Anda di halaman 1dari 35

Enter search keyword...

Captcha invalid. Please try again.

Categories

Top Downloads

Login

Register

search

Home Bab II Teknik Pemboran

Bab II Teknik Pemboran

December 5, 2017 | Author: YasDaeng | Category: N/A

Report this link

Short Description

desain PCP...
Description

BAB II TEKNIK PEMBORAN

1. Bagian-bagian utama dalam rig pemboran Definisi Rig pengeboran adalah suatu instalasi peralatan
untuk melakukan pengeboran ke dalam reservoir bawah tanah untuk memperoleh air, minyak dan
deposit mineral bawah tanah. Rig pengeboran bisa berada di atas tanah (on shore) atau di atas
laut/lepas pantai (off shore) tergantung kebutuhan pemakaianya. Walaupun rig lepas pantai dapat
melakukan pengeboran hingga ke dasar laut untuk mencari mineral-mineral, teknologi dan keekonomian
tambang bawah laut belum dapat dilakukan secara komersial. Rig pengeboran minyak dan gas bumi
dapat digunakan tidak hanya untuk mengidentifikasi sifat geologis dari reservoir tetapi juga untuk
membuat lubang yang memungkinkan pengambilan kandungan minyak atau gas bumi dari reservoir
tersebut. System utama dalam Rig pemboran terdiri dari : 1.1. Hoisting System Sistem Pengangkat
(Hoisting System) adalah salah satu dari antara komponenkomponen utama dari Rig yang berfungsi
untuk membantu sistem alat-alat pemutar di dalam mengebor sumur dengan menyediakan alat-alat
yang sesuai serta ruang kerja yang dibutuhkan untuk mengangkat dan menurunkan drill string, casing
string dan peralatan subsurface (bawah tanah) lainnya dari dan ke lubang sumur. Sistem Pengangkat
terdiri dari 2 (dua) sub bagian utama, yaitu : Rangka Pendukung (Supporting Structure) terdiri dari : a.
Substructure adalah Konstuksi baja yang besar yang dibangun untuk menjadi dasar dan menunjang
menara bor yang tingginya ditentukan oleh kebutuhan pencegah semburan liar.

b. Menara Pengeboran (Derrick/Mast) Fungsi dari menara bor adalah untuk menyediakan ruang untuk
mengangkat atau memasukan rangkaian pipa bor dari atau ke dalam lubang bor.

1.1.1. Peralatan pengangkat (Hoisting equipment) Adalah peralatan khusus untuk mengangkat,
menurunkan dan menggantung rangkaian pipa bor (terdiri dari Drill Pipe, Drill Collar, dsb.) dan mata bor
(Drilling bit) di dalam lubang sumur. Alat pengangkat ini terdiri dari : a. Drawwork (Mesin Penarik) Adalah
unit mesin penarik/pengangkat yang kuat (mesin derek) yang terletak di dekat meja pemutar di lantai
Rig. b. Overhead Tools (Alat-alat Bagian Atas) Merupakan “mata rantai penghubung” di dalam sistem
pengangkat yang terdiri dari : - Crown Block : Unit rodaroda/puli-puli (sheaves-sheaves) yang terletak di
puncak menara pengeboran. - Travelling Block : Susunan roda-roda/puli-puli (sheaves-sheaves) yang
digantung di bawah crown block di atas lantai bor. Bersama-sama dengan crown block membentuk
sistem kerek katrol. - Hook (kait) : Alat berbentuk kait yang besar terletak di bawah travelling block di
mana swivel dan rangkaian pipa bor tergantung selama operasi-operasi pengeboran. - Elevator : Penjepit
yang sangat kuat dan digantung pada lick (gantungan elevator) yang dikaitkan di sisi Travelling block atau
di hook. Elevator-elevator ini dipakai untuk menurunkan atau menaikkan bagian-bagian rangkaian pipa
bor ke dan dari lubang bor. c. Drilling Line Tali kawat baja berkekuatan tinggi yang menjadi penghubung
dari Drawwork, Crown Block dan Travelling Block untuk menarik peralatan overhead lainnya di dalam
tugasnya menurunkan, menarik atau menggantung rangkaian pipa bor dan lain-lain.

1.2. Circulating System Circulating System adalah suatu bagian dari system utama dalam rig pemboran
yang difungsikan untuk mengalirkan lumpur pemboran, turun melewati rangkaian pipa pemboran dan
naik ke annulus membawa serbuk bor ke permukaan.Aliran lumpur bor pada saat sirkulasi akan melewati
bagian-bagian: a. Mud tank ke mud pump b. Mud pump ke high pressure surface connection dan ke
drillstring c. Drillstring ke bit d. Bit ke atas melalui annulus hingga ke permukaan e. Sampai dipermukaan
akan melalui solid control equipment, seperti: 1. Shale Shaker 2. Desander 3. Desilter 4. Centrifuge Hal
ini bertujuan untuk penyaringan cutting dari lumpur bor agar lumpur yang kembali ke tangki
penghisapan (suction pit) kembali bersih. Dan terus berulang hingga selesai pekerjaan pengeboran.
Dalam Perjalanan lumpur dari bit ke permukaan akan membawa banyak informasi diantaranya adalah
sample batuan dalam bentuk cutting, selain itu juga terkadang pada lokasi tertentu akan membawa gas
non hydrocarbon seperti H2S, CO yang berbahaya bagi makhluk hidup disekitar tempat tersebut. 1.3.
Rotating System Rotating system (Sistim Pemutar) adalah salah satu dari komponen – komponen utama
suatu drilling rig. Tugas utamanya adalah memutar mata bor, memberi beban mata bor dan memberi
saluran lumpur bertekanan tinggi ke mata bor untuk mengebor membuat lubang sumur. System pemutar
ini terdiri dari empat sub komponen utama :

Swivel (kepala pembasuh) Rotating Assembly (Unit pemutar) Drill Stem (batang bor) Bit (mata bor)

Swivel (kepala pembasuh) merupakan alat berbentuk khusus yang digantung pada hook yang terletak
dibawah block jalan (travelling block) dan mempunyai fungsi utama untuk :

Menghubungkan bagian alat yang diam dengan batang bor yang berputar bebas, sambil dialiri lumpur
bertekanan tinggi tanpa kebocoran Menahan beban menggantung dari batang bor selama sirkulasi.
Rotari Assembly (unit pemutar) adalah suatu perangkat mesin pemutar yang berkekuatan besar dan
mempunyai fungsi utama untuk : Memutar batang bor selama operasi – operasi pemboran Menahan
dan menggantung batang bor dimeja putar dengan selip – selip putar (rotary slips) sewaktu menambah
atau melepas pipa dari rangkaian pipa bor. Unit pemutar terletak dilantai bor dibawah block mahkota
(crown block) dan terdiri dari : Rotary table (meja putar) Master bushing (bantalan utama) Kelly bushing
(bantalan pipa segi) Rotary slips (Selip – selip putar) Make up dan break out tong (kunci – kunci pengikat
dan pelepas). 1.4. BOP System Merupakan system rig pemboran yang berfungsi : - Menutup lubang
sumur pada keadaan ada pipa atau tidak ada pipa dalam lubang serta untuk pekerjaan stripping in atau
stripping out - Menahan tekanan sumur yang timbul dan dapat dilalui semua peralatan yang dipakai utk
operasi pemboran / kerja ulang - Mengendalikan tekanan sumur & dpt dipakai utk pekerjaan sirkulasi
mematikan kick Menggantung (hanging off) dan memotong pipa bor pd keadaan darurat. Memiliki
system peralatan cadangan apabila salah satu rusak, khusus utk sumur bertekanan tinggi. peralatan
untuk mencegah blowout (meledaknya sumur di permukaan akibat tekanan tinggi dari dalam sumur).
Yang utama adalah BOP

(Blow Out Preventer) yang tersusun atas berbagai katup (valve) dan dipasang di kepala sumur
(wellhead). 1.5. Power System Suatu system dalam rig pemboran dimana suatu perangkat instalasi
pemboran menadaptkan supply daya untuk menggerakan system-sytem yang lain. suatu Rig pengeboran
darat dapat dikategorikan menjadi: 

Portable Derrick Rig dimana Rig pemboran tipe ini mudah dipindahkan, seperti yang digunakan dalam
pengeboran dangkal (kurang dari 1000 meter), serta operasi kerja ulang pindah lapisan dan perawatan
sumur. Mobile Rig biasanya memiliki menara yang lebih kecil dari menara fixed Rig. Rig ini relatif lebih
mudah dipindahkan dan diset dibanding fixed mast rig. portable derrick berukuran dan memiliki
kapasitas yang lebih kecil dari Mast. Umumnya derrick banyak digunakan untuk pemboran menengah
(kapasitas 500 – 750HP) dan untuk pekerjaan workover dan well services. Pada saat instalasi, portable
mast dilengkapi dengan pemasangan guy line (labrang) untuk menjaga kestabilannya.

