Anda di halaman 1dari 12

Pendekatan dan Metode Pembelajaran

dalam Kurikulum 2013


Posted on 20 Januari 2013 by AKHMAD SUDRAJAT — 103 Komentar

Pendekatan dan Metode Pembelajaran dalam Kurikulum 2013

Dalam draft Pengembangan Kurikulum 20013 diisyaratkan bahwa proses pembelajaran


yang dikehendaki adalah pembelajaran yang mengedepankan pengalaman personal melalui
observasi (menyimak, melihat, membaca, mendengar), asosiasi, bertanya, menyimpulkan, dan
mengkomunikasikan. Disebutkan pula, bahwa proses pembelajaran yang dikehendaki adalah
proses pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student centered active learning)
dengan sifat pembelajaran yang kontekstual. (Sumber: Pengembangan Kurikulum 20013, Bahan
Uji Publik, Kemendikbud).

Apakah ini sesuatu yang baru dalam pendidikan kita? Saya meyakini, secara konseptual proses
pembelajaran yang ditawarkan dalam Kurikulum 2013 ini bukanlah hal baru. Jika kita cermati
kurikulum 2004 (KBK) dan Kurikulum 2006 (KTSP), pada dasarnya menghendaki proses
pembelajaran yang sama seperti apa yang tersurat dalam Kurikulum 2013 di atas. Pada periode
KBK dan KTSP, kita telah diperkenalkan atau bahkan kebanjiran dengan aneka konsep
pembelajaran mutakhir, sebut saja: Pembelajaran Konstruktivisme, PAKEM, Pembelajaran
Kontekstual, Quantum Learning, Pembelajaran Aktif, Pembelajaran Berdasarkan
Masalah, Pembelajaran Inkuiri, Pembelajaran Kooperatif dengan aneka tipenya, dan
sebagainya.

Jika dipersandingkan dengan Kurikulum 2013, konsep-konsep pembelajaran tersebut pada


intinya tidak jauh berbeda. Permasalahan muncul ketika ditanya, seberapa jauh konsep-konsep
pembelajaran mutakhir tersebut telah terimplementasikan di lapangan?

Berikut ini sedikit cerita saya tentang contoh kasus implementasi pembelajaran mutakhir selama
periode KBK dan KTSP, yang tentunya tidak bisa digeneralisasikan. Dalam berbagai
kesempatan saya sering berdiskusi dengan beberapa teman guru, dengan mengajukan
pertanyaan kira-kira seperti ini:

“Anggap saja dalam satu semester terjadi 16 kali pertemuan tatap muka, berapa kali Anda melaksanakan
pembelajaran dengan menerapkan konsep pembelajaran mutakhir?”

Jawabannya beragam, tetapi sebagian besar tampaknya cenderung menjawab bahwa pendekatan
yang sering digunakan adalah pendekatan pembelajaran konvensional dengan kekuatan intinya
pada penggunaan metode ceramah (Chalk and Talk Approach).

Berkaitan dengan permasalahan implementasi pendekatan dan metode pembelajaran mutakhir


dalam KBK dan KTSP, setidaknya saya melihat ada 2 (dua) sisi permasalahan yang berbeda,
tetapi tidak bisa dipisahkan:
1. Masalah keterbatasan keterampilan (kemampuan).

Untuk masalah yang pertama ini dapat dibagi ke dalam dua kategori: (a) kategori berat, yaitu
mereka yang menunjukkan ketidakberdayaan. Jangankan untuk mempraktikan jenis-jenis
pembelajaran mutakhir, mengenal judulnya pun tidak. Yang ada dibenaknya, ketika mengajar
dia berdiri di depan kelas – atau bahkan hanya duduk di kursi guru- sambil berbicara
menyampaikan materi pelajaran mulai dari awal sampai akhir pelajaran, sekali-kali diselingi
dengan tanya jawab. Itulah yang dilakukannya secara terus menerus sepanjang tahun; dan (b)
kategori sedang. Relatif lebih baik dari yang pertama, mereka sudah mengetahui jenis-jenis
pembelajaran mutakhir tetapi mereka masih mengalami kebingungan dan kesulitan untuk
menerapkannya di kelas, mereka bisa mempraktikan satu atau dua metode pembelajaran
mutakhir tetapi dengan berbagai kekurangan di sana-sini.

