Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengembangan program yang khusus dirancang oleh organisasi dengan tujuan

membantu karyawan meningkatkan kemampuan dan pengetahuan serta mempbaiki

sikapnya. pelatatihan proses membantu tenaga kerja untuk memperoleh efektifitas

dalam pekerjaan mereka melalui pengembanga kebiasaan tentang pikiran,tindakan

kecakapan,pengegatahuan sikap yang layak,metode pelatihan metode ON THE JOB

Training dan metode Off the job Training.

1.2 Rumusan Masalah

Bedasarkan latar belakang yang telah diuraikan masalah penelitian ini adalah

sebagai berikut :

(1) Apa yang dimaksud dengan Kosakata Arkais dalam Bahasa Aceh

(2) Bagaimana tingkat kearkaisan kosakata bahasa aceh dialek Aceh Besar ?

(3) Apa latar belakang kosakata tersebut menjadi arkais ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah (1) menemukan kosakata arkais berdasarkan data

penelitian (2) mengukur tingkat kearkaisan kosakata bahasa aceh dialek Aceh

Besar. (3) faktor penyebab kosa kata bahasa aceh dialek Aceh Besar menjadi

arkais.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Arkais

Arkhais atau arkais berasal dari bahasa Yunani, artinya adalah “dari sebuah masa

yang lebih awal dan tidak dipakai lagi atau sesuatu yang memiliki ciri khas kuna atau antik.

Sesuatu hal dalam ilmu bahasa yang sudah lama dan tidak digunakan lagi seringkali disebut

“arkaisme” (http:/id.wikipedia.org/wiki/ Arkais).

Definisi arkais yang dipaparkan dalam KBBI (2001: 65) ialah sesuatu yang berhubungan

dengan masa lalu atau kuno dan tidak lazim dipakai lagi (ketinggalan zaman),

sedangkan arkaisme adalah penggunaan kata atau bentuk kata yang bersifat arkais.

Pendapat lain menurut martinus (2001: 60) arkaik atau arkais adalah kata-kata yang sudah

tidak digunakan lagi dan ketinggalan zaman

atau kuno, dan arkaisme adalah penggunaan kata-kata atau bentuk kata yang

sudah tidak umum lagi.

Berbeda dengan pendapat di atas, Soekamto (1985:72) menjelaskan bahwa archaism

atau bahasa arkais adalah bahasa yang digunakan karena adanya unsur- unsur dari zaman

lampau yang tetap bertahan (arkaisme). Penggunaan bahasa arkais dimaksudkan untuk

memberi corak atau warna agar menarik perhatian pembaca atau pendengar, dengan syarat

maksud atau pesan yang ingin disampaikan pengarang itu bisa tersampaikan dan

disesuaikan dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki sekelompok masyarakat pembaca

agar tidak merusak suasana atau menyinggung perasaan orang yang tidak hadir.

Lebih lanjut Partanto (2001:45) memberikan definisi arkais adalah penganut paham

arkaisme (kuno) yang bersifat luwes atau bersahaja namun mudah dipahami. Dan

arkaisme adalah ajaran pemakaian kata-kata atau kalimat secara kolot (kata-kata kuno

untuk maksud tertentu) atau primitif.

Berdasarkan definisi arkais di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa ciri-ciri
diksi arkais mempunyai bentuk yang lampau, jarang digunakan, dan sakral. Penggunaan

diksi arkais sudah tidak lagi atau jarang digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari.

Penggunaan diksi arkais sering ditemukan dalam seni Padhalangan yang mempunyai tujuan

agar pembaca atau pendengar merasa segan dan tidak menyinggung suasana perasaan

pembaca atau pendengar.

Degradasi bahasa terjadi dalam bahasa Indonesia maupun bahasa daerah (lokal).

Tanpa disadari kosakata yang umumnya terdapat dalam bahasa Indonesia justru memungut

istilah dari bahasa asing seperti: kosakata dari bahasa Inggris, Belanda, ataupun Arab.

Kemunduran ini di antaranya disebabkan penguasaan kosakata yang minim. Hal ini bukanlah

serta-merta mengedepankan purisme berbahasa akan tetapi, dikhususkan bagaimana

berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang baku dan komunikatif. Kridalaksana (2009)

mengungkapkan unsur bahasa yang tidak lazim tetapi dipakai untuk efek-efek tertentu yang

kadang-kadang muncul dalam bahasa kini disebut dengan arkaisme (archaism, atavism, reviral

form). Akhiran –me pada kata arkais ini bermakna cara (gaya) yang bersifat arkais (KBBI).

