Anda di halaman 1dari 29

REFERAT 12 Oktober 2015

KRIPTORKISMUS/UNDESCENDCUS TESTIS (UDT)

Nama : IndraFirmansyahMangimbo
No. Stambuk : N 111 14 052
Pembimbing : dr. Suldiah, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2015

1
BAB I

PENDAHULUAN

Undescendcus testis (UDT) atau biasa disebut Kriptorkismus merupakan kelainan


bawaan genitalia yang paling sering ditemukan pada anak laki-laki.1,2Sepertiga
kasus anak-anak dengan UDT adalah bilateral sedangkan dua-pertiganya adalah
unilateral. Insiden UDT terkait erat dengan umur kehamilan,dan maturasi bayi.
Insiden meningkat pada bayi yang lahir prematur dan menurun pada bayi-bayi
yang dilahirkan cukup bulan. Peningkatan umur bayi akan diikuti dengan
penurunan insiden UDT. Prevalensinya menjadi sekitar 0,8 % pada umur 1 tahun
dan bertahan pada kisaran angka tersebut pada usia dewasa.3,4,5

Meskipun telah diteliti lebih dari 100 tahun, namun masih banyak aspek UDT
yang belum dapat dijelaskan dengan baik dan masih menjadi kontroversi.2
Termasuk diantaranya mengenai fisiologi penurunan testis, etiologi dan petanda
molekuler tentang fertilitas dan potensi keganasannya, hingga terapi
UDT.2,3,4UDT yang tidak diterapi jelas menimbulkan kerusakan bagi testis
tersebut. Pemahaman tentang morfogenesis kelainan akibat UDT, faktor hormonal
dan molekuler yang mempengaruhi, merupakan hal yang harus diketahui dalam
melakukan diagnosis maupun terapi kasus-kasus dengan UDT.2

Diagnosis dan terapi dini diperlukan pada kasus-kasus UDT mengingat terjadinya
peningkatan risiko infertilitas, keganasan, torsi testis, jejas testis pada trauma
pubis, dan stigma psikologis akibat skrotum yang ’kosong’.3,4,6 Esensi terapi
rasional yang dianut hingga saat ini adalah memperkecil terjadinya risiko
komplikasi tersebut dengan melakukan reposisi testis kedalam skrotum baik
dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan
(orchiopexy).3,6

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi
Undescendcus testis (UDT) atau Kriptorkismus adalah
gangguanperkembangan yang ditandai dengan gagalnya penurunan salah satu
atau kedua testis secara komplit ke dalam skrotum.1,7
Kriptorkismus berasal dari kata cryptos (Yunani) yang berartitersembunyi
dan orchis (latin) yang berarti testis. Nama lain dari kriptorkismusadalah
undescended testis, tetapi harus dijelaskan lanjut apakah yang di
maksudkriptorkismus murni, testis ektopik, atau pseudokriptorkismus.
Kriptorkismusmurni adalah suatu keadaan dimana setelah usia satu tahun,
satu atau dua testistidak berada didalam kantong skrotum, tetapi berada di
salah satu tempatsepanjang jalur penurunan testis yang normal. Sedang bila
diluar jalur normaldisebut testis ektopik, dan yang terletak di jalur normal
tetapi tidak didalamskrotum dan dapat didorong masuk ke skrotum serta naik
lagi bila dilepaskandisebut pseudokritorkismus atau testis retraktil.1,7

2.2. Anatomi Daerah Inguinal

Canalis Inguinalis merupakan saluran oblik melalui bagian bawah dinding


anterior abdomen. Pada laki-laki, saluran ini merupakan tempat lewatnya struktur
yang berjalan dari testis ke abdomen ataupun sebaliknya.

Regio inguinal merupakan batas bawah abdomen dengan fungsi yang terdiri atas
lapisan miopaneurotis. Penamaan struktur anatomi di daerah ini banyak memakai
nama penemunya sebagai pengakuan atas kontribusi mereka. Dinding abdomen
pada dasar inguinal terdiri dari susunan multi laminer dan seterusnya.
Pada dasarnya inguinal dibentuk dari lapisan:
a. Kulit (kutis)
b. Jaringan sub kutis (camper’s dan scarpa’s) yang berisikan lemak

3
c. Innominate fasia (Gallaudet) : lapisan ini merupakan lapisan superfisial atau
lapisan luar dari fasia muskulus obliqus eksternus. Sulit dikenal dan jarang
ditemui
d. Apponcurosis muskulus obliqus eksternus, termasuk ligamentum inguinale
(Poupart), Lakunare (Gimbernat) dan Colle’s
e. Spermatik kord pada laki-laki, ligamen rotundum pada wanita
f. Muskulus transversus abdominis dan aponeurosis muskulus obliqus internus,
falx inguinalis (Henle) dan konjoin tendon
g. Fasia transversalis dan aponeurosis yang berhubungan dengan ligamentum
pectinea (Cooper), iliopubic tract, falx inguinalis dan fasia transversalis
h. Preperitoneal connective tissue dengan lemak
i. Peritoneum
j. Superfisial dan deep inguinal ring