Fixed Mast Rig, biasanya memiliki kapasitas 1000HP ke atas. Untuk memudahkan transportasi dan
pemasangannya, struktur mast biasanya di bagi atas 3 (tiga) bagian, yaitu: upper, middle dan lower mast.
Fixed Mast Rig mampu melakukan pengeboran hingga ribuan meter ke dalam kerak bumi. Pompa lumpur
yang

besar

digunakan
untuk

melakukan

sirkulasi

lumpur

pemboran melalui mata bor dan casing (selubung), untuk mendinginkan sekaligus mengambil "bagian
tanah yang terpotong" selama sumur dibor. Pada umumnya RIG pengeboran dapat dibagi menjadi
beberapa jenis sesuai daerah : 

RIG Darat : Untuk pengeboran di darat. Bentuk paling sederhana, terdiri dari menara dan struktur
penopang.

Rig Rawa : Biasa dikenal dengan sebuat "Swamp Barge". Untuk kelengkapan alat pengeboran sama
dengan RIG darat, hanya saja menara dan sistem pengeboran ditempatkan di atas Ponton. Ponton ini
akan duduk di dasar rawa saat operasi pengeboran berlangsung. Biasa beroperasi di perairan dengan
kedalaman sekitar 5 M.

Jack Up Rig : Satu unit alat pengeboran dengan kaki yang panjang. Kaki ini dapat naik dan turun untuk
menopang struktur utama. RIG jenis ini biasa digunakan pada daerah dengan kedalaman sekitar 100 M
atau kurang

Tender RIG : Sistem pengeboran dipasang pada platform. Tender RIG digunakan untuk membantu
operasi pengeboran (pengangkatan pipa, strultur dll). Tender RIG akan menempel di platform saat
operasi pengeboran berlangsung.

Semisubmersible RIG : Sesuai namanya, RIG semisub merupakan obyek terapung yang dipasang alat
pengeboran. Biasa digunakan untuk mengebor daerah laut dalam (lebih dari 100 M).

Drill Ship : Semua peralatan untuk pengeboran dipasang pada kapal. Digunakan untuk mengebor laut
yang sangat dalam.2. Mekanika Batuan 2.1. Mekanika Batuan Merupakan sifat atau perilaku batuan bila
dikenakan gaya atau tekanan. Kecenderungan batuan dalam menerima gaya berbeda-beda. Mekanika
batuan terdiri dari compressive strength (CS), rock drill ability (d), hardness, abrassiveness, elasticity,
Bailing Tendency 2.1.1. Compressive Strength Merupakan pencerminan kekuatan atau kemampuan
batuan untuk menerima beban kompresif maksimum sebelum dia pecah. Compressive strength (CS)
batuan besar = Rate of Penetration (ROP) kecil. PH mud besar = CS besar, karna adanya Bouyance Factor.

Pada Soft Formation = RPM tinggi & WOB rendah. Pada Hard Formation = RPM rendah & WOB tinggi.

Jika pada soft formation digunakan WOB yg tinggi, maka ROP-nya akan meningkat, hal ini dapat
menyebabkan kick atau bahkan blowout karna ROP yang terlalu besar tidak diimbangi dengan kecepatan
pompa mensirkulasikan mud. Jika pada hard formation digunakan WOB yg kecil, maka drillstring akan
bengkok (buckling). Weight on Bit (WOB) Soft Formation : 30,000 – 60,000 lbs

Medium Formation : 40,000 – 80,000 lbs Hard Formation : 50,000 – 100,000 lbs Untuk menentukan nilai
yg optimum, kita dapat mengontrol RPM (Rotate per Minute) melalui Top Drive. 2.1.2. Rock Drill Ability
(d) Merupakan tingkat kemudahan batuan untuk dibor. 
Rumus SI:

Rumus Lawas:

Dc-exponent : Ekstrapolasi untuk mengestimasi gradien pressure.

Dc-exponent :

ECD (Equivalent Circulating Density) : penambahan pressure di bottom hole yang terjadi ketika mud
disirkulasikan. Hal ini terjadi karena adanya friksi di annulus ketika mud dipompakan, pressure di bottom
hole meningkat, namun secara signifikan, lebih tinggi dibandingkan ketika mud tidak disirkulasikan.



ECD = Annular Pressure Loss: Hilangnya pressure dari annulus akibat adanya friksi antara fluid & solid.

Tempat terjadinya pressure Loss


Gambar 1. Pressure loss. 2.1.3. Hardness Merupakan ketahanan batuan terhadap gaya gores.
Menggunakan Skala Mohs. Soft formation: Hardness < 4. Contoh: Shale, clay, salt, unconsolidated
limestone. Medium formation: Hardness 4-7. Contoh: Medium limestone, unconsolidated sandstone,
shally sand, salt anhydrite (salt yang kompak). Hard formation: Hardness > 7. Contoh: Dolomite,
consolidate limestone, chert (batu rijang).

2.1.4. Abrassiveness Merupakan sifat mengikis pada batuan. Hal ini diperhitungkan karna berpengaruh
pada umur bit. Tingkat abrasif: Limestone > Sandstone > Shale. Rumus:

Dimana: CT : Cost/ft B : Harga bit ($) CR : Cost Rig I : Rotating Time T : Tripping Time (Seluruh waktu
tripping) F : Foot age bit (Umur bit) 2.1.5. Elasticity Merupakan tingkat keelastisan batuan. Hal ini sangat
diperhitungkan pada lapisan shale. Elasticity terdiri dari:  Modulus Young: perbandingan antara
tegangan aksial (Psi) dengan regangan aksial (%). Makin besar Modulus Young, maka akan makin sulit
untuk di fract.

 Poison Ratio: perbandingan antara regangan lateral (%) dan regangan aksial (%). Posion Ratio
menunjukkan adanya pemanjangan ke arah lateral (lateral expansion) akibat adanya tegangan dalam
arah aksial.

Modulus Young pada Shale = 58,000 – 10,000,000 psi Poison Ratio = 0 – 0.3

Teanan Perforasi = 3,000,000 psi2.1.6. Bailing Tendency Merupakan kecenderungan cutting menempel
pada bit. Jika terlalu besar bailing tendency-nya, maka akan mengurangi ROP & RPM pada saat
pemboran. Mengantisipasinya dengan cara pemilihan bit. Jenis Bit:  Drag Bit  Tricone Bit  Diamond Bit
 PDC (Poly Crystaline Diamond Core) Bit 3. sifat-sifat Lupur pemboran 3.1 pendahuluan Pada mulanya
orang hanya menggunakan air saja untuk mengangkat serpihan pemboran (cutting). Lalu dengan
berkembangnya pemboran, lumpur mulai digunakan. Untuk memperbaiki sifat-sifat lumpur, zat-zat kimia
ditambahkan dan ahirnya digunakan pula udara dan gas untuk pemboran walaupun lumpur tetapp
bertahan. Secara umum lumpur pemboran dapat dipandang mempunyai empat komponen atau fasa: 1.
Fasa cair (air dan minyak) 2. Reactive solid, yaitu padatan yang bereaksi dengan air membentuk koloid
(clay) 3. Inert solid (zat padat yang tak breaksi) 4. Fasa kimia
3.1.1. Fasa cair Ini dapat berupah air atau minyak. Air dapat pula dibagi dua, tawar dan asin. Sedang
pada air dapat pula dibagi menjadi air asin tak jenuh dan jenuh. Istilah oil-base digunakan bila minyak
lebih dari 95%. Invert emulison mempunyai komposisi minyak 50-70% (sebagai fasa kontinu) dan air 30-
50% (sebagai fasa terdispersi). 3.1.2. Reactive solid. Padatan ini bereaksi dengan sekeliling untuk
membentuk koloid. Dalam hal ini clay air tawar seperti bentonite menghisap (absor) air tawar dan
membentuk lumpur. Istilah “yield” digunakan untuk menyatakan jumlah barrel lumpur yang dapat
dihasilakan dari satu to clay agar viscositas lumpur 15 cp. 3.1.3. inert solid ini dapat barite (BaSO4) yang
digunakan untuk menaikan densitas lumpur, ataupun galena atau biji besi. Inert solid dapat pula berasal
dari formasi-formasi yang dibor dan terbawa lumpur seperti chert, pasir atau clay-clay non swelling, dan
padatan-padatan seperti ini bukan disengaja untuk menaikkan densitas lumpur dan perlu dibuang
secepat mungkin (bisa menyebabkan abrasi, kerusakan pompa dll). 3.1.4. Fasa kimia Zat kimia
merupakan bagian dari sistem yang digunakan untuk mengontrol

sifat-sifat

lumpur,

misalnya

dalam

dispersion

(menyebabkan partikel-partikel clay) tau flocculation (pengumpulan partikel-partikel clay). 3.2. fungsi
lumpur pemboran Lumpur pemboran merupakan faktor yang penting pemboran. Kecepatan pemboran,
efesiensi, keselamatan dan biaya pemboran sangat tergantung pada lumpur ini. Fungsi lumpur antara
lain adalah:

