PENDAHULUAN
Bedasarkan latar belakang yang telah diuraikan masalah penelitian ini adalah
sebagai berikut :
(1) Apa yang dimaksud dengan Kosakata Arkais dalam Bahasa Aceh
(2) Bagaimana tingkat kearkaisan kosakata bahasa aceh dialek Aceh Besar ?
penelitian (2) mengukur tingkat kearkaisan kosakata bahasa aceh dialek Aceh
Besar. (3) faktor penyebab kosa kata bahasa aceh dialek Aceh Besar menjadi
arkais.
BAB II
PEMBAHASAN
Arkhais atau arkais berasal dari bahasa Yunani, artinya adalah “dari sebuah masa
yang lebih awal dan tidak dipakai lagi atau sesuatu yang memiliki ciri khas kuna atau antik.
Sesuatu hal dalam ilmu bahasa yang sudah lama dan tidak digunakan lagi seringkali disebut
Definisi arkais yang dipaparkan dalam KBBI (2001: 65) ialah sesuatu yang berhubungan
dengan masa lalu atau kuno dan tidak lazim dipakai lagi (ketinggalan zaman),
sedangkan arkaisme adalah penggunaan kata atau bentuk kata yang bersifat arkais.
Pendapat lain menurut martinus (2001: 60) arkaik atau arkais adalah kata-kata yang sudah
atau kuno, dan arkaisme adalah penggunaan kata-kata atau bentuk kata yang
atau bahasa arkais adalah bahasa yang digunakan karena adanya unsur- unsur dari zaman
lampau yang tetap bertahan (arkaisme). Penggunaan bahasa arkais dimaksudkan untuk
memberi corak atau warna agar menarik perhatian pembaca atau pendengar, dengan syarat
maksud atau pesan yang ingin disampaikan pengarang itu bisa tersampaikan dan
disesuaikan dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki sekelompok masyarakat pembaca
agar tidak merusak suasana atau menyinggung perasaan orang yang tidak hadir.
Lebih lanjut Partanto (2001:45) memberikan definisi arkais adalah penganut paham
arkaisme (kuno) yang bersifat luwes atau bersahaja namun mudah dipahami. Dan
arkaisme adalah ajaran pemakaian kata-kata atau kalimat secara kolot (kata-kata kuno
Berdasarkan definisi arkais di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa ciri-ciri
diksi arkais mempunyai bentuk yang lampau, jarang digunakan, dan sakral. Penggunaan
diksi arkais sudah tidak lagi atau jarang digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari.
Penggunaan diksi arkais sering ditemukan dalam seni Padhalangan yang mempunyai tujuan
agar pembaca atau pendengar merasa segan dan tidak menyinggung suasana perasaan
Degradasi bahasa terjadi dalam bahasa Indonesia maupun bahasa daerah (lokal).
Tanpa disadari kosakata yang umumnya terdapat dalam bahasa Indonesia justru memungut
istilah dari bahasa asing seperti: kosakata dari bahasa Inggris, Belanda, ataupun Arab.
Kemunduran ini di antaranya disebabkan penguasaan kosakata yang minim. Hal ini bukanlah
berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang baku dan komunikatif. Kridalaksana (2009)
mengungkapkan unsur bahasa yang tidak lazim tetapi dipakai untuk efek-efek tertentu yang
kadang-kadang muncul dalam bahasa kini disebut dengan arkaisme (archaism, atavism, reviral
form). Akhiran –me pada kata arkais ini bermakna cara (gaya) yang bersifat arkais (KBBI).
Contoh dari kosakata arkais ini dapat diamati dalam kalimat; konon tsunami di Aceh
karena manusia sudah ingkar pada Allah. Kata konon dalam kalimat tersebut merupakan
kosakata arkais di mana pemakaian kosakata ini sudah tidak lazim digunakan serta digantikan
dengan kata lain sepertinya, agaknya, kemungkinan. Padahal dari kelas kata arkais kata konon
adalah kata yang memberikan keterangan pada verba (adverbia). Sementara kata sepertinya
merupakan kelas kata kerja (verba), agaknya adverbia, dan kemungkinan dari kelas kata
nomina.
Pemakaian kosakata gerangan juga hampir tidak lagi kita temukan dalam artikel
ilmiah populer (kecuali sastra). Gerangan juga merupakan kosakata arkais yang bermakna
sama dengan kata konon dan sama-sama dari kelas kata adverbia. Selain dua contoh kosakata
arkais yang telah diuraikan masih banyak terdapat kosakata arkais lainnya di dalam bahasa
Indonesia dan tidak digunakan lagi. Kosakata arkaisme kebanyakan terdapat di dalam bahasa
daerah. Hal ini disebabkan perbendaharaan kosakata di dalam bahasa daerah sedikit serta
Di dalam bahasa daerah, misalnya bahasa Aceh. Para penutur tidak lagi mengetahui
makna kosakata arkais apalagi digunakan dalam peristiwa tutur sehari-hari. Hasil penelitian
yang saya lakukan dengan melibatkan 10 informan yang berbahasa ibu (BI) bahasa Aceh
dalam kuesioner yang saya berikan menyimpulkan: delapan orang menjawab tidak mengetahui
maknanya dan digunakan dalam tindak tutur sehar-hari; dan selebihnya menjawab mengetahui
maknanya dan tidak menggunakannya lagi. Dalam kuesioner tersebut, berisikan empat kalimat
di mana pemakaian kosakata tersebut tidak digunakan lagi dalam komunikasi sehari-hari.
Keempat kalimat tersebut di dalamnya terdapat kosakata arkais dan saya tandai
dengan menggarisbawahi kosakata tersebut agar informan fokus pada pertanyaan yang saya
ajukan. Keempat kata-kata tersebut adalah: akeumak (kelupaan, sombong, menyesal, buruk
tanggung); bhôm (tanah perkuburan keluarga); halé (hadir); dan juadah (roti kering).
Kosakata dan kalimat dalam bahasa Aceh tersebut saya kutip dari kamus bahasa Aceh
karangan Abu Bakar (2001) di mana kalimat tersebut adalah: 1. Allah, lôn that akeumak that
lôn hana lôn tawok gobnyan (Allah, saya menyesal sekali karena terlupa tidak
kebangsaan, lambang negara, dan bahasa. Dalam hal ini dijelaskan secara spesifik menyangkut
dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsin
ya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman agar tetap me
Marilah sama-sama kita tumbuhkan kepedulian rasa cinta terhadap bahasa Indonesia
dan bahasa daerah! Khususnya pemerintah Aceh yang memiliki kekhususan yakni dana
otonomi dibandingkan provinsi lain di Indonesia, sudah saatnya membakukan bahasa Aceh
ragam tulis dengan mengeluarkan kamus bahasa Aceh yang wajib digunakan oleh seluruh
penutur. Selama ini kantor Pusat Studi Bahasa Daerah Aceh (Pusbada) yang bernaung di
bawah Universitas Syiah Kuala tidak mampu mejalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)
terkendala dana. Karena untuk mengadakan kongres bahasa daerah serta menyusun kamus
bahasa daerah yang terdiri atas beragam dialek di Aceh membutuhkan dana yang sangat besar.
Jika hal ini tidak dilakukan, jangankan kosakata arkais yang tidak diketahui maknanya,
dipastikan pemakaian bahasa Aceh diprediksikan akan punah ataupun bertutur ‘ke-aceh-aceh-
an’. Semoga! (Dimuat di Serambi Indonesia, kolom kerjasama Serambi Indonesia dan Balai
PENUTUP