Bila dilihat dari lapisan-lapisan pada anatomi bedah inguinal di atas, maka lokasi
hernia itu sendiri seperti Gambar di bawah ini.
Kanalis Inguinalis
Kanalis inguinalis adalah saluran yang berjalan oblik (miring) dengan panjang 4
cm dan terletak 2-4 cm di atas ligamentum inguinale. Dinding yang membatasi
kanalis inguinalis adalah:
a. Anterior : Dibatasi oleh aponeurosis muskulus obliqus eksternus dan 1/3
lateralnya muskulus obliqus internus
b. Posterior: Dibentuk oleh aponeurosis muskulus transversus abdominis yang
bersatu dengan fasia transversalis dan membentuk dinding posterior dibagian
lateral. Bagian medial dibentuk oleh fasia transversa dan konjoin tendon,
dinding posterior berkembang dari aponeurosis muskulus transversus
abdominis dan fasia transversal
c. Superior: Dibentuk oleh serabut tepi bawah muskulus obliqus internus dan
muskulus transversus abdominis dan aponeurosis
d. Inferior : Dibentuk oleh ligamentum inguinale dan lakunare

4
Bagian ujung atas dari kanalis inguinalis adalah internal inguinal ring. Ini
merupakan defek normal dan fasia transversalis dan berbentuk huruf “U” dan “V”
dan terletak di bagian lateral dan superior. Batas cincin interna adalah pada bagian
atas muskulus transversus abdominis, iliopublik tract dan interfoveolar
(Hasselbach) ligament dan pembuluh darah epigastrik inferior di bagian medial.
External inguinal ring adalah daerah pembukaan pada aponeurosis muskulus
obliqus eksternus, berbentuk “U” dangan ujung terbuka ke arah inferior dan
medial.
Isi kanalis inguinalis pria :
A. Duktus deferens
B. 3 arteri yaitu :
a. Arteri spermatika interna
b. Arteri diferential
c. Arteri spermatika eksterna
C. Plexus vena pampiniformis
D. 3 nervus:
a. Cabang genital dari nervus genitofemoral
b. Nervus ilioinguinalis
c. Serabut simpatis dari plexus hipogastrik
E. 3 lapisan fasia:
a. Fasia spermatika eksterna, lanjutan dari fasia innominate.
b. Lapisan kremaster, berlanjut dengan serabut-serabut muskulus obliqus
internus dan fasia otot
c. Fasia spermatika interna, perluasan dari fasia transversal

Struktur Anatomi Keseluruhan di Daerah Inguinal


A. Fasia Superfisialis
Fasia ini terbagi dua bagian, superfisial (Camper) dan profundus (Scarpa).
Bagian superfisial meluas ke depan dinding abdomen dan turun ke sekitar
penis, skrotum, perineum, paha, bokong. Bagian yang profundus meluas dari
dinding abdomen ke arah penis (Fasia Buck).

5
B. Ligamantum Inguinale (Poupart)
Merupakan penebalan bagian bawah aponeurosis muskulus obliqus eksternus.
Terletak mulai dari Sias sampai ke ramus superior tulang publis
C. Aponeurosis muskulus obliqus eksternus
Di bawah linea arkuata (Douglas), bergabung dengan aponeurosis muskulus
obliqus internus dan transversus abdominis yang membentuk lapisan anterior
rektus. Aponeurosis ini membentuk tiga struktur anatomi di dalam kanalis
inguinalis berupa ligamentum inguinale, lakunare dan refleksi ligamentum
inguinale (Colles)
D. Ligamentum lakunare (Gimbernat)
Merupakan paling bawah dari ligamentum inguinale dan dibentuk dari serabut
tendon obliqus eksternus yang berasal dari daerah Sias. Ligamentum ini
membentuk sudut kurang dari 45 derajat sebelum melekat pada ligamentum
pektineal. Ligamentum ini membentuk pinggir medial kanalis femoralis
E. Ligamentum pektinea (Cooper)
Ligamentum ini tebal dan kuat yang terbentuk dari ligamentum lakunare dan
aponeurosis muskulus obliqus internus, transversus abdominis dan muskulus
pektineus. Ligamentum ini terfiksir ke periosteum dari ramus superior pubis
dan ke bagian lateral periosteum tulang ilium
F. Konjoin tendon
Merupakan gabungan serabut-serabut bagian bawah aponeurosis obliqus
internus dengan aponeurosis transversus abdominis yang berinsersi pada
tuberkulum pubikum dan ramus superior tulang pubis
G. Falx inguinalis (Ligamentum Henle)
Terletak di bagian lateral, vertikal dari sarung rektus, berinsersi pada tulang
pubis, bergabung dengan aponeurosis transversus abdominis dan fasia
transversalis
H. Ligamentum interfoveolaris (Hasselbach)
Sebenarnya bukan merupakan ligamentum, tapi penebalan dari fasia
transversalis pada sisi medial cincin interna. Letaknya inferior
I. Refleksi ligamentum inguinale (Colles’)