1. 2.
Mengangkat cuting ke permukaan Mendinginkan dan melumasi bit dan drill string. Panas dapat timbul
karena gesekan bit dan drill string yang kontak

3.

dengan formasi. Memberi dinding pada lubang bor dengan mud cake Lumpur akan membuat mud cake
atau lapisan zat padat tipis di

4.

permukaan formasi yang permeabel (lulus air). Mengontrol tekanan formasi Tekanan fluida formasi
umumnya adalah di sekitar 0.465 psi/ft

5.

kedelaman. Pada tekanan yang normal air dan padatan dipemboran telah cukup

6.

untuk menahan tekanan formasi ini. membawa cutting dan material-material pemberat pada suspensi
bila

7.

lumpur dihentikan dihentikan sementara. Melepaskan pasir dan cutting di permukaan Kemampuan
lumpur untuk menahan cutting selama sirkulasi
8. 9. 10.

dihentikan terutama tergantung dari gell streng. Menahan sebagian berat drill pipe dan casing (bouyancy
effect). Mengurangi efek negatif pada formasi. Mendapatkan informasi (mud log, sample log). Dalam
pemboran, lumpur kadang-kadang dianalisa untuk diketahui

11.

apakah mengandung hidrokarbon atau tidak (mud log). Media logging Pada penentuan adanya minyak
atau gas serta juga zone-zone air dan juga untuk korelasi dan masud-maksud lain, diadakan logging
(pemasukan sejenis alat antara lain alat listrik atau gamma ray / neotron) seperti misalnya selectri
logging, yang mana memerlukan media penghantar arus listrik di lubang air.

3.3. sifat-sifat lumpur Komposisi dan sifat-sifat lumpur sangat berpengaruh pada pemboran.
Perencanaan casing, drilling rate dan cmopletion di pengaruhi oleh lumpur yang digunakan saat itu.

3.3.1. densitas dan sand content 3.3.1.1. Densitas lumpur Lumpur sangat besar perannya dalam
menentukan berhasil tidaknya suatu operasi pemboran, sehingga perlu diperhatikan sifat-sifat dari
lumpur tersebut, seperti densitas, viskositas, gel strength, atau filtration loss. Densitas lumpur bor
merupakan salah satu sifat lumpur yang snagat penting, karena peranannya berhubungan langsung
dengan fungsi lumpur bor sebagai penahanan tekanan formasi. Adanya densitas lumpur bor yang terlalu
besar akan menyebabkan lumpur hilang ke formasi (lost circulation), sedang apabila terlalu kecil akan
menyebabkan “kick”. Maka densitas lumpur harus disesuaikan dengan keadaan formasi yang akan dibor.
3.3.1.2. Sand content Tercampurnya serpihan-serpihan formasi (cutting) ke dalam ke dalam lumpur
pemboran akan dapat membawa pengaruh pada operasi pemboran. Serpihanserpihan pemboran yang
biasnya berupa pasir akan dapat mempengaruhi karateristik lumpur yang disirkulasikan, dalam hal ini
akan menambahi densitas lumpur. Bertambahnya densitas lumpur yang tersirkuliasi ke permmukaan
akan menambah beban pompa sirkulasi lumpur. Oleh kerna itu setelah lumpur disirkulasikan harus
mengalami proses pembersihan terutama menghilangkan partikel-partikel yang masuk ke dalam lumpur
selama sirkulasi. Alat-alat ini, yang biasanya disebut “conditioning equipment”, adalah : a. Shale saker
Fungsinya membersihkan lumpur dari serpihan –serpihan atau cuting yang berukuran besar. b. Degasser
Untuk membersihkan lumpur dari gas yang masuk. c. Desander Untuk membersihkan lumpur dari
partikel-partikel padatan yang berukuran kecil yang bisa lolos dari shale-shaker. d. Desilter
Fungsinya sama dengan desender, tetapi desilter dapat membersihkan lumpur dari partikel-partikel yang
berukuran lebih kecil. 3.3.2. viskositas dan gel strength Viskositas dan gel strength merupakan bagian
yang pokok dalam sifat-sifat rheology fluida pemboran. Pengukuran sifat-sifat rheology fluida pemboran
penting mengingat efektevitas pengangkatan cutting merupakan fungsi langsung dari viskositas. Fluida
pemboran dalam percobaan ini adalah lumpur pemboran. Lumpur pemboran ini mengikuti model-model
rheology bingham plastic, power law dan midified power law. Diantara ketiga model ini, binghm plastic
merupakan model yang sederhana untuk fluida non-newtoniann. Yang dimaksud dengan fluida non-
newtonian adalah fluida yang mempunyai viskositas tidak kosntant, bergantung pada besarnya gesernya
(shear rate) yang terjadi. Gambar 2 adalah suatu plot pada kertas koordinat rectangular dari viskositas vs
shear rate untuk fluida ini.

Gambar 2. Viskositas vs shear rate.

Perbedaan dengan fluida newtonian yang mempunyai viskositas konstan, fluida non-newtonian
memperhatikan suatu yield stress – suatu jumlah tertentu dari tahanan dalam yang harus diberikan agar
fluida mengalir seluruhnya. Perhatikan gambar

Gambar 3. Plot koordinat shear stress vs shear rate.

3.

3.3.3. filtration dan mud cake ketika terjadi kontak antara lumpur pemboran dengan batuan porous,
batuan tersebut akan bertindak sebagai saringan yang memungkinkan fluida dan partikelpartikel kecil
melewatinya. Fluida yang hilang ke dalam batuan tersebut disebut “filtrate”. Sedangkan lapisan partikel-
partikel besar tertahan dipermukaan batuan disebut “filtrate cake”. Apabila filtration loss dan
pembentukan mud cake tidak dikontrol maka ia akan menimbulkan berbagai masalah, baik selama
operasi pemboran maupun dalam evaluasi formasi dan tahap produksi. Mud cake yang tipis akan
merupakan bantalan yang baik antara pipa pemboran dan permukaan lubnag bor. 3.3.4. sifat-sifat
lumpur pada tekanan dan temperatur tinggi. Efesiensi operasi pemboran sangat dipengaruhi oleh sifat-
sifat lumpur. Oleh sebab itu pemeliharaan dan mempelajari sifat-sifat lumpur menjadi sangat penting
artinya. Kondisi lingkungan pemboran, dalam hal ini adalah tekanan dan temperatur, dapat
mempengaruhi sifat-sifat lumpur tersebut. Dimana pada umumnya temperatur yang tinggi dapat
mengurangi efektivitas aditif yang ditambahkan kedalam lumpur sebagai pembentukan sifat-sifat lumpur.
4.
Fungsi Semen pembora 4.1. Pendahuluan Penyemenan merupakan salah satu faktor yang sangat penting
dalam operasi well completion. Dengan demikian sehingga tahap completion, produksi dan workover
sangat dipengaruhi olehnya. Baik dari segi komposisi, sifat, fungsi dan juga berbagai additives yang
dimasukkan kedalam semen.

Semen yang digunakan dalam well completion juga dapat digunakan dalam berbagai kondisi baik
kedalan , tekanan, temperatur, geometry lubang bor, sifat fisik batuan dan fluida kimia dari formasi yang
dijumpai. Keberhasilan suatu penyemenan itu juga tergantung pada mutu dari semen itu sendiri dan
penunjanng lainnya yaitu peralatan penyemenan.

4.2. Fungsi Semen Pemboran Secara prinsip fungsi utama semen ada 2 : 4.2.1.1.1. Mencegah bergerak
fluida di antara 2 formasi. 4.2.1.1.2. Membantu melindungi casing. Selain itu, ada beberapa fungsi yang
lain yaitu :  mencegah blow out melalui annulus dengan cara mempercepat pengerasan semen. 
Mencegah loss circulation dengan cara menutup daerah loss.  Mencegah casing dari beban mengejut
pada waktu pemboran lebih aman. 4.3. KOMPOSISI SEMEN 4.3.1. C3A : merupakan fraksi yang
memperbesar kecepatan hidrasi dan merupakan suatu unsur yang mengontrol initial set dan thickening
time. Tetapi juga menyebabkan semen mudah terpengaruh oleh gangguan sulfate. Semen yang
mempunyai daya tahan tinggi terhadap sulfate, kadarnya ditentukan oleh C3A yaitu maksimum 3 %.
4.3.2. C4AF: merupakan fraksi hidrasi low heat (heat hydrationnya rendah) di dalam semen dan akan
memberi warna pada semen. Penambahan Fe2O3 yang berlebihan akan memperbesar jumlah C4AF dan
memperkecil jumlah C3A di dalam semen. Spesifikasi API menghendaki bahwa kadar C4AF ditambah dua
kali kadar

C3A tidak melampaui 24 % untuk semen yang daya tahan tinggi terhadap sulfate . 4.3.3. C3S :
merupakan fraksi yang terbesar di dalam semen dan merupakan material penghasil kekuatan. Fraksi ini
bertanggung jawab terhadap early strength yaitu strength pada saat-saat pertama penempatan semen
(berkisar antara 1-28 hari). Semakin besar persentase C3S maka high earli strength semen semakin
cepat. 4.3.4. C2S : merupakan fraksi yang mempunyai sifat menghidrasi lambat sekali (kecepatan
pengerasan menjadi lambat) tetapi akan memperkuat strength pada perpanjangan periode dan bersifat
mendinginkan (cool) semen terhadap panas yang dibebaskan (head liberated).

