Anda di halaman 1dari 26

Model Pembelajaran CIRC (Cooperative Integrated Reading and Composition)

A. Pengertian Model Pembelajaran CIRC


Terjemahan bebas dari CIRC adalah komposisi terpadu membaca dan menulis
secara koperatif –kelompok.
Model pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition-CIRC
(Kooperatif Terpadu
Membaca dan Menulis) merupakan model pembelajaran khusus Mata pelajaran
Bahasa Indonesia dalam rangka membaca dan menemukan ide pokok, pokok
pikiran atau,tema sebuah wacana/kliping.
Model pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) ini
dapat dikategorikan pembelajaran terpadu.
Menurut Fogarty (1991), berdasarkan sifat keterpaduannya, pembelajaran
terpadu dapat dikelompokkan menjadi:
1) model dalam satu disiplin ilmu yang meliputi model connected
(keterhubungan) dan model nested (terangkai);
2) model antar bidang studi yang meliputi model sequenced (urutan), model
shared (perpaduan), model webbed (jaring laba-laba), model theaded (bergalur)
dan model integreted (terpadu);
3) model dalam lintas siswa.

Dalam pembelajaran CIRC atau pembelajaran terpadu setiap siswa bertanggung


jawab terhadap tugas kelompok. Setiap anggota kelompok saling mengeluarkan
ide-ide untuk memahami suatu konsep dan menyelesaikan tugas (task), sehingga
terbentuk pemahaman yang dan pengalaman belajar yang lama. Model
pembelajaran ini terus mengalami perkembangan mulai dari tingkat Sekolah
Dasar (SD) hingga sekolah menengah. Proses pembelajaran ini mendidik siswa
berinteraksi sosial dengan lingkungan.

Prinsip belajar terpadu ini sejalan dengan empat pilar pendidikan yang
digariskan UNESCO dalam kegiatan pembelajaran. Empat pilar itu adalah
”belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk berbuat (learning to
do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learning to be), dan belajar hidup dalam
kebersamaan (Learning to live together), (Depdiknas, 2002).

B. Langkah – Langkah Pembelajaran CIRC


Langkah-langkah pembelajarannya sebagai berikut :
1. Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang siswa secara heterogen.
2. Guru memberikan wacana/kliping sesuai dengan topik pembelajaran.
3. Siswa bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide pokok dan
memberi tanggapan terhadap wacana/kliping dan ditulis pada lembar kertas.
4. Mempresentasikan/membacakan hasil kelompok.
5. Guru dan siswa membuat kesimpulan bersama.
6. Penutup.
Dari setiap fase tersebut di atas dapat kita perhatikan dengan jelas sebagai
berikut:
a. Fase Pertama, Pengenalan konsep. Fase ini guru mulai mengenalkan tentang
suatu konsep atau istilah baru yang mengacu pada hasil penemuan selama
eksplorasi. Pengenalan bisa didapat dari keterangan guru, buku paket, atau
media lainnya.
b. Fase Kedua, Eksplorasi dan aplikasi. Fase ini memberikan peluang pada siswa
untuk mengungkap pengetahuan awalnya, mengembangkan pengetahuan baru,
dan menjelaskan fenomena yang mereka alami dengan bimbingan guru minimal.
Hal ini menyebabkan terjadinya konflik kognitif pada diri mereka dan berusaha
melakukan pengujian dan berdiskusi untuk menjelaskan hasil observasinya. Pada
dasarnya, tujuan fase ini untuk membangkitkan minat, rasa ingin tahu serta
menerapkan konsepsi awal siswa terhadap kegiatan pembelajaran dengan
memulai dari hal yang kongkrit. Selama proses ini siswa belajar melalui
tindakan-tindakan mereka sendiri dan reaksi-reaksi dalam situasi baru yang
masih berhubungan, juga terbukti menjadi sangat efektif untuk menggiring siswa
merancang eksperimen, demonstrasi untuk diujikannya.
c. Fase Ketiga, Publikasi. Pada fase ini Siswa mampu mengkomunikasikan hasil
temuan-temuan, membuktikan, memperagakan tentang materi yang dibahas.
Penemuan itu dapat bersifat sebagai sesuatu yang baru atau sekedar
membuktikan hasil pengamatannya.. Siswa dapat memberikan pembuktian
terkaan gagasan-gagasan barunya untuk diketahui oleh teman-teman sekelasnya.
Siswa siap menerima kritikan, saran atau sebaliknya saling memperkuat
argumen.
C. Kelebihan Model Pembelajaran CIRC
Kelebihan dari model pembelajaran terpadu atau (CIRC) antara lain:
1) Pengalaman dan kegiatan belajar anak didik akan selalu relevan dengan
tingkat perkembangan anak;
2) kegiatan yang dipilih sesuai dengan dan bertolak dari minat siswa dan
kebutuhan anak;
3) seluruh kegiatan belajar lebih bermakna bagi anak didik sehingga hasil belajar
anak didik akan dapat bertahan lebih lama;
4) pembelajaran terpadu dapat menumbuh-kembangkan keterampilan berpikir
anak;
5) pembelajaran terpadu menyajikan kegiatan yang bersifat pragmatis
(bermanfaat) sesuai dengan permasalahan yang sering ditemuai dalam
lingkungan anak;
6) pembelajaran terpadu dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa kearah
belajar yang dinamis, optimal dan tepat guna;
7) menumbuhkembangkan interaksi sosial anak seperti kerjasama, toleransi,
komunikasi dan respek terhadap gagasan orang lain;
8) membangkitkan motivasi belajar, memperluas wawasan dan aspirasi guru
dalam mengajar (Saifulloh, 2003).
D. Kekurangan Model Pembelajaran CIRC
Kerurangan dari model pembelajaran CIRC tersebut antara lain:
Dalam model pembelajaran ini hanya dapat dipakai untuk mata pelajaran yang
menggunakan bahasa, sehingga model ini tidak dapat dipakai untuk mata
pelajaran seperti: matematika dan mata pelajaran lain yang menggunakan
prinsip menghitung.
E. Kesimpulan
Model pembelajaran ini sangat bagus dipakai karena dengan menggunakan
model ini siswa dapat memahami secara langsung peristiwa yang terjadi di
dalam kehidupan dengan materi yang dijelaskan.
Pustaka :
Ngalimun, 2012. Strategi dan Model Pembelajaran. Banjarmasin. Scripta
Cendekia.
Pengertian Model Pembelajaran Problem Solving
Model pembelajaran problem solving adalah cara mengajar yang dilakukan dengan cara
melatih para murid menghadapi berbagai masalah untuk dipecahkan sendiri atau
secara bersama – sama (Alipandie, 1984:105). Menurut N.Sudirman (1987:146) model
pembelajaran problem solving adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan
menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisis dan disintesis
dalam usaha untuk mencari pemecahan atau jawabannya oleh siswa.