6
Ligamentum ini dibentuk dari serabut aponeurosis yang berasal dari crus
inferior cincin externa yang meluas ke linea alba
J. Traktus iliopubika
Perluasan dari arkus iliopektinea ke ramus superior pubis, membentuk bagian
dalam lapisan muskulo aponeurotik bersama muskulus transversus abdominis
dan fasia transversalis. Traktus ini berjalan di bagian medial, ke arah pinggir
inferior cincin dalam dan menyilang pembuluh darah femoral dan membentuk
pinggir anterior selubung femoralis
K. Fasia transversalis
Tipis dan melekat erat serta menutupi muskulus transversus abdominis
L. Segitiga Hasselbach
Hasselbach tahun 1814 mengemukakan dasar dari segi tiga yang dibentuk oleh
pekten pubis dan ligamentum pektinea. Segitiga ini dibatasi oleh :
a. Supero-lateral : Pembuluh darah epigastrika inferior
b. Medial : Bagian lateral rektus abdominis
c. Inferior : Ligamentum ingunale

7
8
2.3.Epidemiologi
Insidensi UDT pada bayi sangat dipengaruhi oleh umur kehamilanbayi dan
tingkat kematangan atau umur bayi. Pada bayi prematur sekitar 30,3%dan
sekitar 3,4% pada bayi cukup bulan. Bayi dengan berat lahir < 900
gramseluruhnya mengalami UDT, sedangkan dengan berat lahir < 1800 gram
sekitar68,5 % UDT. Dengan bertambahnya umur menjadi 1 tahun, insidennya
menurunmenjadi 0,8 %, angka ini hampir sama dengan populasi dewasa
(tabel 1).3,4

9
Laporan serupa yang lain menyebutkan dari 7500 bayi baru lahir di Inggris,
terdapat 5,0 % kasus UDT pada saat lahir, dan menurun menjadi 1,7% pada umur
3 bulan.8 Setelah umur 3 bulan, bayi-bayi yang lahir dengan berat <2000 gram,
2000 - 2499 gram, dan > 2500 gram, insiden UDT berturut-turut menjadi 7,7%,
2,5%, and 1,41%.8

2.4.Embriologi Dan Penurunan Testis


Pada minggu ke-6 umur kehamilan primordial germ cells mengalami migrasi
dari yolk sac ke-genital ridge. Dengan adanya gen SRY (sex determining
region Y), maka akan berkembang menjadi testis pada minggu ke-7. Testis yg
berisi prekursor sel-sel Sertoli besar (yang kelak menjadi tubulus
seminiferous dan sel-sel Leydig kecil) dengan stimulasi FSH yang dihasilkan
pituitary mulai aktif berfungsi sejak minggu ke-8 kehamilan dengan
mengeluarkan MIF (Müllerian Inhibiting Factor), yang menyebabkan involusi
ipsilateral dari duktus mullerian. MIF juga meningkatkan reseptor androgen
pada membran sel Leydig. Sel pada minggu ke 10-11 kehamilan, akibat

10
stimulasi chorionic gonadotropin yang dihasilkan plasenta dan LH dari
pituitary, sel-sel Leydig akan mensekresi testosteron yang sangat esensial
bagi diferensiasi duktus Wolfian menjadi epididimys, vas deferens, dan
vesika seminalis.4
Penurunan testis dimulai pada sekitar minggu ke-10. Walaupun
mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun para ahli sepakat bahwa
terdapat beberapa faktor yang berperan penting, yakni: faktor endokrin,
mekanik (anatomik), dan neural. Terjadi dalam 2 fase yang dimulai sekitar
minggu ke-10 kehamilan segera setelah terjadi diferensiasi seksual. Fase
transabdominal dan fase inguinoscrotal. Keduanya terjadi dibawah kontrol
hormonal yang berbeda.3,7,9
Fase transabdominal terjadi antara minggu ke-10 dan 15 kehamilan, di mana
testis mengalami penurunan dari urogenital ridge ke regio inguinal. Hal ini
terjadi karena adanya regresi ligamentum suspensorium cranialis dibawah
pengaruh androgen (testosteron), disertai pemendekan gubernaculum
(ligamen yang melekatkan bagian inferior testis ke-segmen bawah skrotum)
di bawah pengaruh MIF.3,7,9,10 Dengan perkembangan yang cepat dari regio
abdominopelvic maka testis akan terbawa turun ke daerah inguinal anterior.10
Pada bulan ke-3 kehamilan terbentuk processus vaginalis yang secara
bertahap berkembang ke-arah skrotum. Selanjutnya fase ini akan menjadi
tidak aktif sampai bulan ke-7 kehamilan.1
Fase inguinoscrotal terjadi mulai bulan ke-7 atau minggu ke-28 sampai
dengan minggu ke-35 kehamilan. Testis mengalami penurunan dari regio
inguinal ke dalam skrotum dibawah pengaruh hormon androgen.
Mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun diduga melalui mediasi
pengeluaran calcitonin gene-related peptide (CGRP). Androgen akan
merangsang nervus genitofemoral untuk mengeluarkan CGRP yang
menyebabkan kontraksi ritmis dari gubernaculum.3,7,9Faktor mekanik yang
turut berperan pada fase ini adalah tekanan abdominal yang meningkat yang
menyebabkan keluarnya testis dari cavum abdomen, di samping itu tekanan
abdomen akan menyebabkan terbentuknya ujung dari processus vaginalis