2. Masalah keterbatasan motivasi (kemauan).

Untuk masalah yang kedua ini, pada umumnya dari sisi kemampuan tidak ada keraguan. Mereka
sudah memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang pembelajaran mutakhir yang lumayan,
tetapi sayangnya mereka kerap dihinggapi penyakit keengganan untuk mempraktikannya.
Mereka memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari berbagai pelatihan dan workshop yang
diikutinya. Sepulangnya dari kegiatan pelatihan, semangat mereka berkobar-kobar, nge-full bak
batere HP yang baru di-charge, tetapi lambat laun semangatnya memudar dan akhirnya padam,
kembali menggunakan cara-cara lama. Hasil pelatihan pun akhirnya menjadi sia-sia.

Kembali kepada persoalan Pendekatan dan Metode Pembelajaran dalam Kurikulum 2013.
Pemerintah saat ini telah menyiapkan strategi pelatihan bagi guru-guru untuk kepentingan
implementasi Kurikulum 2013. Hampir bisa dipastikan, salah satu materi yang diberikan dalam
pelatihan ini yaitu berkaitan dengan penguasaan pengetahuan dan keterampilan guru dalam
mengembangkan pendekatan dan metode pembelajaran yang sejalan dengan Kurikulum
2013.

Pelatihan untuk penguatan keterampilan guru tentang teknis pembelajaran memang penting.
Kendati demikian saya berharap dalam rangka implementasi Kurikulum 2013 ini, tidak hanya
bertumpu pada sisi keterampilan saja, tetapi seyogyanya dapat menyentuh pula aspek
motivasional. Dalam arti, perlu ada upaya-upaya tertentu untuk membangun kemauan dan
komitmen guru agar dapat menerapkan secara konsisten berbagai pendekatan dan metode
pembelajaran yang sejalan dengan tuntutan Kurikulum 2013. Bagi saya, upaya menanamkan dan
melanggengkan motivasi dan komitmen ini tidak kalah penting atau bahkan mungkin lebih
penting dari sekedar menanamkan kemampuan.

Jika ke depannya kita bisa secara konsisten menerapkan berbagai pendekatan dan metode
pembelajaran yang sejalan dengan Kurikulum 2013, niscaya kehadiran Kurikulum 2013 akan
lebih dirasakan manfaatnya. Dan tampak disini pula letak perbedaan yang sesungguhnya antara
Kurikulum 2013 dengan Kurikulum sebelumnya. Tetapi jika tidak, lantas apa bedanya antara
Kurikulum 2013 dengan Kurikulum sebelumnya?
Pendekatan dan Metode Pembelajaran
dalam Kurikulum 2013
Posted on 20 Januari 2013 by AKHMAD SUDRAJAT — 103 Komentar

Pendekatan dan Metode Pembelajaran dalam Kurikulum 2013

Dalam draft Pengembangan Kurikulum 20013 diisyaratkan bahwa proses pembelajaran


yang dikehendaki adalah pembelajaran yang mengedepankan pengalaman personal melalui
observasi (menyimak, melihat, membaca, mendengar), asosiasi, bertanya, menyimpulkan, dan
mengkomunikasikan. Disebutkan pula, bahwa proses pembelajaran yang dikehendaki adalah
proses pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student centered active learning)
dengan sifat pembelajaran yang kontekstual. (Sumber: Pengembangan Kurikulum 20013, Bahan
Uji Publik, Kemendikbud).

Apakah ini sesuatu yang baru dalam pendidikan kita? Saya meyakini, secara konseptual proses
pembelajaran yang ditawarkan dalam Kurikulum 2013 ini bukanlah hal baru. Jika kita cermati
kurikulum 2004 (KBK) dan Kurikulum 2006 (KTSP), pada dasarnya menghendaki proses
pembelajaran yang sama seperti apa yang tersurat dalam Kurikulum 2013 di atas. Pada periode
KBK dan KTSP, kita telah diperkenalkan atau bahkan kebanjiran dengan aneka konsep
pembelajaran mutakhir, sebut saja: Pembelajaran Konstruktivisme, PAKEM, Pembelajaran
Kontekstual, Quantum Learning, Pembelajaran Aktif, Pembelajaran Berdasarkan
Masalah, Pembelajaran Inkuiri, Pembelajaran Kooperatif dengan aneka tipenya, dan
sebagainya.

