat berkaitan dengan elsi awal yang dijumpai. Walaupun belum sepenuhnya diterima klasifikasi
revisi AFS dapat memberi manfaat bagi keseragaman penelitian dimasa mendatang.

LOKASI IMPLANTASI FREKUENSI KEJADIAN


Pada penelitian maka terlihat di daerah pelvik bahwa ovarium merupakan daerah tersering
untuk endometriosis pelvik, yaitu pada ovarium kiri sebesar 62% dan pada ovarium kanan 63%. Dan
daerah sering lainnya berturut-turut ligamentum sakrouterina kiri 7%, kanan 8% dan kavum
douglasi 8% (Yacoeb, 1998)
Hal ini menunjukkan kejadian yang hampir sama dengan yang ditemukan oleh Jenskin yaitu
tempat implatansi yang tersering adalah ovarium (31,3% dan 44,0%) yang diikuti oleh ligamentum
latum sebanyak (35,2%) dan kavum douglasi (34,0%) serta ligamentum sakrouterina (28,8%)

KLASIFIKASI ENDOMETRIOSIS
Perkumpulan fertilitas di Amerika dalam tahun 1995 mmebuat klasifikasi dengan
menyempurnakan klasifikasi dari AFS.
Klasifikasi tersebut mempergunakan sistem skoring dengan memperhatikan kelainan pada
ovarium berupa kista diameter < 12 mm, adhesi pada dinding pelvis dan ligaemntum latum,
endometriosis pada permukaan ovarium dan terdapat cairan berwarna coklat pada ovarium.
Kelainan pada kavum Douglasi : obligasi parsial bilamana endometriosis atau adhesi
menutup sebagian dari kavum Douglasi tetapi masih melihat peritoneumyang normal dibawah
ligaemntum sakro uterina. Oblitersi komplit sudah tidak terlihat peritonium yang normal lagi
dibawah liagemntum sakro uterina.
Implantasi pada peritoenal dikategorikan sebagai : warna merah (merah, merah jambu, lesi
jernih), warna putih (putih, putih coklat dan defek peritoneal), warna hitam (hitam dan lesi biru)
Kemudian dibuat tabulasi dan disertai dengan skor pada masing-masing kelainan tersebut
maka didapatkan :
Stadium I Endometriosis (minimal) dengan skor : 1-5
Stadium II Endometriosis (mild) dengan skor : 6 – 15
Stadium III Endometriosis (moderate) dengan skor : 16 – 40
Stadium IV Endometriosis (severe) dengan skor : > 40

HUBUNGAN ENDOMETRIOSIS DENGAN INFERTILITAS


1. Faktor mekanik
2. Disfungsi hormon dan ovarium
3. Gangguan implatansi dan embriogenesis
4. Fungsi tuba terganggu
5. Perubahan lingkungan zalir peritoneal.

FAKTOR RISIKO
1. Umur  subur sampai awal menopause
2. Ras  kulit putih lebih banyak dari kulit hitam. Asia lebih banyak dari kulit putih.
3. Sosial Ekonomi  sedang / baik resiko lebih tinggi daripada rendah
4. Keturunan  ibu / saudara menderita endometriosis kejadian endometriosis tinggi
5. Penundaan kehamilan  memperbesar terjadinya endometriosis
6. Perkawinan  usia tidak muda mempermudah terjadi endometriosis
7. Sedikit anak  Mempermudah terjadinya endometriosis
8. Menarche lebih muda  mempermudah endometriosis
9. Haid : nyeri, lama, banyak  mempermudah endometriosis
10. Hormon endogen  wanita estrogen tinggi (gemuk) mempermudah terjadinya endometriosis
11. Lain-lain  kebiasaan koitus pada masa haid memperbesar endoemtriosis

DIAGNOSA
1. Keluhan dismenorhe, nyeri panggul perlu dicurgai endometriosis
2. Pemeriksaan dalam : terdapat nodul daerah cavum Douglasi dan daerah liagemntum sacrouterina
yang sagat nyeri
3. Uterus : retrofleksi, sulit digerakkan
4. Parameter : kadang teraba massa yang terasa nyeri pada penekanan
5. Pemeriksaan laproskopi : tampak pulau endoemtriosis berwarna kebiruan tersebar pada
peritoneum pelvis, ovarium, tuba, uterus, ligamentum rotundum, ligamentum sacrouterina, usus
besar, usus kecil, permukaan fesica urinaria dan cavum Douglasi.
Pada penelitian diperoleh kadar CA-125 ternyata menunjukkan kadar yang tinggi pada penderita
dengan endometriosis, akan tetapi ini masih perlu pengkajian lebih lanjut guna menjadikan CA 125
sebagai parameter terhadap penyakit endomteriosis

PENGOBATAN
a. Medikamentosa
b. Operatif
c. Kombinasi operatif dan medikamentosa

MEDIKAMENTOSA
Hilangnya lesi endometriosis disebabkan oleh karena peristiwa an ovulasi dan amenorhea, yang
mengakibatkan penekanan terhadap adenohipofisis. Ini sangat rasional wanita dibuat mengalami
anovulasi/amenorhea dengan menggunakan preparat estrogen, androgen, progesteron dan
kombinasi.
1. Estrogen
Tidak dipergunakan lagi o.k bisa menyebabkan hiperplasi adenomatosa/kistik dan dapat terjadi
perdarahan hebat.
2. Estrogen – progesteron
Sepertinya pil KB. Pemakaiannya selama 6-12 bulan ternyata dapat menghilangkan nyeri pelvis
75%, akan tetapi kehamilan rendah sekitar 10%. Efek sampingnya : kembung, nyeri payudara,
oedem, perdarahan bercak.
3. Progesteron
Medroxi progesteron asetat (Depoprovera/DMPA) dengan dosis 100 mg tiap minggu untuk 4 x
pemberian diteruskan 200 mg tiap 4 minggu selama 6-9 bulan.
Provera tab. 2 x 50 mg/hari dimulai ke 3-5 siklus haid 1 seri memakan waktu 3 bulan.
Kehamilan terjadi sekitar 71%. Kekambuhan sekitar 10-15%.
4. Danazol
Keluhan hilang sekitar 70-90%. Obat ini mempunyai keunggulan karena dapat menekan aktifitas
makrofag sehingga dapat dihindarkan fagositosis terhadap gamet maupun zigot.
Efek samping : acne, semburan panas, perdarahan spotting, berat badan meningkat, libido
menurun, buah dada mengecil, suara berubah.
5. GnRH Agonis
Menyebabkan terjadi keadaan hipogonadotropin ovarium tidak mampu menghasilkan hormon
steroid atau terjadi hipogonadism sehingga terjadi hipoestrogenisme yang menyebabkan regresi
jaringan endometriosis sehingga keluhan maupun gejala menghilang.
Preparat yang dipergunakan :
- Tapros : 3,75 mg terdiri dari Leuprorelin
- Zoladex : 3,6 mg terdiri dari goserelin
Pemberiannya secara injeksi dimulai hari ke-5 haid diberikan secara subkutan atau intramuskuler
dengan interval 4 minggu dan diberikan sampai 6 bulan. Efek sampingnya : semburan panas,
nausea, fungitus, oedem, sakit seluruh badan, pusing, mialgia, mammae mengecil.

PEMBEDAHAN
1. Pembedahan definitif
Dilakukan dengan laparotomi, dikerjakan ovariektomi bilateral dan histerektomi. Hal ini
menyebabkan estrogen rendah yang bersifat permanen.
Hal ini menyebabkan estrogen rendah yang bersifat permanen
Tujuan histerektomi :
a. Mencegah penyakit rahim di kemudian hari
b. Terapi subsitusi dengan estrogen menghindarkan perdarahan tidak teratur dan
hiperplasia endometrium.
c. Rasa nyeri akibat perlekatan rahim tidak ada.
2. Konservatif
Dijalankan dengan laprotomi (bedah mikro), laparoskopi operatif.
Tujuan dari oeprasi ini :
a. Menghilangkan sarang-sarang endoemtriosis semaksimal mungkin
b. Menyebabkan fungsi reproduksi dikembalikan
c. Mencegah kerusakan jaringan atau perlekatan akibat pembedahan

PEMBEDAHAN DAN MEDIKAMENTOSA


Tindakan ini dikerjakan pemebrian medikamentosa terlebih dahulu dan kemudian dilakukan
pembedahan agar supaya pemebdahan dapat dilaksanakan dengan mudah.
Adapun pembedahan dapat dilakukan secara definitif maupun konservatif.

6.

Anda mungkin juga menyukai