11
melalui canalis inguinalis menuju skrotum.9,10 Proses penurunan testis ini
masih bisa berlangsung sampai bayi usia 9-12 bulan.1,13

12
Gambar 1.

2.5.Etiologi
Segala bentuk gangguan pada proses penurunan tersebut di atas akan
berpotensi menimbulkan UDT (seperti terlihat pada tabel 2). Beberapa
penelitian terakhir mendapatkan bahwa mutasi pada gen INSL3 (Leydig
insulin-like hormone 3) dan gen GREAT (G protein-coupled receptor
affecting testis descent) dapat menyebabkan UDT. INSL3 dan GREAT
merupakan pasangan ligand dan reseptor yang mempengaruhi perkembangan
gubernaculum. Mutasi atau delesi pada gen-gen tertentu yang lain juga
terbukti menyebabkan UDT, antara lain gen reseptor androgen yang akan
menyebabkan AIS (androgen insensitivity syndrome), serta beberapa gen
yang bertanggung-jawab pada differensiasi testis semisal: PAX5, SRY,
SOX9, DAX1, dan MIS.5

13
UDT dapat merupakan kelainan tunggal yang berdiri sendiri (isolated anomaly),
ataupun bersamaan dengan kelainan kromosom, endokrin, intersex, dan kelainan
bawaan lainnya (3,4,)13. Bila disertai dengan kelainan bawaan lain seperti
hipospadia kemungkinan lebih tinggi disertai dengan kelainan kromosom (sekitar
12 – 25 %).3

Terdapat faktor keturunan terjadinya UDT pada kasus-kasus yangisolated, di


samping itu testis sebelah kanan lebih sering mengalami UDT.3,10Sekitar 4,0 %
anak-anak UDT mempunyai ayah yang UDT, dan 6,2–9,8% mempunyai saudara
laki-laki UDT; atau secara umum terdapat risiko 3,6 kaliterjadi UDT pada laki-
laki yang mempunyai anggota keluarga UDT dibandingdengan populasi umum.3

2.6.Klasifikasi
Terdapat 3 tipe UDT7:
1. UDT sesungguhnya (true undescended): testis mengalami penurunan
parsial melalui jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi
teraba (palpable) dan tidak teraba (impalpable).
2. Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang
normal.

14
3. Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke-dasar skrotum tetapi akibat
refleks kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke-kanalis
inguinalis, bukan termasuk UDT yang sebenarnya.5

Pembagian lain membedakan true UDT menurut lokasi terhentinya testis,


menjadi: abdominal, inguinal, dan suprascrotal (gambar 2)4.Gliding testis atau
sliding testis adalah istilah yang dipakai pada keadaan UDT dimana testis dapat
dimanipulasi hingga bagian atas skrotum, tetapi segera kembali begitu tarikan
dilepaskan.1,14

Gambar 2: Kemungkinan lokasi testis pada true UDT dan ektopik testis.
Gliding testis harus dibedakan dengan testis yang retraktil, gliding testis terjadi
akibat tidak adanya gubernaculum attachment, dan mempunyai processus
vaginalis yang lebar sehingga testis sangat mobile dan meningkatkan risiko
terjadinya torsi.1,4 Dengan melakukan overstrecht selama + 1 menit pada saat
pemeriksaan fisik (untuk melumpuhkan refleks cremaster), testis yang retraktil
akan menetap di dalam skrotum, sedangkan gliding testis akan tetap kembali
kekanalis inguinalis.3

2.7.Diagnosis
a) Anamnesis
Pada anamnesis harus digali adalah tentang prematuritas penderita
(30%bayi prematur mengalami UDT), penggunaan obat-obatan saat ibu

15
hamil(estrogen), riwayat operasi inguinal. Harus dipastikan juga apakah
sebelumnyatestis pernah teraba di skrotum pada saat lahir atau tahun
pertama kehidupan(testis retractile akibat refleks cremaster yang
berlebihan sering terjadi pada umur4-6 tahun). Perlu juga digali riwayat
perkembangan mental anak, dan pada anakyang lebih besar bisa
ditanyakan ada tidaknya gangguan penciuman (biasanyapenderita tidak
menyadari). Riwayat keluarga tentang UDT, infertilitas, kelainanbawaan
genitalia, dan kematian neonatal.3,13
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang tenang dan hangat.
Pemeriksaan secara umum harus dilakukan dengan mencari adanya tanda-
tandasindrom tertentu, dismorfik, hipospadia, atau genitalia ambigua.3,6,13
Pemeriksaan testis sebaiknya dilakukan pada posisi terlentang dengan
”frog leg position” dan jongkok. Dengan 2 tangan yang hangat dan akan
lebih baik bila menggunakan jelly atau sabun, dimulai dari SIAS
menyusuri kanalis inguinalis ke-arah medial dan skrotum (gambar 3). Bila
teraba testis harus dicoba untuk diarahkan ke-skrotum, dengan kombinasi
”menyapu” dan ”menarik” terkadang testis dapat didorong ke-dalam
skrotum. Dengan mempertahankan posisi testis didalam skrotum selama 1
menit, otot-otot cremaster diharapkan akan mengalami ”fatigue”; bila
testis dapat bertahan di dalam skrotum, menunjukkan testis yang retractile
sedangkan pada UDT akan segera kembali begitu testis dilepas. Tentukan
lokasi, ukuran dan tekstur testis.3,6

16
Gambar 3. Teknik pemeriksaan testis. A: Menyusuri kanalis inguinalis dimulai dari SIAS. B&C:
Bila teraba testis, ‘menggiring ‘ testis dengan ujung-ujung jari. D: Memanipulasi ke-dalam
skrotum.

Testis yang atropi atau vanishing testis dapat dijumpai pada jalur penurunan yang
normal. Kemungkinan etiologinya adalah iskemia masa neonatal akibat torsi.
Testis kontra lateralnya biasanya mengalami hipertrofi.3

Lokasi UDT tersering terdapat pada kanalis inguinalis (72%), diikuti supraskrotal
(20%), dan intra- abdomen (8%). Sehingga pemeriksaan fisik yang baik akan
dapat menentukan lokasi UDT tersebut.5

Adanya UDT bilateral yang tidak teraba gonad/testis apalagi disertai hipospadia
dan virilisasi, harus dipikirkan kemungkinan intersex, individu dengan kromosom
XX yang mengalami female pseudo-hermaphroditism yang berat; atau Anorchia
kongenital sebagai akibat torsi testis in utero.3,13,15 Sedangkan simple UDT
merupakan hal yang seringkali dijumpai terutama pada bayi yang prematur, akan
tetapi masih dapat terjadi penurunan testis dalam tahun pertama kehidupannya.13

17
Tabel 3: Interpretasi beberapa petanda klinis yang menyertai UDT bilateral tidak
teraba testis

c) Pemeriksaan Laboratorium
Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan
pemeriksaanlaboratorium lebih lanjut.3Sedangkan pada UDT bilateral
tidak teraba testisdengan disertai hipospadia dan virilisasi, diperlukan
pemeriksaan analisiskromosom dan hormonal (yang terpenting adalah 17-
hydroxyprogesterone) untukmenyingkirkan kemungkinan intersex.3,15
Setelah menyingkirkan kemungkinan intersex, pada penderita
UDTbilateral dengan usia < 3 bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan
LH, FSH, dantestosteron akan dapat membantu menentukan apakah
terdapat testis atau tidak.Bila umur telah mencapai di atas 3 bulan
pemeriksaan hormonal tersebut harusdilakukan dengan melakukan
stimulasi test menggunakan hCG (human chorionicgonadotropin
hormone). Ketiadaan peningkatan kadar testosteron disertaipeningkatan
LH/FSH setelah dilakukan stimulasi mengindikasikan anorchia.1,3
Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur
kadarhormon testosteron pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah
stimulasi. Respontestosteron normal pada hCG test sangat tergantung

18
umur penderita. Pada bayi,respon normal setelah hCHG test bervariasi
antara 2-10x bahkan 20x. Pada masakanak-kanak, peningkatannya sekitar
5-10x. Sedangkan pada masa pubertas,dengan meningkatnya kadar
testosteron basal, maka peningkatan setelah stimulasihCG hanya sekitar 2-
3x.16
Tabel 4 adalah beberapa macam hCG test yangdirekomendasikan
Honour.16

d) Pemeriksaan Pencitraan
USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di
daerahinguinal, di mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan
dengan tangan.3Pada penelitian terhadap 66 kasus rujukan dengan UDT
tidak teraba testis, USGhanya dapat mendeteksi 37,5% (12 dari 32) testis
inguinal; dan tidak dapatmendeteksi testis intra-abdomen.17Hal ini
tentunya sangat tergantung daripengalaman dan kwalitas alat yang
digunakan.
CT scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi
dibandingkanUSG terutama diperuntukkan testis intra-abdomen (tak
teraba testis). MRImempunyai sensitifitas yang lebih baik untuk
digunakan pada anak-anak yanglebih besar (belasan tahun).3,4,5MRI juga
dapat mendeteksi kecurigaan keganasantestis.5Baik USG, CT scan

19
maupun MRI tidak dapat dipakai untuk mendeteksivanishing testis
ataupun anorchia.4,5
Dengan ditemukannya metode-metode yang non-invasif maka
penggunaanangiografi (venografi) untuk mendeteksi testis yang tidak
teraba menjadi semakinberkurang. Metode ini paling baik digunakan
untuk menentukan vanishing testisataupun anorchia.4,5Dengan metode ini
akan dapat dievaluasi pleksuspampiniformis, parenkim testis, dan blind-
ending dari vena testis (padaanorchia).5Kelemahannya selain infasif, juga
terbatas pada umur anak-anak yanglebih besar mengingat kecilnya ukuran
vena-vena gonad.4,5
e) Laparoskopi
Metode laparoskopi pertama kali digunakan untuk mendeteksi UDT
tidakteraba testis pada tahun 1976. Metode ini merupakan metode infasif
yang cukupaman oleh ahli yang berpengalaman. Sebaiknya dilakukan
pada anak yang lebihbesar dan setelah pemeriksaan lain tidak dapat
mendeteksi adanya testis diinguinal.3,4,6
Beberapa hal yang dapat dievaluasi selama laparoskopi adalah:
kondisicincin inguinalis interna, processus vaginalis (patent atau non-
patent), testis danvaskularisasinya serta struktur wolfian-nya.6Tiga hal
yang sering dijumpai saatlaparoskopi adalah: blind-ending pembuluh
darah testis yang mengindikasikananorchia (44%), testis intra-abdomen
(36%), dan struktur cord (vasa dan vasdeferens) yang keluar ke-dalam
cincin inguinalis interna.3

2.8.Terapi
Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalahmemperkecil
risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukanreposisi testis
kedalam skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonalataupun dengan
cara pembedahan (orchiopexy).3,6

20
Alasan utama dilakukan terapi adalah5,6
a) Meningkatnya risiko infertilitas
b) Meningkatnya risiko keganasan testis
c) Meningkatnya risiko torsio testis
d) Risiko trauma testis terhadap tulang pubis
e) Faktor psikologis terhadap kantong skrotum yangkosong

Faktor yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan UDT adalah:4


Identifikasi yang tepat anatomi, posisi dan viabilitastestis
Identifikasi kemungkinan kelainan sindrom yangmenyertai
Penempatan testis di dalam skrotum dengan baik untukmencegah
kerusakan testis terhadap fungsi infertitilitasatau endokrin.
Fiksasi permanen testis pada posisi normal dalamskrotum yang
memudahkan pemeriksaan palpasi
Perlindungan kerusakan testis lebih lanjut akibat terapi

 Terapi Hormonal
Bila kemungkinan turunnya testis masih diragukan pada kriptorkismus dan
kasusnya diperkirakan disebabkan oleh kekurangan gonadotropin sentral,
kasus tersebut dapat diberikan suntikan hCG 500 unit secara intra
muskuler dua kali seminggu selama 5 minggu pada usia 1-6 tahun, dan
1000 unit dua kali seminggu pada anak yang lebih besar. Bila hasilnya
tidak memuaskan, bisa dilanjutkan dengan pembedahan Pemberian
rekombinan human FSH (r-hFSH) merangsang pertumbuhan prepubertal
testis dan peningkatan kadar inhibin B dalam sirkulasi. Hal ini terjadi
karena rangsangan imatur kepada sel sertoli. Pubertas berhasil dengan
rangsangan hCG dan r-h FSH. Inhibin B digunakan untuk memonitor
aktivitas spermatogenesis pada bayi laki-laki yang diobati dengan hCG (
Raivio dkk., 2007).17

21
 Human chorionic gonadotropic hormone (hCG)
Human chorionic gonadotropin (hCG) telah digunakan untuk
pengobatan kriptorkismus sejak lama. hCG ini mempunyai cara kerja
seperti LH melalui perangsangan terhadap sel Leydig untuk
memproduksi testosteron yang kemudian secarasendiri atau melalui
Dehidro-testosteron (DHT) akan menginduksi turunnya testis.
Keberasilan pengobatan dengan menggunakan hCG ini sangat
bervariasi, berkisar antara 20-55%. Keberasilan terapi dengan hCG ini
banyak ditentukan oleh posisi testis sebelum terapi. Hasil yang lebih
baik didapatkan pada testis letak tinggi di inguinal dan testis yang
retraktil, sedangkan pada testis yang terdapat di rongga abdomen
hasilnya kurang memuaskan. Rekomendasi yang sering digunakan
adalah dari International Health Foundation dan WHO yang
merekomendasikan pemberian 250 IU untuk bayi < 12 bulan, 500 IU
untuk umur 1-6 tahun, dan 1.000 IU untuk umur > 6 tahun, masing
masing kelompok umur diberikan 2x seminggu selama 5 minggu.3,4
 Luteinizing hormon-releasing hormon (LHRH)
LHRH diberikan pada penderita kriptorkismus dengan maksud
terjadinya perangsangan terhadap hipotalamus untuk menghasilkan
LH dan FSH yang kemudian akan merangsang sel Leydig untuk
menghasilkan testosteron yang berfungsi dalam proses penurunan
testis. LHRH diberikan secara nasal spray dosis 1,2 mg perhari. Nasal
spray ini diberikan 200 μg perkali semprotan tiap lubang hidung
sebanyak 3 kali sehari. Hasil pengobatan dengan LHRH ini sangat
bervariasi. Pada penelitian yangdilakukan Bertelsen dkk dengan
menggunakan dosis 1,2 mg LHRH perhari selama 4 minggu
didapatkan penurunan testis pada 24% kasus.
 Kombinasi LHRH dengan hCG
Beberapa peneliti melakukan pengobatan kombinasi antara LHRH
dengan hCG. Pada permulaan diberikan LHRH nasal spray kemudian
dilanjutkan dengan hCG. Mereka mendapatkan hasil yang lebih baik.