Jika dipersandingkan dengan Kurikulum 2013, konsep-konsep pembelajaran tersebut pada


intinya tidak jauh berbeda. Permasalahan muncul ketika ditanya, seberapa jauh konsep-konsep
pembelajaran mutakhir tersebut telah terimplementasikan di lapangan?

Berikut ini sedikit cerita saya tentang contoh kasus implementasi pembelajaran mutakhir selama
periode KBK dan KTSP, yang tentunya tidak bisa digeneralisasikan. Dalam berbagai
kesempatan saya sering berdiskusi dengan beberapa teman guru, dengan mengajukan
pertanyaan kira-kira seperti ini:

“Anggap saja dalam satu semester terjadi 16 kali pertemuan tatap muka, berapa kali Anda melaksanakan
pembelajaran dengan menerapkan konsep pembelajaran mutakhir?”

Jawabannya beragam, tetapi sebagian besar tampaknya cenderung menjawab bahwa pendekatan
yang sering digunakan adalah pendekatan pembelajaran konvensional dengan kekuatan intinya
pada penggunaan metode ceramah (Chalk and Talk Approach).

Berkaitan dengan permasalahan implementasi pendekatan dan metode pembelajaran mutakhir


dalam KBK dan KTSP, setidaknya saya melihat ada 2 (dua) sisi permasalahan yang berbeda,
tetapi tidak bisa dipisahkan:
1. Masalah keterbatasan keterampilan (kemampuan).

Untuk masalah yang pertama ini dapat dibagi ke dalam dua kategori: (a) kategori berat, yaitu
mereka yang menunjukkan ketidakberdayaan. Jangankan untuk mempraktikan jenis-jenis
pembelajaran mutakhir, mengenal judulnya pun tidak. Yang ada dibenaknya, ketika mengajar
dia berdiri di depan kelas – atau bahkan hanya duduk di kursi guru- sambil berbicara
menyampaikan materi pelajaran mulai dari awal sampai akhir pelajaran, sekali-kali diselingi
dengan tanya jawab. Itulah yang dilakukannya secara terus menerus sepanjang tahun; dan (b)
kategori sedang. Relatif lebih baik dari yang pertama, mereka sudah mengetahui jenis-jenis
pembelajaran mutakhir tetapi mereka masih mengalami kebingungan dan kesulitan untuk
menerapkannya di kelas, mereka bisa mempraktikan satu atau dua metode pembelajaran
mutakhir tetapi dengan berbagai kekurangan di sana-sini.

2. Masalah keterbatasan motivasi (kemauan).

Untuk masalah yang kedua ini, pada umumnya dari sisi kemampuan tidak ada keraguan. Mereka
sudah memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang pembelajaran mutakhir yang lumayan,
tetapi sayangnya mereka kerap dihinggapi penyakit keengganan untuk mempraktikannya.
Mereka memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari berbagai pelatihan dan workshop yang
diikutinya. Sepulangnya dari kegiatan pelatihan, semangat mereka berkobar-kobar, nge-full bak
batere HP yang baru di-charge, tetapi lambat laun semangatnya memudar dan akhirnya padam,
kembali menggunakan cara-cara lama. Hasil pelatihan pun akhirnya menjadi sia-sia.

Kembali kepada persoalan Pendekatan dan Metode Pembelajaran dalam Kurikulum 2013.
Pemerintah saat ini telah menyiapkan strategi pelatihan bagi guru-guru untuk kepentingan
implementasi Kurikulum 2013. Hampir bisa dipastikan, salah satu materi yang diberikan dalam
pelatihan ini yaitu berkaitan dengan penguasaan pengetahuan dan keterampilan guru dalam
mengembangkan pendekatan dan metode pembelajaran yang sejalan dengan Kurikulum
2013.

Pelatihan untuk penguatan keterampilan guru tentang teknis pembelajaran memang penting.
Kendati demikian saya berharap dalam rangka implementasi Kurikulum 2013 ini, tidak hanya
bertumpu pada sisi keterampilan saja, tetapi seyogyanya dapat menyentuh pula aspek
motivasional. Dalam arti, perlu ada upaya-upaya tertentu untuk membangun kemauan dan
komitmen guru agar dapat menerapkan secara konsisten berbagai pendekatan dan metode
pembelajaran yang sejalan dengan tuntutan Kurikulum 2013. Bagi saya, upaya menanamkan dan
melanggengkan motivasi dan komitmen ini tidak kalah penting atau bahkan mungkin lebih
penting dari sekedar menanamkan kemampuan.

Jika ke depannya kita bisa secara konsisten menerapkan berbagai pendekatan dan metode
pembelajaran yang sejalan dengan Kurikulum 2013, niscaya kehadiran Kurikulum 2013 akan
lebih dirasakan manfaatnya. Dan tampak disini pula letak perbedaan yang sesungguhnya antara
Kurikulum 2013 dengan Kurikulum sebelumnya. Tetapi jika tidak, lantas apa bedanya antara
Kurikulum 2013 dengan Kurikulum sebelumnya?
perbandingan pembelajaran konvensional dan hypnotheaching
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pendidikan sekarang ini sangatlah membutuhkan perhatian khusus agar tetap dapt berjalan sesuai
dengan tujuan yang diingikan bersama. Metode pembelajaran yang digunakan merupakan salah satu
faktor penting yang mempengaruhi pendidikan. Seorang guru dituntut untuk menguasai berbagai
model-model pembelajaran, di mana melalui model pembelajaran yang digunakannya akan dapat
memberikan nilai tambah bagi anak didiknya. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya dari proses
pembelajarannya adalah hasil belajar yang optimal atau maksimal. Dengan demikian dapat dihasilkan
output yang berkualitas.
Selama ini banyak guru yang menggunakan metode pembelajaran konvensional dalam proses mengajar.
Secara umum yang dimaksud dengan metode pembelajaran konvensional yaitu pembelajaran dengan
cara ceramah dimana peran guru di sini aktif dan peserta didik cenderung pasif. Ada sebuah pendapat
yang menyatakan bahwa metode tersebut sudah tidak layak digunakan, hingga kini muncul metode
pembelajaran baru. Metode yang dimaksud yaitu metode pembelajaran hypnoteaching. Metode
pembelajaran yang penyampaian materinya menggunakan bahasa-bahasa bawah sadar. Metode yang
mampu memunculkan ketertarikan tersendiri pada setiap peserta didik. Untuk itu kita harus mampu
membandingkan kedua metode tersebut. Dengan begitu kita dapat menentukan metode mana yang
tepat digunakan dalam proses pembelajaran sekarang ini.

B. Rumusan masalah
Pada tulisan ini akan dibahas mengenai Perbandingan metode pembelajaran konvensional dan
pembelajaran hypnoteaching. Hal-hal yang akan dibahas antara lain :
1. Apa yang disebut dengan metode pembelajaran konvensional dan pembelajaran hypnoteaching?
2. Bagaimana perbandingan antara metode pembelajaran konvensional dengan pembelajaran
hypnoteaching dan kelebihan dan kelemahan nya masing-masing?
3. Bagaimana Pelaksanaan metode pembelajaran konvensional dan pembelajaran hypnoteaching.
C.Tujuan Penulisan
Dengan penulisan makalah ini ,penulis mempunyai maksud memaparkan Apa itu metode pembelajaran
konvensional dan pembelajaran hypnoteaching beserta kelebihan dan kelemahan nya masing-masing
BAB II
PEMBAHASAN

