Prinsip belajar terpadu ini sejalan dengan empat pilar pendidikan yang
digariskan UNESCO dalam kegiatan pembelajaran. Empat pilar itu adalah
”belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk berbuat (learning to
do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learning to be), dan belajar hidup dalam
kebersamaan (Learning to live together), (Depdiknas, 2002).
Sedangkan menurut Purwanto (1999:17) Problem solving adalah suatu proses dengan
menggunakan strategi, cara, atau teknik tertentu untuk menghadapi situasi baru, agar
keadaan tersebut dapat dilalui sesuai keinginan yang ditetapkan.Selain itu Zoler (Sutaji,
2002:17) menyatakan bahwa pengajaran dimulai dengan pertanyaan – pertanyaan yang
mengarahkan kepada konsep, prinsip, dan hukum, kemudian dilanjutkan dengan
kegiatan memecahkan masalah disebut sebagai pengajaran yang menerapkan model
pemecahan masalah.
Metode Problem Solving menurut Suprijono (2012:46) ialah pola yang digunakan
sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial.
Sedangkan, Arends (Suprijono, 2012:46) menyatakan model pembelajaran mengacu
pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan
pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran,
dan pengelolaan kelas.
2. Menelaah masalah
Kemampuan yang diperlukan adalah : menggunakan pengetahuan untuk memperinci,
menganalisis masalah dari berbagai sudut.
3. Merumuskan hipotesis
Kemampuan yang diperlukan adalah : berimajinasi dan menghayati ruang lingkup,
sebab akibat dan alternatif penyelesaian.
5. Pembuktian hipotesis
Kemampuan yang diperlukan adalah : kecakapan menelaah dan membahas data,
kecakapan menghubung-hubungkan dan menghitung, serta keterampilan mengambil
keputusan dan kesimpulan.
Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman
dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan
Ramadhani (2012) menyatakan bahwa setiap model pembelajaran mengarahkan kita ke dalam
mendesain pembelajaran untuk membantu siswa sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran
tercapai. Salah satu model pembelajaran inovatif yang mampu memfasilitasi siswa dalam
strategi pembelajaran pertama kali diperkenalkan pada akhir Tahun 1960-an ketika Robert Karplus dan
rekan-rekannya mengimplemen-tasikannya dalam kurikulum sains (Qarareh, 2012). Model ini didesain
khusus untuk Science Curriculum Improvement Study (SCIS) dan memberikan hasil yang baik dalam
pengajaran sains/IPA. Pada awalnya model ini terdiri atas tiga fase pembelajaran,
yaitu eksploration, invention, dandiscovery. Pada Tahun 1980-an, Lawson kemudian memodifikasi istilah-
istilah tersebut menjadi exploration,concept introduction, dan concept application. Pada Tahun 1993, the
Biological Science Curriculum Study(BSCS) yang dipimpin oleh Rodger Bybee mengembangkan learning
cycle yang disebutnya sebagai metode kontruktivisme menjadi model pembelajaran siklus belajar
5E (learning cycle 5E) (Bybee et al., 2006; Liu et al.,2009; Ramadhani, 2012; Tuna & Kacar, 2013).
Siklus belajar 5E (learning cycle 5E) adalah salah satu model konstruktivis lengkap dalam kasus
pembelajaran berbasis riset atau brainstorming yang digunakan di dalam kelas (Campbell dalam Tuna &
Kacar, 2013). Learning cycle 5E berpusat pada siswa (student centered) dengan kegiatan yang
memberikan dasar untuk observasi, pengumpulan data, analisis tentang kegiatan, peristiwa, dan
fenomena (Haribhai & Dhirenkumar, 2012). Learning cycle 5E merupakan rangkaian tahap-tahap
kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat menguasai kompetensi-
kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif (Fajaroh & Dasna,
2008; Wibowo et al., 2010). Model pembelajaran siklus belajar 5E (learning cycle 5E) memotivasi siswa
untuk masuk dalam topik melalui beberapa tahap pembelajaran dengan tujuan untuk mengeksplorasi
subjek, memberikan definisi pada pengalaman mereka, mendapatkan informasi lebih rinci tentang
pembelajaran mereka, dan untuk mengevaluasinya (Wilder & Shuttleworth dalam Hagerman, 2012; Tuna
Fajaroh dan Dasna (2007) menyatakan bahwa model pembelajaran learning cycle 5E patut
dikedepankan karena model belajar ini sesuai dengan teori belajar Piaget yang berbasis kontruktivisme.
Piaget menyatakan bahwa belajar merupakan pengembangan aspek kognitif yaitu struktur, isi, dan
fungsi. Struktur intelektual merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang dimiliki individu untuk
Siklus belajar 5E (learning cycle 5E) adalah model pembelajaran konstruktivis yang
al., 2006; Hagerman, 2012; Liuet al., 2009). Berbeda dengan metode pengajaran tradisional yang
pendekatan hands-on di mana siswa dapat mengeksplorasi konsep baru, mengevaluasi kembali
pengalaman masa lalu mereka, dan mengasimilasi atau mengakomodasi pengalaman baru dan konsep ke
Bagi Piaget, adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Apabila
proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi pada lingkungannya, maka terjadilah
struktur yang ada mengalami perubahan atau struktur baru timbul (Dahar, 1996). Berdasarkan proses
Sudojo (dalam Fajaroh & Dasna, 2007) menyatakan bahwa implementasi learning cycle 5E dalam
1) Siswa belajar secara aktif, siswa mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja dan berpikir,
2) Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa, informasi baru yang dimiliki siswa
3) Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan pemecahan masalah.
siswa serta bertujuan meningkatkan pemahaman konsep siswa. Oleh karena itu, pada setiap fase-fase
pembelajaran guru dituntut untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang beranjak dari isu-isu sains
seimbang) pada diri siswa serta memberi kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dengan orang lain
Sesuai dengan namanya, model ini memiliki lima fase/tahap yang setiap fasenya dimulai dengan
huruf E sebagai berikut (Bybee et al., 2006; Temel et al., 2013; Tuna & kacar, 2013; Utari et al., 2013):
1) Engagement (engage/keterlibatan) merupakan fase saat guru mencoba memusatkan perhatian siswa
dan mengikutsertakan siswa ke dalam sebuah konsep baru dengan cara memberikan pertanyaan
motivasi, memberikan gambaran tentang materi yang akan dipelajari, demonstrasi, atau aktivitas lain
yang digunakan untuk membuka pengetahuan siswa dan mengembangkan rasa keingintahuan
siswa.Pada fase ini guru menggali pengetahuan awal siswa untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan
pikiran siswa mengenai konsep yang akan dipelajari. Hal terpenting dalam fase ini adalah guru
menghindari mendefinisikan dan membuat penjelasan tentang konsep yang akan dibahas.
2) Exploration (eksplore/penjelajahan) merupakan fase kedua yang sering diwujudkan dalam kegiatan
laboratorium (praktikum) dan diskusi yang dilakukan secara berkelompok. Fase ini memberikan
pengalaman yang nyata bagi siswa. Siswa diajak terlibat secara langsung pada fenomena atau situasi
yang mereka selidiki. Siswa saat berada di dalam fase ini merancang dan melakukan eksperimen atau
memecahkan masalah yang diberikan oleh guru. Siswa dilibatkan secara fisik dan mental. Sebagai hasil
keterlibatan mental dan fisik mereka dalam kegiatan tersebut, para siswa akan mampu membentuk
hubungan, mengamati pola, mengidentifikasi variabel, dan bertanya. Guru berperan sebagai fasilitator
atau pemandu yang mengarahkan siswa agar mampu mengeksplorasi dan menemukan jawaban atas
pertanyaan yang diberikan. Guru hanya harus membimbing siswa, tidak berpartisipasi sepenuhnya
kepada karya siswa. Hal terpenting ketika guru membimbing adalah jika melihat kesalahan
siswa maka tidak boleh langsung memperbaikinya, tetapi harus memberikan beberapa petunjuk atau
menunjukkan beberapa cara agar siswa mengoreksi sendiri. Sementara siswa berinteraksi satu sama
3) Explanation (explain/menjelaskan) merupakan fase saat perhatian siswa difokuskan pada aspek tertentu
dari pengalaman mereka pada fase-fase sebelumnya. Siswa diberikan kesempatan untukmenunjukkan
pemahaman konsep mereka, keterampilan proses, atau perilaku. Kata explanationberarti tindakan atau
proses di mana konsep, proses, atau keterampilan menjadi jelas dan dapat dipahami. Siswa melakukan
diskusi kelompok untuk menganalisis data/infor-masi yang dikumpulkan dari kegiatan pada fase
sebelumnya. Guru membimbing siswa untuk menyampaikan hasil kegiatan yang telah mereka lakukan
dengan menggunakan ide dan kata-kata mereka sendiri, sehingga diharapkan pemahaman konsep
muncul dari pengalaman mereka setelah melakukan kegiatan. Guru memberikan definisi formal dan
penjelasan ilmiah. Selanjutnya, dengan memberi-kan penjelasan tingkat pengetahuan dasar kepada
siswa, guru bila memungkinkan agar membantu siswa untuk menyatukan bersama-sama pengalaman
mereka, untuk menjelaskan hasil mereka, dan untuk membentuk konsep-konsep baru. Tujuan tahap ini
adalah untuk memperbaiki kesalahan dalam temuan siswa sebelum tahap berikut-nya.