Sirkulasi Model Pembelajaran Problem Solving

Sedangkan menurut Purwanto (1999:17) Problem solving adalah suatu proses dengan
menggunakan strategi, cara, atau teknik tertentu untuk menghadapi situasi baru, agar
keadaan tersebut dapat dilalui sesuai keinginan yang ditetapkan.Selain itu Zoler (Sutaji,
2002:17) menyatakan bahwa pengajaran dimulai dengan pertanyaan – pertanyaan yang
mengarahkan kepada konsep, prinsip, dan hukum, kemudian dilanjutkan dengan
kegiatan memecahkan masalah disebut sebagai pengajaran yang menerapkan model
pemecahan masalah.

Sedangkan menurut Gulo (2002:111) menyatakan bahwa problem solving adalah


metode yang mengajarkan penyelesaian masalah dengan memberikan penekanan pada
terselesaikannya suatu masalah secara menalar. Menurut Syaiful Bahri Djamara (2006 :
103) bahwa, Model pembelajaran problem solving (metode pemecahan masalah) bukan
hanya sekedar metode mengajar tetapi juga merupakan suatu metode berfikir, sebab
dalam problem solving dapat menggunakan metode lain yang dimulai dari mencari data
sampai kepada menarik kesimpulan.

Hidayati (2008), berpendapat bahwa model pembelajaran Problem Solving (metode


pemecahan masalah) didasarkan pada kesadaran terhadap kenyataan, bahwa mengajar
bukanlah sekedar berpidato dan mengkomunikasikan ilmu pengetahuan kepada siswa.
Tetapi, mengajar adalah untuk meneliti dengan seksama, mencari, menyelidiki,
memikirkan, menganalisis, dan sampai menemukan.
Senada dengan pendapat diatas Sanjaya (2006:214) menyatakan pada metode
pemecahan masalah, materi pelajaran tidak terbatas pada buku saja tetapi juga
bersumber dari peristiwa – peristiwa tertentu sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
Model Pembelajaran Problem Solving merupakan metode dalam kegiatan pembelajaran
dengan melatih siswa menghadapi berbagai masalah, baik masalah pribadi maupun
masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama.sama. Orientasi
pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah
pemecahan masalah. (Hamdani, 2011:84).
Crow dan Crow (Hamdani, 2011:84) menyatakan model pembelajaran pemecahan
masalah / Problem Solving adalah suatu cara menyajikan pelajaran dengan mendorong
siswa untuk mencari dan memecahkan suatu masalah atau persoalan dalam rangka
pencapaian tujuan pengajaran.

Metode Problem Solving menurut Suprijono (2012:46) ialah pola yang digunakan
sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial.
Sedangkan, Arends (Suprijono, 2012:46) menyatakan model pembelajaran mengacu
pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan
pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran,
dan pengelolaan kelas.

Dengan demikian model pembelajaran problem solving adalah metode pembelajaran


yang mengaktifkan dan melatih siswa untuk menghadapi berbagai masalah dan dapat
mencari pemecahan masalah atau solusi dari permasalahan itu.
Silakan baca artikel ini >>>> Model Pembelajaran
Langkah – langkah/Sintak Model pembelajaran problem
solving
Menurut Wankat dan Oreovocz (1995) mengemukakan tahap-tahap strategi
operasional dalam pemecahan masalah sebagai berikut:
1. I can (Saya mampu/ bisa): tahap membangkitkan motivasi dan
membangun/menumbuhkan keyakinan diri siswa.
2. Define (Mendefinisikan): membuat daftar hal yang diketahui dan tidak diketahui,
menggunakan gambar grafis untuk memperjelas permasalahan.
3. Explore (Mengeksplorasi) : merangsang siswa untuk mengajukan
pertanyaanpertanyaan dan membimbing untuk menganalisis dimensi-dimensi
permasalahan yang dihadapi.
4. Plan (Merencanakan): mengembangkan cara berpikir logis siswa untuk menganalisis
masalah dan menggunakan flochart untuk mengambarkan permasalahan yang
dihadapi.
5. Do it (Mengerjakan): membimbing siswa secara sistematis untuk memperkiraan
jawaban yang mungkin untuk memecahkan masalah.
6. Check (Mengoreksi kembali): membimbing siswa untuk mengecek kembali jawaban
yang dibuat, mungkin ada beberapa kesalahan yang dilakukan.
7. Generalize (Generalisasi): membimbing siswa untuk mengajukan pertanyaan.
Silakan baca artikel ini >>>> Model Pembelajaran STAD
Langkah-langkah / Sintak Model Pembelajaran Problem
Solving ( Dewey dalam W.Gulo, 2002:115)
Sintak model pembelajaran problem solving terdiri dari 6 tahap, yaitu sebagai
berikut.
1. Merumuskan masalah
Kemampuan yang diperlukan adalah : mengetahui dan merumuskan masalah secara
jelas.

2. Menelaah masalah
Kemampuan yang diperlukan adalah : menggunakan pengetahuan untuk memperinci,
menganalisis masalah dari berbagai sudut.

3. Merumuskan hipotesis
Kemampuan yang diperlukan adalah : berimajinasi dan menghayati ruang lingkup,
sebab akibat dan alternatif penyelesaian.

4. Mengumpulkan dan mengelompokkan data sebagai bahan pembuktian hipotesis


Kemampuan yang diperlukan adalah : kecakapan mencari dan menyusun data.
Menyajikan data dalam bentuk diagram, gambar atau tabel.

5. Pembuktian hipotesis
Kemampuan yang diperlukan adalah : kecakapan menelaah dan membahas data,
kecakapan menghubung-hubungkan dan menghitung, serta keterampilan mengambil
keputusan dan kesimpulan.

6. Menentukan Pilihan Penyelesaian.


Kemampuan yang diperlukan adalah : kecakapan membuat alternatif penyelesaian,
kecakapan menilai pilihan dengan memperhitungkan akibat yang akan terjadi pada
setiap pilihan.

Penyelesaian masalah Menurut David Johnson dan


Johnson dapat dilakukan melalui kelompok dengan
prosedur penyelesaiannya dilakukan sebagai berikut
(W.Gulo 2002 : 117):
1. Mendifinisikan Masalah
2. Mendiagnosis masalah
3. Merumuskan Altenatif Strategi
4. Menentukan dan menerapkan Strategi
5. Mengevaluasi Keberhasilan Strategi

Silakan baca artikel ini >>>> Model discovery learning


Kelebihan dan kelemahan model pembelajaran problem
solving
Kelebihan model pembelajaran problem solving antara lain sebagai berikut:
1. Mendidik siswa untuk berpikir secara sistematis.
2. Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan.
3. Berpikir dan bertindak kreatif.
4. Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis
5. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.
6. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.
7. Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah
yang dihadapi dengan tepat.
8. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan,khususnya
dunia kerja
9. Mampu mencari berbagai jalan keluar dari suatu kesulitan yang dihadapi.
10. Belajar menganalisis suatu masalah dari berbagai aspek.
11. Mendidik siswa percaya diri sendiri.

Kelemahan model pembelajaran problem solving antara lain sebagai berikut.


1. Memerlukan cukup banyak waktu.
2. Melibatkan lebih banyak orang.
3. Tidak semua materi pelajaran mengandung masalah.
4. Memerlukan perencanaan yang teratur dan matang.
5. Tidak efektif jika terdapat beberapa siswa yang pasif.

Silakan baca artikel ini >>>> Model Pembelajaran Jigsaw


Manfaat Model pembelajaran Problem Solving
Manfaat dari penggunaan model pembelajaran problem solving pada proses
belajar mengajar untuk mengembangkan pembelajaran yang lebih menarik.
Menurut Djahiri (1983:133) model pembelajaran problem solving
memberikan beberapa manfaat antara lain :
1. Mengembangkan sikap keterampilan siswa dalam memecahkan permasalahan, serta
dalam mengambil kepuutusan secara objektif dan mandiri
2. Mengembangkan kemampuan berpikir para siswa, anggapan yang menyatakan
bahwa kemampuan berpikir akan lahir bila pengetahuan makin bertambah
3. Melalui inkuiri atau problem solving kemampuan berpikir tadi diproses dalam situasi
atau keadaan yang bener – bener dihayati, diminati siswa serta dalam berbagai macam
ragam altenatif
4. Membina pengembangan sikap perasaan (ingin tahu lebih jauh) dan cara berpikir
objektif – mandiri, krisis – analisis baik secara individual maupun kelompok

Silakan baca artikel ini >>>> Model Pembelajaran NHT


Tujuan model pembelajaran problem solving adalah
sebagai berikut.
1. Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan kemudian
menganalisisnya dan akhirnya meneliti kembali hasilnya.
2. Kepuasan intelektual akan timbul dari dalam sebagai hadiah intrinsik bagi siswa.
3. Potensi intelektual siswa meningkat.
4. Siswa belajar bagaimana melakukan penemuan dengan melalui proses melakukan
penemuan.
Model Pembelajaran Siklus Belajar 5E
(Learning Cycle 5E)
Trisna Sastradi 2 years ago Model-model Pembelajaran, Pendidikan

Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman

dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan

perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan

lain-lain (Trianto, 2012).