a.Pengertian Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional adalah salah satu model pembelajaran yang hanya memusatkan pada
metode pembelajaran ceramah. Pada model pembelajaran ini, siswa diharuskan untuk menghafal
materi yang diberikan oleh guru dan tidak untuk menghubungkan materi tersebut dengan keadaan
sekarang (kontekstual).
Freire (1999) memberikan istilah terhadap pengajaran seperti itu sebagai suatu penyelenggaraan
pendidikan ber-“gaya bank” (banking concept of education). Penyelenggaraan pendidikan hanya
dipandang sebagai suatu aktivitas pemberian informasi yang harus “ditelan” oleh siswa, yang wajib
diingat dan dihafal. Proses ini lebih jauh akan berimplikasi pada terjadinya hubungan yang bersifat
antagonisme di antara guru dan siswa. Guru sebagai subjek yang aktif dan siswa sebagai objek yang pasif
dan diperlakukan tidak menjadi bagian dari realita dunia yang diajarkan kepada mereka.
Burrowes (2003) menyampaikan bahwa pembelajaran konvensional menekankan pada resitasi konten,
tanpa memberikan waktu yang cukup kepada siswa untuk merefleksi materi-materi yang
dipresentasikan, menghubungkannya dengan pengetahuan sebelumnya, atau mengaplikasikannya
kepada situasi kehidupan nyata.
pembelajaran konvensional memiliki ciri-ciri, yaitu:
(1) pembelajaran berpusat pada guru,
(2) terjadi passive learning,
(3) interaksi di antara siswa kurang,
(4) tidak ada kelompok-kelompok kooperatif, dan
(5) penilaian bersifat sporadis.
Menurut Brooks & Brooks (1993), penyelenggaraan pembelajaran konvensional lebih menekankan
kepada tujuan pembelajaran berupa penambahan pengetahuan, sehingga belajar dilihat sebagai proses
“meniru” dan siswa dituntut untuk dapat mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari
melalui kuis atau tes terstandar.
Langkah-langkah Model Pembelajaran Konvensional
NO-FASE-PERAN GURU
1-Menyampaikan tujuan-Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran
tersebut
2-Menyajikan informasi-Guru menyajikan informasi kepada siswa secara tahap demi tahap dengan
metode ceramah
3-Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik-Guru mengecek keberhasilan siswa dan
memberikan umpan balik
4-Memberikan kesempatan latihan lanjutan-Guru memberikan tugas tambahan untuk dikerjakan di
rumah.

b.Pelaksanaan Model Pembelajaran Konvesional di Indonesia


Seorang guru dituntut untuk menguasa berbagai model-model pembelajaran, di mana melalui model
pembelajaran yang digunakannya akan dapat memberikan nilai tambah bagi anak didiknya. Selanjutnya
yang tidak kalah pentingnya dari proses pembelajarannya adalah hasil belajar yang optimal atau
maksimal.
Namun, salah satu model pembelajaran yang masih berlaku dan sangat banyak digunakan oleh guru
adalah model pembelajaran konvensional. Model ini sebenarnya sudah tidak layak lagi kita gunakan
sepenuhnya dalam suatu proses pengajaran, dan perlu diubah. Tapi untuk mengubah model
pembelajaran ini sangat susah bagi guru, karena guru harus memiliki kemampuan dan keterampilan
menggunakan model pembelajaran lainnya.
Memang, model pembelajaran kovensional ini tidak serta merta kita tinggal, dan guru mesti melakukan
model konvensional pada setiap pertemuan, setidak-tidak pada awal proses pembelajaran di lakukan.
Atau awal pertama kita memberikan kepada anak didik sebelum kita menggunakan model pembelajaran
yang akan kita gunakan. Menurut Djamarah (1996) metode pembelajaran konvensional adalah metode
pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan metode ceramah, karena sejak dulu metode ini telah
dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan
pembelajaran. Dalam pembelajaran sejarah metode konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi
dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan.
Selanjutnya menurut Roestiyah N.K. (1998) cara mengajar yang paling tradisional dan telah lama
dijalankan dalam sejarah Pendidikan ialah cara mengajar dengan ceramah. Sejak duhulu guru dalam
usaha menularkan pengetahuannya pada siswa, ialah secara lisan atau ceramah. Pembelajaran
konvensional yang dimaksud adalah pembelajaran yang biasa dilakukan oleh para guru. Bahwa,
pembelajaran konvensional (tradisional) pada umumnya memiliki kekhasan tertentu, misalnya lebih
mengutamakan hapalan daripada pengertian, menekankan kepada keterampilan berhitung,
mengutamakan hasil daripada proses, dan pengajaran berpusat pada guru.
Metode mengajar yang lebih banyak digunakan guru dalam pembelajaran konvensional adalah metode
ekspositori. Menurut Ruseffendi (1991) metode ekspositori ini sama dengan cara mengajar yang biasa
(tradisional) kita pakai- pada pengajaran matematika”. Kegiatan selanjutnya guru memberikan contoh
soal dan penyelesaiannya, kemudian memberi soal-soal latihan, dan siswa disuruh mengerjakannya.
Jadi kegiatan guru yang utama adalah menerangkan dan siswa mendengarkan atau mencatat apa yang
disampaikan guru. Subiyanto (1988) menjelaskan bahwa, kelas dengan pembelajaran secara biasa
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : pembelajaran secara klasikal, para siswa tidak mengetahui apa
tujuan mereka belajar pada hari itu.
Guru biasanya mengajar dengan berpedoman pada buku teks atau LKS, dengan mengutamakan metode
ceramah dan kadang-kadang tanya jawab. Tes atau evaluasi yang bersifat sumatif dengan maksud untuk
mengetahui perkembangan jarang dilakukan. Siswa harus mengikuti cara belajar yang dipilih oleh guru,
dengan patuh mempelajari urutan yang ditetapkan guru, dan kurang sekali mendapat kesempatan
untuk menyatakan pendapat.
Banyak kita temukan di lapangan bahwa selama ini pembelajaran matematika didominasi oleh guru
melalui metode ceramah dan ekspositorinya.
Disamping itu, menurutnya guru jarang mengajar siswa untuk menganalisa secara mendalam tentang
suatu konsep dan jarang mendorong siswa untuk menggunakan penalaran logis yang lebih tinggi seperti
kemampuan membuktikan atau memperlihatkan suatu konsep. Hal senada ditemukan oleh Marpaung
(2001) bahwa dalam pembelajaran matematika selama ini siswa hampir tidak pernah dituntut untuk
mencoba strategi dan cara (alternatif) sendiri dalam memecahkan masalah.
Dari uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan pembelajaran
matematika secara biasa adalah suatu kegiatan belajar mengajar yang selama ini kebanyakan dilakukan
oleh guru dimana guru mengajar secara klasikal yang di dalamnya aktivitas guru mendominasi kelas
dengan metode ekspositori, dan siswa hanya menerima saja apa-apa yang disampaikan oleh guru,
begitupun aktivitas siswa untuk menyampaikan pendapat sangat kurang, sehingga siswa menjadi pasif
dalam belajar, dan belajar siswa kurang bermakna karena lebih banyak hapalan.
Jika dilihat dari tiga jalur modus penyampaian pesan pembelajaran, penyelenggaraan pembelajaran
konvensional lebih sering menggunakan modus telling (pemberian informasi), ketimbang modus
demonstrating (memperagakan) dan doing direct performance (memberikan kesempatan untuk
menampilkan unjuk kerja secara langsung). Dalam perkataan lain, guru lebih sering menggunakan
strategi atau metode ceramah dan/atau drill dengan mengikuti urutan materi dalam kurikulum secara
ketat. Guru berasumsi bahwa keberhasilan program pembelajaran dilihat dari ketuntasannya
menyampaikan seluruh materi yag ada dalam kurikulum. Penekanan aktivitas belajar lebih banyak pada
buku teks dan kemampuan mengungkapkan kembali isi buku teks tersebut. Jadi, pembelajaran
konvensional kurang menekankan pada pemberian keterampilan proses (hands-on activities).
Berdasarkan definisi atau ciri-ciri tersebut, penyelenggaraan pembelajaran konvensional merupakan
sebuah praktik yang mekanistik dan diredusir menjadi pemberian informasi. Dalam kondisi ini, guru
memainkan peran yang sangat penting karena mengajar dianggap memindahkan pengetahuan ke orang
yang belajar (pebelajar). Dengan kata lain, penyelenggaraan pembelajaran dianggap sebagai model
transmisi pengetahuan (Tishman, et al., 1993). Dalam model ini, peran guru adalah menyiapkan dan
mentransmisi pengetahuan atau informasi kepada siswa. Sedangkan peran para siswa adalah menerima,
menyimpan, dan melakukan aktivitas-aktivitas lain yang sesuai dengan informasi yang diberikan.

c. Kelemahan dan kelebihan Pembelajaran Konvensional

Pengajaran model ini dipandang efektif atau mempunyai keunggulan, terutama:


a. Berbagi informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain.
b. Menyampaikan informasi dengan cepat.
c. Membangkitkan minat akan informasi.
d. Mengajari siswa yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan.
e. Mudah digunakan dalam proses belajar mengajar.
Namun demikian pendekatan pembelajaran tersebut mempunyai beberapa kelemahan sebagai berikut:
a. Tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik dengan mendengarkan.
b. Sering terjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik dengan apa yang dipelajari.
c. Pendekatan tersebut cenderung tidak memerlukan pemikiran yang kritis.
d. Pendekatan tersebut mengasumsikan bahwa cara belajar siswa itu sama dan tidak bersifat pribadi.
e. Kurang menekankan pada pemberian keterampilan proses (hands-on activities).
f. Pemantauan melalui onservasi dan intervensi sering tidak dilakukan oleh guru pada saat belajar
kelompok sedang berlangsung.
g. Para siswa tidak mengetahui apa tujuan mereka belajar pada hari itu.
h. Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas.
i. Daya serapnya rendah dan cepat hilang karena bersifat menghafal.