4) Elaboration (elaborate/elaborasi) merupakan fase yang dapat diang-gap sebagai perpanjangan langkah
penelitian karena adanya masalah suplemen (penguat). Fase ini memfasilitasi siswa untuk dapat
menerapkan konsep yang telah mereka peroleh berdasarkan kegiatan yang telah mereka lakukan ke
dalam situasi atau masalah yang baru. Masalah baru tersebut memiliki penyelesaian yang identik atau
mirip dengan apa yang dibahas sebelumnya. Siswa menggunakan konsep yang baru dipelajari dalam
situasi berbeda atau mengulangi beberapa kali aplikasi yang berhubungan dengan konsep yang dipelajari
agar menjadi masukan ke dalam memori jangka panjangnya dan menjadi permanen. Selama fase
elaborasi, siswa dapat dilibatkan kembali dalam kegiatan diskusi dan pencarian informasi. Siswa
5) Evaluation (evaluate/menilai) merupakan fase saat guru mencari tahu kualitas dan kuantitas
ketercapaian pemahaman siswa terhadap topik yang telah mereka pelajari. Fase ini dapat diwujudkan
dalam metode formal atau informal. Guru mengajukan pertanyaan dan membuat siswa merespon secara
lisan atau tulisan. Selain itu, siswa diminta untuk mengaitkan apa yang telah mereka pelajari
dengan situasi di kehidupan nyata. Fase ini adalah fase di mana siswa dapat menunjukkan sikap mereka
tentang pembelajaran dan dapat merubah gaya pemikiran mereka atau perilaku. Evaluasi informal dapat
terjadi pada awal dan seluruh urutan model siklus belajar 5E. Guru juga dapat menyelesaikan evaluasi
formal setelah fase elaborasi. Evaluasi bisa dilakukan secara formatif maupun sumatif dan berfokus pada
kemampuan siswa menggunakan informasi yang telah mereka peroleh selama kegiatan pembelajaran.
Evaluasi engagement berkisar pada pra-penilaian. Artinya, mencari tahu apa yang sudah
diketahui siswa tentang topik yang akan dibahas dengan mengajukan pertanyaan dan membuat siswa
merespon secara lisan atau tulisan. Dalam exploration, evaluasi berfokus pada proses. Artinya, pada
proses pengumpulan data oleh siswa, bukan produk dari pengumpulan data. Evaluasi explain berfokus
pada seberapa baik siswa dapat menggunakan informasi yang mereka kumpulkan dan apa yang sudah
mereka tahu tentang ide-ide baru. Evaluasi elaborationdapat disamakan dengan tes di akhir pelajaran
untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman siswa terkait konsep yang telah dipelajari.
Fase engagement, exploration, explanation, elaboration, dan evaluation tersebut saling
berhubungan dan saling mendukung satu sama lain. Setiap tahap (fase) memiliki fungsi spesifik dan
memberikan kontribusi bagi guru dan siswa untuk meningkatkan pemahaman terhadap pengetahuan
ilmiah dan teknologi, sikap, serta keterampilan yang lebih baik (Bybee et al., 2006).