Ramadhani (2012) menyatakan bahwa setiap model pembelajaran mengarahkan kita ke dalam

mendesain pembelajaran untuk membantu siswa sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran

tercapai. Salah satu model pembelajaran inovatif yang mampu memfasilitasi siswa dalam

mengkonstruksi pengetahuannya sendiri adalah pembelajaran dengan menggunakan model

pembelajaran siklus belajar 5E (learning cycle 5E). Siklus belajar sebagai

strategi pembelajaran pertama kali diperkenalkan pada akhir Tahun 1960-an ketika Robert Karplus dan

rekan-rekannya mengimplemen-tasikannya dalam kurikulum sains (Qarareh, 2012). Model ini didesain

khusus untuk Science Curriculum Improvement Study (SCIS) dan memberikan hasil yang baik dalam

pengajaran sains/IPA. Pada awalnya model ini terdiri atas tiga fase pembelajaran,

yaitu eksploration, invention, dandiscovery. Pada Tahun 1980-an, Lawson kemudian memodifikasi istilah-

istilah tersebut menjadi exploration,concept introduction, dan concept application. Pada Tahun 1993, the

Biological Science Curriculum Study(BSCS) yang dipimpin oleh Rodger Bybee mengembangkan learning

cycle yang disebutnya sebagai metode kontruktivisme menjadi model pembelajaran siklus belajar

5E (learning cycle 5E) (Bybee et al., 2006; Liu et al.,2009; Ramadhani, 2012; Tuna & Kacar, 2013).

Siklus belajar 5E (learning cycle 5E) adalah salah satu model konstruktivis lengkap dalam kasus

pembelajaran berbasis riset atau brainstorming yang digunakan di dalam kelas (Campbell dalam Tuna &

Kacar, 2013). Learning cycle 5E berpusat pada siswa (student centered) dengan kegiatan yang

memberikan dasar untuk observasi, pengumpulan data, analisis tentang kegiatan, peristiwa, dan
fenomena (Haribhai & Dhirenkumar, 2012). Learning cycle 5E merupakan rangkaian tahap-tahap

kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat menguasai kompetensi-

kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif (Fajaroh & Dasna,

2008; Wibowo et al., 2010). Model pembelajaran siklus belajar 5E (learning cycle 5E) memotivasi siswa

untuk masuk dalam topik melalui beberapa tahap pembelajaran dengan tujuan untuk mengeksplorasi

subjek, memberikan definisi pada pengalaman mereka, mendapatkan informasi lebih rinci tentang

pembelajaran mereka, dan untuk mengevaluasinya (Wilder & Shuttleworth dalam Hagerman, 2012; Tuna

& Kacar, 2013).

Fajaroh dan Dasna (2007) menyatakan bahwa model pembelajaran learning cycle 5E patut

dikedepankan karena model belajar ini sesuai dengan teori belajar Piaget yang berbasis kontruktivisme.

Piaget menyatakan bahwa belajar merupakan pengembangan aspek kognitif yaitu struktur, isi, dan

fungsi. Struktur intelektual merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang dimiliki individu untuk

memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya dan fungsi merupakan proses perkembangan

intelektual yang mencakup adaptasi dan organisasi.

Siklus belajar 5E (learning cycle 5E) adalah model pembelajaran konstruktivis yang

menggabungkanantara hands-on, minds-on, dan penyelidikan ilmiah berbasis pedagogi (Balci et

al., 2006; Hagerman, 2012; Liuet al., 2009). Berbeda dengan metode pengajaran tradisional yang

mendominasikan instruksi langsung dalammenyampaikan informasi, siklus belajar 5E dengan

pendekatan hands-on di mana siswa dapat mengeksplorasi konsep baru, mengevaluasi kembali

pengalaman masa lalu mereka, dan mengasimilasi atau mengakomodasi pengalaman baru dan konsep ke

dalam skema yang sudah ada (Hagerman, 2012).

Bagi Piaget, adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Apabila

proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi pada lingkungannya, maka terjadilah

ketidakseimbangan(disequilibrium). Akibat ketidakseimbangan ini maka terjadilah akomodasi, dan

struktur yang ada mengalami perubahan atau struktur baru timbul (Dahar, 1996). Berdasarkan proses

asimilasi ke akomodasi diharapkan dapat mengembangkan struktur mental, sehingga dapat


diorganisasikan dengan konsep lain yang telah dimiliki. Organisasi yang baik dari intelektual seseorang

akan tercermin dari respon yang diberikan dalam menghadapi masalah.

Sudojo (dalam Fajaroh & Dasna, 2007) menyatakan bahwa implementasi learning cycle 5E dalam

pembelajaran sesuai dengan pandangan kontruktivisme, yakni sebagai berikut:

1) Siswa belajar secara aktif, siswa mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja dan berpikir,

pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa.

2) Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa, informasi baru yang dimiliki siswa

berasal dari interpretasi individu.

3) Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan pemecahan masalah.

Model pembelajaran learning cycle 5E yang berorientasi pada pembelajaran

kontruktivisme(constructivist approach) ini sangat memperhatikan pengalaman dan pengetahuan awal

siswa serta bertujuan meningkatkan pemahaman konsep siswa. Oleh karena itu, pada setiap fase-fase

pembelajaran guru dituntut untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang beranjak dari isu-isu sains

yang relevan dengan lingkungan siswa, memicu proses disequilibrium-equilibrium (ketidakseim-bangan-

seimbang) pada diri siswa serta memberi kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dengan orang lain

agar siswa dapat membangun pengetahuannya secara utuh (Mabsuthoh, 2010).

Sesuai dengan namanya, model ini memiliki lima fase/tahap yang setiap fasenya dimulai dengan

huruf E sebagai berikut (Bybee et al., 2006; Temel et al., 2013; Tuna & kacar, 2013; Utari et al., 2013):

1) Engagement (engage/keterlibatan) merupakan fase saat guru mencoba memusatkan perhatian siswa

dan mengikutsertakan siswa ke dalam sebuah konsep baru dengan cara memberikan pertanyaan

motivasi, memberikan gambaran tentang materi yang akan dipelajari, demonstrasi, atau aktivitas lain

yang digunakan untuk membuka pengetahuan siswa dan mengembangkan rasa keingintahuan

siswa.Pada fase ini guru menggali pengetahuan awal siswa untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan

pikiran siswa mengenai konsep yang akan dipelajari. Hal terpenting dalam fase ini adalah guru

menghindari mendefinisikan dan membuat penjelasan tentang konsep yang akan dibahas.
2) Exploration (eksplore/penjelajahan) merupakan fase kedua yang sering diwujudkan dalam kegiatan

laboratorium (praktikum) dan diskusi yang dilakukan secara berkelompok. Fase ini memberikan

pengalaman yang nyata bagi siswa. Siswa diajak terlibat secara langsung pada fenomena atau situasi

yang mereka selidiki. Siswa saat berada di dalam fase ini merancang dan melakukan eksperimen atau

praktikum, melakukan pengujian hipotesis, serta melakukan pengumpulan data/informasi untuk

memecahkan masalah yang diberikan oleh guru. Siswa dilibatkan secara fisik dan mental. Sebagai hasil

keterlibatan mental dan fisik mereka dalam kegiatan tersebut, para siswa akan mampu membentuk

hubungan, mengamati pola, mengidentifikasi variabel, dan bertanya. Guru berperan sebagai fasilitator

atau pemandu yang mengarahkan siswa agar mampu mengeksplorasi dan menemukan jawaban atas

pertanyaan yang diberikan. Guru hanya harus membimbing siswa, tidak berpartisipasi sepenuhnya

kepada karya siswa. Hal terpenting ketika guru membimbing adalah jika melihat kesalahan

siswa maka tidak boleh langsung memperbaikinya, tetapi harus memberikan beberapa petunjuk atau

menunjukkan beberapa cara agar siswa mengoreksi sendiri. Sementara siswa berinteraksi satu sama

lain dan tidak pasif dalam proses ini.

3) Explanation (explain/menjelaskan) merupakan fase saat perhatian siswa difokuskan pada aspek tertentu

dari pengalaman mereka pada fase-fase sebelumnya. Siswa diberikan kesempatan untukmenunjukkan

pemahaman konsep mereka, keterampilan proses, atau perilaku. Kata explanationberarti tindakan atau

proses di mana konsep, proses, atau keterampilan menjadi jelas dan dapat dipahami. Siswa melakukan

diskusi kelompok untuk menganalisis data/infor-masi yang dikumpulkan dari kegiatan pada fase

sebelumnya. Guru membimbing siswa untuk menyampaikan hasil kegiatan yang telah mereka lakukan

dengan menggunakan ide dan kata-kata mereka sendiri, sehingga diharapkan pemahaman konsep

muncul dari pengalaman mereka setelah melakukan kegiatan. Guru memberikan definisi formal dan

penjelasan ilmiah. Selanjutnya, dengan memberi-kan penjelasan tingkat pengetahuan dasar kepada

siswa, guru bila memungkinkan agar membantu siswa untuk menyatukan bersama-sama pengalaman

mereka, untuk menjelaskan hasil mereka, dan untuk membentuk konsep-konsep baru. Tujuan tahap ini

adalah untuk memperbaiki kesalahan dalam temuan siswa sebelum tahap berikut-nya.
4) Elaboration (elaborate/elaborasi) merupakan fase yang dapat diang-gap sebagai perpanjangan langkah

penelitian karena adanya masalah suplemen (penguat). Fase ini memfasilitasi siswa untuk dapat

menerapkan konsep yang telah mereka peroleh berdasarkan kegiatan yang telah mereka lakukan ke

dalam situasi atau masalah yang baru. Masalah baru tersebut memiliki penyelesaian yang identik atau

mirip dengan apa yang dibahas sebelumnya. Siswa menggunakan konsep yang baru dipelajari dalam

situasi berbeda atau mengulangi beberapa kali aplikasi yang berhubungan dengan konsep yang dipelajari

agar menjadi masukan ke dalam memori jangka panjangnya dan menjadi permanen. Selama fase

elaborasi, siswa dapat dilibatkan kembali dalam kegiatan diskusi dan pencarian informasi. Siswa

mengiden-tifikasi masalah dan mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan

permasalahan yang diberikan melalui diskusi.