22
Terapi kombinasi ini dilakukan untuk mengurangi terjadinya relaps
pada pengobatan dengan LHRH saja.17
Angka keberhasilan terapi hCG berkisar 25-55 % pada penelitian
tanpakontrol, dan sekitar 6-21% pada penelitian buta acak. Faktor yang
mempengaruhikeberhasilan terapi adalah: makin distal lokasi testis makin
tinggikeberhasilannya, makin tua usia anak makin respon terhadap terapi
hormonal,UDT bilateral lebih responsif terhadap terapi hormonal daripada
unilateral.3,4
Terapi hormonal dengan HCG, LHRH atau kombinasi keduanya
merupakan salah satu cara untuk menurunkan testis ke dalam skrotum.
Terapi hormonal dapat segera dimulai setelah usia 6 bulanuntuk
kriptorkismus dan gliding testis. Testis retraktil bukanmerupakan indikasi
untuk terapi hormonal.16
Pengobatan dinyatakan gagal apabila testis tidak berada di dasar skrotum
setelah terapi hormonal. Evaluasi pengobatan dilakukan selama
pengobatan, pada akhir pengobatan, serta 1, 3, 6, dan 12 bulan kemudian.
Relaps setelah pengobatan cukup sering sehingga pemantauan setelah
pengobatan sangat penting dan jika terjadi dikonsulkan ke bagian Bedah
Urologi.16
 Terapi Pembedahan
Pada usia 2 tahun diusahakan agar posisi testis sudah padatempatnya. Jika
pada umur 2 tahun testis belum turunmaka pasien diindikasikan untuk
orkidopeksi.
 Orkidopeksi diindikasikan untuk:
 Kegagalan terapi hormonal
 Testis ektopik
 UDT dengan hernia
 UDT pada usia pubertas16
Kadar testosteron pada anak-anak anorchid tidak meningkat terhadap
stimulasi hCG, sedangkan dengan testis normal selalu memberi respon
pada umur berapapun. Dengan adanya respon testosteron negatif terhadap

23
stimulasi hCG dan meningkatnya kadar gonadotropin basal, test hormone
ini membuktikan adanya anorchidism congenital. Bentuk pembedahan
secara orkidopeksi yang biasanya dikerjakan pada pasien kriptorkismus
yang tidak mungkin turun, waktu yang baik untuk orkidopeksi adalah usia
sampai 2 tahun. Tujuan operasi bedah adalah untuk mobilisasi testis dan
arteri spermatika yang adekuat, operasi hernia yang menyertainya dan
fiksasi testis adekuat di dalam skrotum. Banyak macam insisi dan tehnik
fiksasi telah dideskripsikan. Kebanyakan adalah insisi inguinal dengan
diseksi testis dan cord ekstraperitoneal. Laparoskopi dapat dilakukan
untuk menemukan testis intraabdominal secara akurat dan melihat vas
spermatika dan vas deferens memasuki annulus inguinalis interna.
Laparoskopi juga dapat menemukan arteri spermatika yang buntu atau
pembuluh darah di dalam abdomen. Selanjutnya diuraikan gambar
diagnosis dan terapi pada UDT sebagai berikut.17
Mengingat 75 % kasus UDT akan mengalami penurunan testis
spontansampai umur 1 tahun, maka pembedahan biasanya dilakukan
setelah umur 1tahun.1Pertimbangan lain adalah setelah 1 tahun akan terjadi
perubahanmorfologis degeneratif testis yang dapat meningkatkan risiko
infertilitas.9Keberhasilan orchyopexy berkisar 67-100 % bergantung pada
umur penderita,ukuran testis, contralateral testis, dan keterampilan ahli
bedah.3
Prinsip dasar orchiopexy adalah6:
 Mobilisasi yang cukup dari testis dan pembuluh darah
 Ligasi kantong hernia
 Fiksasi yang kuat testis pada skrotum
Testis sebaiknya direlokasi pada subkutan atau subdartos pouch
skrotum.Tindakan operasi sebaiknya dilakukan sebelum pasien usia 2
tahun, bahkan beberapa penelitian menyarankan pada usia 6 – 12 bulan.
Penelitian melaporkan spermatogonia akan menurun setelah usia 2
tahun.10

24
Berbagai teknik operasi pada testis yang tidak teraba dapat dilakukan,
seperti berikut (Tabel 5.)5:
Tabel 5. Jenis Tindakan Pembedahan pada Kelaianan UDT dan Tingkat
Keberhasilannya5

Komplikasi Orchiopexy4,6
 Posisi testis yang tidak baik karena diseksi retroperitonealyang tidak
komplit (10% kasus)
 Atrofi testis karena devaskularisasi saat membukafunikulus (5%
kasus)
 Trauma pada vas deferens ( 1–2% kasus)
 Pasca-operasi torsio
 Epididimoorkhitis
 Pembengkakan skrotum

25
Gambar 4: Algoritma penatalaksanaan UDT pada anak. Anak yang lebih besar sebaiknya segera
dirujuk saat diagnosis ditegakkan. LH=luteinizing hormone; FSH=follicle-stimulating hormone;
MIS=mullerian inhibiting substance; hCG=human chorionic gonadotropin.