II. a Metode Pembelajaran Hypnoteaching


Metode Pembelajaran hypnoteaching Yaitu menyajikan materi pelajaran dengan menggunakan bahasa-
bahasa bawah sadar. Sehingga perhatian siswa akan tersedot secara penuh pada materi. Siswa akan
memperhatikan dan enggan untuk berpaling.
b. Langkah-langkah melakukan pembelajaran hypnoteaching
Untuk melakukan hypnoteaching, hanya diperlukan langkah-langkah sederhana.
Berikut ini adalah langkah-langkah dasar yang wajib dilakukan agar dapat menguasai jurus menjadi guru
yang menguasai hypnoteaching. Langkah-langkah tersebut adalah :

1. Niat dan motivasi dalam diri.


Kesuksesan seseorang tergantung pada niat seseorang untuk bersusah payah dan bekerja cerdas untuk
mencapai kesuksesan tersebut. Niat yang besar akan memunculkan motivasi yang tinggi, serta
komitmen untuk concern dan survive pada bidang yang di tekuni. Mari, lakukan sesuatu yang kita yakin
akan dapat mengembangkan kualitas diri kita. Termasuk hypnoteaching. Abaikan suara-suara dan
perasaan-perasaan yang menghambat untuk maju.

2. Pacing.
Langkah kedua ini adalah langkah yang sangat penting. Pacing berarti menyamakan posisi, gerak tubuh,
bahasa, serta gelombang otak dengan orang lain, atau siswa.
Prinsip dasar disini adalah “manusia cenderung, atau lebih suka berkumpul / berinteraksi dengan
sejenisnya / memiliki banyak kesamaan”. Secara alami dan naluriah, setiap orang pasti akan merasa
nyaman dan senang untuk berkumpul dengan orang lain yang memiliki kesamaan dengannya.Sehingga
orang-orang dalam golongan itu akan merasa nyaman berada di dalamnya. Dengan kenyamanan yang
bersumber dari kesamaan gelombang otak ini, maka setiap pesan yang disampaikan dari orang satu
pada orang-orang yang lain akan dapat diterima dan dipahami dengan sangat baik.
Cara-cara melakukan pacing pada siswa:
Bayangkan kita adalah seusia siswa-siswa kita. Disamping juga melakukan aktivitas dan merasakan hal-
hal yang dialami siswa-siswa kita pada masa sekarang. Bukan pada saat kita masih sekolah dulu.Gunakan
bahasa yang sesuai dengan bahasa yang sering digunakan oleh siswa-siswa kita. Kalau perlu gunakan
bahasa gaul yang sedang trend di kalangan siswa-siswa.Lakukan gerakan-gerakan dan mimik wajah yang
sesuai dengan tema bahasan kita.
Sangkutkan tema pelajaran yang kita bawakan dengan tema-tema yang sedang trend di kalangan siswa-
siswa kita.Selalu update pengetahuan kita tentang tema, bahasa hingga gossip terbaru yang sedang
trend di kalangan siswa.
Dengan melakukan hal-hal tersebut, maka tanpa sadar gelombang pikiran kita telah sama dengan para
siswa. Akibatnya adalah siswa-siswa kita merasa nyaman untuk bertemu dengan kita.
3. Leading.
Leading berarti memimpin atau mengarahkan setelah proses pacing kita lakukan. Setelah melakukan
pacing, maka siswa akan merasa nyaman dengan kita. Pada saat itulah hampir setiap apapun yang kita
ucapkan atau tugaskan pada siswa , maka siswa akan melakukannya dengan suka rela dan bahagia.
Sesulit apapun materinya, maka pikiran bawah sadar siswa akan menangkap materi pelajaran kita
adalah hal yang mudah, maka sesulit apapun soal ujian yang diujikan, akan ikut menjadi mudah, dan
siswa akan dapat meraih prestasi belajar yang gemilang.
4. Gunakan kata positif.
Langkah berikutnya adalah langkah pendukung dalam melakukan pacing dan leading. Penggunaan kata
positif ini sesuai dengan cara kerja pikiran bawah sadar yang tidak mau menerima kata negative. Yang
terjadi pada pikiran bawah sadar manusia, yaitu tidak menerima kata negative.
5. Berikan pujian.
Pujian merupakan reward peningkatan harga diri seseorang. Pujian merupakan salah satu cara untuk
membentuk konsep diri seseorang. Maka berikanlah pujian dengan tulus pada siswa. Dengan pujian,
seseorang akan terdorong untuk melakukan yang lebih dari sebelumnya.

6. Modeling.
Modeling adalah proses memberi tauladan melalui ucapan dan perilaku yang konsisten. Hal ini sangat
perlu dan menjadi salah satu kunci hypnoteaching. Setelah siswa menjadi nyaman dengan kita. Maka
perlu pula kepercayaan (trust) siswa pada kita dimantapkan dengan perilaku kita yang konsisten dengan
ucapan dan ajaran kita. Sehingga kita selalu menjadi figure yang dipercaya.
c. Kelebihan dan kekurangan dari pembelajaran hypnoteaching:
Kelebihan dari pembelajaran hypnoteaching:
a. Proses belajar mengajar yang lebih dinamis dan ada interaksi yang baik antara guru dan siswa
b. Siswa dapat berkembang sesuai dengan bakat dan minatnya
c. Proses pemberian ketrampilan banyak diberikan disini
d. Proses pembelajarannya lebih beragam
e. Siswa dapat dengan mudah menguasai materi, karna termotivasi lebih untuk belajar
f. Pembelajaran bersifat aktif
g. Pemantauan terhadap peserta didik lebih intensif
h. Siswa dibiarkan berimajinasi dan berfikir kreatif
i. Siswa akan melakukan pembelajaran dengan senang hati
j. Daya serapnya lebih cepat dan lebih bertahan lama, karena siswa tidak menghafal
k. Perhatian siswa akan tersedot penuh terhadap materi
Kekurangan dari pembelajaran hypnoteaching:
1. Metode ini belum banyak digunakan oleh para pengajara di Indonesia
2. Banyaknya siswa yang ada disebuah kelas, menyebabkan kurangnya waktu dari guru untuk memberi
perhatian satu per satu peserta didiknya.
3. Perlu pembelajaran agar guru bisa melakukan Hypnoteaching
4. Tidak semua pengajar menguasai metode ini.
5. Kurangnya sarana dan prasarana yang ada disekolah

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Seorang guru dituntut untuk dapat menguasai berbagai model-model pembelajaran. Beliau harus
mampu menentukan metode mana yang tepat untuk digunakannya dalam proses pembelajaran.
Sehingga peserta didik dapat merasa nyaman dalam mengikuti proses belajar. Dengan demikian akan
dapat menghasilkan output yang berprestasi dan berkualitas tinggi.
Salah satu metode yang sampai saat ini masih banyak digunakan olae guru dalam mengajar yaitu
metode pembelajaran konvensional. Metode yang dalam penyampaian materinya dengan cara
ceramah. Sehingga guru lebih bersifat aktif, sedangkan peserta didik hanya duduk dan mendengarkan
penjelasan guru. Daya serap materinya pun tidak bertahan lama, karena hanya mengandalkan aspek
pendengaran (audio). Metode lain yang sedang marak saat ini yaitu metode pembelajaran
hypnoteaching. Metode dimana penyampaian materi menggunakan bahasa-bahasa bawah sadar.
Metode yang mampu memunculkan ketertarikan tersendiri pada setiap peserta didik. Setelah peserta
didik terfokus hanya pada guru, maka dengan mudah seorang guru itu merasuki pikiran peserta didik
untuk menyampaikan meteri-materi pembelajaran. Tetapi untuk dapat melakukan metode
hypnoteaching seorang guru harus mengikuti langkah-langkah yang telah disarankan.
Dari penjelasan di atas dapat kita katakan bahwa hipnoterapi ternyata bisa memberikan efek positif
pada diri kita. Melalui hipnoterapi, seseorang bisa mensugesti dirinya untuk lebih bersemangat
menjalani hidup ini guna meraih apa yang diinginkan,
DAFTAR PUSTAKA

http://xpresiriau.com
http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASHacea/7c4d72ac.dir/doc.pdf
http://www.kompasiana.com
http://mediasugesti.blogspot.com/2008/11/hypnoteaching-2.html

Anda mungkin juga menyukai