5) Evaluation (evaluate/menilai) merupakan fase saat guru mencari tahu kualitas dan kuantitas

ketercapaian pemahaman siswa terhadap topik yang telah mereka pelajari. Fase ini dapat diwujudkan

dalam metode formal atau informal. Guru mengajukan pertanyaan dan membuat siswa merespon secara

lisan atau tulisan. Selain itu, siswa diminta untuk mengaitkan apa yang telah mereka pelajari

dengan situasi di kehidupan nyata. Fase ini adalah fase di mana siswa dapat menunjukkan sikap mereka

tentang pembelajaran dan dapat merubah gaya pemikiran mereka atau perilaku. Evaluasi informal dapat

terjadi pada awal dan seluruh urutan model siklus belajar 5E. Guru juga dapat menyelesaikan evaluasi

formal setelah fase elaborasi. Evaluasi bisa dilakukan secara formatif maupun sumatif dan berfokus pada

kemampuan siswa menggunakan informasi yang telah mereka peroleh selama kegiatan pembelajaran.

Evaluasi engagement berkisar pada pra-penilaian. Artinya, mencari tahu apa yang sudah

diketahui siswa tentang topik yang akan dibahas dengan mengajukan pertanyaan dan membuat siswa

merespon secara lisan atau tulisan. Dalam exploration, evaluasi berfokus pada proses. Artinya, pada

proses pengumpulan data oleh siswa, bukan produk dari pengumpulan data. Evaluasi explain berfokus

pada seberapa baik siswa dapat menggunakan informasi yang mereka kumpulkan dan apa yang sudah

mereka tahu tentang ide-ide baru. Evaluasi elaborationdapat disamakan dengan tes di akhir pelajaran

untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman siswa terkait konsep yang telah dipelajari.
Fase engagement, exploration, explanation, elaboration, dan evaluation tersebut saling

berhubungan dan saling mendukung satu sama lain. Setiap tahap (fase) memiliki fungsi spesifik dan

memberikan kontribusi bagi guru dan siswa untuk meningkatkan pemahaman terhadap pengetahuan

ilmiah dan teknologi, sikap, serta keterampilan yang lebih baik (Bybee et al., 2006).

Secara garis besar peran siswa pada setiap tahapan learning cycle 5E model dapat disajikan pada Gambar
di bawah
Gambar 1 Peran Siswa pada Setiap Tahapan LC5E

(diadaptasi dari Kazu & Bozu, 2012)

Kelima tahapan model siklus belajar 5E dapat digambarkan seperti pada Gambar berikut

Gambar 2 Tahapan Learning Cycle 5E Model

(diadaptasi dari Ergin, 2012; Tuna & Kacar, 2013; Wibowo et al., 2010)

Adapun sintaks model pembelajaran siklus belajar 5E yang diadaptasi dari Bybee et

al (2006), Lorsbash(dalam Soomro et al., 2010), Uzunoz (2011), dan Suastra (2009) disajikan pada Tabel

1.

Tabel 1 Sintaks Learning Cycle 5E Model

Fase Kegiatan Pembelajaran

Engagement 1. Guru memusatkan perhatian siswa.

2. Guru membangkitkan minat, motivasi, dan keingintahuan siswa


Fase Kegiatan Pembelajaran

mengenai materi yang akan dipelajari.

3. Guru memfasilitasi siswa dalam menggali pengetahuan awal


melalui pemberian pertanyaan atau masalah yang terkait dengan
materi yang akan dipelajari.

1. Guru membagikan LKS, memberikan suatu permasalahan untuk


dicari solusinya oleh siswa.

2. Siswa membentuk kelompok untuk melakukan diskusi mengenai


permasalahan yang diajukan oleh guru, mencari solusi/jawaban
Eksploration
untuk permasalahan tersebut, melakukan praktikum, melakukan
pengujian hipotesis, serta melaku-kan pengumpulan
data/informasi.

3. Guru berperan sebagai fasilitator, memberikan bimbingan


seperlunya kepada siswa.

1. Siswa melakukan diskusi kelompok untuk menganalisis


data/informasi yang dikumpulkan dari kegiatan pada fase
sebelumnya

2. Siswa menjelaskan konsep, informasi, pengetahuan yang mereka


Explanation peroleh dari kegiatan pada fase sebelumnya dengan menggunakan
kata-kata mereka sendiri.

3. Guru memberikan klarifikasi terhadap hasil diskusi siswa.

4. Guru membantu siswa untuk menemukan kembali informasi yang


hilang atau mengganti informasi yang salah dengan yang baru.

1. Siswa mengaplikasikan konsep, informasi, pengetahuan, dan


keterampilan yang mereka peroleh pada fase sebelumnya ke dalam
situasi atau masalah yang baruyang penyelesaiannya
Elaboration memerlukan penjelasan yang identik atau mirip.