Secara garis besar peran siswa pada setiap tahapan learning cycle 5E model dapat disajikan pada Gambar
di bawah
Gambar 1 Peran Siswa pada Setiap Tahapan LC5E
Kelima tahapan model siklus belajar 5E dapat digambarkan seperti pada Gambar berikut
(diadaptasi dari Ergin, 2012; Tuna & Kacar, 2013; Wibowo et al., 2010)
Adapun sintaks model pembelajaran siklus belajar 5E yang diadaptasi dari Bybee et
al (2006), Lorsbash(dalam Soomro et al., 2010), Uzunoz (2011), dan Suastra (2009) disajikan pada Tabel
1.
Berdasarkan pada sintaks model learning cycle 5E, proses pembelajaran yang dilakukan bukan
lagi sekadar transfer ilmu pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan proses perolehan konsep yang
pembelajaran. Model learning cycle 5E menekankan kepada peran siswa sebagai pusat pembelajaran
dan sebagai knowledge self-making (Budprom et al., 2010). Qarareh (2012) menyatakan
model learning cycle 5E mampu menciptakan sebuah pembelajaran bermakna yang dapat meningkat-
kan prestasi belajar siswa, motivasi belajar siswa, serta membantu mereka untuk belajar secara
aktif.Soomro et al (2010) juga menyatakan model learning cycle 5E efektif digunakan untuk
meningkatkan pemahaman dan prestasi belajar siswa, membantu siswa menikmati sains, mengerti
Menurut Cohen dan Clough (dalam Wibowo et al., 2010) penerapan model learning
1) Meningkatkan motivasi belajar karena pebelajar (siswa) dilibatkan secara aktif dalam proses
pembelajaran.
Adapun kekurangan penerapan model learning cycle yang harus selalu diantisipasi adalah
sebagai berikut:
1) Efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkah-langkah pembelajaran.
2) Menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran.
3) Memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi.
4) Memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana dan melaksanakan
pembelajaran.
Ergin (2012) menyatakan bahwa kaitannya dengan pelajaran fisika, model learning cycle 5E dapat
mengakibatkan:
Joyce (dalam Trianto, 2007:5) menyatakan model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau pola
yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas dengan menentukan
perangkat-perangkat pembelajaran untuk membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan. Joyce dan Weil (dalam Prastowo, 2013:69) menyatakan model pembelajaran adalah suatu
rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum dan pembelajaran jangka
panjang, merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di dalam atau di luar
kelas.
Suprijono (2009:46) menyatakan bahwa model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola
yang digunakan sebagai pedoman dalam me-rencanakan pembelajaran di kelas atau tutorial. Arends
(dalam Suprijono, 2012:46) menyatakan bahwa model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang
akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap, dan pengelolaan
kelas. Model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Model pembelajaran memungkinkan guru membantu siswa mendapatkan informasi, ide, ketrampilan,
cara berpikir, dan mengekspresikan ide. Model pembelajaran berfungsi pula sebagai pedoman bagi para
perancang pembelajaran dan guru dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dimpulkan bahwa model pembelajaran adalah suatu pola yang
dipilih guru sebagai pedoman pelaksanaan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Apabila
dalam proses pembelajaran guru menggunakan model pembelajaran yang inovatif maka proses
pembelajaran akan berlangsung secara efektif sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
Shoimin (2014:203) menyatakan TGT adalah model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan,
melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai
tutor sebaya dan mengandung unsur permainan danreinforcement.
Rusman (2014:224) mendefinisikan TGT adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang
menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan 5 sampai 6 orang siswa
yang memiliki kemampuan, jenis kelamin dan suku atau ras yang berbeda.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Teams Games Tournament
(TGT) adalah suatu model pembelajaran kooperatif yang berisi turnamen akademik dengan melibatkan
aktivitas seluruh siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin dan suku atau ras yang berbeda.
1. Penyajian Kelas
Awal pembelajaran, guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan
pengajaran langsung atau dengan ceramah, diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas, siswa
harus benar-benar memerhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru karena akan
membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan game karena skor game akan
menentukan skor kelompok.