4.4. klasifikasi semen 4.4.1. Class : A (WCR = 0,46) Digunakan dari permukaan sampai 6000 ft dengan
temperatur 170ºF bilamana special properties tidak dibutuhkan. Ini sama dengan semen ASTM C150,
type I. 4.4.2. Class : B (WCR = 0,46) Digunakan dari permukaan sampai 6000 ft dengan temperatur 170ºF
di mana moderato sulfate resistance dibutuhkan. Ini sama dengan semen ASTM C 150, type II. 4.4.3.
Class : C (WCR = 0,56) Digunakan dari permukaan sampai 6000 ft dengan temperatur 170ºF di mana
dibutuhkan untuk kondisi yang high early strength. Tersedia dalam type-type regular dan high sulfate
resistance. Ini sama dengan semen ASTM C 150, type III. 4.4.4. Class : D (WCR = 0,38) Digunakan pada
kedalaman 6000 – 10.000 ft dengan temperatur 230ºF di mana dijumpai kondisi yang mempunyai
temperatur agak tinggi dan tekanan tinggi. Tersedia dalam type regular dan high sulfate resistance. 4.4.5.
Class : E (WCR = 0,38) Digunakan pada kedalaman 6000 – 14.000 ft dengan temperature 290ºF di mana
dijumpai kondisi yang mempunyai temperatur dan tekanan tinggi. Tersedia dalam type regular dan high
sulfate resistant. 4.4.6. Class : F (WCR = 0,38)

Digunakan pada kedalaman 10.000 – 16.000 ft dengan temperatur 320ºF di mana dijumpai kondisi yang
mempunyai temperatur dan tekanan sangat tinggi. Tersedia dalam type regular dan high sulfate
resistant.

4.4.7. Class : G dan H (WCR = 0,44) Digunakan sebagai basic semen dari permukaan sampai 8000 ft
kedalaman sesuai dengan pembuatannya atau dapat digunakan bersama-sama dengan accelerator dan
retarder yang dipakai pada range kedalaman dan temperatur yang besar. Tersedia dalam type moderato
dan high sulfate resistant. 4.4.8. Class : J Digunakan pada kedalaman 12.000 – 16.000 ft untuk
temperatur dan tekanan yang luar biasa tinggi sesuai dengan pembuatannya atau dipakai pada range
kedalaman sumur yang besar dengan retarder. Hanya tersedia dalam 1 jenis/macam. Temperatur yang
dibutuhkan untuk men”set” semen ini harus di atas 230ºF. 4.4.9. Sifat fisik semen 4.4.10. Viscosity
Sedapat mungkin rendah agar didapatkan flow properties dan pendesakan lumpur yang baik. Semen
adalah fluida non newtonian sehingga viscositas adalah fungsi dari shear rate. Untuk menentukan
karakteristik viscosity, dipakai Fann Viscometer. 4.4.11. Density (akan berkisar antara 10,8 – 22 ppg)
Density dari bubur semen ini harus cukup besar untuk mempertahankan pengontrolan sumur kecuali
pada squeeze job. Untuk density yang lebih rendah antara 10,8 – 15,6 ppg, material yang digunakan
adalah campuran air sedang untuk density yang lebih besar antara 15,6 – 22 ppg, digunakan dispersent
dan material pemberat seperti hematite.

4.4.12. Permeability Diharapkan semen mempunyai permeability yang kecil karena dengan permeability
yang kecil maka tidak terjadi komunikasi diantara fluida pada saat semen telah mengeras. Walaupun
begitu factor lingkungan yang mempunyai temperature tinggi (di atas 230ºF) akan menimbulkan strength
retrogression (penurunan kekuatan) sehingga harus ditambahkan silica fluor. 4.5. Karakteristik Semen
4.5.1. Thickening Time Adalah waktu yang dibutuhkan oleh bubur semen untuk bercampur dan
mendesak bubur semen itu ke dalam lubang bor dan naik ke annulus di belakang pipa Beberapa hal yang
mempengaruhi thickening time :  Semakin tinggi temperatur maka semakin cepat pengerasan semen.
Ini merupakan faktor yang paling berpengaruh.  Semakin tinggi tekanan maka semakin cepat
pengerasan semen.  Hilangnya air dari bubur semen mempercepat pengerasan semen. 4.5.2. Storage
Stability Semen yang disimpan dalam keadaan kering akan tetap baik untuk waktu yang lama. Tetapi
perubahan kecil dapat terjadi pada kondisi lembab di mana akan mempengaruhi thickening time pada
situasi penyemenan yang kritis 4.5.3. Mixing Water

Fresh water adalah air yang baik untuk campuran semen, begitu juga air laut tetapi harus diawasi
thickening timenya. Fraksi inorganic akan mempercepat pengerasan semen 4.6. Additives Cement
Additive atau zat tambahan digunakan untuk memberi variasi

yang

lebih luas pada sifat-sifat bubur semen dan ini penting dalam perencanaan penyemenan.

Pengaruh additive terhadap sifat semen: 1. Menaikkan atau menurunkan density bubur semen. 2.
Memperbesar compressive strength dari 200 ke 20.000 psi . 3. Mempercepat dan memperlambat
pengerasan semen (setting time). 4. Mengatur filtrasi semen, dalam hal ini memperkecil filtrasi

semen

sampai 25 cc/30 menit, pada kondisi filter pressure 1.000 psi, 325 mesk. 5. Sifat-sifat aliran (flow
properties) akan mempunyai range variasi yang luas. 6. Memperbesar tahanan (resistance) terhadap
cairan korosif. 7. Mencegah hilangnya bubur semen ke dalam formasi. 8. Memperkecil kekentalan (slurry
viscosity). 9. Mengontrol permeability. 10. Mengontrol heat of hydration. 11. Memperkecil biaya. 12.
Menaikkan atau menambah durability (sifat tahan lama). Additive semen dapat digolongkan sebagai
berikut:  Accelerator: Ditambahkan untuk mempercepat tickening time dari semen  Retarder
Pemakaian retarder dipengaruhi oleh temperatur sumur, karena temperatur mempercepat reaki kimia
antara semen dan air. Retarder digunakan untuk memperpanjang waktu pemompaan (thickening time)
di mana naiknya

temperatur lebih mempengaruhi thickening time daripada naiknya kedalaman/tekanan.

 Light Weight Additive Penambahan additive ini akan mempertinggi kolom cairan tanpa menyebabkan
formation breakdown dan memperkecil biaya (cost). Heavy weight additive Bahan pemberat ini harus
mempunyai karakteristik:  Membutuhkan sedikit air.  Tidak mengurangi kekuatan semen.  Tidak
merubah waktu pemompaan.  Mempunyai ukuran partikel yang sama.  Sedikit saja menambah bubur
semen.  Chemically inert.  Mempunyai SG antara 4.5 – 5.0 .  Tidak mengganggu terhadap well
logging. 4.7. Hidrolika penyemenan Aliran pada semen terdiri dari 3 type, yaitu : 4.7.1. Plug flow adalah
aliran yang laminer dan lambat sekali sehingga gesekan antara partikel hanya terjadi dibagian pinggir
sedang ditengah – tengah tidak terjadi gesekan antara partikel – partikel. 4.7.2. Laminer flow adalah
aliran dimana arah gerakannya sejajar dan mempunyai Reynold number lebih kecil dari 2000.

4.7.3. Turbulent flow adalah aliran yang cepat dan bergolak dimana mempunyai Reynold number lebih
besar dari 2000. 4.8. EVALUASI HASIL PENYEMENAN 4.8.1. CBL (cement bond log) untuk mengetahui
sifat ikatan cement, apakah semen tersebut mampu mengisolasi atau mencegah aliran dari fluida
didaerah penyemenan dan mampu secara mekanik membantu casing di dalam lubang bor. Sifat ikatan
daripada semen atau “ bonding “ dapat dibedakan menjadi dua: 4.8.2. Shear bond adalah sifat ikatan
daripada semen yang secara mekanik membantu pipa casing didalam lubang bor. Shear bond ini
ditentukan dengan ukuran tekanan yang menyebabkan casing bergerak didalam sarung semen (sheath of
cement ) yang mengikatnya. 4.8.3. Hydraulic Bond Adalah sifat atau kemampuan ikatan semen untuk
menghalangi / mencegah aliran dari fluida didaerah penyemenan 4.9. Alat – alat penyemenan Peralatan
Diatas Permukaan ( Surface Equipment ) 4.9.1. Cementing unit a. Mixer : yang umum dipakai adalah jet
mixer, sedangkan yang lain adalah recirculating system. Pada jet mixer ini dipertemukan dua aliran yaitu
bubur semen dan air.

b. Pompa semen : dipakai untuk mengontrol rate dan tekanan. Jenis pompa yang dipakai dapat duplex
double acting piston pump atau single acting triplex plunger pump. c. Engine ( motor penggerak ):
mempunyai fungsi untuk menggerakkan pompa. d. Hopper : mempunyai fungsi utama untuk mengatur
aliran dari semen kering agar

merata.

e. Water tank : berfungsi untuk tempat menampung atau menyimpan air yang diperlukan untuk proses
penyemenan.

Gambar 4. Cementing unit.


4.9.2. Alat – alat di Bawah Permukaan ( Subsurface Equipment ): a) Casing Shoe ( sepatu casing )
Dipasang pada ujung bawah casing dimana mempunyai fungsi umum sebagai guide. Ada beberapa
macam shoe yaitu : 

Plain guide shoe Digunakan untuk mengarahkan casing kedalam lubang bor terutama untuk formasi yang
mudah runtuh

Float shoe disamping berfungsi sebagai guide juga dapat mencegah aliran balik dari luar casing karena
float shoe dilengkapi dengan klep penahan tekanan balik.

 Pemakaian

float

shoe

mempunyai

keuntungan

keuntungan :  Merupakan klep yang efisien, mencegah tekanan aliran balik, mencegah blow-out melalui
casing 
pada saat diturunkan. Pada waktu masuk casing, terjadi aliran lumpur diannulus, seolah – olah
merupakan suatu sirkulasi, sedangkan

sirkulasi

adalah

penting

sebelum

penyemenan. b) Collar Collar adalah suatu sok penahan yang dipasang beberapa meter diatas shoe.
Fungsi umumnya adalah menahan bottom plug dan top plug.

Collar mempunyai beberapa macam, yaitu : 

Float collar :

mempunyai fungsi yang pada umunya sama dengan 

float shoe.

Baffle collar with hole : akan


membantu

sebagai

pemberhentian

cementing plug dan akan mengurangi kontaminasi semen disekitar casing dan shoe. c) Centralizer
Mempunyai fungsi untuk menempatkan casing tepat ditengah – tengah lubang bor agar disekeliling
dinding casing mempunyai jarak yang sama kedinding lubang bor. d) Scratcher Mempunyai fungsi untuk
membersihkan mudcake sehingga akan memperbaiki ikatan semen baik pada casing maupun pada
formasi. 4.9.3. Stage Cementing Tools ( Peralatan penyemenan bertingkat ): 1. ECP ( External casing
packer ) Adalah packer yang mengembang diluar casing menutup annulus casing dan lubang bor.

Gambar 5. External casing packer.

a) Flexible flug, berfungsi sebagai bottom plug. Fungsi bottom flug adalah mencegah kontaminasi antara
bubur semen dengan lumpur yang ada di dalam sumur serta membuat mud film didalam casing.

Gambar 6. Bottom flug.

b) Trip plug, Berfungsi untuk membuka stage sementing collar.

Gambar 7. Trip plug.

c) Shut off plug/Top plug Fungsi shut off plug adalah sebagai pemisah bubur semen dengan lumpur
pendorong membersihkan sisa-sisa semen yang tertinggal didalam

casing. Gambar 8. Shut off plug.


5. Hole problem 5.1.

Ketidakstabilan dinding sumur pemboran Usaha memelihara kestabilan lubang bor sewaktu pemboran

menembus formasi shale, akan dipersulit dengan adanya masalah yang ditimbulkan oleh sifat-sifat shale
tersebut (shale problem), dalam hal ini terutama masalah clay swelling didalamnya. Clay swelling
bersama dengan sifat-sifat shale yang lainnya (dispersi dan lain- lainnya) menimbulkan masalah yang
bervariasi yang dilukiskan sebagai sloughing shale, heaving shale, running shale, gas bearing shale dan
pressure shale, pada umumnya secara geografis terbatas pada daerah geologi yang berumur lebih tua
dari Recent. Mud making shale atau shale yang dapat menghidrate adalah jenis yang dapat
menimbulkan pembesaran lubang bor bila terjadi interaksi secara kimia dengan fluida pemboran, ini
terjadi bila didalamnya terkandung bentonitic shale yang sedikit atau dapat menghidrat seperti seperti
illite, chlorit atau caolinitic secara kimiawi hanya sedikit dipengaruhi oleh lumpur pemboran. Semua
masalah shale yang dapat menimbulkan ketidakstabilan lubang bor di atas adalah disebabkan oleh faktor
fisika, kimia atau mekanis atau gabungan dari faktor-faktor tersebut. Yang sering terjadi adalah gabungan
dari dua atau tiga faktor bersama-sama. Dalam hubungannya dengan swelling (interaksi antara fluida
pemboran dalam hal ini adalah filtrat air dengan clay yang swelling ), faktor kimia sangat menonjol, dan
yang paling umum terjadi pada formasi shale yang mengandung kimia clay yang menghidrat (mineral
non morillonite misalnya bentonit), dimana formasi akan menghidrat filtrat lumpur sehingga terjadi
swelling diikuti gugurnya formasi ke dalam lubang bor. Seperti telah kita ketahui pada bab sebelumnya,
bahwa clay yang mengalami swelling, pada batas tertentu akan mengalami dispersi. Terdispersinya clay
(yang terdistribusi dalam formasi shale) dalam lumpur pemboran, secara

tidak terkendali akan menaikkan kadar padatan dalam lumpur dengan densitas yang rendah, sedangkan
viscositasnya meningkat, sehingga akan memperbesar kehilangan tekanan (pressure loss), dan ini akan
mengakibatkan turunnya laju pemboran.

Pada saat sedimentasi air terjebak dalam formasi shale akan mengalami hidrasi, dengan demikian proses
kompaksi tidak berlangsung secara normal, tidak semua air yang terperas dialirkan melalui media yang
porous, melainkan sebagian masih terjebak diantara butiran-butiran dalam tubuh formasi, sehingga
tekanan pori-pori dalam tubuh formasi shale tersebut masih tetap tinggi, bahkan bila ada gas terlarut
masih tetap tinggi, bahkan bila gas terlarut dalam pori-pori tersebut maka tekanannya akan mendekati
tekanan overburden.
5.2. formation damage Terjadinya invasi mud filtrat ke dalam formasi produktif yang mengandung clay
(formasi shale atau formasi dirty sands dengan kandungan claynya lebih tinggi) akan mengakibatkan
terjadinya hidrasi air filtrat oleh clay sehingga terjadi pembengkakan (swelling) dari partikelpartikel clay
tersebut. Keadaan tersebut mengakibatkan well bore damage (formation damage), yaitu pengurangan
permeabilitas dari formasi produktif disebabkan berubahnya sifat-sifat fisik batuan reservoir karena
swelling tadi di daerah formasi produktif. 5.2.1. Perubahan Pada Sifat-Sifat Fisik Batuan Reservoir
Pembentukan mud cake yang tipis dan kuat dengan permeabilitas yang rendah pada dinding lubang bor,
adalah merupakan salah satu fungsi lumpur pemboran yang penting. Pembentukan mud cake yang
terlalu tebal pada dinding lubang bor akan mempersempit ruang gerak bahkan terjepitnya drill string.
Tetapi dalam hal ini akan ditekankan pada pengaruh invasi mud filtratnya terhadap sifat-sifat (batuan)
reservoir terutama : a. Porositas batuan Seperti telah kita ketahui bahwa formasi mempunyai
permeabilitas dan lumpur pemboran memiliki sifat filtration loss, maka terjadi invasi mud filtrat, dimana
fasa cair dari lumpur akan tersaring masuk ke dalam formasi yang permeabel di sekitar lubang bor tadi,
sedangkan padatan lumpur (mud solids) tertinggal dan akan membentuk mud cake pada dinding lubang
sumur bor. Sketsa dari invasi mud filtrat ke dalam formasi permeabel ini dapat kita lihat pada (Gambar
9).

Gambar 9. Invasi mud filtrat ke dalam formasi melalui dinding sumur yang permeabel.

Apabila mud filtratnya adalah air (dari water base mud) dan formasinya mengandung clay yang
menghidrate (formasi shale atau formasi dirty sands), maka akan terjadi hidrasi dan swelling
(pembengkakan) dari partikel clay tadi sehingga menyebabkan berkurangnya ruang pori-pori mula-mula
dari batuan reservoir, Dengan mengecilnya pori-pori batuan tadi maka akan mengakibatkan mengecilnya
porositas batuan tersebut. b. Saturasi, permeabilitas, tekanan kapiler dan sifat kebasahan batuan.
Seperti telah dibicarakan diatas, bahwa dengan terjadinya swelling clay di dalam formasi, maka akan
terjadi penyumbatan ruang pori-pori batuan dalam formasi tersebut, sehingga akan menyebabkan
terhambatnya aliran fluida melalui media berpori tadi. Pada umumnya untuk suatu lapangan dengan
formasi sand stone dalam suatu lapisan, sering didapatkan hubungan yang linier antara log permeabilitas
dan porositas seperti, pada Gambar 10.

Gambar 10. Hubungan permabilitas dengan porositas batuan.

Adanya material clay yang expandable dalam batuan reservoir dapat memperkecil porositas batuan
tersebut. Dari hubungan di atas dapat dilihat bahwa dengan mengecilnya porositas maka permeabilitas
akan turun,
dan

ini

tidak

dikehendaki,

sebab

dengan

mengecilnya

permeabilitas efektif minyak maka produktivitasnya akan turun. Saturasi fluida dalam media berpori
adalah persentase volume fluida tersebut terhadap volume ruang pori-pori. Adanya material clay yang
menghidrat "irreducible water saturation". Saturasi air yang terikat oleh material clay ini merupakan
karakteristik formasi shaly sands. Keadaan tersebut dapat ditunjukkan dalam (Gambar 11). Persentase air
yang terikat tadi sebesar dari ruang pori-pori sehingga bila dijumlahkan dengan Swi (ireducible water
saturation) mula-mula menjadi total non movable water saturation (Swnm) sebesar :

wnm

 S wi   h
clean sand

Gambar 11. Hidrasi air oleh partikel clay pada formasi shaly sands.

Dengan terpengaruhnya harga saturasi oleh adanya hidrasi clay, maka "Performance" saturasi terhadap
aliran fluida juga akan berubah. Terjadinya clay

swelling

juga

akan

mempengaruhi

tekanan

kapiler,

dimana

pembengkakan partikel clay yang memperkecil jari-jari ruang pori-pori mengakibatkan turunnya
permeabilitas. Dengan demikian tekanan kapiler akan meningkat, karena hubungannya berbanding
terbalik dengan jari-jari ruang pori-pori sehingga akan menghambat pergerakan fluida yang terkandung
di dalam media berpori tersebut. Secara tidak langsung, terjadinya clay swelling di dalam formasi juga
akan
mempengaruhi

sifat

kebasahan

(wettability)

batuan,

karena

hubungannya merupakan fungsi dari tekanan kapiler dan permeabilitas batuan tadi. Kedalaman invasi
mud filtrat ke dalam formasi telah dibicarakan dalam bab sebelumnya (mengenai filtration dinamik),
tetapi selain itu jarak invasi mud filtrat dapat diketahui secara kualitatif dari porositas formasi. Porositas
yang kecil pada suatu tempat menunjukkan jarak invasi mud filtrat ke dalam formasi tersebut. Gambar
12 menunjukan distribusi fluida secara kualitatif setelah terjadi invasi mud filtrat di sekitar lubang bor.

Gambar 12. Distribusi radial fluida di sekitar lubang bor sesudah invasi mud filtrat.

Luas daerah invasi mud filtrat di sekitar lubang bor tergantung dari karakteristik filtrasi lumpur, tekanan
differensial antara formasi dengan lubang bor (tekanan hidrostatik), lama kontak lumpur pemboran
dengan dinding lubang bor serta karakteristik batuan dalam formasi. Gambar 13 menunjukan kondisi di
sekitar lubang bor sesudah terjadinya invasi mud filtrat ke dalam formasi.

Gambar 13. Penampang horizontal melalui lapisan (oil bearing) permeabilitas, (sw 60%).

5.2.2. Skin Effect Pada pembahasan sebelumnya telah kita ketahui bahwa akibat adanya invasi mud filtrat
ke dalam formasi dapat menimbulkan kerusakan dalam formasi tersebut. Kedalam invasi tersebut akan
menentukan luas daerah formasi yang mengalami damage ini relatif tipis (hanya di sekitar lubang bor)
dibandingkan dengan luas keseluruhan formasi (sehingga dengan alasan ini maka formation damage
disebut juga sebagai skin effect). Hidrasi filtrat lumpur (air) oleh mineral clay yang terdistribusi di dalam
formasi (sehingga terjadi swelling) adalah salah satu sebab terjadinya skin effect. Sebab lain adalah
karena adanya invasi mud solids ke dalam formasi. Tetapi pada hakekatnya skin effect ini disebabkan oleh
adanya invasi liquid sendiri ke dalam formasi, selain dapat menimbulkan terjadinya swelling akibat lain
yang erat hubungannya dengan terjadinya skin effect adalah: 1. Terbentuknya endapan garam, parafin
(wax) yang menimbulkan akibat yang sama dengan akibat adanya invasi solids ke dalam formasi. 2.
Terbentuknya emulsi dengan fluida formasi yang ada sehingga mengakibatkan kenaikan viskositas sistem
fluida keseluruhan, dan ini dapat menimbulkan "Capillary blocking". Invasi keseluruhan filtrat juga dapat
mempengaruhi (mengubah) resistivity formasi sesuai dengan jarak invasinya (mempengaruhi kurva
electric logging).

5.2.3. Penyebab lost circulation dan cara penanggulangannya Sebagaimana diketahui lost circulation
adalah hilangnya semua atau sebagian lumpur dalam sirkulasinya dan masuk ke formasi. Berdasarkan
keadaan ini lost circulation dapat dibagi dua, yaitu:  Partial Lost  Total Lost Partial Lost adalah bila
lumpur yang hilang hanya sebagian saja, dan masih ada lumpur yang mengalir ke permukaan. Sedangkan
total lost adalah hilangnya seluruh lumpur dan masuk kedalam formasi. Adanya lost dapat diketahui dari
flow sensor, dan berkurangnya jumlah lumpur dalam mud pit. 5.2.3.1. Penyebab Lost Circulation
Penyebab lost circulation adalah adanya celah terbuka yang cukup besar di dalam lubang bor, yang
memungkinkan lumpur untuk mengalir kedalam formasi, dan tekanan didalam lubang lebih besar dari
tekanan formasi. 5.2.3.1.1. Formasi Natural Yang Dapat Menyebabkan Lost Walau formasi yang
menyebabkan lost circulation tidak diketahui secara nyata, namun dapat dipastikan bahwa formasi
tersebut mesti berisi lubang pori yang lebih besar dari ukuran partikel lumpur. Hal ini ditunjukkan dalam
banyak kasus bahwa phase solid dari lumpur tidak akan masuk ke pori dari formasi yang terdiri dari clay,
shale, dan sand dengan permeabilitas normal. Formasi yang mempunyai formasi alami cukup besar
untuk mengalirkan lumpur adalah: a. Coarse dan Gravel yang mempunyai variasi permeabilitas Studi
menunjukkan bahwa formasi memerlukan permeabilitas yang tinggi untuk dimasuki lumpur.
Permeabilitas yang tinggi

ini dapat terjadi pada shallow sand dan lapisan gravel. Hal ini dapat terjadi karena tekanan overburden
atau berat rig.

Gambar 14. Course dan gravel sebagai zona lost.


b. Breksiasi Breksiasi terjadi karena adanya earth stress yang menghasilkan rekahan. Rekahan yang
terjadi dapat menyebabkan lost circulation.

Gambar

5.12

menunjukkan

rekahan

yang

ditimbulkan oleh breksiasi.

Gambar 15. Dimensi rekahan akibat breaksi. c. Cavernous atau vugular formation Pada prinsipnya zone
cavernous atau vugular terjadi pada formasi limestone. Pada formasi limestone, vugs dihasilkan oleh

aliran yang kontinu dari air alami, yang menghancurkan bagian dari matriks batuan menjadi encer dan
larut. Ketika formasi ini ditembus, lumpur akan hilang ke formasi dengan cepat. Sedangkan cavernous
dapat terjadi karena pendinginan magma (Gambar 13)

Gambar 16. Cavernous dan vugs sebagai zona lost.

d.. Cracked dan fracture Lost Circulation dapat juga terjadi pada sumur yang tidak mengandung zona
coarse yang permeabel atau formasi yang cavernous. Loss seperti ini mungkin terjadi karena adanya
cracked atau fracture yang dapat terjadi secara alami, atau adanya tekanan hidrostatik lumpur yang
terlalu besar (Gambar 14).
Gambar 17. Fracture horizontal sebagai zona lost.

Selain itu, lost circulation dapat terjadi pada depleted zone. Depleted sand sangat potensial untuk
terjadinya lost. Formasi produksi dalam lapangan yang sama dapat menyebabkan tekanan subnormal
akibat produksi dari fluida formasi. Akibatnya lapisan sand menjadi rekah dan akan dimasuki lumpur.
Kasus seperti ini sering dijumpai pada pemboran sumur pengembangan, dimana tekanan formasi telah
turun akibat sumur-sumur yang telah ada sudah lama berproduksi (Gambar 18).

Gambar 18. Depleted zones

5.2.3.1.2. Lost Circulation Karena Tekanan

Selain karena adanya formasi natural yang dapat menyebabkan lost, lost circulation dapat juga terjadi
karena kesalahan yang dilakukan pada saat opersi pemboran yang berkaitan dengan tekanan, misalnya:
a. Memasang intermediate casing pada tempat yang salah Jika casing dipasang di atas zona transisi
antara zona yang bertekanan normal dengan zona yang bertekanan tidak normal, maka diperlukan
lumpur yang berat untuk mengimbangi tekanan yang abnormal. Lumpur yang berat ini dapat
memecahkan formasi. b. Pelanggaran downhole pressure Pelanggaran downhole pressure yang sering
dilakukan adalah: o Mengangkat atau menurunkan pipa yang terlalu cepat. o Pipe whipping o Sloughing
shale o Peningkatan tekanan pompa yang terlalu cepat. o Lumpur yang terlalu berat.

5.2.3.2. Penanggulangan Lost Circulation Lost circulation dapat menimbulkan beberapa masalah dan
kerugian, misalnya:  Hilangnya lumpur.  Bahaya terjepitnya pipa.  Formation demage.  Kehilangan
waktu.  Tidak diperolehnya cutting untuk sample log.  Penurunan permukaan lumpur dapat
menyebabkan blowout pada formasi berikutnya. Untuk menghindari masalah-masalah yang timbul
akibat terjadinya lost circulation, maka lost circulation harus dicegah atau ditanggulangi bila sudah

terjadi.

Beberapa
metode

yang

dapat

dipergunakan

untuk

menanggulangi lost circulation adalah: 5.2.3.2.1. Mengurangi tekanan pompa Terjadinya lost circulation
dapat diketahui dari flow sensor, atau berkurangnya lumpur di mud pit. Bila berat lumpur normal dan
tekanan abnormal bukanlah faktor penyebab, langkah pertama dan paling mudah dilakukan adalah
mengatur tekanan pompa dan berat lumpur. Tekanan sirkulasi lumpur berkisar antara 900 psi sampai
3000 psi. Fungsi dari tekanan ini adalah untuk menanggulangi kehilangan tekanan selama pengaliran
lumpur. Tekanan total pada dasar lubang adalah besarnya tekanan permukaan ditambah dengan tekanan
tekanan kolom lumpur, dan dikurangi dengan kehilangan tekanan untuk mensirkulasikan lumpur dalam
pipa bor dari permukaan sampai dasar. Pada saat lost circulation terjadi, semakin besar perbedaan
tekanan, semakin banyak lumpur yang hilang. Untuk itu bila lost

circulation terjadi, tekanan pompa harus dikurangi sebesar mungkin tanpa mengurangi laju sirkulasi
lumpur. Karena pengurangan tekanan ini akan mengurangi differensial pressure antara lumpur dan fluida
formasi. 5.2.3.2.2. Mengurangi berat lumpur Salah

satu

fungsi
lumpur

pemboran

adalah

untuk

mengimbangi tekanan formasi. Semakin besar berat lumpur, semakin besar differensial pressure antara
kolom lumpur dan formasi. Lumpur yang terlalu berat dapat menyebabkan pecahnya formasi. Jika lost
circulation terjadi pada zona yang normal, laju aliran yang hilang adalah fungsi differensial pressure.
Pengurangan berat lumpur akan mengurangi differensial pressure antara lumpur dan fluida formasi,
sehingga aliran lumpur yang hilang akan menurun. 5.2.

3.2.3. Menaikkan Viskositas dan Gel Strength Pada shallow depth, lost circulation umumnya disebabkan
oleh

formasi yang porous yang terdiri dari coarse, gravel atau cavernous. Peningkatan viskositas dan gel
strength akan membantu memecahkan masalah ini. Ketika lost terjadi, pola aliran fluida pada lubang bor
tidak diketahui. Jika formasi yang porous terdiri dari lapisan sand, gravel, cavernous dalam sebuah
permukaan horizontal yang datar sebagai hasil pengangkatan dari tekanan overburden, pola alirannya
adalah radial. Jika porositas berupa fractures, atau formasi dipecahkan pada bidang vertikal, pola
alirannya adalah numerous channels. Dalam kasus ini pola aliran adalah antara aliran radial dan tubular.
5.2.3.2.4. Mengurangi Tekanan Surge Lubang Bor Tekanan surge dihasilkan dari penurunan pipa kedalam
lubang bor yang terlalu cepat. Kondisi ini dapat memecahkan formasi. Untuk itu drill string mesti
diturunkan dengan lambat untuk mengurangi tekanan surge yang dapat memecahkan formasi.

5.2.3.2.5. Sealing Agent Bila beberapa metode yang diuraikan sebelumnya gagal untuk me-ngatasi lost,
biasanya ditambahkan Lost Circulation Material (LCM), bahan pengurang kehilangan lumpur. Ada tiga
cara additive LCM untuk mengatasi masalah lost circulation, yaitu: 1. Menjaga agar tidak terjadi rekahan
akibat penyemenan. Dalam hal ini tekanan hidrostatik harus kecil. LCM jenis ini antara lain adalah
extenders. 2. Mengatasi lost circulation dengan menempatkan material yang mampu menahan hilangnya
semen/sumur. Material ini antara lain granular, flake dan fibrous. 3. Kombinasi dari kedua cara diatas.
5.2.3.2.6. Cement plug Penggunaan semen untuk mengatasi hilang lumpur terutama didaerah yang
banyak mengandung gerowong (vuggy) sebagaimana terdapat pada formasi karbonat merupakan
langkah terakhir dimana hilang lumpur yang terjadi sudah tidak dapat diatasi dengan lumpur. Cement
plug adalah material (semen) yang dipompa ke dalam zone yang porous, dengan harapan bahwa
material akan menutup pori dengan membentuk plastik yang kuat atau solid. Cement plug biasanya tidak
cukup hanya dilakukan sekali, tetapi harus berkali-kali. Sebenarnya Cement plug sangat efektif untuk
menutup ruang pori. Hanya saja penggunaan cement plug ini menimbulkan kendala karena semen lebih
keras dari formasi, yang tentunya akan menurunkan laju penembusan. Semen yang akan digunakan pada
sumur-sumur minyak biasanya ditambahkan suatu aditif untuk mendapatkan karakteristik

semen yang sesuai de ngan kebutuhan. Berikut ini adalah jenis-jenis aditif yang biasanya digunakan: a.
Accelerator Thickening time bubur semen (cement slurry) portland tergantung pada temperatur dan
tekanan, sesuai dengan kekuatan tekanan (compressive strength) dari semen tersebut, yang juga
tergantung pada temperatur dan tekanan. Suatu saat additive accelerator dapat ditambahkan untuk
mempercepat tercapainya thickening time sehingga semen mempunyai kekuatan tekan yang mampu
menahan beban uji sebesar 500 psi. b. Retarder Retarder adalah zat kimia yang digunakan untuk
memperlambat setting semen (kebalikan dari accelerator), yang diperlukan untuk mendapatkan waktu
yang cukup dalam penempatan semen. Retarder yang tersedia dipasaran antar lain : salt (D44),
lignosulfonate dan turunannya (D13, D81, D800, dan D801, turunan sellulosa (D8), dan polyhydroxy
organik acid dan sugar additive (D25, D109). c. Dispersant Dispersant biasanya digunakan untuk
mengontrol rheologi bubur semen agar pada pemompaan yang rendah menghasilkan aliran turbulen.
Hal ini diperlukan untuk mengangkat sisa-sisa lumpur yang masih terdapat dalam kolom annulus. Selain
itu dispersant juga dapat menurunkan kadar air dalam semen, sehingga akan menaikkan kekuatan
semen tersebut. d. Extenders Extenders digunakan untuk menurunkan densitas bubur semen, sehingga
tekanan hidrostatik dasar sumur relatif lebih kecil selama penyemenan.

e. Zat Pemberat Zat pemberat digunakan untuk menjaga tekanan hidrostatik, agar tekanan pori yang
tinggi dapat diimbangi. Pada kondisi demikian biasanya berat lumpur yang digunakan berkisar antara 18 -
18,5 lb/gal. 5.2.3.2.6.1. Penyemenan Multi Stage Penyemenan

banyak

tahap

diperlukan
untuk

menghindari hilangnya semen ke dalam formasi Karbonate yang banyak mengandung rekahan. Gambar
19, menunjukkan skema kedudukan semen untuk mengurangi hilangnya semen ke dalam rekahan. Tahap
awal dari penyemenen dengan teknik ini biasanya dirancang sebagaimana pada penyemenan satu tahap.