2. Siswa menerapkan pemahaman konsep mereka dengan melakukan


kegiatan tambahan

Evaluation 1. Guru melakukan umpan balik dengan memanggil kembali ide-ide,


pengetahuan atau keterampilan siswa yang telah dipelajari. Umpan
balik dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa
terhadap topik yang telah mereka pelajari

2. Guru melakukan evaluasi/penilaian hasil belajar.

Berdasarkan pada sintaks model learning cycle 5E, proses pembelajaran yang dilakukan bukan

lagi sekadar transfer ilmu pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan proses perolehan konsep yang

berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif dalam proses

pembelajaran. Model learning cycle 5E menekankan kepada peran siswa sebagai pusat pembelajaran

dan sebagai knowledge self-making (Budprom et al., 2010). Qarareh (2012) menyatakan

model learning cycle 5E mampu menciptakan sebuah pembelajaran bermakna yang dapat meningkat-

kan prestasi belajar siswa, motivasi belajar siswa, serta membantu mereka untuk belajar secara

aktif.Soomro et al (2010) juga menyatakan model learning cycle 5E efektif digunakan untuk

meningkatkan pemahaman dan prestasi belajar siswa, membantu siswa menikmati sains, mengerti

materi, dan mengaplikasikannya dalam situasi ilmiah.

Menurut Cohen dan Clough (dalam Wibowo et al., 2010) penerapan model learning

cycle memberi keuntungan sebagai berikut:

1) Meningkatkan motivasi belajar karena pebelajar (siswa) dilibatkan secara aktif dalam proses

pembelajaran.

2) Membantu mengembangkan sikap ilmiah pebelajar .

3) Pembelajaran menjadi lebih bermakna.

Adapun kekurangan penerapan model learning cycle yang harus selalu diantisipasi adalah

sebagai berikut:

1) Efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkah-langkah pembelajaran.

2) Menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran.
3) Memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi.

4) Memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana dan melaksanakan

pembelajaran.

Ergin (2012) menyatakan bahwa kaitannya dengan pelajaran fisika, model learning cycle 5E dapat

mengakibatkan:

1) Prestasi yang lebih besar dalam fisika.

2) Retensi yang lebih baik dari konsep.

3) Peningkatan sikap terhadap fisika.

4) Peningkatan sikap terhadap belajar fisika.

5) Peningkatan kemampuan penalaran.


Model Pembelajaran Teams Games Tournament (TGT)

A. Pengertian Model Pembelajaran

Model Pembelajaran TGT (Berkelompok)

Joyce (dalam Trianto, 2007:5) menyatakan model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau pola
yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas dengan menentukan
perangkat-perangkat pembelajaran untuk membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan. Joyce dan Weil (dalam Prastowo, 2013:69) menyatakan model pembelajaran adalah suatu
rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum dan pembelajaran jangka
panjang, merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di dalam atau di luar
kelas.

Suprijono (2009:46) menyatakan bahwa model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola
yang digunakan sebagai pedoman dalam me-rencanakan pembelajaran di kelas atau tutorial. Arends
(dalam Suprijono, 2012:46) menyatakan bahwa model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang
akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap, dan pengelolaan
kelas. Model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Model pembelajaran memungkinkan guru membantu siswa mendapatkan informasi, ide, ketrampilan,
cara berpikir, dan mengekspresikan ide. Model pembelajaran berfungsi pula sebagai pedoman bagi para
perancang pembelajaran dan guru dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat dimpulkan bahwa model pembelajaran adalah suatu pola yang
dipilih guru sebagai pedoman pelaksanaan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Apabila
dalam proses pembelajaran guru menggunakan model pembelajaran yang inovatif maka proses
pembelajaran akan berlangsung secara efektif sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.

B. Pengertian Model Pembelajaran Teams


Games Tournament (TGT)
Slavin (2015:163) mendefinisikan TGT merupakan turnamen akademik, dan menggunakan kuis-kuis dan
sistem skor kemajuan individu, di mana para siswa berlomba sebagai wakil tim mereka dengan anggota
tim lain yang kinerja akademik sebelumnya setara seperti mereka.

Shoimin (2014:203) menyatakan TGT adalah model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan,
melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai
tutor sebaya dan mengandung unsur permainan danreinforcement.

Rusman (2014:224) mendefinisikan TGT adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang
menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan 5 sampai 6 orang siswa
yang memiliki kemampuan, jenis kelamin dan suku atau ras yang berbeda.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Teams Games Tournament
(TGT) adalah suatu model pembelajaran kooperatif yang berisi turnamen akademik dengan melibatkan
aktivitas seluruh siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin dan suku atau ras yang berbeda.

C. Karakteristik Model Pembelajaran TGT


Karakteristik Model Pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) Shoimin (2014:203)
menyatakan bahwa karakteristik-karakteristik pada model pembelajarn TGT termuat dalam lima
komponen utama, yaitu:

1. Penyajian Kelas

Awal pembelajaran, guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan
pengajaran langsung atau dengan ceramah, diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas, siswa
harus benar-benar memerhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru karena akan
membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan game karena skor game akan
menentukan skor kelompok.

2. Kelompok (teams)

Kelompok biasanya terdiri atas 4 sampai 5 orang siswa yang anggotanya heterogen dilihat dari prestasi
akademik, jenis kelamin, dan ras atau etnik. Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi
bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja
dengan baik dan optimal pada saat game.