2. Kelompok (teams)
Kelompok biasanya terdiri atas 4 sampai 5 orang siswa yang anggotanya heterogen dilihat dari prestasi
akademik, jenis kelamin, dan ras atau etnik. Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi
bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja
dengan baik dan optimal pada saat game.
3. Games
Games terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat
siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok. Kebanyakn game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan
sederhana bernomor. Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang sesuai
dengan nomor itu. Siswa yang menjawab benar akan mendapat skor. Skor ini yang nantinya dikumpulkan
siswa untuk turnamen mingguan.
4. Turnament
Turnamen dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap unit setelah guru melakukan presentasi kelas
dan kelompok sudah mengerjakan lembar kerja. Turnamen pertama guru membagi siswa ke dalam
beberapa meja turnmen. Tiga siswa tertinggi prestasinya
1. Class Presentation
Guru menyampaikan materi, tujuan pembelajaran, pokok materi, dan penjelasan singkat LKS dengan
pengajaran langsung atau dengan ceramah. Siswa harus benar-benar memahami materi untuk
membantu mereka dalam kerja kelompok maupun game.
2. Teams
Guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok dengan anggota antara 4 sampai 5 orang berdasarkan
kriteria kemampuan dari ulangan harian, jenis kelamin, etnik, dan ras. Kelompok ini bertugas
mempelajari lembar kerja. Kegiatannya berupa mendiskusikan masalah-masalah, membandingkan
jawaban, memeriksa, dan memperbaiki kesalahan-kesalahan konsep temannya jika teman satu
kelompok melakukan kesalahan.
3. Games
Dimainkan pada meja turnamen oleh 3 orang siswa yang mewakili tim atau kelompoknya masing-
masing. Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang sesuai dengan nomor
itu. Siswa yang menjawab benar akan mendapat skor. Skor ini yang nantinya dikumpulkan untuk
turnamen atau lomba mingguan.
4. Tournament
Dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap unit setelah guru melakukan presentasi kelas dan
kelompok sudah mengerjakan LKS. Siswa dibagi ke dalam beberapa meja turnamen. Tiga peserta didik
tertinggi prestasinya dikelompokkan pada meja I, tiga peserta didik selanjutnya pada meja II, dan
seterusnya.
6. Team Recognition
Guru mengumumkan kelompok yang menang, masing-masing kelompok akan mendapat hadiah apabila
rata-rata skor memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Kelompok yang mendapat julukan “Super
Team” jika rata-rata skor 50 atau lebih, “Great Team” apabila rata-rata mencapai 50-40 dan “Good
Team” apabila rata-ratanya 40 ke bawah. Hal ini dapat menyenangkan para peserta didik atas prestasi
yang telah mereka buat.
Model TGT tidak hanya membuat siswa yang cerdas lebih menonjol dalam
pembelajaran, tetapi siswa yang berkemampuan lebih rendah juga ikut aktif dan
mempunyai peranan penting dalam kelompoknya.
Model pembelajaran TGT, akan menumbuhkan rasa kebersamaan dan saling
menghargai sesama anggota keompoknya.
Model pembelajaran TGT, membuat siswa lebih bersemangat dalam mengikuti
pelajaran. Karena dalam pembelajaran ini, guru menyajikan sebuah penghargaan
pada siswa atau kelompok terbaik.
Model pembelajaran ini, membuat siswa menjadi lebih senang dalam mengikuti pelajaran
karena ada kegiatan permainan berupa turnamen.
Berdasarkan beberapa kekurangan dari model Teams Games Tournament tersebut dapat
diminimalisir dengan cara guru benar-benar memaksimalkan waktu belajar yang tersedia semaksimal
mungkin, pembelajaran menggunakan model TGT ini digunakan pada mata pelajaran PKn materi
Globalisasi karena materinya luas dapat dibuat menjadi games dantournament sehingga siswa
mudah menerima pelajaran tersebut, dan guru sebagai wali kelas sudah mengetahui kemampuan
akademis siswanya dengan baik.
Dari beberapa kelebihan model pembelajaran Teams Games Tournament tersebut, dapat
disimpulkan bahwa model tersebut baik untuk diterapkan pada pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan pada materi Globalisasi untuk meningkatkan semangat dan kerjasama antar siswa
sehingga materi pelajaran akan mudah diterima atau dimengerti.