Gambar 19. Skema kedudukan penyemenan multi stage untuk mengatasi lost circulation.

5.2.3.2.6.2. Quick Setting Cement Quick setting cement adalah jenis semen yang mempunyai tingkat
pengerasan yang sangat cepat. Semen ini umumnya terdiri dari campuran semen portland dan gypsum
dengan perbandingan 5:95 sampai 15:85. Semen gypsum ini adalah jenis semen dengan kekuatan yang
tinggi dan setting semen yang sangat cepat. 5.2.3.2.6.3. High-filter-loss slurry squeeze (HFLSS) Semen
HFLSS sangat efektif untuk mengatasi masalah hilang lumpur, baik partial lost atau total lost. Bahan-
bahan seperti attapulgite, serbuk gamping, LCM jenis granular (coarsa, walnut), LCM fiber (kertas, nylon),
dan LCM flake (cellophone) ditambahkan

kedalam

bubur

semen

untuk

kemudian

dipompakan ke dalam zona hilang melalui rangkaian pipa bor. 5.2.3.2.6.4. Down hole-mixed soft/hard
pug (M+BDO2C) Lumpur +
minyak diesel, bentonit, dan semen

(M+BDO2C) digunakan untuk menanggulangi lost circulation total. Jenis lumpur yang digunakan adalah
water base mud. Sedangkan komponen BDO2C terdiri dari 100 lb sak bentonit, 2x94 lb sak semen
portland dicampur dengan 26,5 gal minyak diesel. Penambahan minyak diesel ditujukan agar bubur
semen lebih mudah untuk dipompa, mengingat bubur semen terdiri dari padatan-padatan yang
tersuspensi. 5.2.3.2.6.5. Drilling blind Drilling blind adalah pemboran yang dilakukan secara membabi
buta, dimana sirkulasi lumpur tidak ada karena semua lumpur hilang ke formasi. Fluida umumnya
membawa cutting masuk ke dalam zona loss, sehingga cutting ini dapat menutup formasi. Drilling blind
sangat bahaya karena cutting yang tidak

terangkat kepermukaan dapat menjepit pipa/stuck. Disamping itu , tidak diperolehnya cutting di
permukaan menyebabkan log sample batuan tidak bisa dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adams, N.J., "Drilling Engineering A Complete Well Planning Aproach", Company,Tulsa Oklahoma. 2.
Aguilera R., "Horizontal Wells: Formation Evaluation, Drilling, and Production,Including Heavy Oil
Recovery", Gulf Publishing Company, Houston,1991. 3. Alliquander, "Das Moderne Rotarybohren", VEB
Deutscher Verlag Fuer Grundstoffindustrie,Clausthal-Zellerfeld, Germany, 1986 4. Azar J.J., "Drilling in
Petroleum Engineering", Magcobar Drilling Fluid Manual. 5. Amyx J.W., ".Petroleum Reservoir
Engineering", Penn Well Publishing 6. Arthur, W.,Mc. Cray and Frank Cole, "Oil Well Drilling Technology",
University of Norman, Oklahoma Press, 1979. 7. Bland F. William., and Robert L. Davidson., "Petroleum
Processing Handbook"., Mc Graw Hill Book Company. Inc, USA, 1967.Petroleum Engineers, Richardson
TX, 1986. 8. Booth J.E., Provost C.E., "Drilling Abnormal Pressure", Courtesy of Mobil Oil Corporation. 9.
Bourgoyne A.T. et.al., "Applied Drilling Engineering", First Printing Society of Pe7. 10. Doddy Abdassah,
"Analisa Metoda-Metoda Perencanaan dan Perhitungan Koordinat Titik-Titik Sutvey di Dalam pemboran
Berarah". 11. Dyna Drill, Div. of Smith International, Inc. 12. Gatlin C., "Petroleum Engineering: Drilling
and Well Completions", Prentice Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, 1960. 13.
Goodman.R.E.,"Introduction to: Rock Mechanics", John Wiley & Sons, Second Edition, New York,
1989.Hole Problem (Dril-007) 33
14. Gorman, "The Petroleum Industry : Drilling Equipment and Operations", Third Edition, Smith
International Inc. Dallas - Texas, 1982. 15.Lapeyrouse N.J., "Formulas and Calculations for Drilling",
Production and Workover", Gulf Publishing Company, Houston, 1992. 16.Lummus. J.L, J.J Azar.,"Drilling
Fluids Optimization A Practical Field Approach",PennWell Publishing Company, Tulsa, Oklahoma, 1986.
17.Lynch E.J., "Formation Evaluation", Harper & Row Publishers, New York,1962. 18. Magcobar, "Data
Engineering Manual", Dresser Industries Inc. 19. Moore P.L., "Drilling Practices Manual", Penn Well
Publishing Company, Tulsa-Oklahoma, 1974. 20.

Moore

P.L.,

"Drilling

Practices

Manual",

Penn

Well

Publishing

Company,Second Edition, Tulsa-Oklahoma, 1986. 21.McCray A.W., Cole F.W., "Oil Well Drilling
Technology", The University of Oklahoma Press,1979. 22.Mian M.A., "Petroleum Engineering Handbook
for Practicing Engineer", Vol.1,Penn Well Publishing Company, Tulsa-Oklahoma, 1992. 23. Mian M.A.,
"Petroleum Engineering Handbook for Practicing Engineer", Vol.2,Penn Well Publishing Company, Tulsa-
Oklahoma, 1992. 24.Nelson E.B., "Well Cementing", Schlumberger Educational Series, HoustonTexas,
1990. 25. n.n. "Offshore Technology Yearbook", Energy Communications Inc. 26. n.n. "Lesson In Rotary
Drilling, The Bit", Petroleum Extension Service, The University of Texas - Division of Extension, Austin,
Texas, 1966. 27.nn., "Drilling", SPE Reprint Series no. 6a., SPE of AIME, Dallas-Texas, 1973. 28.nn.,
"Cementing Tables", Halliburton Servives, 1981.

29.nn., "Cementing Technology", Dowel Schlumberger, London, 1984. 34 Hole Problem (Dril-007) 30. nn.,
"Principles of Drilling Fluid Control", Twelfth Edition, Petroleum Extension Service The University of Texas
of Austin, Texas, 1969. 31. nn., "Powerpak Steerable Motor Handbook", Anadrill Educational Services,
Sugarland, Texas, 1993. 32. nn.,"Selected Reading On Drilling Mud", Magnet Cove Barium Corp,
Houston,Texas,1957. 33.Paxson J., "Casing and cementing", Second Edition, Petroleum Extension Service,
Texas, 1982. 34. Pearson R.M., "Well Completion Design and Practices", IHRDC, USA, 1987. 35. Pettus.
D.S., "Horizontal Drilling: High-Angle and Extended-Reach", Southwest Geoservices, USA, 1992. 36.
Rabia. H., "Oil Well Drilling Engineering : Principles & Practice", University of Newcastle upon Tyne,
Graham & Trotman, 1985. 37. Rudi Rubiandini RS.Dr.Ir ,Ir. Bagus Budiarta, "Basic Offshore Drilling
Completion and Production", 1993. 38. Rudi Rubiandini R.S, 1987,"Memilih Bit Nozzle Dengan Program
Komputer dan Nomograph", Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi No.2,1987. 39. Schlumberger Log
Interpretation Chart, Schlumberger Oilfield Services 1998. 40.Simpson, M.A.Sr." The Drilling Expert
System : A Microcomputer Approach to Drilling Engineering Problem Solving", Lousiana: DrillRight
Inc,1985 41.Short J., "Introduction to Directional And Horizontal Drilling", Penn Well Publishing Company,
Tulsa, 1993. 42.Smith D.K., "Worldwide Cementing Practices", First Edition, American Petroleum Institute
(API), Johston Printing Company, 1991. 43.Smith D.K., "Cementing", SPE of AIME, New York, 1976. Hole
Problem (Dril-007) 35

44.Stag K.G., Zienkiewicz O.C., "Rock Mevhanics in Engineering Practice", John Willey & Sons, London,
1975. 45.Tiraspolsky W., "Hydraulic Downhole Drilling Motors", Gulf Publishing Company,Houston-texas,
1985. 46. Wischers, G., "Zement Taschenbuch", 48. Ausgabe, Verein Deutscher Zementwerkee.V. (VDZ),
Bauverlag Gmbh., Duellesdorf, Germany,1984

Comments
About | Terms | Privacy | Copyright | Contact

Copyright © 2017 KUPDF Inc.

Anda mungkin juga menyukai