26
BAB III

KESIMPULAN

1. Undescendcus testis (UDT) atau Kriptorkismus adalah gangguan


perkembangan yang ditandai dengan gagalnya penurunan salah satu atau
kedua testis secara komplit ke dalam skrotum. Kriptorkismus berasal dari
kata cryptos (Yunani) yang berarti tersembunyi dan orchis (latin) yang berarti
testis.
2. Klasifikasi UDT terbagi atas 3 yakni: (1) UDT sesungguhnya (true
undescended), (2)Testis ektopik, (3) Testis retractile.
3. Hal-hal yang dapat membantu penegakkan diagnosis yakni dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
pencitraan, dan laparoskopi.
4. Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah
memperkecil risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan
reposisi testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal
ataupun dengan cara pembedahan (orchiopexy).

27
DAFTAR PUSTAKA

1) Danon M, Friedman SC. 1996. Ambiguous Genitalia, Micropenis,


Hypospadias,and Cryptorchidism. In: Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology.
NewYork: Marcel Dekker: 281-301.
2) Kolon TF. Cryptorchidism. In:http://www.emedicine.com/med/topic2707.htm
( diakses 8 Maret 2018 ).
3) Kolon TF, Patel RP, Huff DS. 2004. Cryptorchidism: diagnosis, treatment,
andlong-term prognosis. Urol Clin North Am; 31 (3): 469-80.
4) Gill B, Kogan S. Cryptorchidism – Current Concept. 1997. Pediatr Clin
NorthAm; 44 (5): 1211-27.
5) Dogra VS, Mojibian H. Cryptorchidism. In: http://www.emedicine.com/
radio/topic2011. htm(diakses 8 Maret 2018).
6) Docimo SG, Silver RI, Cromie W. The Undescended Testicle: Diagnosisand
Management. 2000. Am Fam Physician; 62: 2037-44.
7) Wilcox DT, Creighton S, Woodhouse CRJ, Mouriquand PDE.
UrogenitalImplications of Endocrine Disorders in Children and Adolescents.
2001. In:Brook CGD, Hindmarsh PC, eds. Clinical Pediatric
Endocrinology.London: Blackwell Science Ltd, 222-6.
8) John Radcliffe Hospital Cryptorchidism Study Group. Cryptorchidism:
aprospective study of 7500 consecutive male births, 1984-8. 1992. Archives
ofDisease in Childhood; 67: 892-9. (Abstract)
9) Hutson JM, Hasthorpe S, Heys CF. 1997. Anatomical and Functional
ofTesticular Descent and Cryptorchidism. Endocrine Reviews; 18 (2):259-75.
10) Styne DM. 2002. The Testes – Disorders of Sexual Differentiation and
Pubertyin the Male. In: Sperling MA, ed. Pediatric Endocrinology.
Philadelphia:Saunders,: 570-73.
11) Ferlin A, Simonato M, Bartoloni L et al. 2003. The INSL3-
LGR8/GREATLigand-Receptor Pair in Human Cryptorchidism. J Clin
Endocrinol Meta.; 88: 4273–9.

28
12) Kubotal Y, Temelcos C, Bathgate RAD, Smith KJ et al. 2002. The role of
insulin3, testosterone, Müllerian inhibiting substance and relaxin in
ratgubernacular growth. Molecular Human Reproduction; 8 (10): 900–5
13) Cryptorchidism. Abnormal Genitalia. 2003. In: Wales JKH, Wit JM, Rogol
AD,eds. Pediatric Endocrinology and Growth. Edinburgh, London, New
York:Saunders: 173-4.
14) Zhang RD, Wen XH, Kong LS et al. 2002 A quantitative (stereological)
studyof the effects of experimental unilateral cryptorchidism and
subsequentorchiopexy on spermatogenesis in adult rabbit testis.
Reproduction;124: 95–105.
15) Ritzen M, Hintz RL. 1999. Hypospadias/virilization. In: Hoechberg Z,
Haifa,eds. Practical Algorithms in Pediatric Endocrinology. Druck,
Basel(Switzerland): Karger AG,: 38-9
16) Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Tatalaksana Kriptorkismus. 2011. Buku-
PPM-Jilid2.standar pelayanan medik pdf.
17) Wayan Bikin, S. 2011. Polimorfisme Gen Insl3 Dan Lgr8, Kadar Hormon
Insl3 Dan Estradiol Sebagai Faktor Risiko Kriptorkismus Pada Anak.
Universitas Udayana. Denpasar.

29

Anda mungkin juga menyukai