3. Games

Games terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat
siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok. Kebanyakn game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan
sederhana bernomor. Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang sesuai
dengan nomor itu. Siswa yang menjawab benar akan mendapat skor. Skor ini yang nantinya dikumpulkan
siswa untuk turnamen mingguan.

4. Turnament

Turnamen dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap unit setelah guru melakukan presentasi kelas
dan kelompok sudah mengerjakan lembar kerja. Turnamen pertama guru membagi siswa ke dalam
beberapa meja turnmen. Tiga siswa tertinggi prestasinya

5. Team Recognize (penghargaan kelompok)


Guru mengumumkan kelompok yang menang, masing-masing tim akan mendapat hadiah apabila rata-
rata skor memenuhi kriteria yang ditentukan.

D. Sintaks Model Pembelajaran TGT

Model Pembelajaran TGT (Berkelompok)

Sintaks Pembelajaran Model Pembelajaran Teams Games Tournament Shoimin (2014:205-207)


menyatakan langkah-langkah pembelajaran pada model pembelajaran TGT, yaitu sebagai berikut:

1. Class Presentation

Guru menyampaikan materi, tujuan pembelajaran, pokok materi, dan penjelasan singkat LKS dengan
pengajaran langsung atau dengan ceramah. Siswa harus benar-benar memahami materi untuk
membantu mereka dalam kerja kelompok maupun game.

2. Teams

Guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok dengan anggota antara 4 sampai 5 orang berdasarkan
kriteria kemampuan dari ulangan harian, jenis kelamin, etnik, dan ras. Kelompok ini bertugas
mempelajari lembar kerja. Kegiatannya berupa mendiskusikan masalah-masalah, membandingkan
jawaban, memeriksa, dan memperbaiki kesalahan-kesalahan konsep temannya jika teman satu
kelompok melakukan kesalahan.

3. Games

Dimainkan pada meja turnamen oleh 3 orang siswa yang mewakili tim atau kelompoknya masing-
masing. Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang sesuai dengan nomor
itu. Siswa yang menjawab benar akan mendapat skor. Skor ini yang nantinya dikumpulkan untuk
turnamen atau lomba mingguan.

4. Tournament

Dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap unit setelah guru melakukan presentasi kelas dan
kelompok sudah mengerjakan LKS. Siswa dibagi ke dalam beberapa meja turnamen. Tiga peserta didik
tertinggi prestasinya dikelompokkan pada meja I, tiga peserta didik selanjutnya pada meja II, dan
seterusnya.

6. Team Recognition

Guru mengumumkan kelompok yang menang, masing-masing kelompok akan mendapat hadiah apabila
rata-rata skor memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Kelompok yang mendapat julukan “Super
Team” jika rata-rata skor 50 atau lebih, “Great Team” apabila rata-rata mencapai 50-40 dan “Good
Team” apabila rata-ratanya 40 ke bawah. Hal ini dapat menyenangkan para peserta didik atas prestasi
yang telah mereka buat.

E. Kelebihan Model Pembelajaran TGT


Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran TGT

Kelebihan Model Pembelajaran Teams Games Tournament Shoimin (2014:207) menjelaskan


kelebihan dari model TGT, yaitu:

 Model TGT tidak hanya membuat siswa yang cerdas lebih menonjol dalam
pembelajaran, tetapi siswa yang berkemampuan lebih rendah juga ikut aktif dan
mempunyai peranan penting dalam kelompoknya.
 Model pembelajaran TGT, akan menumbuhkan rasa kebersamaan dan saling
menghargai sesama anggota keompoknya.
 Model pembelajaran TGT, membuat siswa lebih bersemangat dalam mengikuti
pelajaran. Karena dalam pembelajaran ini, guru menyajikan sebuah penghargaan
pada siswa atau kelompok terbaik.
 Model pembelajaran ini, membuat siswa menjadi lebih senang dalam mengikuti pelajaran
karena ada kegiatan permainan berupa turnamen.

F. Kekurangan Model Pembelajaran TGT


Shoimin (2014:208) menjelaskan kekurangan dari model pembelajaran Teams Games Tournament,
yaitu:

 Membutuhkan waktu yang lama


 Guru dituntut untuk pandai memilih materi pelajaran yang cocok untuk model
pembelajaran ini
 Guru harus mempersiapkan model ini dengan baik sebelum diterapkan. Misalnya,
membuat soal untuk setiap meja turnamen, dan guru harus tahu urutan akademis siswa
dari yang tertinggi hingga terendah.

Berdasarkan beberapa kekurangan dari model Teams Games Tournament tersebut dapat
diminimalisir dengan cara guru benar-benar memaksimalkan waktu belajar yang tersedia semaksimal
mungkin, pembelajaran menggunakan model TGT ini digunakan pada mata pelajaran PKn materi
Globalisasi karena materinya luas dapat dibuat menjadi games dantournament sehingga siswa
mudah menerima pelajaran tersebut, dan guru sebagai wali kelas sudah mengetahui kemampuan
akademis siswanya dengan baik.

Dari beberapa kelebihan model pembelajaran Teams Games Tournament tersebut, dapat
disimpulkan bahwa model tersebut baik untuk diterapkan pada pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan pada materi Globalisasi untuk meningkatkan semangat dan kerjasama antar siswa
sehingga materi pelajaran akan mudah diterima atau dimengerti.

Anda mungkin juga menyukai