2.2. Bahasa Aceh dan Perkembangannya

Contoh dari kosakata arkais ini dapat diamati dalam kalimat; konon tsunami di Aceh

karena manusia sudah ingkar pada Allah. Kata konon dalam kalimat tersebut merupakan

kosakata arkais di mana pemakaian kosakata ini sudah tidak lazim digunakan serta digantikan

dengan kata lain sepertinya, agaknya, kemungkinan. Padahal dari kelas kata arkais kata konon

adalah kata yang memberikan keterangan pada verba (adverbia). Sementara kata sepertinya

merupakan kelas kata kerja (verba), agaknya adverbia, dan kemungkinan dari kelas kata

nomina.

Pemakaian kosakata gerangan juga hampir tidak lagi kita temukan dalam artikel

ilmiah populer (kecuali sastra). Gerangan juga merupakan kosakata arkais yang bermakna

sama dengan kata konon dan sama-sama dari kelas kata adverbia. Selain dua contoh kosakata

arkais yang telah diuraikan masih banyak terdapat kosakata arkais lainnya di dalam bahasa
Indonesia dan tidak digunakan lagi. Kosakata arkaisme kebanyakan terdapat di dalam bahasa

daerah. Hal ini disebabkan perbendaharaan kosakata di dalam bahasa daerah sedikit serta

terdiri atas beberapa dialek yang berbeda.

Di dalam bahasa daerah, misalnya bahasa Aceh. Para penutur tidak lagi mengetahui

makna kosakata arkais apalagi digunakan dalam peristiwa tutur sehari-hari. Hasil penelitian

yang saya lakukan dengan melibatkan 10 informan yang berbahasa ibu (BI) bahasa Aceh

dalam kuesioner yang saya berikan menyimpulkan: delapan orang menjawab tidak mengetahui

maknanya dan digunakan dalam tindak tutur sehar-hari; dan selebihnya menjawab mengetahui

maknanya dan tidak menggunakannya lagi. Dalam kuesioner tersebut, berisikan empat kalimat

di mana pemakaian kosakata tersebut tidak digunakan lagi dalam komunikasi sehari-hari.

Keempat kalimat tersebut di dalamnya terdapat kosakata arkais dan saya tandai

dengan menggarisbawahi kosakata tersebut agar informan fokus pada pertanyaan yang saya

ajukan. Keempat kata-kata tersebut adalah: akeumak (kelupaan, sombong, menyesal, buruk

tanggung); bhôm (tanah perkuburan keluarga); halé (hadir); dan juadah (roti kering).

Kosakata dan kalimat dalam bahasa Aceh tersebut saya kutip dari kamus bahasa Aceh

karangan Abu Bakar (2001) di mana kalimat tersebut adalah: 1. Allah, lôn that akeumak that

lôn hana lôn tawok gobnyan (Allah, saya menyesal sekali karena terlupa tidak

mengundangnnya menghadiri kenduri); 2. geutanom bak bhôm geutanyoe (dikuburkan di

tempat pemakaman kita); 3. ka halé, neubismillah (sudah siap, harap dibismilahkan); 4. ka ba

siat juadah nyan kenoe! (bawa ke sini roti kering itu).

Berangkat dari persoalan tersebut, seharusnya pemerintah daerah melalui lembaga

terkait mengimplementasikan Undang-undang nomor 29 tahun 2009 tentang bendera, lagu

kebangsaan, lambang negara, dan bahasa. Dalam hal ini dijelaskan secara spesifik menyangkut

fungsinya di bidang pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa Indonesia pasal 42

ayat 2 berbunyi: pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina,

dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsin
ya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman agar tetap me

njadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.

Marilah sama-sama kita tumbuhkan kepedulian rasa cinta terhadap bahasa Indonesia

dan bahasa daerah! Khususnya pemerintah Aceh yang memiliki kekhususan yakni dana

otonomi dibandingkan provinsi lain di Indonesia, sudah saatnya membakukan bahasa Aceh

ragam tulis dengan mengeluarkan kamus bahasa Aceh yang wajib digunakan oleh seluruh

penutur. Selama ini kantor Pusat Studi Bahasa Daerah Aceh (Pusbada) yang bernaung di

bawah Universitas Syiah Kuala tidak mampu mejalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)

terkendala dana. Karena untuk mengadakan kongres bahasa daerah serta menyusun kamus

bahasa daerah yang terdiri atas beragam dialek di Aceh membutuhkan dana yang sangat besar.

Jika hal ini tidak dilakukan, jangankan kosakata arkais yang tidak diketahui maknanya,

dipastikan pemakaian bahasa Aceh diprediksikan akan punah ataupun bertutur ‘ke-aceh-aceh-

an’. Semoga! (Dimuat di Serambi Indonesia, kolom kerjasama Serambi Indonesia dan Balai

Bahasa Banda Aceh).


BAB III

PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai